Pengaruh Komposisi Media Terhadap Pertumbuhan Tunas Bulbil Bawang Putih (Allium Sativum L.) Cv. Tawangmangu Baru Dalam Kultur In Vitro

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA TERHADAP
PERTUMBUHAN TUNAS BULBIL BAWANG PUTIH
(Allium sativum L.) CV. TAWANGMANGU BARU DALAM
KULTUR IN VITRO

RANDI

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2015

PERNYATAAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Komposisi
Media terhadap Pertumbuhan Tunas Bulbil Bawang Putih (Allium sativum L.) cv.
Tawangmangu Baru dalam Kultur In Vitro adalah benar karya saya dengan arahan
dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta karya tulis saya kepada Insitut
Pertanian Bogor.

Bogor, April 2015

Randi
NIM :A24100014

ABSTRAK
RANDI. Pengaruh Komposisi Media terhadap Pertumbuhan Tunas Bulbil
Bawang Putih (Allium sativum L.) cv. Tawangmangu Baru dalam Kultur In Vitro.
Dibimbing oleh DINY DINARTI.
Perbanyakan bawang putih secara in vitro umumnya menggunakan
eksplan tunas adventif dari siung umbi bibit. Persentase kontaminasi yang tinggi
merupakan masalah apabila menggunakan bahan tanam yang berasal dari
lapangan.
Bulbil merupakan salah satu alternatif
bahan tanam dalam
perbanyakan mikro bawang putih. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mempelajari pengaruh komposisi media terhadap pertumbuhan tunas mikro

bawang putih cv. Tawangmangu Baru yang berasal dari bulbil. Rancangan
percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan satu
faktor yakni komposisi media. Terdapat empat taraf komposisi media yaitu MSI
(Media MS + vitamin MS + 2.0 ppm 2iP + 0.5 ppm NAA), MSB (Media MS +
vitamin MS + 2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA), MBI (Media MS (Hara makro +
mikro) + vitamin B5 + 2.0 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA), MBB (Media MS (Hara
makro + mikro) + vitamin B5 + 2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA) yang masingmasing diulang 5 kali sehingga terdapat 20 satuan percobaan. Setiap satuan
percobaan terdiri dari 3 botol kultur yang masing-masing ditanam 1 tunas mikro
yang berasal dari bulbil. Data diuji lanjut dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil)
pada taraf α = 5%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tunas bulbil dapat
tumbuh dan berkembang pada semua media perlakuan. Komposisi media nyata
meningkatkan rata-rata jumlah daun pada 8 MSP. Komposisi media MS +
vitamin MS + 2.0 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA menghasilkan jumlah daun tertinggi
sebanyak 1.63 helai dan membentuk bulblet mikro sebanyak 33%. Komposisi
media tidak menunjukkan hasil yang nyata terhadap peubah jumlah tunas dan
akar.
Kata kunci: 2ip, BAP, Bulbil, Bulblet, Media B5

ABSTRACT
RANDI. The Effect of Media Composition to growth of Bulbil Shoot of Garlic

(Allium sativum L) Cv. Tawangmangu Baru in In Vitro Culture. Supervised by
DINY DINARTI
Garlic in vitro propagation generally using explant from clove adventious
shoot. High contamintanion was the main problem from explant that located
inside the soil.
Bulbil became alternative as an explant for garlic
micropropagation. The purposed of this research was to learn the influence of
media composition to growth micro shoot bulbil of garlic Cv. Tawangmangu
Baru. The experiment was arranged in a randomized complete block design with
one factor and five repetition. The media composition consist of MSI (MS media
+ MS vitamin + 2.0 ppm 2iP + 0.5 ppm NAA), MSB (MS media + MS vitamin +
2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA), MBI (MS media (Macro nutrient + micro

nutrient) + B5 vitamin + 2.0 ppm 2iP + 0.5 ppm NAA), MBB (MS media (Macro
nutrient + micro nutrient) + vitamin B5 + 2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA). Each
media were repeated five times so there were 20 experimental unit. One
experimental unit consisted of three shoot bulbil explant. Data obtained were
analyzed by F-test, followed by LSD (Least Significant Different) at 5%
significant level. The result showed that bulbil shoot could grow and developed in
all treatment. Media composition significantly different to increase total average

leaf in 8 week after treatment. MS Media + vitamin MS + 2.0 ppm 2iP + 0.5 ppm
NAA delivered the higest total average leaf namely 1.63 after 8 and formed
bulblet 33 %. Media composition did not give significant affect in total average
shoot and root.
Keywords: 2ip, BAP, Bulbil, Bulblet, B5 medium

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA TERHADAP
PERTUMBUHAN TUNAS BULBIL BAWANG PUTIH
(Allium sativum L.) CV. TAWANGMANGU BARU dalam
KULTUR IN VITRO

RANDI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Departemen Agronomi dan Hortikultura

DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Judul penelitian ini adalah
Pengaruh Komposisi Media terhadap Pertumbuhan Tunas Bulbil Bawang Putih
(Allium sativum L.) cv. Tawangmangu Baru dalam Kultur In Vitro. Penelitian ini
merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada
Departeman Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB.
Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ma’e, pa’e serta seluruh
keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya selama penulis menempuh
pendidikan dan menyelesaikan studi. Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr Ir
Diny Dinarti, MSi sebagai pembimbing atas segala pengarahan, bimbingan, dalam
perencanaan, pelaksanaan, penulisan skripsi hingga pendanaan penelitian.
Disamping itu, penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Ibu Siti Kholifah
dari Laboratorium Kultur Jaringan 3 dan juga rekan-rekan mahasiswa S1 dan S2
yang sedang melaksanakan penelitian di laboratorium tersebut yang telah banyak
membantu dan memberikan informasi selama pelaksanaan penelitian ini.
Terimaksih juga penulis sampaikan kepada teman-teman di Departeman

Agronomi dan Hortikultura 47 (Edelweiss 47), sahabat lorong asrama C3 TPB
kamar 253, Keluarga PPSDMS Bogor angkatan 6, sahabat PSDM BEM Faperta
Kabinet Unity, Super tim Isra, Adi, Grace, Fika, Paijo, Dirga, Gisha, Wiwi, dan
Risma.
Semoga hasil penelitian ini dapat menjadi tambahan informasi dalam
pengembangan bawang putih selanjutnya.

Bogor, April 2015

Randi

DAFTAR ISI
DAFTAR ISI

i

DAFTAR TABEL

ii


DAFTAR GAMBAR

ii

DAFTAR LAMPIRAN

ii

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

2


Hipotesis

2

TINJAUAN PUSTAKA

2

Bawang Putih (Allium sativum L.)

2

Morfologi dan Ekologi Bawang Putih

3

Kultur Jaringan Tanaman

5


Eksplan

5

Media Kultur Jaringan

5

Zat Pengatur Tumbuh

6

Kultur In Vitro Bawang Putih

7

METODE

8


Tempat dan Waktu Pelaksanaan

8

Bahan dan Alat

8

Pelaksanaan

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

10

Keadaan umum

10


Jumlah Tunas

11

Jumlah daun

13

Jumlah akar

15

Umbi Mikro

16

KESIMPULAN DAN SARAN

17

Simpulan

17

Saran

17

DAFTAR PUSTAKA

17

LAMPIRAN

22

RIWAYAT HIDUP

23

DAFTAR TABEL
1. Komposisi media perlakuan
8
2. Rekapitulasi respon peubah yang diamati
11
3. Presentase kultur tunas bulbil bawang putih yang mengalami multiplikasi tunas
pada empat komposisi media selama 8 MSP
12
4. Rata-rata jumlah tunas mikro bawang putih pada empat taraf komposisi media
selama 8 MSP
12
5. Rata-rata jumlah daun hijau dari kultur tunas bulbil bawang putih selama 8
MSP pada empat komposisi media
13
6. Presentase kultur berakar pada kultur tunas bulbil bawang putih selama asdfaj
jds8 MSP
15
7. Rata-rata jumlah akar eksplan pada berbagai komposisi media perlakuan
16
8. Persentase tunas membentuk umbi pada media perlakuan selam 8 MSP
16

DAFTAR GAMBAR
1. Morfologi umbi bawang putih. Irisan melintang umbi bawang putih (a), irisan
membujur siung (b), tunas adventif (c) batang semu (1) pelepah yang
mengering (2) daun pelindung siung (3) Siung (4) Lubang berisi tunas vegetatif
(5) tunas vegetatif (6) eksplan tunas adventif ± 0.5 cm (7) (Sengin 1992)
3
2. Bunga bawang putih. (a) Bunga terinduksi di wilayah subtropis (b)Bulbil
terdapat pada bunga di wilayah subtropis (Simon et al. 2003) (c) (d) bulbil di
dalam batang di wilayah tropis
4
3. Ukuran bulbil yang digunakan
9
4. Tunas Bulbil. (a) Tunas Bulbil setelah diisolasi (b) Kultur tunas bulbil setelah
2 MSP
10
5. Rataan jumlah daun senesens pada kultur tunas bulbil bawang putih bawang
putih selama 8 MSP
14
6. Tunas Bulbil yang mengalami senesens
14
7. Bulblet in vitro (a) penampang melintang dari eksplan berasal dari bawang
putih tunggal (b) penampang melintang dari eksplan berasal dari bulbil
(1)Tunas adventif (2) Siung
16

DAFTAR LAMPIRAN
1. Komposisi Medium Murashige dan Skoog (MS) (1962) dan Medium B5
Gamborg OL, Millers RA dan Ojima K (1968)

22

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan salah satu sayuran penting
dunia dan termasuk dalam genus Allium, famili Liliaceae. Produktivitas bawang
putih di Indonesia hanya 6.3 ton/ha. Produksi bawang putih pada tahun 2013
mencapai 15 766 ton dengan luas panen 2 479 Ha (BPS 2013). Nilai tersebut
tergolong rendah jika dibandingkan dengan China yang mampu menghasilkan
18.56 juta ton bawang putih (FAO 2010). Produksi bawang putih Indonesia saat
ini masih belum mencukupi kebutuhan per kapita dalam negeri yang mencapai
1.351 kg, sehingga pemerintah harus melakukan impor.
Manfaat utama bawang putih adalah sebagai bumbu penyedap masakan
yang membuat masakan menjadi beraroma dan mengandung selera. Uji coba
secara eksperimental diketahui bahwa bawang putih dapat menurunkan kolesterol
(Steveinson et al. 2000), mencegah penggumpalan darah (Block 1985), mencegah
kanker usus besar, antimikroba (Tattelman 2005), dan anti hipertensi (Ried et al.
2010).
Terdapat beberapa faktor penyebab rendahnya produksi bawang putih di
Indonesia. Pertama, rendahnya luas lahan produksi bawang putih hanya 2 479
hektar (BPS 2013). Kedua, 7 % sampai 11 % umbi hasil produksi digunakan
kembali sebagai bibit. Bawang putih umumnya diperbanyak secara vegetatif
karena sebagian besar kultivar bawang putih tidak mampu menghasilkan biji
(Metwally et al. 2012). Kebutuhan umbi bawang putih setiap hektar berkisar 500
sampai 700 kg. Perbanyakan secara vegetatif ini memungkinkan terjadinya
transfer virus dan patogen ke generasi selanjutnya yang akan berpengaruh
terhadap penurunan produksi (Bhojwani et al. 1982; Conci dan Nome 1991).
Ketiga, masa dormansi bawang putih yang memakan waktu 6 bulan sejak
dipanen. Dormansi pada umbi bawang putih akan menghambat kelancaran proses
produksi serta budidaya yang hanya dapat dilakukan satu kali dalam 1 tahun.
Berdasarkan permasalahan penyediaan bibit, dibutuhkan solusi dalam
menyediakan bibit sehat dalam waktu yang cepat. Salah satu solusinya yaitu
dengan teknik kultur jaringan. Teknik ini sudah dikenal luas dalam
kemampuannya menyediakan sejumlah besar bibit tanaman dalam waktu relatif
cepat, bebas dari patogen atau virus, klonal dan tersedia tanpa dipengaruhi musim
(Zulkarnain 2009).
Eksplan untuk kultur in vitro bawang putih yang digunakan oleh beberapa
peneliti yaitu ujung akar (Shuto et al. 1993), bagian basal (Masuda et al. 1994),
scale tip (Ma et al. 1994; Xue et al. 1991), ujung tunas (Abo El Nil 1977;
Bhojwani et al. 1982; Verbeek et al. 1995), daun umbi (Abo El Nil 1977). Suh
dan Park (1993) mencoba perbanyakan bawang putih menggunakan eksplan tunas
bulbil. Penggunaan eksplan bulbil dalam penelitian tersebut memberikan hasil lain
yaitu menurunnya konsentrasi virus dari tunas mikro yang dihasilkan. Penggunaan
bulbil sebagai eksplan diduga akan memudahkan proses sterilisasi disebabkan
bahan tanaman tersebut berada di bagian tajuk tanaman dan tidak terjadi kontak
dengan tanah sebagai salah satu sumber kontaminan.
Perbanyakan bawang putih secara in vitro dapat dilakukan dengan
menginduksi tunas adventif. Tunas dapat dihasilkan secara langsung atau tidak
langsung dengan melalui fase kalus terlebih dahulu. Para peneliti umumnya

2

menghindari fase kalus dengan alasan bahwa selama proses regenerasi kalus dapat
terjadi variasi somaklonal.
Wiendi et al. (1996) menggunakan kombinasi ZPT 2.4-D dan kinetin
sebagai media terbaik untuk induksi tunas adventif bawang putih secara langsung.
Barandariaran et al. (1999) dan Haque et al. (1997) mendapatkan media terbaik
untuk induksi tunas mikro bawang putih dengan penambahan NAA dan BAP. Suh
dan Park (1993) mendapatkan tunas bawang putih kultivar Eusiong dan Nando
asal bulbil tertinggi pada media MS dengan tambahan 2.0 ppm BAP dan 2.0 ppm
NAA. Roksana et al. (2002) mendapatkan media terbaik induksi tunas bawang
putih dengan kombinasi ZPT 0.5 ppm 2iP + 0.25 ppm NAA.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari respon tunas bulbil bawang putih
cv. Tawangmangu Baru pada media dengan kombinasi jenis vitamin dan sitokinin
secara in vitro.
Hipotesis
Terdapat satu komposisi media yang sesuai untuk induksi dan
pertumbuhan tunas adventif asal bulbil bawang putih cv. Tawangmangu Baru.

TINJAUAN PUSTAKA
Bawang Putih (Allium sativum L.)
Tanaman bawang putih (Allium sativum L.) termasuk famili Liliaceae dan
merupakan tanaman monokotil (Becker dan van den Brink 1963). Kultivar
bawang putih pada umumnya diploid dengan jumlah kromoson 2n=2x=16.
Tanaman ini merupakan herba perenial yang membentuk umbi lapis (Van Wyk et
al. 1997).
Bawang putih telah digunakan dan dibudidayakan sejak 600 tahun sebelum
masehi di India dan Mesir (Rubatzki dan Yamaguchi 1997). Pusat keragaman
bawang putih berada di Asia Tengah dan menyebar ke seluruh Asia, China, India
dan akhirnya ke seluruh dunia (Kamenetsky 2003). Bawang putih masuk ke
Indonesia dibawa oleh para pedagang Cina dan Arab, kemudian dibudidayakan.
Perannya sebagai bumbu penyedap masakan sampai sekarang belum
tergantikan oleh penyedap masakan sintesis yang dikemas sedemikian menariknya
(Syamsiah dan Tajudin 2003). Bawang putih mempunyai aroma yang kuat, karena
itu sebagai bumbu masak penggunaannya relatif sedikit, tetapi masakan tanpa
bawang putih akan terasa kurang sedap. Aroma ini disebabkan karena senyawa
alisin. Pada umbi bawang putih terdapat asam amino yang tidak berwarna, tidak
berbau, dan larut dalam air, dan dikenal sebagai alin. Bila terjadi pelukaan pada
selnya, enzim alinase akan menyebabkan terpecahnya alin menjadi senyawa yang
mengandung sulfur, yaitu alisin (Palungkun dan Asiani 2001).

3

Alisin pada bawang putih berperan sebagai antibakteri dan cendawan
sehingga bayak digunakan sebagai obat dan pestisida. Bawang putih juga
digunakan sebagai obat untuk menurunkan tekanan darah tinggi, kembung,
infeksi, gatal-gatal pada permukaan kulit, serta sebagai penawar racun serangga
berbisa (Jones dan Mann 1983)
Morfologi dan Ekologi Bawang Putih
Bawang putih adalah herba perenial berumpun yang memiliki tinggi 30-75
cm. Batang yang tampak di atas permukaan tanah adalah batang semu yang terdiri
dari pelepah-pelepah daun. Daunnya berbentuk pita (pipih memanjang), tepi rata,
ujungnya runcing, beralur, panjangnya 60 cm dan lebar 1.5 cm. Batang yang
sebenarnya berada dalam tanah. Akar tumbuh dari pangkal batang berbentuk
serabut kecil yang banyak dengan panjang kurang dari 10 cm. Akar yang tumbuh
pada batang pokok bersifat rudimenter, berfungsi sebagai alat absorbsi unsur hara
(Santoso 2000).
Bawang putih membentuk umbi lapis berwarna putih. Satu umbi terdiri
dari 8-20 siung (anak bawang). Antara siung satu dengan yang lainnya dipisahkan
oleh kulit tipis dan liat serta membentuk satu kesatuan yang kuat dan rapat. Dalam
siung terdapat tunas adventif yang dapat tumbuh menerobos pucuk siung mejadi
tunas baru, serta daging pembungkus tunas adventif yang berfungsi sebagai
pelindung sekaligus gudang persediaan makanan. Bagian dasar umbi pada
hakikatnya adalah batang pokok yang mengalami rudimentasi (Santoso 2000).

Gambar 1. Morfologi umbi bawang putih. Irisan melintang umbi bawang putih
(a), irisan membujur siung (b), tunas adventif (c) batang semu (1)
pelepah yang mengering (2) daun pelindung siung (3) Siung (4)
Lubang berisi tunas vegetatif (5) tunas vegetatif (6) eksplan tunas
adventif ± 0.5 cm (7) (Sengin 1992)
Bunga bawang putih merupakan infloresen yang memiliki warna dari putih
hingga merah jambu ke ungu. Inisiasi bunga ini hanya terbentuk di negara 4
musim (Gambar 2 a dan b). Pengaruh suhu menjadi faktor utama terbentuknya
bunga pada tanaman bawang putih. Pada kebanyakan klon bawang putih, tangkai
bunga tidak keluar karena gagal pada waktu masih berupa tunas bunga. Tangkai
bunga yang tidak memanjang menyebabkan bunga terbentuk di dalam batang
semu sehingga terbentuk seperti benjolan (Gambar 2 c dan d). Benjolan ini
merupakan bulbil atau umbi udara yang merupakan gagalnya pembentukan bunga
disebabkan karena faktor suhu (Kamanetsky dan Rabinowitch 2006).

4

a

b

c

d

Gambar 2. Bunga bawang putih. (a) Bunga terinduksi di wilayah subtropis
(b)Bulbil terdapat pada bunga di wilayah subtropis (Simon et al.
2003) (c) (d) bulbil di dalam batang di wilayah tropis
Bawang putih diperbanyak secara vegetatif karena bunga bawang putih
steril (Metwally et al. 2012). Bunga yang steril membuat perbaikan karakter
bawang putih melalui teknik pemuliaan konvensional tidak memungkinkan
(Nagasawa dan Finer 1988; Barandiaran et al. 1999). Perbayakan secara vegetatif
menyebabkan penyakit degeneratif yang akan berpengaruh terhadap kualitas dan
kuantitas umbi yang dihasilkan (Bhojwani et al. 1982). Banyak kultivar bawang
putih yang membawa berbagai penyakit yang disebabkan oleh virus, nematoda,
bakteri dan cendawan (Davies 1994, Verbeek et al. 1995). Penelitian Perez
(2014) mendeteksi presentase infeksi virus pada bawang putih yakni 50.9 %
garlic common latent virus (GCLV). Rendahnya tingkat perbanyakan dan
akumulasi virus yang dibawa menyebabkan dikembangkannya beberapa protokol
dalam perbanyakan bawang putih secara in vitro untuk menjadi solusi
meningkatkan perbanyakan dan memproduksi benih bawang putih yang bebas
dari virus (Haque et al. 1997; Myers dan Simon 1998; Kim et al. 2003; Luciani et
al. 2006).
Bawang putih umumnya tumbuh di dataran tinggi seperti kultivar Lumbu
Hijau, Tawangmangu, Lumbu Kuning, Gombloh dan Tes. Beberapa kultivar
bawang putih di Indonesia seperti Lumbu putih, Jati Barang, Bagor, Sanur,
Sumbawa, Layur dan Obleg mampu tumbuh di dataran rendah. Khusus untuk
lahan di dataran rendah, kultivar Lumbu Putih paling banyak disukai oleh petani
karena adaptif terhadap iklim (Palungkun dan Asiani 2001). Produksi bawang
putih per satuan luas di dataran tinggi lebih besar dari pada di dataran rendah.
Bawang Putih akan tumbuh dan menghasilkan umbi pada kondisi iklim
dengan suhu 15-26 oC (Hilman et al. 1997) dan kelembaban relatif 60-80%
(Rukmana 2009) Waktu yang paling tepat untuk penanaman bawang putih adalah
bulan Mei sampai Juli. Tanaman bawang putih kurang baik ditanam pada musim
penghujan karena kondisi tanah yang terlalu basah, akan mempersulit
pembentukan siung (Palungkun dan Asiani 2001).
Tanaman bawang putih dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah. Pada tanah
yang ringan, gembur (bertekstur pasir atau lempung) dan porous dapat

5

menghasilkan umbi bawang putih yang lebih baik dari pada tanah yang berat
seperti liat atau lempung. Kondisi tanah yang porous menstimulir perkembangan
akar sehingga serapan unsur hara akan berjalan baik. Derajat kemasaman tanah
(pH) yang paling disukai adalah 6.5-7.5, sedangkan apabila pH>6.5 maka tanah
harus dikapur. Hasil percobaan pada tanah Latosol merah kuning Subang
(tergolong lahan marginal dengan pH= 4.8), kebutuhan kapur untuk mencapai
pH=9.6 ton/ha dapat meningkatkan hasil umbi bawang putih (Suwandi 1990).
Kultur Jaringan Tanaman
Eksplan
Eksplan adalah bagian dari tanaman yang dipergunakan sebagai bahan
untuk inisiasi suatu kultur. Pada prinsipnya semua bagian tanaman dapat
digunakan sebagai sumber eksplan, tetapi sebaiknya dipilih bagian-bagian yang
belum mengalami perubahan bentuk dan diferensiasi fungsi (Santoso dan
Nursandi 2001). Menurut Hussey (1978) penggunaan eksplan dari jaringan muda
akan memiliki tingkat keberhasilkan yang lebih baik dibandingkan jaringan yang
tua.
Eksplan berukuran besar akan membelah dan tumbuh lebih cepat daripada
eksplan yang kecil, tetapi kemungkinan mengandung virus akan lebih besar
(Murashige 1973), sebaliknya eksplan yang berukuran kecil tingkat
pertumbuhannya lebih rendah. Menurut Murashige (1974) hal-hal yang perlu
dipertimbangkan dalam menentukan eksplan yang cocok adalah sumber eksplan,
fase perkembangan eksplan, umur eksplan dan perlakuan terhadap eksplan
sebelum dikulturkan.
Eksplan memegang peranan penting dalam perbanyakan bawang putih
dengan teknik kultur jaringan. Eksplan dari bagian basal siung (cakram) memiliki
tingkat kerberhasilan yang tertinggi.Tunas yang langsung terbentuk dari bagian
basal ini tidak mengalami perubahan ploidi maupun genetik (Dunstan & Short
1977).
Media Kultur Jaringan
Media kultur jaringan tersusun dari berbagai hara makro dan mikro,
vitamin, gula, asam amino, N-organik, zat pengatur tumbuh, buffer organik,
senyawa alami kompleks, dan arang aktif (Gunawan 1987). Unsur-unsur makro
yang dibutuhkan tanaman adalah N, P, K, Ca, Mg dan S. Sel tanaman juga
membutuhkan unsur-unsur mikro seperti Fe, Mn, Zn, B, Mo, dan Co (Dodds dan
Roberts 1985).
Media dasar MS banyak digunakan untuk kultur media padat maupun
kultur sel suspensi. Media MS merupakan media
yang paling luas
penggunaannya terutama pada mikropropagasi tanaman dikotil dengan hasil yang
memuaskan (Taji et al. 1995). Keistimewaan media dasar MS adalah kandungan
nitrat, kalium dan amoniumnya yang tinggi. Selain media dasar MS, media dasar
B5 (Gamborg) telah berhasil digunakan pada berbagai macam tanaman, media
dasar B5 kandungan hara organiknya lebih rendah dari pada media MS. Selain
media dasar MS juga telah diketahui media dasar lainnya seperti untuk tanaman
berkayu menggunakan media DKW (Driver dan Kuniyuki), Vacint dan Went
untuk anggrek dan media dasar N6 untuk tanaman padi. Manipulasi formulasi

6

media dasar dan zat pengatur tumbuh dapat mengoptimalkan aktivitas
pembelahan sel untuk multiplikasi tunas (Lestari 2008).
Vitamin memiliki fungsi katalis dalam sistem enzim tanaman dan
diperlukan dalam jumlah yang kecil. Vitamin yang terdapat pada media MS terdiri
atas glisin (2.0 mg L-1), niasin (0.5 mg L-1), piridoksin-HCl (0.5 mg L-1), dan
Tiamin-HCl (0.1 mg L-1) (Murashige dan Skoog 1962). Vitamin yang terdapat
pada media B5 terdiri atas niasin (1.0 g L-1), piridoksin-HCl (1.0 mg L-1), dan
tiamin-HCl (10.0 g L-1) (Gamborg et al. 1968). Secara komposisi vitamin B5 dan
MS memiliki kesamaan, yang membedakannya adalah konsentrasi vitamin B5
lebih tinggi dibandingkan dengan vitamin MS.
Pemberian niasin (asam nikotinant) dan piridoksin (vitamin B6) dapat
meningkatkan pertumbuhan kultur (Gamborg et al.1976). Tiamin diberikan pada
medium kultur dalam bentuk tiamin-HCl dengan takaran berkisar 0.1-30.0 mg L-1.
Perlunya kehadiran tiamin pada kultur in vitro terutama pada kondisi kandungan
sitokinin yang rendah dalam medium. Eriksson (1965), menemukan bahwa niasin
dan priridoksin diperlukan pada kultur jaringan Haplopappus gracilis. Asam
amino glisin yang terdapat pada media MS berfungsi sebagai sumber nitrogen.
Penelitian Dinarti (2012) menggunakan kombinasi media dasar MS +
vitamin B5 + 90 g L-1 sukrosa sebagai media terbaik terbaik inisiasi umbi lapis
mikro bawang merah. Pada kultur bawang merah yang dilakukan Karjadi dan
Buchory (2007) menghasilkan persentase daun normal pada kultur bawang merah
terbesar terdapat pada media B5 tanpa pikloram dan BAP, media MS + BAP
tanpa pikloram. Pertumbuhan akar plantlet lebih baik yang dikulturkan pada
media MS tanpa BAP atau dengan penambahan BAP dengan konsentrasi rendah.
Media B5 menurut Fereol et al. (2002) cocok untuk penumbuhan kalus dari
eksplan Allium sp. Kombinasi yang tepat antara auksin, sitokinin, dan media B5
akan menghasilkan kalus yang banyak dan besar.
Zat Pengatur Tumbuh
Zat pengatur tumbuh tanaman didefinisikan sebagai senyawa organik bukan
nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6-10-5 mM) yang disintesa pada bagian
tertentu tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat
tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimiawi, fisiologis dan morfologis
(Wattimena 1988). Zat pengatur tumbuh yang penting dan banyak digunakan
dalam kultur jaringan adalah auksin dan sitokinin. Kedua jenis zat pengatur
tumbuh tersebut mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel,
jaringan, dan atau kultur organ. Perimbangan konsentrasi dan interaksi antara ZPT
yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen akan
menentukan arah perkembangan suatu kultur (George dan Sherrington 1984;
Lestari 2008).
Auksin berperan dalam merangsang pembelahan, pembesaran, pemanjangan
dan pertumbuhan sel. Auksin yang terdapat pada pucuk tanaman dapat
menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru. Auksin juga menyebabkan
terjadinya pertumbuhan kalus. Auksin terbagi dalam dua kategori yaitu auksin
endogen dan auksin eksogen (sintetik). IAA merupakan auksin yang disintesis
secara alami di dalam tubuh tanaman, namun senyawa ini mudah mengalami
degradasi akibat pengaruh cahaya dan oksidasi enzimatik. IAA biasa diberikan
pada konsentrasi yang relatif tinggi 1-30 mg L-1. NAA yang merupakan auksin
sintetik, tidak mengalami oksidasi enzimatik seperti halnya IAA. NAA dapat

7

dapat diberika pada medium kultur pada konsentrasi yang lebih rendah, berkisar
0.1-0.2 mg/L. NAA memiliki berat 186.21 dengan rumus molekul C12H10O2
(Santoso dan Nursandi 2001). Pemberian 2,4 D pada konsentrasi 10-7-10-5 M
tanpa sitokinin sangat efektif untuk induksi proliferasi kalus pada kebanyakan
kultur (Dodds dan Roberts 1985). Menurut Gamborg et al. (1976) senyawa
tersebut dapat menekan organogenesis dan sebaiknya tidak digunakan pada kultur
yang melibatkan inisiasi pucuk dan akar. Sementara itu, Pierik (1997)
menganjurkan untuk membatasi penggunaan 2,4-D pada kultur in vitro karena
2,4-D dapat meningkatkan peluang terjadinya mutasi genetik.
Zat pengatur tumbuh lainnya yang penting dalam kultur jaringan adalah
sitokinin yang merupakan turunan adenin. Menurut Murashige (1974) jenis
sitokinin yang umum digunakan untuk menginduksi tunas dan kultur jaringan
adalah BAP, Kinetin, Zeatin, dan 2 ip. Sitokinin yang paling efektif diantara
keempat jenis tersebut adalah zeatin, namun zeatin adalah jenis sitokin yang
termahal harganya. Jenis sitokinin yang lainnya yang memiliki efektifitas yang
tinggi adalah 2iP. BAP dan Kinetin memiliki efektifitas yang hampir sama. BAP
memiliki resistensi terhadap oksidasi yang lebih baik dibandingkan 2iP maupun
Kinetin. BAP adalah jenis sitokinin yang relatif tahan degradasi (Wattimena
1988). BAP memiliki berat molekul sebesar 225.26 g/mol dengan rumus
C12H11N5 sedangkan 2iP memiliki berat molekul 203.25g/mol (Santoso dan
Nursandi 2001).
Kultur In Vitro Bawang Putih
Teknik perbanyakan in vitro pada bawang dapat diaplikasikan untuk
berbagai tujuan, antara lain untuk perbanyakan tanaman secara mikro,
mendapatkan tanaman bebas virus, dan perbaikan klon melalui metode mutasi
maupun transformsi genetik (Conci & Nome 1991, Sawahel 2002, Walkey et al.
1987). Eksplan bawang putih yang digunakan berupa tunas adventif (Wiendi et al.
1996,Haque et al. 1997), ujung akar (Haque et al. 1997, Myers & Simon 1999,
Fereol et al. 2002), cakram batang, organ bunga, basal plate (Luciani et al. 2006)
daun muda (Nagasawa & finer 1988) dan kultur maristem (Haque et al. 2003).
serta Tunas bulbil (Suh dan Park 1993).
Pembentukan tunas secara langsung tergantung dari eksplan digunakan.
Laju perkembangan tunas adventif dapat didorong dengan mengatur kondisi
kultur. Wiendi et al. (1996) menggunakan media BDS (Dunstan dan Short 1977)
dan kombinasi ZPT 0.4 ppm 2,4-D dan 2 ppm kinetin serta air kelapa dengan
konsentrasi 10% yang terbaik untuk induksi tunas adventif secara langsung dan
tidak langsung. Barandariaran et al. (1999) menggunakan media B5 (Gamborg et
al. 1968) dan Haque et al. (1997) menggunakan media MS sebagai media terbaik
untuk induksi tunas dengan kombinasi NAA dan BAP. Suh dan Park (1993)
mencoba menggunakan bulbil yang di kulturkan di media MS dengan tambahan
ZPT NAA dan BAP. Inisiasi tunas tertinggi dihasilkan pada media dengan
tambahan 2.0 ppm BAP dan 2.0 ppm NAA.
Penelitian yang dilakukan oleh Haque et al. (1997) menghasilkan tunas
regeneran bawang putih dapat membentuk umbi mikro dengan penambahan gula
30-120 g L-1, atau pada media dengan konsentrasi BAP rendah. Sukrosa yang
tinggi menstimulasi terbentuknya organ penyimpanan (Dantu dan Bhojwani
1987). Pembentukan umbi mikro pada keluarga allium juga telah berhasil

8

dilakukan dengan peningkatan konsentrasi sukrosa dengan dikombinasikan
dengan etephon dan BA (Keller 1993).

METODE
Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen
Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus sampai Desember 2014.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah bulbil bawang putih cv. Tawangmangu
Baru, hara makro dan mikro media MS, vitamin MS dan B5, sukrosa, BAP, 2ip,
NAA, agar-agar, aquadestilata, desinfektan, alkohol 96%, agrimisin dan,
mancozeb 80. Alat yang digunakan terdiri dari peralatan gelas (botol kultur, gelas
ukur, gelas piala, cawan petri, corong gelas, botol ukur), kompor, autoklaf,
laminar air flow cabinet, peralatan diseksi (pinset, gunting, dan scalpel), kertas
pH, lampu spirtus, botol sprayer, rak kultur, dan plastik wrap.
Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap
(RAL) satu faktor yaitu komposisi media (Tabel 1). Setiap perlakuan diulang lima
kali sehingga terdapat 20 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari
tiga botol yang ditanam satu tunas bulbil per botol. Seluruhnya terdapat 60 botol
satuan amatan.
Tabel 1.Komposisi media perlakuan
Media
perlakuan Media dasar Jenis Vitamin
MSI
Media MS
Vitamin MS
MSB
Media MS
Vitamin B5
MBI
Media MS
Vitamin MS
MBB
Media MS
Vitamin B5

Jenis Sitokinin
2.00 ppm 2iP
2.25 ppm BAP
2.00 ppm 2iP
2.25 ppm BAP

Auksin
0.5 ppm NAA
0.5 ppm NAA
0.5 ppm NAA
0.5 ppm NAA

Model rancangan yang digunakan dalam penelitian adalah :
Yi = µ +αi + εi
Keterangan :
Yijk = Respon pengamatan pada perlakuan komposisi media ke-i
µ
= Rataan umum
αi
= Pengaruh perlakuan kombinasi media ke-i
εi
= Pengaruh galat perlakuan kombinasi media ke-i
Data pengamatan yang diperoleh, selanjutnya dianalisa dengan uji F pada
taraf kepercayaan 95% (α=5%). Jika terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji
lanjut dengan BNT (Beda Nyata Terkecil). Pengolahan data dilakukan dengan
program Statistical Analysis System (SAS).
Pengamatan dilakukan setiap seminggu sekali yang dimulai sejak
dikulturkan ke dalam media perlakuan, selama 8 minggu. Pengamatan yang

9

dilakukan tanpa mengeluarkan eksplan dari botol. Pengamatan dilakukan terhadap
beberapa peubah yaitu persentase kontaminasi, jumlah tunas, jumlah daun, jumlah
akar, dan persentase kultur berumbi.
Pelaksanaan
Media MS dan B5 dibuat dari larutan stok yang telah tersedia, kemudian
ditambahkan aquades hingga mencapai 1 Liter. Setiap jenis media ditambahkan
zat pengatur tumbuh sesuai perlakuan yaitu 2.0 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA dan
2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA. Media diatur derajat kemasamannya hingga
mencapai derajat kemasaman (pH) 5.7. Kemasaman larurtan (pH) media diatur
dengan menambahkan KOH 1 N atau HCl 1 N sehingga mencapai pH 5.8. Media
yang telah diatur pH-nya ditambahkan agar-agar sebanyak 7 g L-1 dimasak hingga
larut. Media dituangkan ke dalam botol-botol kultur steril yang telah dipersiapkan
masing-masing 10 ml untuk setiap botolnya. Botol segera ditutup rapat dengan
menggunakan plastik dan diikat dengan karet gelang lalu disterilkan dengan
autoclave pada suhu 121oC dengan tekanan 17.5 Psi selama 20 menit. Botol-botol
media yang telah disterilkan kemudian disimpan dalam ruang kultur media.
Eksplan bulbil yang diambil dari lapang dimasukkan ke dalam lemari
pendingin selama dua bulan untuk memecah dormansi dari bulbil. Ukuran bulbil
yang digunakan beragam dengan panjang antara 3-15 mm dan diameter antara
diameter 2-10 mm. (Gambar 3)

Gambar 3. Ukuran bulbil yang digunakan
Metode sterilisasi diawali dengan mengupas dan membuang lapisan terluar
bulbil. Bahan tanam selanjutnya dicuci bersih dengan sabun dan air mengalir,
kemudian direndam dalam larutan sterilan yang mengandung mancozeb 80 dan
streptomycin 17 berturut-turut 1.6 g L-1 dan 0.3 g L-1 selama 24 jam. Bulbil
kemudian dibilas dengan aquadestilata. Pengerjaan selanjutnya dilakukan di
Laminar Air Flow Cabinet. Bulbil direndam dengan NaOCl 1.05% selama 30
menit kemudian dibilas dengan aquadestilata.
Tahap selanjutnya yaitu isolasi tunas adventif bulbil. Tunas adventif
direndam dalam larutan NaOCl 0.52% selama 10 menit. Tunas adventif dibilas
dan direndam dalam larutan NaOCl 0.26% selama 5 menit. Tahap terakhir Tunas
adventif dikulturkan pada media MS0 dan kultur diinkubasi di ruang kultur
dengan rentang suhu 21-25 oC, intensitas cahaya 600-1000 lux selama 24 jam dan
kelembaban relatif ruangan 70% selama tiga minggu setelah tanam (MST).

10

Tunas adventif disubkultur ke media perlakuan pada 3 MST. Kriteria
eksplan yang disubkultur memiliki minimal satu daun yang telah membuka
penuh, tidak mengalami vitrivikasi dan browning/pencoklatan.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan umum
Sterilisasi merupakan tahap terpenting dalam menghasilkan eksplan yang
steril. Sterilisasi dilakukan untuk mengurangi terjadinya kontaminasi. Menurut
Moeso (1977) gagal tidaknya kultur jaringan terutama terletak pada kemampuan
menjaga eksplan tetap steril. Metode sterilisasi yang dilakukan telah sesuai yang
ditunjukkan dengan persentase kontaminasi yang sangat rendah. Eksplan yang
ditanam pada media MS 0 100% steril (Gambar 4 a dan b).

a

b

Gambar 4. Tunas Bulbil. (a) Tunas Bulbil setelah diisolasi (b) Kultur tunas bulbil
setelah 2 MSP
Metode yang sama dilakukan dalam sterilisasi bawang putih tunggal,
didapatkan hasil eksplan steril sebesar 20 %. Berdasarkan hal tersebut eksplan
yang berasal dari dalam tanah memiliki potensi kontaminasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan eksplan yang terletak jauh dari tanah. George dan
Sherrington (1984) menyatakan bahwa semakin kecil ukuran eksplan, akan
semakin kecil pula kemungkinan terjadinya kontaminasi, baik secara internal
maupun eksternal, namun laju proliferasi akan rendah.
Hasil penelitian pendahuluan ini menunjukkan ukuran bulbil yang cukup
kecil berpotensi untuk dijadikan bahan perbanyakan bawang putih dalam kultur
in vitro. Menurut Gunawan (1987) bahwa setiap bagian tanaman dapat digunakan
sebagai sumber eksplan, tetapi sebaiknya dipilih bagian yang belum banyak
mengalami perubahan bentuk dan diferensiasi fungsi. Menurut Hussey (1978)
penggunaan eksplan dari jaringan muda akan memiliki tingkat keberhasilan yang
lebih baik dibandingkan jaringan tua. Eksplan yang ukurannya lebih besar akan
membelah dan membesar lebih cepat daripada eksplan yang kecil, tetapi
kemungkinan mengandung virus yang lebih besar (Murashige 1973), sedangkan
Hussey (1978) menyatakan bahwa ukuran potongan tunas yang dibutuhkan kultur
cukup kecil saja dan berguna untuk mendapatkan eksplan yang tidak
terkontaminasi.
Eksplan tunas adventif yang steril disubkultur ke media perlakuan. Tingkat
kontaminasi eksplan setelah subkultur termasuk tinggi pada 1 MSP (Minggu

11

Setelah Perlakuan) mencapai 40%. Kontaminasi yang disebabkan oleh cendawan
mula-mula terlihat dipermukaan dan atau di tepi media yang kontak langsung
dengan dinding botol. Kontaminasi yang disebabkan oleh bakteri terjadi langsung
pada eksplan, ditandai dengan munculnya lendir berwarna putih keruh disekeliling
bagian pangkal tunas eksplan. Nisa dan Rodinah (2005) menyatakan bahwa
eksplan yang terinfeksi bakteri, virus, atau cendawan akan menyebabkan
kontaminasi pada tahap pertumbuhan meskipun pada awal penanaman tidak
terlihat. Kontaminasi juga sangat ditentukan oleh sterilitas ruangan dan
kemungkinan munculnya mikroorganisme yang bersifat sistemik. Faktor lain
kontaminasi juga berasal dari keahlian dan kehati-hatian peneliti saat melakukan
kultur di dalam laminar air flow.
Berdasarkan pengamatan selama delapan MSP dan uji F yang dilakukan
komposisi media perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap peningkatan jumlah
tunas dan akar tetapi berpengaruh nyata pada jumlah daun di 8 MSP (Tabel 2).
Tabel 2. Rekapitulasi respon peubah yang diamati
Media
Perlakuan

1

2

MSI
MSB
MBI
MBB

-

tna
tna
tna
tna

MSI
MSB
MBI
MBB

-

tna
tna
tna
tna

MSI
MSB
MBI
MBB

tna
tna
tna
tna

tna
tna
tna
tna

MSI
MSB
MBI
MBB

tna
tna
tna
tna

tna
tna
tna
tna

Minggu Setelah Perlakuan (MSP)
3
4
5
6
Jumlah rataaan tunas
tna
tna
tna
tna
a
a
a
tn
tn
tn
tna
a
a
a
tn
tn
tn
tna
tna
tna
tna
tna
jumlah daun senesens
tna
tna
tna
tna
a
a
a
tn
tn
tn
tna
a
a
a
tn
tn
tn
tna
tna
tna
tna
tna
jumlah rataan daun hijau
tna
tna
tna
tna
a
a
a
tn
tn
tn
tna
tna
tna
tna
tna
a
a
a
tn
tn
tn
tna
jumlah akar
tna
tna
tnb
tnb
a
a
b
tn
tn
tn
tnb
tna
tna
tnb
tnb
a
a
b
tn
tn
tn
tnb

Keterangan :
MSP
: Minggu Setelah Perlakuan
**
tn
:tidak nyata pada taraf kesalahan 5%
a
*
:nyata pada taraf kesalahan 5%
b
MSI
: Vitamin MS + 2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MSB
: Vitamin MS +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA
MBI
: Vitamin B5 +2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MBB
: Vitamin B5 +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA

7

8

tna
tna
tna
tna

tna
tna
tna
tna

tna
tna
tna
tna

tna
tna
tna
tna

tna
tna
tna
tna

*
tna
*
*

tnb
tnb
tnb
tnb

tnb
tnb
tnb
tnb

:nyata pada taraf kesalahan 1%
:transformasi ke √x+0.5
:transformasi ke √x+1

Jumlah Tunas
Beberapa eksplan tunas mengalami multiplikasi mulai 3 MSP pada
semua perlakuan. Persentase kultur yang mengalami multiplikasi sangat sedikit

12

(Tabel 3). Persentase kultur yang mengalami multiplikasi terjadi pada media
dengan penambahan vitamin B5 cenderung lebih baik dibandingkan pada media
dengan vitamin MS. Hal itu diduga disebabkan konsentrasi vitamin dari vitamin
B5 lebih tinggi daripada vitamin MS yang berpengaruh terhadap pembelahan sel
dan pertumbuhan tunas.
Tabel 3. Presentase kultur tunas bulbil bawang putih yang mengalami multiplikasi
tunas pada empat komposisi media selama 8 MSP
% (kultur bertunas/jumlah kultur)
4 MSP
6 MSP
7 MSP
20(3/15)
7.1(1/14)
16.6(2/12)

Media
Perlakuan
MSI

3 MSP
6.6(1/15)

MSB
MBI

13.3(2/15)
15.3(2/13)

13.3(2/15)
27.2(3/11)

9.1(1/11)
28.5(2/7)

9.1(1/11)
28.57(2/7)

9.1(1/11)
28.5(2/7)

MBB

6.6(1/15)

7.6(1/13)

33.3(3/9)

33.3(3/9)

37.5(3/8)

8 MSP
9.1(1/11)

keterangan: hasil tidak berbeda nyata berdasarkan BNT pada taraf α=5%.
MSI
: Vitamin MS + 2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MSB
: Vitamin MS +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA
MBI
: Vitamin B5 +2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MBB
: Vitamin B5 +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA

Komposisi media tidak nyata meningkatkan rata-rata jumlah tunas yang
terbentuk (Tabel 4). Tunas baru terbentuk mulai 3 MSP. Rata-rata jumlah tunas
pada media yang vitaminnya dimodifikasi dengan vitamin B5 baik dengan
penambahan 2ip dan BAP memiliki rata-rata jumlah tunas lebih banyak
dibandingkan perlakuan lainnya.
Tabel 4. Rata-rata jumlah tunas mikro bawang putih pada empat taraf komposisi
media selama 8 MSP
komposisi
media
MSI
MSB
MBI

3 MSP
0.06
0.12
0.12

MBB

0.06

Jumlah tunas per eksplan
4 MSP
6 MSP
7 MSP
0.18
0.12
0.16
0.12
0.1
0.1
0.26
0.36
0.36
0.06

0.4

0.6

8 MSP
0.1
0.1
0.36
0.46

Keterangan: Hasil tidak berbeda nyata berdasarkan BNT pada taraf α=5%.
MSI
: Vitamin MS + 2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MSB
: Vitamin MS +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA
MBI
: Vitamin B5 +2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MBB
: Vitamin B5 +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA

Rata-rata jumlah tunas pada penelitian ini termasuk rendah. Salah satu
kemungkinan penyebabya adalah sitokinin gagal menginduksi pembentukan
tunas, menurut Street (1973) dalam Doods dan Roberts (1985), karena
konsentrasi hormon terlalu kecil, sehingga perlu ditambah untuk menginduksi
tunas lebih banyak. Pendapat tersebut diperkuat George dan Sherington (1984)
yang menyatakan konsentrasi 2iP untuk dapat menginduksi tunas adventif secara
langsung adalah 4,9-49,3 µM atau setara dengan 1.0-10.0 mg L-1 dengan
konsentrasi rata-rata 4.0 mg L-1. Menurut Murashige (1974) pemakaian BAP lebih
baik dibandingkan kinetin dan 2ip, karena BAP memiliki resistensi terhadap

13

oksidasi yang lebih baik. Wattimena (1988) menambahkan bahwa BAP adalah
jenis sitokinin yang relatif tahan degradasi dan harganya murah. Rendahnya
jumlah tunas adventif bawang putih yang terbentuk diduga juga karena
kandungan hormon sitokinin dan auksin yang sangat rendah pada tunas yang
berasal bulbil sehingga penambahan secara eksogen belum mampu meningkatkan
keseimbangan hormon endogen walaupun sudah ditambahkan BAP atau 2ip
sebanyak 10 µM. BAP dan 2ip pada percobaan ini mempunyai efektifitas yang
sama terhadap pembentukan tunas bawang putih dengan eksplan tunas bulbil
Jumlah daun
Daun mengalami pertumbuhan mengikuti siklus pertumbuhan jenis allium
yang tumbuh secara in vivo. Eksplan mengalami pertumbuhan daun sampai
tahap tertentu, kemudian daun akan senesens dan berganti ke proses pengisian
umbi (Rismunandar 1986).
Daun yang diamati adalah daun yang telah membuka penuh. Perlakuan
komposisi media tidak nyata meningkatkan jumlah daun hijau dari 1 MSP hingga
7 MSP akan tetapi pada 8 MSP memberikan hasil berbeda nyata (Tabel 5). Daun
baru, muncul pada 1 MSP dan terus bertambah setiap minggunya sampai 4 MSP
dan mulai 5 MSP tidak terbentuk lagi daun baru. Rata-rata jumlah daun pada
keempat perlakuan terjadi pada 4 MSP antara 1-3 helai dengan rata-rata jumlah
daun terbanyak diperoleh pada perlakuan media dasar MS dengan penambahan 2
ppm 2iP + 0.5 ppm NAA (MSI) dan berbeda nyata dengan media perlakuan MS
dengan penambahan 2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA (MSB) pada 8 MSP.
Tabel 5. Rata-rata jumlah daun hijau dari kultur tunas bulbil bawang putih selama
8 MSP pada empat komposisi media
Komposisi
media
MSI
MSB
MBI
MBB

2 MSP
1.36
1.36
1.36
1.1

3 MSP
1.98
1.1
1.76
1.5

Jumlah daun hijau (helai)
4 MSP
6 MSP
2.3
1.72
1.12
1.68
2.1
1.96
2.04
1.82

keterangan:
*
:Hasil nyata berdasarkan BNT pada taraf α=5%.
MSI
: Vitamin MS + 2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MSB
: Vitamin MS +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA
MBI
: Vitamin B5 +2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MBB
: Vitamin B5 +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA

7 MSP
2.43
1.33
1.93
0.93

8 MSP
1.63*
1.2
0.4
0.3

14

Gambar 5. Rataan jumlah daun senesens pada kultur tunas bulbil bawang putih
bawang putih selama 8 MSP
Daun mengalami perubahan warna menjadi kuning atau senesen mulai 3
MSP pada semua perlakuan. Jumlah daun yang mengalami senesen terus
bertambah sampai 8 MSP. Antar perlakuan tidak nyata memperlambat terjadinya
proses senesens. Media MS + vitamin B5 dan penambahan BAP lebih banyak
mengalami senesens (Gambar 5). Daun yang mengalami senesen dimulai dari
posisi daun terbawah dan daun selanjutnya akan mati (Gambar 6). Senesen terjadi
karena degradasi klorofil (Harjadi 2005) atau tingginya asam absisat (Wattimena
1988) atau diduga kandungan unsur hara dan sukrosa pada media juga semakin
berkurang karena diserap tanaman, sehingga tanaman kekurangan energi yang
mengakibatkan daun berwarna kekuningan terutama bagi eksplan yang tidak
terbentuk akar (Sayekti 2007). Berdasarkan keterangan tersebut sebaiknya
subkultur dilakukan pada 4 MSP.

Gambar 6. Tunas Bulbil yang mengalami senesens
Daun dengan kondisi vitrous ditemukan pada beberapa kultur di semua
perlakuan. Vitrifikasi Menurut Ziv (1991) disebabkan oleh buruknya aerasi dan
tingginya kelembaban relatif pada kultur. Kemungkinan lain penyebab terjadinya

15

vitrifikasi adalah tingginya kadar etilen dalam kultur. Menurut Leopold dan
Kriedmann (1975) produksi etilen dipacu oleh tingginya kandungan auksin dan
stress lingkungan. Eksplan yang mengalami vitrifikasi ditandai dengan
pertumbuhan dan perkembangan yang tidak normal, kandungan air dalam jaringan
tinggi (Yusnita 2003).
Jumlah akar
Pembentukan akar terjadi sejak 2 MSP. Akar yang terbentuk umumnya
tumbuh baik dan terlihat semakin menebal dari 1 MSP hingga 8 MSP. Presentase
kultur yang berakar di semua perlakuan juga tergolong rendah (Tabel 6). Media
dengan penambahan 2 ppm 2ip memiliki persentase kultur berakar lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lain.
Tabel 6. Presentase kultur berakar pada kultur tunas bulbil bawang putih selam 8
MSP
Jenis
media
MSI
MSB
MBI
MBB

3 MSP
13.3(2/15)
6.6(1/15)
30.7(4/13)
26.6(4/15)

% (kultur berakar/jumlah kultur)
5 MSP
6 MSP
7 MSP
42.8(6/14)
42.8(6/14)
50(6/12)
25(3/12)
18.1(2/11)
27.2(3/11)
44.4(4/9)
57.1(4/7)
57.1(4/7)
44.4(4/9)
44.4(4/9)
44.4(4/9)A

8 MSP
54.5(6/11)
36.3(4/11)
57.1(4/7)
50(4/8)

Keterangan: hasil tidak berbeda nyata berdasarkan BNT pada taraf α=5%.
MSI
: Vitamin MS + 2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MSB
: Vitamin MS +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA
MBI
: Vitamin B5 +2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MBB
: Vitamin B5 +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA

Rata-rata jumlah akar per planlet tidak berbeda nyata antar perlakuan
(Tabel 7). Jumlah akar yang terbentuk cukup rendah antara 1-2 akar dan perlakuan
pada media MS dengan penambahan 2ip menunjukkan rata-rata jumlah akar yang
lebih banyak dibanding yang lainnya. Wareing (1981) menyatakan bahwa inisiasi
primordia akar membutuhkan adanya pengaruh kombinasi auksin dan sitokinin.
Diduga bahwa penambahan 0.5 ppm NAA yang dikombinasikan dengan 2.25 ppm
BAP dan 2 ppm 2ip belum mampu mendorong terbentuknya akar. Diduga bahwa
0,5 ppm NAA belum cukup menurunkan rasio sitokinin dengan auksin untuk
mengarahkan eksplan pada pertumbuhan tunas dan akar secara berimbang.
George dan Sherrington (1984) menyatakan untuk pembentukan akar pada stek in
vitro, sitokinin tidak dibutuhkan atau sitokinin dibutuhkan dalam konsentrasi
rendah. Menurut Pierik (1987) konsentrasi sitokinin yang tinggi akan
menghambat inisiasi akar. Penelitian Karjadi dan Buchory (2007) tidak
mendapatkan hasil berbeda nyata pengaruh penambahan 2ip dan BAP terhadap
pertumbuhan planlet jaringan maristem bawang putih. Akan tetapi ZPT 2ip dan
picloram merupakan kombinasi terbaik dalam pertumbuhan tunas bawang putih.

16

Tabel 7. Rata-rata jumlah akar eksplan pada berbagai komposisi media perlakuan
Jumlah akar per eksplan
Jenis
media
2 MSP
3 MSP
5 MSP
6 MSP
7 MSP
8 MSP
MSI
0.12
0.26
1.1
1.1
1.76
1.4
MSB
0.06
0.06
0.26
0.3
0.36
0.43
MBI
0.3
0.4
0.86
0.86
1
1.06
MBB
0
0.36
0.52
0.72
1
1.2
keterangan: hasil tidak berbeda nyata berdasarkan BNT pada taraf α=5%.
MSI
: Vitamin MS + 2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MSB
: Vitamin MS +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA
MBI
: Vitamin B5 +2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MBB
: Vitamin B5 +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA

Umbi Mikro
Beberapa eksplan pada penelitian ini membentuk umbi mikro (bulblet)
dengan persentase pembentukan umbi rendah. Umbi mikro dari eksplan tunas
bulbil bawang putih dapat terbentuk meskipun dikulturkan pada media inisiasi
tunas (Tabel 8). Perlakuan media MS dengan penambahan 2ip merupakan
perlakuan yang menghasilkan kultur yang membentuk umbi terbanyak.
Tabel 8. Persentase tunas membentuk umbi pada media perlakuan selam 8 MSP
jenis media
MSI
MSB
MBI
MBB
Keterangan:
MSI
: Vitamin
MSB
: Vitamin
MBI
: Vitamin
MBB
: Vitamin

% (eksplan membentuk umbi/ jumlah eksplan)
33.33(5/15)
13.33(2/15)
13.33(2/15)
6.66(1/15)
MS + 2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
MS +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA
B5 +2 ppm 2ip + 0.5 ppm NAA
B5 +2.25 ppm BAP + 0.5 ppm NAA

a

b

Gambar 7. Bulblet in vitro (a) penampang melintang dari eksplan berasal dari
bawang putih tunggal (b) penampang melintang dari eksplan berasal
dari bulbil (1)Tunas adventif (2) Siung
Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa penampang melintang bulblet
bawang putih in vitro yang berasal dari eksplan bawang putih tunggal dan tunas

17

bulbil memiliki kesamaan anatomi yakni tidak terbentuk siung-siung atau partisi.
Bulblet bawang putih in vitro mempunyai tunas adventif, organ penyimpanan
yang tebal dan lapisan kulit terluar yang tipis seperti pada bulblet bawang putih
tunggal. Terbentuknya bulblet secara in vitro dari eksplan tunas bulbil sangat
memungkinkan untuk menerapkan penanaman bulbil dilapangan untuk
menghasilkan umbi bawang putih tunggal.

KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tunas bulbil tumbuh dan berkembang pada semua media perlakuan tetapi
multiplikasi tunas belum optimal. Komposisi media nyata meningkatkan jumlah
daun hijau pada 8 MSP dan tidak berpengaruh pada peubah jumlah tunas dan
akar. Jumlah daun hijau dan bulblet mikro terbanyak diperoleh pada perlakuan
media MS dengan penambahan 2 ppm 2ip.
Saran
Bulbil dapat dipergunakan sebagai eksplan untuk perbanyakan mikro
bawang putih. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mendapatkan konsentrasi
ZPT yang optimal untuk perbanyakan tunas bulbil.

DAFTAR PUSTAKA
Abo ENM. 1977. Organogenesis and embryogenesis in callus culture of garlic.
Plant Sci. Lett. 9:259-264.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Produksi, luas panen dan
produktivitas hortikultura di Indonesia. Jakarta(ID).
Barandariaran X, Martin N, Rodriguez M, Di Pietro A, Martin J. 1999. Genetic
variability in the calogenesis and regeneration of garlic. Plant Cell Rep.
18:434-437.
Becker CA, Van DBB. 1963. Flora of Java Volume 1. Groningen (NL): N.V.P.
Nordhoff
Bhojwani SS, Cohen D, Fry PR. 1982. Production of virus-free garlic and field
performance of micropropagation plants. Sci.Hort. 18: 39-43.
Bhojwani SS, Razdan MK. 1983. Plant Tissue Tulture : Therory and Practice.
Amsterdam (NL): Elsevier.
Block. 1985. The chemistry of onions and garlic. Scientific american. 252:94-99.
Conci V, Nome S. 1991. Virus free garlic (Allium sativum L.) plants obtained by
thermotherapy and maristem tip culture. J. Phytopath. 132:186-192.
Dantu PK, Bhojwani SS. 1987. In vitro propagation and corm formation in
gladiolus. Gartenbauwissenschaft. 52:90-93
Davies JLM. 1994. Chemical control of Allium white rot: a review. in:entwistle
AR, Melero-Vara JM, Eds. Proceedings of the Fifth International Workshop
of Allium White Rot. Cordoba (ES):Instituto de Agricultura Sostenible.

18

Digby JF, Skoog. 1966. Cytokini