Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang Putih (Allium Sativum L.) Pada Tikus Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo Dan In Vitro

(1)

UJI EFEK ANTIFERTILITAS SERBUK UMBI LAPIS

BAWANG PUTIH (

Allium sativum

L.) PADA TIKUS

JANTAN (

Rattus novergicus

) GALUR

Sprague Dawley

SECARA

IN VIVO

DAN

IN VITRO

SKRIPSI

MAHARANI PRATIWI

NIM : 1111102000062

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2015


(2)

UJI EFEK ANTIFERTILITAS SERBUK UMBI LAPIS

BAWANG PUTIH (

Allium sativum

L.) PADA TIKUS

JANTAN (

Rattus novergicus

) GALUR

Sprague Dawley

SECARA

IN VIVO

DAN

IN VITRO

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

MAHARANI PRATIWI

NIM : 1111102000062

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

PROGRAM STUDI FARMASI

JAKARTA

JUNI 2015


(3)

(4)

(5)

(6)

Program Studi : Farmasi

Judul : Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang

Putih (Allium Sativum L.) Pada Tikus Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo Dan

In Vitro

Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan salah satu tanaman yang dapat mengganggu steroidogenesis. Steroidogenesis adalah pembentukan hormon steroid, salah satunya hormon testosteron. Gangguan yang terjadi pada steroidogenesis dapat menyebabkan infertilitas. Penelitan ini bersifat eksperimental. Hewan uji tikus Sprague Dawley jantan dibagi menjadi lima kelompok yaitu kelompok kontrol, dosis 50 mg/kgBB, dosis 100 mg/kgBB, dosis 150 mg/.kgBB dan uji spermisidal. Serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) diberikan selama 30 hari. Parameter antifertilitas yang dilakukan adalah konsentrasi testosteron, konsentrasi spermatozoa dan uji aktivitas spermisidal. Analisa data paired t-test sample menunjukkan terdapat penurunan

secara tidak signifikan (p≥0,05) pada dosis 50 mg/kgBB dan dosis 150 mg/kgBB

dan terjadi peningkatan konsentrasi testosteron dosis 100 mg/kgBB secara tidak

signifikan (p≥0,05) pada hari ke-31 dibandingkan hari ke-0. Penurunan dan peningkatan konsentrasi testosteron masih dalam rentang normal. Hasil analisa menggunakan ANOVA menunjukkan konsentrasi spermatozoa pemberian serbuk umbi lapis bawang putih pada ketiga dosis meningkat secara signifikan (p≤0,05) terhadap kontrol. Aktivitas spermisidal serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) memiliki konsentrasi minimum spermisidal (MEC) 250 mg/ml. Berdasarkan data diatas pemberian serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) selama 30 hari tidak menyebabkan infertilitas.

Kata Kunci : Steroidogenesis, Infertilitas, Allium sativum, Tikus Sprague Dawley jantan


(7)

Major : Pharmacy

Title : Study of Antifertility Effect of Bulbs Garlic Powder (Allium sativum L.) in Male Sprague Dawley Rats

(Rattus novergicus) In Vivo and In Vitro

Garlic (Allium sativum L.) is a plant which can disrupt the steroidogenic process. Steroidogenic was steroid hormone formed, one of example is testosterone hormone. The disrupted of steroidogenic could result the infertility. This is an experimental research. Sprague Dawley rats divided into five groups include to control groups, dose 50 mg/kgBB, dose 100 mg/kgBB, dose 150 mg/kgBB and spermicidal test. Bulbs Garlic (Allium sativum L.) powder was given for 30 days. The antifertility parameters are testosterone concentration, sperm concentration and spermicidal activity. Paired t-test sample analysis show a no significant

(p≥0,05) decreased at dose 50 mg/kgBB and dose 150 mg/kgBB and no significant increased (p≥0,05) at dose 100 mg/kgBB on the 31th day compared to 0 day. Those decreasing and increasing of testosterone hormone still in normal range. ANOVA analysis result the sperm concentration of bulbs garlic (Allium sativum L) powder increase significantly (p≤0,05) against control group. Spermicide avtivity of garlic (Allium sativum L.) has the minimum effect concentration (MEC) of spermicide at 250 mg/mL. According to the result above, garlic (Allium sativum L.) given along 30 days hasn’t affect the infertility.

Key words : Steroidogenic, infertility, Allium sativum, Male Sprague Dawley rats


(8)

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “Uji Efek Antifertilitas Serbuk Umbi Lapis Bawang Putih (Allium sativum L.) pada Tikus Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague Dawley secara In Vivo dan In Vitro”. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat serta kita sebagai umatnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Drs. Arif Sumantri, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. Umar Mansur, M.Sc selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Imu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta periode 2012/2015.

3. Yardi, Ph.D., Apt selaku Ketua Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Prof. Dr. Atiek Soemiati, M.Sc., Apt dan Dr. Azrifitria, M.Si., Apt sebagai dosem pembimbing yang dengan sabar telah memberikan banyak masukan, bimbingan dan dukungan kepada penulis.

5. Ayahanda tercinta Triyatmanto dan ibunda tercinta Sudaryati yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, dukungan baik moril maupun materi serta doa yang tak terhingga di setiap langkah penulis.

6. Adikku tersayang Aditya Permana Putra yang telah menyemangati dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu dan pengetahuan hingga penulis dapat menyelesaikan studi di Program Studi Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(9)

Noviany dan Tia Monica atas kebersamaan, bantuan dan motivasi sejak awal hingga terselesaikannya skripsi ini.

9. Teman-teman yang sudah membantu selama proses penelitan dan skripsi Brasti Eka P., Sry Wardiyah, Puspita, Rhesa Ramadhan, Sutar, M. Syahid Ali, M. Haidar, Evi Nurul. H, Athiyah, Sheila, Fathiyah, Iches dan teman-teman di laboratorium PBB.

10.Teman-teman Farmasi 2011 ABCD atas persaudaraan, kebersamaan telah membantu penulis baik selama pengerjaan skripsi ini maupun dibangku perkuliahan.

11. Kak Eris, Kak Tiwi, Kak Lisna dan Mbak Rani sebagai laboran Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu mempersiapkan alat dan bahan selama penelitian.

12.Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penyelesaian skripsi baik secara langsung maupun tidak langsung yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda atas semua bantuan dan dukungan yang diberikan. Akhir kata, penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih belum sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran serta kritik yang membangun sangat diharapkan. Semoga skripsi

ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Amin Ya Rabbal’alamiin.

Ciputat, Juni 2015


(10)

(11)

Halaman

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ...v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ...x

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ...xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang ...1

1.2 Rumusan Masalah...4

1.3 Tujuan Penelitian ...4

1.4 Hipotesis...4

1.5 Manfaat Penelitian ...5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ...6

2.1 Bawang Putih (Allium sativum) ...6

2.1.1 Sejarah dan Sinonim ...6

2.1.2 Klasifikasi ...7

2.1.3 Morfologi dan Ekologi...8

2.1.4 Varietas ... 10

2.1.5 Kandungan Bahan Aktif ... 10

2.1.6 Kegunaan dan Khasiat ... 12

2.2 Klasifikasi Tikus Putih ... 12

2.2.1 Karakterisitik Tikus Putih Galur Sprague Dawley ... 13

2.3 Sistem Reproduksi Tikus Jantan ... 15

2.3.1 Spermatogenesis ... 17

2.3.2 Spermatozoa ... 19

2.3.3 Pengaturan Spermatogenesis ... 20


(12)

2.4.2 Non competitive Assay Format ... 24

2.4.3 Sandwich Assay ... 25

2.4.4 Kit ELISA ... 25

2.5 Preparasi Bawang Putih ... 26

2.5.1 Homogenat Bawang Putih Kasar ... 26

2.5.2 Serbuk bawang putih ... 26

2.5.3 Aged Garlic Extract ... 26

2.5.4 Minyak Bawang Putih... 26

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 28

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 28

3.2 Alat dan Bahan ... 28

3.2.1 Alat Penelitian ... 28

3.2.2 Bahan Penelitian ... 28

3.2.3 Hewan Uji ... 29

3.3 Rancangan Penelitian ... 29

3.3.1 Besar Sempel ... 29

3.3.2 Dosis Perlakuan ... 29

3.4 Prosedur Kerja ... 31

3.4.1 Penyiapan Serbuk umbi lapis bawang putih ... 31

3.4.2 Penapisan fitokimia ... 31

3.4.3 Pengukuran Parameter Spesifik dan Nonspesifik... 33

3.4.4 Penyiapan Hewan Coba ... 35

3.4.5 Pengukuran Parameter ... 35

3.5 Analisis Data ... 38

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1 Hasil Penelitian ... 40

4.1.1 Determinasi Tanaman ... 40

4.1.2 Pembuatan Serbuk umbi lapis bawang putih ... 40

4.1.3 Penapisan Fitokimia Serbuk ... 40

4.1.4 Pengujian Parameter Serbuk ... 41

4.1.5 Pengukuran Konsentrasi Testosteron ... 42

4.1.6 Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa ... 44

4.1.7 Uji Aktivitas Spermisidal ... 45


(13)

5.2 Saran ... 60 DAFTAR PUSTAKA ... 61


(14)

Tabel 1 Komposisi utama bawang putih ... 11

Tabel 2 Komposisi Bawang Putih pada masing-masing sediaan ... 12

Tabel 3 Data biologis tikus ... 14

Tabel 4 Rancangan Penelitian ... 30

Tabel 5 Pengenceran yang dilakukan dan kotak yang dihitung ... 35

Tabel 6 Cara Pengenceran ... 36

Tabel 7 Rumus Konsentrasi Spermatozoa ... 37

Tabel 8 Hasil Penapisan Fitokimia Serbuk umbi lapis bawang putih ... 41

Tabel 9 Hasil Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik ... 42

Tabel 10 Hasil Perhitungan Konsentrasi Testosteron ... 43

Tabel 11 Hasil Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa ... 44


(15)

Gambar 2.1 Daun, Bunga, dan Umbi Alium sativum ...9

Gambar 2.2 Sistem Urogenital Tikus Jantan tampak Ventral ... 16

Gambar 2.3 Siklus Spermatogenesis pada Tikus ... 19

Gambar 2.4 Gambar Spermatozoa perbesaran 400x ... 19

Gambar 2.5 Foto Mikrograf Sperma Normal ... 20

Gambar 2.6 Konversi Hormon Testosteron ... 22

Gambar 2.7 Competitive assay format ... 23

Gambar 2.8 Keterangan-keterangan bagian-bagian gambar... 23

Gambar 2.9 Non competitive assay format ... 24

Gambar 2.10 Capture/ sandwich assay ... 25

Gambar 4.1 Kurva rerata konsentrasi testosteron ... 43

Gambar 4.2 Kurva rerata konsentrasi spermatozoa ... 44

Gambar 4.3 Grafik persentase motilitas ... 46

Gambar 4.4 Reaksi pembentukan pigmen biru pada bawang putih kasar ... 49

Gambar 5.1 Bawang putih (Allium sativum L.) ... 75

Gambar 5.2 Penimbangan umbi lapis bawang putih ... 75

Gambar 5.3 Penghancuran umbi lapis bawang putih ... 75

Gambar 5.4 Proses freeze dry ... 75

Gambar 5.5 Penggerusan bawang putih dengan mortar dan alu ... 75

Gambar 5.6 Serbuk umbi lapis bawang putih ... 75

Gambar 5.7 Serbuk umbi lapis bawang putih di dalam wadah penyimpanan 75 Gambar 5.8 Penimbangan serbuk umbi lapis bawang putih ... 75

Gambar 5.9 Suspensi serbuk umbli lapis bawang putih ... 75

Gambar 5.10 Pemeliharaan tikus ... 76

Gambar 5.11 penimbangan tikus ... 76

Gambar 5.12 Penyondeaan pada tikus kelompok uji ... 76

Gambar 5.13 Hewan uji dikorbankan... 76

Gambar 5.14 Pembedahan hewan uji ... 76

Gamabr 5.15 Kauda epididimis ... 76

Gambar 5.16 Pengambilan darah dari vena lateral ekor... 77

Gambar 5.17 Pengambilan darah secara cardiac puncture ... 77

Gambar 5.18 Serum darah yang belum dipisahkan ... 77

Gambar 5.19 Pengambilan serum dengan mikropipet ... 77


(16)

Gambar 5.23 Penambahan enzyme conjugate ke well ... 77

Gambar 5.24 Proses pembuangan isi well ... 77

Gambar 5.25 Penambahan wash solution ... 78

Gambar 5.26 Penambahan substrate solutin pada masing-masing well ... 78

Gambar 5.27 Penambahan stop solution pada masing-masing well ... 78

Gambar 5.28 Pembacaan ELISA dengan ELISA reader ... 78

Gambar 5.29 Spermatozoa dikeluarkan dari kauda ... 78

Gambar 5.30 Spermatozoa diambil dan diletakan di kamar hitung neubauer . 78 Gambar 5.31 Pengamatan spermatozoa untuk menentukan pengenceran ... 78

Gambar 5.32 pengenceran spermatozoa dengan larutan George ... 79

Gambar 5.33 Spermatozoa yang telah diencerkan di masukan ke neubauer ... 79

Gambar 5.34 Perhitungan spermatozoa di dalam kotak sesuai pengenceran ... 79

Gambar 5.35 Spermatozoa dikeluarkan dari kauda tikus ... 79

Gambar 5.36 Seri konsentrasi serbuk umbi lapis bawang putih ... 79

Gambar 5.37 Pengamatan motilitas dibawah mikroskop ... 79


(17)

Lampiran 1. Surat Determinasi Bawang Putih (Allium sativum L.). ... 70

Lampiran 2. Surat Keterangan Sehat Hewan Uji ... 71

Lampiran 3. Alur Penelitian ... 72

Lampiran 4. Alur Kerja Uji Antifertilitas ... 73

Lampiran 5. Perhitungan Dosis Serbuk umbi lapis bawang putih... 74

Lampiran 6. Gambar Kegiatan Penelitian ... 75

Lampiran 7. Penapisan Fitokimia Serbuk umbi lapis bawang putih ... 80

Lampiran 8. Parameter Susut Pengeringan, Kadar Abu, dan Kadar Air... 82

Lampiran 9. Hasil Pengukuran Berat Badan Tikus ... 83

Lampiran 10. Pengukuran Konsentrasi Testosteron ... 85

Lampiran 11. Analisa Statistik Data Konsentrasi Testosteron ... 87

Lampiran 12. Hasil Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa ... 94

Lampiran 13. Analisa Statistik Data Konsentrasi Spematozoa ... 95


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI mengestimasi jumlah penduduk Indonesia tahun 2013 sejumlah 248,4 juta orang yang terdiri atas jumlah penduduk laki-laki 125.058.484 jiwa dan penduduk perempuan 123.364.472 jiwa. Diperlukan kebijakan untuk mengatur atau membatasi jumlah kelahiran agar kelahiran dapat dikendalikan dan kesejahteraan penduduk makin meningkat (Kemenkes RI, 2014). Kebijakan untuk mengatur kelahiran anak disebut keluarga berencana (KB).

Satu misi program KB nasional yaitu meningkatkan upaya pemberdayaan perempuan dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam program KB (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS, 2002)). Program yang mendorong partisipasi pria untuk ber-KB telah dilakukan selama beberapa tahun, namun penggunaan metode kontrasepsi ini masih rendah yang terdiri dari kondom pria dan senggama terputus (2%), dan 1% menggunakan pantang berkala. Tingkat penggunaan sterilisasi pria masih kurang dari 1% ((Badan Kependudukan Dan Keluarga Berencana Nasional) BKKBN, 2013). Metode kontrasepsi untuk pria kurang diminati masyarakat karena dianggap kurang praktis, harganya cukup mahal, mengurangi sensasi dan pilihan alat kontrasepsi pria yang tersedia saat ini tidak banyak (Anggraeni, 2007).

Obat Tradisional (OT) merupakan salah satu warisan budaya bangsa Indonesia yang telah digunakan selama berabad-abad untuk pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan dan pengobatan penyakit (Menkes RI, 2009). Kecenderungan pola hidup kembali ke alam (back to nature) menyebabkan masyarakat lebih memilih menggunakan obat alami yang diyakini tidak memiliki efek samping seperti obat kimia, dan harga lebih terjangkau daripada obat sintetik (Hernani, 2011).

Bawang putih merupakan salah satu tanaman dengan berbagai manfaat bagi kesehatan. Bagian bawang putih yang banyak digunakan adalah umbi lapisnya. Allium sativum memiliki kandungan kimia kompleks yang


(19)

didominasi oleh komponen organosulfur dan komponen non-sulfur yang memberikan karakteristik pada rasa dan berkontribusi pada berbagai kesehatan (Amagase, 2006; Butt et al, 2009). Umbi bawang putih di Indonesia digunakan sebagai bumbu masakan, mengobati tekanan darah tinggi, gangguan pernafasan, sakit kepala, ambeien, sembelit, insomnia, kolesterol, flu, dan gangguan saluran kencing (Thomas, 2000; Rukmana, 1995). Penelitian mengenai aktivitas bawang putih pada sistem reproduksi memiliki hasil yang beragam. Beberapa peneliti mengatakan bawang putih (Allium sativum L.) memiliki aktivitas antifertilitas dan sebagian peneliti mengatakan bawang putih (Allium sativum L.) dapat memperbaiki kemampuan fertilitas pada pria.

Penelitian mengenai aktivitas antifertilitas bawang putih (Allium sativum L.) didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ebomoyi (2010), ekstrak air bawang putih (Allium sativum L.) yang diberikan selama 31 hari menurunkan konsentrasi serum testosteron secara signifikan pada pemberian 2,4ml dari 100mg/ml ekstrak air bawang putih (Allium sativum L.) dibandingkan dengan kelompok kontrol namum antara dosis 1,4ml dan 2,4 ml dari 100mg/ml ekstrak air bawang putih (Allium sativum L.) mengalami penurunan konsentrasi serum testosteron secara tidak signifikan. Penelitian yang dilakukan oleh Hammami pada tahun 2008 dan 2009 menunjukkan pemberian 10% dan 15% bawang putih kasar (Allium sativum L.) selama 30 hari dapat menurunkan berat badan, berat vesika seminalis dan hormon testosteron secara signifikan, diikuti peningkatan konsentrasi hormon LH. Pemberian bawang putih kasar (Allium sativum L.) sebanyak 5%, 10% dan 15% menunjukkan adanya induksi apoptosis pada sel germinal testikular (spermatosit dan spermatid) dan menunjukkan penurunan plasma FSH secara signifikan. Penelitian Dixit & Joshi (1982) seperti yang dikutip oleh Hammami (2012) pemberian serbuk bawang putih (Allium sativum L.) sebanyak 50 mg kg-1 hari-1 selama 45-75 hari menyebabkan terjadinya kerusakan histologi sel somatik dan penghambatan spermatogenesis pada fase spermatosit primer.


(20)

Penelitian yang memiliki hasil berlawanan dengan pernyataan diatas adalah penelitian Al-Bekairi (1990) dengan pemberian ekstrak air bawang putih (Allium sativum L.) 100 mg-1 kg-1 hari-1 selama 3 bulan meningkatkan berat vesika seminalis, berat epididimis dan konsentrasi spermatozoa. Penelitian yang dilakukan oleh Oi (2001) menggunakan serbuk bawang putih sebanyak 0,8g/100 g pada makanan tikus selama 28 hari meningkatkan testosteron di dalam testis secara signifikan.

Sistem reproduksi pria, terutama testis melakukan dua fungsi dan pengaturan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup yaitu spermatogenesis dan steroidogenesis. Bawang putih (Allium sativum L.) merupakan salah satu tanaman yang dapat menggangu steroidogenesis. Steroidogenesis merupakan proses biologis dimana steroid dihasilkan dari kolesterol dan ditransformasi menjadi steroid lain, seperti hormon testosteron. (Ogbuewu, 2011). Dalam kutipan Hammami (2012), penelitian yang dilakukan oleh Dixit & Joshi (1982) juga menunjukkan adanya reduksi kolesterol yang merupakan prekursor hormon testosteron. Pemberian serbuk bawang putih (Allium sativum L.) tersebut diasumsikan dapat mempengaruhi steroidogenesis.

Berdasarkan pemaparan di atas penulis tertarik untuk meneliti lebih lanjut serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) terhadap aktivitas antifertilitas karena bentuk serbuk merupakan salah satu sediaan bawang putih yang banyak digunakan dan adanya hasil yang beragam pada penelitian sebelumnya. Penelitian yang dilakukan menggunakan bawang putih lokal untuk meneliti potensinya terhadap sistem reproduksi pria, sehingga dilakukan penelitian “Uji Efek Antifertilitas Serbuk Umbi Lapis Bawang Putih (Allium sativum L.) pada Tikus jantan Galur Sprague Dawley secara In Vivo dan In Vitro” dengan parameter penelitian konsentrasi testosteron,

konsentrasi spermatozoa dan kemampuan spermisidal. Dosis pemberian beracuan pada penelitian yang dilakukan oleh Dixit & Joshi (1982) dengan meningkatkan dosis menjadi 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB dan 150 mg/kgBB dengan perlakuan selama 30 hari.


(21)

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas maka rumusan masalah penelitian uji efek antifertilitas serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) pada tikus jantan (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley secara in vivo dan in vitro sebagai berikut :

1.2.1 Apakah pemberian serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum

L.) mempengaruhi sistem hormon testosteron tikus jantan?

1.2.2 Apakah pemberian serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum

L.) memberikan aktivitas antifertilitas dilihat dari penurunan konsentrasi spermatozoa?

1.2.3 Apakah serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) memiliki aktivitas spermisidal secara in vitro?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian uji efek antifertilitas serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) pada tikus jantan (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley secara in vivo dan in vitro bertujuan untuk :

1.3.1 Mengukur pengaruh pemberian serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) terhadap kadar konsentrasi testosteron tikus jantan.

1.3.2 Menguji efek antifertilitas pemberian serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) terhadap konsentrasi spermatozoa tikus jantan. 1.3.3 Menentukan Minimum Effect Concentration (MEC) aktivitas

spermisidal sebuk bawang putih (Allium sativum L.) secara in vitro.

1.4 Hipotesis

Hipotesis dari uji efek antifertilitas serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) pada tikus jantan (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley secara in vivodan in vitro sebagai berikut :

1.4.1. Pemberian serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L) pada tikus jantan galur Sprague Dawley secara in vivo dapat menurunkan konsentrasi testosteron.


(22)

1.4.2. Pemberian serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) pada tikus jantan galur Sprague Dawley secara in vivo dapat menurunkan konsentrasi spermatozoa.

1.4.3. Pemberian bawang putih lokal (Allium sativum L.) pada tikus jantan galur Sprague Dawley memiliki aktivitas spermisidal secara in vitro. 1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitan “Uji Efek Antifertilitas Serbuk Umbi Lapis Bawang Putih (Allium sativum L.) pada Tikus Jantan (Rattus novergicus)

Galur Sprague Dawley secara In Vivo dan In Vitro” memberikan sajian

informasi kepada masyarakat luas mengenai aktivitas antifertilitas bawang putih dengan penggunaan kronis yang telah dibuktikan dengan percobaan pada tikus jantan galur Sprague Dawley serta meningkatkan kewaspadaan masyarakat dalam mengkonsumsi bawang putih terhadap efek sistem reproduksi pria.


(23)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bawang Putih (Allium sativum)

2.1.1 Sejarah dan Sinonim

Bawang putih, Allium sativum L. adalah anggota dari famili Liliaceae/Alliaceae/Amaryllidaceae (Tyagi, 2013), yang diterima sebagai salah satu bumbu masakan yang sangat berharga dan obat yang populer untuk berbagai penyakit dan gangguan fisiologi. Nama bawang putih berasal dari bahasa Skotlandia (Celtis) “all” yang artinya tajam (Londhe et al., 2011). Secara praktik pembudidayaan dilakukan di seluruh dunia, bawang putih tampaknya berasal dari Asia Tengah kemudian menyebar ke China, ke daerah timur dan daerah Mediterania sebelum berpindah ke arah barat menuju Eropa Tengah dan Eropa Selatan, Afrika Utara (Mesir) dan Meksiko (Vinay et al., 2008).

Bawang putih telah digunakan selama ribuan tahun untuk tujuan pengobatan. Kitab Sanskrit menunjukkan kegunaan dalam pengobatan sekitar 5.000 tahun yang lalu dan telah digunakan untuk setidaknya selama 3.000 tahun dalam pengobatan China. Mesir, Babylonia, Yunani dan Roma menggunakan bawang putih untuk tujuan penyembuhan. Pada tahun 1858, Pasteur menemukan aktivitas antibakterial dan hal ini digunakan sebagai antiseptik untuk mencegah terjadinya gangren selama Perang Dunia I dan Perang Dunia II (Londhe et al., 2011).

Bangsa Sumeria telah mengenal bawang putih untuk pengobatan, sekitar tahun 2600-2100 SM. Bangsa Mesir Kuno, dalam Codex Ebers (1550 SM), mengenal bawang putih sebagai bahan ramuan untuk mempertahankan stamina tubuh para pekerja dan olahragawan. Orang Yahudi kuno mempelajari pemanfaatan bawang putih dari Bangsa Mesir dan menyebarkannya ke semenanjung Arab. Penduduk Romawi diketahui telah lama mengkonsumsi bawang putih


(24)

terutama, para tentara dan budak. Penduduk Cina dan Korea sudah biasa memanfaatkan bawang putih sebagai obat dan pengusir roh jahat (Banerjee dan Maulik, 2002; Yarnell, 1999; Hernawan, 2003)

Masuknya tanaman bawang putih ke wilayah Indoensia belum ditemukan data atau keterangan yang rinci dan pasti, namun diduga terjadi pada abad 10 bersamaan dengan arus lalu lintas perdagangan antar-negara ke Indonesia, terutama para pendatang atau pedagang dari India dan Cina (Rukmana, 2009). Sehingga bagi bangsa Indonesia bawang putih merupakan tanaman introduksi (Santoso, 2000).

2.1.2 Klasifikasi

Tanaman bawang putih mempunyai nama lain Allium sativum. Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman bawang putih diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub-divisi : Angiospermae (berbiji tertutup)

Kelas : Monocotyledonae (biji berkeping satu) Ordo : Liliales (Liliflorae)

Famili : Liliaceae/Alliaceae/Amaryllidaceae

Genus : Allium

Spesies : Allium sativum L. (Rukmana,2009; Tyagi, 2013)

Pada awal klasifikasi angiosperma, Allium diletakan pada famili Liliaceae. Kemudian, mereka lebih sering termasuk ke dalam

Amaryllidaceae karena dasar struktur inflorosens. Pada hampir kebanyakan taksonomik terkini dan kompeten dari monokotiledon,

Allium relatif dekat dikenali sebagai famili Alliaceae, dekat dengan


(25)

2.1.3 Morfologi dan Ekologi

Tanaman ini memiliki beberapa nama lokal, yaitu Dason putih (Minangkabau), bawang bodas (Sunda), bawang (Jawa Tengah), bhabang poote (Madura), kasuna (Bali), lasuna mawura (Minahasa), bawa badudo (Ternate), dan bawa fiufer (Irian Jaya) (Santoso, 2000; Heyne, 1987; dalam Hernawan, 2003). Bawang putih merupakan tanaman herba parenial yang membentuk umbi lapis. Tanaman ini tumbuh secara berumpun dan berdiri tegak sampai setinggi 30-75 cm. Batang yang nampak di atas permukaan tanah adalah batang semu yang terdiri dari pelepah-pelepah daun. Sedangkan batang yang sebenarnya berada di dalam tanah. Dari pangkal batang tumbuh akar berbentuk serabut kecil yang banyak dengan panjang kurang dari 10 cm. Akar yang rumbuh pada batang pokok bersifat rudimenter, berfungsi sebagai alat penghisap makanan (Santoso, 2000)

Bawang putih membentuk umbi lapis berwarna putih. Sebuah umbi terdiri dari 8-20 siung (anak bawang). Antara siung satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh kulit tipis dan liat, serta membentuk satu kesatuan yang kuat dan rapat. Di dalam siung terdapat lembaga yang dapat tumbuh menerobos pucuk siung menjadi tunas baru, serta daging pembungkus lembaga yang berfungsi sebagai pelindung sekaligus gudang persediaan makanan. Bagian dasar umbi pada hakikatnya adalah batang yang mengalami rudimentasi (Hernawan, 2003).

Helaian daun bawang putih berbentuk pita, panjang dapat mencapai 30-60 cm dan lebar 1-2,5 cm. Jumlah daun 7-10 helai setiap tanaman. Pelepah daun panjang, merupakan satu kesatuan yang membentuk batang semu. Bunga merupakan bunga majemuk yang tersusun membulat, membentuk infloresensi payung dengan diameter 4-9 cm. Perhiasan bunga berupa tenda bunga dengan 6 tepala berbentuk bulat telur. Stamen berjumlah 6, dengan panjang filamen 4-5 mm, bertumpu pada dasar perhiasan bunga. Ovarium superior,


(26)

tersusun atas 3 ruangan, buah kecil berbentuk kapsul loculicidal (Hernawan, 2003).

Bawang putih yang semula merupakan tumbuhan daerah dataran tinggi, sekarang di Indonesia, jenis tertentu dibudidayakan di dataran rendah. Bawang putih berkembang baik pada ketinggian tanah berkisar 200-250 meter di atas permukaan laut.Syarat tumbuh :

Iklim

o Ketinggian tempat : 600 m 1.200 m

o Curah hujan tahunan :800 mm- 2.000 mm/tahun o Bulan basah (diatas 100 mm/bulan) : 5 bulan 7 bulan o Bulan kering (di bawah 60 mm/bulan) : 4 bulan 6 bulan o Suhu udara : 150 0C – 2000C

o Kelembapan : tinggi

o Penyinaran „: sedang

Tanah

o Jenis tanah : gromiosol (ultisol)

o Tekstur : lempung berpasir (gembur)

o Drainase : baik

o Kedalaman air tanah : 50 cm -150 cm dari permukaan tanah o Kedalaman perakaran: diatas 15 cm dari permukaan tanah o Kemasaman (PH) : 6-6,8

o Kesuburan :tinggi (UPT-Balai Informasi Teknologi

LIPI, 2009).


(27)

2.1.4 Varietas

Varietas adalah berbagai jenis bawang putih yang mempunyai perbedaan sifat atau ciri yang permanen atau tidak berubah, seperti tinggi-rendahnya tanaman, besar kecilnya umbi, umur panen, jumlah dan ukuran siung, kandungan dalam umbi, daya tahan terhadap penyakit, serta iklim pertumbuhannya.

Secara garis besar, berdasarkan iklim yang dibutuhkan tanaman untuk bisa tumbuh dengan baik, bawang putih dikelompokkan menjadi dua varietas sebagai berikut :

1. Varietas yang bisa tumbuh di dataran tinggi dengan iklim subtropis

2. Varietas-varietas yang mampu beradaptasi atau mampu tumbuh di daerah dataran rendah.

Jenis bawang putih yang banyak ditanam di Indonesia ada tiga varietas yang telah dikenal unggul, yaitu lumbu hijau dan lumbu kuning untuk lahan dataran tinggi serta lumbu putih untuk dataran rendah. Varietas lain yang ada merupakan modifikasi dari ketika varietas tersebut dan diberi nama sesuai dengan daerah asal penanamannya. Diantaranya varietas bawang Cirebon, bawang Tawangmangu, Iiocos dan Filipina, Santong, Sumbawa, Jatibarang, Bogor, obleg, dan varietas lanang (Purwaningsih, 2007).

2.1.5 Kandungan Bahan Aktif (Hammami et al., 2012)

Kandungan utama bawang putih adalah air dan sebagian besar berat kering terdiri dari fruktosa yang mengandung karbohidrat, senyawa sulfur, protein, serat dan asam amino bebas. Bawang putih juga mengandung saponin dengan kadar yang tinggi, fosforus, kalium, sulfur, zink, sejumlah selenium dan vitamin A dan C, dan kalsium dengan kadar rendah, magnesium, natrium, besi, mangan dan vitamin B-kompleks (Block et al., 1985).


(28)

Allisin (Alil 2-propena thiosulfinat atau diallyl thiosulfinat) merupakan bioaktif utama yang ada di dalam ekstrak air atau homogenat bawang putih kasar. Ketika bawang putih dipotong atau dihancurkan, enzim alinase yang terdapat di dalam bawang putih teraktivasi dan bereaksi pada alliin (yang terdapat diseluruh bawang putih) untuk menghasilkan allisin. Komponen sulfur penting lainnya yang terdapat di dalam homogenat bawang putih adalah allyl metil thiosulfonat, 1-propenyl allyl thiosulfonat dan L-glutamyl-S-alkil-L-sistein (Hammami et al., 2012). Komposisi pada masing-masing sediaan bawang putih di tampilkan pada tabel 2.

Beberapa penelitian menyebutkan apabila kandungan dalam bawang putih dapat mengganggu sistem reproduksi pada pria. Fitoestrogen merupakan konstituen yang memiliki efek estrogenik. Salah satu fitoestrogen adalah Allium sativum (Dixon, 2004). Bawang putih telah dilaporkan mengandung dua fitoestrogen; lignan dan quersetin. Substansi yang mirip estrogen menginduksi gangguan secara langsung terhadap sel testis (Hammami et al., 2012). Hal ini dapat diasumsikan bila Allium sativum memiliki kerja mirip estrogen

Komponen Jumlah ( Bawang Putih Segar 1%)

Air 62-68

Karbohidrat (utama fruktosa) 26-30

Protein 1,5-2,1

Asam Amino :umum 1-1,5

Asam Amino ; sistein sulphoxida

0,6-1,9

Γ-Glutamylsistein 0,5-1,6

Lipid 0,1-0,2

Serat 1,5

Senyawa Sulfur total 1,1-3,5

Senyawa larut lemak total 0,15

Senyawa larut ait total 97


(29)

pada tikus jantan dewasa yang menginduksi gangguan spermatogenesis (Abdelmalik, 2010). Metabolit bawang putih seperti diallyl sulfida telah dilaporkan memiliki efek spermisidal (Chakrabarti

et al., 2003) serta Allisin yang merupakan komponen bioaktif dari bawang putih menginduksi aktivasi CASP3, CASP8 dan CASP9 dan pembelahan poli (ADP-ribosa) polimerasi pada beberapa sel kanker (Hammami, 2009).

Jus bawang putih kasar Serbuk Bawang

putih

Aged garlic extract Minyak bawang putih

Allisin Metil alil Tiosulfinat 1-Propenyl allyl Tiosulfinat L-glutamyl-S-alkyl-L-cysteine

Alliin S-allyl cystein S-allyl

mercapto-cystein

Diallyl sulfida Diallyl disulfida Diallyl trisulfida Allyl methyl disulfida Allyl methyl trisulfida

Dimetyl trisulfida’Vinyl -dithiin

Ajoene

2.1.6 Kegunaan dan Khasiat

Berbagai penelitian yang telah dikembangkan untuk mengeksplorasi aktivitas biologi umbi bawang putih yang terkait dengan farmakologi, antara lain sebagai anti-diabetes, anti-hipertensi, anti-kolesterol, anti-atherosklerosis, anti-oksidan, anti-agregasi sel platelet, pemacu fibrinolisis, anti-virus, anti-mikrobia, anti-kanker (Hernawan, 2003).

2.2 Klasifikasi Tikus Putih (Rattus novergicus)

Tikus merupakan nama umum untuk sejumlah anggota dari famili rodentia. (Krinke, 2000). Menurut Krinke, klasifikasi tikus putih (Rattus novergicus) adalah :

 Filum : Chordata

 Kelas : Mammalia

 Order : Rodentia

 Suborder : Myomorpha


(30)

 Famili : Muridae

 Subfamili : Murinae

 Genus : Rattus

 Spesies : R. novergicus

2.2.1 Karakterisitik Tikus Putih Galur Sprague Dawley

Tikus putih memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai hewan uji penelitian di antaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang lebih besar dari mencit, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, tikus putih juga memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino, kepala kecil, dan ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat, temperamennya baik, kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap arsenik tiroksid (Akbar, 2010).

Tikus putih (Rattus novergicus) banyak digunakan sebagai hewan percobaan pada berbagai penelitian. Terdapat tiga galur tikus putih yang memiliki kekhususan untuk digunakan sebagai hewan percobaan antara lain Wistar, long evan dan Sprague-Dawley (Malole dan Pramono, 1989).

Penelitian reproduksi secara umum menggunakan tikus galur

Sprague Dawley dan Wistar. Kedua strain ini merupakan hasil turunan hubungan jauh (outbreed) yang memiliki fertilisasi yang tinggi dan sifat perkawinan yang konsisten (Wilkinson et al., 2000).

Tikus Sprague Dawley merupakan jenis outbreed tikus albino serbaguna secara ekstensif dalam riset medis. Keuntungan utamanya adalah ketenangan dan kemudahan penangannya. Adapun data biologis tikus sebagai berikut :


(31)

Lama hidup 2-3 tahun, dapat sampai 4 tahun Lama produksi ekonomis 1 tahun

Lama bunting 20-22 hari Umur dewasa 40-60 hari

Umur dikawinkan 8-10 minggu (jantan dan betina) Siklus kelamin Poliestrus

Siklus estrus (berahi) 4-5 hari Lama estrus 9-20 jam

Perkawinan Pada waktu estrus

Ovulasi 8-11 jam sesudah timbul estrus, spontan Fertilisasi 7-10 jam sesudah kawin

Implantasi 5-6 hari sesudah fertilisasi

Berat dewasa 300-400 g jantan;250-300 g betina Suhu (rektal) 36-39 C (rata-rat 37,5 C)

Pernapasan 65-115/menit, turun menjadi 50 dengan anestesi, naik sampai 150 dalam stres Denyut jantung 330-480/menit, turun menjadi 250

dengan anestesi, naik sampai 550 dalam stres

Tekanan darah 90-180 sistol, 60-145 diastol, turun menjadi 80 sistol, 55 diastol dengan anestesi.

Konsumsi oksigen 1,29-2,60 ml/g/jam Sel darah merah 7,2-9,6 x 106/mm3 Sel darah putih 5,0-130 x 103/mm3 SGPT 17,5-30,2 IU/liter SGOT 45,7-80,8 IU/liter Kromosom 2n-=42

Aktivitas Nokturnal (malam) Konsumsi makanan 15-30 g/hari (dewasa) Konsumsi minuman 20-45l/hari (dewasa)


(32)

2.3 Sistem Reproduksi Tikus Jantan

Tikus merupakan salah satu hewan yang digunakan untuk penelitian terbanyak pada fisiologi reproduksi. Tikus juga bermanfaat pada penilaian toksikologi yang merusak saluran pencernaan. Testis pada jantan menggantung terpisah di dalam kantung sktorum yang berdinding tipis yang letaknya diantara anus dan preputium. Testis kemudian turun antara hari ke-10 dan ke-40 masa hidupnya dari rongga perut ke kantung skrotum melalui kanalis inguinal terbuka. Jarak dubur kelamin pada tikus jantan lebih jauh daripada betina (Suckow, 2006).

Testis terdiri dari tubulus seminiferus yang panjang dan berkelok-kelok, yang pada epitelnya merupakan tempat berlangsungnya spermatogenesis. Ujung dari tubulus seminiferus ini kemudian bermuara menuju epididimis. Arteri testikular dan pampiniferom venus plexus dikelilingi saat mereka memasuki kanal inguinal. (Fawcett, 2002). Duktus deferen disuplai pembuluh darah yang berbeda dan mengalir secara proksimal melalui kanal inguinal dan melewati ureter untuk memasuki urethra (Fawcett, 2002).

Tubulus seminiferus terdiri dari epitelium germinal dan jaringan peritubular (lamina propia). Epitelium germinal terdiri dari sel-sel germinal pada fase perkembangan diferensiasi, yang dinamakan spermatogonium, spermatosit primer dan spermatosit sekunder serta spermatid. Mereka terletak di dalam invaginasi sel Sertoli (Holstein, 2003). Sitoplasma sel Sertoli meluas ke seluruh epitelium dikarenakan sel ini menyediakan nutrisi bagi sel germinal untuk melakukan siklus perkembangan. Saat sel germinal membelah dan berkembang menjadi tipe-tipe sel yang berbeda, mereka berpindah dari membran basal melalui kompleks tight junction sel-sel Sertoli yang berdekatan sampai sel-sel germinal berpindah ke dalam kompartemen adluminal. Pertemuan sel-sel Sertoli tersebut membentuk barrier darah-testis yang membantu untuk melindungi perkembangan sel germinal dari senyawa kimia berbahaya yang ditularkan melalui darah (Hess, 1999).


(33)

Epididimis mengandung tiga bagian: kaput epididimis yang membesar pada ujung proksimal pada testis, yang hampir seluruhnya terbenam ke dalam lemak; korpus epididimis yang terdapat disekitar dorsomedial testis serta kauda epididimis pada ujung distal testis, merupakan tempat pematangan spermatozoa, yang kemudian bermuara ke vas deferens (Suckow, 2006).

Pada hewan yang melakukan fertilisasi secara interna organ reproduksiya dilengkapi dengan adanya organ kopulatori, yaitu suatu organ yang berfungsi menyalurkan spermatozoa dari organisme jantan ke betina. Peranan hewan jantan dalam hal reproduksi terutama adalah memproduksi spermatozoa dan sejumlah kecil cairan untuk memungkinkan sel spermatozoa masuk menuju rahim (William, 2005). Penis menggantung di dalam preputium yang longgar dengan tulang kartilago tunggal (Suckow, 2000).


(34)

2.3.1 Spermatogenesis

Istilah spermatogenesis meliputi seluruh urutan kejadian proliferatif dan perubahan sitologis dari sel germinal awal pria, spermatogonia, menjadi spermatozoa matang (Fawcett, 2002). Spermatogenesis memerlukan suatu seri kelompok dimana spermatozoa dihasilkan melalui tahap mitosis, meiosis, dan diferensiasi sel untuk menjadi spermatozoa matang. Perubahan morfologi dari spermatid menjadi spermatozoa disebut dengan spermiogenesis. Selanjutnya spermatozoa dilepaskan ke dalam lumen tubulus. Proses pelepasan tersebut dikenal dengan proses spermiasi (Ilyas, 2007).

Sel germinal primodial telah berhenti bermigrasi dikelilingi oleh sel Sertoli dan membran basal yang menonjol di dalam tubulus seminiferus pada saluran seksual jantan. Sel kelamin jantan tetap tidak aktif sampai sebelum masa pubertas, yaitu dimana sekitar 50 hari setelah kelahiran. Pada tahap itu terjadi pembelah dan menjadi spermatogonium, dan kemudian membelah sampai hewan kehilangan kemampuan untuk memproduksi sperma (Krinke, 2000).

Spermatogonium secara garis besar diklasifikasikan ke dalam tiga jenis; tipe A, tipe intermediet dan tipe B. Tipe spermatogonia A ini dibagi lagi menjadi tipe AO (disebut juga sel induk) dan tipe A1-A4. Tipe spermatogonium AP tetap pada membran basal di tubulus seminiferus dan memiliki kemampuan untuk membelah menjadi dua sel anak, salah satunya menjadi spermatogonium A1, yang seterusnya lebih lanjut dalam proses spermatogenesis, sedangkan yang lainnya sebagai sel induk. Pada tikus, spermatogonium A1 kemudian memiliki enam pembelah mitosis, dan kemudaian mereka menjadu spematosit prelepton. Kemudian spermatosit dalam fase meiosis, dimana berkembang menjadi leptoten, zygoten dan pakiten untuk menjadi spermatosit. Selama fase meiosis, masing-masing spermatosit membelah menjadi satu dari empat spermatid haploid, yang kemudian memasuki fase


(35)

akrosom, selama akrosom berkembang. Kondensasi inti dan perpanjangan terjadi berikutnya, diikuti oleh fase eliminasi dan pelepasan sitoplasma (Krinke, 2000).

Pada tikus, 14 tahap siklus spermatogenik terjadi di dalam tubulus seminiferus. Tubulus memiliki susunan ruas, dan setiap potongan melintang tubula menunjukkan tahapan yang seragam yang melibatkan empat atau lima generasi di sel germinal dengan sesuai. Tubulus seminiferus di tikus dikarakterisasi oleh struktur ruas, sedangkan pada manusia dan hewan domestik lainnya biasanya menunjukkan pola mosaik di beberapa tahap. Pada tikus, dibutuhkan 12 hari untuk menyelesaikan satu siklus yang terdiri dari 14 tahap. Spermatogonium tikus membutuhkan empat siklus sampai akhirnya membentuk spermatozoa, sehingga diperlukan 48 hari untuk menyelesaikan seluruh tahap spermatogenesis (Krinke, 2000).

Transformasi siklus, spermatid haploid (1n) ke dalam elongasi, dengan kekentalan yang tinggi dan spermatozoa matang dikeluarkan ke dalam lumen tubulus seminiferus disebut spermiogenesis perbedaan pembentukan spermatid melalui 4 langkah (atau fase) : Golgi, kapping, akrosomal dan maturasi. Langkah ini berguna untuk mengidentifikasi tahap khusus pada siklus epitelium seminiferus (Hess dan Franca, 2008).


(36)

2.3.2 Spermatozoa

Proses pembentukkan sperma di dalam testis disebut spermatogenesis. Spermatozoa di tikus lebih lama daripada jenis mamalia lainnya, termasuk manusia dan hewan dosmetik lainnya (Setchell, 1984), dan rata-rata memiliki panjang 150-200 mm pada tikus. Bentuk kepala sperma tikus terlihat seperti bentuk kail, seperti pada tikus lainnya (Krinke, 2000)

Gambar 2.4 Gambar spermatozoa perbesaran x 400

(Rat Sperm Morphological Assesment, Guideline Document Ed. 1. Oktober, 2000)

Gambar 2.3 Siklus spermatogenesis pada tikus

Tahap siklus sel dalam spermatogenesis tikus dimulai se arah jarum jam dari kiri bawah A,spermatogonium tipe A; In, spermatogonium tipe intermediate, B, spermatogonium tipe B; R, resting spermatosit primer; L, Leptotene spermatosit; Z, zygotene spermatosit; P (I), P (VII), P(XII), awal, pertengahan dan akhir spermatosit pakiten. Angka romawi menunjukkan tahap siklus dimana mereka ditemukan; DI, diplotene; II, spermatosit sekunder; 1 – 19, langkah-langkah spermiogenesis. Tabel di tengah memberikan komposisi cellular tahapan siklus epitel seminiferus(I – XIV). M superscript

mengindikasikan terjadinya mitosis. Diadaptasi dari Clermont dengan sedikit modifikasi (1962) (Krinke, 2000).


(37)

2.3.3 Pengaturan Spermatogenesis

Proses spermatogenesis di dalam tubulus seminiferus diatur dengan berbagai pengaruh internal dan eksternal (Holstein, 2003). Proliferasi dan diferensisasi sel germinal pria dan pengaturan mekanisme spermatogenesis secara intratestikular dan ekstratestikular dapat diganggu pada setiap tahapnya (Holstein AF, 1988). Hal ini dapat terjadi akibat pengaruh lingkungan atau penyakit yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi spermatogenesis (Nieschlag, 2001; Holstein AF, 1994). Perbedaan senyawa nutrisi, terapi, obat, hormon dan metabolitnya, senyawa toksik atau radiasi sinar-x dapat mengurangi atau mengganggu spermatogenesis (Holstein, 2003).

a. Pengaturan Intrinsik

Sel Leydig di dalam celah intratubular mensekresikan testosteron dan senyawa tambahan neuroendokrin dan faktor pertumbuhan. Hormon-hormon, transmitter dan faktor pertumbuhan tersebut diarahkan menuju sel Leydig, pembuluh darah dan lamina propia tubulus seminiferus dan sel Sertoli. Mereka terlibat dalam menjaga trofik sel Sertoli dan jaringan sel peritubular, mempengaruhi kontraktilitas dari miofibroblas


(38)

dan dalam mengatur pergerakan peristaltik tubulus seminiferus dan transportasi spermatozoa (Holstein, 2003).

b. Pengaruh Ekstrinsik

Pengaturan spermatogenesis secara setempat di dalam testis memerlukan stimulus ekstratestikular yang didapatkan dari hipotalamus dan hipofisis. Sekresi gonadotropin relasing hormone (GnRH) dari hipotalamus menginisiasi pelepasan hormon lutrinzing (LH) dari hipofisis. Sebagai hasilnya sel Leydig menstimulasi untuk memproduksi testosteron. Testosteron tidak hanya mempengaruhi spermatogenesis di dalam tubulus seminiferus testis tapi juga didistribusi ke seluruh tubuh dan memberikan timbal balik ke hipofisis yang berhubungan dengan aktivitas sel Leydig. Stimulasi sel Sertoli oleh hormon follicle stimulating hormone (FSH) penting untuk pematangan sel germinal. Sel Sertoli sendiri mensekresikan inhibin timbal balik yang diarahkan ke hipofisis. Pengaruh ekstratestikular merupakan dasar penting untuk fungsi pengaturan secara intratestikular (Holstein, 2003).

2.3.4 Peran Hormon Pada Spermatogenesis

Spermatogenesis dikendalikan oleh sekresi gonadotropin, yaitu sekresi Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan produksi testosteron oleh Luteinizing Hormone (LH) (Muslim Akmal dkk, 2011).

a. Folicle Stimulating Hormone (FSH)

Folicle Stimulating Hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) merupakan hormon glikoprotein yang disekresikan melalui kelenjar pituitari anterior yang beraksi secara langsung pada testis untuk menstimulasi fungsi sel somatik dalam mendukung spermatogenesis (Holdcraft, 2004). Aksi FSH pada spermatogenesis kemungkinan mediasi oleh sel Sertoli, karena hormon peptida tidak dapat mencapai spermatosit dan spermatid dalam barrier darah-testis, yang terbentuk selama 16-19 hari post partum (Krinke, 2000).


(39)

b. Hormon Testosteron

Testosteron dan metabolitnya, dihidrotestosteron (DHT) dan estradiol (E2) merupakan hormon reproduksi. Hal ini karena peran utama mereka dalam regulasi gonad dan perkembangan sel germinal di pria dan wanita seperti pada diferensiasi seksual pada pria (Holdcraft, 2004).

Gambar 2.6 Konversi Hormon Testosteron (Goodman & Ghilman, Ed. 11th Online Edition, 2005)

c. Luteinizing Hormone (LH)

Hormon LH disekresikan melalui kelenjar anterior pituitari, menstimulasi sel Leydig untuk mensekresikan testosteron (Guyton, 2010).

2.4 Enzyme-linked Immunosorbent Assay (ELISA)

ELISA adalah uji cepat yang digunakan untuk mendeteksi dan kuantifikasi antibodi atau antigen yang menyerang virus, bakteri dan bahan lainnya. (ELISA Technical IDEXX, 2013). ELISA merupakan metode immunoassay yang menggunakan enzim sebagai label. Metode ELISA dibagi menjadi 2 jenis teknik yaitu teknik kompetitif dan non kompetitif.


(40)

Teknik non kompetitif ini dibagi menjadi dua yaitu sandwich dan indirect. Pemeriksaan hormon menggunakan teknik kompetitif dan sandwich (Kricka, 1999; Ashihara, 2001).

2.4.1 Competitive Assay Format

Competitive assay format adalah kombinasi sejumlah analit yang tidak diketahui yang diperkenalkan dari sampel dan analit referensi berkompetisi untuk berikatan pada daerah ikatan antibodi (antibody binding sites) yang jumlahnya terbatas.

Antibodi dengan spesifiksitas

yang bervariasi

Antigen dengan Epitop yang

bervariasi

Protein untuk blokade daerah

ikatan non spesifik

streptavidin Enzim Gambar 2.7Competitive Assay Format (Technical Guide for ELISA, 2013)


(41)

Pada gambar 2A menunjukkan, analit sampel yang ditambahkan berkompetisi dengan solid phase adsorbed analit referensi (kit) untuk mengikat antibodi berlabel dalam jumlah yang terbatas. Pada gambar 2B menjelaskan, analit referensi yang berlabel dalam larutan dikombinasi dengan analit sampel berkompetisi untuk mengikat solid phase adsorbed antibody dalam jumlah yang terbatas. Jika penjenuhan antibodi terjadi, penambahan sedikit jumlah sampel kompetitor tidak akan memberikakan efek pada perubahan aktivitas deteksi. Dengan demikian sensitivitas

competitive assay bergantung pada daerah ikatan antibodi yang lebih sedikit dibandingkan jumlah daerah analit referensi. Ini menyediakan kuantisasi yang paling akurat dari berbedanya format yang ada. Karena terbatasnya jumlah antibodi yang dapat digunakan, sensitivitas pada format ini secara ketat dibatasi oleh afinitas interaksi antara antibodi dan analit.

2.4.2 Non competitive Assay Format

Non competitiveassay adalah format pengujian dimana daerah ikatan antibodi yang ada lebih dari jumlah analit yang dideteksi sehingga format non kompetitif ini yang paling sensitif.


(42)

2.4.3 Sandwich Assay

Prinsip dasar dari sandwich assay adalah sampel yang mengandung antigen direaksikan dengan antibodi spesifik pertama yang terikat dengan fase padat. Selanjutnya ditambahkan antibodi spesifik kedua yang berlabel enzim dan ditambahkan substrat dari enzim tersebut (Asihara, 2001).

Keuntungan metode ELISA yaitu : 1. Cukup Sensitif

2. Reagen relatif murah dan dapat disimpan dalam jangka waktu yang lama

3. Dapat memeriksa beberapa parameter sekaligus 4. Peralatan mudah didapat

5. Tidak menggunakan zat radiasi (Asihara, 2001) Kerugian metode ELISA :

1. Pemeriksaan menggunakan enzim sebagai label cukup kompleks karena aktivitas enzim dipengaruhi oleh berbagai faktor (Asihara, 2001).

2.4.4 Kit ELISA

Kit ELISA testosteron adalah fase padat enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) dengan prinsip competitive binding.

Sumuran mikrotiter dilapisi secara langsung dengan antibodi monoklonal tikus untuk sisi antigen unik pada molekul testosteron. Testosteron endogen dari sampel hewan uji berkompetisi dengan semacam testosteron


(43)

konjugat peroksidase untuk berikatan dengan lapisan antibodi. Setelah inkubasi konjugat yang tidak terikat dihilangkan. Jumlah dari ikatan konjugat peroksidase adalah berbanding terbalik terhadap konsentrasi testosteron sampel. Setelah penambahan larutan substrat, intensitas warna berkembang berbanding terbalik dengan konsentrasi dari sampel hewan uji.

2.5 Preparasi Bawang Putih

2.5.1 Homogenat Bawang Putih Kasar

Homogenat bawang putih dibuat dari umbi bawang putih yang telah dikupas kemudian dihancurkan di dalam blender dengan sejumlah volume air destilasi. Campuran ini kemudian dibiarkan selama 30 menit pada suhu 250C. Homogenat bawang putih kasar diperloleh setelah disaring melalui kain flanel (Kasuga et al., 2001)

2.5.2 Serbuk umbi lapis bawang putih

Untuk mendapatkan serbuk umbi lapis bawang putih, umbi bawang putih terlebih dahulu dipotong, dihancurkan, didehidrasi dan dipulverisasi menjadi bentuk serbuk. Bentuk ini merupakan salah satu bentuk yang digunakan sebagai suplemen makanan. Kandungan sulfur di dalam bentuk kasar bawang putih dan serbuk umbi lapis bawang putih adalah Alliin. Dehidrasi yang sempurna (dengan minimum kehilangan) menghasilkan 2-2,5 mg aliin g-1 dari serbuk umbi lapis bawang putih (Iberl et al, 1990 dalam Hammami, 2012).

2.5.3 Aged Garlic Extract

Bawang putih yang telah diiris-iris disimpan didalam etanol 15-20% selama 20 bulan pada temperatur ruang di sebut aged garlic extraxt. Seluruh proses ini menyebabkan kehilangan sejumlah allisin dan meningkatkan aktivitas komponen larut air yg baru seperti S-allylcystein dan S-allylmercaptocystein (Kasuga et al., 2001).


(44)

2.5.4 Minyak Bawang Putih

Minyak bawang putih yang digunakan untuk pengobatan didapatkan melalui proses destilasi uap. Seluruh umbi bawang putih direndam di dalam air didestilasi dengan dipanaskan atau diekstrasi dengan pelarut organik (misalnya heksan) untuk mendapatkan fraksi minyak. Fraksi minyak umbi bawang putih menggambarkan 0,2-0,5% bawang putih kasar (Amagase et al., 2001).


(45)

BAB 3

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2015 hingga Mei 2015. Pembuatan serbuk umbi lapis bawang putih dilakukan di laboratorium Farmakognosi dan Fitokimia UIN Syarif Hidayatullah dan Laboratorium Fitokimia Universitas Indonesia, pemeliharaan dan perlakuan hewan uji di Animal House (AH), pengamatan terhadap parameter dilakukan di laboratorium penelitian II, laboratorium Kultur dan MPR UIN Syarif Hidayatullah dan pengujian skrining fitokimia dilakukan di laboratorium kimia obat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah blender, freeze dry, timbangan analititk (AND GH-202 dan Wiggen Hauser), erlenmeyer, beaker glass, spatula, corong gelas, tabung reaksi, pipet tetes, cawan penguap, botol timbang, kurs silikat, oven (Memmert), tanur (Thermo Scientific), alumunium foil, timbangan, kandang tikus beserta tempat makanan dan minuman, sonde oral,

syringe, wadah pembiusan, alat bedah minor, kaca objek dan cover glass, mikropipet (Eppendorft Research plus), Eppendorf tube, centrifuge, vortex, mikroskop cahaya (Motic dan Epson), Hemositometer improved Neubauer (NESCO), freezer, waterbath,

desikator, kit ELISA dan ELISA reader, corong pisah dan destilasi. 3.2.2 Bahan Penelitian

a. Bahan Uji

Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah bawang putih lokal yang dibeli dari petani di Tawangmangu.


(46)

Sebelum dilakukan penelitian, bawang putih terlebih dahulu dideterminasi di “Herbarium Bogoriense”, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor untuk memastikan kebenaran bahan uji.

b. Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah aquades dan NaCMC untuk preparasi suspensi serbuk umbi lapis bawang putih, pereaksi untuk penapisan fitokimia (HCL 2N, pereaksi Bouchardat, pereaksi Dragendorff, pereaksi Mayer, Metanol, Eter, etanol 95%, HCL pekat, NaOH 10%, FeCl3 1%, serbuk Mg, Amil Alkohol, H2SO4 pekat, Etanol 70%, Kloroform, asetat anhidrat, Toulena p.a). Penyiapan sperma (normal saline water); larutan George;NaCl fisiologis; dan larutan Baker’s buffer

glukosa 3%; Na2HPO4 2H2O 0,31%; NaCl 0,2%; KH2PO4 0,01%). 3.2.3 Hewan Uji

Hewan uji yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan strain Sprague Dawley yang sehat dan fertil berumur 2,5-3 bulan (10 minggu) dengan berat badan 200-300 gram yang diperoleh dari Animal Facility and Modeling Provider Institut Pertanian Bogor (IPB).

3.3 Rancangan Penelitian 3.3.1 Besar Sampel

Penelitian ini bersifat eksperimental yang terbagi dalam 5 kelompok perlakuan yang masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor tikus jantan strain Sprague Dawley (WHO, 1993). Hewan uji yang digunakan sebanyak 25 ekor tikus.

3.3.2 Dosis Perlakuan

Dosis perlakuan mengacu pada hasil penelitian Dixit & Joshi (1982) (dalam Hammami, 2012) yaitu pemberian kronik 50 mg kg-1 hari-1serbuk umbi lapis bawang putih dapat menginduksi


(47)

penghambatan fase spermatosit primer. Dosis pada penelitian merupakan peningkatan dosis yang mengacu pada penelitian Dixit & Joshi, maka dosis yang digunakan 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB dan 150 mg/kgBB. Waktu perlakuan dilakukan selama 30 hari. Penelitian mengenai aktivitas pemberian pakan bawang putih kasar dapat memodifikasi testikular tikus jantan dilakukan selama satu bulan (Hammami, 2009).

Kelompok Perlakuan

Lama Pemberian Pengukuran/Bagian yang digunakan I (Kontrol) Tikus diberikan suspensi Na CMC

0,5%

30 hari

 Darah dari vena lateral ekor (testosteron Serum) pada hari ke-0 dan ke-31  Sperma dikeluarkan dari

kauda epididimis II (dosis 50mg/kgBB) Tikus diberikan suspensi serbuk umbi lapis bawang putih 50

mg/kgBB

30 hari

 Darah dari vena lateral ekor (testosteron Serum) pada hari ke-0 dan ke-31  Sperma dikeluarkan dari

kauda epididimis III (dosis 100mg/kgB B) Tikus diberikan suspensi serbuk umbi lapis bawang putih 100

mg/kgBB

30 hari

 Darah dari vena lateral ekor (testosteron Serum) pada hari ke-0 dan ke-31  Sperma dikeluarkan dari

kauda epididimis IV(dosis 150 mg/kgBB) Tikus diberikan suspensi serbuk umbi lapis bawang putih 150

mg/kgBB

30 hari

 Darah dari vena lateral ekor (testosteron Serum) pada hari ke-0 dan ke-31  Sperma dikeluarkan dari

kauda epididimis Spermisidal Tikus dimatikan. Kemudian sperma dikeluarkan dari kauda epididimis untuk uji aktivitas

spermisidal.

- Sperma dikeluarkan dari kauda epididimis


(48)

3.4 Prosedur Kerja

3.4.1 Penyiapan Serbuk umbi lapis bawang putih

Bawang putih didapatkan dari Tawangmangu, Karang Anyar Jawa Tengah. Sebanyak 749 gram bawang putih segar dikupas kulitnya dan dibersihkan, kemudian dihancurkan menggunakan blender hingga homogen. Hasil bawang putih yang diblender, kemudian dikeringkan menggunakan freeze dry. Bawang putih yang telah kering akan berbentuk bongkahan kering kemudian dihaluskan dengan menggunakan lumpang dan alu hingga di dapatkan serbuk. 3.4.2 Penapisan Fotokimia

Skrining fitokimia serbuk simplisia dan sampel dalam bentuk basah meliputi pemeriksaan kandungan senyawa alkaloida, saponin, flavonoida, terpenoida/steroida, tanin dan minyak atsiri sebagai berikut :

1. Pemeriksaan Alkaloida (Harbone, 1987)

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 gram kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat yang diperoleh dipakai untuk test alkaloida sebagai berikut :

i. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambahkan dengan 2 tetes pereaksi Bouchardat, reaksi positif ditandai dengan terbentuknya endapan berwarna coklat sampai hitam

ii. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes pereaksi Dragendorff, reaksi positif ditandai dengan terbentuknya warna merah atau jingga

iii. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah 2 tetes pereaksi Mayer, reaksi positif ditandai dengan terbentuknya endapan menggunmpal berwarna putih atau kuning

2. Pemeriksaan Saponin (Depkes, 1995)

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 0,5 gram dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan,


(49)

kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Jika terbentuk busa setinggi 1-10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk sampel dalam keadaan basah.

3. Pemeriksaan Tanin (Harbone, 1987)

Serbuk simplisia ditimbang sebanyak 1 gram, disari dengan 10 ml air suling lalu disaring. Filtrat diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil sebanyak 2 ml dan ditambahkan dengan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin. Prosedur yang sama juga dilakukan untuk sampel dalam bentuk basah.

4. Flavonoid

i. Uji reagen alkali : Sampel ditambahkan larutan NaOH 10%, kemudian akan terbentuk warna kuning intens yang mengindikasikan adanya Flavonoid (Godghate Ashvin et al., 2012). ii. Sejumlah 1 gram serbuk bahan ditambah 100 ml air panas, didihkan selama 5 menit dan disaring, filtrat digunakan sebagai larutan percobaan. Ke dalam 5 ml larutan ditambahkan sedikit serbuk magnesium dan 1 ml HCl pekat. Ditambahkan 5 ml amil-alkohol, dikocok dengan kuat, biarkan hingga memisah. Terbentuk warna dalam larutan amil-alkohol menunjukkan adanya senyawa flavonoid. Warna yang terbentuk orange sampai merah (flavon), merah sampai crimson (flavanol), crimson sampai magenta (flavanon) (Harbone, 1987; Farnsworth, 1966).

5. Steroid dan Triterpenoid (G.C Bag et al., 2013)

Uji Salkowski : sampel ditambahkan dengan kloroform dan disaring. Filtrat kemudian ditambahkan dengan beberapa tetes Asam Sulfat pekat, dikocok dan dibiarkan beberapa saat. Adanya warna merah pada lapisan bawah menunjukkan adanya steroid. Terbentuknya warna coklat kemerahan pada interfase setelah


(50)

penambahan asam sulfat pekat melalui sisi tabung secara hati-hati (tanpa dikocok) menunjukkan adanya terpenoid.

3.4.3 Pengukuran Parameter Spesifik dan Non Spesifik 1. Parameter Spesifik (Depkes RI, 2000)

Identitas ekstrak dengan deskripsi tata nama sebagai berikut :

 Nama ekstrak

 Nama latin tumbuhan (sistemika botani)

 Bagian tumbuhan yang digunakan

 Nama Indonesia tumbuhan

Organoleptik diamati menggunakan panca indera untuk mendeskripsikan bentuk, warna, bau, rasa sebagai berikut :

 Bentuk : padat, serbuk-kering, kental, cair

 Warna : kuning, coklat, dll

 Bau : aromatik, tidak berbau dll 2. Parameter Non Spesifik

a. Susut pengeringan (Depkes RI, 2000)

Serbuk ditimbang secara seksama sebanyak 1 gram kemudian dimasukkan ke dalam botol timbang dangkal bertutup yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu 1050C selama 30 menit dan telah ditara. Sebelum ditimbang, serbuk diratakan dalam botol timbang dengan menggoyang-goyangkan botol hingga membentuk lapisan setebal 5 mm sampai 10 mm. Jika ekstrak yang diuji adalah ekstrak kental, ratakan dengan batang pengaduk. Kemudian dimasukkan ke dalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan pada suhu 1050C hingga bobot tetap. Sebelum setiap pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup mendingin dalam desikator hingga suhu kamar. Jika serbuk sulit kering dan mencair pada pemanasan, ditambahkan 1 gram silikapengering yang telah ditimbang secara seksama. Setelah dikeringkan dan disimpan dalam desikator pada suhu kamar, silika tersebut dicampurkan secara rata dengan serbuk pada saat panas, kemudian keringkan kembali pada suhu penetapan hingga bobot tetap


(51)

b. Kadar abu (Depkes RI, 2000)

Sebanyak 2 gram Serbuk yang telah digerus dan ditimbang secara seksama dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ratakan. Pijarkan perlahan-lahan hingga arang habis, dinginkan kemudian ditimbang. Jika dengan cara ini arang tidak dapat dihilangkan, tambahkan air panas saring melalui kertas saring bebas abu. Pijarkan sisa kertas dan kertas saring dalam kurs yang sama. Masukan filtrat ke dalam kurs, uapkan. Kemudian dipijarkan hingga bobot tetap, lalu ditimbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.

c. Kadar Air (Depkes RI, 2000)

Cara Destilasi : bersihkan tabung penerima dan pendingin dengan asam pencuci, bilasi dengan air, keringkan dalam lemari pengering. Ke dalam labu kering masukkan sejumlah ekstrak yang ditimbang seksama yang diperkirakan mengandung 2 ml sampai 4 ml air. Jika ekstrak berupa ekstrak kental, timbang dalam sehelai lembaran logam dengan ukuran yang sesuai dengan leher labu. Untuk ekstrak yang dapat menyebabkan gejolak mendadak, tambahkan pasir kering yang telah dicuci secukupnya hingga mencukupi dasar labu atau sejumlah tabung kapiler, panjang lebih kurang 100 mm yang salah satu ujungnya tertutup. Masukkan lebih kurang 200 ml toluen ke dalam labu, hubungkan alat. Tuang toluen ke dalam tabung penerima (R) melalui alat pendingin. Panaskan labu hati-hati selama 15 menit.

Setelah toluen mulai mendidih, suling dengan kecepatan lebih kurang 2 tetes tiap detik, hingga sebagian air tersuling, kemudian naikkan kecepatan penyulingan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, cuci tabung bagian dalam pendingin dengan toluen, sambil dibersihkan dengan sikat tabung yang disambungkan pada sebuah kawat tembaga dan lebih dibasahi dengan toluen. Lanjutkan penyulingan selama 5 menit. Biarkan tabung penerima pendingin hingga suhu kamar. Jika ada tetes air yang melekat pada


(52)

pendingin tabung penerima, gosok dengan karet yang diikatkan pada sebuah kawat tembaga dan basahi dengan toluen hingga tetesan air turun. Setelah air dan toluen memisah sempurna, baca volume air. Hitung kadar air dalam persen.

3.4.4 Penyiapan Hewan Coba

Tikus jantan galur Sprague-Dawley diaklimatisasidi animal house Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan selama 4 minggu. Diberi makan dan minum ad libitum. Bawang putih (Allium sativum)

kasar diberikan secara oral menggunakan sonde sekali setiap hari selama 30 hari dengan dosis seperti tertera pada tabel rancangan percobaan (Tabel 4).

3.4.5 Pengukuran Parameter

1. Perhitungan konsentrasi spermatozoa

Perhitungan konsentrasi spermatozoa dilakukan dengan cara mengambil spematozoa pada kauda epididimis. Spermatozoa yang didapat diletakkan dalam cawan penguap yang berisi cairan NaCl sebanyak 500 µL. Spermatozoa dimasukkan ke dalam kamar Neubauer (Hemasitometer) sampai kamar Neubauer terisi rata. Kemudian dihitung jumlah spermatozoa pada salah satu kamar hitung Neubauer dan selanjutnya ditentukan pengenceran yang akan dilakukan dan jumlah kotak yang akan dihitung (Tabel 5) (Ilyas, 2007)

No. Jumlah

Spermatozoa dalam 1 kotak

Faktor pengenceran

Kotak kecil yang dihitung

1 >40 50 kali 5

2 15-40 20 kali 10

3 <15 10 kali 25


(53)

Dari sejumlah spermatozoa yang diketahui, maka dilakukan pengenceran spermatozoa berdasarkan jumlah spermatozoa yang terhitung (Ilyas, 2007).

No. Pengenceran Pembuatan Pengenceran

1 50 kali a. 980 µL larutan George + 20 µL spermatozoa

b. 2.450 µL larutan George + 50 µL spermatozoa

2 20 kali 950 µL larutan George + 50 µL spermatozoa 3 10 kali a. 900 µL larutan George + 100 µL

spermatozoa

b. 450 µL larutan George + 50 µL spermatozoa

Setelah pengenceran, dilakukan perhitungan spermatozoa dengan jumlah kotak yang dihitung sesuai dengan jumlah spermatozoa dan cara pengenceran pada tabel 5. kemudian dilakukan pengukuran konsentrasi spermatozoa sesuai dengan rumus di bawah ini (Ilyas, 2007).

Keterangan:

n : jumlah spermatozoa yang dihitung 10.000 : volume kamar hitung Neubauer Fp : faktor pengenceran

25 : total kotak kecil yang terdapat dalam kamar hitung Neubauer

k : kotak kecil yang dihitung pada saat pengamatan Tabel 6. Cara Pengenceran

Konsentrasi Spermatozoa = n x 10.000 x Fp x 25


(54)

vNaCl : volume NaCl fisiologis (ml) yang digunakan untuk membantu mengeluarkan spermatozoa (juta/ml) dapat terlihat dari tabel 7 berikut.

No. Jumlah kotak yang dihitung

Rumus konsentrasi Spermatozoa

1 5 n x 10.000 x 50 x 5 x 0,5 2 10 n x 10.000 x 20 x 2,5 x 0,5 3 25 n x 10.000 x 10 x 1 x 0,5

2. Konsentrasi hormon testosteron

Selama 30 hari tikus diberikan perlakuan dengan cara memberikan serbuk bawang putih peroral. Pada hari ke-0 dan ke-31 dilakukan pengambilan darah melalui vena lateral ekor sebanyak 1 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tube. Setelah 24 jam dari perlakuan terakhir, berat tikus yang terakhir dicatat. Darah dikumpulkan. Serum dipisahkan dengan cara sentrifugasi pada 3000 g selama 10 menit dan disimpan pada -200C sampai digunakan untuk

assay biokimia (Krishna, 2012).

Prosedur pengukuran kadar testosteron menggunakan kit ELISA, larutan standar, kontrol dan sampel, dipipet masing-masing sebanyak 25 uL ke dalamwells. Enzyme conjugate dipipet sebanyak 200 uL ke dalam setiap wells ,kemudian dicampurkan selama 10 detik. Hal yang penting adalah tahap pencampuran hingga selesai. Campuran tersebut kemudian diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruangan (tanpa menutup plate), wells kemudian digoyangkan dengan cepat. Wells diteteskan dengan wash solution (400 uL per well), wells

diletakan di atas kertas penyerap untuk menghapus sisa tetesan.

Substrate solution sebanyak 200 uL ditambahkan ke dalam wells. Setelah itu diinkubasi selama 15 menit pada suhu ruangan. Penghentian reaksi enzimatik dilakukan dengan penambahan stop solution sebanyak 100uL ke dalam setiap wells. Tentukan nilai


(55)

absorbansi setiap wells pada 450 ± 10 nm dengan microtitter plate reader waktu yang direkomendasikan untuk membaca nilai absorbansi setiap wells adalah 10 menit setelah penambahan stop solution.

(DRG® Testosterone (Rat) ELISA, 2013).

3. Aktivitas Spermisidal

Aktivitas spermisidal ditentukan dengan menggunakan versi modifikasi dari protokol asli (Sander dan Metode Cramer) yang mengukur konsentrasi minimum zat spermisida yang dibutuhkan untuk membunuh 100% sperma dalam 20 detik. Tikus yang digunakan adalah tikus yang fertil. Tikus kemudian dikorbankan untuk mengambil kauda epididimis kemudian semen dikumpulkan dan diinkubasi dengan normal saline water untuk uji in vitro dari sperma tikus. Sperma yang digunakan memiliki motilitas (≥50%) dan konsentrasi sperma (≥ 20 juta/ml) (Ashish Ranjan, Singth, 2013).

Uji serbuk umbi lapis bawang putih dilakukan pada berbagai konsentrasi (150, 170, 190, 210, 230 dan 250 mg/ml) yang dicampurkan ke dalam suspensi sperma yang mengandung 1 juta sperma. Campuran tersebut diamati dibawah mikroskop selama 20 detik di perbesaran 10 X dan dicatat motilitas sperma. Konsentrasi dicatat jika ada sperma motil yang terlihat. Lalu 250 uL buffer ditambahkan ke semua campuran dan diinkubasi pada suhu 37oC selama minimal 60 menit. Larutan tersebut perlahan-lahan di vortex dan diamati lagi setiap sperma yang motil. Konsentrasi dicatat sebagai hasil yang efektif jika kedua tes menunjukkan tidak adanya sperma motil. Titik akhir adalah konsentrasi terendah dari serbuk umbi lapis bawang putih yang menyebabkan imobilisasi semua sperma dalam 20 detik pencampuran (Ashish Ranjan Singth, 2013).

3.5 Analisa Data

Data hasil percobaan dianalisis untu melihat penurunan konsentrasi spermatozoa, testosteron dan aktivitas spermisidal dari masing-masing kelompok perlakuan. Analisis data menggunakan


(56)

program pengolahan data statistik SPSS 16 yang meliputi uji normalitas, uji homogenitas, uji parametrik (one-way ANOVA) dan uji paired sample t-test. Jika hasil dari uji ANOVA maupun paired sample t-test menunjukkan perbedaan yang nyata (p≤0,05) maka

analisis data dilanjutkan menggunakan Least Significant Difference (LSD).


(57)

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. HASIL PENELITIAN 4.1.1. Determinasi Tanaman

Determinasi tanaman dilakukan di “Herbarium Bogoriense”, Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi-LIPI Bogor. Hasil determinasi menunjukkan bahwa tanaman uji adalah benar tanaman bawang putih (Allium sativum L) suku Amaryllidaceae.

Surat pernyataan hasil determinasi dapat dilihat pada lampiran 1. 4.1.2. Pembuatan Serbuk umbi lapis bawang putih

Sebanyak 749 gram bawang putih segar dilakukan pengupasan kulit dan dibersihkan dengan air mengalir. Bawang putih yang sudah bersih dihaluskan dan dihancurkan menggunakan blender. Bawang putih (Allium sativum) yang sudah halus kemudian dikeringkan untuk dijadikan serbuk dengan cara freeze dryer di Laboratorium Fitokimia Universitas Indonesia, Depok. Hasil freeze dry Bawang Putih berupa bongkahan kemudian di haluskan dengan lumpang dan alu untuk didapatkan serbuk umbi lapis bawang putih. Serbuk umbi lapis bawang putih yang digunakan untuk percobaan adalah 80 gram.

4.1.3. Penapisan Fitokimia Serbuk

Hasil penapisan fitokimia serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) ditunjukkan pada tabel 4.1


(58)

Tabel 8.Hasil Penapisan Fitokimia Serbuk umbi lapis bawang putih

Penapisan Fitokimia Uji Hasil Keterangan

Alkaloid

 Uji Mayer  Uji Dragendorf  Uji Bouchardat

positif

Terbentuk larutan keruh  Terbentuk warna

jingga  Terbentuk

endapan coklat Saponin  Uji busa

Positif Terbentuk busa yang tidak hilang

Tanin

 Uji perubahan FeCl3 Negatif Tidak terbentuk warna biru kehitaman atau hijau kehitaman Flavonoid

Uji reagen alkali  Uji perubahan Mg

Negatif

 Tidak terbentuk warna kuning intens

 Tidak terbentuk warna dilarutan amil alkohol Terpenoid  Uji Salkowski

Positif

Warna coklat kemerahan di lapisan interfase Steroid  Uji Salkowski

Positif Warna merah pada lapisan bawah

4.1.4. Pengujian Parameter Serbuk

Hasil pengujian parameter spesifik dan non spesifik serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativumL.) dapat dilihat pada tabel 9.


(59)

Tabel 9. Hasil Pengujian Parameter Spesifik dan Non Spesifik

Parameter Hasil

Spesifik 1. Identitas Serbuk a. Nama latin tumbuhan b. Bagian tumbuhan yang

digunakan

c. Nama Indonesia tumbuhan

a. Allium sativum L. b. Umbi lapis c. Bawang Putih

2. Organoleptik a. Bentuk b. Warna c. Bau

a. Serbuk

b. Putih kuning-kehijauan

c. Khas Parameter Non

Spesifik

Kadar Abu 5,17%

Kadar Air 7,00%

Susut Pengeringan 9,99%

Susut pengeringan serbuk umbi lapis bawang putih yang digunakan sesuai dengan farmakope herbal Indonesia (2009) yaitu tidak lebih dari 10%. Kadar abu serbuk umbi lapis bawang putih melebihi batas farmakope herbal yaitu tidak lebih dari 3,0%. Menurut keputusan menteri kesehatan Republik Indonesia tentang persyaratan obat tradisional (1994), kadar air serbuk adalah tidak lebih dari 10% sehingga serbuk umbi lapis bawang putih yang digunakan sesuai dengan ketentuan.

4.1.5. Pengukuran Konsentrasi Testosteron

Pengukuran konsentrasi testosteron dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada hari ke-0 sebelum pemberian serbuk umbi lapis bawang putih (Allium sativum L.) dan hari ke-31. Serbuk umbi lapis bawang putih diberikan selama 30 hari. Pada hari ke-31 sebelum tikus dikorbankan, darah tikus diambil kembali. Darah yang didapatkan kemudian didiamkan semalaman untuk mendapatkan serumnya. Serum tersebut kemudian digunakan untuk


(60)

pengukuran konsentrasi testosteron. Hasil pengukuran konsentrasi testosteron dapat dilihat pada tabel 10 dan grafik pada gambar 4.1

Tabel 10. Hasil Perhitungan Konsentrasi Testosteron

Kelompok Uji Konsentrasi Testosteron (ng/mL) ± SD

Hari Ke-0 Hari Ke-31

Kontrol 6,88 ± 0,831 7,26 ± 1,073

Dosis 50 mg/kgBB 6,39 ± 1,921 3,08 ± 1,715 Dosis 100mg/kgBB 2,86± 0,473 2,99 ± 1,309 Dosis 150 mg/kgBB 2,25 ± 0,392 1,80 ± 0,195

Terdapat penurunan konsentrasi testosteron pada kelompok dosis 50 mg/kgBB dan dosis 150 mg/kgBB dan peningkatan konsentrasi testosteron pada kelompok kontrol dan dosis 100 mg/kgBB.

Gambar 4.1. Kurva Rerata Konsentrasi Testosteron

Berdasarkan hasil pengamatan terdapat penurunan konsentrasi testosteron pada kelompok dosis 50 mg/kgBB dan dosis 150 mg/kgBB pada hari ke-31, serta terjadi peningkatan pada kelompok kontrol dan dosis 100 mg/kgBB pada hari ke-31. Penurunan dan peningkatan yang terjadi pada kelompok uji masih berada di dalam rentang konsentrasi testosteron normal. Data hasil

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kontrol 50 mg/KgBB 100 mg/KgBB 150 mg/KgBB Ko n se n tra si (n g/mL) Dosis H-0 H-31


(1)

Universitas Islam Negeri Jakarta Kesimpulan : Perbedaan data konsentrasi testosteron kelompok dosis 100 mg/KgBB tikus putih galur Sprague Dawley antara hari ke-0 dan hari ke-31 tidak berbeda secara bermakna.


(2)

Universitas Islam Negeri Jakarta

Lampiran 12. Hasil Perhitungan Konsentrasi Spermatozoa

N

o Kelompok

Hew an Uji (No. Tiku s) Pengenceran Jumlah Spermatozoa (Ekor) Konsentrasi Spermatozoa (Juta/mL) Rerata Konsentrasi Tiap Tikus (Juta/mL) Rerata Konsentra si Tiap Kelompok (Juta/mL) ±SD Kan

an Kiri

Kana

n Kiri Kanan Kiri

1 Kontrol 1 20 20 53 51 13,250 12,750 13,000

11,93 ± 0,305 2 20 20 38 56 14,000 9,500 11,750

3 20 20 57 32 14,250 8,000 11,250 4 20 20 39 53 9,750 13,250 11,500 5 50 20 8 57 10,000 14,250 12,125 2 50mg/ Kg 1 20 20 19 23 4,750 5,750 5,250

18,8 ± 3,751 2 20 50 65 32 16,250 40,000 28,125

3 50 50 23 12 28,750 15,000 21,875 4 50 20 24 40 30,000 10,000 20,000 5 50 50 19 11 23,750 13,750 28,750 3 100mg/Kg 1 50 50 34 9 42,500 11,250 26,875

22,63 ± 2,490 2 50 50 14 25 17,500 31,250 24,375

3 50 50 13 16 16,250 20,000 18,125 4 50 50 24 16 30,000 20,000 25,000 5 50 50 23 7 28,750 8,750 18,750 4 150mg/Kg 1 50 50 12 16 15,000 20,000 17,500

22,13 ± 1,881 2 50 50 16 18 20,000 22,250 21,250

3 50 50 11 20 13,750 25,000 19,375 4 50 50 18 27 22,500 37,500 28,125 5 50 50 25 14 31,250 17,500 24,375


(3)

Universitas Islam Negeri Jakarta Lampiran 13. Analisis Statistik Data Konsentrasi Spermatozoa

1.Uji Normalitas

Hasil Uji Normalitas Data Konsentrasi Spermatozoa Tikus Galur Sprague Dawley

Tujuan : Untuk melihat data konsentrasi spermatozoa terdistribusi normal atau tidak

Hipotesis :

Ho : Data konsentrasi spermatozoa terdistribusi normal Ha : Data konsentrasi spermatozoa tidak terdistribusi normal Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikasi 0,05, maka Ho diterima

Jika nilai signifikasi ≤ 0,05, maka Ho ditolak

Hasil Uji Normalitas Data Konsentrasi Spermatozoa Tikus Putih Galur

Sprague Dawley

Keputusan : Data konsentrasi spermatozoa tikus putih galur Sprague Dawley terdistribusi normal.

2.Uji Homogenitas

Hasil Uji Homogenitas Data Konsentrasi Spermatozoa Tikus Putih Galur

Sprague Dawley


(4)

Universitas Islam Negeri Jakarta Hipotesis :

Ho : Data konsentrasi spermatozoa bervariasi homogen Ha : Data konsentrasi spermatozoa tidak bervariasi homogen Pengambilan keputusan :

Jika nilai signifikasi 0,05, maka Ho diterima

Jika nilai signifikasi ≤ 0,05, maka Ho ditolak

Hasil Uji Homogenitas Data Konsentrasi Spermatozoa Tikus Putih Galur

Sparague Dawley

Keputusan : Data konsentrasi spermatozoa tikus galur Sprague Dawley

bervariasi homogen

3.Uji ANOVA

Tujuan : Untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan data konsentrasi spermatozoa

Hipotesis :

Ho : Data konsentrasi spermatozoa tidak berbeda secara bermakna Ha : Data konsentrasi spermatozoa berbeda secara bermakna Pengambilan Keputusan :

Jika nilai signifikansi ≤ 0,05 Ho ditolak, berarti terdapat perbedaan Jika nilai signifikansi 0,05 Ho diterima, berarti tidak terdapat perbedaan.

Hasil Uji ANOVA Data Konsentrasi Spermatozoa Tikus Putih Galur Sprague Dawley


(5)

Universitas Islam Negeri Jakarta Pengambilan Keputusan : Data Konsentrasi Spermatozoa Tikus Putih Galur

Sprague Dawley berbeda secara bermakna.

4. Uji LSD

Hasil Uji LSD Data Konsentrasi Spermatozoa Tikus Putih Galur Sprague Dawley


(6)

Universitas Islam Negeri Jakarta Lampiran 14. Perhitungan Aktivitas Spermisidal

Konsentrasi ekstrak (mg/mL) Jumlah Motilitas awal Jumlah Motilitas setelah 20 detik

pemberian ekstrak Persentase Motilitas (%) Motilitas Setelah Inkubasi

Hidup Mati Hidup Mati Awal 20 detik

ekstrak Hidup Mati

150

161 56 28 159 74,194 14,973 0 70

199 26 19 122 88,444 13,475 0 88

170

100 32 25 285 75,758 8,065 0 33

169 33 4 197 83,663 1,990 0 8

190

173 26 15 239 86,935 5,906 0 56

251 103 5 212 70,904 2,304 0 76

210

146 15 4 122 90,683 3,175 0 45

196 51 2 69 79,352 2,817 0 19

230

145 37 1 102 79,670 0,971 0 111

173 4 2 139 97,740 1,418 0 87

250

194 21 0 47 90,233 0,000 0 51

117 36 0 55 76,471 0,000 0 40

Cara menghitung presentase motilitas menggunakan rumus dibawah ini :

Motilitas (%) = Jumlah Sperma Hidup


Dokumen yang terkait

Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) Dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Histologi Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus Novergicus L) Galur Sprague Dawley

4 46 157

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 70% Daun Pacing (Costus spiralis) terhadap Diameter Tubulus Seminiferus, Motilitas, dan Spermisidal pada Tikus Jantan Strain Sprague-Dawley

0 10 95

Uji Efek Antifertilitas Serbuk Bawang putih (Allium sativum L.) terhadap Regulasi Apoptosis Sel Germinal Tikus Jantan (Rattus norvegicus) Galur Sprague Dawley

1 26 89

Uji Antifertilitas Ekstrak Etil Asetat Biji Jarak Pagar (Jatropha Curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

4 25 111

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

Uji Antifertilitas ekstrak N-Heksana biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) pada tikus putih jantan (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley secara IN VIVO

2 15 116

Uji Antifertilitas Ekstrak Etanol 70% Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Jantan Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

0 4 121

Aktivitas antifertilitas ekstrak etanol 70% daun pacing (costus spiralis) pada tikus sprague-dawley jantan secara in vivo

1 32 0

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 90% Daun Kelor (Moringa Oleifera Lam) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa, Morfologi Spermatozoa, Dan Diameter Tubulus Seminiferus Pada Tikus Jantan Galur Sprague-Dawley

4 34 116

Uji Antifertilitas Ekstrak n-heksana Biji Jarak Pagar (Jatropha curcas L.) Pada Tikus Putih Jantan (Rattus Novergicus) Galur Sprague Dawley Secara In Vivo

0 15 116