Analisis Pendapatan Budidaya Udang Vaname Di Kabupaten Rembang
ANALISIS PENDAPATAN BUDIDAYA UDANG VANAME
DI KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH
IGNATIUS RADITYA K.
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pendapatan
Budidaya Udang Vaname di Kabupaten Rembang adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Ignatius Raditya K.
NIM H34100096
ABSTRAK
IGNATIUS RADITYA KRISTIAWAN. Analisis Pendapatan Budidaya
Udang Vaname di Kabupaten Rembang. Dibimbing oleh YANTI
NURAENI MUFLIKH.
Udang Vaname merupakan salah satu komoditas perikanan unggulan
ekspor Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tingkat biaya
dan pendapatan budidaya udang vaname, tingkat efisiensi usahatani. Data
dianalisis menggunakan metode deskriptif, analisis pendapatan usahatani,
R/C rasio, Return to Labor dan Return to Capital. Hasil menunjukkan
bahwa pendapatan budidaya udang vaname dengan masa pembesaran lebih
dari 90 hari lebih menguntungkan daripada masa pembesaran kurang dari 90
hari. Sementara itu, rata-rata perhitungan R/C rasio dari budidaya udang
vaname menunjukkan bahwa budidaya akan semakin efisien bila masa
pembesarannya diperpanjang. Berdasarkan hasil imbalan terhadap tenaga
kerja maupun modal dapat disimpulkan bahwa pilihan untuk melakukan
budidaya udang vaname sudah tepat.
Kata kunci: analisis pendapatan, analisis R/C rasio, udang vaname
ABSTRACT
IGNATIUS RADITYA KRISTIAWAN. Whiteleg Shrimp Aquaculture
Income Analysis in Rembang Regency. Supervised by YANTI NURAENI
MUFLIKH.
Whiteleg shrimp fishery is one of the prime export commodities
Indonesia. The purpose of this research is to analyze the level of income
whiteleg shrimp farmer, efficiency of whiteleg shrimp farming and return to
labor and return to capital of farming activities. The data were analyzed
using descriptive methods, analysis of farm income, and R / C ratios. The
results showed that the income of aquaculture whiteleg shrimp with more
than 90 days of farming higher than length of farming period less than 90
days. Meanwhile, the values of R / C ratio of whiteleg shrimp aquaculture
showed that farming will more efficient in length of period farming time.
Based on the of the return to labor and return to capital can be concluded
that options for the farmers who grew the whiteleg shrimp was right.
Keywords: analysis of farmer’s income, R/C ratio income, whiteleg shrimp
ANALISIS PENDAPATAN BUDIDAYA UDANG VANAME
DI KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH
IGNATIUS RADITYA K.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Budidaya Udang Vaname di Kabupaten
Rembang Jawa Tengah
Nama
: Ignatius Raditya K.
NIM
: H34100096
Disetujui oleh
Yanti Nuraeni Muflikh, SP M. Agribus
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha
Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan Maret 2014 ini ialah analisis pendapatan, dengan judul Analisis
Pendapatan Budidaya Udang Vaname di Kabupaten Rembang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Yanti Nuraeni M, SP M.
Agribus selaku dosen pembimbing yang telah menyisihkan waktu untuk
memberikan arahan dan bimbingan dalam penelitian ini. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Rembang yang telah membantu selama penelitian ini
berjalan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2014
Ignatius Raditya K.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
Analisis Pendapatan Usahatani
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
6
7
9
9
14
17
Lokasi dan Waktu Penelitian
17
Jenis dan Sumber Data
17
Metode Penentuan sampel
18
Metode Pengumpulan Data
18
Metode Pengolahan dan Analisis Data
19
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN
KARAKTERISTIK RESPONDEN
21
Keadaan Geografi dan Administratif
22
Keadaan Demografi
23
Budidaya Udang Vaname
23
Karakteristik responden
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
28
SIMPULAN DAN SARAN
36
Simpulan
36
Saran
37
DAFTAR PUSTAKA
37
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
42
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Hasil produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya
nasional tahun 2010–2012
Statistik konsumsi ikan masyarakat Indonesia
Ekspor komoditas udang Indonesia dalam bentuk beku
tahun 2012
Volume ekspor dan impor komoditas udang Indonesia tahun
2012
Produksi Udang Vaname di Kabupaten Rembang per tri
wulan tahun 2013
Jumlah Penduduk yang Bekerja di Lokasi Penelitian Tahun
2014
Karakterisitik responden berdasarkan umur
Karakterisitik responden berdasarkan pendidikan terakhir
Karakterisitik responden berdasarkan keikutsertaan dalam
penyuluhan
Karakterisitik
responden
berdasarkan
pengalaman
membudidayakan udang vaname
Karakterisitik responden berdasarkan luas tambak yang
diusahakan
Karakterisitik responden berdasarkan pinjaman yang
didapat
Karakterisitik responden berdasarkan status kepemilikan
tambak
Struktur biaya budidaya udang vaname pada pembudidaya
udang vaname menurut klasifikasi responden
Biaya budidaya udang vaname pada pembudidaya udang
vaname menurut jenis biaya berdasarkan masa pembesran
udang vaname pada siklus produksi terakhir
Rata-rata penerimaan budidaya udang vaname, jumlah
produk yang dijual, dan harga jual udang vaname
Struktur penerimaan budidaya udang vaname pada
pembudidaya udang vaname menurut klasifikasi responden
Pendapatan usahatani udang vaname pada kelompok
pembudidaya udang vaname
Rasio R/C atas biaya tunai dan atas biaya total pada
pembudidaya
Return to labor (Rp) dan Return to capital (%) pada
pembudidaya udang vaname di Kabupaten Rembang
1
2
2
3
3
22
25
25
25
26
26
27
29
32
32
33
34
35
36
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
Produktivitas udang vaname di enam kecamatan Kabupaten
Rembang
Kurva penerimaan
Kurva fixed cost dan variabel cost
Kerangka pemikiran operasional analisis pendapatan budidaya
udang vaname di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
5
11
13
16
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Kondisi aktual penggunaan input budidaya udang vaname
Uji beda Kruskal Wallis terhadap biaya dan pendapatan
budidaya udang vaname di Kabupaten Rembang
39
40
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara di wilayah tropis yang memiliki kekayaan
sumberdaya yang sangat melimpah. Salah satu sumberdaya yang dimiliki oleh
Indonesia dan sangat potensial diusahakan oleh seluruh masyarakat Indonesia
adalah sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan dapat dikelompokkan
menjadi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Dalam rentang waktu tahun
2010-2012 produksi perikanan budidaya lebih besar daripada perikanan tangkap.
Data mengenai hasil produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya nasional tahun
2010–2012
Tahun
Perikanan Tangkap (Ton)
2010
5 384 418
2011
5 714 271
2012
5 829 194
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan (2013)
Perikanan Budidaya (Ton)
6 277 924
7 928 963
9 675 553
Kebutuhan setiap individu untuk mendapatkan asupan gizi yang baik dari
komoditas perikanan menjadi peluang pasar tersendiri untuk komoditas perikanan.
Kebutuhan asupan gizi yang didapat dari komoditas perikanan ini juga didukung
oleh pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan program
Gemarikan (Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan). Tujuan program ini adalah
mempersiapkan generasi muda yang berkualitas 1 . Target program Gemarikan
adalah ibu hamil dan anak usia balita yang sangat membutuhkan gizi yang
terdapat pada ikan. Oleh karena itu kegiatan usaha dalam bidang perikanan sangat
menguntungkan dengan dukungan dari pemerintah.
Pertumbuhan konsumsi ikan perkapita per tahun telah mengalami
peningkatan pada beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2010 konsumsi ikan per
kapita Indonesia mencapai angka 30.48 kilogram. Sedangkan pada tahun 2011
mengalami peningkatan hingga mencapai 32.25 kilogram per kapita. Kondisi ini
terus meningkat hingga tahun 2012 dan 2013. Pada tahun 2012 konsumsi ikan per
kapita 33.89 kilogram dan pada tahun 2013 mencapai angka 35.14 kilogram
perkapita. Data mengenai konsumsi ikan per kapita pertahun terdapat pada Tabel
2.
Tabel 2 Statistik konsumsi ikan masyarakat Indonesia
Tahun
Per kapita (kg/kap/tahun)
Presentase pertambahan (%)
2010
30.48
2011
32.25
5.8
2012
33.89
5.1
2013
35.14
3.7
Sumber : Data Statistik Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2013)
1
Fadli, Rizki. 2013. Forikan Terus Tingkatkan Konsumsi Ikan dengan Hari Ikan Nasional dan
Gerakan Seribu Hari Pertama. http://www.p2hp.kkp.go.id. {3 Mei 2014}
2
Konsumsi ikan per kapita masyarakat Indonesia sudah melampaui perkiraan
dari PBB melalui FAO (Food and Agriculture Organization) yang menyatakan
konsumsi perikanan masyarakat dunia akan mencapai 19.6 kilogram pertahun
perkapita pada tahun 20212. Dengan kata lain banyak negara yang kekurangan
persediaan ikan. Hal ini juga mampu dijadikan peluang oleh para pelaku usaha
perikanan, baik perikanan tangkap ataupun perikanan budidaya.
Perikanan budidaya adalah kegiatan budidaya perikanan yang dapat
diupayakan di darat ataupun di perairan. Salah satu budidaya perikanan yang
dapat diupayakan adalah dengan media tambak. Media tambak dapat diupayakan
hampir diseluruh wilayah Indonesia yang berada di daerah pesisir. Berbagai
macam komoditas dapat dibudidayakan di media tambak, salah satunya adalah
udang vaname. Udang vaname tergolong komoditas yang potensial dibudidayakan
karena tahan penyakit dan pertumbuhannya cepat yaitu 90 hari. Selain itu harga
jual yang relatif tinggi menyebabkan udang vaname semakin menjanjikan untuk
dibudidayakan. Berdasarkan survei lapang yang dilakukan oleh peneliti, harga
udang vaname tingkat pembudidaya berkisar antara Rp40 000 hingga Rp90 000
per kilogram tergantung ukuran. Harga tersebut cenderung stabil dalam beberapa
tahun terakhir. Sementara untuk di tingkat konsumen akhir, harga udang vaname
di pasar lokal berkisar antara Rp60 000 hingga Rp90 000. Untuk udang vaname
yang dijadikan komoditas ekspor dibeli oleh pengekspor seharga Rp70 000 hingga
Rp100 000.
Udang vaname merupakan salah satu komoditas unggulan unggulan ekspor
Indonesia. Berdasarkan data ekspor komoditas perikanan Indonesia tahun 2012,
komoditas udang yang diekspor sebesar 96 406 844 kilogram yang terdiri dari
udang windu, udang vaname, dan udang galah. Untuk ekspor dalam bentuk beku,
udang vaname yang diekspor lebih banyak daripada udang galah dan udang windu.
Tabel 3 menunjukkan bahwa volume udang yang diekspor oleh Indonesia.
Tabel 3 Ekspor komoditas udang Indonesia dalam bentuk beku tahun 2012
Jenis Udang
Volume ekspor (Kg)
Nilai Ekspor ( US $)
Udang windu
28 263 093
308 036 627
Udang vaname
68 110 576
520 935 288
Udang galah
33 715
323 403
Sumber : Pusat Data, Statistik, dan Informasi Kementrian Kelautan dan Perikanan (2012)
Selain itu juga, volume impor udang vaname Indonesia relatif lebih sedikit
dari pada komoditas udang lainnya. Volume ekspor udang vaname yang mencapai
68 110 576 kilogram jauh lebih besar dibandingkan dengan volume udang
vaname yang masuk ke wilayah Indonesia sebesar 20 634 kilogram. Keadaan
tersebut berbeda dengan komoditas udang windu yang justru lebih banyak
mengimpor dari negara lain. Volume impor udang windu yang mencapai 1 289
406 kilogram jauh lebih besar daripada volume udang vaname yang diimpor ke
Indonesia. Data mengenai volume ekspor dan impor komoditas udang dapat
dilihat pada Tabel 4.
2
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Perikanan Budidaya Indonesia.
http://www.djpb.kkp.go.id. {3 Mei 2014}
3
Tabel 4 Volume ekspor dan impor komoditas udang Indonesia tahun 2012
Jenis udang
Volume Ekpor (Kg)
Volume Impor (Kg)
Udang Windu
28 263 093
1 289 406
Udang Vaname
68 110 576
20 634
Udang Galah
33 715
20 295
Sumber : Pusat Data, Statistik, dan Informasi Kementrian Kelautan dan Perikanan (2012), diolah.
Salah satu wilayah Indonesia yang mengembangkan komoditas udang
vaname adalah Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Letak geografis Kabupaten
Rembang sangat potensial untuk produksi udang vaname yaitu dengan garis
pantai mencapai 60 kilometer yang dapat diusakan untuk budidaya udang vaname.
Bentuk keseriusan Kabupaten Rembang dalam mengembangankan udang vaname
dibuktikan dengan Kelompok Budidaya Ikan ( Pokdakan ) Sukowati meraih juara
pertama dalam lomba perikanan budidaya nasional yang diadakan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2013 (KKP 2013).
Udang vaname merupakan salah satu komoditas yang menjadi unggulan
Kabupaten Rembang melalui program pengembangan perikanan budidaya Dinas
Kelautan dan Perikanan. Dengan nilai produksi pada tahun 2013 mencapai
Rp39 797 800 000 sangat mampu memberikan kontribusi untuk pendapatan
daerah. Keberadaan para petani yang fokus pada udang vaname dan keseriusan
pemerintah Kabupaten Rembang melalui Dinas Kelautan dan Perikanan serta
peluang pasar yang didukung dengan kondisi geografis Kabupaten Rembang
semestinya mampu untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat Rembang
dan mengembangkan wilayah Kabupaten Rembang semakin maju lagi.
Tabel 5 Produksi Udang Vaname di Kabupaten Rembang per tri wulan tahun
2013
Kecamatan
Luas (ha)
Jan-Mar
Apr-Jun
Jul-Sept
(kg)
(kg)
(kg)
Kaliori
12
14 485
14 465
14 870
Rembang
32.5
5 950
25 500
24 975
Lasem
31
15 900
19 155
24 040
Sluke
24.6
21 750
26 250
26 875
Sarang
53
10 575
11 360
11 565
Kragan
39
6 600
14 075
14 770
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang (2014)
Okt-Des
(kg)
38 470
70 750
63 080
77 450
59 480
74 490
Jumlah (kg)
82 290
127 175
122 175
152 325
92 980
109 935
Selama tahun 2013, jumlah produksi udang vaname di Kabupaten Rembang
mencapai 687 060 kilogram. Keseluruhan produksi itu berlokasi di 6 kecamatan di
Kabupaten Rembang yaitu Kecamatan Kaliori, Kecamatan Rembang, Kecamatan
Lasem, Kecamatan Sluke, Kecamatan Kragan, dan Kecamatan Sarang.
Keseluruhan wilayah kecamatan itu terletak di kawasan pesisir utara Pulau Jawa.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa produksi paling besar terdapat pada kecamatan Sluke
yaitu 153 325 ton dengan luas areal tambak yang digunakan 24.6 ha.
Dalam budidaya udang vaname diperlukan biaya untuk melakukan
produksi. Komponen dari biaya tersebut meliputi biaya untuk pengadaan faktor
produksi berupa benih, pakan, suplemen, solar, kaporit, dan kapur. Sementara
untuk peralatan yang dibutuhkan seperti mesin dompeng, kincir air, genset, plastik
mulsa, dan juga terpal. Biaya lain yang diperlukan adalah untuk menyewa lahan
dan membayar tenaga kerja.
4
Perumusan Masalah
Udang vaname merupakan salah satu jenis komoditas yang sedang marak
dibudidayakan di Kabupaten Rembang. Dengan alasan harga jual yang tinggi dan
udang yang lebih tahan penyakit menyebabkan komoditas ini dibudidayakan oleh
pembudidaya. Kondisi udang yang tahan penyakit menyebabkan produksinya juga
lebih terkendali dalam setiap masa pembesaran. Namun demikian, produksi udang
vaname mengalami penurunan pada tahun 2012 (BPS 2013). Pada tahun 2011
produksi udang vaname mencapai 626 290 kilogram. Sementara pada tahun 2012
produksi udang vaname mengalami penurunan hingga mencapai total produksi
sebesar 410 030 kilogram. Penurun produksi ini menyebabkan penerimaan yang
didapat juga mengalami perubahan. Maka dari itu, perlu diperlukan analisis
apakah pendapatan pembudidaya mampu memberikan keuntungan kepada
pembudidaya atau justru menyebabkan kerugian kepada pembudidaya udang
vaname.
Selain itu, budidaya udang vaname di Kabupaten Rembang mengalami
kendala dalam hal keterbatasan modal yang dimiliki. Kebutuhan untuk pengadaan
input yang digunakan dalam budidaya udang vaname cenderung tinggi.
Kebutuhan input produksi seperti pakan membutuhkan alokasi biaya yang cukup
besar dalam budidaya udang vaname. Hal ini dikarenakan kebutuhan udang
vaname akan pakan yang diberikan mempengaruhi produksi yang akan dihasilkan.
Pemberian pakan untuk udang vaname harus disesuaikan dengan umur dari udang
tersebut. Jumlah pakan yang diberikan akan selalu bertambah dalam selama masa
pembesaran udang vaname.
Selain itu sarana produksi yang merupakan mesin yang harus digunakan
dalam budiaya udang vaname juga membutuhkan biaya yang besar. Harga mesin
yang digunakan dalam masa produksi berkisar antara Rp2 000 000 hingga
Rp20 000 000. Penggunaan mesin merupakan suatu kebutuhan wajib dalam
budidaya udang vaname. Dengan demikian, kebutuhan biaya dalam budidaya
udang vaname sangat besar dengan keterbatasan dalam modal yang dimiliki. Hal
tersebut menyebabkan alokasi input yang digunakan menjadi terbatas dan tidak
optimal.
Jumlah produksi yang dihasilkan tergantung dari input yang digunakan.
Dengan alokasi input terbatas oleh kepemilikan modal maka jumlah produksi
yang dihasilkan belum optimal. Produktivitas udang vaname tiap kecamatan di
Kabupaten Rembang terdapat perbedaan yang mengakibatkan pendapatan yang
diterima berbeda pula. Data mengenai produktivitas udang vaname di Kabupaten
Rembang terdapat pada Gambar 1.
Dalam hal produktivitas dari masing-masing kecamatan yang berada di
Kabupaten Rembang yang terdapat pembudidaya udang vaname sangat variatif.
Produktivitas terendah terdapat di Kecamatan Sarang dengan nilai 1 754 kilogram
per hektar. Sementara produktivitas tertinggi terdapat di Kecamatan Kaliori yang
mencapai angka 6 857.5 kilogram per hektar. Produktivitas yang bervariasi ini
diduga karena ketidakefisienan dalam usaha produksi udang vaname. Pada
Gambar 1 memperlihatkan produktivitas udang vaname dari masing-masing
kecamatan di Kabupaten Rembang pada tahun 2013.
5
Data Produktivitas Udang Vaname di
Kabupaten Rembang (Kg/ha)
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
Lasem
Rembang
Kaliori
Sluke
Kragan
Sarang
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang, 2014 (diolah)
Gambar 1 Produktivitas Udang Vaname di enam kecamatan Kabupaten
Rembang
Perbedaan volume produksi dan produktivitas yang beragam menunjukkan
bahwa pembudidaya di masing-masing kecamatan di Kabupaten Rembang
menggunakan input dalam jumlah dan kualitas yang berbeda. Perbedaan volume
produksi ini menyebabkan budidaya udang vaname yang secara umum
memberikan penerimaan yang menjanjikan justru menjadikan budidaya tersebut
tidak layak untuk dijalankan. Penggunaan tambak dengan luasan yang berbedabeda juga memberikan pengaruh terhadap produksi budidaya udang vaname.
Pada saat pemananen udang vaname ditentukan berdasarkan keputusan
pembudidaya yang mempertimbangkan kondisi harga jual udang vaname dan juga
ukuran dari udang vaname. Semakin lama dilakukan masa pembesaran akan
semakin meningkatkan bobot dari udang vaname yang berimbas pada peningkatan
harga jual udang vaname. Penentuan waktu panen akan mempengaruhi
penerimaan dari budidaya udang vaname. Maka dari itu analisis mengenai
pendapatan budidaya udang vaname perlu dilakukan agar kondisi budidaya tetap
efisien dan layak untuk dijalankan.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah yang
berkaitan dengan penelitian ini adalah:
1. Bagaimana struktur biaya budidaya udang vaname di Kabupaten Rembang
dengan masa pembesaran yang berbeda-beda?
2. Bagaimana pendapatan budidaya udang vaname dengan masa pembesaran
yang berbeda-beda?
3. Bagaimana efisiensi dari budidaya udang vaname di Kabupaten Rembang?
6
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis struktur biaya yang digunakan oleh pembudidaya udang
vaname di Kabupaten Rembang.
2. Menganalisis pendapatan budidaya udang vaname di Kabupaten Rembang.
3. Menganalisis efisiensi usahatani dari budidaya udang vaname di
Kabupaten Rembang.
4. Menganalisis imbalan tenaga kerja (return to labor) dan imbalan modal
(return to capital) pada budidaya udang vaname
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini dapat membantu pembudidaya udang vaname di Kabupaten
Rembang dalam hal meningkatkan pendapatan usahatani.
2. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan guna mencapai efisiensi produksi untuk mencapai
keuntungan yang maksimum.
3. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dan literatur bagi
penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah :
1. Produk yang dikaji ialah udang vaname (Litopenaeus vannamei)
2. Penelitian difokuskan pada tingkat pendapatan pembudidaya udang
vaname.
3. Penelitian menggunakan data primer melalui hasil wawancara dan
pengamatan padapembudidaya udang vaname.
4. Penelitian menggunakan data sekunder mengenai data produksi, data
permintaan, data penjualan dan harga jual udang vaname pada periode
tertentu dan literatur review pendukung penelitian ini
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian dengan topik pendapatan usahatani bukan merupakan hal yang
baru. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan beberapa laporan penelitian
terdahulu sebagai rujukan, referensi, dan pedoman. Referensi yang digunakan
berupa artikel ilmiah, jurnal, laporan penelitian, dan skripsi. Berdasarkan referensi
yang telah didapat, maka diperoleh intisari dari beberapa konsep yang
berhubungan dengan tujuan penelitian ini.
7
Analisis Pendapatan Usahatani
Penelitian mengenai analisis pendapatan usahatani sudah banyak dilakukan
untuk menghitung seberapa besar penerimaanyang diperoleh petani dan biaya
yang dikeluarkan. Setelah melakukan analisis pendapatan usahatani diharapkan
pembudidaya udang vaname dapat mengetahui keadaan usahatani yang sedang
dilakukan. Selain itu, diharapkan juga para pembudidaya udang vaname di
Kabupaten Rembang juga mendapatkan bahan evaluasi untuk kelanjutan usaha
yang sedang dilaksanakan. Penelitian terdahulu mengenai analisis pendapatan
usahatani diantaranya dilakukan oleh Situmeang (2012), Guntur (2011), Zepriana
(2010), Brajamusti (2008), dan Wijaya (2002).
Para peneliti melakukan analisis yang berbeda untuk memberikan kategori
responden. Situmeang (2012) mengkategorikan petani menjadi 2 kelompok yaitu
petani yang mengusahakan lahan kurang dari atau sama dengan 0.34 hektar dan
kelompok petani dengan luas lahan lebih dari 0.34 hektar. Luasan 0.34 hektar
diperoleh dari rata-rata luas lahan yang digunakan oleh petani di desa Ciburuy,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Sementara penelitian yang dilakukan
oleh Guntur (2011) tidak melakukan pengelompokan pada responden penelitian.
Tidak dilakukannya pengelompokkan responden juga dilakukan oleh Zepriana
(2010) yang tidak membagi responden ke dalam kelompok tertentu. Hal yang
sama dilakukan oleh Ekaningtyas (2011) yang tidak membagi responden ke dalam
kelompok tertentu. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2002)
mengelompokkan responden berdasarkan input rendah dan konvensional.
Komoditas yang diteliti oleh masing-masing peneliti juga berbeda. Untuk
penelitian oleh Situmeang (2012) menganalisa mengenai pendapatan usahatani
padi sehat di desa Ciburuy, Kabupaten Bogor. Untuk komoditas padi juga
dianalisis oleh Wijaya (2002). Komoditas perikanan diteliti oleh Guntur (2011)
yaitu ikan lele di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan Zepriana (2010) yaitu
udang galah di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Komoditas yang diteliti oleh
Ekaningtyas (2011) adalah bayam Jepang (Horenso) di desa Pacet, Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat.
Karakteristik responden yang diteliti oleh Guntur (2011) merupakan
anggota kelompok tani Ulam Jaya. Dari 78 anggota kelompok tani Ulam Jaya
terdiri dari 25 orang petani pembesaran (lele Bapukan) dan 53 orang petani
penggelondongan. Secara keseluruhan, anggota Kelompok Tani Ulam Jaya masih
menerapkan sistem budidaya yang masih tradisional, namun sudah terorganisir
karena adanya kelompok tani tersebut.
Keseluruhan responden yang tergabung kedalam kelompok tani juga
dilakukan oleh Situmeang (2012) yang menganalisis mengenai komoditas padi
sehat di Gabungan Kelompok Tani Silih Asih. Gapoktan tersebut sebagai satusatunya gapoktan di Desa Ciburuy memiliki Standart Operational Procedure
(SOP) dalam proses budidaya padi sehat. SOP tersebut disusun sedemikian rupa
dengan tujuan memposisikan produk beras yang berasal dari Desa Ciburuy
sebagai beras sehat yang bebas dari residu bahan kimia.
Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekaningtias (2011),
menunjukkan bahwa petani responden yang membudidayakan tanaman Horenso
disebar berdasarkan karakteristik petani responden baik berdasarkan usia, tingkat
pendidikan, keikutsertaan penyuluhan, pengalaman usahatani, dan kepemilikan
8
lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas petani Horenso merupakan
petani non pemilik lahan yang rata-rata berpengalaman selama 4-6 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Zepriana (2011) menunjukkan bahwa petani
responden disebar ke dalam karakteristik jenis pekerjaan, usia, pendidikan,
pengalaman, status kepemilikan lahan, dan luas lahan garapan. Pembagian
sebaran karakteristik responden yang dilakukan oleh Wijaya (2002) juga sama
dengan penelitian Zepriana (2011). Responden dibagi kedalam karakteristik jenis
pekerjaan, usia, pendidikan, pengalaman, status kepemilikan lahan, dan luas lahan
garapan dan di tambah dengan lama menerapkan sistem usahatani input rendah
dan konvensional.
Analisis biaya per hektar lahan usahatani padi sehat yang dilakukan oleh
Situmeang (2012) menunjukkan bahwa biaya total per hektar petani padi sehat
berlahan luas sebesar Rp35 542 858.53 tidak berbeda signifikan pada taraf nyata
lima persen bila dibandingkan dengan biaya total usahatani padi sehat berlahan
sempit sebesar Rp36 784 268,54. Komponen biaya yang memiliki persentase
terbesar pada ukuran usahatani luas yaitu pada biaya bagi hasil sebesar 43 persen.
Hal yang sama didapatkan pada ukuran usahatani sempit yang memiliki proporsi
pada biaya bagi hasil sebesar 40 persen. Pendapatan usahatani yang diterima oleh
petani dengan ukuran usahatani luas dan sempit menunjukkan angka yangg
negatif yaitu senilai Rp1 452 025.2 dan Rp3 878 856.91. Namun demikian, R/C
rasio atas biaya tunai masih menunjukkan nilai yang lebih dari satu yang berarti
usahatani menguntungkan yaitu sebsar 1.23 dan 1.16. Hasil yang berbeda
didapatkan oleh penelitian Wijaya (2002) yang menganalisis komoditas padi.
Pendapatan yang diterima oleh petani berada pada nilai yang positif yang berarti
usahatani padi menguntungkan. Niali R/C rasio atas biaya tunai dan biaya total
juga berupa nilai yang positif yang berarti usahatanai padi di Kecamatan
Tempuran, Kabupaten Karawang meguntungkan.
Untuk komoditas perikanan yang diteliti oleh Zepriana terhadap komoditas
udang galah di Kabupaten Ciamis menunjukkan pendapatan atas biaya tunai yang
positif dan pendapatan atas biaya tunai yang negatif. Hasil yang serupa juga
ditemukan pada perhitungan R/C rasio. R/C rasio atas biaya total menunjukkan
nilai yang lebih dari satu yaitu 1.18 yang berarti usaha dalam budidaya udang
galah menguntungkan. Sementara untuk R/C rasio atas biaya total menunjukkan
nilai yang kurang dari satu yaitu sebesar 0.74 yang berarti usahatani udang galah
di Kabupaten Ciamis tidak menguntungkan.
Komoditas perikanan selanjutnya yaitu ikan lele yang diteliti oleh Guntur
(2011) menunjukkan pula pendapatan yang bernilai negatif sebelum adanya
program Filleting, baik atas biaya total ataupun biaya tunai. Pendapatan atas biaya
tunai sebesar –Rp1 337 000 lebih kecil daripada pendapatan atas biaya tunai yaitu
sebesar –Rp3 090 991. Perhitungan R/C rasio atas biaya tunai dan biaya total juga
menunjukkan angka yang kurang dari satu yaitu 0.88 untuk R/C rasio atas biaya
tunai dan 0.77 untuk R/C rasio atas biaya total. Sebelum adanya program Filleting
menunjukkan bahwa usahatani ikan lele tidak memberikan keuntungan kepada
petani. Namun berbeda setelah adanya program Filleting yang menunjukkan R/C
rasio atas biaya tunai dan atas biaya total menunjukkan angka yang lebih dari satu,
masing-masing sebesar 1.32 dan 1.15 yang berarti usahatani ikan lele setelah
adanya program Filleting menguntungkan bagi petani.
9
Terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan pada penelitian kali ini dengan
penelitian pendapatan usahatani sebelumnya. Kesamaan terjadi pada metode
perhitungan yang menganalisis struktur biaya, penerimaan, pendapatan, dan R/C
rasio atas biaya total dan biaya tunai. Selain itu sebaran karakteristik responden
juga memiliki kesamaan yaitu pada karakteristik usia, pendidikan, pengalaman,
status kepemilikan lahan, dan luas lahan garapan.
Perbedaan dengan penelitian yang telah ada sebelumnya yaitu mengenai
komoditas usahatani yang diteliti. Penelitian kali ini membahas komoditas udang
vaname yang tidak dibahas pada penelitian yang dijadikan referensi. Selain itu,
untuk tempat penelitian dan waktu penelitian juga memiliki perbedaan terhadap
penelitian yang sudah pernah dilakukan mengenai analisis pendapatan usahatani.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang telah diuraikan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa tidak semua usahatani yang dilakukan oleh petani
menguntungkan. Namun hal tersebut dapat dicegah dengan pemilihan komoditas
yang diusahakan dan dengan program yang ditambahkan agar meningkatkan
keuntungan usahatani bagi para petani. Selain itu, struktur biaya tidak memiliki
kesamaan dalam satu komoditas, terutama pada komoditas yang berbeda.
Pendapatan yang diterima petani dipengaruhi oleh biaya yang dikeluarkan dan
penerimaan yang didapat atas hasil produksi yang dilakukan. Untuk perhitungan
R/C rasio dipengaruhi oleh penerimaan yang diterima dan biaya yang dikeluarkan
untuk suatu produksi usahatani.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka pemikiran Teoritis
Konsep Usahatani
Definisi usahatani telah banyak diuraikan oleh beberapa pakar. Usahatani
adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di suatu tempat atau
permukaan bumi yang diperlukan untuk produksi pertanian (Mosher 1968, diacu
dalam Mubyarto 1989). Sementara Rifai (1980), diacu dalam Hernanto (1996)
mendefinisikan usahatani sebagai organisasi dari alam, kerja, dan modal yang
ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Usahatani sebagai
organisasidimaksudkan bahwa usahatani harus ada yang mengorganisir dan ada
yangdiorganisir, yang mengorganisir usahatani adalah petani dibantu oleh
keluarga dan yang diorganisir adalah faktor-faktor produksi yang dikuasai.
Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara
efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu
tertentu. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan
usahatani adalah memperoleh hasil produksi yang optimal agar menghasilkan
pendapatan yang maksimal. Menurut Soekartawi et al. (1984) ciri-ciri usahatani di
Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Sempitnya lahan yang dimiliki petani
b. Kurangnya modal
c. Pengetahuan petani yang masih terbatas secara kurang dinamis
d. Rendahnya pendapatan petani
10
Suratiyah (2008) mengklasifikasikan usahatani menurut corak dan sifat,
organisasi, pola, dan tipe usahataninya. Penjelasan mengenai klasifikasi usahatani
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Corak dan Sifat
Berdasarkan corak dan sifat, usahatani dibagi menjadi usahatani
subsisten dan usahatani komersil. Usahatani subsisten adalah usahatani
yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sedangkan usahatani
komersil adalah usahatani yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan
dan telah memperhatikan kualitas dan kuantitas produk.
2. Organisasi
Berdasarkan organisasi, usahatani dibagi menjadi 3, yakni usahatani
individual, kolektif, dan kooperatif. Usahatani individual adalah
usahatani yang seluruh proses dikerjakan oleh sendiri beserta keluarga.
Usahatani kolektif adalah usahatani yang seluruh proses produksinya
dikerjakan bersama oleh suatu kelompok kemudian hasilnya dibagi
dalam bentuk natura maupun keuntungan. Usahatani kooperatif adalah
usahatani yang tiap prosesnya dikerjakan secara individual hanya pada
beberapa kegiatan yang dianggap penting dikerjakan oleh kelompok.
3. Pola
Berdasarkan polanya, usahatani dibagi menjadi usahatani khusus,
tidak khusus dan campuran. Usahatani khusus merupakan usahatani yang
hanya mengusahakan satu cabang usahatani saja. Usahatani tidak khusus
merupakan usahatani yang mengusahakan beberapa cabang usaha
bersama-sama namun terdapat batas yang tegas. Usahatani campuran
merupakan usahatani yang mengusahakan beberapa cabang secara
bersama-sama dalam sebidang lahan tanpa batas yang tegas, contohnya
tumpang sari dan mina padi.
4. Tipe
Berdasarkan tipenya, usahatani dibagi menjadi beberapa jenis
usahatani berdasarkan komoditas yang diusahakan, seperti: usahatani
ayam, usahatani kambing, dan usahatani jagung.
Dalam usahatani, proses produksi dapat berjalan dengan baik apabila semua
faktor-faktor produksi yang mendukung kegiatan produksi tersebut sudah
terpenuhi. Menurut Soekartawi (2002) ada empat faktor yang mempengaruhi
produksi usahatani, diantaranya:
1. Lahan
Merupakan tanah yang dipersiapkan untuk usahatani. Lahan
usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah dan sebagainya.
Setiap jenis lahan memiliki harga yang tidak sama, hal ini dibedakan
berdasarkan kesuburan tanah, lokasi, topografi, status lahan dan faktor
lingkungan.
2. Tenaga Kerja
Merupakan faktor produksi yang penting dan perlu untuk
diperhatikan dalam proses produksi dari bentuk jumlah dan kualitas.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada faktor produksi tenaga kerja,
diantaranya: ketersediaan tenaga kerja, kualitas tenaga kerja, jenis
kelamin, tenaga kerja musiman dan upah tenaga kerja. Besar atau
kecilnya upah tenaga kerja dipengaruhi oleh: mekanisme pasar, jenis
11
kelamin, kualitas tenaga kerja, umur tenaga kerja, lama waktu bekerja
dan tenaga kerja bukan manusia.
3. Modal
Dalam kegiatan produksi modal dibedakan menjadi modal tetap dan
modal tidak tetap atau modal variabel. Modal tetap merupakan biaya
yang dikeluarkan dalam proses produksi yang tidak habis dalam sekali
proses produksi tersebut. Modal variabel merupakan biaya yang
dikeluarkan dalam proses produksi dan habis dalam satu kali proses
produksi tersebut. Besar atau kecilnya modal dalam usaha pertanian
dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya: sekala usaha, jenis
komoditas yang diusahakan, dan tersedianya kredit.
4. Manajemen
Peran manajemen sangat penting dan strategis. Manajemen diartikan
sebagai kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanankan, dan
mengevaluai suatu proses produksi. Praktik manajemen dipengaruhi oleh
beberapa hal, diantaranya: tingkat pendidikan, tingkat keterampilan, skala
usaha, besar-kecilnya kredit dan jenis komoditas.
Teori Penerimaan
Nicholson (1995) mendefinisikan penerimaan sebagai hasil penjualan
keluaran (output) sejumlah tertentu dengan harga pasar per unit. Grafik
penerimaan digambarkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Kurva Penerimaan
Sumber : Nicholson (1995)
Gambar 2 menunjukkan bahwa jika produsen berhasil menjual output
sebanyak Q1 dengan harga per satuannya sebesar P1, maka produsen tersebut
akan memperoleh penerimaan sebesar luas daerah 0 P1 TR1 Q1. Hal ini
diasumsikan dalam keadaan linear, yang artinya harga satuan output yang dijual
tetap, sehingga semakin banyak jumlah hasil produksi yang dijual dengan harga
jual tertentu, semakin besar penerimaan yang diperoleh produsen.
Penerimaan total usahatani dapat didefinisikan sebagai nilai produk total
usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual
(Soekartawi et al. 1984). Atau dengan kata lain, penerimaan usahatani merupakan
seluruh pendapatan yang diperoleh dari usahatani selama satu periode (Suratiyah
2009). Pinjaman uang untuk keperluan usahatani tidak termasuk penerimaan
usahatani. Sedangkan Hernanto (1996) menyatakan penerimaan usahatani
12
merupakan penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi jumlah
penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai penggunaan rumah dan
yang dikonsumsi.
Oleh karena itu, penerimaan usahatani dapat dibagi menjadi dua, yaitu
penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai. Penerimaan tunai merupakan
sejumlah nilai uang yang diterima petani atas penjualan hasil produk
usahataninya, sedangkan penerimaan tidak tunai merupakan nilai hasil produk
usahatani yang tidak dijual, tetapi dikonsumsi sendiri, disimpan sebagai
persediaan atau aset petani, dan lain sebagainya sehingga tidak menghasilkan
dalam bentuk uang. Jika penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai, maka akan
didapatkan nilai penerimaan total usahatani.
Soeharjo dan patong (1973) membagi wujud penerimaan usahatani menjadi
tiga hal, antara lain sebagai berikut:
1. Hasil penjualan tanaman, ternak, ikan, atau produk yang akan dijual.
2. Produk yang dikonsumsi petani dan keluarganya selama melakukan
kegiatan. Seandainya konsumsi produk ini ditunda bisa ditunda sampai
jangka waktu produksi selesai, maka bentuknya tidak berbeda dengan
produk yang dijual maupun yang akan dijual.
3. Kenaikan nilai inventaris, yaitu kenaikan nilai benda-benda inventaris
yang dimiliki petani.
Teori Biaya
Biaya total (TC) adalah biaya total untuk menghasilkan tingkat output
tertentu. Biaya total dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap total (Total
Fixed Cost/TFC) dan biaya variabel total (Total Variabel Cost/TVC). Biaya tetap
adalah biaya yang tidak berubah meskipun output berubah. Sedangkan biaya
variabel merupakan biaya yang berkaitan langsung dengan output, yaitu
bertambah besar seiring peningkatan produksi, dan sebaliknya semakin berkurang
seiring penurunan produksi. Klasifikasi biaya usahatani menjadi biaya tetap dan
variabel tersebut dijelaskan dalam formulasi (Lipsey et al 1995):
TC = TFC + TVC
keterangan:
TC
= Biaya total
TFC = Biaya tetap
TVC = Biaya variabel
Formulasi tersebut menunjukkan bahwa biaya tetap nilainya tetap pada
setiap periode produksi sedangkan biaya variabel nilainya ditentukan oleh jumlah
penggunaan input variabel, dimana jumlah penggunaan dan harga input variabel
tidak selalu sama di setiap periode produksi. Oleh karena itu, peningkatan dan
penurunan biaya total dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah biaya
variabel usahatani.
13
Gambar 3. Kurva fixed cost dan variabel cost
Sumber : Lipsey et al. (1995)
Soekartawi (2002) mengklasifikasikan biaya usahatani menjadi dua, yaitu
biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap atau biaya variabel (varieble cost).
Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus
dikeluarkan tanpa dipengaruhi oleh besar-kecilnya jumlah produksi, bahkan
berjalan atau tidaknya usahatani. Sedangkan biaya tidak tetap atau biaya variabel
didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya dipengaruhi oleh jumlah produksi.
Biaya ini dapat berubah sesuai dengan jumlah produksi yang ingin dihasilkan.
Selain itu, pengeluaran usahatani juga dapat diklasifikasikan sebagai pengeluaran
tunai dan tidak tunai (pengeluaran yang diperhitungkan). Pengeluaran tunai
merupakan pengeluaran yang dibayarkan dengan uang, sedangkan pengeluaran
tidak tunai merupakan pengeluaran yang diperhitungkan secara tidak langsung
karena tidak dilakukan secara verbal. Contoh pengeluaran tidak tunai atau
pengeluaran yang diperhitungkan adalah penyusutan sarana produksi, gaji untuk
tenaga kerja dalam keluarga petani, dan lain sebagainya.
Teori Pendapatan Usahatani
Pendapatan disebut juga sebagai laba. Laba adalah selisih antara penerimaan
dan biaya. Pendapatan dijelaskan dalam formulasi (Nicholson 1995):
Π = TR – TC
Π = Py x Qy – TFC - P
-P
- ... - P
keterangan:
Π
TR
TC
Py
Qy
TFC
P ,P ,P
, ,
= Pendapatan total
= Penerimaan total
= Biaya total
= Harga jual output per unit
= Keluaran (output)
= Biaya tetap
= Harga satuan input variabel , ,
= Jumlah penggunaan input variabel ,
,
Formulasi tersebut menunjukkan bahwa pendapatan akan bernilai postitif
(menguntungkan) jika penerimaan total lebih besar daripada biaya usahatani.
Sedangkan jika penerimaan total lebih kecil daripada biaya total usahatani, maka
pendapatan usahatani akan bernilai negatif (merugikan). Peningkatan dan
14
penurunan penerimaan total dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah
output yang dijual dan harga satuannya, sedangkan peningkatan dan penurunan
biaya total dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah penggunaan input
variabel dan harga satuannya.
Soekartawi (2002) mendefinisikan usahatani sebagai ilmu yang mempelajari
bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan
efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan
efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka
miliki dan/atau kuasai sebaik-baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan
sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan
(input). Usahatani pada skala usaha yang luas umumnya bermodal besar,
berteknologi tinggi, manajemennya modern, dan lebih bersifat komersial.
Sedangkan usahatani skala kecil umumnya bermodal pas-pasan, teknologinya
tradisional, lebih bersifat usahatani sederhana dan sifat usahanya subsisten, serta
lebih berorientasi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri dalam kehidupan
sehari-hari.
Teori Efisiensi Biaya Usahatani
Sejalan dengan bagaimana cara pendapatan usahatani didapatkan, maka
salah satu ukuran efisiensi pendapatan usahatani adalah nilai rasio imbangan
penerimaan dan biaya (Rasio R/C). Menurut Soekartawi (2002), R/C adalah
singkatan dari Return Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah)
antara penerimaan dan biaya. Rasio R/C menunjukkan bahwa berapa satuan mata
uang penerimaan yang dihasilkan setiap satu satuan mata uang yang digunakan
untuk biaya produksi dalam usahatani. Oleh karena itu, semakin tinggi rasio R/C
berarti semakin besar penerimaan yang dihasilkan setiap satu satuan pengeluaran
sehingga semakin efisien. Secara teoritis, dengan rasio R/C = 1, keuntungan
usahatani berada pada titik impas, yaitu tidak mengalami baik keuntungan
maupun kerugian.
Menurut Soekartawi (1984) selain dengan R/C rasio, untuk melihat
keberhasilan suatu usahatani dapat juga dengan cara menghitung return to labour
(imbangan terhadap tenaga kerja keluarga) dan return to total capital (imbangan
terhadap seluruh modal). Return to labour bertujuan untuk mengetahui tingkat
efisiensi dari pendapatan yang telah dihasilkan terhadap biaya tenaga kerja yang
dikeluarkan petani baik biaya tenaga kerja yang dikeluarkan secara tunai maupun
non tunai yang berasal dari tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar
keluarga. Dalam perhitungan ini, tenaga kerja dinilai menurut tingkat upah yang
berlaku. Hasilnya dinyatakan dalam persen terhadap nilai seluruh modal.
Sementara return to capital menghitung tingkat efisiensi biaya yang
diinvestasikan terhadap kegiatan usahatani yaitu apakah pendapatan yang
dihasilkan petani telah efisien terhadap modal yang diinvestasikan. Tingkat
efisiensi dihitung berdasarkan nilai investasi yang dikeluarkan oleh petani maupun
total modal secara keseluruhan.
Kerangka Pemikiran Operasional
Udang vaname merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan
Indonesia. Potensi pasar yang terbuka luas pada lingkup perdagangan
15
internasional menjadi salah satu peluang Indonesia untuk mendapatkan
pendapatan negara. Kabupaten Rembang yang berlokasi daerah yang berada di
wilayah pantai utara pulau Jawa menjadi salah satu penghasil udang vaname yang
berkualitas ekspor. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Rembang
diduga belum efisien, dibuktikan dengan produksi udang vaname di enam
kecamatan di Kabupaten Rembang yang tidak merata produksinya.
Seorang pembudidaya udang vaname yang melakukan kegiatan produksi
pada umumnya melakukan tinjauan terhadap usahanya. Cara yang biasa dilakukan
adalah dengan melihat pendapatan dan biaya yang digunakan. Pendapatan
usahatani dapat dikatakan suatu bentuk imbalan atas usahatani yang dilakukan
oleh petani. Oleh karena itu, besar atau kecilnya nilai pendapatan suatu usahatani
merupakan suatu ukuran kesuksesan suatu keragaan usahatani yang kemudian
berkaitan dengan kesejahtaeraan petani selaku pemilik, pengelola, dan koordinator
usahatani. Untuk menganalisis pendapatan usahatani udang vaname, hal yang
perlu dilakukan terlebih dahulu adalah menganalisis bagaimana keragaan
usahatani udang vaname yang dilakukan oleh para pembudidaya udang vaname.
Dari analisis keragaan usahatani tersebut akan dihasilkan beberapa informasi,
antara lain struktur penerimaan dan pengeluaran usahatani. Struktur penerimaan
dan pengeluaran usahatani tersebut kemudian dianalisis menurut klasifikasinya
sehingga akan dihasilkan informasi pendapatan usahatani.
Hasil analisis pendapatan usahatani bisa saja menyimpulkan bahwa
pendapatan usahatani kurang optimal. Pendapatan usahatani dapat dioptimalkan
dengan menganalisis efisiensi pendapatan. Salah satu cara untuk menganalisis
efisiensi pendapatan adalah dengan melihat R/C rasio. Nilai ini menunjukkan
jumlah penerimaan usahatani yang diperoleh setiap satu satuan pengeluaran yang
dikeluarkan petani untuk usahatani sehingga dengan analisis lebih lanjut yang
menggunakan nilai ini dapat menentukan efisiensi pendapatan suatu usahatani.
Selain itu, nilai R/C rasio juga mengindikasikan nilai ekonomi (tingkat
keuntungan) suatu usahatani, karena semakin tinggi nilai R/C rasio maka semakin
besar keuntungan petani.
Perhitungan efisiensi usahatani dianalisis pula dengan return to labour dan
return to capital. Nilai return to labour menunjukkan penerimaan tipa pekerja
yang dihasilkan dari pendapatan terhadap biaya tenaga kerja keluarga. Hasil
perhitungan dinyatakan dalam persen terhadap nilai seluruh modal. Sedangkan
return to capital menghitung tingkat efisiensi biaya yang diinvestasikan terhadap
kegiatan usahatani yaitu apakah pendapatan yang dihasilkan petani lebih efisien
terhadap modal yang diinvestasikan.
Pembudidaya sebagai pemilik tenaga kerja yang telah dicurahkan dalam
usahatani, sewajarnya menerima upah sekurang-kurangnya sama besarnya dengan
upah seandainya petani tersebut bekerja pada usahatani milik pembudidaya lain.
Begitu pula bila sebagai pemilik modal, sewajarnya pembudidaya menerima
sejumlah jasa atau bunga yang sekurang-kurangnya sama besarnya dengan jika
dana modal tersebut disimpannya di bank. Jika imbalan bagi tenaga kerja (return
to labor) dan imbalan terhadap modal (return to capital) lebih tinggi daripada
biaya imbangannya, berarti usahatani secara ekonomis menguntungkan karena
mampu memberikan imbalan yang wajar bagi faktor produksi yang telah
dipergunakan dalam menyelenggarakan usahatani. Adapun bagan kerangka
operasional dapat dilihat pada gambar 4.
16
Budidaya Udang Vaname di
Kabupaten Rembang Sebagai
Komoditas Unggulan
-
Penurunan produksi pada tahun 2012
Tingginya biaya input produksi
Penentuan umur panen udang vaname
Penerimaan Usahatani
Struktur biaya usahatani
Pendapatan usahatani
Analisis efisensi
Analisis return to
labour
Analisis R/C rasio
Efisien
Analisis Return to
capital
Tidak Efisien
Pengembangan Usahatani
Udang vaname
Gambar 4Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Pendapatan Budidaya
Udang Vaname di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
17
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Alasan
pemilihan lokasi ini dilatarbelakangi oleh wilayah ini cukup strategis bagi
pengembangan produksi udang vaname yaitu di Kabupaten Rembang yang
merupakan bagian dari provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Rembang merupakan
salah satu wilayah di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki wilayah pantai yang
mencapai 60 kilometer yang potensial untuk budidaya udang vaname. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2014.
Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian ini, data yang digunakan ialah data primer dan data
sekunder, baik merupakan data kualitatif maupun data kuantitatif. Data primer
ialah data yang diperoleh dari hasil wawancara, pencatatan, dan pengamatan. Pada
penelitian ini, data primer diperoleh melalui hasil wawancara langsung dengan
pihak yang mengetahui secara mendalam kegiatan produksi udang vaname yaitu
para pembudidaya udang di Kabupaten Rembang dan melakukan pengamatan di
lapangan saat proses produksi berlangsung. Sedangkan data sekunder ialah sebuah
data yang diperoleh dari pencarian data melalui Badan Pusat Statistika, internet,
dan literatur lain yang relevan dengan penelitian ini. Pada perolehan data sekunder,
peneliti juga dapat memperoleh data produksi, data penjualan, dan data
permintaan udang vaname yang telah adadengan analisis data baik kuantitatif
maupun kualitatif.
Data kuantitatif menjelaskan berapa jumlah input dan output pada kegiatan
produksi udang vaname, jumlah penjualan, jumlah permintaan, termasuk biaya
produksi, maupun harga jualnya. Pada data kualitatif menjelaskan faktor-faktor
yang mempengaruhi kegiatan produksi saat sebelum maupun saat berlangsungnya
proses produksi seperti sumberdaya yang dimiliki, bahan baku, alat-alat yang
digunakan dalam kegiatan produksi. Oleh sebab itu, perlu diketahui variabel apa
saja yang terkait dengan topik penelitian tersebut.
Berikut perincian jenis data dan sumber data yang dilakukan dalam
penelitian Analisis Pendapatan Budidaya Udang Vaname di Kabup
DI KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH
IGNATIUS RADITYA K.
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pendapatan
Budidaya Udang Vaname di Kabupaten Rembang adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, September 2014
Ignatius Raditya K.
NIM H34100096
ABSTRAK
IGNATIUS RADITYA KRISTIAWAN. Analisis Pendapatan Budidaya
Udang Vaname di Kabupaten Rembang. Dibimbing oleh YANTI
NURAENI MUFLIKH.
Udang Vaname merupakan salah satu komoditas perikanan unggulan
ekspor Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis tingkat biaya
dan pendapatan budidaya udang vaname, tingkat efisiensi usahatani. Data
dianalisis menggunakan metode deskriptif, analisis pendapatan usahatani,
R/C rasio, Return to Labor dan Return to Capital. Hasil menunjukkan
bahwa pendapatan budidaya udang vaname dengan masa pembesaran lebih
dari 90 hari lebih menguntungkan daripada masa pembesaran kurang dari 90
hari. Sementara itu, rata-rata perhitungan R/C rasio dari budidaya udang
vaname menunjukkan bahwa budidaya akan semakin efisien bila masa
pembesarannya diperpanjang. Berdasarkan hasil imbalan terhadap tenaga
kerja maupun modal dapat disimpulkan bahwa pilihan untuk melakukan
budidaya udang vaname sudah tepat.
Kata kunci: analisis pendapatan, analisis R/C rasio, udang vaname
ABSTRACT
IGNATIUS RADITYA KRISTIAWAN. Whiteleg Shrimp Aquaculture
Income Analysis in Rembang Regency. Supervised by YANTI NURAENI
MUFLIKH.
Whiteleg shrimp fishery is one of the prime export commodities
Indonesia. The purpose of this research is to analyze the level of income
whiteleg shrimp farmer, efficiency of whiteleg shrimp farming and return to
labor and return to capital of farming activities. The data were analyzed
using descriptive methods, analysis of farm income, and R / C ratios. The
results showed that the income of aquaculture whiteleg shrimp with more
than 90 days of farming higher than length of farming period less than 90
days. Meanwhile, the values of R / C ratio of whiteleg shrimp aquaculture
showed that farming will more efficient in length of period farming time.
Based on the of the return to labor and return to capital can be concluded
that options for the farmers who grew the whiteleg shrimp was right.
Keywords: analysis of farmer’s income, R/C ratio income, whiteleg shrimp
ANALISIS PENDAPATAN BUDIDAYA UDANG VANAME
DI KABUPATEN REMBANG JAWA TENGAH
IGNATIUS RADITYA K.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Pendapatan Budidaya Udang Vaname di Kabupaten
Rembang Jawa Tengah
Nama
: Ignatius Raditya K.
NIM
: H34100096
Disetujui oleh
Yanti Nuraeni Muflikh, SP M. Agribus
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Dwi Rachmina, MSi
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa Yang Maha
Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak
bulan Maret 2014 ini ialah analisis pendapatan, dengan judul Analisis
Pendapatan Budidaya Udang Vaname di Kabupaten Rembang.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Yanti Nuraeni M, SP M.
Agribus selaku dosen pembimbing yang telah menyisihkan waktu untuk
memberikan arahan dan bimbingan dalam penelitian ini. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Dinas Kelautan dan
Perikanan Kabupaten Rembang yang telah membantu selama penelitian ini
berjalan. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta
seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September 2014
Ignatius Raditya K.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
ix
DAFTAR LAMPIRAN
ix
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
6
Manfaat Penelitian
6
Ruang Lingkup Penelitian
6
TINJAUAN PUSTAKA
Analisis Pendapatan Usahatani
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka pemikiran Teoritis
Kerangka Pemikiran Operasional
METODE PENELITIAN
6
7
9
9
14
17
Lokasi dan Waktu Penelitian
17
Jenis dan Sumber Data
17
Metode Penentuan sampel
18
Metode Pengumpulan Data
18
Metode Pengolahan dan Analisis Data
19
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN
KARAKTERISTIK RESPONDEN
21
Keadaan Geografi dan Administratif
22
Keadaan Demografi
23
Budidaya Udang Vaname
23
Karakteristik responden
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
28
SIMPULAN DAN SARAN
36
Simpulan
36
Saran
37
DAFTAR PUSTAKA
37
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
42
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Hasil produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya
nasional tahun 2010–2012
Statistik konsumsi ikan masyarakat Indonesia
Ekspor komoditas udang Indonesia dalam bentuk beku
tahun 2012
Volume ekspor dan impor komoditas udang Indonesia tahun
2012
Produksi Udang Vaname di Kabupaten Rembang per tri
wulan tahun 2013
Jumlah Penduduk yang Bekerja di Lokasi Penelitian Tahun
2014
Karakterisitik responden berdasarkan umur
Karakterisitik responden berdasarkan pendidikan terakhir
Karakterisitik responden berdasarkan keikutsertaan dalam
penyuluhan
Karakterisitik
responden
berdasarkan
pengalaman
membudidayakan udang vaname
Karakterisitik responden berdasarkan luas tambak yang
diusahakan
Karakterisitik responden berdasarkan pinjaman yang
didapat
Karakterisitik responden berdasarkan status kepemilikan
tambak
Struktur biaya budidaya udang vaname pada pembudidaya
udang vaname menurut klasifikasi responden
Biaya budidaya udang vaname pada pembudidaya udang
vaname menurut jenis biaya berdasarkan masa pembesran
udang vaname pada siklus produksi terakhir
Rata-rata penerimaan budidaya udang vaname, jumlah
produk yang dijual, dan harga jual udang vaname
Struktur penerimaan budidaya udang vaname pada
pembudidaya udang vaname menurut klasifikasi responden
Pendapatan usahatani udang vaname pada kelompok
pembudidaya udang vaname
Rasio R/C atas biaya tunai dan atas biaya total pada
pembudidaya
Return to labor (Rp) dan Return to capital (%) pada
pembudidaya udang vaname di Kabupaten Rembang
1
2
2
3
3
22
25
25
25
26
26
27
29
32
32
33
34
35
36
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
Produktivitas udang vaname di enam kecamatan Kabupaten
Rembang
Kurva penerimaan
Kurva fixed cost dan variabel cost
Kerangka pemikiran operasional analisis pendapatan budidaya
udang vaname di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
5
11
13
16
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
Kondisi aktual penggunaan input budidaya udang vaname
Uji beda Kruskal Wallis terhadap biaya dan pendapatan
budidaya udang vaname di Kabupaten Rembang
39
40
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara di wilayah tropis yang memiliki kekayaan
sumberdaya yang sangat melimpah. Salah satu sumberdaya yang dimiliki oleh
Indonesia dan sangat potensial diusahakan oleh seluruh masyarakat Indonesia
adalah sumberdaya perikanan. Sumberdaya perikanan dapat dikelompokkan
menjadi perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Dalam rentang waktu tahun
2010-2012 produksi perikanan budidaya lebih besar daripada perikanan tangkap.
Data mengenai hasil produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Hasil produksi perikanan tangkap dan perikanan budidaya nasional tahun
2010–2012
Tahun
Perikanan Tangkap (Ton)
2010
5 384 418
2011
5 714 271
2012
5 829 194
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan (2013)
Perikanan Budidaya (Ton)
6 277 924
7 928 963
9 675 553
Kebutuhan setiap individu untuk mendapatkan asupan gizi yang baik dari
komoditas perikanan menjadi peluang pasar tersendiri untuk komoditas perikanan.
Kebutuhan asupan gizi yang didapat dari komoditas perikanan ini juga didukung
oleh pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan program
Gemarikan (Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan). Tujuan program ini adalah
mempersiapkan generasi muda yang berkualitas 1 . Target program Gemarikan
adalah ibu hamil dan anak usia balita yang sangat membutuhkan gizi yang
terdapat pada ikan. Oleh karena itu kegiatan usaha dalam bidang perikanan sangat
menguntungkan dengan dukungan dari pemerintah.
Pertumbuhan konsumsi ikan perkapita per tahun telah mengalami
peningkatan pada beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2010 konsumsi ikan per
kapita Indonesia mencapai angka 30.48 kilogram. Sedangkan pada tahun 2011
mengalami peningkatan hingga mencapai 32.25 kilogram per kapita. Kondisi ini
terus meningkat hingga tahun 2012 dan 2013. Pada tahun 2012 konsumsi ikan per
kapita 33.89 kilogram dan pada tahun 2013 mencapai angka 35.14 kilogram
perkapita. Data mengenai konsumsi ikan per kapita pertahun terdapat pada Tabel
2.
Tabel 2 Statistik konsumsi ikan masyarakat Indonesia
Tahun
Per kapita (kg/kap/tahun)
Presentase pertambahan (%)
2010
30.48
2011
32.25
5.8
2012
33.89
5.1
2013
35.14
3.7
Sumber : Data Statistik Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (2013)
1
Fadli, Rizki. 2013. Forikan Terus Tingkatkan Konsumsi Ikan dengan Hari Ikan Nasional dan
Gerakan Seribu Hari Pertama. http://www.p2hp.kkp.go.id. {3 Mei 2014}
2
Konsumsi ikan per kapita masyarakat Indonesia sudah melampaui perkiraan
dari PBB melalui FAO (Food and Agriculture Organization) yang menyatakan
konsumsi perikanan masyarakat dunia akan mencapai 19.6 kilogram pertahun
perkapita pada tahun 20212. Dengan kata lain banyak negara yang kekurangan
persediaan ikan. Hal ini juga mampu dijadikan peluang oleh para pelaku usaha
perikanan, baik perikanan tangkap ataupun perikanan budidaya.
Perikanan budidaya adalah kegiatan budidaya perikanan yang dapat
diupayakan di darat ataupun di perairan. Salah satu budidaya perikanan yang
dapat diupayakan adalah dengan media tambak. Media tambak dapat diupayakan
hampir diseluruh wilayah Indonesia yang berada di daerah pesisir. Berbagai
macam komoditas dapat dibudidayakan di media tambak, salah satunya adalah
udang vaname. Udang vaname tergolong komoditas yang potensial dibudidayakan
karena tahan penyakit dan pertumbuhannya cepat yaitu 90 hari. Selain itu harga
jual yang relatif tinggi menyebabkan udang vaname semakin menjanjikan untuk
dibudidayakan. Berdasarkan survei lapang yang dilakukan oleh peneliti, harga
udang vaname tingkat pembudidaya berkisar antara Rp40 000 hingga Rp90 000
per kilogram tergantung ukuran. Harga tersebut cenderung stabil dalam beberapa
tahun terakhir. Sementara untuk di tingkat konsumen akhir, harga udang vaname
di pasar lokal berkisar antara Rp60 000 hingga Rp90 000. Untuk udang vaname
yang dijadikan komoditas ekspor dibeli oleh pengekspor seharga Rp70 000 hingga
Rp100 000.
Udang vaname merupakan salah satu komoditas unggulan unggulan ekspor
Indonesia. Berdasarkan data ekspor komoditas perikanan Indonesia tahun 2012,
komoditas udang yang diekspor sebesar 96 406 844 kilogram yang terdiri dari
udang windu, udang vaname, dan udang galah. Untuk ekspor dalam bentuk beku,
udang vaname yang diekspor lebih banyak daripada udang galah dan udang windu.
Tabel 3 menunjukkan bahwa volume udang yang diekspor oleh Indonesia.
Tabel 3 Ekspor komoditas udang Indonesia dalam bentuk beku tahun 2012
Jenis Udang
Volume ekspor (Kg)
Nilai Ekspor ( US $)
Udang windu
28 263 093
308 036 627
Udang vaname
68 110 576
520 935 288
Udang galah
33 715
323 403
Sumber : Pusat Data, Statistik, dan Informasi Kementrian Kelautan dan Perikanan (2012)
Selain itu juga, volume impor udang vaname Indonesia relatif lebih sedikit
dari pada komoditas udang lainnya. Volume ekspor udang vaname yang mencapai
68 110 576 kilogram jauh lebih besar dibandingkan dengan volume udang
vaname yang masuk ke wilayah Indonesia sebesar 20 634 kilogram. Keadaan
tersebut berbeda dengan komoditas udang windu yang justru lebih banyak
mengimpor dari negara lain. Volume impor udang windu yang mencapai 1 289
406 kilogram jauh lebih besar daripada volume udang vaname yang diimpor ke
Indonesia. Data mengenai volume ekspor dan impor komoditas udang dapat
dilihat pada Tabel 4.
2
Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2014. Perikanan Budidaya Indonesia.
http://www.djpb.kkp.go.id. {3 Mei 2014}
3
Tabel 4 Volume ekspor dan impor komoditas udang Indonesia tahun 2012
Jenis udang
Volume Ekpor (Kg)
Volume Impor (Kg)
Udang Windu
28 263 093
1 289 406
Udang Vaname
68 110 576
20 634
Udang Galah
33 715
20 295
Sumber : Pusat Data, Statistik, dan Informasi Kementrian Kelautan dan Perikanan (2012), diolah.
Salah satu wilayah Indonesia yang mengembangkan komoditas udang
vaname adalah Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Letak geografis Kabupaten
Rembang sangat potensial untuk produksi udang vaname yaitu dengan garis
pantai mencapai 60 kilometer yang dapat diusakan untuk budidaya udang vaname.
Bentuk keseriusan Kabupaten Rembang dalam mengembangankan udang vaname
dibuktikan dengan Kelompok Budidaya Ikan ( Pokdakan ) Sukowati meraih juara
pertama dalam lomba perikanan budidaya nasional yang diadakan oleh
Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2013 (KKP 2013).
Udang vaname merupakan salah satu komoditas yang menjadi unggulan
Kabupaten Rembang melalui program pengembangan perikanan budidaya Dinas
Kelautan dan Perikanan. Dengan nilai produksi pada tahun 2013 mencapai
Rp39 797 800 000 sangat mampu memberikan kontribusi untuk pendapatan
daerah. Keberadaan para petani yang fokus pada udang vaname dan keseriusan
pemerintah Kabupaten Rembang melalui Dinas Kelautan dan Perikanan serta
peluang pasar yang didukung dengan kondisi geografis Kabupaten Rembang
semestinya mampu untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat Rembang
dan mengembangkan wilayah Kabupaten Rembang semakin maju lagi.
Tabel 5 Produksi Udang Vaname di Kabupaten Rembang per tri wulan tahun
2013
Kecamatan
Luas (ha)
Jan-Mar
Apr-Jun
Jul-Sept
(kg)
(kg)
(kg)
Kaliori
12
14 485
14 465
14 870
Rembang
32.5
5 950
25 500
24 975
Lasem
31
15 900
19 155
24 040
Sluke
24.6
21 750
26 250
26 875
Sarang
53
10 575
11 360
11 565
Kragan
39
6 600
14 075
14 770
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang (2014)
Okt-Des
(kg)
38 470
70 750
63 080
77 450
59 480
74 490
Jumlah (kg)
82 290
127 175
122 175
152 325
92 980
109 935
Selama tahun 2013, jumlah produksi udang vaname di Kabupaten Rembang
mencapai 687 060 kilogram. Keseluruhan produksi itu berlokasi di 6 kecamatan di
Kabupaten Rembang yaitu Kecamatan Kaliori, Kecamatan Rembang, Kecamatan
Lasem, Kecamatan Sluke, Kecamatan Kragan, dan Kecamatan Sarang.
Keseluruhan wilayah kecamatan itu terletak di kawasan pesisir utara Pulau Jawa.
Pada Tabel 3 terlihat bahwa produksi paling besar terdapat pada kecamatan Sluke
yaitu 153 325 ton dengan luas areal tambak yang digunakan 24.6 ha.
Dalam budidaya udang vaname diperlukan biaya untuk melakukan
produksi. Komponen dari biaya tersebut meliputi biaya untuk pengadaan faktor
produksi berupa benih, pakan, suplemen, solar, kaporit, dan kapur. Sementara
untuk peralatan yang dibutuhkan seperti mesin dompeng, kincir air, genset, plastik
mulsa, dan juga terpal. Biaya lain yang diperlukan adalah untuk menyewa lahan
dan membayar tenaga kerja.
4
Perumusan Masalah
Udang vaname merupakan salah satu jenis komoditas yang sedang marak
dibudidayakan di Kabupaten Rembang. Dengan alasan harga jual yang tinggi dan
udang yang lebih tahan penyakit menyebabkan komoditas ini dibudidayakan oleh
pembudidaya. Kondisi udang yang tahan penyakit menyebabkan produksinya juga
lebih terkendali dalam setiap masa pembesaran. Namun demikian, produksi udang
vaname mengalami penurunan pada tahun 2012 (BPS 2013). Pada tahun 2011
produksi udang vaname mencapai 626 290 kilogram. Sementara pada tahun 2012
produksi udang vaname mengalami penurunan hingga mencapai total produksi
sebesar 410 030 kilogram. Penurun produksi ini menyebabkan penerimaan yang
didapat juga mengalami perubahan. Maka dari itu, perlu diperlukan analisis
apakah pendapatan pembudidaya mampu memberikan keuntungan kepada
pembudidaya atau justru menyebabkan kerugian kepada pembudidaya udang
vaname.
Selain itu, budidaya udang vaname di Kabupaten Rembang mengalami
kendala dalam hal keterbatasan modal yang dimiliki. Kebutuhan untuk pengadaan
input yang digunakan dalam budidaya udang vaname cenderung tinggi.
Kebutuhan input produksi seperti pakan membutuhkan alokasi biaya yang cukup
besar dalam budidaya udang vaname. Hal ini dikarenakan kebutuhan udang
vaname akan pakan yang diberikan mempengaruhi produksi yang akan dihasilkan.
Pemberian pakan untuk udang vaname harus disesuaikan dengan umur dari udang
tersebut. Jumlah pakan yang diberikan akan selalu bertambah dalam selama masa
pembesaran udang vaname.
Selain itu sarana produksi yang merupakan mesin yang harus digunakan
dalam budiaya udang vaname juga membutuhkan biaya yang besar. Harga mesin
yang digunakan dalam masa produksi berkisar antara Rp2 000 000 hingga
Rp20 000 000. Penggunaan mesin merupakan suatu kebutuhan wajib dalam
budidaya udang vaname. Dengan demikian, kebutuhan biaya dalam budidaya
udang vaname sangat besar dengan keterbatasan dalam modal yang dimiliki. Hal
tersebut menyebabkan alokasi input yang digunakan menjadi terbatas dan tidak
optimal.
Jumlah produksi yang dihasilkan tergantung dari input yang digunakan.
Dengan alokasi input terbatas oleh kepemilikan modal maka jumlah produksi
yang dihasilkan belum optimal. Produktivitas udang vaname tiap kecamatan di
Kabupaten Rembang terdapat perbedaan yang mengakibatkan pendapatan yang
diterima berbeda pula. Data mengenai produktivitas udang vaname di Kabupaten
Rembang terdapat pada Gambar 1.
Dalam hal produktivitas dari masing-masing kecamatan yang berada di
Kabupaten Rembang yang terdapat pembudidaya udang vaname sangat variatif.
Produktivitas terendah terdapat di Kecamatan Sarang dengan nilai 1 754 kilogram
per hektar. Sementara produktivitas tertinggi terdapat di Kecamatan Kaliori yang
mencapai angka 6 857.5 kilogram per hektar. Produktivitas yang bervariasi ini
diduga karena ketidakefisienan dalam usaha produksi udang vaname. Pada
Gambar 1 memperlihatkan produktivitas udang vaname dari masing-masing
kecamatan di Kabupaten Rembang pada tahun 2013.
5
Data Produktivitas Udang Vaname di
Kabupaten Rembang (Kg/ha)
8000
7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000
0
Lasem
Rembang
Kaliori
Sluke
Kragan
Sarang
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rembang, 2014 (diolah)
Gambar 1 Produktivitas Udang Vaname di enam kecamatan Kabupaten
Rembang
Perbedaan volume produksi dan produktivitas yang beragam menunjukkan
bahwa pembudidaya di masing-masing kecamatan di Kabupaten Rembang
menggunakan input dalam jumlah dan kualitas yang berbeda. Perbedaan volume
produksi ini menyebabkan budidaya udang vaname yang secara umum
memberikan penerimaan yang menjanjikan justru menjadikan budidaya tersebut
tidak layak untuk dijalankan. Penggunaan tambak dengan luasan yang berbedabeda juga memberikan pengaruh terhadap produksi budidaya udang vaname.
Pada saat pemananen udang vaname ditentukan berdasarkan keputusan
pembudidaya yang mempertimbangkan kondisi harga jual udang vaname dan juga
ukuran dari udang vaname. Semakin lama dilakukan masa pembesaran akan
semakin meningkatkan bobot dari udang vaname yang berimbas pada peningkatan
harga jual udang vaname. Penentuan waktu panen akan mempengaruhi
penerimaan dari budidaya udang vaname. Maka dari itu analisis mengenai
pendapatan budidaya udang vaname perlu dilakukan agar kondisi budidaya tetap
efisien dan layak untuk dijalankan.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka rumusan masalah yang
berkaitan dengan penelitian ini adalah:
1. Bagaimana struktur biaya budidaya udang vaname di Kabupaten Rembang
dengan masa pembesaran yang berbeda-beda?
2. Bagaimana pendapatan budidaya udang vaname dengan masa pembesaran
yang berbeda-beda?
3. Bagaimana efisiensi dari budidaya udang vaname di Kabupaten Rembang?
6
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
1. Menganalisis struktur biaya yang digunakan oleh pembudidaya udang
vaname di Kabupaten Rembang.
2. Menganalisis pendapatan budidaya udang vaname di Kabupaten Rembang.
3. Menganalisis efisiensi usahatani dari budidaya udang vaname di
Kabupaten Rembang.
4. Menganalisis imbalan tenaga kerja (return to labor) dan imbalan modal
(return to capital) pada budidaya udang vaname
Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini dapat membantu pembudidaya udang vaname di Kabupaten
Rembang dalam hal meningkatkan pendapatan usahatani.
2. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
pengambilan keputusan guna mencapai efisiensi produksi untuk mencapai
keuntungan yang maksimum.
3. Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan referensi dan literatur bagi
penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah :
1. Produk yang dikaji ialah udang vaname (Litopenaeus vannamei)
2. Penelitian difokuskan pada tingkat pendapatan pembudidaya udang
vaname.
3. Penelitian menggunakan data primer melalui hasil wawancara dan
pengamatan padapembudidaya udang vaname.
4. Penelitian menggunakan data sekunder mengenai data produksi, data
permintaan, data penjualan dan harga jual udang vaname pada periode
tertentu dan literatur review pendukung penelitian ini
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian dengan topik pendapatan usahatani bukan merupakan hal yang
baru. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan beberapa laporan penelitian
terdahulu sebagai rujukan, referensi, dan pedoman. Referensi yang digunakan
berupa artikel ilmiah, jurnal, laporan penelitian, dan skripsi. Berdasarkan referensi
yang telah didapat, maka diperoleh intisari dari beberapa konsep yang
berhubungan dengan tujuan penelitian ini.
7
Analisis Pendapatan Usahatani
Penelitian mengenai analisis pendapatan usahatani sudah banyak dilakukan
untuk menghitung seberapa besar penerimaanyang diperoleh petani dan biaya
yang dikeluarkan. Setelah melakukan analisis pendapatan usahatani diharapkan
pembudidaya udang vaname dapat mengetahui keadaan usahatani yang sedang
dilakukan. Selain itu, diharapkan juga para pembudidaya udang vaname di
Kabupaten Rembang juga mendapatkan bahan evaluasi untuk kelanjutan usaha
yang sedang dilaksanakan. Penelitian terdahulu mengenai analisis pendapatan
usahatani diantaranya dilakukan oleh Situmeang (2012), Guntur (2011), Zepriana
(2010), Brajamusti (2008), dan Wijaya (2002).
Para peneliti melakukan analisis yang berbeda untuk memberikan kategori
responden. Situmeang (2012) mengkategorikan petani menjadi 2 kelompok yaitu
petani yang mengusahakan lahan kurang dari atau sama dengan 0.34 hektar dan
kelompok petani dengan luas lahan lebih dari 0.34 hektar. Luasan 0.34 hektar
diperoleh dari rata-rata luas lahan yang digunakan oleh petani di desa Ciburuy,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Sementara penelitian yang dilakukan
oleh Guntur (2011) tidak melakukan pengelompokan pada responden penelitian.
Tidak dilakukannya pengelompokkan responden juga dilakukan oleh Zepriana
(2010) yang tidak membagi responden ke dalam kelompok tertentu. Hal yang
sama dilakukan oleh Ekaningtyas (2011) yang tidak membagi responden ke dalam
kelompok tertentu. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2002)
mengelompokkan responden berdasarkan input rendah dan konvensional.
Komoditas yang diteliti oleh masing-masing peneliti juga berbeda. Untuk
penelitian oleh Situmeang (2012) menganalisa mengenai pendapatan usahatani
padi sehat di desa Ciburuy, Kabupaten Bogor. Untuk komoditas padi juga
dianalisis oleh Wijaya (2002). Komoditas perikanan diteliti oleh Guntur (2011)
yaitu ikan lele di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat dan Zepriana (2010) yaitu
udang galah di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Komoditas yang diteliti oleh
Ekaningtyas (2011) adalah bayam Jepang (Horenso) di desa Pacet, Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat.
Karakteristik responden yang diteliti oleh Guntur (2011) merupakan
anggota kelompok tani Ulam Jaya. Dari 78 anggota kelompok tani Ulam Jaya
terdiri dari 25 orang petani pembesaran (lele Bapukan) dan 53 orang petani
penggelondongan. Secara keseluruhan, anggota Kelompok Tani Ulam Jaya masih
menerapkan sistem budidaya yang masih tradisional, namun sudah terorganisir
karena adanya kelompok tani tersebut.
Keseluruhan responden yang tergabung kedalam kelompok tani juga
dilakukan oleh Situmeang (2012) yang menganalisis mengenai komoditas padi
sehat di Gabungan Kelompok Tani Silih Asih. Gapoktan tersebut sebagai satusatunya gapoktan di Desa Ciburuy memiliki Standart Operational Procedure
(SOP) dalam proses budidaya padi sehat. SOP tersebut disusun sedemikian rupa
dengan tujuan memposisikan produk beras yang berasal dari Desa Ciburuy
sebagai beras sehat yang bebas dari residu bahan kimia.
Lain halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Ekaningtias (2011),
menunjukkan bahwa petani responden yang membudidayakan tanaman Horenso
disebar berdasarkan karakteristik petani responden baik berdasarkan usia, tingkat
pendidikan, keikutsertaan penyuluhan, pengalaman usahatani, dan kepemilikan
8
lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas petani Horenso merupakan
petani non pemilik lahan yang rata-rata berpengalaman selama 4-6 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Zepriana (2011) menunjukkan bahwa petani
responden disebar ke dalam karakteristik jenis pekerjaan, usia, pendidikan,
pengalaman, status kepemilikan lahan, dan luas lahan garapan. Pembagian
sebaran karakteristik responden yang dilakukan oleh Wijaya (2002) juga sama
dengan penelitian Zepriana (2011). Responden dibagi kedalam karakteristik jenis
pekerjaan, usia, pendidikan, pengalaman, status kepemilikan lahan, dan luas lahan
garapan dan di tambah dengan lama menerapkan sistem usahatani input rendah
dan konvensional.
Analisis biaya per hektar lahan usahatani padi sehat yang dilakukan oleh
Situmeang (2012) menunjukkan bahwa biaya total per hektar petani padi sehat
berlahan luas sebesar Rp35 542 858.53 tidak berbeda signifikan pada taraf nyata
lima persen bila dibandingkan dengan biaya total usahatani padi sehat berlahan
sempit sebesar Rp36 784 268,54. Komponen biaya yang memiliki persentase
terbesar pada ukuran usahatani luas yaitu pada biaya bagi hasil sebesar 43 persen.
Hal yang sama didapatkan pada ukuran usahatani sempit yang memiliki proporsi
pada biaya bagi hasil sebesar 40 persen. Pendapatan usahatani yang diterima oleh
petani dengan ukuran usahatani luas dan sempit menunjukkan angka yangg
negatif yaitu senilai Rp1 452 025.2 dan Rp3 878 856.91. Namun demikian, R/C
rasio atas biaya tunai masih menunjukkan nilai yang lebih dari satu yang berarti
usahatani menguntungkan yaitu sebsar 1.23 dan 1.16. Hasil yang berbeda
didapatkan oleh penelitian Wijaya (2002) yang menganalisis komoditas padi.
Pendapatan yang diterima oleh petani berada pada nilai yang positif yang berarti
usahatani padi menguntungkan. Niali R/C rasio atas biaya tunai dan biaya total
juga berupa nilai yang positif yang berarti usahatanai padi di Kecamatan
Tempuran, Kabupaten Karawang meguntungkan.
Untuk komoditas perikanan yang diteliti oleh Zepriana terhadap komoditas
udang galah di Kabupaten Ciamis menunjukkan pendapatan atas biaya tunai yang
positif dan pendapatan atas biaya tunai yang negatif. Hasil yang serupa juga
ditemukan pada perhitungan R/C rasio. R/C rasio atas biaya total menunjukkan
nilai yang lebih dari satu yaitu 1.18 yang berarti usaha dalam budidaya udang
galah menguntungkan. Sementara untuk R/C rasio atas biaya total menunjukkan
nilai yang kurang dari satu yaitu sebesar 0.74 yang berarti usahatani udang galah
di Kabupaten Ciamis tidak menguntungkan.
Komoditas perikanan selanjutnya yaitu ikan lele yang diteliti oleh Guntur
(2011) menunjukkan pula pendapatan yang bernilai negatif sebelum adanya
program Filleting, baik atas biaya total ataupun biaya tunai. Pendapatan atas biaya
tunai sebesar –Rp1 337 000 lebih kecil daripada pendapatan atas biaya tunai yaitu
sebesar –Rp3 090 991. Perhitungan R/C rasio atas biaya tunai dan biaya total juga
menunjukkan angka yang kurang dari satu yaitu 0.88 untuk R/C rasio atas biaya
tunai dan 0.77 untuk R/C rasio atas biaya total. Sebelum adanya program Filleting
menunjukkan bahwa usahatani ikan lele tidak memberikan keuntungan kepada
petani. Namun berbeda setelah adanya program Filleting yang menunjukkan R/C
rasio atas biaya tunai dan atas biaya total menunjukkan angka yang lebih dari satu,
masing-masing sebesar 1.32 dan 1.15 yang berarti usahatani ikan lele setelah
adanya program Filleting menguntungkan bagi petani.
9
Terdapat beberapa kesamaan dan perbedaan pada penelitian kali ini dengan
penelitian pendapatan usahatani sebelumnya. Kesamaan terjadi pada metode
perhitungan yang menganalisis struktur biaya, penerimaan, pendapatan, dan R/C
rasio atas biaya total dan biaya tunai. Selain itu sebaran karakteristik responden
juga memiliki kesamaan yaitu pada karakteristik usia, pendidikan, pengalaman,
status kepemilikan lahan, dan luas lahan garapan.
Perbedaan dengan penelitian yang telah ada sebelumnya yaitu mengenai
komoditas usahatani yang diteliti. Penelitian kali ini membahas komoditas udang
vaname yang tidak dibahas pada penelitian yang dijadikan referensi. Selain itu,
untuk tempat penelitian dan waktu penelitian juga memiliki perbedaan terhadap
penelitian yang sudah pernah dilakukan mengenai analisis pendapatan usahatani.
Berdasarkan hasil penelitian terdahulu yang telah diuraikan sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa tidak semua usahatani yang dilakukan oleh petani
menguntungkan. Namun hal tersebut dapat dicegah dengan pemilihan komoditas
yang diusahakan dan dengan program yang ditambahkan agar meningkatkan
keuntungan usahatani bagi para petani. Selain itu, struktur biaya tidak memiliki
kesamaan dalam satu komoditas, terutama pada komoditas yang berbeda.
Pendapatan yang diterima petani dipengaruhi oleh biaya yang dikeluarkan dan
penerimaan yang didapat atas hasil produksi yang dilakukan. Untuk perhitungan
R/C rasio dipengaruhi oleh penerimaan yang diterima dan biaya yang dikeluarkan
untuk suatu produksi usahatani.
KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka pemikiran Teoritis
Konsep Usahatani
Definisi usahatani telah banyak diuraikan oleh beberapa pakar. Usahatani
adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di suatu tempat atau
permukaan bumi yang diperlukan untuk produksi pertanian (Mosher 1968, diacu
dalam Mubyarto 1989). Sementara Rifai (1980), diacu dalam Hernanto (1996)
mendefinisikan usahatani sebagai organisasi dari alam, kerja, dan modal yang
ditujukan kepada produksi di lapangan pertanian. Usahatani sebagai
organisasidimaksudkan bahwa usahatani harus ada yang mengorganisir dan ada
yangdiorganisir, yang mengorganisir usahatani adalah petani dibantu oleh
keluarga dan yang diorganisir adalah faktor-faktor produksi yang dikuasai.
Soekartawi (2002) menjelaskan bahwa ilmu usahatani adalah ilmu yang
mempelajari bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara
efektif dan efisien untuk tujuan memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu
tertentu. Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan
usahatani adalah memperoleh hasil produksi yang optimal agar menghasilkan
pendapatan yang maksimal. Menurut Soekartawi et al. (1984) ciri-ciri usahatani di
Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Sempitnya lahan yang dimiliki petani
b. Kurangnya modal
c. Pengetahuan petani yang masih terbatas secara kurang dinamis
d. Rendahnya pendapatan petani
10
Suratiyah (2008) mengklasifikasikan usahatani menurut corak dan sifat,
organisasi, pola, dan tipe usahataninya. Penjelasan mengenai klasifikasi usahatani
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Corak dan Sifat
Berdasarkan corak dan sifat, usahatani dibagi menjadi usahatani
subsisten dan usahatani komersil. Usahatani subsisten adalah usahatani
yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri, sedangkan usahatani
komersil adalah usahatani yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan
dan telah memperhatikan kualitas dan kuantitas produk.
2. Organisasi
Berdasarkan organisasi, usahatani dibagi menjadi 3, yakni usahatani
individual, kolektif, dan kooperatif. Usahatani individual adalah
usahatani yang seluruh proses dikerjakan oleh sendiri beserta keluarga.
Usahatani kolektif adalah usahatani yang seluruh proses produksinya
dikerjakan bersama oleh suatu kelompok kemudian hasilnya dibagi
dalam bentuk natura maupun keuntungan. Usahatani kooperatif adalah
usahatani yang tiap prosesnya dikerjakan secara individual hanya pada
beberapa kegiatan yang dianggap penting dikerjakan oleh kelompok.
3. Pola
Berdasarkan polanya, usahatani dibagi menjadi usahatani khusus,
tidak khusus dan campuran. Usahatani khusus merupakan usahatani yang
hanya mengusahakan satu cabang usahatani saja. Usahatani tidak khusus
merupakan usahatani yang mengusahakan beberapa cabang usaha
bersama-sama namun terdapat batas yang tegas. Usahatani campuran
merupakan usahatani yang mengusahakan beberapa cabang secara
bersama-sama dalam sebidang lahan tanpa batas yang tegas, contohnya
tumpang sari dan mina padi.
4. Tipe
Berdasarkan tipenya, usahatani dibagi menjadi beberapa jenis
usahatani berdasarkan komoditas yang diusahakan, seperti: usahatani
ayam, usahatani kambing, dan usahatani jagung.
Dalam usahatani, proses produksi dapat berjalan dengan baik apabila semua
faktor-faktor produksi yang mendukung kegiatan produksi tersebut sudah
terpenuhi. Menurut Soekartawi (2002) ada empat faktor yang mempengaruhi
produksi usahatani, diantaranya:
1. Lahan
Merupakan tanah yang dipersiapkan untuk usahatani. Lahan
usahatani dapat berupa tanah pekarangan, tegalan, sawah dan sebagainya.
Setiap jenis lahan memiliki harga yang tidak sama, hal ini dibedakan
berdasarkan kesuburan tanah, lokasi, topografi, status lahan dan faktor
lingkungan.
2. Tenaga Kerja
Merupakan faktor produksi yang penting dan perlu untuk
diperhatikan dalam proses produksi dari bentuk jumlah dan kualitas.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada faktor produksi tenaga kerja,
diantaranya: ketersediaan tenaga kerja, kualitas tenaga kerja, jenis
kelamin, tenaga kerja musiman dan upah tenaga kerja. Besar atau
kecilnya upah tenaga kerja dipengaruhi oleh: mekanisme pasar, jenis
11
kelamin, kualitas tenaga kerja, umur tenaga kerja, lama waktu bekerja
dan tenaga kerja bukan manusia.
3. Modal
Dalam kegiatan produksi modal dibedakan menjadi modal tetap dan
modal tidak tetap atau modal variabel. Modal tetap merupakan biaya
yang dikeluarkan dalam proses produksi yang tidak habis dalam sekali
proses produksi tersebut. Modal variabel merupakan biaya yang
dikeluarkan dalam proses produksi dan habis dalam satu kali proses
produksi tersebut. Besar atau kecilnya modal dalam usaha pertanian
dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya: sekala usaha, jenis
komoditas yang diusahakan, dan tersedianya kredit.
4. Manajemen
Peran manajemen sangat penting dan strategis. Manajemen diartikan
sebagai kegiatan merencanakan, mengorganisasikan, melaksanankan, dan
mengevaluai suatu proses produksi. Praktik manajemen dipengaruhi oleh
beberapa hal, diantaranya: tingkat pendidikan, tingkat keterampilan, skala
usaha, besar-kecilnya kredit dan jenis komoditas.
Teori Penerimaan
Nicholson (1995) mendefinisikan penerimaan sebagai hasil penjualan
keluaran (output) sejumlah tertentu dengan harga pasar per unit. Grafik
penerimaan digambarkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Kurva Penerimaan
Sumber : Nicholson (1995)
Gambar 2 menunjukkan bahwa jika produsen berhasil menjual output
sebanyak Q1 dengan harga per satuannya sebesar P1, maka produsen tersebut
akan memperoleh penerimaan sebesar luas daerah 0 P1 TR1 Q1. Hal ini
diasumsikan dalam keadaan linear, yang artinya harga satuan output yang dijual
tetap, sehingga semakin banyak jumlah hasil produksi yang dijual dengan harga
jual tertentu, semakin besar penerimaan yang diperoleh produsen.
Penerimaan total usahatani dapat didefinisikan sebagai nilai produk total
usahatani dalam jangka waktu tertentu, baik yang dijual maupun yang tidak dijual
(Soekartawi et al. 1984). Atau dengan kata lain, penerimaan usahatani merupakan
seluruh pendapatan yang diperoleh dari usahatani selama satu periode (Suratiyah
2009). Pinjaman uang untuk keperluan usahatani tidak termasuk penerimaan
usahatani. Sedangkan Hernanto (1996) menyatakan penerimaan usahatani
12
merupakan penerimaan dari semua sumber usahatani yang meliputi jumlah
penambahan inventaris, nilai penjualan hasil, dan nilai penggunaan rumah dan
yang dikonsumsi.
Oleh karena itu, penerimaan usahatani dapat dibagi menjadi dua, yaitu
penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai. Penerimaan tunai merupakan
sejumlah nilai uang yang diterima petani atas penjualan hasil produk
usahataninya, sedangkan penerimaan tidak tunai merupakan nilai hasil produk
usahatani yang tidak dijual, tetapi dikonsumsi sendiri, disimpan sebagai
persediaan atau aset petani, dan lain sebagainya sehingga tidak menghasilkan
dalam bentuk uang. Jika penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai, maka akan
didapatkan nilai penerimaan total usahatani.
Soeharjo dan patong (1973) membagi wujud penerimaan usahatani menjadi
tiga hal, antara lain sebagai berikut:
1. Hasil penjualan tanaman, ternak, ikan, atau produk yang akan dijual.
2. Produk yang dikonsumsi petani dan keluarganya selama melakukan
kegiatan. Seandainya konsumsi produk ini ditunda bisa ditunda sampai
jangka waktu produksi selesai, maka bentuknya tidak berbeda dengan
produk yang dijual maupun yang akan dijual.
3. Kenaikan nilai inventaris, yaitu kenaikan nilai benda-benda inventaris
yang dimiliki petani.
Teori Biaya
Biaya total (TC) adalah biaya total untuk menghasilkan tingkat output
tertentu. Biaya total dibagi menjadi dua bagian, yaitu biaya tetap total (Total
Fixed Cost/TFC) dan biaya variabel total (Total Variabel Cost/TVC). Biaya tetap
adalah biaya yang tidak berubah meskipun output berubah. Sedangkan biaya
variabel merupakan biaya yang berkaitan langsung dengan output, yaitu
bertambah besar seiring peningkatan produksi, dan sebaliknya semakin berkurang
seiring penurunan produksi. Klasifikasi biaya usahatani menjadi biaya tetap dan
variabel tersebut dijelaskan dalam formulasi (Lipsey et al 1995):
TC = TFC + TVC
keterangan:
TC
= Biaya total
TFC = Biaya tetap
TVC = Biaya variabel
Formulasi tersebut menunjukkan bahwa biaya tetap nilainya tetap pada
setiap periode produksi sedangkan biaya variabel nilainya ditentukan oleh jumlah
penggunaan input variabel, dimana jumlah penggunaan dan harga input variabel
tidak selalu sama di setiap periode produksi. Oleh karena itu, peningkatan dan
penurunan biaya total dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah biaya
variabel usahatani.
13
Gambar 3. Kurva fixed cost dan variabel cost
Sumber : Lipsey et al. (1995)
Soekartawi (2002) mengklasifikasikan biaya usahatani menjadi dua, yaitu
biaya tetap (fixed cost) dan biaya tidak tetap atau biaya variabel (varieble cost).
Biaya tetap didefinisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya dan terus
dikeluarkan tanpa dipengaruhi oleh besar-kecilnya jumlah produksi, bahkan
berjalan atau tidaknya usahatani. Sedangkan biaya tidak tetap atau biaya variabel
didefinisikan sebagai biaya yang jumlahnya dipengaruhi oleh jumlah produksi.
Biaya ini dapat berubah sesuai dengan jumlah produksi yang ingin dihasilkan.
Selain itu, pengeluaran usahatani juga dapat diklasifikasikan sebagai pengeluaran
tunai dan tidak tunai (pengeluaran yang diperhitungkan). Pengeluaran tunai
merupakan pengeluaran yang dibayarkan dengan uang, sedangkan pengeluaran
tidak tunai merupakan pengeluaran yang diperhitungkan secara tidak langsung
karena tidak dilakukan secara verbal. Contoh pengeluaran tidak tunai atau
pengeluaran yang diperhitungkan adalah penyusutan sarana produksi, gaji untuk
tenaga kerja dalam keluarga petani, dan lain sebagainya.
Teori Pendapatan Usahatani
Pendapatan disebut juga sebagai laba. Laba adalah selisih antara penerimaan
dan biaya. Pendapatan dijelaskan dalam formulasi (Nicholson 1995):
Π = TR – TC
Π = Py x Qy – TFC - P
-P
- ... - P
keterangan:
Π
TR
TC
Py
Qy
TFC
P ,P ,P
, ,
= Pendapatan total
= Penerimaan total
= Biaya total
= Harga jual output per unit
= Keluaran (output)
= Biaya tetap
= Harga satuan input variabel , ,
= Jumlah penggunaan input variabel ,
,
Formulasi tersebut menunjukkan bahwa pendapatan akan bernilai postitif
(menguntungkan) jika penerimaan total lebih besar daripada biaya usahatani.
Sedangkan jika penerimaan total lebih kecil daripada biaya total usahatani, maka
pendapatan usahatani akan bernilai negatif (merugikan). Peningkatan dan
14
penurunan penerimaan total dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah
output yang dijual dan harga satuannya, sedangkan peningkatan dan penurunan
biaya total dipengaruhi oleh peningkatan dan penurunan jumlah penggunaan input
variabel dan harga satuannya.
Soekartawi (2002) mendefinisikan usahatani sebagai ilmu yang mempelajari
bagaimana seseorang mengalokasikan sumberdaya yang ada secara efektif dan
efisien untuk memperoleh keuntungan yang tinggi pada waktu tertentu. Dikatakan
efektif bila petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka
miliki dan/atau kuasai sebaik-baiknya, dan dikatakan efisien bila pemanfaatan
sumberdaya tersebut menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan
(input). Usahatani pada skala usaha yang luas umumnya bermodal besar,
berteknologi tinggi, manajemennya modern, dan lebih bersifat komersial.
Sedangkan usahatani skala kecil umumnya bermodal pas-pasan, teknologinya
tradisional, lebih bersifat usahatani sederhana dan sifat usahanya subsisten, serta
lebih berorientasi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi sendiri dalam kehidupan
sehari-hari.
Teori Efisiensi Biaya Usahatani
Sejalan dengan bagaimana cara pendapatan usahatani didapatkan, maka
salah satu ukuran efisiensi pendapatan usahatani adalah nilai rasio imbangan
penerimaan dan biaya (Rasio R/C). Menurut Soekartawi (2002), R/C adalah
singkatan dari Return Cost Ratio, atau dikenal sebagai perbandingan (nisbah)
antara penerimaan dan biaya. Rasio R/C menunjukkan bahwa berapa satuan mata
uang penerimaan yang dihasilkan setiap satu satuan mata uang yang digunakan
untuk biaya produksi dalam usahatani. Oleh karena itu, semakin tinggi rasio R/C
berarti semakin besar penerimaan yang dihasilkan setiap satu satuan pengeluaran
sehingga semakin efisien. Secara teoritis, dengan rasio R/C = 1, keuntungan
usahatani berada pada titik impas, yaitu tidak mengalami baik keuntungan
maupun kerugian.
Menurut Soekartawi (1984) selain dengan R/C rasio, untuk melihat
keberhasilan suatu usahatani dapat juga dengan cara menghitung return to labour
(imbangan terhadap tenaga kerja keluarga) dan return to total capital (imbangan
terhadap seluruh modal). Return to labour bertujuan untuk mengetahui tingkat
efisiensi dari pendapatan yang telah dihasilkan terhadap biaya tenaga kerja yang
dikeluarkan petani baik biaya tenaga kerja yang dikeluarkan secara tunai maupun
non tunai yang berasal dari tenaga kerja dalam keluarga dan tenaga kerja luar
keluarga. Dalam perhitungan ini, tenaga kerja dinilai menurut tingkat upah yang
berlaku. Hasilnya dinyatakan dalam persen terhadap nilai seluruh modal.
Sementara return to capital menghitung tingkat efisiensi biaya yang
diinvestasikan terhadap kegiatan usahatani yaitu apakah pendapatan yang
dihasilkan petani telah efisien terhadap modal yang diinvestasikan. Tingkat
efisiensi dihitung berdasarkan nilai investasi yang dikeluarkan oleh petani maupun
total modal secara keseluruhan.
Kerangka Pemikiran Operasional
Udang vaname merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan
Indonesia. Potensi pasar yang terbuka luas pada lingkup perdagangan
15
internasional menjadi salah satu peluang Indonesia untuk mendapatkan
pendapatan negara. Kabupaten Rembang yang berlokasi daerah yang berada di
wilayah pantai utara pulau Jawa menjadi salah satu penghasil udang vaname yang
berkualitas ekspor. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kabupaten Rembang
diduga belum efisien, dibuktikan dengan produksi udang vaname di enam
kecamatan di Kabupaten Rembang yang tidak merata produksinya.
Seorang pembudidaya udang vaname yang melakukan kegiatan produksi
pada umumnya melakukan tinjauan terhadap usahanya. Cara yang biasa dilakukan
adalah dengan melihat pendapatan dan biaya yang digunakan. Pendapatan
usahatani dapat dikatakan suatu bentuk imbalan atas usahatani yang dilakukan
oleh petani. Oleh karena itu, besar atau kecilnya nilai pendapatan suatu usahatani
merupakan suatu ukuran kesuksesan suatu keragaan usahatani yang kemudian
berkaitan dengan kesejahtaeraan petani selaku pemilik, pengelola, dan koordinator
usahatani. Untuk menganalisis pendapatan usahatani udang vaname, hal yang
perlu dilakukan terlebih dahulu adalah menganalisis bagaimana keragaan
usahatani udang vaname yang dilakukan oleh para pembudidaya udang vaname.
Dari analisis keragaan usahatani tersebut akan dihasilkan beberapa informasi,
antara lain struktur penerimaan dan pengeluaran usahatani. Struktur penerimaan
dan pengeluaran usahatani tersebut kemudian dianalisis menurut klasifikasinya
sehingga akan dihasilkan informasi pendapatan usahatani.
Hasil analisis pendapatan usahatani bisa saja menyimpulkan bahwa
pendapatan usahatani kurang optimal. Pendapatan usahatani dapat dioptimalkan
dengan menganalisis efisiensi pendapatan. Salah satu cara untuk menganalisis
efisiensi pendapatan adalah dengan melihat R/C rasio. Nilai ini menunjukkan
jumlah penerimaan usahatani yang diperoleh setiap satu satuan pengeluaran yang
dikeluarkan petani untuk usahatani sehingga dengan analisis lebih lanjut yang
menggunakan nilai ini dapat menentukan efisiensi pendapatan suatu usahatani.
Selain itu, nilai R/C rasio juga mengindikasikan nilai ekonomi (tingkat
keuntungan) suatu usahatani, karena semakin tinggi nilai R/C rasio maka semakin
besar keuntungan petani.
Perhitungan efisiensi usahatani dianalisis pula dengan return to labour dan
return to capital. Nilai return to labour menunjukkan penerimaan tipa pekerja
yang dihasilkan dari pendapatan terhadap biaya tenaga kerja keluarga. Hasil
perhitungan dinyatakan dalam persen terhadap nilai seluruh modal. Sedangkan
return to capital menghitung tingkat efisiensi biaya yang diinvestasikan terhadap
kegiatan usahatani yaitu apakah pendapatan yang dihasilkan petani lebih efisien
terhadap modal yang diinvestasikan.
Pembudidaya sebagai pemilik tenaga kerja yang telah dicurahkan dalam
usahatani, sewajarnya menerima upah sekurang-kurangnya sama besarnya dengan
upah seandainya petani tersebut bekerja pada usahatani milik pembudidaya lain.
Begitu pula bila sebagai pemilik modal, sewajarnya pembudidaya menerima
sejumlah jasa atau bunga yang sekurang-kurangnya sama besarnya dengan jika
dana modal tersebut disimpannya di bank. Jika imbalan bagi tenaga kerja (return
to labor) dan imbalan terhadap modal (return to capital) lebih tinggi daripada
biaya imbangannya, berarti usahatani secara ekonomis menguntungkan karena
mampu memberikan imbalan yang wajar bagi faktor produksi yang telah
dipergunakan dalam menyelenggarakan usahatani. Adapun bagan kerangka
operasional dapat dilihat pada gambar 4.
16
Budidaya Udang Vaname di
Kabupaten Rembang Sebagai
Komoditas Unggulan
-
Penurunan produksi pada tahun 2012
Tingginya biaya input produksi
Penentuan umur panen udang vaname
Penerimaan Usahatani
Struktur biaya usahatani
Pendapatan usahatani
Analisis efisensi
Analisis return to
labour
Analisis R/C rasio
Efisien
Analisis Return to
capital
Tidak Efisien
Pengembangan Usahatani
Udang vaname
Gambar 4Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Pendapatan Budidaya
Udang Vaname di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah
17
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Alasan
pemilihan lokasi ini dilatarbelakangi oleh wilayah ini cukup strategis bagi
pengembangan produksi udang vaname yaitu di Kabupaten Rembang yang
merupakan bagian dari provinsi Jawa Tengah. Kabupaten Rembang merupakan
salah satu wilayah di Provinsi Jawa Tengah yang memiliki wilayah pantai yang
mencapai 60 kilometer yang potensial untuk budidaya udang vaname. Penelitian
ini dilaksanakan pada bulan Mei hingga Juni 2014.
Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian ini, data yang digunakan ialah data primer dan data
sekunder, baik merupakan data kualitatif maupun data kuantitatif. Data primer
ialah data yang diperoleh dari hasil wawancara, pencatatan, dan pengamatan. Pada
penelitian ini, data primer diperoleh melalui hasil wawancara langsung dengan
pihak yang mengetahui secara mendalam kegiatan produksi udang vaname yaitu
para pembudidaya udang di Kabupaten Rembang dan melakukan pengamatan di
lapangan saat proses produksi berlangsung. Sedangkan data sekunder ialah sebuah
data yang diperoleh dari pencarian data melalui Badan Pusat Statistika, internet,
dan literatur lain yang relevan dengan penelitian ini. Pada perolehan data sekunder,
peneliti juga dapat memperoleh data produksi, data penjualan, dan data
permintaan udang vaname yang telah adadengan analisis data baik kuantitatif
maupun kualitatif.
Data kuantitatif menjelaskan berapa jumlah input dan output pada kegiatan
produksi udang vaname, jumlah penjualan, jumlah permintaan, termasuk biaya
produksi, maupun harga jualnya. Pada data kualitatif menjelaskan faktor-faktor
yang mempengaruhi kegiatan produksi saat sebelum maupun saat berlangsungnya
proses produksi seperti sumberdaya yang dimiliki, bahan baku, alat-alat yang
digunakan dalam kegiatan produksi. Oleh sebab itu, perlu diketahui variabel apa
saja yang terkait dengan topik penelitian tersebut.
Berikut perincian jenis data dan sumber data yang dilakukan dalam
penelitian Analisis Pendapatan Budidaya Udang Vaname di Kabup