Keterkaitan produksi dengan beban masuka bahan organik pada sistem budidaya intensif udang vaname
KETERKAITAN PRODUKSI DENGAN BEBAN MASUKAN
BAHAN ORGANIK PADA SISTEM BUDIDAYA INTENSIF
UDANG VANAME (
Litopenaeus vannamei
Boone 1931)
TATAG BUDIARDI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2 0 0 8
(2)
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi “Keterkaitan Produksi dengan Beban Masukan Bahan Organik pada Sistem Budidaya Intensif Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei Boone 1931)“ adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi di mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Pebruari 2008
Tatag Budiardi NIM P19600001
(3)
ABSTRACT
TATAG BUDIARDI. Relation of Production and Organic Matter Loading at Vaname Shrimp (Litopenaeus vannamei, Boone 1931) Intensive Culture System. Under direction of CHAIRUL MULUK, BAMBANG WIDIGDO, KARDIYO PRAPTOKARDIYO, and DEDI SOEDHARMA.
A study on relation of production and organic matter loading at vaname shrimp (Litopenaeus vannamei) intensive culture system was conducted in Pelabuan Ratu, West Java during Mei-Agustus 2003. The research was aim at evaluating inappropriate feeding practices, and suitability of its water quality obtained. This study was based on observations ponds during one growout period (100 days) with causal design and ex post-facto method to obtain data on water quality and production.
The result showed that degradation of water quality occurred not until the 40th day of cultivation, and progressively decreased up to the end of the growout period. The high level of feed utilization produced suitable water quality, and high shrimp growth rates, thus, yielding high shrimp biomass. Feed-shrimp biomass relationship could be expressed by the following regression: y = 0.7931x + 787.6 (R2 = 0.9357) from which the shrimp biomass production was reached at 7648 ± 565 kg/ha on 8650 kg feed, giving a feed conversion ratio of 1.1. Feeding level (y, kg/day) was determined by amount of shrimp (x1) and mortality rate, mean weight of shrimp (x2, gram) and the specific growth rate, culture time (t, day) and feeding rate (x3, 3-4%) or (x4, 2-3%), could be expressed by the following regression: y = {[x1 exp(-0.0002t)] [x2 exp(0.0245t)] x3} on T2 (D40-D70) and
y = {[x1 exp(-0.0003t)] [x2 exp(0.0115t)] x4} on T3 (D70-D100).
(4)
RINGKASAN
TATAG BUDIARDI. Keterkaitan Produksi dengan Beban Masukan Bahan Organik pada Sistem Budidaya Intensif Udang Vaname (Litopenaeus Vannamei Boone 1931). Dibimbing oleh CHAIRUL MULUK, BAMBANG WIDIGDO, KARDIYO PRAPTOKARDIYO, dan DEDI SOEDHARMA
Penelitian keterkaitan produksi dengan beban masukan bahan organik pada sistem budidaya intensif udang vaname (Litopenaeus vannamei) telah dilakukan di Pelabuan Ratu, Jawa Barat pada bulan Mei-Agustus 2003. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi tingkat pemanfaatan pakan dan kelayakan kualitas air sebagai landasan bagi estimasi pertumbuhan dan produksi dari setiap tahap pemeliharaan pada sistem budidaya intensif udang vaname. Penelitian ini didasarkan pada observasi tambak selama satu masa pemeliharaan (100 hari) dengan desain kausal dan metode ex post-facto untuk mendapatkan data kualitas air dan produksi udang.
Hasil penelitian menunjukkan, bahwa masa pemeliharaan dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap awal (T1; H1-H40), tahap transisi (T2; H40-70) dan tahap akhir (T3; H70-100). Konsentrasi DO pada petak A, B, C, D, E dan F tidak berbeda nyata (P>0.05) pada T1, T2 dan T3, serta masih layak. Media pada awal pemeliharaan pada semua petak bersalinitas 35 ppt dan terus meningkat selama pemeliharaan, serta tidak layak bagi kehidupan udang karena berkisar pada 35-40 ppt. Suhu pada semua petak cenderung menurun selama pemeliharaan, namun tidak berbeda nyata antar petak (P>0.05) pada T1, T2 dan T3 dengan rata-rata 28.5 OC, 26.0 OC dan 25.5 OC. Alkalinitas cenderung menurun selama pemeliharaan, namun tidak berbeda nyata antar petak pada T1, T2 dan T3 (P>0.05) dengan rata-rata 113.7 mg/L, 114.2 mg/L dan 104.9 mg/L. Nilai pH air tidak berbeda nyata antar petak pada T1, T2 dan T3 (P>0.05) dengan rata-rata 7.8, 7.4 dan 7.6. Konsentrasi bahan organik total (TOM) tidak berbeda antar nyata petak pada T1, T2 dan T3 (P>0.05) dengan rata-rata 50.97, 104.58 dan 198.67 mg/L. Konsentrasi amoniak tidak berbeda nyata antar petak pada T1 (P>0.05) dengan rata-rata 0.009 mg/L. Konsentrasi amoniak pada kelompok petak D, E dan F lebih tinggi dari pada kelompok petak A, B dan C di T2 dan T3 (P<0.05). Hidrogen sulfida mulai terbentuk pada T2, yaitu pada petak A, B dan C di H50, serta di petak D, E dan F pada H70. Konsentrasi H2S pada petak D dan E sudah
masuk pada tingkat mematikan pada akhir pemeliharaan.
Pada N/P>16, fitoplankton didominasi oleh kelompok fitoplankton positif, sedangkan pada N/P<16 didominasi oleh kelompok fitoplankton negatif. Pergeseran dominasi ke arah kelompok fitoplankton negatif mulai terjadi pada T2 dan berlanjut pada T3, serta pada H100 terjadi di semua petak tambak.
DO defleksi tidak berbeda nyata antar petak pada T1, T2 dan T3 (P>0.05) dengan rata-rata 0.48, 0.74 dan 1.40 mgO2.L-1.jam-1. DO defisit tidak berbeda
nyata antar petak pada T1, T2 dan T3 (P>0.05) dengan rata-rata oksigen -0.95, -8.18 dan -10.78 mgO2.L-1.hari-1. DO minimum tidak berbeda nyata antar petak di
(5)
Tingkat pemberian pakan pada T1 dan T2 tidak berbeda nyata antar petak (P>0.05) dengan rata-rata 38 kg/47.2 kg udang per hari dan 121 kg/2625 kg udang per hari. Pada T3 tingkat pemberian pakan A, B, C dan F sebanyak 138 kg/5634 kg udang per hari lebih tinggi dibandingkan dengan petak D dan E dengan rataan 90 kg/4403 kg udang per hari. Biomassa mati pada petak A, B dan C lebih rendah daripada petak lainnya, dengan rataan berturut-turut pada T1, T2 dan T3 sebesar 0.2, 0.7, dan 1.5 kg/hari; pada petak D dan F sebesar 2.9, 15.9 dan 24.0 kg/hari; serta pada petak E sebesar 8.9, 68.9 dan 47.0 kg/hari.
Tingkat pemanfaatan pakan bagi biomassa tumbuh (IOIR-BG) pada T1 dan T2 tidak berbeda nyata antar petak (P>0.05) dengan rata-rata 1.29 dan 0.93. IOIR-BG berbeda nyata pada T3 (P<0.05), yaitu rata-rata pada kelompok petak A, B dan C sebesar 0.59, sedangkan pada kelompok petak D, E dan F sebesar 0.09. Tingkat pemanfaatan pakan bagi biomassa mati (IOIR-BE) berbeda nyata antar petak (P<0.05) pada T1 dengan nilai terendah pada kelompok petak A, B dan C. Pada T2, nilai IOIR-BE berbeda antar petak (P<0.05) dengan nilai tertinggi di petak E, sedangkan terendah di petak A, B, C, D dan F. Pada T3, nilai IOIR-BE berbeda antar petak (P<0.05) dengan nilai terendah pada petak A, B dan C. Dengan demikian, petak A, B dan C lebih efisien dalam pemanfaatan pakan dibandingkan dengan petak D, E dan F.
Laju kematian dan sintasan pada petak A, B dan C termasuk baik sedangkan pada petak D, E dan F termasuk jelek. Laju pertumbuhan spesifik individu tidak berbeda nyata antar petak di T1, T2 dan T3 (P>0.05). Laju pertumbuhan spesifik biomassa tidak berbeda nyata antar petak di T1 dan T2 (P>0.05), namun petak A, B dan C lebih tinggi daripada petak D, E dan F pada T3. Produksi biomassa pada T1 dan T2 tidak berbeda nyata antar petak (P>0.05) dengan rata-rata masing-masing sebesar 971±116 kg/ha dan 3951±418 kg/ha. Produksi biomassa pada T3 berbeda nyata antar petak (P<0.05), yaitu kelompok petak A, B dan C lebih tinggi daripada kelompok petak D, E dan F.
Pemberian pakan yang tepat dan efisien bagi pembentukan biomassa berkelanjutan pada setiap tahap pemeliharaan menghasilkan produksi biomassa udang yang tinggi. Model prediksi biomassa yang dihasilkan (y) dari sejumlah pakan yang diberikan (x) selama 100 hari pemeliharaan berupa model regresi linier: y = 0.7931x + 787.6 (R2 = 0.9357) dengan produksi biomassa 7648 ± 565 kg/ha pada pemberian pakan sebanyak 8650 kg atau FCR sebesar 1.1. Jumlah pemberian pakan harian (y, kg/hari) ditentukan oleh jumlah populasi udang (x1, ekor) dan laju mortalitas, bobot rata-rata udang (x2, gram) dan laju pertumbuhan spesifik, waktu pemeliharaan (t, hari) serta tingkat pemberian pakan (x3, 3-4%) atau (x4, 2-3%), dengan model regresi:
- Pada T2 (H40-H70) : y = {[x1 exp(-0.0002t)] [x2 exp(0.0245t)] x3} - Pada T3 (H70-H100) : y = {[x1 exp(-0.0003t)] [x2 exp(0.0115t)] x4}
(6)
©Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
(7)
KETERKAITAN PRODUKSI DENGAN BEBAN MASUKAN
BAHAN ORGANIK PADA SISTEM BUDIDAYA INTENSIF
UDANG VANAME (
Litopenaeus vannamei
Boone 1931)
TATAG BUDIARDI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Budidaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
(8)
Judul Disertasi : Keterkaitan Produksi dengan Beban Masukan Bahan Organik pada Sistem Budidaya Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei Boone 1931)
Nama : Tatag Budiardi
NIM : P19600001
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Chairul Muluk, M.Sc. Dr. Ir. Bambang Widigdo
Ketua Anggota
Dr. Kardiyo Praptokardiyo Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA.
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perairan
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
(9)
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Ir. Endhay Kusnendar M. Kontara, M.S. 2. Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc.
(10)
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberi kemudahan dalam penyusunan disertasi dengan judul “Keterkaitan Produksi dengan Beban Masukan Bahan Organik pada Sistem Budidaya Intensif Udang Vaname (Litopenaeus vannamei Boone 1931)” ini.
Atas terselesaikannya penulisan disertasi ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih setulusnya kepada :
1. Bapak Dr. Chairul Muluk, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Bambang Widigdo, Bapak Dr. Kardiyo Praptokardiyo dan Bapak Prof. Dr. Dedi Soedharma, DEA. sebagai Komisi Pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan selama ini,
2. Bapak Dr. Ir. Daniel Djokosetiyanto sebagai Penguji pada Ujian Tertutup serta Dr. Ir. Endhay Kusnendar M. Kontara M.S. dan Dr. Ir. Eddy Supriyono, M.Sc. sebagai Penguji pada Ujian Terbuka atas bimbingannya,
3. Bapak Rektor Institut Pertanian Bogor, Bapak Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, serta Bapak Ketua Departemen Budidaya Perairan FPIK-IPB atas ijin melanjutkan pendidikan yang telah diberikan,
4. Direktorat Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI atas beasiswa yang telah diberikan, serta Staf Edukatif dan Administratif PPs-IPB atas bimbingan dan kerjasamanya,
5. Bapak Ir. Djoko Darmanto sebagai Direktur PT Bimasena Sagara beserta staf atas ijin, fasilitas dan bantuan yang diberikan selama penelitian,
6. Rekan-rekan Staf Edukatif Departemen Budidaya Perairan FPIK-IPB atas waktu yang telah diluangkan untuk diskusi dan dorongan morilnya, serta rekan-rekan Staf Administratif atas perhatian dan bantuannya,
7. Rekan-rekan mahasiswa SPs-IPB, terutama Angkatan 2000 yang telah banyak memberi bantuan dan masukan, rekan-rekan mahasiswa sepenelitian (Asep, Hanhan, Ismoko, Tommy dan Zacky) yang telah menunjukkan ketulusannya dalam bekerjasama sebagai suatu tim selama penelitian, serta semua pihak yang telah memberi masukan bagi perbaikan disertasi ini dan banyak membantu, baik moril maupun materiil, serta
8. Ibu dan bapak (almarhum), serta kakak-kakak beserta keluarganya yang telah banyak berdoa, serta istri (Nuning) dan kedua anak (Tita dan Febi) tercinta atas kebesaran jiwa, pengertian, dan dorongan morilnya selama ini.
Dengan segala keterbatasannya, semoga disertasi ini banyak memberi manfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Pebruari 2008
(11)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Nganjuk pada tanggal 2 Oktober 1963 sebagai anak dari pasangan Bapak Darmosuwito dengan Ibu Sudjiati. Pendidikan Sarjana ditempuh pada Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun 1987. Pada tahun 1995 penulis melanjutkan studi pada program magister sains pada Program Studi Ilmu Perairan, Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dan diselesaikan pada tahun 1998 dengan beasiswa dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Pada tahun 2000, penulis dengan sumber beasiswa yang sama memperoleh kesempatan mengikuti program doktor pada Program Studi Ilmu Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 1987-1998 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Djuanda, Bogor. Sejak tahun 1998 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
(12)
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Perumusan Masalah ... 3
1.3 Tujuan dan Manfaat ... 4
1.4 Konsep Pemecahan Masalah ... 4
1.5 Hipotesis ... 5
I I. TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1 Intensitas dan Produktivitas Tambak Udang ... 7
2.2 Faktor dan Proses Penentu Produktivitas ... 8
2.2.1 Mortalitas dan Kualitas Air ... 8
2.2.2 Pertumbuhan dan Tingkat Pemberian Pakan ... 13
2.2.3 Pengelolaan Kualitas Air ... 16
I I I. BAHAN DAN METODE ... 21
3.1 Waktu dan Tempat ... 21
3.2 Metode Penelitian ... 22
3.2.1 Metode Penelitian ... 22
3.2.2 Desain Penelitian ... 22
3.2.3 Variabel ... 23
3.2.4 Bahan dan Metode Pengukuran ... 25
3.2.4.1 Bahan ... .. 25
3.2.4.2 Metode Pengukuran Variabel ... 25
3.3 Pelaksanaan Penelitian ... 30
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 34
3.5 Analisis Data ... 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36
4.1 Hasil ... 36
4.1.1 Kualitas Air ... 36
4.1.1.1 Oksigen Terlarut ... 36
4.1.1.2 Salinitas dan Suhu ... 38
4.1.1.3 Alkalinitas dan pH ... 40
4.1.1.4 Bahan Organik Total ... 41
4.1.1.5 Senyawa Toksik ... 42
4.1.1.6 Fitoplankton ... 44
(13)
4.1.2 Tingkat Pemberian Pakan ... 51
4.1.2.1 Pemberian Pakan ... 51
4.1.2.2 Peningkatan Biomassa ... 52
4.1.2.3 Tingkat Pemanfaatan Pakan ... 54
4.1.3 Estimasi Pertumbuhan dan Produksi ... 55
4.1.3.1 Mortalitas dan Sintasan ... 55
4.1.3.2 Pertumbuhan Individu ... 57
4.1.3.3 Pertumbuhan Biomassa ... 58
4.1.3.4 Produksi ... 59
4.2 Pembahasan ... 59
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 63
5.1 Kesimpulan ... 63
5.2 Saran ... 63
DAFTAR PUSTAKA ... 65
LAMPIRAN ... 70
(14)
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Kisaran nilai optimum parameter kualitas air bagi udang ... 9
2 Jenis variabel yang diukur selama penelitian dan metode pengukurannya 26 3 Pakan dan pemberian pakan udang selama pemeliharaan ... 32
4 Waktu pemberian pakan ... 33
5 Perbedaan nilai variabel kualitas air antar petak tambak pada tiap tahap waktu pemeliharaan ... 37
6 Frekuensi kejadian dominasi kelompok fitoplankton ... 45
7 Oksigen defleksi pada petak tambak menurut tahap waktu ... 46
8 Potensi defisit oksigen akibat tanpa fitoplankton dan tanpa aerasi kincir 47 9 Oksigen minimum pada petak tambak menurut tahap waktu ... 48
10 Penambahan, pengurangan dan cadangan oksigen terlarut ... 49
11 Tingkat pemberian pakan pada setiap petak menurut tahap waktu ... 51
12 Peningkatan biomassa pada setiap petak menurut tahap waktu ... 53
13 Tingkat pemanfaatan pakan ... 54
14 Laju mortalitas dan sintasan... 56
15 Laju pertumbuhan spesifik individu ... 57
16 Laju pertumbuhan spesifik biomassa ... 58
(15)
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Diagram pemecahan masalah sistem produksi udang ... 6
2 Sebaran oksigen terlarut pada petak tambak menurut tahap waktu ... 38
3 Sebaran salinitas pada petak tambak menurut tahap waktu ... 39
4 Sebaran suhu pada petak tambak menurut tahap waktu ... 40
5 Sebaran pH pada petak tambak menurut tahap waktu ... 41
6 Sebaran alkalinitas pada petak tambak menurut tahap waktu ... 41
7 Sebaran bahan organik pada petak tambak menurut tahap waktu ... 42
8 Sebaran amoniak pada petak tambak menurut tahap waktu ... 43
9 Sebaran hidrogen sulfida pada petak tambak menurut tahap waktu ... 44
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Posisi petak tambak yang digunakan dalam penelitian ... 71
2 Tambak Biocrete ... 72
3 Model pemberian pakan untuk udang umur 1-50 hari ... 75
4 Model pemberian pakan untuk udang umur 51-100 hari ... 76
5 Metode pengukuran kualitas air ... 77
6 Data variabel kualitas air ... 80
7 Data variabel produksi ... 84
8 Analisis ragam bagi kualitas air ... 87
9 Analisis ragam bagi variabel produksi ... 94
10 Kurva hubungan biomassa dan jumlah pakan pada kelompok petak ... 100
(17)
1.1 Latar Belakang
Udang vaname (Litopenaeus vannamei) mulai diintroduksi di Asia dalam skala penelitian sekitar tahun 1978-1979. Udang ini kemudian dikembangkan dalam skala komersial mulai awal tahun 1996 di wilayah Cina dan Taiwan. Usaha budidaya tersebut kemudian berkembang dengan pesat hampir di semua wilayah pantai Asia mulai tahun 2000-2001, yang meliputi wilayah Filipina, Indonesia, Vietnam, Thailand, Malaysia dan India. Produksi udang dunia hasil budidaya pada tahun 2002 sekitar 1.48 juta ton atau sekitar 49% dari total produksi udang (hasil tangkap dan budidaya). Kontribusi udang windu (Penaeus monodon) dari tahun 1994 sampai 2001 relatif stabil, yaitu sekitar 600 ribu ton sehingga secara persentase menurun dari 68% menjadi 48%. Pada selang waktu tersebut terjadi peningkatan produksi L. vannamei dan L. chinensis secara cepat dari 184974 ton pada tahun 1994 menjadi 490616 ton pada tahun 2001 atau dari 21% menjadi 38% dari total udang budidaya (FAO 2003).
Di Indonesia, dalam dekade terakhir ini budidaya udang dikembangkan secara mantap dalam rangka menanggapi permintaan pasar udang dunia. Pengembangan budidaya udang vaname semakin pesat menggantikan budidaya udang windu. Alasan utama bagi beralihnya komoditas budidaya udang windu ke udang vaname antara lain adalah performa dan laju pertumbuhan udang windu yang rendah serta kerentanannya yang tinggi terhadap penyakit. Hal ini ditunjukkan dengan mulai menurunnya produksi industri budidaya udang akibat patogen viral yang menyerang udang windu mulai tahun 1990. Produksi udang kemudian meningkat lagi dengan pesat setelah dibudidayakannya udang vaname. Produksi udang vaname pada tahun 2002 sebesar 5000 ton/tahun (10% dari total produksi udang) dan diperkirakan menjadi 20000 ton/tahun (23% dari total produksi udang) pada tahun 2003 (FAO 2003).
(18)
Dalam pengembangan industri budidaya udang diperlukan sumberdaya lingkungan yang memadai untuk menghasilkan produksi yang ditargetkan. Namun kondisi lingkungan, baik kuantitas maupun kualitas, semakin menjadi pembatas sehingga sistem produksi cenderung berubah dari budidaya berbasis luasan (ekstensifikasi) ke arah perbaikan pengelolaan sistem budidaya (intensifikasi) (Thakur & Lin 2003). Berkaitan dengan hal tersebut, dalam budidaya udang vaname di tambak juga diterapkan sistem budidaya intensif.
Konsep dari sistem budidaya udang intensif yaitu penggunaan padat tebar tinggi dengan diberi pakan yang tepat (Xincai & Yongquan 2001), agar tidak mengakibatkan penurunan kualitas air sehingga kelangsungan hidup dapat dipertahankan tinggi. Padat tebar pada sistem budidaya udang windu intensif sekitar 20-50 ekor/m2, sedangkan pada udang vaname 75-150 ekor/m2 atau lebih. Perbedaan padat tebar tersebut sangat berpengaruh terhadap teknik produksi. Bagaimanapun, sifat udang windu yang lebih banyak menempati dasar tambak akan berbeda dengan udang vaname yang cenderung menempati seluruh kolom air. Selama ini, teknik produksi yang diterapkan pada budidaya udang vaname kebanyakan mengadopsi dari teknik produksi udang windu.
Dalam sistem budidaya intensif, pemenuhan materi bagi pertumbuhan udang diperoleh dari pemberian pakan buatan. Jumlah pakan yang diberikan akan meningkat sesuai dengan peningkatan biomassa udang akibat adanya pertumbuhan. Sisa pakan dan ekskresi udang akan membentuk kumpulan bahan organik di dalam media pemeliharaan yang memerlukan oksigen terlarut untuk menguraikannya (Boyd 1991; Primavera 1994). Kondisi ini berpotensi untuk terjadinya defisit oksigen yang selanjutnya dapat menyebabkan kondisi anaerob dalam sistem budidaya. Dalam kondisi anaerob, penguraian bahan organik akan menghasilkan senyawa beracun, terutama amoniak (NH3) dan hidrogen sulfida
(H2S) (Boyd 1991; Goddard 1996). Secara keseluruhan, kondisi ini akan
menyebabkan penurunan kualitas air sehingga mengganggu metabolisme dan kehidupan udang. Selanjutnya, akibat akhir sebagai keluaran sistem adalah rendahnya biomassa melalui penurunan laju pertumbuhan dan peningkatan kematian udang.
(19)
Prinsip dari penerapan sistim budidaya udang intensif adalah tingkat pemanfaatan pakan yang tinggi dengan kualitas media tetap layak bagi kehidupan udang sehingga pertumbuhan dan produksi udang dapat mencapai target yang ditetapkan. Konsekuensi dari ketidaktepatan pemberian pakan yang diikuti penurunan kualitas air adalah sintasan tidak sesuai harapan yang berlanjut pada penurunan pertumbuhan biomassa udang. Oleh karena sistem budidaya udang vaname intensif menggunakan padat tebar tinggi, maka peluang terjadinya permasalahan pengelolaan pakan dan kualitas air menjadi tinggi. Untuk itu diperlukan penelitian yang mengkaji dan mengevaluasi pengelolaan pakan dan kualitas air untuk pemantapan teknologi budidaya udang vaname intensif.
1.2 Perumusan Masalah
Usaha budidaya udang vaname intensif sering menghadapi masalah, yaitu target produksi dari lama waktu pemeliharaan yang diharapkan tidak dapat tercapai. Pertumbuhan biomassa selama masa pemeliharaan sering tidak berkelanjutan. Pada tahap lama waktu sebagian biomassa yang akan telah terbentuk mendadak terelimimir karena adanya kematian parsial. Kematian tersebut selain faktor eksternal juga disebabkan adanya gas-gas toksik dari hasil penguraian feses dan kotoran. Sumber penyebab dari hilangnya biomassa udang tersebut yaitu kualitas air menjadi tidak layak sebagai akibat lanjut degradasi dari akumulasi sisa pakan dan kotoran udang. Sisa pakan atau kotoran udang tersebut terjadi karena jumlah pakan yang diberikan, khususnya pada tahap periode awal pemeliharaan ternyata tidak dimanfaatkan secara efisien bagi pembentukan biomassa. Sisa-sisa pakan yang terakumulasi tersebut mengalami penguraian sehingga meningkatkan respirasi metabolik perairan.Ketersediaan oksigen terlarut menjadi tidak memenuhi kebutuhan oksigen bagi respirasi udang, fitoplankton maupun penguraian bahan organik sisa pakan. Tindakan penggunaan aerator untuk meningkatkan ketersediaan oksigen sering terlambat untuk memenuhi kebutuhan oksigen tersebut sehingga udang yang pada saat tersebut lemah akan mengalami tekanan bagi kelangsungan hidupnya.
(20)
Untuk mengatasi masalah tersebut maka tingkat pemberian pakan di setiap tahap pemeliharaan diupayakan optimal bagi pembentukan biomassa. Dengan pemberian pakan yang tepat maka mortalitas yang mengakibatkan tereliminasinya biomassa udang yang telah terbentuk dapat dihindari.
1.3 Tujuan dan Manfaat
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi tingkat pemanfaatan pakan dan kelayakan kualitas air sebagai landasan bagi estimasi pertumbuhan dan produksi dari setiap tahap pemeliharaan pada sistem budidaya intensif udang vaname. Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan model hubungan antara jumlah pakan dan pertumbuhan biomassa udang untuk dijadikan dasar perencanaan, implementasi dan evaluasi sistem budidaya udang vaname intensif.
1.4 Konsep Pemecahan Masalah
Produksi dari budidaya udang vaname intensif ditentukan oleh perpaduan antara pertumbuhan biomassa dan sintasan serta jaminan kelayakan kualitas air dari setiap tahap periode pemeliharaan. Berhubung pemberian pakan pada tahap tertentu tidak tepat atau tidak efisien dimanfaatkan bagi pembentukan biomassa bahkan berakibat lanjut terhadap ketidaklayakan kualitas air serta mengakibatkan kematian, maka tingkat pemberian pakan dari setiap tahap perlu direevaluasi ketepatannya. Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka diajukan suatu konsep: pemberian pakan bagi pembentukan biomassa berkelanjutan yang tepat serta efisien dari setiap tahap pemeliharaan sehingga tidak mengakibatkan penurunan kelayakan kualitas air. Pakan diberikan secara optimal dimanfaatkan bagi pembentukan biomassa sehingga biomassa yang hilang dapat dihindari.
Sehubungan dengan konsep upaya perbaikan tingkat pemberian pakan yang tepat bagi pertumbuhan biomassa udang, maka perlu dikaji :
1) Efisiensi pemanfaatan pakan bagi pembentukan biomassa dari setiap tahapan pemeliharaan.
2) Kelayakan kualitas air sehubungan dengan kemungkinan adanya akumulasi sisa pakan dan feses.
(21)
3) Pertumbuhan dan peningkatan biomassa udang setiap tahap pemeliharaan sehubungan dengan efisiensi pemanfaatan pakan dan kelayakan kualitas air. Kajian tersebut dilakukan mengikuti diagram pemecahan masalah sistem produksi udang yang tertera pada Gambar 1.
1.5 Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah jika tingkat pemanfaatan pakan dari setiap tahap pemeliharaan udang dapat tinggi, maka kualitas air selalu layak bagi kehidupan udang sehingga pertumbuhan biomassa dapat berkelanjutan mencapai target produksi yang diharapkan.
(22)
MGT = Managemen; KUA = kualitas air
Gambar 1 Diagram pemecahan masalah sistem produksi udang Pakan Buatan - starter - grower Udang PL12 KUA pre layak? Efisien diman- faatkan? Pertumbuhan
udang relatif SGR
DO≈BOD Gas toksik? SR PRODUKSI Lingkungan - Suhu - Salinitas - DO - pH - Alkalinitas - Fitoplankton MGT pakan Feses Pemberian pakan post telah sesuai dengan biomassa Keberadaan DO Sisa pakan Manajemen KUA post Lingkungan layak berkelan-jutan MGT
KUA SR
III II + - + - + - I
(23)
Kategori dasar bagi respons organisme terhadap lingkungan dapat dibagi dalam tiga kelompok, yaitu 1) pertumbuhan dan kelangsungan hidup, 2) konsumsi oksigen dan pakan, serta 3) produk metabolisme. Dua kelompok pertama berhubungan dengan keluaran sistem sedangkan produk metabolisme merupakan kelompok yang berpengaruh terhadap lingkungan sistem budidaya.
2.1 Intensitas dan Produktivitas Tambak Udang
Pertumbuhan budidaya udang di Asia terganggu oleh banyak permasalahan, antara lain perjangkitan penyakit, degradasi kualitas lingkungan serta kelemahan praktek manajemen (Primavera 1998) sehingga diperlukan pengembangan dan diseminasi bidang akuakultur udang, baik yang ramah lingkungan maupun kelayakan secara ekonomis (Funge-Smith dan Briggs 1998). Untuk mengurangi dampak lingkungan dari buangan air tambak dan mengurangi resiko pencemaran penyakit dari air yang terpolusi dari luar, maka budidaya udang intensif berkembang dari 'sistem terbuka' dengan pergantian air menjadi 'sistem tertutup' dengan sedikit atau 'nol' (tanpa) pergantian air (Thakur & Lin 2003).
Budidaya semi-intensif saat ini merupakan teknologi utama yang digunakan untuk budidaya Litopenaeus stylirostris. Namun, peluang untuk meningkatkan produksi yang dapat dilakukan tanpa meningkatkan luasan tambak dan mengurangi dampak lingkungan dengan pengurangan pergantian air tambak telah mendorong masyarakat untuk beralih ke teknologi intensif (Hernandez-Llamas et al. 2004).
Eutrofikasi yang cepat didalam tambak sebagai hasil peningkatan konsentrasi nutrien dan bahan organik selama periode pemeliharaan merupakan masalah utama dalam sistem tertutup. Kondisi air tambak yang super-eutrofik merupakan indikator lingkungan yang kurang baik dan dapat mengarah ke penurunan daya dukung tambak (Lin 1995). Dengan demikian keseimbangan antara produksi limbah dan kapasitas asimilasi didalam lingkungan tambak menjadi sangat penting untuk keberhasilan sistem tertutup. Untuk itu diperlukan
(24)
strategi untuk mengatasi dampak limbah terhadap pertumbuhan organisma budidaya, mortalitas, serta keseluruhan total biomassa didalam sistem produksi (Thakur & Lin 2003).
Selama 90 hari udang windu (Penaeus monodon) dibudidaya secara intensif tanpa pergantian air (closed system) dengan padat tebar 25 dan 50 juvenil/m2 menghasilkan pertambahan bobot udang dan produksi tertinggi pada padat tebar 50 juvenil/m2, sedangkan SR tidak berbeda antar padat tebar (Thakur & Lin 2003). Tidak ada perbedaan SR udang pada media bersalinitas 9, 18 dan 36 ppt. Namun penurunan salinitas dari 36 ppt ke 9 ppt mengarah pada penurunan bobot akhir udang dari 13.40 ± 0.26 g menjadi 10.23 ± 2.72 g (Decamp et al. 2003).
Dari hasil penelitian pada 8 petak budidaya udang windu intensif dengan luas efektif masing-masing 4000 m2 dan berpadat tebar 34-35 ekor PL12/m2, didapatkan derajat kelangsungan hidup pada hari ke-90 sebesar 74.27 ± 6.38% dengan kisaran 64.58-84.31%. Mortalitas udang yang tinggi akibat serangan penyakit terjadi pada umur 95-100 hari pemeliharaan (Budiardi, 1998).
2.2 Faktor dan Proses Penentu Produktivitas 2.2.1 Mortalitas dan Kualitas Air
Pasokan kualitas air yang baik merupakan faktor penting bagi budidaya perairan karena berpengaruh terhadap reproduksi, pertumbuhan dan kelangsungan hidup organisme akuatik (Chien 1992). Dalam siklus pembesaran, udang akan terkena tekanan akibat perubahan lingkungan yang bervariasi termasuk faktor alam, misalnya salinitas dan suhu. Hal tersebut dapat mengarah ke penurunan permorfa yang terkait dengan pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang (Wyban et al. 1995). Kondisi perairan dengan pH ekstrim juga dapat membuat udang tertekan, pelunakan karapas, serta kelangsungan hidup rendah. Mortalitas tinggi pada udang terjadi pada pH perairan di bawah 6.0 sedangkan pada pH 3.0 dalam 20 jam terjadi kematian 100% (Law 1988). Mortalitas udang yang tinggi juga dapat disebabkan karena adanya perubahan salinitas secara cepat (Tseng 1987 dalam Chien 1992).
(25)
Di sedimen, potensi reduksi-oksidasi mengontrol reduksi sulfat menjadi sulfit. Di kolom air, hidrogen sulfida berbentuk anionik (H2S) yang bersifat
toksik bagi udang serta berbentuk ion (HS- dan S2-) (Boyd 1991; Goddard 1996). Hidrogen sulfida secara cepat teroksidasi pada kondisi oksigen terlarut yang tinggi. Oleh karena itu, gas tersebut jarang ditemukan pada lapisan air permukaan namun menjadi masalah utama bagi organisme dasar yang meliang, termasuk di dalamnya adalah udang (Goddard 1996). Hasil penelitian menyatakan, bahwa perairan dengan konsentrasi H2S di bawah 0.009 mg/l tidak menyebabkan
kematian udang, sedangkan kematian total terjadi pada konsentrasi 0.064 mg/l (Law 1988). Beberapa nilai optimum parameter kualitas air yang mendukung budidaya udang tertera pada Tabel 1.
Tabel 1 Kisaran nilai optimum parameter kualitas air bagi udang
Parameter Satuan Nilai optimum Pustaka
Oksigen terlarut mg/l > 5 > 4
Yang (1990)
Liao & Huang (1975) dalam Chien (1992); Xincai & Yongquan (2001)
Suhu oC 28 – 30
20 – 36
Hirono (1992)
Xincai & Yongquan (2001)
Salinitas %0 15 – 25
5 – 35
Boyd (1991)
Xincai & Yongquan (2001)
pH unit 7.5 – 8.5
7.0 – 10.0
Law (1988), Chien (1992) Xincai & Yongquan (2001) Alkalinitas mg/l 20 – 200 Liu (1989)
NH3 mg/l < 0.100 Wickins (1976), Liu (1989)
H2S mg/l < 0.050
< 0.005 < 0.001
Boyd (1991) Chien (1992)
Xincai dan Yongquan (2001)
Kecerahan cm 30 – 40
25 – 50
Chien (1992), Hirono (1992) Xincai & Yongquan (2001)
(26)
Udang vaname dapat tumbuh pada perairan salinitas rendah. Diperkirakan lebih dari 30% budidaya udang di Thailand dilakukan pada perairan bersalinitas rendah. Namun hal yang penting, air payau tambak di Thailand merupakan air asin yang dialirkan ke darat dari kawasan pantai sehingga mempunyai perbandingan ion yang serupa dengan air laut (Saoud & Davis 2003).
Udang vaname hidup pada perairan dengan kisaran salinitas antara 1-40 ppt (Bray et al. 1994), serta dapat tumbuh pada perairan dengan salinitas berkisar antara 0.5 ppt (Samocha et al. 2001) sampai 28.3 ppt (Smith & Lawrence 1990 dalam Saoud & Davis 2003). Namun demikian menurut Tsuzuki et al. (2000), pascalarva (PL) dan juvenil udang penaeid tidak terlalu toleran terhadap fluktuasi salinitas yang besar. Pascalarva penaeid yang mempunyai toleransi lebar terhadap salinitas adalah setelah PL10-PL40. Sebelum periode tersebut, petani tidak akan mengaklimatisasikan udang ke salinitas rendah.
Pada umumnya, udang penaeid merupakan spesies eurihalin dan juvenil udang vaname telah berhasil dipelihara pada salinitas 5-35 ppt (Sturmer & Lawrence, 1989; Bray et al. 1994; Ponce-Palafox et al. 1997). Bagaimanapun, perbedaan salinitas dapat mempengaruhi fisiologi udang dan parameter kualitas air, misalnya laju ekskresi amonium-N lebih rendah pada 25 ppt daripada 10 ppt atau 40 ppt (Jiang et al. 2000). Ekskresi nitrit-N juvenil Penaeus chinensis meningkat dengan meningkatnya salinitas, pH dan tingkat amonium-N ambien, sedangkan ekskresi amonium-N menurun dengan meningkatnya salinitas, pH dan tingkat amonium-N ambien (Chen & Lin 1995).
Kapasitas osmoregulasi udang dari kelompok yang sama menunjukkan keragaman antar individu. Jika salinitas media diturunkan, maka keragaman akan meningkat. Pada media isoosmotik (salinitas 26 ppt), koefisien keragaman kapasitas osmoregulasi sebesar 2.7%, sedangkan pada salinitas 1.5 ppt bernilai 8.2%. Perbedaan koefisien keragaman kapasitas osmoregulasi antar invidu pada tingkat salinitas yang sama dapat meningkat lebih dari 45.8%. Kapasitas osmoregulasi rata-rata pada individu yang bertahan hidup setelah melalui uji stres salinitas dan suhu secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan populasi awalnya. Peningkatan kapasitas osmoregulasi tersebut dapat bertahan selama satu atau dua periode molting (Chim et al. 2003).
(27)
Buangan yang dihasilkan dalam sistem (internal waste) budidaya udang dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu buangan padat yang terdiri dari pakan yang tidak termakan dan feses, serta produk ekskresi terlarut, yang meliputi amonia, urin, bahan organik terlarut dan karbondioksida. Diperkirakan lebih dari sepertiga pakan yang digunakan pada budidaya intensif tidak dapat dicerna. Komponen tersebut, bersama dengan mukus, bakteri dan sel-sel dari dinding saluran pencernaan diekskresikan berupa feses yang mengandung lebih dari 30% karbon dan 10% nitrogen yang dikonsumsi (Goddard 1996).
Menurut Goddard (1996), buangan yang dihasilkan selama pemeliharaan udang berpotensi untuk membahayakan, baik bagi lingkungan tambak maupun bagi lingkungan luar yang memakai air buangan tersebut. Pakan yang tidak termakan menjadi masalah utama bagi budidaya, terutama bagi kolam-kolam statis dengan laju pergantian air yang rendah.
Bahan organik dalam perairan berbentuk senyawa organik terlarut sampai bahan organik partikulat dalam agregar besar, atau organisme yang mati, yang bersumber, baik dari dalam (autochtonous) maupun dari luar (allochtonous) perairan. Secara umum, komposisi bahan organik meliputi protein (40-60%), karbohidrat (25-50%), lemak dan minyak (10%), serta urea. Kandungan bahan organik tersebut dapat diukur secara langsung dengan cara mengukur kandungan bahan organik total (total organic matter, TOM) dan secara tidak langsung dengan cara mengukur kebutuhan oksigen secara biokimia (biochemical oxygen demand, BOD) atau kebutuhan oksigen secara kimia (chemical oxygen demand, COD) (Wetzel & Likens 1991).
Kandungan bahan organik mempengaruhi kandungan oksigen terlarut dalam air. Penguraian bahan organik memerlukan oksigen dalam air sehingga semakin banyak bahan organik di air maka kandungan oksigen terlarut menjadi semakin berkurang (Boyd 1979). Terkait dengan hal ini, Goddard (1996) menyatakan, bahwa sisa pakan pada pemeliharaan udang menjadi subyek bagi perombakan bakterial. Pada kondisi aerobik, proses tersebut akan meningkatkan pemakaian oksigen. Jika pasokan oksigen berkurang, sedimen akan menjadi anaerobik dan hidrogen sulfida yang dihasilkan oleh bakteri heterotrof dapat terakumulasi sampai pada tingkat yang membahayakan bagi udang. Hidrogen sulfida
(28)
merupakan gas berkelarutan tinggi yang dalam konsentrasi rendah sudah bersifat toksik bagi udang. Gas tersebut dapat menimbulkan masalah yang nyata pada kolam-kolam budidaya, terutama yang pergantian airnya kurang mencukupi untuk pengenceran sampai pada tingkat yang aman.
Laju pemakaian oksigen oleh udang windu relatif konstan pada konsentrasi oksigen terlarut 3.0-4.0 mg/l, salinitas 4-45 ppt dan suhu 20-30°C (Liao dan Murai 1986). Udang dalam perairan berkadar oksigen 1.0 mg/l akan berhenti makan, tidak tumbuh pada 1.0-1.4 mg/l, tidak berbeda laju konsumsi pakan pada 1.5 mg/l, pertumbuhan terbatas di bawah 5 mg/l, serta normal pada konsentrasi di atas 5 mg/l (Yang 1990). Mortalitas PL udang windu sebesar 35% terjadi pada konsentrasi oksigen terlarut di bawah 1 mg/l dan kematian total terjadi pada konsentrasi di bawah 0.5 mg/l (Law 1988). Untuk itu disarankan agar oksigen terlarut setiap saat dipertahankan di atas 2.0 mg/l (Law 1988) atau 4.0 mg/l (Liao dan Huang 1975 dalamChien 1992).
Menurut Allen et al. (1984), laju konsumsi oksigen umumnya diukur dalam studi-studi metabolisme hewan karena dapat merefleksikan perbedaan antara energi asimilasi dan energi untuk pertumbuhan. Model yang dapat mengekspresikan ketergantungan laju konsumsi oksigen terhadap bobot hewan adalah: dO/dt = kOWγ dengan dO/dt = laju konsumsi oksigen, serta kO dan γ
merupakan konstanta yang dihitung.
Dalam sistem perairan, keseluruhan model konsentrasi oksigen dapat ditentukan dari keseimbangan massa dengan mengikuti persamaan yang diajukan oleh Allen et al. (1984), yaitu perubahan DO sama dengan penambahan oksigen dari fotosintesis, pasokan aerasi, aerasi alami, dan air masuk, serta pengurangan dari respirasi fitoplankton, respirasi ikan, dekomposisi detritus, dan air keluar. Laju perubahan setiap kategori tersebut dimodelkan sebagai fungsi kondisi lingkungan eksternal dan internal (dalam kolam).
Budidaya udang penaeid pada air bersalinitas rendah sudah banyak dilakukan, namun hanya ada sedikit informasi tentang kelayakan perairan dengan berbagai komposisi ion untuk budidaya udang. Pada air bersalinitas rendah, derajat kelangsungan hidup (SR) PL15 sama dengan PL20 namun lebih tinggi dibanding PL10. Kelangsungan hidup berkorelasi positif dengan ion yang
(29)
terkandung dalam air, seperti K, Mg dan SO4 dan berkorelasi negatif dengan
konsentrasi besi tinggi (Saoud & Davis 2003).
Komponen sedimen yang secara nyata berkorelasi positif dengan bobot, SR dan produksi udang adalah konsentrasi total dan ketersediaan besi (Fe), cadmium (Cd), mangan (Mn), dan fosfor (P) serta tidak berkorelasi dengan tembaga (Cu) dan seng (Zn). SR tertinggi dicapai pada sedimen dengan tingkat Mn tertinggi. Bobot akhir tertinggi dicapai pada sedimen dengan kandungan fosfor tertinggi dan sebaliknya dengan konsentrasi tembaga yang tinggi. Tekstur sedimen berpengaruh pada produksi udang, yaitu rendah pada sedimen bertekstur pasir dan meningkat pada sedimen berliat (Mendez et al. 2004).
Pada sistem akuakultur, sedimen tambak mempengaruhi perkembangan dan kehidupan organisme. Substrat bagi jenis-jenis udang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup udang (Ray & Chien 1992), misalnya Litopenaeus setiferus dan Farfantepenaeus aztecus berasosiasi dengan baik pada substrat lumpur berpasir atau lumpur (Rulifson 1981 dalam Mendez et al. 2004); Penaeus semisulcatus dan P. monodon pada substrat pasir dengan kisaran ukuran 0.9-0.12mm (Moller & Jones 1975 dalam Mendez et al. 2004); sedangkan L.
vannamei tumbuh lebih baik pada substrat yang impermeabel (dasar tanpa
sedimen, fiberglass) daripada substrat tanah (Bray & Lawrence 1993 dalam Mendez et al. 2004).
2.2.2 Pertumbuhan dan Tingkat Pemberian Pakan
Nutrisi merupakan bahan baku yang dibutuhkan oleh suatu biota untuk menyelenggarakan kehidupannya. Nutrien merupakan zat kimia yang diserap oleh saluran dan kelenjar pencernaan serta dinding tubuh untukdigunakansel-sel tubuh bagi pembentukan jaringan tubuh (anabolisme) dan pemenuhan energi dalam metabolisme (katabolisme). Secara umum, keperluan nutrisi dipasok dari kelompok nutrisi berenergi (karbohidrat, protein, dan lemak) serta kelompok tidak berenergi atau faktor pertumbuhan (vitamin dan mineral) (Yamada 1983).
Energi diperoleh udang dari pakan yang dimakan. Energi dari total pakan yang dikonsumsi (EK) digunakan untuk energi metabolisme (EM), energi
(30)
pertumbuhan (EG), serta sebagian energi hasil metabolisme (EE) yang dikeluarkan
berupa feses (EF) dan urine (EU). Energi metabolisme terdiri dari energi
metabolisme standar (tanpa makan dan tanpa pergerakan, ES), energi yang dipakai
untuk pencernaan, asimilasi dan penyimpanan (ED), serta energi untuk pergerakan
dan aktivitas lainnya (EA). Jadi rumusan tersebut dapat ditulis dalam persamaan
berikut (Braaten 1979 dalam Yamada 1983; Allen et al. 1984; Brett & Groves 1979 dalam Goddard 1996): EK = EG + EM + EE atau EK = EG + (ES +ED +EA) +
(EF + EU). Dari rumusan tersebut disimpulkan, bahwa pertumbuhan hanya dapat
terjadi jika terdapat kelebihan energi pakan setelah dikurangi dengan energi metabolisme dan energi yang dikeluarkan, dengan rumus: EG = EK − (EM + EE).
Berdasarkan keseimbangan energi, pertumbuhan dapat disederhanakan dalam persamaan: dw/dt = R - T. Nilai R (energi pakan yang diasimilasi) dihitung dari selisih antara pakan yang dikonsumsi (100%) dengan hasil metabolit (EE =
20%), yaitu sekitar 80%. Nilai dw/dt adalah nilai pertumbuhan (EG) yang
merupakan parameter laju pertumbuhan. Nilai T merupakan energi metabolisme (EM) yang dapat diukur melalui laju konsumsi oksigen (Allen et al. 1984).
Dalam mempelajari pertumbuhan udang, dua kajian penting yang perlu dipertimbangkan adalah nilai kecernaan pakan dan nilai konversi pakan. Menurut Primavera (1994), pakan yang diberikan (100%) akan tereduksi sekitar 15% karena tidak termakan. Dari pakan yang dimakan (85%), jumlah yang diperlukan untuk perbaikan sel, molting (ekdisis) dan ekskresi sekitar 48%, serta dikeluarkan berupa feses dan urine sekitar 20%. Dengan demikian, sisa energi yang dapat disimpan dalam bentuk pertumbuhan hanya sekitar 17% saja.
MenurutYamada(1983), pakan yang diperlukan selama pemeliharaan dapat diprediksi dari nilai rasio konversi pakan (food conversion ratio, FCR). Nilai ini menyatakan rasio antara jumlah pakan yang diberikan terhadap pertumbuhan (pertambahan) biomassa udang yang umumnya berkisar 1-2. Kehadiran pakan alami dan pakan lainnya selain dari pakan yang sengaja diberikan akan menurunkan nilai FCR, yaitu mendekati, sama dengan atau kurang dari nilai 1. Hal ini dimungkinkan karena adanya pemanfaatan jenis pakan selain dari pakan buatan yang diberikan. Pakan tersebut meliputi organisme renik yang tersedia di
(31)
tambak (Yamada 1983), bahan tumbuhan dan detritus (Gamboa-Delgado et al. 2003), serta flokulan (Burford et al. 2004).
Dalam kebanyakan sistem budidaya udang terbuka sebanyak 90% masukan N dan P adalah dalam wujud pakan, dan sebagian besar dari porsi tersebut hilang kedalam sistem dan hanya kurang dari seperenam yang terasimilasi didalam biomass udang (Funge-Smith & Briggs 1998). Udang hanya dapat mengasimilasi sekitar 23-31% N dan 10-13% P dari total input. Sumber utama input nutrien bagi udang adalah pakan, yang mengandung sekitar 76-92% N dan 70-91% P dari total input. Nutrien utama yang tenggelam di sedimen sebesar 14-53% N dan 39-67% P dari total input. Air yang dialirkan pada saat panen berisi 14-28% N dan 12-29% P dari total input. Studi menunjukkan, bahwa sistem kultur udang tertutup dapat memelihara kualitas air untuk pertumbuhan udang dan mengurangi kehilangan nutrien melalui pengeluaran air dari tambak (Thakur & Lin 2003).
Menurut Allen et al. (1984), pendekatan langsung untuk memodelkan konsumsi pakan adalah dengan mendeskripsikan jumlah pakan yang dikonsumsi sebagai fungsi dari bobot dan kondisi lingkungan. Suatu alternatif kemungkinan adalah dengan memodelkan pakan (dalam konteks energi yang diperlukan) sebagai jumlah dari energi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan energi yang diperlukan untuk metabolisme (yang diukur sebagai konsumsi oksigen dalam kondisi aktif). Model yang mengekspresikan ketergantungan laju konsumsi pakan terhadap bobot secara umum mengikuti persamaan: dF/dt = kF.Wσ; dengan dF/dt
= laju konsumsi pakan, serta kF dan σ merupakan konstanta yang dihitung.
Dari hasil penelitian pada 8 petak budidaya udang windu intensif dengan luas efektif masing-masing 4000 m2 dan berpadat tebar 34-35ekor PL-12/m2, pada hari ke-90 didapatkan derajat kelangsungan hidup sebesar 74.27 ± 6.38% dengan kisaran 64.58-84.31%; bobot rata-rata sebesar 15.29 ± 2.27 gram dengan kisaran 11.20-19.16 gram; FCR sebesar 1.45 ± 0.18 dengan kisaran 1.22-1.80 serta biomassa udang pada akhir pemeliharaan berkisar antara 1067-1860 kg dengan rata-rata 1579 ± 240 kg. Pakan yang dipakai selama pemeliharaan berupa pelet komersial yang mengandung 38-41% protein, 5% lemak, 11% kadar air, serta 11% kadar abu. Mortalitas udang yang tinggi akibat serangan penyakit terjadi pada umur 95-100 hari pemeliharaan (Budiardi 1998).
(32)
2.2.3 Pengelolaan Kualitas Air
Budidaya semi intensif dan intensif dapat dibedakan dari segi ekologinya. Siklus bloming Cyanophyta, Chlorophyta, dan Diatomae merupakan karakteristik ekologi tambak semi-intensif. Alga tersebut merupakan dasar dari jaring makanan di dalam tambak yang meliputi alga, zooplankton, dan udang. Alga berfungsi untuk menyerap karbondioksida dan amonium serta menghasilkan oksigen. Untuk itu diperlukan pengelolaan kepadatan alga yang terkait dengan jaring makanan serta pengaturan konsentrasi oksigen minimum untuk udang yang dicapai dengan keseimbangan pergantian air dan pemberian pakan hingga panen (Schuur 2003).
Ekologi tambak intensif ditandaiolehproduktivitas bakteri heterotrofik yang berkombinasi dengan proses autotrofik. Sisa pakan dan ekskresi udang dicerna bakteri sebagai bentuk dasar dari jaring makanan di tambak.Udang dan organisme didalam jaring makanan pada kepadatan tinggi memerlukan aerasi mekanik dalam rangka meningkatkan kecukupan oksigen untuk mengimbangi respirasi bakteri dan menjaga keseimbangan aerobik dalam sistem. Walaupun aplikasi aerasi mekanik bergantung pada kebutuhan respirasi udang, kapasitas aerasi yang diperlukan pada tambak intensif diperkirakan secara kasar sekitar 5-20 kW/ha (Schuur 2003) atau 1 kW untuk setiap 500 kg produksi udang (Boyd 1998).
Manipulasi lingkungan untuk mendapatkan produksi lebih besar memerlukan suatu pemahaman fisik dasar serta proses kimia dan biologi (Boyd 1982). Untuk memahami proses kimia, informasi nutrien terutama nitrogen dan fosfor sangat penting. Penetapan anggaran nutrien didalam kolam merupakan langkah dasar bagi studi kuantitatif dari efisiensi pemanfaatan pakan, kesuburan kolam, kualitas air serta proses didalam sedimen (Avnimelech & Lacher 1979).
Dalam budidaya udang tradisional, air kolam yang memburuk sering diganti dengan air dari luar untuk memelihara kualitas air yang ideal bagi pertumbuhan udang. Nutrien dalam air tambak dapat menyebabkan eutrofikasi perairan pantai yang berdampak pada lingkungan sekelilingnya (Hopkins et al. 1995).
Selama 90 hari udang windu (Penaeus monodon) dibudidaya secara intensif tanpa pergantian air (closed system) dengan padat tebar 25 dan 50 juvenil/m2 menghasilkan konsentrasi total amoniak-N and nitrit-N yang rendah dan dalam
(33)
kisaran yang aman untuk udang selama pemeliharaan. Jika sisa nitrogen (amoniak dan nitrit) yang diproduksi didalam sistem budidaya melebihi kapasitas asimilasi perairan, maka kualitas air akan menurun yang selanjutnya mendorong kearah terjadinya lingkungan yang beracun untuk udang (Thakur & Lin 2003).
Pascalarva (PL) dari hatceri komersil biasanya menggunakan media air bersalinitas di atas 20 ppt sehingga harus disesuaikan dengan salinitas rendah sebelum ditebar (Saoud & Davis 2003). Mcgraw et al. (2002) menunjukkan bahwa PL10 bisa disesuaikan dengan air laut buatan 4 ppt sedangkan PL15 dan PL20 bisa disesuaikan dengan salinitas 1 ppt dengan kelangsungan hidup yang tinggi setelah 48 jam diaklimasi. L. vannamei yang dipelihara di air laut telah menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik di salinitas rendah (2-10 ppt) daripada salinitas tinggi (>15 ppt) (Bray et al. 1994). Bagaimanapun, hukum komposisi air laut yang konstan tidak dapat diterapkan terhadap air sumur. Studi aklimatisasi menghasilkan, bahwa penggunaan air laut tidak bisa diekstrapolasi secara langsung untuk kehidupan udang pada perairan nonlaut (Saoud dan Davis 2003).
Permasalahan yang berkaitan dengan akumulasi sisa pakan dan feses dapat bersifat akut pada kolam statis dengan sedikit pergantian air (flushing). Terjadinya gelembung-gelembung gas metan atau bau busuk dari hidrogen sulfida merupakan indikator bahwa perubahan kimia terjadi secara anoksik sehingga dapat dilakukan tindakan remedial yang perlu (Goddard 1996).
Periode deplesi oksigen lebih umum terjadi di dalam kolamkolam budidaya dibandingkan dengan di tangki, kolam air deras atau karamba. Fluktuasi oksigen terlarut disebabkan oleh laju pergantian air yang rendah, fotosintesis, dan respirasi biomassa di dalam kolam atau kondisi ekstrem, misalnya blooming fitoplankton. Deplesi oksigen dapat diatasi dengan pergantian air, penggunaan aerator, atau pemberian oksigen cair murni (Boyd & Watten 1989 dan Colt & Orwicz 1991 dalam Goddard 1996). Penanganan dini atau antisipasi permasalahan merupakan elemen kritis dalam menyikapi kondisi yang berbahaya. Pemantauan konsentrasi oksigen terlarut yang dikombinasikan dengan observasi tingkah laku udang merupakan kegiatan yang penting untuk dilakukan dalam budidaya udang (Goddard 1996).
(34)
Penurunan alkalinitas dan pH dapat dicegah dengan penambahan kalsium karbonat, hydrated limes dan sodium bikarbonat. Peningkatan pelarutan CaCO3
oleh karbon dioksida (recarbonation) dapat meningkatkan tekanan untuk meningkatkan laju transfer massa ke bentuk terlarut. Alkalinitas akan bertambah melalui terbentuknya kalsium bikarbonat (Ca(HCO3)2) yang terlarut dalam air
sebagai akibat penambahan secara langsung CaCO3 padat dan karbon dioksida
yang dihasilkan dari respirasi organisme (Whangchai et al. 2004).
Ketersediaan karbon dioksida (CO2)merupakan faktor penting bagi aktivitas
fotosintesis. Pengapuran merupakan salah satu bentuk pengelolaan lingkungan tambak. Pengapuran dilakukan untuk menekan pelepasan ion H+ melalui reaksi antara H2CO3 dengan kapur (CaCO3) yang menghasilkan kalsium bikarbonat
(Ca(HCO3)2) yang larut dalam air dengan persamaan reaksi sebagai berikut
(Goldman & Horne 1983):
H2CO3 + CaCO3 → Ca2+ + 2 HCO3− ══ Ca(HCO3)2 → CaCO3↓ + H20 + CO2
Pada siang hari, kalsium bikarbonat berfungsi sebagai sumber CO2 bagi
fotosintesis sehingga pH tidak akan meningkat terlalu tinggi. Sistem bufer perairan tambak yang terbentuk selama 90 hari pemeliharaan telah mampu menekan fluktuasi pH harian. Aplikasi pengapuran selama pemeliharaan telah mampumenjaga kisaran pH perairan dalam batas toleransi udang (Budiardi 1998).
Fosfat merupakan salah satu makronutrien bagi alga di perairan. Dalam ekosistem perairan, fosfor berbentuk organik dan anorganik. Fosfor dalam senyawa anorganik adalah ortofosfat (PO43-), metafosfat (P3O93-) dan polifosfat
(P3O105-) sedangkan fosfat organik berada dalam tubuh organisme atau senyawa
organik. Senyawa fosfat mempunyai siklus terputus karena sifatnya yang reaktif, yaitu mudah terikat sedimen tetapi sulit untuk melarut kembali ke perairan. Ketepatan konsentrasi ortofosfat dalam air akan menstabilkan pertumbuhan fitoplankton (Goldman dan Horne,1983).Beberapa faktor yang bertanggungjawab terhadap siklus fosfat meliputi pelarutan; asimilasi makrofita, alga planktonik dan bentik, bakteri dan fungi; serta adsorpsi deposit tanah dasar (Yamada, 1983).
Ortofosfat (PO43-) merupakan fraksi fosfat yang dapat langsung diserap oleh
fitoplankton dalam fotosintesis.Pada umumnya fosfat ditemukan diperairan alami dalam konsentrasi yang kecil. Konsentrasi fosfat sebesar 1 mg/l sudah cukup
(35)
optimal bagi pertumbuhan fitoplankton (Goldman & Horne, 1983). Sehubungan dengan hal tersebut, Wetzel (1975) mengelompokkan perairan berdasarkan kandungan ortofosfatnya, yaitu perairan dengan kandungan ortofosfat 0,003-0,01 mg/l termasuk perairan oligotrofik, 0,011-0,03 mg/l termasuk perairan mesotrofik, serta 0,031-0,1 mg/l tergolong perairan eutrofik.
Pengendalian pertumbuhan fitoplankton merupakan salah satu faktor pengelolaan kualitas air yang penting. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan fitoplankton yang sehat akan menstabilkan ekosistem tambak, yaitu melalui mekanisme: 1) menekan fluktuasi kualitas air, 2) menambah oksigen terlarut, 3)
mengurangi konsentrasi senyawa racun (CO2, NH3, NO2-, dan H2S),
4) meningkatkan turbiditas air sehingga dapat menghambat pertumbuhan alga berfilamen, mengurangi kanibalisme pada udang, dan menstabilkan suhu air, 5) kompetisi terhadap ketersediaan nutrien dengan mikroba dan bakteri patogen, serta 6) meningkatkan pakan alami bagi udang (Chien 1992).
Pengetahuan tentang jenis-jenis fitoplankton sangat penting di dalam pengelolaan kualitas air. Kelompok fitoplankton yang sering mendominasi perairan darat atau kolam budidaya adalah kelompok Chlorophyta (alga hijau), Chrysophyta (diatom dan alga emas-coklat), Cyanophyta (alga biru-hijau), serta Pyrrophyta (dinoflagellata) (Goldman & Horne 1983; Lin 1983). Perubahan atau pergeseran dominasi antar keempat kelompok fitoplankton tersebut mengikuti variasi perbandingan senyawa N dan P (N/P ratio) (Lin 1983). Kelompok fitoplankton Cyanophyta dan Pyrrophyta mempunyai persamaan, yaitu dapat berkembang cepat dalam kondisi konsentrasi nutrien yang rendah serta kemampuan mengapung atau bergerak ke permukaan atau lapisan air bagian atas. Kelompok Cyanophyta bergerak ke permukaan air dengan membentuk gelembung gas di dalam selnya, sedangkan Pyrrophyta dapat bergerak aktif ke permukaan pada siang hari dan ke bagian bawah pada malam hari (fototaksis positif) (Goldman & Horne 1983).
(36)
III. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Agustus 2003. Waktu penelitian, yaitu selama 100 hari pemeliharaan udang, berada pada musim kemarau. Selama waktu tersebut tidak terjadi hujan kecuali beberapa kali menjelang akhir pemeliharaan, yaitu mulai hari ke-80.
Penelitian dilakukan di pertambakan PT Bimasena Sagara, Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Lokasi ini berada di wilayah pantai selatan Pulau Jawa dengan luas lahan sekitar 25 ha. Sekitar 50% dari lahan tersebut digunakan untuk petak-petak tambak sedangkan sisanya digunakan untuk fasilitas penunjang. Jumlah seluruh tambak sebanyak 50 petak dengan luas masing-masing petak sekitar 2500-3000 m2 (Lampiran 1). Semua petak tambak berbentuk persegi dan dibangun dengan sistem Biocrete® (Lampiran 2). Terdapat dua petak pendederan
(nursery pond) berbentuk persegi panjang, namun tidak digunakan selama
penelitian berlangsung.
Jaringan irigasi terdiri atas saluran pemasok utama air laut dan air tawar, serta saluran pembuang. Saluran pemasok air berupa saluran terbuka terbuat dari beton. Saluran ini berpenampang trapesium dengan lebar dasar 80 cm, lebar atas 100 cm dan kedalaman 80 cm dengan posisi terletak di bagian samping atas petakan tambak. Saluran pembuang berupa saluran terbuka dari tanah dengan posisi terletak di bagian samping bawah petakan tambak (Lampiran 2).
Sumber air asin berasal dari Samudera Indonesia. Air tersebut ditarik menggunakan pompa air laut dari dua titik pompa dan dialirkan ke petak-petak tambak melalui saluran air. Sumber air tawar berasal dari sungai yang berair pada musim penghujan dan kering pada musim kemarau. Dengan demikian, pasokan air media pemeliharaan selama penelitian hanya didapat dari air laut.
Ruang lingkup penelitian meliputi penelitian utama dan penelitian penunjang. Penelitian utama digunakan untuk mengobservasi proses budidaya udang vaname intensif selama 100 hari pemeliharaan. Penelitian penunjang digunakan untuk melengkapi data penelitian utama.
(37)
3.2 Metode Penelitian 3.2.1 Metode Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode ex post-facto untuk mengobservasi secara mendalam proses budidaya udang vaname dengan sistem intensif selama satu masa pemeliharaan. Selama penelitian tersebut dikumpulkan data yang meliputi data kualitas air dan data produksi.
3.2.2 Desain Penelitian
Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain kausal. Satuan percobaan adalah unit-unit petak tambak sebanyak 6 petak tambak yang diberi perlakuan secara homogen. Perlakuan tersebut meliputi penggunaan saprodi (benih udang, pakan, pupuk) dan air.
Benih udang yang digunakan adalah udang stadium PL12 dengan padat tebar 85±15 ekor/m2. Selama pemeliharaan digunakan pakan buatan komersial dengan protein sekitar 40-42%. Pakan diberikan secara full feed mulai dari awal penebaran sampai umur 50 hari pemeliharaan (H50) (Lampiran 3). Setelah H50, pakan diberikan secara dinamis mengikuti estimasi perkembangan biomassa udang hasil pengambilan contoh. Jumlah pakan yang diberikan dihitung dari persentase biomassa (Lampiran 4). Pupuk digunakan pada waktu persiapan media pemeliharaan sebelum penebaran benih udang. Jenis dan dosis pupuk tersebut adalah urea 9 mg/L (sekitar 6-8 kg/petak) dan TSP 5 mg/L (sekitar 3-5 kg/petak).
Pengelolaan air selama pemeliharaan dilakukan dengan pergantian air, penyiponan dasar tambak, serta pemberian aerasi. Pergantian air dilakukan secara rutin yang jumlahnya semakin meningkat dengan meningkatnya masa pemeliharaan. Penyiponan dilakukan jika kotoran sudah mulai terakumulasi di dasar tambak, pada umumnya setelah H50. Pemberian aerasi dilakukan dengan memakai kincir, yaitu 1 kincir pada H20-40, 2 kincir pada H41-60, serta 3 kincir H61-akhir pemeliharaan setiap petaknya.
Penelitian dilakukan selama 100 hari pemeliharaan udang vaname. Pengambilan data, baik data kualitas air maupun data produksi dilakukan setiap 10 hari sekali dari awal penebaran sampai panen sehingga terdapat 10 titik waktu yang membentuk data seri waktu (time series).
(38)
3.2.3 Variabel
Variabel yang diukur selama penelitian meliputi aspek kualitas air dan biologi. Jenis variabel kualitas air yang diukur meliputi suhu, salinitas, oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO), pH, alkalinitas, bahan organik total (total organic matter, TOM), amoniak (NH3), nitrit (NO2–), nitrat (NO3–), ortofosfat (PO43–) dan
hidrogen sulfida (H2S). Dari beberapa data tersebut kemudian dihitung untuk
menentukan variabel kerja yang meliputi defleksi DO, defisit DO, DO minimum, dan rasio N/P.
DO minimum merupakan DO terendah yang terukur dalam rentang waktu 24 jam pengamatan, sedangkan DO maksimum merupakan DO tertinggi yang terukur dalam rentang waktu 24 jam pengamatan. Defleksi DO merupakan selisih antara DO maksimum dan DO minimum dalam rentang waktu kedua kondisi tersebut terjadi atau dengan rumus:
Defleksi DO (mgO2.L-1.jam-1) = (DOmaksimum – DOminimum)/t
Jenis variabel biologi yang diukur meliputi kelimpahan dan jenis fitoplankton, kelimpahan klorofil, serta jumlah dan bobot udang. Dari data tersebut kemudian dihitung untuk menentukan variabel kerja yang meliputi rasio kelompok fitoplankton positif (Chlorophyceae dan Bacillariophyceae) terhadap kelompok fitoplankton negatif (Dynophyceae dan Cyanophyceae), produktivitas dan respirasi fitoplankton, respirasi bakteri, laju mortalitas, sintasan, laju pertumbuhan individu udang, laju pertumbuhan biomassa udang, rasio konversi pakan (feed conversion ratio, FCR), serta input-output increment ratio (IOIR).
Rasio relatif fitoplankton (RF) antara kelompok fitoplankton positif (FP; Chlorophyceae dan Bacillariophyceae) dan kelompok fitoplankton negatif (FN; Dynophyceae dan Cyanophyceae) dirumuskan sebagai: RF = (FP–FN)/FP. Jika RF>-5, maka dominasi mengarah ke FP, namun jika RF<-5, maka dominasi mengarah ke FN.
Laju mortalitas (MR) merupakan nilai peluruhan jumlah udang dalam satuan waktu tertentu. Derajat kelangsungan hidup merupakan perbandingan antara jumlah udang pada waktu tertentu terhadap jumlah udang pada saat tebar.
MR = {(Ln Nt – Ln N0)/t} X 100% SR = (Nt /No) x 100%
(39)
keterangan: MR = laju mortalitas SR = sintasan (%)
No = jumlah udang pada hari ke-0 (ekor)
Nt = jumlah udang pada hari ke-t (ekor)
Laju pertumbuhan bobot individu udang (SGRi) merupakan penambahan bobot individu rata-rata selama selang waktu tertentu. Laju pertumbuhan biomassa udang (SGRb) merupakan penambahan biomassa selama selang waktu tertentu. Kedua laju pertumbuhan tersebut diukur dengan laju pertumbuhan spesifik (spesific growth rate, SGR) (Ricker 1979; Gulland 1983; Busacker et al. 1990) dengan rumus:
SGRi = {(ln wt−ln wo)/t} x100%
SGRb = {(ln Bt−ln Bo)/t} x100%
keterangan: SGRi= laju pertumbuhan bobot individu udang SGRb = laju pertumbuhan biomassa udang
wo = bobot individu udang pada hari ke-0 (gram/ekor)
wt = bobot individu udang pada hari ke-t (gram/ekor)
Bo = biomassa udang pada hari ke-0 (kg)
Bt = biomassa udang pada hari ke-t (kg)
t = selang waktu pemeliharaan (hari)
Jumlah udang pada saat panen merupakan hasil pendugaan yang didapat dari pembagian biomassa (bobot total) udang pada saat panen terhadap bobot rata-rata udang dengan rumus:
Nt = Bt/wt
keterangan: Nt = jumlah udang pada hari ke-t (ekor)
Bt = biomassa udang pada hari ke-t (gram)
wt = bobot individu udang pada hari ke-t (gram/ekor)
Produksi merupakan biomassa udang yang diperoleh pada saat panen (Bt).
Variabel ini digunakan sebagai kalibrasi bagi jumlah (Nt) dan derajat
kelangsungan hidup (SR) udang pada akhir penelitian.
Rasio konversi pakan (FCR) merupakan perbandingan antara jumlah pakan yang diberikan terhadap pertambahan biomassa udang pada periode waktu tertentu (NRC 1977) dengan rumus:
(40)
keterangan: FCR = rasio konversi pakan
F = jumlah pakan yang diberikan selama waktu tertentu (kg)
∆B = penambahan biomassa udang selama waktu tertentu (kg) Jika pembandingan diarahkan untuk mengetahui efisiensi pakan secara parsial pada periode waktu tertentu, maka dipakai variabel input-output increment ratio (IOIR) untuk masing-masing biomassa udang hidup (BG), biomassa udang mati (BE) dan biomassa udang total (BT), dengan rumus:
IOIR-BG = ∆BG/F IOIR-BE = ∆BE/F
IOIR-BT = (∆BG + ∆BE)/F keterangan: IOIR = rasio perubahan input-output
∆BG= penambahan biomassa udang hidup selama waktu tertentu (kg)
∆BE = penambahan biomassa udang mati selama waktu tertentu (kg) F = jumlah pakan yang diberikan selama waktu tertentu (kg)
3.2.4 Bahan dan Metode Pengukuran 3.2.4.1 Bahan
Air yang digunakan untuk mengairi petak tambak adalah air laut dari Samudera Indonesia. Benih udang yang ditebar berasal dari hatceri PT Biru Laut Khatulistiwa (BLK), Lampung. Pakan buatan komersial yang digunakan berasal dari perusahaan pemasok pakan di Jakarta. Pupuk yang digunakan berasal dari pasar di Kecamatan Surade, Pelabuan Ratu.
3.2.4.2 Metode Pengukuran Variabel
Pengukuran variabel kualitas air dilakukan dalam dua kelompok, yaitu variabel yang diukur secara harian dan 10 hari sekali. Variabel kualitas air yang diukur secara harian meliputi suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut, kedalaman dan kecerahan. Variabel ini berubah dinamis sehingga dilakukan pengukuran secara harian. Variabel yang diukur 10 hari sekali meliputi suhu, salinitas, pH, oksigen terlarut (dissolved oxygen, DO), kedalaman dan kecerahan, bahan organik total (total organic matter, TOM), alkalinitas, amonium/amoniak (NH4+/NH3), nitrit
(41)
klorofil-a. Contoh air diambil dari lapisan air bagian atas dan bagian dasar setiap petak tambak. Jenis dan metode pengukuran variabel tertera pada Tabel 2 dan dirinci pada Lampiran 5.
Tabel 2 Jenis variabel yang diukur selama penelitian dan metode pengukurannya
Variabel Satuan Metode/instrumentasi
Variabel kualitas air
Suhu air °C Termometer
Salinitas ppt Salino-refraktometer
pH unit Kertas pH, pH-meter
Oksigen terlarut/BOD mg/L Titrimetri (Winkler) Bahan organik total (TOM) mg/L Titrimetri (KMnO4)
Alkanilitas mg/L Titrimetri
NH4+ mg/L Spektrofotometer/phenate
NO2- mg/L Spektrofotometer/sulfanilamide
NO3- mg/L Spektrofotometer/brucine
PO4-3 mg/L Spektrofotometer/stanaous chlorida
H2S mg/L Titrimetri (iodometri)
Kecerahan cm Keping Secchi
Kedalaman cm Mistar
Variabel biologi
Bobot udang gram Jala, timbangan
Jumlah udang ekor Jala, alat penghitung (counter)
Jumlah pakan kg Timbangan
Fitoplankton ind./L Plankton net, mikroskop
Klorofil-a mg/m3 Spektrofotometer
Pengukuran variabel biologi dilakukan setiap 10 hari sekali. Sebagai data utama, variabel biologi yang diukur meliputi jumlah dan bobot udang, kelimpahan dan jenis fitoplankton, serta kelimpahan klorofil. Variabel sebagai data penunjang yang diukur meliputi produktivitas (produksi oksigen) dan respirasi fitoplankton, respirasi udang, serta respirasi bakteri.
(42)
1) Jumlah dan bobot udang
Pengambilan contoh udang dilakukan setiap 10 hari yang dimulai dari umur 40 hari pemeliharaan (H40). Pada H40, udang sudah mulai dapat dijala untuk pengambilan contoh namun hanya digunakan untuk penghitungan jumlah udang saja. Mulai H50 sampai panen, pengambilan contoh udang tersebut digunakan untuk mendapatkan data jumlah dan bobot rata-rata udang. Pengambilan contoh dilakukan pada 5 titik tiap petak tambak, yaitu masing-masing 3 titik di bagian pinggir dan 2 titik di bagian tengah.
Udang yang tertangkap dalam jala pada saat pengambilan contoh dihitung untuk menentukan jumlah udang dan ditimbang untuk menentukan bobot rata-rata. Jumlah udang yang hidup dalam satu petak tambak diduga dengan rumus:
Nt = nux Lt/Lj
keterangan: Nt = jumlah udang dalam satu petak tambak pada waktu ke-t (ekor)
nu = jumlah udang yang tertangkap dalam jala pada tiap
pengambilan contoh pada waktu ke-t (ekor) Lt = luas tambak (m2)
Lj = luas bukaan jala efektif/terkoreksi (m2)
Bobot rata-rata udang dihitung berdasarkan rumus: wt = Bt /nu
keterangan: wt = bobot rata-rata udang pada waktu ke-t (gram/ekor)
Bt = biomassa udang yang tertangkap dalam jala pada tiap
pengambilan contoh pada waktu ke-t (gram)
nu = jumlah total udang yang tertangkap dalam jala pada tiap
pengambilan contoh pada waktu ke-t (ekor) 2) Jenis dan kelimpahan fitoplankton
Pengamatan fitoplankton dilakukan untuk menentukan jenis dan jumlah masing-masing fitoplankton. Contoh air untuk penghitungan fitoplankton diambil sebanyak 50 liter dan disaring menggunakan plankton net dengan ukuran mata jaring 20 µm. Contoh plankton tersaring dipekatkan menjadi 30 mL dan diawetkan dengan lugol. Penghitungan jumlah fitoplankton menggunakan mikroskop dengan memakai gelas penutup pada gelas preparat berukuran 20 mm x 20 mm. Fitoplankton hasil saringan diidentifikasi jenisnya dan dikelompokkan menurut genus dan kelasnya. Kelimpahan fitoplankton dari setiap contoh dihitung dengan rumus:
(43)
N = (n x Vs)/(Vpx Vt)
Keterangan: N = kelimpahan fitoplankton (individu per liter) n = jumlah plankton dalam contoh (individu) Vp = volume air dalam preparat (mL)
Vs = volume air yang tersaring (mL)
Vt = volume air yang disaring (L)
3) Klorofil fitoplankton
Pengukuran klorofil fitoplankton dilakukan dengan metode spektrofotometri melalui 2 tahap, yaitu ekstraksi dan pengukuran. Air contoh dipekatkan dengan menggunakan botol gelas berpompa vakum memakai kertas saring yang telah diberi beberapa tetes MgCO3. Contoh fitoplankton yang melekat
pada kertas saring diberi larutan aseton sebanyak 2-3 mL, digerus dalam tissue
grinder pada kecepatan 500 rpm selama 1 menit, kemudian dipindahkan ke
tabung centrifuge dan disimpan dalam tempat gelap bersuhu 40C selama 2 jam. Setelah itu dilakukan centrifuge untuk memperoleh ekstrak larutan yang jernih yang berupa larutan pigmen. Larutan tersebut dituangkan dalam cuvet berukuran 1 cm, kemudian dilakukan pengukuran pada spektrofotometer.
4) Produktivitas dan respirasi fitoplankton
Pengambilan contoh air dilakukan setiap 10 hari mulai dari penebaran sampai akhir penelitian untuk pengukuran produksi dan konsumsi oksigen bagi fitoplankton. Pengukuran produksi dan konsumsi oksigen bagi fitoplankton menggunakan 2 botol BOD terang dan 1 botol BOD gelap. Satu botol BOD terang dan gelap diinkubasi dalam air tambak di kedalaman 50 cm selama 8 jam (jam 08.00-16.00). Rumus perhitungan yang digunakan dalam penentuan produktivitas dan respirasi fitoplankton adalah:
DOR = DOB0 – DOIG
DOP = DOIT – DOB0
DOT = DOR + DOP
keterangan: DOB0 = konsentrasi oksigen pada botol BOD terang pada jam ke-0
DOIT = konsentrasi oksigen pada botol BOD terang setelah inkubasi
DOIG = konsentrasi oksigen pada botol BOD gelap setelah inkubasi
DOR = jumlah respirasi dalam contoh air
DOP = produksi bersih oksigen
DOT = produksi oksigen dari fotosintesis.
(44)
Respirasi udang diukur melalui penelitian tingkat konsumsi oksigen (TKO) udang. Percobaan ini dirancang secara eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat kali ulangan dan enam perlakuan yaitu udang vaname ukuran 5, 8, 10, 12, 15 gram, serta dilakukan pada saat sebelum dan sesudah udang makan.
Air laut yang digunakan sebagai media penelitian TKO disaring dengan plankton net berukuran mata jaring 48 μm dan dimasukkan kedalam wadah penampungan. Air tersebut diaerasi kuat selama 8 jam untuk meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut. Setelah diaerasi, dilakukan pengukuran salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut dan BOD5. Air kemudian dimasukkan perlahan-lahan
kedalam wadah percobaan berupa botol plastik berukuran 20 liter yang telah disiapkan sebelumnya.
Udang dengan kelompok bobot sekitar 5, 8, 10, 12, dan 15 gram diseleksi dan ditimbang satu persatu menggunakan timbangan dengan ketelitian 0,1 gram lalu dimasukkan ke dalam wadah. Seleksi terhadap udang sebagai hewan uji menggunakan kriteria kesehatan secara visual yang dilihat dari kondisi tubuh serta pergerakannya aktif. Setelah udang uji dimasukkan, botol ditutup dan dilakukan pengukuran parameter kualitas air setiap 2 jam sekali selama 6 jam, yang meliputi salinitas, suhu, pH, oksigen terlarut dan BOD5. Salinitas, suhu dan pH selama
percobaan berlangsung tidak menunjukkan perubahan yang berarti dan BOD5
sangat kecil. Dengan demikian, hanya variabel DO yang digunakan dalam pengolahan data bagi TKO udang ini.
Nilai tingkat konsumsi oksigen (TKO) dihitung berdasarkan rumus Pavlovskii (1964), yaitu:
TKO = [(DO0 – DOt ) x V]/(B x ∆t)
keterangan: DO0 = konsentrasi oksigen terlarut pada waktu ke-0 (mg/l)
DOt = konsentrasi oksigen terlarut pada waktu ke-t (mg/l)
V = volume air (l) B = biomassa udang (g) ∆t = selisih waktu (jam)
(45)
Model tingkat konsumsi oksigen dihitung berdasarkan rumus peluruhan oksigen, yaitu:
dO/dt = kOW
γ
keterangan: dO/dt = laju konsumsi oksigen kO dan γ = konstanta yang dihitung
W = bobot udang
3.3 Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti semua kegiatan budidaya udang vaname yang didasarkan pada prosedur standar operasional (standard operational procedure, SOP) sistem pengelolaan budidaya udang pada PT. Bimasena Sagara. Secara garis besar, prosedur tersebut meliputi persiapan tambak, penebaran benih, pengelolaan kualitas air, pengelolaan pakan, pengambilan contoh udang serta pemanenan.
1) Persiapan tambak
Kegiatan ini dilakukan untuk mempersiapkan fisik tambak, pengisian air dan penumbuhan plankton. Persiapan fisik tambak dimulai dengan pengeringan selama kurang lebih 7 hari. Selama pengeringan dilakukan kegiatan pembersihan dan perbaikan pematang, dasar dan dinding tambak; pembuangan pasir yang kotor dan penggantian dengan pasir baru untuk substrat dasar tambak; serta perbaikan dan pemasangan jembatan, saringan air, anco, mistar pengukur ketinggian air, dan kincir untuk aerasi.
Setelah kegiatan pengeringan selesai, tambak diisi air. Untuk mencegah ikan liar ikut masuk ke tambak, maka pada ujung saluran pemasukan air dipasang saringan halus. Apabila ketinggian air sudah mencapai 30 cm, air dipupuk menggunakan urea 9 ppm dan TSP 5 ppm. Air ditambahkan ke dalam tambak seiring dengan pertumbuhan plankton. Air tambak yang berwarna hijau kecoklatan menandakan adanya pertumbuhan plankton, sedangkan gradasi warnanya dapat dijadikan indikator relatif kelimpahan plankton.
(46)
2) Penebaran benih
Tambak yang sudah ditumbuhi plankton sudah siap untuk ditebari benih udang (benur). Penebaran benur berupa udang vaname PL15 dilakukan pada pagi hari. Sebelum ditebar, benur diaklimatisasikan terlebih dahulu terhadap air tambak, terutama suhu dan salinitas. Benur ditebar secara perlahan-lahan ke tambak setelah suhu dan salinitas air pada kantong plastik benur homogen dengan air tambak. Kegiatan aklimatisasi diperlukan untuk mengurangi peluang terjadinya kematian benur akibat adanya perbedaan kualitas air media yang digunakan selama transportasi dengan air tambak sebagai media pemeliharaan. 3) Pengelolaan kualitas air
Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan pergantian air, penyiponan dasar tambak, serta pemberian aerasi. Pada umumnya, pergantian dan/atau penambahan air dilakukan setiap 2 hari, yaitu sekitar 1-5% mulai dari penebaran sampai bulan kedua pemeliharaan dan 5-7% mulai bulan ketiga sampai bulan keempat. Air buangan dikeluarkan melalui pipa pembuangan yang berada di bagian tengah petak tambak ke saluran pembuangan. Penyiponan bergantung pada kondisi bahan organik di dasar tambak, umumnya dilakukan setelah udang berumur 50 hari.
Aerasi digunakan untuk meningkatkan pasokan oksigen dalam air tambak dengan cara pemasangan kincir (paddle wheel). Kincir dipasang di bagian sudut perairan tambak dengan posisi sedemikian rupa sehingga arus air yang ditimbulkan berputar satu arah mengelilingi tambak. Jumlah kincir disesuaikan dengan kondisi air tambak dan pertumbuhan biomassa udang, yaitu sebanyak 1-4 buah. Pada masa pemeliharaan 20-40 hari dipasang satu kincir, 40-60 hari dipasang dua kincir dan setelah umur 60 hari digunakan tiga kincir. Kincir keempat umumnya digunakan dalam kondisi khusus, misalnya konsentrasi oksigen di bawah 2 ppm. Operasional kincir sekitar 15 jam per hari, yaitu mulai dari jam 17.00 sampai dengan jam 08.00.
4) Pemberian pakan
Pakan yang diberikan merupakan pakan buatan pabrik (pakan komersial) yang berbentuk serbuk/tepung (powder), remah (crumble) dan pelet (pellet) sesuai dengan ukuran udang (Tabel 3).
(47)
Mulai dari awal penebaran sampai berumur 50 hari pemeliharaan, udang diberi pakan secara penuh (full feed system), yaitu pakan diberikan dalam jumlah yang meningkat secara konstan sebesar 100-700 g/hari per 100.000 ekor benur. Acuan jumlah pakan yang ditetapkan pada hari pertama pemeliharaan yaitu sebanyak 1.5 kg pakan per 100 000 ekor benur (Lampiran 2). Setelah udang berumur 51 hari pemeliharaan, jumlah pakan disesuaikan dengan biomassa udang. Biomassa dihitung dari bobot rata-rata dan jumlah populasi udang hasil pengambilan contoh yang dilakukan setiap 10 hari.
Tabel 3 Pakan dan pemberian pakan udang selama pemeliharaan
Nilai variabel menurut nomor pakan Variabel
581 582 583 583 sp
Ukuran udang (gram) <0.1 0.1-1 1-3 >3
Jumlah (% biomassa/hari) 100 50-10.5 10.5-6.5 6.5-4.9
Frekuensi (x/hari) 2 3 4 5
Komposisi pakan:
- Protein (%) 42 41 40-41 40-41
- Moisture (%) 11 11 11 11
- Lemak (%) 6 5 5 5
- Serat kasar (%) 3 3 3 3
Bahan penyusun tepung ikan, tepung udang, tepung cumi-cumi, minyak ikan, wheat flavour, tepung kedelai, tepung dedak, kolesterol, fosfolipid, vitamin, mineral
Sumber: Label pakan
Pakan diberikan dengan cara menebar pakan secara merata di permukaan air tambak. Pakan yang berupa serbuk diberi air terlebih dahulusebelum diberikan agar tidak tertiup angin dan tersebar keluar petak tambak. Sebagian pakan ditebar di anco yang digunakan sebagai sampel untuk menentukan respon udang terhadap pakan yang diberikan. Waktu pemberian pakan dapat dilihat pada Tabel 4.
(1)
A 4 5,84 1,46 0,46 Antar petak 5,56 5 1,113 1,742 0,176 2,773 B 4 6,23 1,56 0,63 Dalam petak 11,50 18 0,639
C 4 5,25 1,31 0,32 Total 17,06 23
D 4 3,70 0,93 0,26
E 4 2,23 0,56 0,30
F 4 3,11 0,78 0,09
Petak n Jumlah Rataan Ragam SK JK db KT F-hit P F-tab
A 4 62,49 15,62 78,36 Antar petak 5,8 5,0 1,165 0,019 1,000 2,773 B 4 60,97 15,24 79,45 Dalam petak 1083,3 18,0 60,185
C 4 60,05 15,01 49,70 Total 1089,2 23,0 D 4 57,59 14,40 37,74
E 4 56,63 14,16 57,36 F 4 59,23 14,81 58,50
Petak n Jumlah Rataan Ragam SK JK db KT F-hit P F-tab
A 4 14,16 3,54 8,01 Antar petak 11,61 5 2,322 0,175 0,968 2,773 B 4 14,16 3,54 6,74 Dalam petak 238,40 18 13,245
C 4 17,83 4,46 13,79 Total 250,01 23
D 4 17,62 4,40 19,10 E 4 9,48 2,37 21,34 F 4 14,11 3,53 10,49
Petak n Jumlah Rataan Ragam SK JK db KT F-hit P F-tab
A 4 5,58 1,39 0,48 Antar petak 7,294 5 1,459 5,057 0,005 2,773 B 4 6,20 1,55 0,62 Dalam petak 5,193 18 0,288
C 4 5,21 1,30 0,33 Total 12,487 23
D 4 1,25 0,31 0,04
E 4 1,02 0,26 0,15
F 4 1,65 0,41 0,11
Petak n Jumlah Rataan Ragam SK JK db KT F-hit P F-tab
A 4 4519 1130 1940636 Antar petak 269433 5 53886,6 0,0367 0,99914 2,77285 B 4 4017 1004 1475996 Dalam petak 2,6E+ 07 18 1468227
C 4 3318 830 1185283 Total 2,7E+ 07 23 D 4 3462 866 1288116
E 4 3732 933 1252599 F 4 4252 1063 1666734
Petak n Jumlah Rataan Ragam SK JK db KT F-hit P F-tab
A 4 16757,6 4189 1766685 Antar petak 3504776 5 700955 0,47672 0,78887 2,77285 SGRb-T1
SGRb-T2
SGRb-T3
B-T1
B-T2
(2)
E 4 13594,5 3399 662634,9 F 4 18111,7 4528 1553300
Petak n Jumlah Rataan Ragam SK JK db KT F-hit P F-tab
A 4 28495 7124 986097 Antar petak 3,7E+ 07 5 7319258 15,0847 6,8E-06 2,77285 B 4 26674 6668 1016431 Dalam petak 8733778 18 485210
C 4 24528 6132 653691 Total 4,5E+ 07 23 D 4 21977 5494 61701
E 4 13071 3268 22768 F 4 23893 5973 170572 B-T3
(3)
100
Lampiran 10 Kurva hubungan biomassa dan jumlah pakan pada kelompok petak
y = 0.7931x + 787.59 R2 = 0.9357
y = 2.0901x - 487.11 R2 = 0.9469
y = 0.7598x + 1342.1 R2 = 0.9378
y = 0.5033x + 2872.4 R2 = 0.8899
0 2,000 4,000 6,000 8,000 10,000
0 2000 4000 6000 8000 10000 12000
Jum lah pakan (kg)
Bi
o
m
assa Ud
an
g
(
k
g
)
KP1 KP1-T1 KP1-T2 KP1-T3
y = 1580.6Ln(x) - 8499.3 R2 = 0.9273
y = 1.6911x - 192.19 R2 = 0.798
y = 0.2434x + 3894.7 R2 = 0.6335 y = 0.5792x + 2211.7
R2 = 0.7853
0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000
0 2000 4000 6000 8000 10000
Jum lah Pakan (kg)
B
io
m
assa U
d
an
g
(
kg
)
KP2 KP2-T1 KP2-T2 KP2-T3
y = 942.23Ln(x) - 4753.4 R2 = 0.8449
y = 936.49Ln(x) - 4847.9 R2 = 0.8625 y = 747.69Ln(x) - 2716.7
R2 = 0.2657
y = 1096.8Ln(x) - 6436.1 R2 = 0.7631
0 1,000 2,000 3,000 4,000
0 2000 4000 6000 8000
Jum lah Pakan (k g)
B
io
m
assa U
d
an
g
(
k
g
)
KP3 KP3-T1 KP3-T2 KP3-T3
KP1
KP2
(4)
Lampiran 11 Produksi oksigen dan respirasi fitoplankton
Fitoplankton dalam fotosintesis menghasilkan oksigen yang jumlahnya dipengaruhi oleh kandungan klorofil fitoplankton serta ketersediaan nutrien dan cahaya. Kandungan klorofil bergantung pada jenis dan jumlah fitoplankton yang umumnya meningkat dengan masa pemeliharaan. Produksi oksigen bersih didapat dari selisih antara total produksi oksigen dengan oksigen yang digunakan untuk respirasi.
Gambar A Kurva hubungan konsentrasi klorofil dan DO produksi pada petak tambak
Kandungan klorofil semakin meningkat dengan meningkatnya jumlah fitoplankton dan waktu. Namun demikian, kondisi tersebut tidak diikuti dengan peningkatan produksi bersih oksigen seperti terlihat pada Gambar A. Kurva pada petak A, B, C dan F berupa regresi eksponensial dengan pertambahan produksi bersih oksigen (y) yang semakin menurun dengan meningkatnya konsentrasi klorofil (x). Sedangkan kurva produksi bersih oksigen pada petak D dan E berupa regresi kuadratik.
Dari analisis fitoplankton disimpulkan, bahwa konsentrasi klorofil dalam air meningkat dengan meningkatnya jumlah fitoplankton, namun tidak selalu diikuti dengan peningkatan produksi oksigen. Produksi oksigen efisien di petak A, B, C dan F, sedangkan pada petak D dan E tidak efisien.
yA = 68.179x0.3294
R2 = 0.9386 yB = 86.987x
0.3729 R2 = 0.8313 yC = 93.359x0.3897
R2 = 0.9587
y = 116.73x0.5078 R2 = 0.9724 y = -7387x2 + 782.11x + 1.5049
R2 = 0.8392
y = -7392.4x2 + 726.75x + 4.2518 R2 = 0.9495
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00
0.000 0.010 0.020 0.030 0.040 0.050 0.060 0.070 0.080 Konsentrasi Klorofil (Mg/L)
D
O
P
ro
duk
s
i (
m
g/
L)
A B C D
E F Pow er (A) Pow er (B)
(5)
102
Lampiran 11 (Lanjutan)
Klorofil meningkat dengan meningkatnya jumlah fitoplankton (Gambar B) dan masa pemeliharaan (Gambar C). Dari analisis korelasi didapatkan hubungan yang erat antara kecerahan dan kandungan klorofil di semua petak tambak. Masing-masing korelasi tersebut pada petak A, B,C, D, E dan F bernilai rA = – 0.6973; rB = –0.6429; rC = –0.7111; rD = –0.8117; rE = –0.7151 dan rF = – 0.6829 (P < 0.05). Hal ini berarti bahwa peningkatan kandungan klorofil yang sejalan dengan peningkatan jumlah fitoplankton akan diikuti oleh penurunan kecerahan air sehingga cahaya untuk fotosintesis fitoplankton menjadi semakin terbatas. Dengan demikian, pada kondisi ini cahaya matahari telah bekerja sebagai faktor pembatas, terutama bagi fitoplankton di lapisan air bagian bawah. Adanya faktor yang membatasi pada produksi bersih oksigen ini diperkuat dengan kenyataan bahwa peningkatan produksi bersih oksigen juga menurun dengan meningkatnya kandungan klorofil.
Gambar B Kurva hubungan jumlah fitoplankton dan klorofil pada petak tambak Pada Gambar B diperlihatkan hubungan antara jumlah fitoplankton (x, individu/L) dan konsentrasi klorofil (mg/L) di petak A, B, C, D, E dan F. Kurva pada gambar tersebut menyatakan, bahwa konsentrasi klorofil meningkat secara linier dengan meningkatnya jumlah fitoplankton. Pada Gambar C ditunjukkan, konsentrasi klorofil di petak A, B, C, D, E dan F semakin meningkat dengan
yA = 2E-07x - 0.0007 R2 = 0.9495 yB = 2E-07x - 0.0001
R2 = 0.8935
yC = 2E-07x - 0.0009 R2 = 0.8146
yD = 2E-07x - 0.0043 R2 = 0.9048 yE = 2E-07x - 0.0009
R2 = 0.9692 yF = 2E-07x - 0.0037
R2 = 0.9104
0.000 0.025 0.050 0.075
- 100,000 200,000 300,000
Jum lah Fitoplankton (ind./L)
K
lor
o
fi
l (
m
g/
L)
A B C D
E F Linear (A) Linear (B)
(6)
Lampiran 11 (Lanjutan)
meningkatnya masa pemeliharaan. Hubungan kelimpahan klorofil dan waktu berupa regresi eksponensial dengan kecenderungan meningkat terus sampai akhir pemeliharaan.
C Kandungan klorofil pada petak tambak menurut tahap waktu
D Produksi total oksigen tiap petak tambak menurut tahap waktu
E Respirasi fitoplankton tiap petak tambak menurut tahap waktu
F Produksi bersih oksigen tiap petak tambak menurut tahap waktu Produksi total oksigen (D), respirasi fitoplankton (E) dan produksi bersih oksigen (F) meningkat dengan waktu pemeliharaan di petak A, B, C, D, E dan F, baik di T1, T2 maupun T3 dengan membentuk kurva eksponensial. Terdapat kecenderungan pertambahan produksi total oksigen mulai menurun pada T3. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan cahaya matahari bagi fotosintesis fitoplankton di lapisan air bagian bawah akibat pengaruh kepadatan fitoplankton di lapisan air bagian atas. 0.000 0.010 0.020 0.030 0.040 0.050
T1 T2 T3
Tahap waktu Kl o ro fi l (m g /L )
A B C D E F
0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00
T1 T2 T3
Tahap waktu P roduk s i T ot a l D O ( m g O2 /L .h r)
A B C D E F
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00
T1 T2 T3
Tahap w aktu
R e sp ir asi f it o p lan kt o n (m gO 2 /L. hr )
A B C D E F
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00
T1 T2 T3
Tahap waktu P roduk s i B e rs ih D O ( m g O 2 /L. hr )