Mikroba Selulolitik dari Rumput Laut untuk Peningkatan Mutu Hasil Samping Olahan Ubi Kayu sebagai Bahan Baku Pakan Ikan

MIKROBA SELULOLITIK DARI RUMPUT LAUT UNTUK
PENINGKATAN MUTU HASIL SAMPING OLAHAN UBI
KAYU SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN IKAN

IRMA MELATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Mikroba Selulolitik dari
Rumput Laut untuk Peningkatan Mutu Hasil Samping Olahan Ubi Kayu sebagai
Bahan Baku Pakan Ikan adalah benar karya saya sendiri yang merupakan bagian
dari penelitian Kelompok Peneliti Nutrisi dan Teknologi Pakan Ikan Balai
Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Tawar (BPPBAT) tahun anggaran
2012/2013 dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Juli 2014
Irma melati
NIM G851120081

RINGKASAN
IRMA MELATI. Mikroba Selulolitik dari Rumput Laut untuk Peningkatan Mutu
Hasil Samping Olahan Ubi Kayu sebagai Bahan Baku Pakan Ikan. Dibimbing
oleh MARIA BINTANG dan MAS TRI DJOKO SUNARNO
Upaya untuk mendapatkan bahan baku pakan alternatif masih perlu
dilakukan mengingat makin tingginya harga pakan ikan yang disebabkan
tingginya harga bahan baku pakan khususnya sumber protein. Penggunaan protein
pakan dapat diefisienkan jika pemanfaatan karbohidrat pakan dioptimalkan. Salah
satu sumber karbohidrat adalah hasil samping olahan ubi kayu seperti kulit ubi
kayu (KUK), daun ubi kayu (DUK) dan onggok (OGK). Pemakaian ke tiga bahan
tersebut sebagai bahan baku pakan ikan belum optimal karena tingginya kadar
serat kasar. Upaya pengoptimalannya dapat dilakukan antara lain melalui
penambahan enzim selulase yang dihasilkan bakteri selulolitik. Salah satu sumber
bakteri selulolitik adalah rumput laut, mengandung 15-25% serat selulosa. Tujuan
penelitian ini untuk mendapatkan mikroba selulolitik dari rumput laut dengan

aktifitas enzim selulase tertinggi, mengetahui waktu optimum produksi enzim
selulase dari mikroba selulolitik terpilih dan mengevaluasi efektivitas enzim
selulase untuk mendegradasi serat kasar hasil samping olahan ubi kayu.
Penelitian terbagi dalam tiga tahap, yaitu tahap pertama isolasi, seleksi dan
identifikasi mikroba selulolitik dari rumput laut, tahap ke dua produksi enzim
selulase yang dihasilkan dari mikroba terpilih dan tahap ketiga evaluasi efektivitas
enzim selulase untuk mendegradasi serat kasar hasil samping olahan ubi kayu.
Isolasi bakteri selulolitik dilakukan dengan metode pengenceran, streaking dan
spreading pada media carboxymethylcellulose (CMC). Penentuan waktu optimum
produksi enzim selulase dilakukan dengan cara menginkubasi isolat terpilih
selama rentang waktu inkubasi 24, 48, 72, 78 dan 96 jam. Evaluasi efektivitas
enzim selulase isolat terpilih untuk mendegradasi serat kasar hasil samping olahan
ubi kayu, menggunakan Rancangan Acak Lengkap terdiri atas tiga perlakuan dua
ulangan. Perlakuannya adalah dosis enzim selulase dari mikroba terpilih yaitu: 0,
25, dan 50%.
Hasil penelitian didapat 22 isolat murni bakteri dengan tiga isolat yang
mempunyai aktifitas selulolitik tinggi, yaitu TS2b, SS4a dan SS4b. Aktifitas
selulase tertinggi diperoleh pada isolat TS2b. Hasil uji biokimia dan karakterisasi
molekuler gen 16S-rRNA menunjukkan bahwa ketiga isolat tersebut adalah
Bacillus subtilis (B. subtilis), B. megaterium dan B. flexus. Waktu optimum untuk

produksi enzim selulase isolat TS2b terjadi pada jam ke 78 setelah inkubasi. Daya
hidrolisis enzim selulase tertinggi diperoleh pada substrat KUK dengan aktifitas
enzim selulase dan kadar gula pereduksi yang dilepaskan berturut-turut sebesar
0.0179 U/mL dan 0.9701 mg/L. Dosis enzim selulase yang paling efektif
menurunkan serat kasar KUK adalah 50% dengan besar penurunan kadar NDF,
selulosa, dan hemiselulosa berturut-turut sebesar 16.60, 10.44 dan 39.82% dengan
kadar gula pereduksi dan protein terlarut yang dilepaskan berturut-turut sebesar
1.28 mg/L dan 0.69 mg/mL
Kata kunci: enzim selulase, mikroba rumput laut, kulit ubi kayu

Comment [ O1] : deleted

Comment [ O2] : deleted

Comment [ O3] : deleted

SUMMARY
IRMA MELATI. Cellulolytic Microbes from Seaweed for Increasing Quality of
Cassava By Product as Fish Feed Ingredient. Supervised by MARIA BINTANG
and MAS TRI DJOKO SUNARNO

Effort to find alternative fish feed ingredients are still needed to be done
due to the increase of feed’s price ingredient especially sources of protein. The
use of a source of protein in the diet can be made efficient if the utilization of
carbohydrate can be optimized in fish feed formulation. One of the potencial
sources of carbohydrate is cassava by product such as cassava peels (KUK),
cassava leaves (DUK) and onggok (OGK). The problem is the high content of
crude fibers especially cellulose in that ingredients, so that its use cannot be
optimized. The use of cellulose enzyme from cellulolytic bacteria can be
alternative to solve the problem. One source of cellulolytic bacteria is seaweed,
contains 15-25% crude cellulose. A study proposing to get cellulolytic bacteria as
a candidate for crude fiber degradation, to find out an optimal production of
cellulose enzyme of cellulolytic bacteria and to evaluate effectiveness of cellulase
enzyme for hydrolising crude fibre of cassava by product, therefore, was
conducted in laboratory.
This study was divided in three experiments, the first was isolating,
selecting and identifying cellulolytic microbes from seaweed, the second was
producing cellulase enzymes from selected microbes and the last one was
evaluating an effectiveness of cellulose enzyme of selected bacteria to improve
quality of cassava by product. Cellulolytic bacteria were isolated from sea weed
using dilution methods, streaking and spreading on media of

carboxymethylcellulose (CMC). Optimal production of cellulose enzyme of
selected bacteria was incubated at various incubation times of 24, 48, 72, 78 and
96 hours, respectively. Ability of cellulase enzyme to improve quality of cassava
by product was designed using a completely randomized design having three
treatments and two replications. The treatments various cellulase enzyme dosages
of selected bacteria were 0, 25 and 50%, respectively.
The results show that there were 22 pure bacterial isolated and three of
them had the higher cellulolytic activity, coded TS2b, SS4a and SS4b,
respectively. TS2b had the highest cellulolytic activity. Based on biochemistry
test and moleculer identification of the 16S-rRNA gene, bacterial spesies of TS2b,
SS4a and SS4b was Bacillus subtilis, B. megaterium and B. flexus, repectively.
Optimal time for producing cellulose enzyme of 0.0214 U/mL releasing glucose
of 0.0231 mg/L was at 78 hours. The highest hydrolysing capability of cellulose
enzyme was at substrate cassaca peel (KUK) with the values of cellulose enzyme
activity and reducing sugar of 0.0179 U/mL and 0.9701 mg/L, respectively.
Effect of cellulase enzyme to improve the quality of KUK show that the most
effective dose of cellulase enzyme to reduce crude fiber of KUK was at 50 %,
reducing NDF, cellulosa and hemicellulosa at a rate of 16.60, 10.44, and 39.82 %,
respectively. Reducing sugars and soluble proteins were released successively by
1.28 mg/L and 0.69 mg/mL, respectively.

Key words: cellulase enzyme, seaweed microbe, cassava peels

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

MIKROBA SELULOLITIK DARI RUMPUT LAUT UNTUK
PENINGKATAN MUTU HASIL SAMPING OLAHAN UBI
KAYU SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN IKAN

IRMA MELATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains
pada
Program Studi Biokimia

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis:

Dr Ir. I Made Artika, M.App.Sc

Judul Tesis : Mikroba Selulolitik dari Rumput Laut untuk Peningkatan Mutu
Hasil Samping Olahan Ubi Kayu sebagai Bahan Baku Pakan Ikan
Nama
: Irma Melati
NIM
: G851120081


Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS
Ketua

Dr. Ir. Mas Tri Djoko Sunarno, MS
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi
Biokimia

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


Tanggal Ujian: 4 Juli 2014

Tanggal Lulus:

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat,
berkah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini.
Shalawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat,
dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Penelitian ini berjudul Mikroba
Selulolitik dari Rumput Laut untuk Peningkatan Mutu Hasil Samping Olahan Ubi
Kayu sebagai Bahan Baku Pakan Ikan. Kegiatan penelitian yang merupakan salah
satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Biokimia ini
dilakukan dari bulan Juli 2013 hingga April 2014 di Laboratorium Kimia Nutrisi
dan Teknologi Pakan Ikan, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air
Tawar (BPPBAT), Bogor.
Selesainya karya ilmiah ini tak lepas dari bantuan dan dorongan dari
berbagai pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS dan Dr. Ir. Mas Tri Djoko Sunarno, MS
sebagai Komisi Pembimbing yang banyak memberi bimbingan dan arahan

kepada penulis dalam melakukan penelitian ini.
2.
Kepala BPPBAT yang telah berkenan memberi kesempatan kepada penulis
melanjutkan pendidikan program Magister
3.
Kelompok Peneliti Nutrisi dan Teknologi Pakan Ikan BPPBAT yang telah
memfasilitasi penulis untuk melakukan penelitian ini
4.
Bakrie Center Foundation (BCF) yang telah memberikan beasiswa kepada
penulis
5.
Khusus kepada kedua orang tua saya, suami dan anakku tercinta Joko
Gumilang dan M. Raya Gumilang serta seluruh keluarga atas segala
pengorbanan, dukungan, bantuan, pengertian, doa dan kasih sayangnya
selama penulis mengikuti pendidikan di IPB
Semoga segala bantuan yang diberikan mendapat pahala yang berlipat
ganda dari Allah SWT. Semoga hasil penelitian ini dapat memberi manfaat bagi
kemajuan ilmu pengetahuan.
Bogor, Juli 2014


Irma Melati

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN

viii

1.

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan dan Manfaat Penelitian

1
1
3
3

2.

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Alat dan Bahan
Tahapan Penelitian
Prosedur Penelitian

4
4
4
4
4

3.

HASIL DAN PEMBAHASAN

9

4.

SIMPULAN

24

DAFTAR PUSTAKA

24

LAMPIRAN

30

RIWAYAT HIDUP

34

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9

Morfologi bakteri dari rumput laut Sargasum sp dan Turbinaria sp yang
tumbuh pada media CMC 1%
Aktivitas selulolitik (zona bening) dan indeks selulolitik hasil hidrolisis
CMC 1% dari bakteri asal Sargasum sp dan Turbinaria sp
Aktivitas enzim selulase (kuantitaif) dari isolat bakteri asal Sargasum
sp dan Turbinaria sp
Hasil identifikasi biokimia isolat bakteri selulolitik asal Sargasum sp
dan Turbinaria sp
Hasil uji patogenitas isolat bakteri selulolitik asal rumput laut Sargasum
sp dan Turbinaria sp pada ikan nila
Hasil BLAST dari bakteri selulolitik terpilih
Konsentrasi gula pereduksi pada berbagai waktu inkubasi
Kadar selulosa, hemiselulosa dan lignin pada KUK dan DUK
Kadar fraksi serat KUK pada berbagai dosis enzim selulase isolat TS2b

10
10
11
12
12
14
17
19
20

DAFTAR GAMBAR
11
Zona bening hasil hidrolisis CMC 1%
12
Morfologi Isolat TS2b (kiri) dan SS4b (kanan)
13
Hasil Amplifikasi Gen 16S rRNA
14
Sebagian sekuen DNA penyandi 16S-rRNA isolat TS2b
16
Kurva pertumbuhan isolat TS2b
17
Kurva aktifitas enzim selulase isolat TS2b
18
Aktifitas enzim selulase isolat TS2b pada berbagai substrat
18
Kadar gula pereduksi pada berbagai substrat
Kadar gula preduksi pada KUK yang dihidrolisis enzim selulase isolat 23
Ts2b dengan dosis berbeda
10 Kadar protein terlarut KUK yang dihidrolisis enzim selulase isolat 23
TS2b dengan dosis berbeda
1
2
3
4
5
6
7
8
9

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3

Prosedur pembuatan media dan reagen yang digunakan dalam penelitian 31
32
Kurva standar glukosa
33
Prosedur analisis NDF, ADF, Selulosa dan Lignin (Van Soest 1976)

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pencarian bahan baku alternatif untuk pakan ikan masih harus dilakukan
mengingat makin tingginya harga pakan yang disebabkan tingginya harga bahan
baku , khususnya sumber protein. Penggunaan protein pakan dapat diefisienkan
jika pemanfaatan sumber karbohidrat pakan dioptimalkan. Hal ini bisa terjadi
karena karbohidrat dapat berperan sebagai protein sparing effect yang berarti
sebagian besar protein dapat dihemat untuk pertumbuhan sedangkan kebutuhan
energi dipenuhi oleh karbohidrat (National Research Council 1983). Karbohidrat
merupakan sumber energi yang murah dalam pakan ikan. Meskipun demikian,
meningkatnya permintaan dan keterbatasan persediaan dapat menyebabkan
sumber karbohidrat pakan pun menjadi mahal seperti dedak dan tepung terigu.
Hal ini mengharuskan pembudidaya untuk mencari alternatif bahan baku sumber
karbohidrat yang lebih murah dan mudah didapatkan serta pemakaiaannya tidak
bersaing dengan manusia di antaranya hasil samping olahan ubi kayu seperti kulit
ubi kayu (KUK), daun ubi kayu (DUK) dan onggok (OGK).
Potensi KUK, DUK dan OGK sangat tinggi mengingat Indonesia
merupakan negara produsen ubi kayu terbesar ke empat dunia setelah Nigeria,
Thailand dan Brazil (FAO 2011). Badan Pusat Statistik (BPS) 2013 mencatat
produksi ubi kayu tahun 2011 di Indonesia mencapai 24 juta ton dan 20% dari
produk tersebut adalah hasil samping yang terbuang (Busairi & Hersoelistyorini
2009). Ubi kayu jarang diperdagangkan dalam bentuk segar karena sifat produk
yang mengembang (bulky). Ubi kayu banyak diperdagangkan dalam bentuk
kering yang dikenal sebagai gaplek atau chips dan bentuk tepung yang disebut
sebagai tapioka atau tepung tapioka (tapioca flour). Menurut Sandi (2010), dalam
sekali panen pada umur 12 bulan dengan luas lahan 1 hektar dapat menghasilkan
umbi segar sebanyak 17.5 ton, kulit 2.79 ton dan daun 2.30 ton, sedangkan dari
pengolahan industri tapioka menghasilkan onggok 1.7 ton. Setiap kilogram ubi
kayu dapat menghasilkan 15-20% kulit ubi kayu (Nurhayani et al. 2000). Haroen
(1993) menyatakan bahwa industri tepung tapioka menghasilkan kulit luar, kulit
dalam dan onggok berturut-turut sebesar 2, 15 dan 5-15%.
DUK, KUK dan OGK banyak digunakan sebagai bahan baku pakan
ruminansia dan monogastrik dan hanya sedikit dimanfaatkan sebagai pakan ikan.
Pemanfaatan ketiga bahan tersebut sebagai bahan baku pakan masih belum
optimal mengingat rendahnya kadar protein dan tingginya serat kasar. Kadar
protein daun dan kulit ubi kayu serta onggok berturut-turut sebesar 31-36, 5-8,
dan 1.45-3.53% sedangkan kadar serat kasarnya berturut-turut sebesar 8-11, 12-15
dan 8.71-10.94% (Eggum 1970; Oboh 2006; Halid 1991; Haroen 1993). Upaya
mengoptimalkan penggunaan ketiga bahan tersebut sebagai bahan baku dalam
pakan dapat dilakukan melalui teknologi biokonversi. Teknologi biokonversi
merupakan konversi bahan secara enzimatik melalui fermentasi yang dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai ekonomi suatu bahan. Upaya peningkatan
nilai nutrisi KUK, DUK dan OGK sudah mulai dilakukan salah satunya dengan
cara fermentasi, tetapi hasil yang diperoleh ternyata kurang memuaskan karena

Comment [ O4] : deleted

Comment [ O5] : deleted

Comment [ O6] : (2013)

Comment [ O7] : buang
Comment [ O8] : bersifat memenuhi tempat

Comment [ O9] : Dalam satu tahun, luasan 1 Ha
tanaman singkong dapat

Comment [ O10] : dalam

Comment [ O11] : deleted
Comment [ O12] : deleted
Comment [ O13] : deleted
Comment [ O14] : deleted

2
pada umumnya fermentasi dengan menggunakan mikroba yang ada selama ini
hanya bisa meningkatkan protein saja sedangkan serat kasar hanya sedikit
mengalami penurunan bahkan ada beberapa penelitian yang cenderung
meningkatkan serat kasar. Azwar et al. (2010) mencatat bahwa fermentasi tepung
kulit ubi kayu menggunakan Aspergillus niger, ragi tape dan ragi tempe dapat
meningkatkan kadar protein berturut-turut sebesar 253, 174 dan 56% serta
peningkatan kadar serat kasar berturut-turut sebesar 21, 32 dan 59%. Penelitian
Sandi (2010) memperlihatkan terjadi penurunan kadar serat kasar OGK, KUK dan
DUK yang difermentasi menggunakan enzim cairan rumen dan Leuconostoc
mesenteroides berturut-turut sebesar 3.86, 2.31 dan 0.51%. Hasil yang sama
diperoleh Suhartono (2001) yang memperlihatkan terjadi penurunan kadar serat
kasar OGK yang difermentasi Aspergillus niger dengan penambahan urea dan
zeolit dari 8.40 menjadi 7.81%
Serat kasar merupakan salah satu komponen polisakarida non pati. Di dalam
pakan ikan polisakarida non pati terutama selulosa tidak boleh terlalu tinggi
karena di dalam beberapa saluran pencernaan ikan khususnya yang berjenis
karnivora, tidak mempunyai mikroorganisme penghasil enzim selulase yang
dapat memecah ikatan glikosidik ß 1.4 pada selulosa. Menurut Leeson & Zubair
(2000), selulosa dapat mempengaruhi viscositas cairan usus yang berakibat
terhadap penurunan kecepatan difusi substrat dan enzim pencernaan, sehingga
menurunkan efisiensi penyerapan nutrien secara keseluruhan pada dinding usus,
yang pada gilirannya akan berdampak langsung terhadap efisiensi pakan dan
performa ternak. Diperlukan suatu upaya penanganan khusus untuk menjadikan
DUK, KUK dan OGK sebagai bahan baku pakan ikan, salah satunya
menggunakan enzim selulase yang berasal dari mikroba selulolitik.
Enzim selulase merupakan grup enzim yang dapat memecah selulosa
menjadi monomer glukosa (Yi et al. 1999). Selulase menurut Kim et al. (2008)
dibagi menjadi tiga kelas yaitu endoglukanase (EGs) (EC 3.2.1.4), eksoglukanase
(EC 3.2.1.91) dan β-glukosidase (EC 3.2.1.21). Deng & Tabatabai (1994)
menyatakan bahwa ketiga enzim selulase ini bekerja secara sinergis mendegradasi
selulosa dan melepaskan gula reduksi (selubiosa dan glukosa) sebagai produk
akhirnya. EGs merupakan selulase yang paling efisien berdasarkan
kemampuannya dalam mendegradasi carboxymethylcellulose (CMC) (Hendksson
et al. 1999). Selulosa juga dapat dipecah melalui perlakuan fisik dan kimia, tetapi
penggunaan enzim selulase lebih menguntungkan dibandingkan bahan kimia
karena tidak menimbulkan masalah korosi dan polusi lingkungan.
Enzim yang dihasilkan oleh mikroba selulolitik merupakan enzim selulase
yang aman dan murah untuk mendegradasi serat kasar. Penggunaan enzim
mikroba untuk memecah ikatan β-glukan pada limbah berserat lebih
menguntungkan karena selain dapat bekerja pada kisaran pH dan suhu yang cukup
lebar dibandingkan enzim dari hewan sehingga memudahkan dalam aplikasinya.
Enzim mikroba juga lebih mudah penanganannya serta tidak menimbulkan
pencemaran lingkungan. Poernomo & Djoko (2003) menyatakan bahwa enzim
yang berasal dari sel mikroba memiliki beberapa keuntungan dibandingkan
dengan enzim yang dihasilkan sel hewan maupun tumbuhan. Sel mikroba relatif
mudah ditumbuhkan, pertumbuhan sel yang relatif singkat, skala produksi sel
besar dan lebih mudah ditingkatkan, biaya produksi relatif rendah karena waktu

3
yang dibutuhkan untuk produksi enzim lebih singkat, dan kondisi selama produksi
tidak tergantung musim.
Enzim selulase dapat dihasilkan oleh mikroba selulolitik baik dari
kelompok bakteri Aktinomycetes dan fungi yang dapat ditemukan pada tanah, air,
rumen dan beberapa saluran pencernaan ikan gurame, bahkan dari tanaman.
Beberapa mikroba yang berpotensi sebagai sumber enzim selulase adalah
Aspergillus aculeatus, Bacillus subtilis, Butyrivibrio fibrisolvens, Cellumonas
fimi, Clostridium thermocellum, C. Cellulovorans, Humicola grisea,
Pseudemonas flurescen subsp. Cellulosa, Tricoderma reesei, dan Xanthomnas
campestris (Shimada et al. 1994). Enzim selulase yang tersedia selama ini hanya
mampu memecah ikatan selulosa kristal menjadi selulosa Cx (Rahmadini 2012).
Diperlukan skrening isolat yang menghasilkan isolat unggul yang mampu
mendegradasi selulosa yang lebih baik yaitu bakteri yang berasal dari rumput laut
mengingat rumput laut sendiri mengandung selulosa yang cukup tinggi yaitu
sebesar 15-25% (Kim et al. 2008). Bakteri tersebut dapat mempertahankan
hidupnya dengan menjadikan selulosa sebagai sumber nutrisi untuk
pertumbuhannya. Sehingga diduga bakteri tersebut mempunyai enzim selulase
untuk mendegradasi selulosa.

Perumusan Masalah
Berkurangnya ketersediaan bahan baku pakan sumber karbohidrat
contohnya dedak dan tepung terigu menyebabkan peningkatan harga pakan ikan.
Hal ini mengharuskan pembudidaya untuk mencari alternatif bahan baku lain
yang lebih murah dan mudah didapatkan. Pemanfaatan hasil samping olahan ubi
kayu seperti DUK, KUK dan OGK bisa dijadikan sebagai alternatif bahan baku
pakan ikan sumber karbohidrat. Permasalahan yang muncul adalah tingginya
kadar serat kasar dalam bahan baku tersebut yang menyebabkan rendahnya
tingkat inklusi dalam formulasi pakan ikan. Penambahan ekstrak kasar enzim
selulase yang disekresikan oleh mikroba selulolitik hasil isolasi dari rumput laut
diharapkan dapat menurunkan kadar serat kasar bahan baku alternatif tersebut,
sehingga pemanfaatan dalam formulasi pakan dapat ditingkatkan

Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
2.
3.

Penelitian ini bertujuan untuk :
Mendapatkan mikroba selulolitik dari rumput laut dengan aktifitas enzim
selulase tertinggi.
Mengetahui waktu optimum produksi enzim selulase dari mikroba terpilih.
Mengevaluasi efektivitas enzim selulase dari mikroba terpilih untuk
mendegradasi serat kasar hasil samping olahan ubi kayu.

Penelitian ini bermanfaat untuk mendapatkan isolat mikroba selulolitik dari
rumput laut untuk peningkatan kualitas KUK, DUK dan OGK.

4

2 BAHAN DAN METODE
. Tempat dan Waktu Percobaan
Penelitian dilakukan mulai bulan Juli 2013 hingga April 2014 di
Laboratorium Kimia Nutrisi dan Teknologi Pakan Ikan, Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Air Tawar, Bogor
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan diantaranya inkubator (Vision), waterbath
(Memmert), spektrofotometer UV-Vis (Eppendorf), vortex mixer, laminar flow
(Esco), autoklaf (Hirayama), Sentrifuse (Hanil), pH meter, timbangan analitik
(Ohaus), pipet mikro (eppendorf) dan alat-alat gelas yang biasa digunakan di
laboratorium.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rumput laut Sargasum sp
dan Turbinaria sp yang diambil dari KabupatenGunung Kidul, DI Yogyakarta dan
kulit ubi kayu, daun ubi kayu, dan onggok yang diperoleh dari Kabupaten Bogor,
Jawa Barat serta Carboxymethylcellulose (CMC), MgSO4.7H2O, KNO3, K2 HPO4 ,
FeSO4.7H2O, CaCl2.2H2O, ekstrak kamir, agar bakto, glukosa, sodium tartarat,
asam dinitrosalisilat (DNS), buffer sitrat-fosfat pH 5, congo red, tryptone soy
broth (TSB) dan fenoksi etanol.
Tahapan Penelitian
Penelitian ini terdiri atas tiga tahap, yaitu tahap pertama isolasi, seleksi dan
identifikasi mikroba selulolitik dari rumput laut, tahap ke dua produksi enzim
selulase yang dihasilkan dari mikroba terpilih dan tahap ketiga evaluasi efektivitas
enzim selulase untuk mendegradasi serat kasar hasil samping olahan ubi kayu.

Prosedur Penelitian
Tahap Pertama : Isolasi, Seleksi dan Identifikasi Bakteri Selulolitik
Pada percobaan tahap ini sasaran yang ingin dicapai adalah mendapatkan
bakteri selulolitik yang mampu mendegradasi bahan baku yang mengandung
selulosa.
Isolasi bakteri dari Rumput Laut
Metode pengambilan sampel dari rumput laut dilakukan dengan
menginkubasi rumput laut selama 7 hari pada suhu kamar. Rumput laut hasil
inkubasi digerus dan dihomogenkan memakai vortex dan dijadikan sebagai
sumber inokulum untuk kemudian diambil sebanyak 1 mL dan diencerkan
masing-masing dalam 14 tabung pengenceran yang berisi 9 mL larutan fisiologis.
Setelah dihomogenkan, dari setiap tabung pengencer diambil larutan sebanyak 0.1
mL, dan disebarkan dalam cawan petri berisi CMC agar. Kultur dalam CMC agar
dibuat secara duplo. Isolasi bakteri selulolitik dilakukan dengan metode cawan
sebar pada media CMC 1% (1 g CMC; 0.02 g MgSO4.7H2O; 0.075 g KNO3; 0.05

5
g K2HPO4; 0.002 g FeSO4 .7H2O; 0.004 g CaCl2.2H2O; 0.2 g ekstrak kamir, 1.5 g
agar-agar bakto dan 0.1 g glukosa). Koloni bakteri yang tumbuh diidentifikasi
berdasarkan perbedaan warna, bentuk dan ukurannya. Setiap jenis koloni yang
didapat dimurnikan dengan metode penggoresan kuadran sampai didapatkan
koloni bakteri yang tunggal dan seragam untuk selanjutnya diseleksi secara
kualitatif, kuantitatif dan uji patogenitas.
Seleksi bakteri selulolitik secara kualitatif dan kuantitatif.
Seleksi bakteri selulolitik dilakukan dengan cara pengujian aktifitas
selulase baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Tujuan dari percobaan ini
adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya aktifitas selulolitik dari suatu isolat
bakteri.
Uji Kualitatif Enzim Selulase
Uji kualitatif dilakukan dengan metode pewarnaan congo red 0.1% dan
iodin 1%. Isolat mikroba selulolitik ditotolkan pada media CMC agar. Bakteri
diinkubasi selama 3 hari pada suhu 370C. Kemudian dilakukan uji aktifitas bakteri
dengan menambahkan congo red 0.1% sebanyak 15 mL dan didiamkan selama
30-60 menit. Setelah itu dibilas sebanyak 2-3 kali dengan 15 mL NaCl 1 M dan
didiamkan selama 15 menit. Diameter zona bening dan diameter koloni yang
terbetuk diukur. Uji aktifitas selulase dilihat dari indeks selulolitik yang terbentuk.
Indeks selulolitik merupakan nisbah antara zona being dengan diameter koloni.
Semakin besar indeks selulolitik yang dihasilkan maka semakin besar enzim yang
dihasilkan oleh isolat bakteri tersebut. Indeks selulolitik atau indeks aktifitas
selulase (IAS) diperoleh dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Kader &
Omar 1998):
Indeks Selulolitik =

diameter zona bening (mm)-diameter koloni (mm)
diameter koloni (mm)

Uji Kuantitatif Enzim Selulase.
Peremajaan isolat dilakukan pada media agar CMC 1% (b/v) pada suhu
ruang hingga berumur 24 jam dan disimpan dalam refrigerator pada suhu 40C,
masing-masing sebanyak dua lup isolat diinokulasikan ke dalam 100mL media
CMC 1% cair dan diinkubasi dalam inkubator selama 24 jam. Enzim selulase
ekstrak kasar didapat dengan melakukan sedimentasi hasil kultur pada kecepatan
9000 x g selama 10 menit pada suhu 4 oC. Supernatan yang dihasilkan kemudian
diuji aktifitas enzimnya dengan menggunakan metode Miller (1959) yang telah
dimodifikasi. Sebanyak 1.8 mL substrat (CMC 1%) dilarutkan dalam 0.1 M bufer
sitrat fosfat pH 5, ditambah dengan 0.2 mL enzim selulase, dikocok kuat dengan
vortex, dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 30 0C. Reaksi enzim dihentikan
dengan pendidihan pada suhu 100 0C selama 15 menit dan setelah itu diambil 1
mL dari campuran reaksi dan ditambah dengan 1 mL DNS, dididihkan pada suhu
100 0C selama 15 menit. Setelah larutan dingin, absorbansi diukur pada λ 550 nm.
Perlakuan kontrol dan blanko dilakukan secara bersamaan dengan metode dan
tahapan yang sama. Pada kontrol, enzim yang akan direaksikan dengan substrat
telah diinaktivasi terlebih dahulu dengan memanaskan enzim selama 15 menit
dalam air mendidih. Pada blanko, larutan enzim diganti dengan larutan buffer

6
sitrat fosfat pH 5. Aktifitas selulase dinyatakan dalam satuan internasional, yaitu
U/mL. Satu unit merupakan jumlah enzim yang dibutuhkan untuk memecah 1
µmol selulosa menjadi gula pereduksi per menit pada kondisi pengujian. Kadar
glukosa yang dihasilkan dari hidrolisis selulosa dengan enzim selulase
berdasarkan nilai absorbansi pada λ 550 nm.
Absorbansi = ((As - Ab) - (Ak - Ab))
Keterangan : As = Absorbansi sampel
Ab = Absorbansi blanko
Ak = Absorbansi kontrol
Nilai absorbansi yang diperoleh kemudian dimasukkan ke dalam
persamaan yang diperoleh dari kurva standar glukosa. Kemudian, aktifitas
selulase dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut (Irawan et al. 2008 dalam
Rahmadini 2012):
Aktifitas selulase (U/mL)=

Kadar glukosa (mg/L) x 1000
V x t x BM

Keterangan:
V
= volume enzim (0.2 mL)
T
= waktu inkubasi (30 menit)
BM
= Berat molekul glukosa (180 Dalton)
Uji Patogenisitas
Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah kandidat bakteri selulolitik
bersifat patogen atau tidak terhadap ikan. Uji patogenitas dimulai dengan
mengkultur satu lup isolat ke dalam 10mL media cair Tryptone Soya Broth (TSB).
Kultur diinkubasi pada suhu kamar selama 24 jam, kemudian 0.1 mL inokulum
dengan kepadatan 108 cfu/mL disuntikan ke ikan nila (Oreochromis niloticus)
dengan bobot 12 ± 0.04 g secara intraperitonial (digunakan 10 ekor ikan per
isolat). Sebagai kontrol, digunakan TSB steril. Pengamatan terhadap ikan yang
mati dan gejala klinis dilakukan selama 2 minggu. Bakteri dinyatakan tidak
bersifat patogen jika bakteri tersebut tidak menyebabkan ikan nila sakit disertai
gejala klinis dan mati pada saat uji patogenitas ini.
Identifikasi bakteri selulolitik terpilih
Bakteri yang mempunyai aktifitas tertinggi dari tahap 1 kemudian
diidentifikasi menggunakan metode uji biokimia standar dan identifikasi secara
molekuler (sekuensing). Uji biokimia standar diawali dengan pewarnaan Gram
untuk mendeteksi morfologi awal dari bakteri. Kunci determinasi yang digunakan
merujuk pada kunci determinasi Bergey’s Determinative Bacteriology dengan
melakukan serangkaian uji morfologi dan biokimia yaitu bentuk bakteri, uji
pewarnaan Gram, uji katalase, uji oksidatif/fermentatif (OF), dan motilitas
Identifikasi isolat bakteri secara molekuler dilakukan berdasarkan sekuen
gen penyandi 16S-rRNA (Suwanto et al. 2000). Identifikasi isolat dilakukan
dengan menentukan sekuen gen penyandi 16S-rRNA melalui PCR dan
membandingkan dengan data sekuen yang tersedia di Gene Bank. Tahap-tahap
analisis isolasi bakteri secara molekuler meliputi a) isolasi DNA total, b)

7
amplifikasi gen penyandi 16S-rRNA dengan PCR, c) verifikasi dengan
elektroforesis gel agarosa, d) sequencing hasil PCR.
Isolasi DNA Total (Maniatis et al. 1989). Isolasi DNA total dilakukan
dengan menggunakan kit Genomic DNA Purification (Fermentas Life
Biosciences, EU). Isolat bakteri dikulturkan pada media kaldu nutrien selama 1214 jam. Sebanyak 1.5 mL kultur dimasukkan ke dalam tabung mikro dan
disentrifus selama 10 menit dengan kecepatan 9.000 x g. Supernatan dibuang dan
ditambahkan kultur lagi berulang-ulang sampai diperoleh pelet dalam jumlah yang
cukup. Ke dalam pelet ditambahkan 200 µL bufer TE dan 50 µL lisozim (10 mg
dalam 167 mL), dibolak-balik dan diinkubasi selama semalam pada suhu 370C.
Selanjutnya ke dalam tabung mikro ditambahkan 200 µL bufer lisis, diinkubasi
pada suhu 65 0C selama 10 menit (setiap 3 menit dilakukan inversi/tabung
dibolak-balik). Kemudian ditambahkan 600 µL kloroform, diinversi perlahan
sampai terbentuk dua fase yaitu fase atas dan fase bawah. Selanjutnya disentrifus
pada suhu 4 0C dengan kecepatan 13.000 x g selama 10 menit. Saat sedang
dilakukan sentrifus, disiapkan larutan pengendapan dengan mencampurkan 80 µL
larutan pengendapan dengan 720 µL air distilasi. Setelah sentrifugasi selesai
dilanjutkan dengan mengambil fase atas/fase cair (aqueous phase) perlahan-lahan
dan dimasukkan ke dalam larutan pengendapan. Pada saat dimasukkan ke dalam
larutan pengendapan akan terlihat benang-benang DNA dan didiamkan selama 2
menit pada suhu ruang. Setelah itu, dilakukan sentrifus pada suhu 4 0C dengan
kecepatan 13.000 x g selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang dan
DNA yang mengendap ditambahkan dengan 100 µL NaCl dan dikocok kuat
dengan vortex, ditambahkan 300 µL etanol absolut (100%) dan diinkubasi pada
suhu 4 0C selama 20 menit. Kemudian disentrifus pada suhu 4 0C dengan
kecepatan 13.000 x g selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifugasi dibuang dan
DNA yang mengendap ditambahkan dengan etanol 70% dan disentrifugasi
kembali pada suhu 4 0C dengan kecepatan 13.000 x g selama 10 menit.
Supernatan dibuang dan DNA yang mengendap dikeringkan sebelum diresuspensi
dengan bufer TE untuk penyimpanan di dalam lemari es suhu 4 0C.
Amplifikasi Gen Penyandi 16S-rRNA dengan PCR (Suwanto et al.
2000). DNA template diamplifikasi dengan PCR menggunakan dua primer
universal spesifik untuk bakteri yaitu 63f (5’-CAGGCCTAACACAGGCAAGTC)
dan 1387r (5’GGGCGGWGTGTACAAGGC) (Marchesi et al. 1998). Ke dalam
tabung mikro steril dimasukkan 18 µL ddHO; 1.0 µL primer 63f; 1.0 µ L primer
1387r; dan 25 µL Taq polymerase, kemudian dimasukkan ke dalam PCR. Kondisi
PCR terdiri atas tahap pre-PCR (95 0C, 5 menit), denaturasi (95 0C, 1 menit),
annealing atau pelekatan primer (56 0C, 1 menit 15 detik), elongasi atau
pemanjangan primer (72 0C, 1 menit 30 detik), post-PCR (72 0C, 7 menit), dan
penyimpanan/pendinginan (40C). Proses PCR tersebut dilakukan sebanyak 30
siklus. Hasil PCR kemudian divisualisasi dengan elektroforesis 1% gel agarosa.
Proses selanjutnya yaitu analisis sekuen parsial gen penyandi 16S-rRNA, dan
sequencing hasil PCR dilakukan oleh 1st base, Singapura.
Tahap Dua: Produksi Enzim Kasar Selulase
Pada percobaan ini sasaran yang ingin dicapai adalah mengetahui waktu
optimum produksi enzim selulase untuk selanjutnya informasi tersebut digunakan
untuk produksi enzim selulase.

8
Penentuan Waktu Optimum Produksi Enzim Selulase
Penentuan waktu optimum produksi enzim selulase diawali dengan
penentuan waktu pertumbuhan bakteri pada inokulum yang akan digunakan.
Penentuan waktu pertumbuhan eksponensial bakteri dilakukan dengan mengkultur
2 lup isolat ke dalam 50 mL media cair CMC. Kultur diinkubasi pada suhu 50 0C
di dalam penangas goyang dengan kecepatan agitasi 150 rpm. Pengambilan
sampel dilakukan pada jam ke 24, 48, 72, 78 dan 96 untuk diukur nilai Optical
Density (OD) pada λ 600 nm dan setiap kali pengukuran dilakukan juga pengujian
aktifitas enzim selulase pada λ 550 nm. Setelah itu, dibuat kurva pertumbuhan
bakteri untuk menentukan waktu pertumbuhan bakteri tersebut. Waktu
pertumbuhan dengan aktifitas enzim selulase tertinggi digunakan sebagai waktu
optimum produksi enzim selulase.
Produksi enzim selulase
Produksi enzim selulase dilakukan berdasarkan prosedur dan waktu
inkubasi yang telah diketahui aktifitas selulase tertinggi pada kurva aktifitas
selulase yang dihasilkan. Media pertumbuhan produksi diinkubasi pada suhu 50
0
C di dalam penangas goyang dengan kecepatan agitasi 150 rpm, kemudian enzim
selulase dipanen selama waktu produksi tertinggi yang telah didapatkan
sebelumnya. Kultur sel pada media produksi yang mengandung enzim selulase
ekstraseluler disentrifugasi pada kecepatan 9.000 x g selama 10 menit untuk
memisahkan larutan enzim dengan pelet bakteri. Supernatan hasil sentrifugasi
kemudian disimpan pada suhu 10 0C sebagai ekstrak kasar.
Tahap Ketiga: Evaluasi Efektivitas Enzim Selulase dalam Meningkatkan
Mutu Hasil Samping Olahan Ubi Kayu (DUK, KUK dan
OGK)
Pada percobaan Tahap Tiga, sasaran yang ingin dicapai adalah untuk
mendapatkan substrat yang paling cocok untuk enzim selulase yang dihasilkan
bakteri terpilih yang selanjutnya di perlakukan lebih lanjut.
Uji aktifitas enzim pada berbagai substrat
Uji aktifitas enzim pada berbagai substrat didasarkan pada metode yang
digunakan Meryandini et al. (2009). Sebanyak 5 mL substrat CMC ditambahkan 5
mL enzim ekstrak kasar. Untuk substrat tepung KUK, DUK dan OGK masingmasing sebanyak 0.05 g ditambahkan masing-masing 5 mL bufer dan 5 mL enzim
ekstrak kasar. Reaksi antara substrat dan enzim ekstrak kasar dilakukan dalam
erlenmeyer 100 mL selama 60 menit pada suhu 50 0C. Reaksi dihentikan dengan
menginkubasinya pada suhu 100 °C selama 15 menit. Lalu suspensi tersebut
disentrifus pada kecepatan 2.500 rpm selama 25 menit. Sebanyak 2 mL
supernatannya diambil dan ditambahkan 2 mL DNS lalu diinkubasi pada suhu 100
°C selama 15 menit. Sebagai kontrol digunakan enzim yang sebelumnya sudah
diinaktivasi pada suhu 100 0C selama 15 menit. Setelah larutan dingin seluruh
sampel diukur dengan spektrofotometer pada λ 550 nm. Parameter yang diamati
adalah aktifitas enzim selulase dan kadar gula pereduksi (metode DNS).

9
Evaluasi lebih lanjut efektivitas enzim selulase mikroba terpilih pada
substrat terbaik
Sasaran percobaan tahap ini adalah untuk mengetahui dosis efektif enzim
selulase untuk meningkatkan kualitas nutrisi substrat pada Percobaan 3.1.
Percobaan didesain menggunakan Rancangan Acak Lengkap, terdiri atas tiga
perlakuan dan dua ulangan. Perlakuan yang diberikan adalah dosis enzim selulase
dari mikroba terpilih yaitu: 0, 25 dan 50%. Preparasi substrat dilakukan dengan
cara substrat direndam dengan air selama 24 jam dan dikeringkan pada suhu 70
°C dalam oven selama 3 hari. Kemudian substrat dihaluskan menggunakan alat
blender dan diayak dengan saringan 100 mesh. Sebanyak 50 g substrat
dimasukkan ke dalam wadah plastik, kemudian ditambahkan air sebanyak 150%
dan dikukus selama 30 menit. Setelah dingin ditambahkan enzim kasar selulase
sesuai perlakuan, dan kemudian diinkubasi selama 2 hari pada suhu 50 0C.
Parameter yang diamati adalah fraksi serat (Neutral Detergen Fiber (NDF), Acid
Detergen Fiber (ADF ), lignin, selulosa, dan hemiselulosa), kadar gula pereduksi
dan protein terlarut (awal dan setelah dihidrolisis). Parameter dianalis
menggunakan SPSS 16.0.

3 HASIL DAN PEMBAHASAN
Tahap 1: Isolasi, seleksi dan identifikasi mikroba selulolitik dari Sargasum sp
dan Turbinaria sp
Hasil isolasi mikroba dari Sargasum sp dan Turninaria sp diperoleh 22
isolat yang memiliki kemampuan untuk tumbuh dalam media yang mengandung
CMC, yaitu suatu polisakarida yang berfungsi sebagai indikator selulosa. Ciri
morfologi dari koloni ke 22 isolat tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Dua puluh
dua isolat yang dapat tumbuh dalam media CMC 1% kemudian diuji lebih lanjut
untuk mengetahui aktifitas enzim selulolitiknya dengan metode zona bening.
Berdasarkan uji kualitatif enzim selulolitik menggunakan metode
pewarnaan iodin 1%, diperoleh 7 isolat yang positif menghasilkan zona bening
yaitu isolat SS1a, SS3a, SS4a, SS4b, SS4c, TS1c dan TS2b. Sedangkan
berdasarkan metode pewarnaan congo red 0.1% hanya diperoleh satu isolat
bakteri yang menghasilkan zona bening yaitu isolat TS2b. Besar zona bening yang
terbentuk dan indeks selulolitik dari masing-masing isolat disajikan pada Tabel 2.

10
Tabel 1 Morfologi bakteri dari Sargasum sp dan Turninaria sp yang tumbuh pada media
CMC 1%
Isolat
Kode
Morfologi
Sargasum sp
SS1a
krem, bulat sedang
SS1b
krem, bulat sedang
SS1c
krem,bulat kecil, tebal
SS1d
krem, bulat besar
SS1e
krem, bulat sedang
SS2a
krem kecoklat-coklatan, bulat kecil
SS2b
krem kecoklat-coklatan, bulat besar
SS3a
putih, besar, berserabut
SS3b
putih, kecil, berserabut
SS4a
putih , tebal, pinggiran berserabut
SS4b
putih tipis, sedikit tranparan, bulat
sedang
SS4c
kuning, berserabut
Turbinaria sp

TS1a
TS1b
TS1c
TS2a
TS2b
TS2c
TS2d
TS3a
TS3b
TS3c

putih, bulat besar
putih kecoklat-coklatan bulat sedang
kuning kehijauan, bulat transparan,
tidak berinti
putih, bulat besar
putih, bulat sedang
putih, bulat kecil
putih, bulat sangat kecil
putih kehijauan, transparan, bulat
besar
putih kehijauan (lebih kuning),
transparan, bulat kecil
putih, bulat sedang

Tabel 2 Aktifitas selulolitik (zona bening) dan indeks selulolitik hasil hidrolisis CMC
1% dari bakteri asal Sargasum sp dan Turninaria sp
Aktivitas selulolitik (Zona
Indeks
Asal Isolat
Kode
bening)
Selulolitik
++*
SS1a
1
+*
SS3a
0.375
++++*
SS4a
1.5
+++++*
SS4b
2.5
+++*
SS4c
1.5
+++++*
Turbinaria sp
TS1c
2.47
+++++*®
TS2b
2.71* dan 4®
Catatan: * = Uji pewarnaan Iodin; ® = Uji pewarnaan congo red
+ = sangat kecil, ++ = kecil, +++ = sedang, ++++ = besar, +++++ =
sangat besar
Sargassum sp

11
Indeks selulolitik tinggi didapatkan pada bakteri SS4b yaitu sebesar 2.5,
TS2b 2.71 dan 4 serta TS1c 2.41. Karena pertumbuhan isolat TS1c relatif lambat
dibanding isolat lain maka yang dipilih untuk identifikasi secara molekuler yaitu
SS4b, TS2b dan SS4c. Indeks selulolitik ini menunjukkan kemampuan isolat
tersebut dalam mendegradasi selulosa. Zona bening dari isolat SS4b dan TS2b
disajikan pada Gambar 1.

A

B

C

Gambar 1. Zona bening hasil hidrolisis CMC 1% : A. Isolat TS2b (pewarnaan iodin), B.
Isolat SS4b (pewarnaan iodin) dan C. Isolat TS2b (pewarnaan congo red)

Hasil uji aktifitas enzim secara kuantitatif menunjukkan bahwa aktifitas
enzim selulolitik tertinggi adalah pada isolat TS2b yaitu 0.0099 U/mL (Tabel 3).
Hal ini sejalan dengan uji kualitatif menggunakan metode zona bening di mana
isolat TS2b memberikan zona bening paling tinggi dibandingkan isolat lainnya.
Ketujuh isolat bakteri asal rumput laut yang mengasilkan zona bening, kemudian
diidentifikasi secara morfologi dan biokimia dan hasilnya disajikan pada Tabel 4
dan Gambar 2.
Tabel 3 Aktifitas enzim selulase (kuantitatif) dari isolat bakteri asal Sargasum sp dan
Turninaria sp
Isolat bakteri
SS1a
SS3a
SS4a
SS4b
SS4c
TS1c
TS2b

Aktifitas Enzim (U/mL)
0.0031
0.0021
0.0030
0.0037
0.0029
0.0043
0.0099

12
Hasil identifikasi biokimia isolat bakteri selulolitik asal Sargasum sp dan
Turninaria sp
Jenis Uji
Kode Bakteri
SS1a
SS3a
SS4a
SS4b SS4c
TS1c
TS2b
Gram
+
+
+
+
+
Bentuk
Batang
Batang
Batang Batang Batang
Batang
Batang
rantai
rantai
rantai
kecil rantai sangat kecil rantai
pendek
panjang
tunggal rantai panjang
rantai
pendek
pendek
tunggal
Tabel 4

Katalase
Oksidase
Motilitas
Spora

Gambar 2

+
+
+

+
+
+

+
+
+

+
+

+
+
+

+
+
+
+

+
+

Morfologi isolat TS2b (kiri) dan SS4b (kanan)

Isolat bakteri TS2b, SS4b dan SS4c yang memiliki aktifitas enzim
selulolitik lebih tinggi dibandingkan isolat lain dilakukan uji patogenitas untuk
mengetahui apakah isolat bakteri tersebut patogen atau tidak, selanjutnya
dikarakterisasi secara molekuler (sekuensing) untuk mengetahui spesies bakteri
tersebut. Berdasarkan hasil uji patogenitas menggunakan ikan nila diketahui
bahwa pada masa uji patogeniatas selama dua minggu tidak ditemukan ikan mati
baik perlakukan maupun kontrol (Tabel 5).
Tabel 5 Hasil uji patogenisitas isolat bakteri selulolitik dari rumput laut Sargasum sp dan
Turbinaria sp pada ikan nila (Oreochromis. niloticus) selama 2 minggu
Uji Patogenisitas (2 minggu)
Jenis Bakteri
Ikan hidup (ekor)
Ikan mati (ekor)
SS4b
10
0
SS4c
10
0
TS2b
10
0
Kontrol
10
0

Karakterisasi secara molekuler ketiga isolat terpilih dimulai dengan proses
amplifikasi gen 16S rRNA menggunakan dua primer universal spesifik untuk

13
bakteri, yaitu 63f (5’-CAGGCCTAACACAGGCAAGTC) dan 1387r
(5’GGGCGGWGTGTACAAGGC) (Marchesi et al. 1998). Penentuan primer
sangat menentukan keberhasilan reaksi PCR, karena primer inilah yang akan
menentukan daerah genom yang akan diamplifikasi (Rafsanjani 2011). Hasil
amplifikasi gen 16S rRNA dapat dilihat pada Gambar 3. Tampak bahwa pita
amplikon berada pada ukuran 1500 bp. Kemudian setelah tahapan ini dilanjutkan
dengan sekuensing. Hasil analisis sekuen parsial DNA penyandi 16S-rRNA isolat
TS2b sebanyak 1.500 pasang basa dari arah 5’-3’ (Gambar 3)

1500 bp
1000 bp
750 bp
500 bp
250 bp

Gambar 3 Hasil amplifikasi gen 16S rRNA: 1) Isolat SS4a; 2) isolat SS4b dan
3) isolat TS2b

Hasil sekuensing yang diperoleh berupa data mentah yang harus diolah
menggunakan program bioedit. Data yang diperoleh dari hasil program bioedit
kemudian dimasukan ke dalam program NCBI BLAST sehingga diketahui jenis
bakteri yang kita dapat. Hasil dari pembacaan pada program BLAST dapat dilihat
pada Tabel 6.
Tabel 6 menunjukkan bahwa sampel mempunyai tingkat homologi yang
tinggi berdasar pada urutan sekuen DNA yang tercover yaitu 96-99% dengan data
yang ada di GeneBank. Tingkat kesamaan nukleotida sekitar 80% termasuk ke
dalam tingkat kesamaan yang tinggi (Addinilia 2012). Teknik amplifikasi 16S
rRNA merupakan teknik yang akurat, lebih sensitif, murah dan cepat
dibandingkan dengan teknik identifikasi secara konvensional seperti morfologi,
biokimia atau serologi tes. Identifikasi secara konvensional bisa menyebabkan
spesies mempunyai kemiripan dalam fisiologi dan rentan terhadap perubahan
lingkungan (Macrae 2000).

14

Gambar 4 Sebagian sekuen DNA penyandi 16S-rRNA isolat TS2b
Tabel 6 Hasil BLAST dari bakteri selulolitik terpilih
Kode sampel
Cakupan (%)
TS2b
99
SS4a
96
SS4b
100

Deskripsi
B. subtilis
B. megaterium
B. flexus

Selulase merupakan enzim yang banyak diaplikasikan dalam berbagai
industri seperti tektil, laundri, pulp dan kertas, ektraksi jus buah, dan aditif pada
makanan sampai produksi bioetanol (Bhat 2000). Selulase mempunyai potensi
yang cukup besar dalam proses sakarifikasi lignoselulosa menjadi gula yang dapat
digunakan untuk produksi bioetanol, asam laktat, dan single cell protein (Maki et
al. 2009). Kebanyakan penelitian tentang produksi selulase difokuskan pada jenis
fungi dan hanya sedikit yang meneliti pada bakteri (Bhat 2000). Dibandingkan
fungi, produksi selulase pada bakteri adalah lebih sedikit, tetapi enzim pada
bakteri dapat dihasilkan lebih cepat dan dapat direkayasa secara genetik untuk
meningkatkan produksinya (Ponnambalam et al. 2011). Salah satu bakteri yang
bisa menghasilkan enzim selulase adalah Bacillus (Robson & Chambliss 1989)

15
Menurut Deka et al. (2011), Bacillus sp merupakan bakteri yang banyak
dimanfaatkan dalam bidang industri karena kemampuannya yang tinggi dalam
produksi dan pengeluaran enzim ektraseluler dalam jumlah yang besar. Bacillus
spp. sangat potensial untuk dikembangkan dalam industri bioteknologi karena
mempunyai sifat-sifat seperti memiliki kisaran suhu pertumbuhan yang luas,
pembentuk spora, kosmopolit, tahan terhadap senyawa-senyawa antiseptik,
bersifat aerob atau fakultatif anaerob, memiliki kemampuan enzimatik yang
beragam, dan beberapa diantaranya mampu melakukan biodegradasi terhadap
banyak senyawa xenobiotik serta tidak membutuhkan faktor tumbuh yang mahal.
Bacillus sp terdiri atas beberapa jenis dan tersebar luas diberbagai habitat. Jenis
Bacillus sp yang sudah dikenal di dunia industri di antaranya adalah Bacillus
subtilis, B. megaterium dan B.flexus
B. subtilis merupakan bakteri Gram positif dengan katalase positif
(Madigan & Martinko 2005). Bakteri ini berbentuk batang, mempunyai
kemampuan membentuk endospora pelindung, sehingga memungkinkan bakteri
ini dapat bertahan pada kondisi ekstrim (Nakano et al. 1998). B subtilis dilaporkan
mempunyai aktifitas degradasi selulosa yang tinggi (Mawadza et al. 1996). B.
subtilis strain AU-1 dapat menghasilkan carboxymethylcellulase (CMCase) dan
avilase pada media yang mengandung berbagai karbohidrat sebagai sumber utama
karbon untuk kehidupannya (Chan & Au 1987). Hal senada diungkapkan oleh
Cantarel et al. (2009), B. subtilis bisa memanfaatkan mono, di, dan oligosakarida,
gula amino dan turunan N-asetil, asam glikonik dan glikuronik, dan gula turunan
polialkohol. Strain B. subtilis AS3 mempunyai kemampuan untuk mendegradasi
substrat selulosa seperti sekam padi, ampas tebu, dan rumput liar (Deka et al.
2011).
Selulase B. subtilis dapat diproduksi pada medium yang murah seperti
molase (Shabeb et al. 2010). B subtilis diketahui memiliki enzim pendegradasi
polisakarida seperti α-amylase, pullulanase, endo-β-1,4-mannanase, levanase,
glukan-1,4-α-maltohydrolase, pectate lyase, β-1,4-endoglukanase, β-1,3-1,4endoglukanase, dan endo-1,4-β-xylanase. Enzim-enzim tersebut dapat memecah
polisakarida ke dalam karbohidrat yang larut (Deutsche et al. 2002). Narasimhan
et al. (2013) melaporkan bahwa B.subtilis memiliki enzim kitinase dan β 1,3Glukanase sehingga bakteri ini banyak digunakan sebagai agen biokontrol.
B.subtilis sangat menarik digunakan dalam industri karena pertumbuhannya yang
cepat, mampu mensekresikan protein ke dalam medium, dan umumnya aman
digunakan (Schallmey et al. 2004; Simonen & Palva 1993). B. subtilis juga
merupakan salah satu model mikroorganisme yang banyak digunakan dalam studi
pengembangan biokimia, genetik dan biologi molekular (Barbe et al. 2009; Kunst
et al. 1997). Hasil penelitian Manabe et al. (2013) mencatat terjadinya
peningkatan produksi alkalin selulase pada B. subtilis strain MGB874 sampai
sebesar 5,5g/L melalui fermentasi NH3-auksotat dan nilai ini merupakan jumlah
tertinggi yang pernah dilaporkan.
B. subtilis merupakan inang yang sempurna untuk produksi berbagai
macam protein sekretori (Yamane et al. 2004). Banyak gen protein ekstraseluler
dari bakteri yang akan digunakan untuk manusia dikloning dan diekspresikan
pada B. subtilis. B. subtilis dapat digunakan untuk produksi beberapa selulase
(Sukumaran et al. 2005). Secara umum, dua metode yang dapat digunakan untuk

16
mengekspresikan gen selulase di B. subtilis yaitu dari vektor atau kromosom
(Schumann 2007).
B. megaterium merupakan bakteri Gram positif bersifat aerobik dan
mempunyai kemampuan membentuk spora. B. megaterium banyak ditemukan
dalam tanah, air laut, sedimen, sawah, makanan kering, madu, susu, isi rumen sapi
serta limbah industri daging dan petrokimia (Andriani et al. 2012; Scholle et al.
2003). Nilai ekonomis penting dari bakteri ini adalah kemampuannya
memproduksi vitamin B12 dan penisilin amidase serta mengekspresikan protein
asing tanpa degradasi dan penggunaannya dalam diagnostik AIDS (Scholle et al.
2003). B. megterium mampu tumbuh pada berbagai sumber karbon dan dilaporkan
mempunyai beberapa enzim ektraseluler diantaranya enzim β-amilase,
cyclodekstrin glukanotransferase, dextranase, selulase, cellulase-free xylanase
(Andriani et al. 2012; Sindhu et al. 2006; Priest 1977). B. megaterium dosis 1%
dapat menurunkan serat kasar kulit umbi sebesar 30.14% (Andriani et al. 2012).
B. flexus merupakan bakteri Gram positif, membentuk spora, motil,
mempunyai pertumbuhan optimum pada pH 10 dan suhu 37 0C. B. flexus
dilaporkan mempunyai beberapa enzim ekstraseluler seperti selulase dan amilase
yang toleran terhadap alkali dan kadar garam (Zhao et al. 2008; Trivedi et al.
2011). B. flexus diketahui mempunyai kemampuan untuk menurunkan kadar COD
sampai dengan 81.04% sehingga bakteri ini bisa digunakan dalam bioremediasi
limbah alkalin (Wang & Zhao 2013)
Tahap 2: Produksi enzim selulase yang dihasilkan dari