Pengelolaan Air Asam Tambang Melalui Rawa Buatan Berbasis Bahan In Situ di Pertambangan Batu Bara

(1)

DI P

(Studi Kasus di Si

Kabupa

SE

INS

I PERTAMBANGAN BATU BARA

di Site Pertambangan Sambarata, PT. Be

bupaten Berau, Provinsi Kalimantan Tim

APONG SANDRAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA

NSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

A

T. Berau Coal,

Timur)


(2)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin dari IPB.


(3)

DI PERTAMBANGAN BATU BARA

(Studi Kasus di Site Pertambangan Sambarata, PT. Berau Coal,

Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur)

APONG SANDRAWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agroteknologi Tanah

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(4)

Penguji Luar Komisi Prof. Dr. Ir. Sudarsono, M.Sc


(5)

Bara (Studi Kasus di Site Pertambangan Sambarata PT. Berau Coal, Kabupaten Berau, Provinsi

Kalimantan Timur)

Nama : Apong Sandrawati

NRP : A152080031

Disetujui, Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Darmawan, M.Sc Ketua

Dr. Ir. Dyah Tjahyandari S, M.Appl.Sc Anggota

Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi/Mayor Agroteknologi Tanah

Dr. Ir. Suwardi, M.Agr

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(6)

Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 6 April 1982. Penulis merupakan anak pertama dari Bapak Eman Sulaeman dan Ibu Sunarsih. Penulis memulai pendidikan formal di SDN 1 Situraja pada tahun 1987 dan SLTPN 1 Situraja pada tahun 1993. Penulis menyelesaikan pendidikan SMU di SMUN 1 Situraja pada tahun 1999. Di tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Ilmu Tanah, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan studi S1 dan lulus sebagai Sarjana Pertanian pada tahun 2004. Tahun 2006 penulis diterima sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil di Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, dan menjadi staf pengajar pada Program Studi Ilmu Tanah (sekarang Program Studi Agroteknologi Pertanian) hingga sekarang.


(7)

dan segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Pengelolaan Air Asam Tambang Melalui Rawa Buatan Berbasis Bahan In Situ di Pertambangan Batu Bara (Studi Kasus di Site Pertambangan Sambarata, PT. Berau Coal, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur)”. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian penulis yang dilakukan selama kurang lebih satu tahun, yang terdiri dari penelitian lapangan dan analisis laboratorium.

Penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Dr Ir Darmawan, M.Sc, Dr Ir Gunawan Djajakirana, M.Sc, dan Dr Ir Dyah Tjahyandari Suryaningtyas, M.Appl.Sc, selaku dosen-dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan motivasi selama penelitian dan penulisan tesis. Semua pelajaran yang Bapak dan Ibu berikan akan menjadi bekal yang berharga buat penulis untuk berkarya yang lebih baik di masa depan.

Terimakasih dan penghargaan yang besar-besarnya penulis sampaikan kepada Prof Dr Ir Sudarsono, M.Sc selaku penguji yang telah memberikan saran dan masukan sehingga menjadikan tesis ini lebih baik. Besar rasa terimakasih penulis juga sampaikan kepada Dr Ir Suwardi M.Agr atas apresiasi yang diberikan terhadap hasil penulisan tesis ini.

Terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada segenap pimpinan dan staf PT. Berau Coal atas dukungan dan fasilitas yang diberikan selama penelitian. Terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Ir Agus Darmawan dan Ir Sujatmiko atas dukungan dan arahan selama pengajuan penelitian. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Junianto S, Desi A, dan Mei Yu atas bantuannya selama proses editing penulisan tesis. Penulis menyadari semua usaha ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa do’a yang tidak putus-putus dari kedua orang tua penulis. Pada akhirnya penulis sampaikan terimakasih kepada kedua orang tua dan kepada berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Bogor, April 2012 Penulis


(8)

APONG SANDRAWATI. Acid Mine Drainage Treatment by Artificial Wetland Based on In Situ Material in Coal Mining (Case Study in Sambarata Mining Site, PT. Berau Coal, Berau District, East Kalimantan Province). Under direction

DARMAWAN, DYAH TJAHTANDARI SURYANINGTYAS, and

GUNAWAN DJAJAKIRANA.

Acid mine drainage (AMD) is the main problem in open pit mining due to extremely low pH and high solubility of metals. Metal solubility can be reduced biochemically in an anaerobic condition. Wetland is typical ecosystem having anaerobic conditions and characterized by low potential redox (Eh). Low Eh can be achieved if the wetland has enough quantities of organic matter. This research was aimed to design an artificial wetland that was constructed using locally available materials, and test it for AMD treatment, to identify AMD remediation process within artificial wetland, and to identify biomass production of artificial wetland plants. An artificial wetland of 1.028 m2 has been constructed. It’s composed of two organic walls, two growing ponds, and one collecting pond. Each component separated by a dike. Each organic wall was placed next to growing pond that were planted by Typha sp. and Cyperus sp. Collecting pond was planted by Eichornia crassipes. Artificial wetland was incubated until redox potential (Eh) of inundated water was less than 100 mV. Operation of artificial wetland started after incubation was done. Result showed that during incubation Eh of inundated water has decreased to below 100 mV after 5 days. Reduction and precipitation has occured during AMD remediation process. Sulphate, iron and manganese were accumulated in the root of each plant. Typha sp. has better growth rate than other plants and potentially to produce a higher biomass.


(9)

APONG SANDRAWATI. Pengelolaan Air Asam Tambang Melalui Rawa Buatan Berbasis Bahan In Situ di Pertambangan Batu Bara (Studi Kasus di Site Pertambangan Sambarata, PT. Berau Coal, Kabupaten Berau, Provinsi

Kalimantan Timur). Di bawah bimbingan DARMAWAN, DYAH

TJAHYANDARI SURYANINGTYAS, dan GUNAWAN DJAJAKIRANA. Permasalahan utama akibat penambangan terbuka pada tambang batubara adalah timbulnya air asam tambang (AAT) yang mempunyai nilai pH sangat rendah dan konsentrasi logam terlarut yang tinggi. Air asam tambang ini jika tidak dikelola akan menjadi bahan pencemar yang dapat membahayakan organisme perairan. Salah satu teknik pengelolaan AAT adalah dengan passive treatment, antara lain dapat dilakukan pada rawa buatan. Aplikasi rawa buatan untuk pengelolaan AAT harus memperhatikan ketersediaan bahan-bahan yang akan digunakan pada konstruksi rawa buatan. Penelitian ini bertujuan untuk: merancang rawa buatan berbasis bahan-bahan in situ dalam memperbaiki kualitas air asam tambang, mengidentifikasi proses perbaikan kualitas air dalam sebuah sistem rawa buatan, dan melakukan identifikasi terhadap produksi biomassa yang dapat dihasilkan dari rawa buatan.

Konstruksi rawa buatan dibuat seluas 1.028 m2, terdiri dari: dua organic

wall, tiga kolam pertumbuhan, yang dibatasi oleh tanggul. Organic wall dibuat

menyerupai parit yang diisi dengan bahan organik segar. Kolam pertumbuhan satu ditanami dengan Typha sp, kolam pertumbuhan dua dengan Cyperus sp, dan kolam pertumbuhan tiga ditumbuhkan Eceng Gondok (Echornia crassipes). Proses konstruksi terdiri dari: penimbunan area genangan, konstruksi komponen rawa, pengisian, dan perapihan komponen rawa.

Setelah konstruksi selesai, rawa buatan diinkubasi sampai nilai potensial redoks air genangan <100 mV, dalam 10 hari. Setelah inkubasi selesai, rawa buatan dioperasikan secara kontinyu. Hasil pengamatan selama tahap pengoperasian secara kontinyu menunjukkan bahwa rawa buatan dengan komponen organic wall yang reduktif, efektif menaikan pH dan menurunkan konsentrasi besi, mangan, dan sulfat terlarut, sehingga berada di bawah ambang baku mutu. Hasil analisis terhadap substrat, menunjukkan bahwa sulfat, besi dan mangan diendapkan pada substrat dengan jumlah yang tergantung kepada pH. Analisis juga dilakukan terhadap konsentrasi sulfat, besi dan mangan pada tanaman. Hasil analisis menunjukkan bahwa tanaman mengakumulasi sulfat, besi dan mangan pada bagian akar dengan jumlah yang jauh lebih tinggi dibandingkan pada daun. Berdasarkan hasil pengukuran terhadap produktivitas tanaman, Typha sp direkomendasikan sebagai tanaman yang paling adaptif terhadap genangan AAT dan dapat menghasilkan biomassa yang lebih tinggi dari produksi optimumnya.


(10)

Halaman

DAFTAR TABEL ……... xii

DAFTAR GAMBAR ……... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ……... xiv

PENDAHULUAN Latar Belakang ……... 1

Tujuan Penelitian ……... 3

Hipotesis Penelitian ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Air Asam Tambang ... 5

Pengelolaan Air Asam Tambang ... 6

Rawa Buatan ... 7

Tumbuhan Rawa ... 9

Reduksi dan Potensial Redoks ... 10

Reduksi Sulfat ... 10

Stabilitas Besi dalam Larutan ... 11

Stabilitas Mangan dalam Larutan ... 13

Peran Bahan Organik dalam Remediasi Air Asam Tambang ... 14

BAHAN DAN METODE Lokasi dan Waktu ... 16

Bahan dan Alat Penelitian... 16

Metode Penelitian ... 17

Survei Pendahuluan ... 17

Rancangan Rawa Buatan ... 17

Konstruksi Rawa Buatan ... 19

Inkubasi Anaerob ... 21

Penanaman ………... 21

Pengoperasian Sistem Rawa Secara Kontinyu ... 21

Pengambilan Contoh dan Pengukuran ... 22


(11)

DESKRIPSI KEADAAN LOKASI PENELITIAN

Lokasi Penelitian ... 26

Karakteristik Air Asam Tambang ... 27

Karakteristik Bahan In situ... 28

Lumpur ... 28

Batu Gamping ... 29

Bahan Organik ... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN Proses Konstruksi Rawa Buatan... 31

Penimbunan Area Genangan... 31

Konstruksi dan Pengisian Komponen Rawa ... 32

Penanaman ... 34

Hasil Inkubasi Anaerob ... 34

Hasil Pengukuran Kualitas AAT pada Tahap Pengoperasian Kontinyu. 38 Reduksi Sulfat, Besi, dan Mangan ... 39

Efisiensi Reduksi... 39

Reduksi Sulfat ... 40

Reduksi Besi ... 42

Reduksi Mangan ... 43

Hasil Pengukuran terhadap pH, Konsentrasi Besi, Mangan dan Sulfat pada Substrat .………... 43

pH Substrat ... 44

Konsentrasi Besi ... 45

Konsentrasi Mangan... 46

Konsentrasi Sulfat... 47

Konsentrasi Sulfur, Besi dan Mangan pada Tanaman ... 48

Produktivitas Tanaman ... 50

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 52

Saran ... 52

DAFTAR PUSTAKA ... 53


(12)

Nomor Teks Halaman

1. Metode pengukuran contoh ………. 22

2. Karakteristik OB dari disposal berdasarkan uji NAG ………. 27

3. Karakteristik air asam tambang di lokasi penelitian ……… 28

4. Karakteristik kimia lumpur ……….. 29

5. Hasil uji NAG terhadap OB untuk bahan timbunan ……… 31

6. Distribusi bahan yang digunakan pada pengisian rawa buatan ……… 33

7. Rekapitulasi jumlah bibit tanaman yang digunakan ……… 34

8. Kriteria baku mutu air limbah kegiatan penambangan batubara…….. 38

9. Hasil pengukuran kualitas air pada tahap pengoperasian secara kontinyu ………... 39

10. Nilai efisiensi reduksi dari besi, mangan, dan sulfat selama pengoperasian rawa buatan secara kontinyu ………... 40

11. Konsentrasi total sulfur, besi dan mangan pada akar dan daun tanaman contoh ……….………... 48

12. Konsentrasi normal dari unsur hara esensial pada tanaman (berdasarkan Bohn et al., 1979) ………... 49


(13)

Nomor Teks Halaman 1. Strategi pengelolaan AAT secara abiotik dan biotik (Johnson dan

Hallberg, 2005) ... 7

2. Skema penampang melintang rawa buatan aerobik dan anaerobik (aliran permukaan) (modifikasi dari Skousen et al., 1998) ... 8

3. Stabilitas besi dalam bentuk terlarut dan padatan yang merupakan fungsi dari pH dan Eh pada tekanan udara 1 atm dan suhu 25oC (Elder, 1985 dalam Brooke, 2011) ... 12

4. Diagram Eh-pH untuk pasangan redoks Mn(IV) dan Mn(II) ... 13

5. Proses mikrobiologi yang mengakibatkan reduksi sulfat dalam sebuah substrat karbon organik (Logan et al., 2005)... 15

6. Layout konstruksi rawa buatan di lokasi penelitian ... 18

7. Penampang melintang konstruksi tanggul, parit dan kolam ... 18

8. Komposisi bahan pengisi pada komponen rawa buatan... 20

9. Lokasi pengambilan contoh air, substrat, dan tanaman ... 24

10. Peta situasi lokasi penelitian ... 26

11. Hasil pengukuran potensi redoks (Eh) pada setiap komponen rawa selama inkubasi anaerob... 35

12. Hasil pengukuran konsentrasi sulfat dan Eh pada contoh air di setiap komponen rawa (a) organic wall satu; (b) kolam pertumbuhan satu; (c) organic wall dua; (d) kolam pertumbuhan dua... 36

13. Hasil pengukuran pH pada setiap komponen rawa selama inkubasi anaerob ... 37

14. Hubungan antara konsentrasi sulfat terlarut dan pH pada contoh air selama pengoperasian rawa buatan secara kontinyu ... 41

15. Hubungan konsentrasi Fe2+ dan pH contoh air selama pengoperasian rawa buatan secara kontinyu... 42

16 Hubungan konsentrasi Mn2+ dan pH contoh air selama pengoperasian rawa buatan secara kontinyu... 43

17 Hasil pengukuran pH(H2O) contoh substrat sebelum dan sesudah treatment AAT ... 44

18 Hasil pengukuran konsentrasi Fe2+ pada contoh substrat sebelum dan sesudah treatment AAT ... 45

19 Hasil pengukuran konsentrasi Mn2+ contoh substrat sebelum dan sesudah treatment AAT... 46

20 Hasil pengukuran konsentrasi sulfat dalam contoh substrat sebelum dan sesudah treatment AAT ... 47


(14)

Nomor Teks Halaman 1. Prosedur uji asam basa dan Net Acid Generation (Badan

Standardisasi Nasional, 2001) ... 57

2. Hasil analisis uji asam basa dan NAG terhadap material overburden.. 61

3. Prosedur daya netralisasi dan penetapan secara CaCO3 (Balai Penelitian Tanah, 2005) ... 62

4. Hasil analisis daya netralisasi batu gamping asal Suaran ... 63

5. Foto-foto lokasi penelitian ... 64

6. Hasil pengukuran pH selama inkubasi anaerob ... 66

7. Hasil pengukuran potensial redoks (Eh) selama inkubasi anaerob ... 67

8. Hasil pengukuran konsentrasi sulfat terlarut selama inkubasi ... 68

9. Hasil pengukuran pH pada rawa buatan selama pengoperasian secara kontinyu ... 69

10 Hasil pengukuran konsentrasi sulfat terlarut pada rawa buatan selama pengoperasian secara kontinyu …... 70

11. Hasil pengukuran konsentrasi besi terlarut pada rawa buatan selama pengoperasian secara kontinyu ... 71

12. Hasil pengukuran konsentrasi mangan terlarut pada rawa buatan selama pengoperasian secara kontinyu ... 72

13. Hasil pengukuran pH, konsentrasi sulfat, besi, dan mangan pada substrat ... 73

14. Hasil pengukuran konsentrasi sulfur, besi, dan mangan pada tanaman ... 74


(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Air asam tambang (AAT) atau acid mine drainage (AMD) merupakan salah satu permasalahan penting di lokasi penambangan batu bara yang dilakukan secara terbuka (open pit mining). Proses penambangan batu bara secara terbuka dilakukan dengan mengupas lapisan tanah dan batuan penutup (overburden) hingga ditemukan singkapan batu bara. Salah satu sumber AAT adalah air yang berasal dari unit pengelolaan overburden yang mengandung mineral sulfida, seperti Pirit (FeS2) yang tersingkap dan bereaksi dengan oksigen di udara maupun

dalam air (Holmstrom, 2000 dalam Nyquist dan Greger, 2009).

Karakteristik AAT tidak dapat dipisahkan dari nilai pH yang sangat rendah, di beberapa tempat ditemukan pH air mencapai 2,9. Nilai pH yang sangat rendah (2,0 – 4,0) dapat memacu pelarutan logam-logam (termasuk logam berat jika ada). Oleh karena itu, air yang terkontaminasi dengan AAT biasanya mengandung logam dalam konsentrasi tinggi yang dapat meracuni organisme perairan (Kimmel, 1983 dalam Jenning et al., 2008).

Secara garis besar, pengelolaan AAT dapat dilakukan dengan teknik perlakuan aktif (active treatment) dan perlakuan pasif (passive treatment). Perlakuan aktif dilakukan dengan menambahkan bahan-bahan alkalin, seperti kapur (CaCO3) untuk meningkatkan pH dan menurunkan kelarutan logam berat.

Sedangkan perlakuan pasif, pada prinsipnya membiarkan reaksi kimia dan biologi berlangsung secara alami (Ziemkiewicz et al., 1994), teknik ini dapat dilakukan pada rawa buatan.

Sejauh ini, metode active treatment lebih banyak digunakan dalam pengelolaan AAT, antara lain dengan kapur. Karena itu, metode ini dinilai sangat efektif untuk pengelolaan AAT dengan kandungan logam berat tinggi (Coulton et

al., 2003). Namun, pengelolaan secara aktif ini selain memerlukan biaya yang

tinggi juga menghasilkan endapan atau sludge sebagai hasil sampingannya.

Sludge dari kolam pengendapan harus dibuang secara berkala agar proses


(16)

Teknik passive treatment dapat memberikan keuntungan dengan adanya proses kimia dan biologi yang dilakukan secara alami. Idealnya, pada passive

treatment tidak membutuhkan input yang konstan terhadap bahan kimia dan

hanya memerlukan sedikit pemeliharaan (Younger, 2000). Rawa buatan merupakan salah satu teknik passive treatment yang telah banyak diaplikasikan dalam upaya memperbaiki kualitas air. Namun, konsep ideal mengenai rawa buatan yang efektif dalam pengelolaan air asam tambang belum tersedia.

Pada prinsipnya meningkatkan pH dan menurunkan kelarutan logam ataupun bahan pencemar lainnya dapat dilakukan secara biokimia pada lingkungan anaerob. Kondisi anaerob merupakan kondisi di mana kadar oksigen terlarut sangat rendah, yang ditandai dengan nilai potensial redoks (Eh) yang rendah (reduksi). Pada kondisi ini Mn4+, Fe3+, SO42- akan tereduksi menurut

urutan termodinamis. Intensitas proses reduksi tergantung dari jumlah bahan organik yang mudah terurai, semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin besar intensitas reduksinya (Sanchez, 1976).

Rawa buatan untuk pengelolaan AAT awalnya merupakan sistem lahan basah berukuran kecil (kurang dari 1 hektar) yang ditanami dengan Typha sp. Dasar pemikiran penelitian ini adalah tanaman Typha sp. merupakan tanaman yang mampu menyerap logam-logam yang menjadi bahan pencemar utama pada AAT. Namun, berdasarkan hasil-hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Typha sp. hanya mampu mengakumulasi logam (bahan pencemar) dalam jumlah kecil (Stark et al., 1990, Sencindiver dan Bhumbla, 1998 dalam Watzlaf et al., 2004).

Upaya meningkatkan efektivitas rawa buatan dalam pengelolaan AAT juga dilakukan oleh Hedin et al. (1994) dengan menambahkan batu gamping ke dalam sistem rawa buatan yang dikenal dengan anoxic limestone drains (ALD). Pada sitem ini, AAT dialirkan pada saluran yang dilapisi oleh batu gamping sebelum dialirkan ke sistem rawa buatan, namun sistem ini hanya efektif untuk pengelolaan AAT dengan pH kurang dari 4,5. Penelitian lain adalah dengan memanfaatkan berbagai jenis bahan organik sebagai komponen dalam rawa buatan. Percobaan ini dilakukan oleh Munawar (2007) dengan menguji coba berbagai bahan organik sebagai substrat padat pada dasar rawa berukuran 4 meter x 4 meter, hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum pemberian berbagai


(17)

jenis bahan organik dapat memperbaiki kualitas AAT. Namun, penelitian ini perlu dikaji lebih lanjut pada skala lapang, terutama mengenai ketersediaan bahan-bahan yang akan digunakan dalam konstruksi rawa buatan.

Faktor lain yang perlu diperhatikan dalam konstruksi rawa buatan adalah substrat padat. Selain sebagai media tumbuh, substrat padat juga merupakan media tempat kontak antara mikroorganisme pendegradasi dengan bahan pencemar. Jenis substrat padat mempengaruhi daya lalu air limbah (porositas), proses filtrasi padatan tersuspensi, dan proses adsorpsi bahan pencemar (Sim, 2003). Kapasitas sedimen dalam menjerap dan mengikat bahan kontaminan tergantung kepada: kandungan bahan organik, kandungan besi dan mangan, kandungan karbonat sebagai buffer pH seperti halnya mineral liat (Calmano et al., 1990, Förstner, 1995, Salomons dan Brils, 2004, dalam Nguyen, 2008). Pemilihan jenis substrat juga harus disesuaikan dengan ketersediaan di lokasi.

Hasil-hasil penelitian di atas menjadi dasar pertimbangan dalam membuat rancangan rawa buatan pada skala lapangan. Optimalisasi bahan konstruksi rawa buatan dapat dilakukan dengan memanfaatkan bahan-bahan in situ seperti sisa tanaman dan lumpur endapan AAT yang tersedia di lokasi pertambangan. Bahan-bahan tersebut belum banyak diperhatikan padahal Bahan-bahan-Bahan-bahan ini sangat potensial sebagai komponen dalam rawa buatan untuk pengelolaan AAT.

Tanaman merupakan salah satu komponen rawa buatan yang harus diperhitungkan sebagai penghasil biomassa yang dapat digunakan untuk kepentingan lain. Informasi mengenai kualitas dan produktivitas tanaman sangat penting sebagai pertimbangan kelayakan penggunaan biomassa tanaman tersebut untuk kepentingan tertentu.

Tujuan Penelitian

1. Menguji konstruksi rawa buatan berbasis bahan-bahan in situ dalam pengelolaan air asam tambang

2. Mengidentifikasi proses perbaikan kualitas air dalam sebuah sistem rawa buatan

3. Melakukan identifikasi terhadap produksi biomassa yang dapat dihasilkan dari rawa buatan.


(18)

Hipotesis Penelitian

1. Rancangan rawa buatan yang dibuat menyerupai rawa alami dengan penggunaan bahan organik sebagai komponen utama dapat menjadi alternatif pengelolaan air asam tambang.

2. Penambahan bahan organik dapat mempercepat kondisi reduksi pada rawa buatan, pada kondisi ini terjadi: peningkatan pH air asam tambang, reduksi sulfat, penurunan konsentrasi sulfat, dan logam-logam berat yang terlarut dalam air.

3. Pengaturan tata letak tanaman rawa sesuai dengan habitat alaminya dapat meningkatkan produktivitas tanaman. Tanaman ini dapat dipanen dan digunakan sebagai tambahan sumber bahan organik pada rawa buatan.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Air Asam Tambang

Air asam tambang atau acid mine drainage (AMD) merupakan cairan (air limpasan) yang terbentuk akibat oksidasi mineral-mineral sulfida yang menghasilkan asam sulfat. Mineral sulfida tersebut di antaranya pirit dan markasit (FeS2), kalkopirit (CuFeS2), dan arsenopirit (FeAsS) (Skousen et al., 1998). Di

lokasi pertambangan batu bara mineral sulfida yang umum dijumpai adalah pirit dan markasit (FeS2). Mineral ini ketersediaannya cukup signifikan di dalam

lapisan batu bara, overburden, dan interburden. Sehingga, pirit merupakan penghasil air asam tambang utama di lokasi pertambangan batu bara (Salomons, 1995, ICARD, 1997, dalam Nguyen, 2008).

Watzlaf et al. (2004) menyatakan bahwa oksidasi pirit (FeS2) akan

membentuk ion ferro (Fe2+), sulfat, dan beberapa proton pembentuk keasaman, sehingga kondisi lingkungan menjadi asam. Stumm dan Morgan (1981) menguraikan reaksi oksidasi pirit (FeS2) dalam reaksi berikut:

FeS2(s)+ 3,5 O2 + H2O → Fe+2 + 2 SO4-2 + 2H+ (1)

Fe+2 + 0,25 O2 + H+ → Fe+3 + 0,5 H2O (2)

FeS2(s)+14 Fe+3 + 8 H2O → 15 Fe+2 +2 SO4-2 + 16 H+ (3)

Fe+3 + 3 H2O ↔ 2 Fe(OH)3(s) + 3 H+ (4)

Pada reaksi (1) pirit (FeS2) dioksidasi membentuk besi ferro (Fe2+), sulfat

(SO42-) dan beberapa proton penyebab kemasaman (H+), sehingga lingkungan

menjadi lebih masam. Menurut Higgins dan Hard (2003) pada pH air yang cukup masam bakteri-bakteri acidophilic yang merupakan pengoksidasi besi dan sulfat yang dapat mempercepat proses oksidasi pirit akan tumbuh pesat (reaksi 1).

Thiobacillus ferrooxidans merupakan salah satu contoh dari bakteri tersebut.

Bakteri pengoksidasi besi seperti Thiobacillus ferrooxidan mempercepat proses oksidasi pirit melalui dua mekanisme, yaitu: oksidasi langsung melalui persamaan reaksi (1), dan secara tidak langsung, di mana terlebih dahulu Fe2+ dioksidasi menjadi Fe3+ (reaksi 2) yang akan mengoksidasi pirit secara abiotik (reaksi 3). Selanjutnya, reaksi (4) akan berlangsung jika pH air mencapai > 2,8.


(20)

Dalam reaksi ini, Fe3+ akan dihidrolisis dan membentuk endapan besi hidroksida (Fe(OH)3) yang disebut ‘yellow boy’ (Watzlaf et al., 2004).

Selain besi (Fe) Watzlaf et al. (2004) menyebutkan bahwa mineral lain yang dapat menyumbangkan kemasaman pada AAT adalah mineral-mineral yang mengandung alumunium (Al). Alumunium ini dapat terhidrolisis dan menghasilkan H+ melalui reaksi berikut:

Al3+ + 3H2O → Al(OH)3 + 3H+ (5)

Air yang terkontaminasi dengan AAT biasanya mengandung logam dalam konsentrasi yang tinggi yang dapat meracuni organisme perairan. Nilai pH air yang rendah (2,0 – 4,5) merupakan tingkatan beracun bagi beberapa kehidupan perairan (Kimmel, 1983, Hill, 1974, dalam Jenning et al., 2008).

Pengelolaan Air Asam Tambang

Air asam tambang dari kegiatan penambangan batu bara dan mineral merupakan masalah yang pelik dan memakan banyak biaya dalam penanganannya (US-EPA, 1994). Penambangan batu bara menyebabkan terjadinya oksidasi pirit dan mineral sulfida lainnya menghasilkan air asam tambang dengan kandungan besi, mangan, dan alumunium dalam konsentrasi tinggi (Watzlaf et al., 2004). Pengelolaan air asam tambang pada intinya bertujuan untuk meningkatkan pH dan menghilangkan logam terlarut (Skousen et al., 1998).

Pengelolaan AAT dapat dilakukan secara abiotik dan biotik (Gambar 1) pada sistem aktif dan pasif. Dasar pertimbangan penggunaan metode ini adalah jenis AAT yang akan dikelola (Johnson dan Hallberg, 2005).

Metode yang paling banyak digunakan dalam pengelolaan AAT adalah dengan abiotik sistem aktif atau banyak dikenal dengan ‘active treatment’ yang dilakukan dengan penambahan bahan kimia penetral. Metode ini sangat efektif untuk pengelolaan AAT dengan kandungan logam berat tinggi (Coulton et al., 2003). Namun, kelemahan pengelolaan secara aktif ini adalah memerlukan biaya yang tinggi dan menghasilkan sludge sebagai hasil sampingannya. Sludge ini akan mengandung polutan-polutan termasuk logam berat sesuai dengan komposisi yang ada pada AAT yang dikelola (Johnson dan Hallberg, 2005).


(21)

Sejak 30 tahun yang lalu, konsep pengelolaan AAT dengan metode

passive treatment telah dikembangkan dari mulai skala percobaan sampai kepada

aplikasinya di lapang pada ratusan tempat di seluruh dunia (Younger, 2000). Hasil akhir dari passive treatment adalah meningkatkan proses ameliorasi secara alami, sehingga teknik ini harus dilakukan dalam suatu sistem dan bukan secara langsung pada badan air (seperti sungai dan danau).

Rawa Buatan

Rawa adalah suatu daerah yang terendam oleh air permukaan atau air tanah dalam suatu periode tertentu yang memungkinkan terjadinya kondisi jenuh air pada tanah tersebut. Karakteristik dan fungsi rawa dapat dibedakan dari posisi dalam suatu bentang lahan, iklim, hidrologi, vegetasi, dan tanahnya (Reddy dan DeLaune, 2008).

Rawa buatan adalah suatu sistem yang dibangun dan dirancang menyerupai rawa alami untuk keperluan pengolahan air tercemar. Proses pengolahan air tercemar pada rawa buatan merupakan suatu proses alamiah yang melibatkan tumbuhan air, sedimen, dan mikroorganisme, dengan matahari sebagai sumber energi (Vymazal , 2008).

REMEDIASI AAT

Abiotic

Sistem aktif

Biotic

Sistem pasif

Rawa Buatan Aerobik Reaktor/ Rawa buatan kompos

Permeable reactive barriers

Biorektor ‘packet bed

iron-oxidation’

Bioreaktor ‘off-line

sulfidogenic’

Sistem pasif ; seperti anoxic

Sistem aktif ; aerasi dan penambahan kapur

Gambar 1 Strategi pengelolaan AAT secara abiotik dan biotik (Johnson dan Hallberg, 2005)


(22)

Pembangunan rawa buatan di sekitar tambang bertujuan untuk menampung limpahan air hujan yang menghanyutkan tanah-tanah galian beserta senyawa logam-belerang (seperti pirit) yang dapat berpotensi menjadi asam tambang. Bila tanah dan batuan di sekitarnya tidak dapat menetralisir asam, maka asam-asam beserta dengan toksistas logam (bila ada) dapat dinetralisir di rawa buatan tersebut (Khiatuddin, 2003).

Novotny dan Olem (1994) menguraikan proses-proses yang terjadi di dalam rawa buatan secara lengkap yang meliputi proses fisik, fisika-kimia, dan biokimia. Proses-proses fisik terdiri dari sedimentasi, filtrasi padatan tersuspensi oleh sedimen dan tumbuhan air, serta pemanasan dan volatilisasi. Proses fisika-kimia terdiri dari proses adsorpsi bahan pencemar oleh tumbuhan air, sedimen, dan substrat organik. Proses biokimia terdiri dari proses penguraian zat tercemar oleh bakteri yang menempel pada permukaan substrat/sedimen, perakaran tumbuhan, dan serasah (bahan organik).

Keberhasilan rawa buatan dalam menghasilkan kualitas air yang bagus tergantung dari sifat kimia air yang dikelola, kapasitas mengalirkan air, dan desain dari rawa buatan (Hedin et al., 1994). Sistem pengelolaan limbah dipengaruhi oleh konstruksi rawa buatan. Secara umum, konstruksi rawa buatan untuk pengelolaan AAT dapat dikelompokkan menjadi rawa buatan aerobik dan anaerobik (Gambar 2).

Bahan Organik Batu Gamping Substrat (tanah)

Rawa Buatan Aerobik Rawa Buatan Anaerobik

(Aliran Permukaan)

Air

Air Air Air

: Perpindahan polutan secara difusi Keterangan :

±15 cm

} ±15 cm

{

{ 15-30 cm

{ 30-60 cm

Gambar 2 Skema penampang melintang rawa buatan aerobik dan anaerobik (aliran permukaan) (modifikasi dari Skousen et al., 1998)

Air limbah Air


(23)

Rawa buatan aerobik merupakan rawa yang ditanami dengan Typha sp. atau jenis tanaman lain pada kedalaman kurang 30 cm, sedangkan pada rawa buatan anaerobik, tanaman-tanaman tersebut ditanam pada kedalaman lebih dari 30 cm. Selain itu, pada rawa buatan aerobik sedimen (substrat) terdiri dari tanah dan liat, sementara pada rawa buatan anaerobik, substrat terdiri dari campuran tanah dan berbagai macam bahan organik seperti gambut, kompos, serbuk gergaji, kotoran ternak, jerami dan sebagainya yang dicampur dengan batu gamping (Skousen et al., 1998).

Sistem lahan basah anaerobik menggunakan komposisi reaktif material berupa kompos, serasah daun, dan serbuk gergaji, yang ditambahkan lumpur aktif yang akan menstimulasi pertumbuhan bakteri pereduksi sulfat untuk meningkatkan alkalinitas dan menyisihkan logam dalam bentuk endapan sulfida (Benner et al., 1997 dalam Henny, 2009).

Tumbuhan Rawa

Tumbuhan air pada lahan basah mempunyai beberapa fungsi atau manfaat penting, seperti (1) konsolidasi substrat: akar tanaman memegang substrat bersama-sama dan meningkatkan waktu tinggal air dalam wetland; (2) stimulasi proses jasad renik: tanaman menyediakan tapak untuk menempelnya mikroba, mengeluarkan oksigen dari akarnya, dan menyediakan sumber bahan organik untuk mikroba heterotrof; (3) habitat satwa liar: tanaman memasok pakan dan perlindungan bagi hewan; (4) estetika: wetland dengan pertanamannya lebih enak dipandang mata; (5) akumulasi logam (Skousen et al., 1998).

Keberadaan tumbuhan dengan sistem perakarannya mampu menyokong pertumbuhan mikroba dalam sistem yang juga akan mendegradasi senyawa-senyawa logam berat (Kadlec dan Knight, 1996 dalam Henny, 2009). Dalam sistem rawa buatan untuk pengelolaan AAT secara aerobik tanaman Typha sp. dan

Phragmites sp. lebih banyak digunakan, namun peran langsung dari kedua

tanaman ini dalam memperbaiki kualitas air masih dipertanyakan (Johnson dan Hallberg, 2005). Tumbuhan rawa mempunyai kemampuan untuk menyerap > 0,5 % berat kering dari kadar unsur alami tersebut dalam jaringan (Zayed et al., 1998


(24)

Reduksi dan Potensial Redoks

Reduksi adalah perolehan elektron, sedangkan oksidasi adalah kehilangan elektron. Reaksi oksidasi biasanya berkaitan erat dengan kondisi tanah berdrainase baik. Di lain pihak, reduksi berhubungan dengan kondisi drainase buruk atau apabila terdapat air berlebih. Proses reduksi yang umumnya berlaku pada kondisi anaerob menghasilkan reduksi beberapa unsur hara. Akibat reduksi ini, besi direduksi menjadi Fe2+ dan mangan menjadi Mn2+ (Tan, 1992).

Reduksi dapat terjadi jika ada bahan organik, tidak ada pasokan oksigen, dan adanya mikroorganisme anaerob dalam lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhannya (Wang dan Hagan, 1981). Intensitas reduksi tergantung kepada jumlah bahan organik yang mudah terurai dan suhu tanah. Semakin tinggi kandungan bahan organik, semakin tinggi intensitas reduksinya. Potensial redoks merupakan parameter yang berguna untuk mengukur intensitas reduksi pada tanah dan mengidentifikasi reaksi utama yang terjadi (Sanchez, 1976). Potensial redoks mempengaruhi: 1) konsentrasi oksigen, 2) pH, 3) ketersediaan P dan Si, 4) konsentrasi Fe2+, Mn2+, Cu+, dan SO42- secara langsung, 5) pembentukan

asam-asam organik, sulfida organik, dan hidrogen sulfida (De Datta, 1981).

Potensial redoks secara kuantitatif mengukur kecenderungan untuk mengoksidasi atau mereduksi bahan-bahan yang rentan (Faulkner dan Patrick, 1992). Potensial redoks (Eh) diukur sebagai perbedaan potensial antara elektrode platina dan standar elektrode hidrogen yang dinyatakan dalam satuan miliVolt (mV). Redoks potensial juga dapat dinyatakan dalam pe (-log aktivitas elektron) yang nilainya setara dengan mol/l. Namun, dalam literatur ilmu tanah, Eh lebih banyak digunakan dalam menyatakan hubungan redoks (Lindsay, 1979).

Reduksi Sulfat

Pada sistem rawa alami, belerang atau sulfur (S) sangat berperan dalam proses biogeokimia yang meliputi reduksi sulfat, pembentukkan pirit, siklus logam, dan emisi gas (Reddy dan DeLaune, 2008). Reduksi sulfat adalah proses mikrobiologi di mana sulfat direduksi menjadi sulfida Oleh karena itu, reduksi sulfat tidak lepas dari peranan bakteri pereduksi sulfat (Widdel, 1988 dalam Drury, 2006).


(25)

Bakteri pereduksi sulfat dicirikan oleh respirasi anaerobik dengan menggunakan sulfat sebagai pusat penerima elektron. Greben et al. (2005) menggambarkan bahwa reduksi sulfat dapat terjadi melalui proses berikut :

2C2H5OH + SO42-→ 2CH3COOH + S2- + 2H2O (6)

Reduksi sulfat merupakan penyebab utama dalam netralisasi pH dan pengurangan sulfat dan logam beracun (Machemer dan Wilderman, 1992, McIntire et al., 1990, dalam Drury, 2006). Bakteri pereduksi sulfat menghasilkan kira-kira 2 mol alkalinitas per satu mol sulfat yang direduksi, jumlah mol yang dihasilkan akan sangat beragam tergantung kepada struktur donor elektron. Produksi alkalinitas dapat dilihat pada contoh reaksi (7) di mana asetat sebagai donor elektron.

2CH3COO- + SO42- + H+ ---→ H2S + 2HCO3- (7)

Satu mol sulfida akan dihasilkan dari satu mol sulfat pada proses reduksi sulfat, sulfida ini akan mengendapkan logam berat dengan membentuk logam sulfida dengan kelarutan rendah.

M2+ + H2S → MS↓ + 2H+ (8)

Pada konsentrasi sulfat 500 – 1.500 mg/l, reduksi sulfat dapat berjalan sangat cepat. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh: (i) sulfida yang dihasilkan dari reduksi sulfat lebih toksik terhadap bakteri metanogenik yang merupakan kompetitor utama bagi bakteri pereduksi sulfat dalam menggunakan donor elektron, (ii) peningkatan konsentrasi sulfida menyebabkan terjadinya peningkatan ‘thermodynamic driving force’ reduksi sulfat yang diakibatkan oleh menurunnya potensial redoks (Greben et al., 2005).

Stabilitas Besi dalam Larutan

Stabilitas besi dalam larutan merupakan fungsi dari pH dan potensial redoks (Eh) hal ini dapat dilihat pada Gambar 3. Potensial redoks dan pH digunakan untuk menetapkan hubungan stabilitas antara mineral-mineral oksida besi dan hidroksida besi. Ferri (Fe3+) dalam kondisi tereduksi akan menghasilkan ferro (Fe2+), hal ini terjadi pada potensial redoks kurang dari 770 mV (Lindsay, 1979).


(26)

Besi ferri (Fe3+) berada dalam kondisi teroksidasi dan membentuk Fe(OH)3, sedangkan besi ferro (Fe2+) berada dalam kondisi tereduksi dan

membentuk FeCO3 dan Fe(OH)2. Besi mengendap pada kisaran pH 4,0 - 12,0

dalam bentuk Fe(OH)3, FeCO3, dan Fe(OH)2 (Evangelou, 1998). Menurut

Brinkman (1978), Fe2+ tidak semua tinggal dalam larutan, melainkan menggantikan kation-kation yang dapat dipertukarkan, yang sebagian tercuci yakni ion monovalen dan divalen.

Pada sistem rawa dengan kandungan bahan organik tinggi, memungkinkan terjadi pembentukan kompleks antara logam terlarut dengan bahan organik terlarut (dissolved organic matter) yang banyak ditemukan pada kondisi redoks yang rendah. Kompleks yang terbentuk antara Fe2+ dengan bahan organik terlarut dapat membawa Fe2+ tetap terlarut selama beberapa hari walaupun pada kondisi aerobik (Reddy dan DeLaune, 2008).

Gambar 3 Stabilitas besi dalam bentuk terlarut dan padatan yang merupakan fungsi dari pH dan Eh pada tekanan udara 1 atm dan suhu 25oC (Elder, 1985 dalam Brooke, 2011).


(27)

Stabilitas Mangan dalam Larutan

Seperti halnya besi, stabilitas mangan pada larutan juga merupakan fungsi dari pH dan potensial redoks (Eh), hal ini dijelaskan pada Gambar 4. Pada kondisi anaerob, mangan bervalensi tinggi (Mn4+ dan Mn3+) tereduksi menjadi Mn2+. Reduksi Mn4+ mendahului Fe3+, karena Mn4+ lebih mudah larut daripada Fe3+ (Ponnamperuma, 1965).

Pada kondisi tereduksi Mn2+ akan membentuk MnCO3 dan Mn(OH)2,

MnCO3 sangat stabil pada kisaran pH 7,5 - 11,2. Selain itu, pengendapan mangan

dipengaruhi oleh konsentrasi Fe. Hal ini dikarenakan besi ferro (Fe2+) dapat bereaksi dengan mangan oksida (MnO2) yang tidak larut, mengikuti reaksi di

bawah ini:

MnO2 + 4H+ + 2Fe2+ —→ Mn2+ + 2Fe3+ +2H2O (9)

Fe3+ + 3H2O —→ Fe(OH)3 + 3H+ (10)

Reaksi di atas menunjukkan Fe2+ terlarut dapat mereduksi mangan oksida ke dalam bentuk Mn2+ yang larut (Stumm dan Morgan, 1981).

O2

H2O

MnO2

Mn2O3

Mn3O4

MnCO3 Mn(OH)2

H2

H2O

Mn2+ 1200

800

400

0

-400

2 4 6 8 10 12 pH

P

ot

en

si

al

R

edo

ks

(

m

V

)


(28)

Konsentrasi mangan terlarut dalam air berada pada kisaran 10 – 10.000 µg/l. Konsentrasi mangan pada badan-badan air jarang yang melebihi 10.000 µg/l, dan biasanya kurang dari 200 µg/l. Pada tanah mangan berada pada konsentrasi kurang dari 1 mg/kg sampai 4000 mg/kg (per berat kering tanah), dengan konsentrasi rata-rata 300 – 600 mg/kg (Howe et al., 2005).

Peran Bahan Organik dalam Remediasi Air Asam Tambang

Kapasitas sedimen dalam menjerap dan mengikat bahan kontaminan tergantung kepada: kandungan bahan organik, kandungan besi dan mangan, kandungan karbonat sebagai buffer pH seperti halnya mineral liat. Pada sistem rawa, mobilisasi logam dipengaruhi oleh mekanisme faktor percepatan dan hambatan. Faktor percepatan meliputi pengaruh dari pH yang rendah dan perubahan kondisi redoks, kompleks organik dan anorganik, dan transformasi yang dimediasi oleh mikroorganisme. Degradasi bahan organik dalam sedimen dapat juga menjadi “kekuatan pendorong” untuk mempercepat interaksi antara sedimen dan logam (Calmano et al., 1990, Förstner, 1995, Salomons dan Brils, 2004, dalam Nguyen, 2008).

Pada kondisi tergenang, kenaikan nilai pH dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: (i) adanya pelepasan ion-ion hidroksil yang akan mengikat ion H+, dengan demikian ion kemasamam akan berkurang; dan (ii) pemberian bahan organik, yang mempunyai peran sebagai kapasitas penyangga (buffering capacity) sehingga dapat meningkatkan atau menurunkan pH lingkungannya (Stevenson, 1982).

Faktor pembatas biologis dalam pengelolaan air asam tambang adalah tingkat dekomposisi bahan organik, yang digunakan sebagai sumber karbon (Waybrant et al., 1998 dalam Johnson dan Halberg, 2005). Kandungan protein, karbohidrat, dan lemak pada bahan organik memiliki korelasi positif terhadap kapasitas bahan tersebut sebagai donor elektron dalam proses reduksi sulfat, sedangkan kandungan lignin berkorelasi negatif (Coetser et al., 2006).


(29)

Bakteri pereduksi sulfat biasanya mengandalkan senyawa karbon sederhana sebagai asam organik atau alkohol untuk menyediakan donor elektron pada reduksi sulfat, walaupun sebagian dapat menggunakan hidrogen (Gambar 5) (Logan et al., 2005).

metanogenesis

Cellulolysis

Selulosa

Collobiose

Glukosa

Laktat

Asetat

H2 CO2

CO2 CH4

CO2

Cellobiohydrolysis

Reduksi Sulfat

Fermentasi

H2S

SO4 2-

M 2-MS(s)

Gambar 5 Proses mikrobiologi yang mengakibatkan reduksi sulfat dalam sebuah substrat karbon organik (Logan et al., 2005).


(30)

Metode Penelitian Survei Pendahuluan

Kegiatan survei dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum lokasi penelitian. Informasi yang dikumpulkan pada tahap ini adalah karakteristik air asam tambang, ketersediaan lahan untuk konstruksi rawa buatan, bahan-bahan in

situ yang dapat digunakan dalam pembuatan rawa buatan, dan jenis tanaman yang

tersedia di sekitar lokasi penelitian.

Rancangan rawa buatan

Rancangan rawa buatan dibuat berdasarkan hasil survei pendahuluan. Rawa buatan dirancang menyerupai kolam-kolam yang saling menyambung yang terdiri dari dua organic wall dan tiga kolam pertumbuhan yang batasi dengan tanggul (Gambar 6).

a. Organic wall

Organic wall merupakan tumpukan bahan organik segar yang ditempatkan

pada parit dengan kedalaman ± 0,6 meter dan lebar 1 meter, dengan panjang disesuaikan dengan lokasi. Organic wall berfungsi sebagai area yang dapat mempercepat kondisi reduktif pada rawa buatan.

b. Kolam Pertumbuhan

Kolam pertumbuhan (KP) merupakan area yang ditanami dengan tanaman rawa. Kolam pertumbuhan dibuat dalam ukuran yang berbeda. Perbedaan ukuran merupakan penyesuaian terhadap bentuk lokasi yang ada dan fungsi kolam. Kolam pertama ditanami dengan Ekor Kucing (Typha sp.), kolam kedua ditanami dengan Darendeng (Cyperus sp.), dan pada kolam terakhir ditumbuhkan Eceng Gondok (Eichornia crassipes).

c. Tanggul

Setiap komponen rawa buatan dibatasi oleh tanggul berupa tumbukan material

overburden yang disusun dengan lebar permukaan 1 meter. Untuk

memperkecil kemiringan tanggul dan bahaya longsoran material, tanggul dibuat bertingkat dengan lebar teras (bench) 0,5 meter (Gambar 7).


(31)

Organic wall dan kolam dihubungkan dengan pipa paralon PVC

berdiameter 4 inchi (±10 sentimeter) yang dipasang di bawah tanggul (Gambar 7). Pipa juga dipasang pada pintu air di inlet, sedangkan di outlet saluran berupa parit tidak dipasangi pipa.

3 m 0,2 m

1 m 0,5 m 1 m 1 m 1 m 1 m 1 m 1 m 3 m 0.5 m

Gambar 7 Penampang melintang konstruksi tanggul, parit dan kolam

Parit Kolam

Tanggul

Pintu Air (overflow) Sekat kolam

Gambar 6 Layout konstruksi rawa buatan di lokasi penelitian

22 m 8 m 8 m Sediment pond 2 m KP 1

4m 23 m 28 m 7m 7 m Organic Wall Hutan Tanggul Keterangan : Settling pond KP 2 Pipa Inlet Outlet KP 3 Area Genangan AAT Area Genangan AAT


(32)

Konstruksi Rawa Buatan

Proses pembangunan rawa buatan terdiri atas beberapa tahap kegiatan yang dilakukan secara berurutan, yaitu:

a. Penimbunan Area Genangan

Penimbunan dilakukan terhadap area genangan untuk memperoleh lahan yang kering, sebagai dasar bagi konstruksi rawa buatan. Kegiatan penimbunan sepenuhnya dilakukan dengan menggunakan excavator PC 200. Bahan timbunan berupa material overburden (OB) yang tidak berpotensi menghasilkan kemasaman atau Non Acid Formation (NAF). Penimbunan dilakukan dengan mengeruk lumpur dari area genangan sampai diperoleh dasar keras. Lumpur ditranslokasi ke tempat penampungan sementara yang lokasinya tidak jauh dari lokasi konstruksi. Material OB dimasukkan ke dalam rawa sambil dimampatkan. Hal ini dilakukan setahap demi setahap sampai diperoleh luasan area timbunan yang diinginkan.

b. Perhitungan Elevasi

Perhitungan elevasi dilakukan untuk menentukan titik inlet dan outlet. Titik

outlet rawa buatan yang harus dibuat lebih tinggi atau minimal sejajar dengan

daerah sekitarnya. Berdasarkan perhitungan diperoleh beda tinggi antara inlet dan outlet yang digunakan untuk menetapkan letak dan ketinggian masing-masing pintu air di setiap komponen rawa buatan.

c. Konstruksi Komponen Rawa

Konstruksi bangunan rawa diawali dengan pembuatan tanggul pembatas antara area yang sudah ditimbun dengan area genangan AAT untuk mencegah adanya aliran air ke dalam area yang sudah ditimbun. Konstruksi komponen rawa buatan diawali dengan pembuatan parit satu untuk penempatan organic

wall satu, komponen ini merupakan yang paling dekat dengan titik inlet.

Pembuatan parit untuk penempatan organic wall dilakukan dengan menggali permukaan timbunan sampai kedalaman 0,6 meter. Material hasil penggalian digunakan untuk pembuatan tanggul pembatas. Konstruksi kolam pertumbuhan juga dibuat dengan menggali sampai kedalaman 0,5 meter (untuk kolam pertumbuhan satu), 0,2 meter untuk kolam pertumbuhan dua, dan 0,5 meter untuk kolam pertumbuhan tiga.


(33)

d. Pengisian Komponen Rawa

Pada tahap ini dilakukan pengisian rawa dengan material pengisi, yang terdiri dari: batu gamping, lumpur AAT, bahan organik segar dan bahan organik yang sudah dikeringkan. Pengisian komponen rawa dilakukan setelah konstruksi masing-masing komponen selesai. Komposisi bahan pengisi untuk masing-masing komponen rawa buatan dapat dilihat pada Gambar 8.

e. Perapihan Konstruksi Rawa

Pada tahap ini dilakukan perapihan terhadap tanggul, meliputi pemeriksaan kondisi tanggul dan perbaikan terhadap tanggul yang berpotensi rusak. Upaya pencegahan kerusakan tanggul terutama pada tanggul terluar dilakukan dengan pemasangan siring atau pelapisan tanggul terluar dengan menggunakan kayu ulin (Eusideroxylon zwageri). Pada tahap ini juga dilakukan pemasangan pipa PVC berdiameter 4 inchi sebagai penghubung antar komponen termasuk pada pintu masuk dari titik inlet ke rawa buatan. Pipa dilengkapi dengan pintu air sederhana sehingga sewaktu-waktu dapat ditutup dan dibuka.

Batu kapur (CaCO3)

Bahan organik segar

Bahan organik kering Lumpur endapan settling pond Kolam

Pertumbuhan satu Pertumbuhan dua Kolam

Organic Wall satu

Organic Wall dua

Lumpur endapan AAT

10cm

50 cm

20cm 20cm

50cm

30cm 60cm

20cm 30cm

30cm 10cm

10cm 40cm

Permukaan air Pipa

Keterangan :

Gambar 8 Komposisi bahan pengisi pada komponen rawa buatan

Kolam Pertumbuhan


(34)

Inkubasi Anaerob

Inkubasi dilakukan dengan menggenangi seluruh area rawa buatan dalam sistem tertutup. Inkubasi dilakukan dua kali yaitu dengan air hujan dan AAT. Penggenangan dengan air hujan dilakukan untuk meratakan permukaan substrat padat sebelum penanaman. Sedangkan inkubasi berikutnya dilakukan setelah rawa buatan lengkap, di mana kolam pertumbuhan telah selesai ditanami. Inkubasi ini dilakukan sampai diperoleh kondisi rawa buatan yang reduktif di bawah cekaman AAT.

Selama proses inkubasi dilakukan pemantauan terhadap nilai potensial redoks (Eh), pH dan konsentrasi sulfat yang terlarut dalam air. Potensial redoks merupakan parameter utama untuk mengukur intensitas reduksi, dan mengidentifikasi reaksi utama yang terjadi (Sanchez 1976). Inkubasi anaerob dilakukan sampai rawa buatan dinyatakan dalam keadaan tereduksi. Mengacu kepada Patrick dan Mahapatra (1968), nilai Eh untuk keadaan tereduksi adalah kurang dari +100 mV. Pada kondisi tereduksi, pH air genangan akan stabil pada nilai 6 sampai 7.

Penanaman

Penanaman dilakukan setelah rawa buatan diinkubasi dengan air hujan selama beberapa hari. Kolam pertumbuhan pertama ditanami dengan tumbuhan ekor kucing (Typha sp.) dengan jarak tanam 75 sentimeter x 75 sentimeter, kolam pertumbuhan dua ditanami dengan Darendeng (Cyperus sp.) dengan jarak tanam 30 sentimeter x 30 sentimeter, dan pada kolam pertumbuhan tiga ditumbuhkan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) yang disebar langsung di atas kolam.

Pengoperasian Sistem Rawa Secara Kontinyu

Pengoperasian secara kontinyu dilakukan setelah tahap inkubasi anaerob dengan AAT selesai. Sebelum pengoperasian, air genangan dari dalam rawa buatan dialirkan melalui titik outlet. Pengoperasian dilakukan dengan mengalirkan AAT masuk ke sistem rawa melalui titik inlet dan keluar dari titik outlet. Debit AAT dikontrol melalui pintu air di inlet. Monitoring kualitas air dilakukan dua hari sekali pada titik-titik pengamatan yang telah ditentukan (Gambar 9).


(35)

Pengambilan contoh dan Pengukuran

Contoh yang diambil dan dilakukan pengukuran meliputi contoh: material

overburden, air, substrat padat, dan tanaman. Masing-masing contoh yang telah

diambil kemudian dianalisis di laboratorium, metode pengukuran contoh dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Metode pengukuran contoh

Jenis Contoh Parameter Analisis Metode Pengukuran

Overburden Potensi kemasaman NAG-test

Air pH dan Eh Elektroda

Sulfat terlarut Turbidimetri

Fe dan Mn terlarut AAS

Substrat padat pH Elektroda

Sulfat Turbidimetri

Fe dan Mn terlarut AAS

Tanaman Produktivitas Berat biomassa ubinan

Total Sulfur Turbidimetri

Fe dan Mn Total AAS

a. Contoh Material Overburden

Pengambilan contoh dilakukan terhadap material overburden (OB) pada disposal yang menjadi penyebab timbulnya AAT di lokasi penelitian dan material OB yang digunakan untuk penimbunan area genangan. Contoh OB dari disposal diambil secara komposit dengan dua kali ulangan pada disposal yang paling dekat dengan lokasi penelitian, sementara contoh OB untuk penimbunan diambil secara komposit pada tumpukan material yang telah ditranslokasi dari pit tambang aktif ke lokasi penelitian. Analisis dilakukan terhadap potensi OB dalam memproduksi asam secara kuantitatif yang ditetapkan dengan uji net acid generation (NAG-test). Prosedur analisis dapat dilihat pada Lampiran 1.


(36)

b. Contoh Air

Pengambilan contoh air dilakukan pada saat rawa buatan diinkubasi dengan AAT dan pada tahap pengoperasian sistem rawa secara kontinyu. Pengamatan karakteristik air pada tahap inkubasi dilakukan setiap hari selama 10 hari. Awal inkubasi dihitung pada 2 minggu setelah penanaman. Pengamatan pada tahap pengoperasian rawa secara kontinyu dilakukan dua hari sekali selama 3 minggu yang dihitung dari satu hari setelah inkubasi selesai. Gambar 9 menggambarkan posisi titik pengambilan contoh air pada setiap komponen rawa buatan. Contoh air diambil pada kedalaman ± 10 centimeter yang dilakukan secara komposit dari tepi dan tengah. Contoh air dikemas pada botol sample ± 600 ml, kemudian disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu ± 4oC sampai contoh dianalisis. Penetapan pH dan Eh air dilakukan langsung di lapang (on site) dengan menggunakan pH dan Eh meter. Analisa kadar sulfat terlarut dilakukan dengan metode turbidimetri, yang diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 435 nm. Penetapan kadar besi dan mangan dilakukan dengan menggunakan AAS.

c. Contoh Substrat Padat

Contoh substrat padat diambil sebelum inkubasi dan sesudah pengoperasian rawa buatan secara kontinyu. Contoh sedimen diambil sebelum inkubasi dan sesudah pengoperasian secara kontinyu. Pengambilan contoh sedimen pada parit dilakukan dengan komposit. Contoh sedimen di kolam, diambil dari daerah perakaran tanaman yang dijadikan contoh (Gambar 9). Contoh diambil sebanyak ± 1 kilogram dan dikemas tertutup pada plastik sample. Sifat substrat padat yang dianalisis yaitu: pH, total sulfur (sebagai sulfat), dan konsentrasi besi dan mangan terlarut. Penetapan pH substrat dilakukan terhadap pH aktual (pH H2O) yang diukur dengan pH meter. Penetapan total

sulfur dilakukan terhadap ekstraktan contoh menggunakan KH2PO4 (500 ppm

P), pengukuran total sulfur dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Penetapan konsentrasi besi dan mangan dilakukan terhadap ekstraktan contoh dengan pelarut HCl 0,05 N yang diukur dengan AAS.


(37)

Gambar 9 Lokasi pengambilan contoh air, substrat, dan tanaman

Lokasi Pengambilan Contoh Air :

Inlet : kode titik contoh air sebelum masuk

ke rawa buatan

1: kode titik contoh pada organic wall satu 2 : kode titik contoh pada kolam

pertumbuhan satu

3 : kode titik contoh pada organic wall dua 4 : kode titik contoh pada kolam

pertumbuhan dua

5 : kode titik contoh pada kolam pertumbuhan tiga

Outlet : kode titik contoh air setelah masuk

ke rawa buatan

a : posisi titik pada komponen rawa buatan yang lebih dekat ke inlet

b : posisi titik pada komponen rawa buatan yang lebih dekat ke outlet

Lokasi Pengambilan Contoh Substrat : OW1: kode titik contoh pada organic

wall satu

KP1 : kode titik contoh pada kolam pertumbuhan satu

OW2 : kode titik contoh pada organic

wall dua

KP2 : kode titik contoh pada kolam pertumbuhan dua

1, 2, 3, 4 : ulangan pengambilan contoh substrat T2 T1 T4 T3 E1 Inlet Outlet 1a 1b 2a 2b 3a 3b

4a 4b

5 C1 C2 C4 C3 OW1-3 KP1-1 KP1-2 E2

= Lokasi Pengambilan Contoh Air = Lokasi Pengambilan Contoh Tanaman = Lokasi Pengambilan Contoh Substrat Keterangan :

Lokasi Pengambilan Contoh Tanaman : T : kode contoh tanaman Typha sp C : kode contoh tanaman Cyperus sp E : kode contoh tanaman Echornia

crassipes

1, 2, 3, 4 : ulangan pengambilan contoh tanaman

OW1-2 OW1-1

KP1-4 KP1-3 OW2-1 OW2-2 OW2-3 KP2-2 KP2-1 KP2-3 KP2-4


(38)

d. Contoh Tanaman

Pengambilan contoh tanaman dilakukan setelah tahap pengoperasian secara kontinyu selesai. Pada saat itu, tanaman berumur 42 hari. Pemanenan tanaman dilakukan dengan cara ubinan. Ukuran plot ubinan 1,5 meter x 1,5 meter untuk tanaman Typha sp. sedangkan untuk Cyperus sp. plot ubinan berukuran 0,6 meter x 0,6 meter. Pengukuran berat tanaman dilakukan terhadap tanaman yang diambil per ubinan yang akan dikonversi ke dalam produktivitas tanaman (ton/ha). Penetapan total sulfur dilakukan terhadap ekstraktan contoh tanaman yang diperoleh dari pengabuan basah, pengukuran dilakukan dengan Spektrofotometer pada panjang gelombang 420 nm. Penetapan konsentrasi besi dan mangan dilakukan terhadap ekstraktan contoh tanaman yang diperoleh dari pengabuan kering dengan pelarut HCl 0,1 N, pengukuran dilakukan dengan AAS.

Analisis dan Penyajian Data

Data hasil pengukuran baik yang dilakukan di lapang maupun di laboratorium disajikan dalam bentuk grafik dan tabel untuk melihat trend data dari titik inlet sampai outlet pada setiap parameter yang dianalisis. Analisis data juga dilakukan terhadap hasil pengukuran konsentrasi besi, mangan, dan sulfat pada air untuk mengetahui persentase pengurangan atau efisiensi reduksi (R) dari kadar unsur-unsur tersebut setelah dikelola dalam sistem rawa buatan.

Keterangan :

R (Removal) = Efesiensi Reduksi (%)

[Me]water in = Konsentrasi bahan polutan pada inlet

[Me]water out = Konsentrasi bahan polutan pada outlet

X 100%

[Me]water in – [Me]water out

[Me]water in


(39)

DESKRIPSI KONDISI LOKASI PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Tempat penelitian berada pada catchment area WMP 12 dengan luas area ± 142,16 Ha. Lokasi penelitian merupakan area pengelolaan air asam tambang (AAT) yang dilengkapi dengan kolam penampungan (sediment pond) dan kolam pengelolaan dan pengendapan (settling pond). Debit AAT yang masuk ke

sediment ponds saat curah hujan tinggi mencapai 12,43 m3/s. Air asam tambang yang ditampung pada sediment pond dialirkan ke settling pond melalui daerah pelembahan sempit yang memanjang (Gambar 10). Menurut ketentuan US-EPA (1988) bentuk lahan memanjang seperti kanal sempit sesuai untuk pembangunan rawa buatan.

Gambar 10 Peta situasi lokasi penelitian Area Revegetasi

Rawa

WMP Baru Sediment

Pond

Lahan kosong

Area Genangan

Hutan

WMP 12

Area Rawa Buatan

Hutan

Batas Catchment Area WMP 12 Arah aliran air Jalan

Gorong-gorong Keterangan :

Sungai Segah Catchment Area WMP 12

Kantor SMO

Peta Situasi Lokasi Penelitian

Settling Pond


(40)

Lokasi penelitian merupakan daerah aliran AAT yang tergenang sepanjang tahun, sehingga sering disebut sebagai rawa. Namun, rawa ini belum bisa mengelola AAT secara optimal. Hal ini terbukti dari nilai pH yang tidak berbeda nyata antara sebelum memasuki rawa dan setelah keluar dari rawa. Oleh karena itu, input teknologi diperlukan untuk meningkatkan kinerja rawa sebagai tempat pengelolaan AAT. Konversi lahan tergenang tersebut menjadi rawa buatan diharapkan dapat meningkatkan fungsi rawa sebagai tempat pengelolaan AAT.

Karakteristik Air Asam Tambang

Air asam tambang yang dikelola di lokasi penelitian sepenuhnya merupakan limpasan hujan dari area revegetasi (disposal) dan jalan tambang dan bukan hasil pemompaan dari pit tambang aktif. Air asam ini timbul akibat adanya material overburden (OB) yang berpotensi masam ditimbun pada area revegetasi (disposal) dengan lapisan tanah yang tipis (kurang dari 60 sentimeter). Erosi pada permukaan tanah menyebabkan material ini tersingkap, sehingga material ini lebih mudah teroksidasi dan bereaksi dengan air menghasilkan AAT.

Hasil analisis pada Tabel 2 menunjukkan bahwa contoh OB dapat diklasifikasikan kepada golongan Tipe 2 yakni batuan dengan potensi pembentuk asam kapasitas rendah (Badan Standardisasi Nasional, 2001).

Tabel 2 Karakteristik OB dari disposal berdasarkan uji NAG

Kode

Sample % S

pH NAG

NAG pH 4,5 (Kg H2SO4/ton)

Tipe

Golongan Jenis Batuan

A-1 0,22 3,38 3,72 Tipe 2 Potensi Pembentuk

Asam Kapasitas Rendah

A-2 0,18 3,44 2,35 Tipe 2 Potensi Pembentuk

Asam Kapasitas Rendah

Keterangan:

A : Agathis = disposal paling dekat dengan lokasi penelitian 1, 2 : ulangan contoh

Asam berupa H2SO4 dapat dihasilkan dari proses oksidasi pirit (FeS2) yang

merupakan mineral penyusun pada OB. Stumm dan Morgan (1981) menguraikan reaksi oksidasi pirit (FeS2) dalam reaksi berikut:


(41)

Pada reaksi di atas pirit (FeS2) dioksidasi membentuk besi ferro (Fe2+),

sulfat (SO42-) dan beberapa proton penyebab kemasaman (H+), sehingga

lingkungan menjadi lebih masam. Hal ini menjadi menjadi penyebab timbulnya AAT. Selain itu, potensi kemasaman juga dapat berasal dari oksidasi dan hidolisis besi terlarut (Watzlaf et al., 2004) melalui reaksi berikut:

Fe2+ + 0,25 O2 + 1,5 H2O ----→ FeOOH + 2 H+

Fe3+ + 2 H2O ----→ FeOOH + 3 H+

Karakteristik AAT di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai pH air yang rendah (<4,5) menunjukkan bahwa air asam tambang di lokasi penelitian termasuk tipe net acid (Watzlaf et al., 2004).

Tabel 3 Karakteristik air asam tambang di lokasi penelitian

Kriteria data Debit

(m3/det) pH

Fe Mn SO4

...(mg/l)...

Minimum 0,0002 2,8 2,6 3,4 350,8

Maksimum 0,3806 3,4 13,1 5,6 654,2

Rata-rata 0,0235 3,2 7,3 4,1 450,9

Karakteristik Bahan In Situ

Bahan-bahan in situ meliputi bahan yang tersedia di sekitar lokasi penelitian yang dapat digunakan pada pembangunan rawa buatan. Bahan-bahan in

situ tersebut meliputi: lumpur, batu gamping dan bahan organik. Berikut

penjelasan karakteristik masing-masing bahan in situ tersebut: Lumpur

Lumpur yang digunakan terdiri dari lumpur endapan AAT pada area tergenang (lumpur AAT) dan lumpur endapan dari kolam settling pond (lumpur

settling pond). Lumpur AAT berwarna kuning kecoklatan pada permukaan dan

pada bagian bawah menjadi abu-abu kehitaman dan berbau busuk. Sedangkan lumpur settling pond merupakan endapan dari kolam pengelolaan AAT yang dilakukan secara active treatment (pengapuran). Permukaan lumpur ini berwarna lebih terang dari lumpur AAT dan berwarna abu-abu kehitaman pada bagian bawah (dasar kolam).


(42)

Tabel 4 Karakteristik kimia lumpur

Jenis Contoh pH

Fe2+ Mn2+ SO42-

………mg/kg…...………….

Lumpur AAT 3,2 121,2 10,5 307,4

Lumpur Settling Ponds 7,7 tr 30,5 222,2

Keterangan : tr = trace (tidak terukur)

Lumpur AAT yang dipilih untuk digunakan sebagai bahan pengisi pada

organic wall adalah lumpur pada bagian bawah yang berwarna abu kehitaman dan

mengeluarkan bau busuk. Diharapkan pada lumpur AAT ini terdapat berbagai jenis bakteri pereduksi termasuk bakteri pereduksi sulfat. Bakteri pereduksi sulfat (BPS) merupakan bakteri anaerob obligat yang tumbuh pada lingkungan mikro yang anaerob (Willow dan Cohen, 2003). Sedangkan lumpur dari settling pond digunakan sebagai bahan pengisi pada kolam pertumbuhan. Mengingat nilai pH lumpur settling pond yang tinggi (lebih dari 7), maka pada kolam pertumbuhan tidak perlu ditambahkan batu gamping pada dasar kolam.

Batu Gamping

Batu gamping (kapur) yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari pegunungan kapur di wilayah Suaran, Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Batu kapur berwarna putih kekuningan dengan diameter 10-20 cm. Daya netralisasi kapur ± 85 % (prosedur dan hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4). Batu gamping dihamparkan pada dasar parit organic wall dengan tujuan dapat meningkatkan nilai pH pada substrat, sehingga dapat mendukung pertumbuhan BPS.

Bahan Organik

Bahan organik yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan organik segar dan bahan organik yang sudah dikeringkan. Bahan organik segar diperoleh dari pemangkasan rumput liar yaitu rumput kawat (Brachiaria sp.) dan beberapa jenis Legum Cover Crop (LCC) di antaranya Centrosema sp. dan Colopogonim sp. yang terdapat di sekitar lokasi penelitian.


(43)

Bahan organik kering merupakan bahan organik yang dikumpulkan dalam kondisi kering atau dikeringkan terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai bahan pengisi pada komponen rawa buatan. Bahan organik kering meliputi: serasah daun yang dikumpulkan dari hutan, daun-daun yang berasal dari pemangkasan dahan pohon di pinggir jalan tambang dan hasil pemangkasan tanaman pakis liar (Cyathea sp. yang dikeringkan.


(44)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Proses Konstruksi Rawa Buatan Penimbunan Area Genangan

Proses konstruksi rawa buatan diawali dengan penimbunan area genangan AAT. Total luas area yang terganggu akibat proses penimbunan area genangan untuk pembangunan rawa buatan mencapai 1.233 m2. Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 5, material overburden (OB) yang digunakan untuk penimbunan termasuk material yang tidak berpotensi menyumbang kemasaman atau Non Acid

Formation (NAF).

Tabel 5 Hasil uji NAG terhadap OB untuk bahan timbunan

Kode Contoh % S pH NAG NAG pH 4,5

(Kg H2SO4/ton)

Jenis Batuan

R-1 0,20 6,34 0 NAF

R-2 0,18 6,61 0 NAF

Keterangan :

R = Riung; tempat pengambilan contoh material OB 1,2 : ulangan contoh

Material OB diperoleh dari hasil blasting di tambang aktif, yakni blok B-west. Material ditranslokasi ke tempat penelitian menggunakan dump truck. Total material OB yang digunakan untuk penimbunan dan konstruksi rawa ±1.850 m3.

Waktu yang diperlukan untuk proses penimbunan ini adalah 20 hari kerja unit excavator dan 10 hari kerja unit dump truck. Pada prakteknya di lapangan waktu yang diperlukan lebih dari hari kerja efektifnya. Pada waktu tertentu

excavator dan dump truck harus dalam kondisi standby dikarenakan beberapa hal

seperti: kerusakan alat, hujan, dan tidak tersedianya material.

Cuaca merupakan kendala utama dalam proses penimbunan. Jika terjadi hujan, maka excavator dan dump truck tidak diperbolehkan untuk dioperasikan. Hal ini disebabkan oleh kondisi jalan tambang yang licin apabila terkena air hujan sehingga dapat membahayakan operasional excavator dan dump truck. Hal ini berlaku tidak saja pada saat hujan turun, melainkan setelah hujan, sampai kondisi jalan dinyatakan aman untuk bekerja.


(45)

Kendala lain yang dihadapi adalah ketersediaan OB yang bersifat NAF yang terbatas. Material NAF hanya diperoleh dari pit tambang tertentu saja, dan pada lapisan tertentu saja. Oleh karena itu, material ini belum tentu dihasilkan pada setiap kali blasting di lokasi depositnya, sehingga diperlukan waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan material OB sampai jumlahnya memenuhi kebutuhan penimbunan.

Konstruksi dan Pengisian Komponen Rawa

Konstruksi rawa buatan dilakukan di atas area timbunan. Total luas area konstruksi rawa buatan mencapai 961 m2, sedangkan total area yang tergenangi mencapai 580 m2. Pengerjaan konstruksi dan pengisian komponen rawa dapat diselesaikan dalam 20 hari unit kerja excavator dan 10 hari unit kerja dump truck.

Dimensi ukuran (panjang) untuk masing-masing komponen dibuat tidak seragam. Perbedaan ukuran merupakan penyesuaian terhadap bentuk lokasi yang ada. Kolam pertumbuhan satu dibuat lebih besar dan dalam, hal ini berkaitan dengan fungsi kolam di mana selain sebagai area pertumbuhan juga merupakan kolam pengendapan dan area keseimbangan debit air. Kolam pertumbuhan dua dibuat lebih kecil dari kolam pertumbuhan satu. Hal ini disebabkan oleh pertimbangan bahwa di kolam pertumbuhan dua aliran air akan lebih lambat dibandingkan pada kolam pertumbuhan satu, sehingga tidak diperlukan area yang luas dan dalam untuk mengendapkan sisa bahan polutan (sulfat, besi dan mangan). Sementara itu, tanaman Eceng Gondok ditempatkan pada kolam pertumbuhan tiga agar dapat menyerap sisa-sisa bahan polutan yang belum diserap di komponen rawa buatan sebelumnya.

Pengerjaan masing-masing komponen tidak dilakukan dengan berurutan (dari hulu ke hilir), oleh karena bentuk rawa buatan tidak memanjang dan proses pengerjaan yang harus menyesuaikan dengan kemudahan akses dari alat-alat berat. Komponen pertama yang dibentuk adalah organic wall satu (OW 1) yang merupakan komponen yang paling dekat dengan inlet. Konstruksi dilanjutkan dengan pembentukkan kolam pertumbuhan satu (KP 1), kemudian kolam pertumbuhan tiga (KP 3), kolam pertumbuhan dua (KP 2) dan terakhir membuat


(46)

Pengisian batu gamping dan lumpur dilakukan dengan menggunakan

excavator. Untuk menghindari kerusakan pada konstruksi yang sudah dibangun,

maka pengisian komponen rawa dilakukan setelah masing-masing komponen dibentuk. Namun, penambahan bahan organik dilakukan secara bersamaan, yaitu setelah seluruh konstruksi komponen rawa selesai.

Perbedaan ukuran masing-masing komponen rawa berakibat terhadap perbedaan jumlah bahan pengisi yang ditambahkan (Tabel 6). Perhitungan volume lumpur yang digunakan dilakukan dengan pendekatan bentuk bucket yang menyerupai setengah lingkaran dengan luas permukaan bucket 1 m2, kedalaman 0,8 meter, dan untuk satu kali pengerukan bucket tidak sampai penuh ke permukaan, oleh karena itu, dapat diperkirakan bahwa volume lumpur untuk satu kali pengerukan ± 0,5 m3. Jumlah lumpur yang digunakan merupakan perkalian antara volume bucket dan frekuensi penambahannya.

Tabel 6 Distribusi bahan yang digunakan pada pengisian rawa buatan

Komponen Rawa Buatan

Batu Gamping

Lumpur AAT

Lumpur Settling Ponds

Bahan Organik Segar

Bahan Organik Kering

OW 1 3 m3 6 m3 - 225 Kg -

KP 1 - - 50 m3 - 401 Kg

OW 1 3 m3 6 m3 - 330 Kg -

KP 2 - - 10 m3 - 185 Kg

Kendala utama yang dihadapi pada proses konstruksi komponen rawa adalah curah hujan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi berakibat kepada tingginya debit air yang masuk ke lokasi penelitian, yang dapat mengakibatkan rusaknya konstruksi rawa buatan yang telah terbentuk. Untuk mengurangi resiko kerusakan akibat air, maka tanggul bagian terluar dilapisi dengan siring.

Sebenarnya, fluktuasi debit air yang tinggi dapat diatasi dengan mengoptimalkan fungsi sediment ponds. Optimalisasi sediment pond dapat dilakukan dengan memperbesar daya tampungnya yang dapat dilakukan dengan memperluas ataupun memperdalam sediment ponds. Selain itu, pengaturan debit AAT dapat dilakukan melalui pemasangan pintu air pada sediment ponds yang dilengkapi dengan pengatur debit.


(47)

Penanaman

Penanaman dilakukan setelah inkubasi tahap pertama (inkubasi dengan air hujan) selesai. Rawa buatan dikondisikan pada kadar air ”macak-macak” sehingga proses penanaman lebih mudah dilakukan. Tanaman yang dipindahkan dipilih tanaman induk yang berukuran besar.

Penyusunan tata letak tanaman disesuaikan dengan lingkungan tumbuhnya. Kolam pertama ditanami dengan tumbuhan Ekor Kucing (Typha sp.), yang dianggap sebagai tanaman yang toleran terhadap pH masam dan genangan air yang tinggi. Selanjutnya pada kolam kedua ditanami dengan Darendeng (Cyperus sp.), dan di kolam pertumbuhan ketiga ditanami dengan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes). Rincian jumlah tanaman yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Rekapitulasi jumlah bibit tanaman yang digunakan

Jenis Tanaman Luas Tanam Populasi

Ekor Kucing (Typha sp.) 262 m2 348 batang

Darendeng (Cyperus sp.) 42 m2 125 rumpun

Eceng gondok (Eichhornia crassipes) 8 m2 30 rumpun

Hasil Inkubasi Anaerob

Inkubasi anaerob dilakukan terhadap rawa buatan dengan komponen yang lengkap. Pada hari pertama inkubasi tanaman telah berumur satu minggu. Inkubasi dilakukan dengan mengalirkan air asam tambang dari inlet ke dalam sistem rawa buatan. Setelah seluruh permukaan jenuh dengan AAT seluruh pintu air ditutup sehingga dapat dipastikan masing-masing komponen tidak terhubung dan tidak ada air yang mengalir dari komponen satu ke komponen yang lainnya.

Data hasil pengukuran potensial redoks selama inkubasi disajikan pada Gambar 11. Pengukuran dilakukan pada setiap titik pengamatan yang telah ditetapkan (Gambar 9). Hasil pengukuran Eh untuk setiap komponen merupakan nilai rata-rata dari pengukuran pada setiap titik pengamatan dalam suatu komponen.


(48)

Gambar 11 Hasil pengukuran potensial redoks (Eh) pada setiap komponen rawa selama inkubasi anaerob

Berdasarkan Gambar 11, secara keseluruhan nilai Eh air genangan makin menurun seiring bertambahnya waktu inkubasi. Kondisi reduktif (Eh mencapai kurang dari 100 mV) untuk masing-masing komponen dicapai pada empat hari setelah inkubasi (4 HSI), kecuali untuk kolam pertumbuhan pertama (KP-1), dimana kondisi reduktif terjadi pada hari kelima setelah inkubasi (5 HSI).

Hasil pengukuran Eh pada hari pertama inkubasi (AI) menunjukkan bahwa potensial redoks organic wall satu dan dua (OW 1 dan OW 2) lebih rendah dari potensial redoks kolam pertumbuhan satu dan dua (KP 1 dan KP 2). Perbedaan intensitas reduksi pada kedua komponen tersebut diakibatkan oleh perbedaan jenis bahan organik yang ditambahkan ke dalam komponen rawa. Bahan organik segar yang ditempatkan pada organic wall lebih cepat terdekomposisi dibandingkan dengan bahan organik yang sudah dikeringkan. Hal ini dapat dilihat dari warna air genangan pada organic wall yang berwarna kehitaman dan mengeluarkan bau busuk, yang menandakan bahwa bahan organik tersebut telah mengalami dekomposisi.

Kandungan protein, karbohidrat, dan lemak pada bahan organik memiliki korelasi positif terhadap kapasitas bahan tersebut sebagai donor elektron dalam proses reduksi sulfat, sedangkan kandungan lignin berkorelasi negatif. Bahan organik dengan kandungan protein yang tinggi akan didekomposisi lebih cepat

-50 0 50 100 150 200 250

AI 1 HSI 2 HSI 3 HSI 4 HSI 5 HSI 6 HSI 7 HSI 8 HSI 9 HSI OW 1 KP 1 OW 2 KP 2


(1)

69

Lampiran 9 Hasil pengukuran pH pada rawa buatan selama pengoperasian secara kontinyu Hari

pengamatan

Debit (L/s)

pH pada titik-titik pengamatan

Inlet 1a 1b 2a 2b 3a 3b 4a 4b 5 Outlet

AP*) 0,345 3,02 3,45 3,58 3,83 3,94 4,02 4,18 4,31 4,58 4,54 4,59

2 SP**) 0,195 3,22 3,4 3,65 4,02 4,34 4,42 5,56 5,77 5,85 5,75 5,76

4 SP 0,118 3,12 3,52 3,85 4,22 4,49 4,56 6,16 6,32 6,44 6,36 6,34

6 SP 0,118 3,08 3,93 4,16 4,52 4,84 5,15 6,26 6,49 6,59 6,6 6,58

8 SP 0,230 3,06 3,84 4,31 5,41 5,65 5,81 6,4 6,65 6,75 6,7 6,71

10 SP 0,190 3,05 3,28 3,57 4,41 5,57 5,59 6,12 6,25 6,55 6,63 6,67

12 SP 0,235 3,12 3,11 3,04 3,97 5,28 5,07 5,47 5,78 6,06 6,34 6,36

14 SP 0,190 2,84 3,02 3,14 3,63 4,29 4,51 5,52 5,81 6,18 6,25 6,28

16 SP 0,148 3,08 3,2 3,32 3,83 4,43 4,68 4,95 5,97 6,39 6,34 6,35

Keterangan :

Inlet : titik sebelum masuk ke rawa buatan

1a : titik setelah pintu masuk dari inlet ke organic wall satu 1b : titik sebelum pintu keluar dari organic wall satu

2a : titik setelah pintu masuk dari organic wall satu ke kolam pertumbuhan satu 2b : titik sebelum pintu keluar dari kolam pertumbuhan satu

3a : titik setelah pintu masuk dari kolam pertumbuhan satu ke organic wall dua 3b : titik sebelum pintu keluar dari organic wall dua

4a : titik setelah pintu masuk dari organic wall dua ke kolam pertumbuhan dua 4b : titik sebelum pintu keluar dari kolam pertumbuhan dua

5 : titik di kolam pertumbuhan 3

Outlet : titik setelah masuk ke rawa buatan

*)

: AP = awal pengoperasian

**) : HSP = hari setelah pengoperasian


(2)

Lampiran 10 Hasil pengukuran konsentrasi sulfat terlarut pada rawa buatan selama pengoperasian secara kontinyu Hari

pengamatan

Debit (l/s)

Konsentrasi sulfat terlarut (mg/l) pada titik-titik pengamatan

Inlet 1a 1b 2a 2b 3a 3b 4a 4b 5 Outlet

AP*) 0,545 257,69 244,23 250,00 150,00 173,08 126,92 173,08 128,85 134,62 130,77 151,92 2 HSP**) 0,195 306,00 274,00 210,00 206,00 194,00 200,00 192,00 198,00 196,00 254,00 188,00 4 HSP 0,118 361,36 263,64 197,73 243,18 186,36 197,73 170,45 215,91 202,87 325,00 256,82 6 HSP 0,118 381,82 340,91 377,27 213,64 234,09 240,91 200,00 290,91 254,55 304,55 245,45 8 HSP 0,230 297,73 206,82 220,45 125,00 131,82 140,91 213,64 184,09 200,00 259,09 193,18 10 HSP 0,190 259,62 213,46 221,15 282,69 163,46 378,85 326,92 294,23 328,85 296,15 257,69 12 HSP 0,235 467,31 401,92 417,31 323,08 309,62 300,00 307,69 280,77 278,85 344,23 263,46 14 HSP 0,190 286,54 305,77 257,69 250,00 250,00 240,38 230,77 236,54 213,46 223,08 236,54 16 HSP 0,148 373,08 403,85 350,00 276,92 290,38 340,38 319,23 236,54 234,62 209,62 232,69 Keterangan :

Inlet : titik sebelum masuk ke rawa buatan

1a : titik setelah pintu masuk dari inlet ke organic wall satu 1b : titik sebelum pintu keluar dari organic wall satu

2a : titik setelah pintu masuk dari organic wall satu ke kolam pertumbuhan satu 2b : titik sebelum pintu keluar dari kolam pertumbuhan satu

3a : titik setelah pintu masuk dari kolam pertumbuhan satu ke organic wall dua 3b : titik sebelum pintu keluar dari organic wall dua

4a : titik setelah pintu masuk dari organic wall dua ke kolam pertumbuhan dua 4b : titik sebelum pintu keluar dari kolam pertumbuhan dua

5 : titik di kolam pertumbuhan 3

Outlet : titik setelah masuk ke rawa buatan

*)

: AP = awal pengoperasian

**) : HSP = hari setelah pengoperasian


(3)

Lampiran 11 Hasil pengukuran konsentrasi besi terlarut pada rawa buatan selama pengoperasian secara kontinyu Hari

pengamatan

Debit (l/s)

Konsentrasi besi terlarut (mg/l) pada titik-titik pengamatan

inlet 1a 1b 2a 2b 3a 3b 4a 4b 5 outlet

AP*) 0,545 7,86 6,54 2,52 1,99 1,26 0,93 0,59 1,65 0,39 0,28 1,29 2 HSP 0,195 5,62 3,10 2,31 0,74 0,53 0,41 0,37 0,02 0,05 0,20 0,93 4 HSP 0,118 5,78 3,00 2,87 0,48 0,37 0,11 0,10 0,01 0,01 0,09 0,54 6 HSP 0,118 6,16 2,17 2,09 0,88 0,65 0,27 0,34 0,01 0,00 0,14 0,87 8 HSP 0,230 6,45 2,54 2,14 0,65 0,87 0,60 0,73 0,49 0,39 0,30 1,30 10 HSP 0,190 7,40 2,47 2,87 0,75 0,45 0,13 0,05 0,02 0,07 0,09 0,21 12 HSP 0,235 12,35 2,44 2,90 0,10 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 14 HSP 0,190 6,72 2,47 2,65 0,17 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 16 HSP 0,148 5,95 2,17 2,05 0,09 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 Keterangan :

Inlet : titik sebelum masuk ke rawa buatan

1a : titik setelah pintu masuk dari inlet ke organic wall satu 1b : titik sebelum pintu keluar dari organic wall satu

2a : titik setelah pintu masuk dari organic wall satu ke kolam pertumbuhan satu 2b : titik sebelum pintu keluar dari kolam pertumbuhan satu

3a : titik setelah pintu masuk dari kolam pertumbuhan satu ke organic wall dua 3b : titik sebelum pintu keluar dari organic wall dua

4a : titik setelah pintu masuk dari organic wall dua ke kolam pertumbuhan dua 4b : titik sebelum pintu keluar dari kolam pertumbuhan dua

5 : titik di kolam pertumbuhan 3

Outlet : titik setelah masuk ke rawa buatan

*)

: AP = awal pengoperasian

**) : HSP = hari setelah pengoperasian


(4)

Lampiran 12 Hasil pengukuran konsentrasi mangan terlarut pada rawa buatan selama pengoperasian secara kontinyu Hari

pengamatan

Debit (l/s)

Konsentrasi mangan terlarut (mg/l) pada titik-titik pengematan

inlet 1a 1b 2a 2b 3a 3b 4a 4b 5 outlet

AP*) 0,545 3,86 4,04 3,90 3,64 3,71 3,68 3,59 3,57 4,31 4,32 4,18 2 HSP**) 0,195 4,11 3,73 3,66 3,20 2,91 2,85 2,76 2,72 2,60 2,73 2,68 4 HSP 0,118 4,02 3,68 3,72 2,97 2,62 2,63 2,41 1,85 1,64 1,66 1,43 6 HSP 0,118 3,68 3,39 3,49 2,66 2,37 2,27 2,00 0,05 0,03 0,01 0,01 8 HSP 0,230 3,58 3,36 2,85 2,39 2,13 2,28 2,01 0,16 0,08 0,01 0,01 10 HSP 0,190 4,56 4,29 4,01 2,67 2,07 2,01 2,05 1,89 0,73 0,54 0,69 12 HSP 0,235 5,63 4,15 4,44 3,07 2,56 2,63 2,38 2,07 1,71 1,59 1,57 14 HSP 0,190 3,83 4,21 4,45 3,47 2,71 0,84 0,39 0,19 0,01 0,01 0,01 16 HSP 0,148 4,73 4,88 5,08 4,85 4,15 4,08 3,52 3,52 1,80 0,08 0,00 Keterangan :

Inlet : titik sebelum masuk ke rawa buatan

1a : titik setelah pintu masuk dari inlet ke organic wall satu 1b : titik sebelum pintu keluar dari organic wall satu

2a : titik setelah pintu masuk dari organic wall satu ke kolam pertumbuhan satu 2b : titik sebelum pintu keluar dari kolam pertumbuhan satu

3a : titik setelah pintu masuk dari kolam pertumbuhan satu ke organic wall dua 3b : titik sebelum pintu keluar dari organic wall dua

4a : titik setelah pintu masuk dari organic wall dua ke kolam pertumbuhan dua 4b : titik sebelum pintu keluar dari kolam pertumbuhan dua

5 : titik di kolam pertumbuhan 3

Outlet : titik setelah masuk ke rawa buatan

*)

: AP = awal pengoperasian

**) : HSP = hari setelah pengoperasian


(5)

73

Lampiran 13 Hasil pengukuran pH, konsentrasi sulfat, besi, dan mangan pada substrat

Kode

Contoh pH

Besi Mangan Sulfat

---ppm---

A I-1 4,35 638,08 37,76 290,92

A I-2 3,86 397,57 23,40 27,17

A II-1 4,93 764,50 25,54 21,89

A II-2 5,00 168,21 29,03 33,14

A III-1 6,10 460,74 23,11 33,17

A III-2 7,04 191,73 48,27 83,29

A IV-1 6,44 228,64 36,01 39,73

A IV-2 7,02 281,55 22,61 36,30

B I-1 6,56 689,22 16,33 159,38

B I -2 6,86 127,79 15,12 203,51

B II-1 6,47 344,54 41,42 269,69

B II-2 6,97 140,52 39,80 75,62

B III-1 7,01 597,30 13,85 368,17

B III-2 7,84 60,00 15,34 280,94

B IV-1 6,82 tr 11,62 31,38

B IV-2 7,06 tr 42,36 135,20

P1 a-1 3,21 206,75 12,34 431,47

P1 a-1 3,74 511,00 21,20 377,17

P1 b-1 4,52 1000,11 30,95 40,37

P1 b-2 3,24 225,50 3,98 20,86

P1 c-1 5,42 671,71 17,87 37,25

P1 c-2 3,73 474,15 20,39 90,04

P2 a-1 4,66 347,76 30,68 74,40

P2 a-2 6,30 57,52 48,13 130,86

P2 b-1 6,35 217,88 22,18 53,48

P2 b-2 6,89 172,62 55,74 69,96

P2 c-1 7,51 165,27 45,16 25,15

P2 c-2 7,40 142,20 19,29 31,02

Keterangan :

A : Kode contoh untuk kolam pertumbuhan satu B : Kode contoh untuk kolam pertumbuhan dua P1 : Kode contoh untuk organic wall satu P2 : Kode contoh untuk organic wall dua I,II,III,IV : Kode titik contoh untuk kolam pertumbuhan a, b, c : Kode titik contoh untuk organic wall 1, 2 : ulangan


(6)

74

Lampiran 14 Hasil pengukuran konsentrasi sulfur, besi, dan mangan pada tanaman

Kode Sample Total sulfur Besi Mangan

---(%)---

CAa 1,00 2,41 0,01

CAb1 0,76 1,12 0,02

CAb2 1,15 1,64 0,03

CAb3 1,71 2,43 0,02

CAb4 1,83 2,84 0,02

CDa 0,61 0,61 0,01

CDb1 0,96 0,51 0,03

CDb2 0,85 0,87 0,03

CDb3 1,15 0,47 0,03

CDb4 1,78 0,82 0,02

TAa1 1,35 1,20 0,01

TAb1 1,44 1,70 0,02

TAb2 0,90 1,31 0,03

TAb3 1,27 1,10 0,02

TAb4 1,22 1,53 0,04

TDa1 1,31 0,34 0,03

TDb1 1,68 0,10 0,03

TDb2 1,38 0,10 0,04

TDb3 2,44 0,30 0,04

TDb4 1,81 0,34 0,03

Ea1 1,07 0,44 0,09

Eb 0,76 0,70 0,05

EAa1 0,29 1,92 0,26

EbA 1,00 1,91 0,17

EDa1 1,04 0,42 0,02

EDb2 1,29 0,34 0,01

Keterangan :

CA : Contoh tanaman Cyperus sp bagian akar CD : Contoh tanaman Cyperus sp bagian Daun TA : Contoh tanaman Typha sp bagian akar TD : Contoh tanaman Typha sp bagian daun EA : Contoh tanaman Eceng Gondok bagian akar ED : Contoh tanaman Eceng Gondok bagian daun a : sebelum perlakuan

b : setelah perlakuan 1,2,3,4 : ulangan