The Behavior of Javan Langur Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) on Isolated Habitat Fragment in TWA Gunung Pancar

(1)

PERILAKU LUTUNG JAWA

Trachypithecus auratus

(E. Geoffroy, 1812) PADA FRAGMEN HABITAT

TERISOLASI DI TWA GUNUNG PANCAR

EKO SULISTYADI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertas berjudul Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di TWA Gunung Pancar adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2013 Eko Sulistyadi NIM E351100141


(4)

RINGKASAN

EKO SULISTYADI. Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di TWA Gunung Pancar. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan IBNU MARYANTO.

Lutung jawa merupakan satwa primata yang terancam punah. Degradasi habitat sebagai ancaman utama menyebabkan banyak populasi lutung jawa hidup pada fragmen habitat yang terisolasi. Penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas harian lutung jawa di TWA sebagai bentuk adaptasi pada fragmen habitat yang terisolasi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2012 menggunakan metode focal animal sampling. Analisis vegetasi dilakukan dengan pointcentered quarter method pada 40 plot sampling yang ditentukan berdasarkan titik perjumpaan lutung jawa.

Hasil kajian menunjukkan terdapat tiga tipe tutupan lahan yang digunakan oleh lutung jawa yaitu hutan alam, peralihan hutan-kebun dan kebun. Aktivitas dominan lutung jawa dijumpai pada peralihan hutan-kebun (48.19%). Proporsi aktivitas tertinggi berturut-turut adalah istirahat (33.65%), makan (30.68%), bergerak/berpindah (27.08%) dan aktivitas sosial (8.60%). Berdasarkan uji chi square diketahui frekuensi perjumpaan lutung jawa menunjukkan pola sebaran yang berbeda pada setiap variabel lingkungan kecuali pada kategori waktu aktivitas, sedangkan frekuensi tiap jenis aktivitas menunjukkan pola distribusi yang relatif sama pada setiap variabel lingkungan. Durasi aktivitas lutung betina dewasa menunjukkan pola sebaran yang berbeda pada variabel waktu aktivitas, jarak dari kebun, jarak dari jalan dan tutupan lahan, sedangkan durasi aktivitas lutung jantan dewasa hanya berhubungan dengan variabel waktu aktivitas.

Analisis CCA menunjukkan adanya variasi hubungan aktivitas harian terhadap faktor-faktor lingkungan. Analisis PCA menunjukkan adanya hubungan antara beberapa vegetasi dominan terhadap aktivitas harian dengan nilai total inertia akar ciri (eigenvalue) sebesar 3.46 dan total variasi yang dapat dijelaskan pada komponen 1, komponen 2 dan komponen 3 masing-masing adalah 86.43%, 7.90% dan 4.20%.


(5)

SUMMARY

EKO SULISTYADI. The Behavior of Javan Langur Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) on Isolated Habitat Fragment in TWA Gunung Pancar. Under supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and IBNU MARYANTO.

Javan langur is protected spesies of primates that highly threatened. Habitat degradation as a major threat causes a lot of javan langur populations living in isolated habitat fragments. The study aims to assess the daily activities of javan langur in isolated habitat fragments in the TWA Gunung Pancar as a form of adaptation to an isolated habitat fragments. The research was conducted in May-June 2012 by using focal animal sampling method. Vegetation analysis was performed by point-centered quarter method for 40 sampling plot determined by encounter point of javan langur.

The results showed that there were three major land cover types used by the Javan langur which are forest, transitional forest-plantation and plantation. The dominant activity found in transitional forest-plantation (48.19%). The proportion of aech activity is resting (33.65%), eating (30.68%), moving (27.08%) and social activities (8.60%). Based on chi square test known that the encounter of frequency showed a different distribution pattern in each environment variable, except in the category of time activity, while the frequency of each activity showed the same distribution pattern in each environment variable. The duration activity of adult female showed a different pattern of distribution in the time activities variabel, the distance from the cultivation, the distance from the road and land cover variabel, while the duration of activity of adult male only corelated with time activity variable.

CCA analysis showed the variation trend of the daily activities related to environmental factors. PCA analysis showed a trend of association between some of the dominant vegetation with daily activities for a total eigenvalue of 3.46 and a total variation described in component 1, component 2 and component 3 is 86.43%, 7.90% and 4.20%.


(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

PERILAKU LUTUNG JAWA

Trachypithecus auratus

(E. Geoffroy, 1812) PADA FRAGMEN HABITAT

TERISOLASI DI TWA GUNUNG PANCAR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013


(8)

(9)

Judul Tesis : Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di TWA Gunung Pancar

Nama : Eko Sulistyadi NIM : E351100141

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Agus Priyono Kartono, MSi Ketua

Prof (Riset) Dr Ibnu Maryanto Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr


(10)

PRAKATA

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan Berkah, Rahmat dan Hidayah-Nya maka tesis yang berjudul “Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di

TWA Gunung Pancar” dapat diselesaikan sebagai salah satu syarat dalam mencapai gelar Master Sains Program Pascasarjana IPB.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Agus Priyono Kartono, M.Si. dan Prof. (Riset) Dr. Ibnu Maryanto selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, pertimbangan dan saran selama masa penelitian sampai tersusunnya tesis ini. Penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah berkontribusi selama penelitian dan penyusunan tesis ini, diantaranya Bapak/Ibu dosen Pascasarjana Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika, Teman-teman KVT, MEJ dan KKH, Sekretariat Pascasarjana Prodi KVT serta Mang Uci dan Ige yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan. Tak lupa anak, istri dan keluarga yang telah memberikan dukungan dan kasih sayang.

Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat.

Bogor, Februari 2013 Eko Sulistyadi


(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Kerangka Pemikiran 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 5

Lutung Jawa 5

Komponen Habitat 10

Deforestasi, Degradasi dan Fragmentasi Hutan 11

3 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 12

Sejarah Kawasan 12

Luas dan Letak 12

Topografi 13

Iklim 13

Hidrologi 13

Geofisik 13

Flora 13

Fauna 14

Sosial Ekonomi 14

4 METODE 15

Waktu dan Tempat 15

Alat dan Bahan 15

Tahapan Penelitian 16

Data yang Diperlukan 16

Metode Pengumpulan Data 17

Metode Analisis Data 18

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Hasil 19

Pembahasan 45

6 SIMPULAN DAN SARAN 56

Simpulan 56

Saran 56

DAFTAR PUSTAKA 57

LAMPIRAN 65


(12)

DAFTAR TABEL

1 Jenis data dan metode pengumpulannya 16

2 Struktur kelompok lutung jawa di Gunung Pancar 19

3 Durasi aktivitas lutung janta dan betina pada berbagai kategori selang

waktu 22

4 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori

selang waktu 22

5 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori strata

pohon 23

6 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori strata

pohon 24

7 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori tutupan

lahan 25

8 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori

tutupan lahan 25

9 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori

kemiringan lereng 26

10 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori

kemiringan lereng 27

11 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori

ketinggian tempat 28

12 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori

ketinggian tempat 28

13 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak dari

jalan 29

14 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak

dari jalan 30

15 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak dari

kebun 31

16 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai selang jarak

dari kebun 32

17 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori diameter

pohon 32

18 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori

diameter pohon 33

19 Hasil uji chi square frekuensi perjumpaan lutung jawa pada berbagai

variabel lingkungan 34

20 Hasil uji chi square frekuensi aktivitas lutung betina pada berbagai

variabel lingkungan 34

21 Hasil uji chi square frekuensi aktivitas lutung jantan pada berbagai

variabel lingkungan 35

22 Hasil uji chi square frekuensi aktivitas total pada berbagai variabel

lingkungan 35

23 Hasil Uji chi square durasi aktivitas lutung betina dewasa pada tiap


(13)

24 Hasil Uji chi square durasi aktivitas lutung jantan dewasa pada tiap

variabel lingkungan 36

25 Hasil uji chi square durasi aktivitas total pada tiap variabel lingkungan 36 26 Daftar jenis vegetasi dengan nilai INP tertinggi di sekitar habitat lutung

jawa di Gunung Pancar 39

DAFTAR GAMBAR

1 Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian 4

2 Citra Satelite Lokasi Penelitian (Google Earth 2009) 15

3 Tipe habitat lutung jawa di TWA Gunung Pancar 20

4 Durasi aktivitas harian lutung jawa 21

5 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina 21

6 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori selang waktu 21 7 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori selang waktu 22 8 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori stratum pohon 23 9 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori stratum pohon 24 10 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori tutupan lahan 24 11 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori tutupan lahan 25 12 Durasi aktivitas total pada berbegai kategori kemiringan lereng 26 13 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori kemiringan lereng 27 14 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori ketinggian tempat 27 15 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori ketinggian tempat 28 16 Durasi tiap jenis aktivitas pada berbagai selang jarak dari jalan 29 17 Frekuensi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari jalan 30 18 Durasi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari kebun 31 19 Frekuensi aktivitas total pada berbagai selang jarak dari kebun 31 20 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori diameter pohon 32 21 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori diameter pohon 33 22 Hubungan aktivitas lutung betina dewasa dengan variabel lingkungan 37 23 Hubungan aktivitas lutung jantan dewasa dengan variabel lingkungan 38 24 Hubungan aktivitas total dengan variabel lingkungan 39 25 Aktivitas manusia di area lereng Gunung Pancar 40 26 Aktivitas lutung jawa pada beberapa spesies vegetasi 41 27 Hubungan aktivitas lutung betina dengan spesies vegetasi (komp 1&2) 42 28 Hubungan aktivitas lutung betina dengan spesies vegetasi (komp 1&3) 42 29 Hubungan aktivitas lutung jantan dengan spesies vegetasi (komp 1&2) 43 30 Hubungan aktivitas lutung jantan dengan spesies vegetasi (komp 1&3) 43 31 Hubungan aktivitas total dengan spesies vegetasi (komp 1 & 2) 44 32 Hubungan aktivitas total dengan spesies vegetasi (komp 1 & 3) 45

33 Aktivitas lutung jawa pada area lereng 50


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan uji chi square frekuensi perjumpaan lutung jawa pada

berbagai variabel lingkungan 65

2 Hasil penghitungan chi square frekuensi aktivitas lutung jawa pada

berbagai variabel lingkungan 67

3 Hasil penghitungan chi square durasi aktivitas lutung jawa pada

berbagai variabel lingkungan 69

4 Daftar jenis vegetasi pada habitat lutung jawa di Gunung Pancar 71 5 Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh lutung jawa untuk

beraktivitas 73

6 Jenis-jenis tumbuhan pakan potensial lutung jawa 74 7 Klasifikasi kemiringan lereng di TWA Gunung Pancar 75


(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan tropis merupakan habitat bagi sebagian besar jenis primata (Mittermeier & Cheney 1987, Chapman et al. 2006). Sebagai habitat penting bagi primata, hutan tropis menghadapi tekanan yang besar akibat dari kerusakan habitat dan kegiatan perburuan (Mittermeier & Cheney 1987). Kedua faktor ini merupakan ancaman utama yang menyebabkan penurunan populasi primata. Degradasi dan fragmentasi habitat secara langsung akan berdampak pada penurunan sumber daya lingkungan, isolasi yang lebih besar terhadap populasi serta semakin intensifnya efek tepi terhadap populasi primata. Tercatat satu dari empat jenis primata saat ini terancam punah sebagai akibat dari hilangnya habitat (Mittermeier 1996, IUCN 2011).

Lutung jawa (Trachypithecus auratus) termasuk satwa primata yang dilindungi perundangan RI berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 733/Kpts-II/1999 serta masuk dalam kategori Vulnerable A2cd (IUCN 2011) dan Appendix II CITES. Diperkirakan penurunan populasi lutung jawa lebih dari 30% dalam kurun waktu 10 tahun atau tiga generasi terakhir yang diakibatkan penurunan kuantitas maupun kualitas habitat serta potensi eksploitasi yang tinggi. Kerusakan habitat akibat degradasi dan konversi hutan menjadi areal pemanfaatan menyebabkan habitat lutung jawa menjadi terfragmentasi dan bahkan terisolasi akibat tidak adanya koridor antar populasi. Cowlishaw & Dunbar (2000) serta Marsh (2003) menyatakan bahwa beberapa spesies primata yang terancam punah saat ini hidup di habitat hutan yang terfragmentasi. Kegagalan adaptasi terhadap perubahan lingkungan akan membawa spesies tertentu kepada kepunahan (Isabirye-Basuta & Jeremiah 2008, Sharkley 1996, Newsome et al. 2005). Kondisi tersebut diperburuk dengan perburuan dan perdagangan satwa primata secara ilegal. Malone (2003) mencatat adanya perdagangan satwa primata di Jawa dan Bali dimana salah satunya adalah lutung jawa. Melihat statusnya yang cukup mengkhawatirkan maka sudah sewajarnya jika lutung jawa menjadi prioritas konservasi satwa di Indonesia.

Gunung Pancar merupakan salah satu habitat lutung jawa (Nijman 2000). Kawasan ini berbatasan langsung dengan permukiman penduduk serta bersentuhan langsung dengan kegiatan pariwisata, perdagangan maupun pertanian. Sebagian besar aktivitas pertanian memanfaatkan areal di sekitar hutan lindung sehingga menyebabkan habitat lutung jawa di kawasan ini terfragmentasi dan terisolasi. Kondisi ini dapat digambarkan dengan data yang diungkapkan FWI (2009) bahwa di Jawa tutupan hutan tinggal 1.02% dengan deforestasi yang terjadi di hutan lindung sebesar 3.07 juta ha (11.77%) dan di kawasan konservasi sebesar 2.15 juta ha (12.82%). Dari gambaran tersebut dapat dikatakan bahwa degradasai dan fragmentasi habitat ternyata masih saja terus terjadi meskipun laju deforestasi relatif menurun. Hal inilah yang menjadi masalah serius bagi upaya konservasi lutung jawa. Fakta terakhir menunjukkan bahwa di sekitar kawasan Gunung Pancar akan dibangun proyek Sentul Nirwana, sebuah kawasan mega residensial seluas 12 ribu hektar yang nantinya akan mengelilingi dan bahkan


(16)

menggusur eksistensi TWA Gunung Pancar. Tekanan yang sedemikian tinggi terhadap habitat lutung jawa di Gunung Pancar memunculkan kekhawatiran akan kelestarian satwa ini di masa depan. Kondisi inilah yang memicu munculnya gagasan dasar untuk melakukan studi mengenai lutung jawa yang ada di Gunung Pancar sebagai salah satu wujud upaya konservasi keanekaragaman hayati.

Penelusuran pustaka menunjukkan bahwa beberapa studi tentang lutung jawa telah dilakukan meliputi aspek populasi dan distribusinya (Nijman & van Balen 1998, Nijman 2000, Megantara 2004); habitat (Febriyanti 2008, Subarkah dkk. 2011) dan perilaku (Nursal 2001, Prilyanto 2008, Wirdateti 2009). Namun demikian sebagian besar kajian lebih banyak berfokus pada kawasan hutan yang masih relatif baik, sedangkan kajian pada kondisi habitat yang kurang ideal masih relatif jarang dilakukan. Permasalahan ini sangat terkait dengan kondisi yang berkembang sekarang ini bahwa populasi lutung jawa banyak hidup pada kantung-kantung habitat yang terfragmentasi dan terisolasi. Dengan demikian pengungkapan informasi mengenai aspek-aspek bioekologi lutung jawa pada kondisi habitat dan populasi yang kurang ideal merupakan salah satu langkah penting dalam upaya konservasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gibbons & Harcourt (2009) yang menyatakan bahwa studi mengenai berbagai aspek bioekologi dasar pada populasi primata yang hidup di fragmen habitat yang terisolasi merupakan kontribusi yang penting bagi upaya konservasi primata.

Perumusan Masalah

Kondisi hutan alam yang merupakan habitat bagi satwa liar semakin terdesak oleh pertumbuhan populasi manusia. Banyak kawasan hutan dikonversi menjadi permukiman, lahan pertanian dan area penggunaan intensif dengan tidak memperhatikan aspek ekologis dan kelestarian lingkungan. Rendahnya kesadaran akan pentingnya hutan sebagai penyeimbang dalam kompleksitas ekosistem merupakan salah satu penyebabnya.

Degradasi dan fragmentasi hutan berimplikasi terhadap menurunnya sumber daya lingkungan, meningkatnya efek isolasi serta bertambah intensifnya pengaruh efek tepi sehingga menjadi ancaman serius bagi kelestarian populasi lutung jawa. FWI (2009) mencatat bahwa saat ini laju degradasi dan fragmentasi habitat hutan di Jawa masih terus terjadi. Kondisi ini menyebabkan banyak populasi lutung jawa terisolasi dalam kantung-kantung habitat yang tersebar dan terpisah satu sama lain. Cowlishaw & Dunbar (2000) serta Marsh (2003) menyatakan bahwa beberapa spesies primata yang terancam punah saat ini hidup di habitat hutan yang terfragmentasi.

Semakin tingginya angka kehilangan habitat yang berpotensi pada kepunahan populasi lutung jawa mendorong untuk segera dilakukan upaya penyelamatan. Salah satu informasi penting yang diperlukan sebagai dasar pengelolaan habitat dan populasi adalah data mengenai bioekologi dasar, salah satunya adalah mengenai perilaku. Kajian mengenai perilaku diharapkan dapat menjelaskan mekanisme adaptasi lutung jawa terhadap kondisi fragmen habitat yang terisolasi.


(17)

Studi mengenai perilaku lutung jawa di Gunung Pancar belum pernah dilakukan sebelumnya. Kajian terhadap perilaku lutung jawa pada fragmen habitat yang terisolasi akan memberikan informasi terkait faktor-faktor lingkungan (biologi dan fisik) yang penting bagi kelangsungan hidup populasi lutung jawa. Pengetahuan mengenai dampak fragmentasi dan hilangnya habitat terhadap populasi satwa liar merupakan informasi yang sangat berharga bagi upaya konservasi dan restorasi (Gorresen & Willig 2004).

Tujuan Penelitian

Beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini, antara lain:

1. Menentukan pola distribusi aktivitas harian lutung jawa pada fragmen habitat yang terisolasi.

2. Mengidentifikasi variabel lingkungan (biotik dan fisik) yang berpengaruh terhadap aktivitas harian lutung jawa pada fragmen habitat yang terisolasi. 3. Menentukan hubungan antara aktivitas harian lutung jawa dengan keberadaan

spesies vegetasi pada fragmen habitat yang terisolasi.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi dasar mengenai pola distribusi aktivitas, faktor lingkungan penting yang berpengaruh terhadap aktivitas lutung jawa serta asosiasi aktivitas lutung jawa dengan spesies vegetasi pada fragmen habitat yang terisolasi. Data tersebut diharapkan dapat berkontribusi terhadap upaya konservasi dan pengelolaan lutung jawa di TWA Gunung Pancar serta kawasan dengan habitat yang terfragmentasi dan terisolasi.

Kerangka Pemikiran

Degradasi dan fragmentasi habitat menyebabkan banyak populasi lutung jawa hidup dalam fragmen habitat yang terisolasi. Implikasi dari kondisi ini adalah menurunnya sumber daya, meningkatnya efek isolasi serta semakin intensifnya efek tepi yang berdampak terhadap terganggunya populasi lutung jawa jawa. Kondisi ini memaksa lutung jawa untuk beradaptasi terhadap perubahan lingkungan fisik dan biotik agar dapat bertahan hidup. Beberapa aspek penting terkait perilaku lutung jawa antara lain distribusi aktivitas harian, faktor lingkungan penting yang berpengaruh terhadap aktivitas harian serta asosiasi antara jenis vegetasi dengan aktivitas harian lutung jawa. Informasi mengenai keberhasilan adaptasi terkait beberapa aspek kajian tersebut diharapkan menjadi kontribusi penting bagi upaya konservasi lutung jawa. Bagan kerangka pemikiran disajikan pada Gambar 1.


(18)

Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran Penelitian Kondisi

Habitat Baik

Faktor Biotik (Vegetasi)

Faktor Fisik - Elevasi - Slope

- Tutupan Lahan - Jarak dari Jalan - Jarak dari Kebun Habitat

Populasi Lutung Jawa

Fragmen Habitat Terisolasi

Distribusi Aktivitas Harian

Penggunaan faktor lingkungan (fisik dan biologi)

Asosiasi Aktivitas & Vegetasi

Gagal (Punah) Berhasil

(Lestari)

Konservasi Populasi

Lestari

Populasi Terganggu


(19)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Lutung Jawa

Morfologi

Beberapa peneliti membagi lutung jawa menjadi subspesies tertentu berdasarkan ciri morfologi dan distribusinya. Brandon-Jones (1995, 2004) dan Weitzel (1985) menyatakan bahwa terdapat dua subspesies Trachypithecus auratus di Jawa yaitu T. auratus auratus dan T. auratus mauritius. Supriatna (2000) menambahkan satu subspesies yaitu T. auratus cristatus. Secara morfologis lutung jawa memiliki panjang tubuh rata-rata dari ujung kepala sampai tungging 517 mm dan panjang ekornya 742 mm dengan berat tubuh rata-rata 6.3 kg (Written 1982 diacu dalam Bismark 1993). Rowe (1996) mencatat rata-rata bobot tubuh lutung jawa berkisar ± 7 kg dengan panjang tubuh berkisar 44-65 cm dan panjang ekor 61-87 cm.

Warna rambut dominan hitam diselingi dengan warna keperak-perakan dengan bagian ventral berwarna kelabu pucat dengan jambul yang menyembul di kepala. Anak lutung yang baru lahir berwarna kuning jingga tidak berjambul dan warnanya akan berubah semakin gelap menjadi hitam kelabu seiring pertumbuhan usianya (Rowe 1996). Pada betina terdapat bercak kuning di sekitar organ genitanya (Brandon-Jones 1995). Jenis primata arboreal ini memiliki bentuk ibu jari yang besar dengan telapak tangan berupa segitiga dan datar yang merupakan bentuk adaptasi lutung untuk dapat hidup di pohon (arboreal). Lutung jawa berjalan, berlari dan bergerak secara horizontal dan kontinyu menggunakan keempat tungkainya (quadrupedally) (Fleagle 1978, Rowe 1996). Formula gigi lutung jawa adalah 2:1:2:3 di kedua rahangnya (Ankel-Simons 2000) serta memiliki lambung sacculated yang membantu pencernaan sellulosa (Kool 1993, Nijman 2000, Primate Info Net 2007, Richardson 2005) serta memiliki kelenjar ludah yang besar untuk membantu memecah makanan.

Habitat dan Persebaran

Lutung jawa adalah primata endemik Indonesia yang hanya dapat ditemukan di Jawa, Bali, Lombok, Pulau Sempu dan Nusa Barung (IUCN 2011), dengan populasi di Lombok diindikasikan merupakan introduksi (Groves 2001). Populasi lutung jawa dapat ditemukan baik di hutan pedalaman Indonesia bagian barat demikian juga di kawasan pantai di bagian selatan (Nijman & Supriatna, 2008, Nijman 2000, Richardson 2005). Berbagai tipe habitat tercatat menjadi habitat lutung jawa seperti hutan mangrove, hutan pesisir, hutan rawa air tawar; hutan dataran rendah dan perbukitan yang selalu basah, hutan kerangas, hutan gugur dan hutan pegunungan sampai ketinggian 3500 m dpl, serta di beberapa hutan tanaman Jati Tectona grandis, Rasamala Altingiaexcelsa dan Akasia Acacia spp (Nijman 2000, Richardson 2005, Nijman & Supriatna 2008, Primate Info Net 2007). Lutung jawa juga tercatat menghuni kawasan dalam maupun tepi hutan


(20)

hujan (Nijman & van Balen 1998, Gurmaya et al. 1994). Kool (1986) menyatakan bahwa di CA Pangandaran lutung jawa hidup di hutan dataran rendah campuran dan hutan tanaman sekunder seperti Tectonia grandis, Swietenia macrophylla, dan tegakan Acacia auriculiformis.

Nijman (2000) telah mencatat sebanyak 42 titik distribusi lutung jawa di Jawa, Bali dan Lombok salah satunya adalah di Gunung Pancar. Di Jawa Timur, populasi-populasi tertentu memiliki dua tipe morfologi (dimorfis) yaitu jenis yang berwarna hitam (melanic) yang lebih umum dan jenis yang berwarna kuning (erythristic) yang ditemukan di bagian paling timur Jawa dengan batasnya Gunung Penanggungan dan sekitar Mojokerto ke arah selatan melalui Wonosalam dan Blitar menuju Pegunungan Kidul (Nijman 2000). Brandon-Jones (1995) menyatakan persebaran subspesies T. auratus auratus meliputi Jawa sebelah timur, Bali, Lombok, Palau Sempu and Nusa Barung. Subspesies ini memiliki dua bentuk morfologi dimana jenis yang berwarna merah tersebar secara terbatas antara Blitar, Ijen, dan Pugeran (Groves 2001). Morfologi yang lebih umum berwarna hitam dan ditemukan di Jawa sebelah timur menuju ke barat sampai Gunung Ujungtebu (Brandon-Jones 1995). Groves (2001) mencatat persebaran T. auratus mauritius terbatas di Jawa Barat menuju ke utara sampai Jakarta termasuk Bogor, Cisalak, dan Jasinga, Ujung Kulon dan Cikaso/Ciwangi. Lutung jawa tercatat juga ditemukan di Gunung Prahu (Nijman & van Balen 1998); Taman Nasional Ujung Kulon (Gurmaya et al. 1994); Pegunungan Dieng (Nijman & van Balen 1998) dan Gunung Pancar (Nijman 2000). Profauna (2010) mencatat bahwa di Tahura R Soerjo ditemukan 11 kelompok lutung jawa dengan total individu sebanyak 80 ekor.

Distribusi lutung jawa relatif luas dan merata dengan habitat yang beragam sesuai dengan kondisi topografi. Tercatat lutung jawa ditemukan mulai dari habitat hutan primer sampai pada habitat terbuka. Kondisi habitat lutung jawa saat ini sudah sangat berkurang akibat desakan kebutuhan manusia yang semakin tinggi akan lahan. Sebagian besar hutan dataran rendah khususnya di Jawa bisa dikatakan telah habis dan hanya tersisa sebagian kecil pada kantong-kantong kawasan konservasi sehingga mengakibatkan banyak populasi lutung jawa hidup pada habitat hutan pegunungan sampai dataran tinggi sebagai implikasi hilangnya hutan dataran rendah.

Hutan pegunungan dataran rendah sampai hutan tropis pegunungan tinggi ternyata juga tidak lepas dari tekanan aktivitas manusia. Pada level tertentu gangguan hanya bersifat temporer, namun pada kondisi yang sudah sangat parah konversi hutan menjadi areal penggunaan lain tidak bisa lagi dihindarkan. Gunung Pancar adalah salah satu potret kondisi hutan pegunungan dataran rendah terganggu yang masih tersisa di kawasan Bogor. Status kawasan yang merupakan taman wisata alam merupakan salah satu alasan mengapa sampai saat ini Gunung Pancar masih memiliki hutan alam walaupun dengan kondisi yang amat memprihatinkan.

Fragmen-fragmen habitat yang tersebar merata di seluruh Indonesia khususnya di Pulau Jawa telah membentuk populasi-populasi kecil yang terpisah satu sama lain (metapopulasi) sehingga mengakibatkan resiko ancaman kepunahan semakin tinggi. Faktor pemanfaatan secara ilegal melalui mekanisme perburuan dan perdagangan liar menjadi ancaman serius kelestarian lutung jawa


(21)

saat ini. Belum lagi faktor internal seperti degradasi genetik yang lazim terjadi pada populasi yang kecil akan semakin mengancam kelestarian lutung jawa.

Struktur Kelompok

Lutung jawa adalah primata yang hidup berkelompok dan bersifat diurnal serta arboreal dengan sebagian besar aktivitas dihabiskan diatas pohon (Lekagul & McNeely 1977). Kartikasari (1982) menyatakan bahwa dalam satu kelompok lutung jawa rata-rata terdiri dari 10 individu dengan satu jantan, beberapa betina dewasa, anak dan bayi. Menurut Medway (1970) lutung jawa berkelompok dengan anggota 6–23 ekor, dengan 1 ekor jantan dewasa sebagai pemimpin. Cannon (2009) juga menyatakan dalam satu kelompok lutung jawa biasanya terdiri dari 1-2 jantan dengan 5-6 betina, ukuran kelompok bisa mencapai 23 individu dengan tetap 1-2 jantan dalam kelompok. Jumlah betina dalam kelompok lebih dominan dibanding jantan, hal ini terkait dengan sistem perkawinan poligami dimana satu jantan akan mengawini banyak betina dalam kelompoknya. Jantan muda biasanya akan terpisah dengan kelompoknya dan membentuk kelompok dengan para jantan muda lainnya. Ukuran kelompok dipengaruhi oleh faktor iklim dan musim (Cannon 2009). Pada musim kering yang panjang ukuran kelompok biasanya akan lebih besar, hal ini terkit dengan ketersediaan sumber daya pakan. Watanabe et al. (1996) mencatat bahwa populasi lutung jawa di Cagar Alam Pangandaran membentuk kelompok kecil yang padat dan cenderung menghindari perkebunan jati. Hasil penelitian Megantara (2004) menunjukkan bahwa secara umum penyebaran lutung di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Pangandaran tidak merata, di Taman Wisata lebih mengelompok daripada yang terdapat di Cagar Alam. Tercatat masing-masing 7 kelompok lutung jawa di Taman Wisata dan Cagar Alam dengan kepadatan kelompok 18-26 kel/km2 dan 3.5 kel/km2. Beberapa studi mencatat kepadatan rata-rata berkisar 7.9 – 8.8 kelompok/km2 dengan estimasi individu 114 – 147.9 individu/km2 (Meijaard & Nijman komunikasi pers dalam IUCN 2011). Rata-rata lutung jawa dapat hidup selama kira-kira 20 tahun (Delson 2008).

Reproduksi

Pola reproduksi lutung jawa adalah poligami dimana jantan dominan akan mengawini beberapa betina dalam kelompoknya. Betina akan memulai masa bereproduksi pada umur 3-4 tahun dan dapat melahirkan satu anak dalam setahun. Reproduksi dan kelahiran dapat terjadi sepanjang tahun (Cannon 2009). Pola pengasuhan anak dilakukan oleh betina dalam kelompok secara bersama-sama (allomothering) (Bristol Zoo Gardens 2009, Nijman 2000, Primate Info Net 2007). Dalam masa mengasuh anak betina akan bersifat agresif terhadap betina dari kelompok lain (Kool 1991, Nijman and Supriatna 2008, Nijman 2000, Primate Info Net 2007, Richardson 2005). Bayi lutung akan tumbuh dengan cepat dan mandiri pada usia 1 tahun (Cannon 2009).


(22)

Perilaku

Perilaku satwa dapat dikategorikan dalam beberapa kategori sesuai dengan fungsinya meliputi perilaku pemeliharaan, perilaku makan, orientasi dan navigasi dan beberapa perilaku sosial baik interspesifik maupun intraspesifik yang lazim disebut sosiobiologi (Slater 1990 diacu dalam Setiawan 1996). Perilaku harian dibagi ke dalam empat kategori yaitu perilaku istirahat (resting), makan (feeding), perilaku bergerak (moving) (Chiver & Raemakers 1980) serta aktivitas sosial (social activities) (Chalmers 1980). Aktivitas berpindah (moving) meliputi berjalan quadropedal, berlari kecil, berpindah bipedal, meloncat, bergelantungan, berenang, memanjat dan menuruni pohon (Betrand 1969). Aktivitas yang termasuk dalam aktivitas makan meliputi makan, minum dan foraging. Aktivitas istirahat meliputi istirahat, self-grooming dan tidur. Aktivitas sosial meliputi social grooming, kawin, bermain, dan berkelahi.

Biorithme harian lutung jawa relatif tetap, kecuali jika ada perubahan yang signifikan terkait pakan maupun cuaca. Ambarwati (1999) mencatat bahwa aktivitas lutung jawa dimulai pada pukul 05.30 sampai 17.30 dengan persentase 49% istirahat, 23% makan, 22% berjalan, 10% tidur dan 3% bersuara. Aktivitas lutung jawa juga dipengaruhi oleh suhu (Nadler et al 2002) dimana pada suhu kurang dari 10oC lutung cenderung bergerak cepat, makan dengan cepat kemudian berpindah ke tempat yang kering seperti semak belukar, sedangkan pada suhu 10-30oC lutung lebih suka berkumpul bersama di bawah naungan pohon untuk istirahat dan makan.

Salah satu jenis aktivitas yang cukup penting adalah makan. Ada beberapa cara yang dilakukan lutung dalam memperoleh makanannya. Biasanya lutung akan langsung makan dengan mulutnya jika makanannya adalah pucuk daun; jika berupa ranting atau tangkai daun maka lutung biasanya akan meraihnya lebih dahulu dengan tungkainya baru kemudian dimasukkan ke dalam mulut; untuk jenis buah biasanya lutung akan memetiknya baru kemudian dimakannya. Persentase aktivitas makan lutung sebesar 10.49 % dari aktivitas total dengan aktivitas tertinggi pada pukul 08.00 sebesar 4.38 % (Pratiwi 2008).

Zainal (2008) mengungkapkan bahwa perilaku lutung jawa baik di penangkaran maupun di habitat alami relatif sama dengan aktivitas makan tertinggi berupa daun (58.68% di penangkaran dan 98% di habitat alami), aktivitas bergerak tertinggi adalah berjalan (43.49% dan 46.47%), aktivitas istirahat tertinggi adalah duduk (86.48% dan 99.69%), aktivitas sosial tertinggi adalah bersuara (33.51% dan 78.17%), dan penggunaan strata tertinggi adalah strata tengah (49.22%) untuk di penangkaran dan strata atas (43.11%) di habitat alami. Hal ini menunjukkan adanya adaptasi yang berbeda untuk kondisi habitat yang berbeda. Bentuk komunikasi pada lutung jawa biasanya menggunakan kontak suara, fisik maupun visual. Mereka menggunakan komunikasi suara saat terjadi ancaman, biasanya jantan dewasa mengeluarkan suara peringatan jika ada ancaman yang mendekati kelompoknya (Cannon 2009).

Wilayah Jelajah

Wilayah jelajah lutung jawa berkisar antara 20-30 ha dan akan cenderung lebih luas di wilayah pulau Jawa dibandingkan dengan pulau lain di Indonesia.


(23)

Nijman & Supriatna (2008) mencatat kepadatan populasi lutung jawa 23 ind/km2 di Pegunungan Dieng. Luas wilayah jelajah lutung di Taman Wisata Alam Pangandaran (TWAP) (Brotoisworo & Dirgayusa 1991, Megantara & Dirgayusa 1992) adalah seluas 4.7–8.8 ha, sedangkan menurut Husodo & Megantara (2002) luas wilayah jelajah lutung di TWAP sebesar 2.78–6.67 ha atau rata-rata 3.46 ha. Hendratmoko (2009) mencatat rata-rata daerah jelajah lutung jawa di Cagar Alam Pangandaran seluas 10.07 ha. Djuwantoko (1994) menyatakan bahwa di kawasan hutan jati Jawa Tengah daerah jelajah lutung jawa sebesar 32-43 ha. Selanjutnya Susetyo (2004) menjelaskan bahwa kepadatan populasi lutung di Taman Nasional Alas Purwo adalah 50 ekor per km2. Pergerakan harian lutung jawa dapat mencapai 500-1300 m (Supriatna 2000). Dengan demikian maka dapat dikatakan bahwa luas wilayah jelajah lutung jawa bersifat dinamis sesuai dengan kondisi habitat.

Pakan

Menurut Written (1982) diacu dalam Bismark (1993) meyebutkan lutung merupakan pemakan daun dengan komposisi pakan berupa daun 50%, buah 32% dan 13% sisanya berupa bagian tumbuhan lain dan serangga. Supriatna & Hendras (2000) mencatat terdapat 66 jenis tumbuhan sumber pakan lutung dimana 50% dimanfaatkan daunnya, 32% buah, 13% bunga dan sisanya bagian tumbuhan dan serangga. Lutung jawa lebih memilih daun yang tinggi protein dan rendah serat (Cannon 2009). Pemilihan jenis dan bagian pakan tersebut diduga menyebabkan lutung sering buang air besar dan buang air kecil serta banyak beristirahat (tidur). Hal ini didukung oleh Kay (1984) yang menyatakan bahwa satwa bertubuh kecil yang membutuhkan energi tinggi biasanya lebih banyak makan serangga, sedangkan satwa bertubuh besar yang tidak memerlukan energi tinggi cenderung memakan dedaunan.

Pakan lutung terdiri dari dedaunan baik muda atau tua, buah-buahan baik matang ataupun mentah, bunga, kuncup bunga, dan larva serangga (Kool 1993) dan menyukai daun yang masih muda atau berupa pucuk (Pratiwi 2008, Kurniawaty 2009). Iskandar (2003) juga menyatakan bahwa lutung memanfaatkan buah kedawung sebagai salah satu sumber pakan. Menurut Kool (1992, 1993) separuh pakan lutung jawa terdiri atas dedaunan berprotein tinggi. Daun yang dipilih untuk dikonsumsi yaitu mempunyai kandungan serat rendah dan mudah dicerna. Pucuk daun jati (Tectona grandis) merupakan sumber pakan penting apabila jumlah pakan langka. Buah-buahan juga dikonsumsi oleh lutung karena mempunyai kadar tanin dan kadar fenol yang lebih tinggi dari dedaunan (Kool 1992). Menurut Goltenboth (1976) dan Davies et al. (1988) kadar tanin ini berguna untuk mengurangi kadar keasaman lambung akibat fermentasi pakan. Kool (1993) dalam Hendratmoko (2009) menyatakan bahwa pakan lutung di CAP 27–37% adalah buah-buahan, yang terdiri dari 5–27% buah-buahan mentah dan 10–12% buah masak dengan tumbuhan penting sumber pakan meliputi Ficus sinuata, Ficussumatrana dan Vitex pinnata. Kurniawan & Herna (2005) mencatat bahwa lembayungan (Turpinia sp), pasang (Quercus sp), sapen (Engehaidia spicata) dan tutup (Homalanthus sp) merupakan jenis tumbuhan pakan lutung jawa di SM Dataran Tinggi Hyang, Malang.


(24)

Dalam memanfaatkan sumber daya pakan, kelompok yang berbeda dapat berbagi tanpa adanya konfrontasi yang signifikan. Jantan dewasa memiliki proporsi makan yang lebih sedikit dibandingkan betina dan anak-anak (Kool 1993, Primate Info Net 2007, Richardson 2005).

Status Perlindungan

Lutung jawa merupakan satwa primata yang dilindungi di Indonesia berdasarkan pada Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 733/Kpts-II/1999 tentang penetapan lutung jawa (T. auratus) sebagai satwa yang dilindungi. Dasar penetapan ini adalah mengingat terjadinya penurunan populasi yang cukup drastis di alam sehingga jika tidak dilakukan perlindungan maka jenis satwa ini akan punah. Selain itu lutung jawa termasuk dalam kategori vulnerable A2dc dimana populasi diidikasikan menurun 30% sepanjang 30 tahun (3 generasi) dan beresiko punah jika tidak dilakukan penanganan (IUCN 2011). CITES juga memasukkan lutung jawa dalam kategori Appendix II.

Ancaman utama kelestarian lutung jawa adalah hilangnya habitat serta degradasi habitat terkait aktivitas pertanian dan permukiman (IUCN 2011), selain itu perburuan dan perdagangan ilegal juga menjadi ancaman serius. Tercatat setidaknya 2500 ekor lutung jawa diburu dan diperdagangkan setiap tahun untuk kebutuhan konsumsi (Anonim 2010). Predator alami lutung jawa adalah harimau jawa (Panthera tigris sondaica) and macan tutul (Primate Info Net 2007, Richardson 2005). Lebih jauh IUCN (2011) mencatat beberapa faktor yang mengancam populasi alami lutung jawa seperti permukiman dan pembangunan komersil, perkembangan daerah urban, kegiatan pertanian, penggunaan sumber daya alam, pemanenan hasil hutan non kayu, perburuan satwa serta pemanfaatan lutung jawa dengan tujuan khusus.

Komponen Habitat

Habitat merupakan hasil interaksi berbagai komponen, yaitu komponen fisik yang terdiri atas tanah, topografi dan iklim serta komponen biotik yang terdiri atas tumbuhan dan satwa (Bailey 1984). Primata merupakan satwa arboreal yang sangat tergantung dengan keberadaan vegetasi. Selain itu beberapa faktor fisik dan biologi juga berpengaruh terhadap kelimpahan maupun distribusi satwa primata.

Komponen fisik yang sangat penting bagi kehidupan satwa adalah air. Satwa liar mendapatkan air dari berbagai sumber yaitu air bebas yang tersedia (danau, sungai, kolam atau irigasi), air yang terkandung pada beberapa bagian vegetasi, embun dan air yang dihasilkan dari proses metabolisme. Embun yang menempel di daun dan air yang mengenang pada batang-batang pohon dimanfaatkan oleh berbagai jenis burung dan primata untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka (Bailey 1984). Faktor topografi juga diketahui berpengaruh terhadap penyebaran tumbuhan dan satwa. Komponen fisik lingkungan penyusun topografi terdiri dari ketinggian tempat (elevasi), tingkat kemerengan lereng (slope) dan arah kemiringan lereng (aspect).


(25)

Ketinggian tempat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap keanekaragaman jenis spesies tumbuhan dan satwa. Terdapat zona-zona vegetasi menurut ketinggian yang masing-masing zona terbentuk karena adanya perbedaan kondisi iklim pada ketinggian yang berbeda. Pada masing-masing zona biasanya memiliki perbedaan spesies yang dominan. Ketinggian tempat dapat memepengaruhi keberadaan sumber pakan. Semakin tinggi suatu tempat menyebabkan semakin sedikit keanekaragaman jenis tumbuhan sehingga variasi dalam memilih sumber pakan menjadi terbatas (Primack et al. 1998).

Komponen biotik merupakan komponen utama dalam suatu habitat. Pemilihan habitat oleh satwaliar sangat ditentukan pada sejauh mana komponen-komponen tersebut dapat menyediakan kebutuhannya akan pakan, tempat berlindung, tidur dan melakukan reproduksi. Faktor lain yang mempengaruhi keberadaan tumbuhan pakan adalah cuaca, produktifitas tumbuhan pakan dan ketahanan tumbuhan terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh herbivora (Bailey 1984).

Deforestasi, Degradasi dan Fragmentasi Hutan

Belum optimalnya pengelolaan kawasan hutan dalam rangka pelestarian, pengawetan, dan pemanfaatan sumber daya hutan salah satunya disebabkan oleh tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan. Tapal batas hutan juga belum dibenahi dengan baik sehingga menimbulkan ancaman pada pengelolaan kawasan hutan terutama di kawasan konservasi. Ketidakjelasan kawasan hutan juga memicu terjadinya tumpang tindih kawasan hutan dengan kegiatan sektor lain serta alih fungsi kawasan hutan untuk penggunaan lain di luar kehutanan yang tidak terkendali. Hal inilah yang memicu tingginya deforestasi, degradasi dan fragmentasi hutan di Indonesia (BAPPENAS 2010).

Dalam lima tahun terakhir ini, laju deforestasi telah mencapai sekitar 1 juta ha per tahun. Hutan yang sudah mengalami degradasi adalah kawasan hutan yang mengalami penurunan kualitas ekosistem hutan, dari hutan primer ke hutan sekunder, dari hutan sekunder menjadi semak belukar dan alang-alang yang mencapai lebih dari 50 juta hektar. Laju deforestasi yang cukup tinggi dan degradasi hutan yang terus meluas tersebut merupakan penyebab meningkatnya luas lahan kritis. Luas lahan kritis dan sangat kritis di Indonesia mencapai 30,19 juta ha yang tersebar di 472 Daerah Aliran Sungai (BAPPENAS 2010).

Permasalahan lain yang menyebabkan kerusakan kawasan hutan adalah kejadian kebakaran hutan dan tekanan demografi. Faktor terakhir merupakan pangkal permasalahan dimana pertumbuhan penduduk dengan segala kebutuhannya secara langsung menekan sumber daya hutan beserta kekayaan hayati di dalamnya. Saat ini setidaknya 27.3 juta ha kawasan konservasi dan 31.60 juta ha hutan lindung mengalami tekanan oleh masyarakat sehingga dikhawatirkan mengganggu fungsi dan perannya sebagai penyangga kehidupan. Tekanan demografi kepada kawasan konservasi menyebabkan terjadinya fragmentasi habitat satwa yang berdampak pada menurunnya atau terancam punahnya populasi tanaman dan satwa. Luas kawasan konservasi yang dirambah saat ini


(26)

mencapai 460 ribu hektar, sehingga beberapa habitat endangerad spesies mengalami ancaman kepunahan (BAPPENAS 2010).

Permasalahan deforestasi, degradasi dan fragmentasi habitat yang tidak pernah mendapat penyelesaian yang tuntas menyebabkan kehilangan keanekaragaman hayati yang tinggi di Indonesia. Ilustrasi yang telah disampaikan di atas memberikan gambaran betapa beratnya tantangan yang harus dihadapi. Untuk itu perlu adanya pendekatan holistik dan menyeluruh sehingga diperoleh solusi yang komprehensif terkait upaya konservasi di Indonesia.

3

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Sejarah Kawasan

Pada awalnya Gunung Pancar merupakan bagian kelompok Hutan Gunung Hambalang seluas 6695.32 hektar yang berfungsi sebagai hutan produksi. Seiring waktu, kawasan ini berubah fungsi menjadi taman wisata alam dan disahkan oleh Menteri Pertanian tanggal 23 Maret 1976 dan pengelolaannya diserahkan kepada Perhutani. Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Pancar sebagai salah satu kawasan pelestarian alam ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 156/Kpts-II/1988 tanggal 21 Maret 1988 seluas 447.5 hektar. Sebagai kawasan dengan fungsi pendidikan, penelitian dan sarana rekreasi maka berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 54/Kpts-II/1993 tanggal 8 Februari 1993 pengusahaan kawasan tersebut dipercayakan kepada PT Wana Wisata Indah (WWI) yang diberikan hak Pengusahaan Pariwisata Alam di areal kawasan seluas 447.5 hektar. Sebelum dikembangkan menjadi kawasan taman wisata alam, kawasan ini sudah dikenal dengan pemandian air panasnya yang dikelola oleh masyarakat. Pemandian air panas ini sudah ada sejak tahun 1950, lalu pada tahun 1983 masyarakat membuat kolam pemandian dan tahun 1990 dibangun pemandian air panas tersebut untuk umum.

Luas dan Letak

Luas kawasan TWA Gunung Pancar berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 156/Kpts-II/1988 tgl 21 Maret 1988 adalah seluas 447.5 ha. Secara geografis

kawasan ini terletak antara 106°52’ - 106°54’ BT dan 6°34’ -6°36’ LS, sedangkan secara administrasi pemerintahan terletak di Desa Karang Tengah, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor. Sebelah utara berbatasan dengan Kampung Leuwigoong; sebelah timur berbatasan dengan Kampung Cimandala; sebelah selatan berbatasan dengan Kampung Cibingbin dan Desa Bojong Koneng serta sebelah Barat berbatasan dengan Kampung Karang Tengah.


(27)

Topografi

Gunung Pancar merupakan kawasan bukit yang terletak pada ketinggian 300-800 m dpl dengan topografi mulai dari landai, bergelombang sampai terjal dengan kemiringan berkisar antara 15-80%. Banyak areal di lereng Gunung Pancar yang rawan longsor akibat kemiringannya yang sangat curam.

Iklim

Menurut Schmidt dan Ferguson, kawasan TWA Gunung Pancar termasuk ke dalam tipe iklim B dengan curah hujan rata-rata 3.000-4.500 mm/thn. Jumlah hari hujan per tahun berkisar antara 150-250 hari. Suhu udara rata-rata 24°C pada malam hari dan suhu tertinggi 33°C pada siang hari dengan kelembaban udara rata-rata 58-82%.

Hidrologi

Sungai-sungai yang mengalir disekitar kawasan TWA Gunung Pancar antara lain sungai Citeureup, sungai Cibingin dan sungai Ciherang yang merupakan sungai dengan debit terbesar yang mengalir ke arah utara dan bermuara di laut Jawa. Di samping itu, terdapat sumber air panas dengan suhu yang bisa mencapai 70O C yang berasal dari proses geothermal di Gunung Pancar.

Geofisik

Bahan induk pembentuk tanah di kawasan Taman Wisata Alam Gunung Pancar merupakan tuf volkan intermedier yang berasal dari aliran lava gunung tua. Jenis tanah yang mendominasi kawasan ini adalah Latosol coklat dengan solum dalam (>100 cm). Struktur tanah remah sampai gumpal remah dengan tekstur halus, permeabilitas dan drainase sedang sampai cepat. Kepadatan berkisar antara 1.00 –1.39/cc dengan porositas antara 50 – 60%. Kesuburan tanah rendah sampai sedang dengan pH tanah masam.

Flora

TWA Gunung Pancar terdiri dari hutan alam pegunungan dataran rendah, hutan tanaman dan semak belukar. Tipe vegetasi hutan alam terletak di lereng sampai puncak Gunung Pancar seluas 15 hektar dengan jenis vegetasi antara lain


(28)

rasamala (Altingia excelsa), huru (Quercus sp.), beringin (Ficus benjamina), puspa (Schima wallichii), saninten (Castanopsis argentea), jamuju (Podocarpus imbricatus), rotan (Calamus sp.) dan jenis-jenis liana. Selain itu terdapat pula tumbuhan epifit yang menempel pada pohon besar seperti anggrek (Dendrobium sp.), paku sarang burung (Asplenium nidus), dan paku tanduk rusa (Platicerium coronarium). Tipe vegetasi hutan tanaman menempati sebagian besar kawasan ini seluas ± 160 ha. Jenis tanamannya antara lain pinus (Pinus merkusii), sengon (Albizia falcataria), kayu afrika (Maesopsis eminii) dan meranti (Shorea sp.) yang ditanam pada tahun 1982/1983. Jenis tanaman lainnya adalah tanaman budidaya masyarakat seperti singkong dan pisang (Musa sp). Tumbuhan semak belukar terdiri dari jenis kirinyuh (Eupatorium inulifolium), harendong (Melastoma affine), jarong (Achyranthes aspera), saliara (Lantana camara), alang-alang (Imperata cylindrica) dan lain-lain. Hasil eksplorasi yng dilakukan oleh Roemantyo (2009) terhadap seluruh vegetasi di kawasan gunung Pancar diperoleh data 112 jenis tumbuhan yang tergolong dalam 44 suku dan 91 marga. Dari pengamatan yang dilakukan tercatat bahwa ada sekitar 79 jenis tumbuh di kawasan perbatasan hutan dan kebun dimana di antaranya berupa jenis-jenis yang ditanam, sedangkan yang tercatat terdapat dikawasan hutan ada 80 jenis yang tumbuh di kawasan hutan lindung Gunung Pancar.

Fauna

Satwa yang pernah tercatat hidup di kawasan Gunung Pancar antara lain owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), lutung jawa (Trachypithecus auratus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), jelarang (Ratufa bicolor), babi hutan (Sus scrofa) dan jenis-jenis burung seperti elang bondol (Haliastus indus), kutilang (Pycnonotus aurigaster), ayam hutan merah (Galus galus varius), jalak putih (Sturnus melanopterus) dan srigunting (Dicrurus paradiseus). Namun demikian, saat ini beberapa jenis sudah sulit untuk ditemui terutama jenis yang dilindungi.

Kegiatan Sosial Ekonomi

Dalam pengembangan kepariwisataan yang berwawasan lingkungan serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, PT. Wana Wisata Indah diberikan hak pengusahaan pariwisata alam di TWA Gunung Pancar dengan SK Menteri Kehutanan No. 54/Kpts-II/1993 tgl 8 Februari 1993. TWA Gunung Pancar memiliki obyek dan daya tarik wisata yang cukup banyak meliputi pemandian air panas, makam keramat, pergelaran kesenian tradisional daerah, oleh raga sepeda gunung, dan lintas alam. Sarana prasarana wisata di TWA Gunung Pancar diantaranya pusat informasi, pondok kerja, sarana olah raga, camping ground, tempat bermain anak, sarana pemandian air panas, shelter, fasilitas penginapan dan ruang pertemuan.


(29)

4

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan (Mei – Juni 2012) di Taman Wisata Alam (TWA) Gunung Pancar, Bogor, Jawa Barat. Lokasi studi secara administratif terletak di wilayah Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Secara astronomis berada pada koordinat 106O52’ – 106O 54’ BT dan 06o 34’ – 06O 36’ LS (Gambar 2). Karakteristik lokasi studi adalah hutan pegunungan dataran rendah dengan kondisi terfragmentasi dan terisolasi.

Gambar 2 Citra Satelite Lokasi Penelitian (Google Earth 2009) Penelitian mencakup kawasan TWA Gunung Pancar seluas 143.1 ha yang meliputi tiga tipe habitat yaitu hutan alam terdegradasi seluas 20.5 ha; peralihan hutan-kebun seluas 32.3 ha dan kebun seluas 90.3 ha.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi binokuter Nikon dengan perbesaran 8-15 kali untuk pengamatan populasi dan aktivitas harian lutung jawa, peta/citra satelit TWA Gunung Pancar, GPS Garmin eTrex Vista H untuk merekam data koordinat perjumpaan lutung jawa, kamera, stopwatch, kompas, clinometer untuk pengukuran kemiringan lereng, lembar data dan alat tulis. Meteran rol untuk pengukuran diameter batang, kantung plastik, kertas


(30)

koran, gunting/golok, label gantung dan alkohol 70% untuk pembuatan voucher herbarium. Perangkat lunak yang digunakan untuk pengolahan data antara lain ArcView 3.3 untuk pengolahan data spasial, Microsoft Excel 2007 untuk pencatatan dan tabulasi data, software Paleontological Statistics (PAST) versi 2.13 untuk analisis Principal Component Analysis (PCA) dan software Canoco versi 4.5 untuk analisis Canonical Correspondence Analysis (CCA).

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam beberapa tahap meliputi: (1) survey awal dan studi literatur, (2) pengamatan lutung jawa sesuai dengan parameter data yang dibutuhkan, (3) pengambilan data vegetasi (4) pengolahan dan analisis data.

Data yang Diperlukan

Data yang diperlukan dan metode pengumpulannya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Jenis data dan metode pengumpulannya

No Variabel/peubah Metode

1 Populasi (jumlah individu) Observasi lapangan dengan metode line transect

method (Struhsaker 1981)

2 Aktivitas harian Observasi lapangan dengan metode focal animal

sampling (Lehner 1976).

3 Data vegetasi Analisis vegetasi dengan Point-Centered Quarter

Method(Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974)

4 Tutupan lahan Analisis spasial dan pengecekan lapangan

5 Kemiringan

lahan/kelerengan

Analisis Spasial (DEM) dan juga pengukuran di lapangan menggunakan clinometer.

6 Ketinggian tempat Analisis spasial (DEM) serta pengukuran di

lapangan menggunakan GPS

7 Jarak dari jalan Analisis spasial peta RBI dan pengecekan

lapangan 8 Jarak dari kebun/areal

pertanian

Analisis spasial peta RBI dan pengecekan lapangan

Metode Pengumpulan Data

Populasi Lutung Jawa (Trachypithecus auratus)

Pengamatan populasi lutung jawa dilakukan dengan menggunakan metode jalur (line transect method) (Struhsaker 1981, Subcommittee on Conservation of


(31)

Natural Population 1981). Pengamatan populasi lutung jawa dilaksanakan setiap dua minggu, hasil perjumpaan selama pengamatan dirata-ratakan untuk mendapatkan perkiraan jumlah populasi lutung jawa. Kepadatan populasi diperoleh dengan membandingan jumlah populasi per satuan luas area survei.

Jalur pengamatan mengikuti punggung bukit memanjang dari arah utara ke selatan dengan panjang kurang lebih 700 meter. Jalur pengamatan memotong kontur topografi dan melewati tipe-tipe habitat yang ada di Gunung Pancar. Pengamatan dilakukan pada pukul 06.00 – 09.00 serta pukul 15.00 – 18.00. Pengamatan dilakukan dengan cara bergerak perlahan sepanjang jalur pengamatan untuk mendeteksi keberadaan lutung jawa. Pada titik-titik tertentu pengamat berhenti untuk mengamati sekeliling. Ketika ada kelompok lutung jawa yang terdeteksi maka dilakukan pencatatan lokasi perjumpaannya menggunakan GPS. Selajutnya dilakukan pencatatan data populasi meliputi jumlah individu, jenis kelamin, dan kelas umur.

Aktivitas Harian

Pengamatan aktivitas harian dilakukan dengan metode focal animal sampling (Lehner 1976) dimana pengamat mengikuti pergerakan lutung jawa sepanjang hari (Martin & Bateson 1986) mulai dari pukul 06.00-18.00. Unit contoh pengamatan adalah individu lutung jantan dan betina dewasa. Data yang dikumpulkan meliputi identitas satwa, jenis perilaku harian, lama aktivitas (durasi), dan peubah vegetasi.

Jenis perilaku harian meliputi istirahat (resting), makan (feeding), perilaku bergerak (moving) (Chiver & Raemakers 1980) serta aktivitas sosial (social activities) (Chalmers 1980). Aktivitas bergerak (moving) meliputi berjalan quadropedal, berlari kecil, berpindah bipedal, meloncat, bergelantungan, berenang, memanjat dan menuruni pohon. Aktivitas makan meliputi makan, minum dan foraging. Aktivitas istirahat meliputi diam, self-grooming dan tidur. Aktivitas sosial meliputi social grooming, kawin, bermain, dan berkelahi.

Data Lingkungan

1. Data Vegetasi (Biotik)

Pengambilan data vegetasi untuk keperluan analisis vegetasi dilaksanakan dengan Point-Centered Quarter Method (PCQR) (Mueller-Dumbois & Ellenberg 1974) berdasarkan titik perjumpaan dengan lutung jawa. Metode ini merupakan metode tanpa petak contoh (plotless) dimana sangat baik untuk menduga komunitas yang berbentuk pohon dan tiang. Titik pusat kuadran ditentukan berdasarkan vegetasi/titik perjumpaan lutung jawa. Pada tiap kuadran dilakukan pengukuran jarak pohon dan tiang dengan titik pusat kuadran serta pengukuran diameter pohon setinggi dada (130 cm) atau sekitar 50 cm di atas akar papan (banir). Selanjutnya pada setiap kuadran dilakukan pengukuran terhadap satu pohon dan satu tiang yang jaraknya paling dekat ke titik pengamatan (Mitchel 2007). Metode ini dianggap tepat dimana menghasilkan nilai kerapatan yang akurat (Dahdouh-Guebas et al. 2006) dan memungkinkan pengukuran secara cepat dan efisien.


(32)

2. Data Fisik

Data fisik yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi tutupan lahan, kemiringan lahan, ketinggian tempat, jarak dari jalan dan jarak dari kebun. Variabel kemiringan lahan diperoleh dengan melakukan analisis DEM dan pengecekan lapangan dengan menggunakan clinometer. Ketinggian tempat diperoleh dari analisis peta kontur dan hasil penandaan dengan GPS. Tipe tutupan lahan diidentifikasi berdasarkan analisis peta tutupan lahan dan pengecekan lapangan, sedangkan variabel jarak dari jalan dan jarak dari kebun diperoleh dengan melakukan identifikasi peta RBI dan pengeplotan koordinat GPS hasil pengecekan lapangan. Analisis dan identifikasi spasial dilakukan dengan bantuan software ArcView 3.3.

Metode Analisis Data

Distribusi Aktivitas

Distribusi aktivitas lutung jawa ditentukan dengan analisis statistik deskriptif kuantitatif dan uji chi square (χ2). Analisis deskriptif kuantitatif dilakukan untuk menggambarkan pengelompokan data beserta kecenderungan-kecenderungannya yang disajikan melalui gambar, grafik dan tabel. Analisis chi square dilakukan untuk menentukan bentuk pola sebaran aktivitas harian lutung jawa sehingga dapat diketahui distribusi aktivitas lutung jawa pada berbagai variabel lingkungan. Interpretasi hasil uji chi square (χ2) dilakukan dengan

membandingkan nilai χ2 hitung dan χ2

tabel (db; α). Jika nilai χ2 > χ2(db; α) maka dinyatakan terdapat perbedaan pola sebaran aktivitas pada variabel lingkungan

yang diuji, sedangkan jika χ2 < χ2

(db; α) maka dinyatakan tidak terdapat perbedaan pola sebaran aktivias pada variabel lingkungan yang diuji atau dapat dikatakan pola sebarannya relatif seragam.

Faktor Lingkungan yang Berpengaruh terhadap Aktivitas Harian

Analisis hubungan antara aktivitas harian dengan faktor lingkungan (biotik dan fisik) dilakukan dengan Canonical correspondence analysis (CCA) dengan cara memasukkan set data aktivitas harian yang akan dihubungkan dengan set data variabel lingkungan menggunakan software Canoco 4.5. Standarisasi dan transformasi data dilakukan dengan akar (x+0.5) mengingat banyak data yang

bernilai “0” pada sebaran data keseluruhan. Pengujian statistik hipotesis pengaruh faktor lingkungan terhadap aktivitas harian lutung jawa dihitung dengan Monte Carlo permutation test.

Hubungan Aktivitas Harian dengan Jenis Vegetasi

Analisis PCA digunakan untuk melihat jenis-jenis vegetasi yang berpengaruh terhadap distribusi aktivitas lutung jawa. Principal Component


(33)

Analysis (PCA) merupakan salah satu bentuk analisa multivariate yang berguna untuk mengelompokkan variable-variabel dan menentukan kontribusi dari masing-masing variabel tersebut terhadap suatu variabel bebas yang ingin diuji. Prosedur PCA pada dasarnya adalah bertujuan untuk menyederhanakan variabel yang diamati dengan cara menyusutkan (mereduksi) dimensinya. Hal ini dilakukan dengan cara menghilangkan korelasi diantara variabel bebas melalui transformasi variabel bebas asal ke variabel baru yang tidak berkorelasi sama sekali atau yang biasa disebut dengan principal component. Setelah beberapa komponen hasil PCA yang bebas multikolinearitas diperoleh, maka komponen-komponen tersebut menjadi variabel bebas baru yang akan diregresikan atau dianalisa pengaruhnya terhadap variabel tak bebas (Y) dengan menggunakan analisis regresi. Analisis PCA dilakukan dengan alat bantu software Paleontological Statistics (PAST) versi 2.13. Standarisasi dan transformasi data dilakukan dengan akar (x+0.5) mengingat banyak data yang bernilai “0” dalam sebaran data keseluruhan.

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Populasi Lutung Jawa

Hasil pengamatan populasi menunjukkan ada dua kelompok lutung jawa di TWA Gunung Pancar dengan perkiraan populasi 20 individu. Kelompok pertama terdiri dari 9 individu yang dijumpai pada lokasi lereng sebelah timur dengan kondisi habitat peralihan hutan-kebun. Kelompok kedua terdiri dari 11 individu dan dijumpai di lereng sebelah utara dengan kondisi habitat hutan terdegradasi yang berbatasan dengan kebun. Medway (1970), Kartikasari (1982) dan Cannon (2009) menyatakan lutung jawa hidup berkelompok dengan anggota 6-23 ekor dengan satu jantan pemimpin, beberapa betina dewasa, anak dan bayi. Struktur kelompok lutung jawa disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Struktur kelompok lutung jawa di Gunung Pancar (individu)

Kel Struktur Kelompok Habitat

Jantan dws Betina dws Remaja Anak Bayi

A 1 3 4 1 0 HA, Prlhn H-K, K

B 1 4 4 1 1 HA, Prlhn H-K, K

Keterangan : HA = Hutan Alam; Prlhn H-K = Peralihan Hutan-Kebun; K = Kebun

Penaksiran kepadatan populasi berdasarkan cakupan area pengamatan seluas kurang lebih 143 hektar menunjukkan nilai kepadatan yang rendah yaitu 0,14 individu/hektar. Teridentifikasi tiga tipe habitat yang digunakan lutung jawa yaitu


(34)

hutan alam terdegradasi, peralihan hutan-kebun dan kebun/lahan pertanian (Gambar 3). Komposisi jenis vegetasi dihabitat lutung jawa merupakan campuran antara vegetasi hutan dengan tanaman introduksi. Vegetasi dominan yang dijumpai antara lain pasang (Quercus argentea), pasang renjung (Lithocarpus elegans), kiara (Ficus spp), ki haji (Dysoxylum macrocarpum), ki cau (Pisonia umbelliflora) dan kemang (Mangifera caesia).

Dari dua kelompok lutung jawa yang dijumpai, kelompok dua dipilih sebagai objek pengamatan aktivitas harian karena memiliki komposisi kelompok yang lebih lengkap. Pengamatan aktivitas harian selanjutnya dilakukan dengan menggunakan metode focal animal sampling (Lehner 1979).

Gambar 3 Tipe habitat lutung jawa di TWA Gunung Pancar. (a) Hutan terdegradasi; (b) Peralihan hutan kebun; (c) Kebun.

Distribusi Aktivitas Harian Lutung Jawa 1. Alokasi Waktu Aktivitas Harian

Data aktivitas harian yang dikumpulkan meliputi frekuensi perjumpaan dan lama waktu (durasi) aktivitas pada berbagai variabel lingkungan (biotik dan fisik). Durasi aktivitas total menunjukkan proporsi aktivitas lutung jawa berturut-turut adalah istirahat (33.65%), makan (30.68%), gerak (27.08%) dan sosial (8.60%) (Gambar 4).

a


(35)

Persentase aktivitas istirahat tercatat paling tinggi (33.65%), sedangkan aktivitas sosial merupakan yang terendah (8.60%). Pola yang berbeda dijumpai pada lutung jantan dan betina dewasa dimana jantan lebih banyak diam/istirahat (34.45%), sedangkan betina lebih banyak mengalokasikan waktunya untuk makan (Gambar 5).

Sepanjang rentang waktu aktivitas hariannya tercatat lutung jawa lebih dominan beraktivitas pada pagi hari, terutama aktivitas makan (54.73%) dan sosial (52.56%) (Gambar 6).

Gambar 4 Durasi aktivitas harian lutung jawa

Gambar 5 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina

Gambar 6 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori selang waktu 30.68%

27.08%

8.60%

33.65%

0% 10% 20% 30% 40%

makan gerak sosial istirahat

Dura

si

Aktivitas

34.82%

24.47%

7.80%

32.91%

26.22% 29.88%

9.45%

34.45%

0% 10% 20% 30% 40%

makan gerak sosial istirahat

Dura

si

Aktivitas

Betina Jantan

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

Makan Gerak Sosial Istirahat

Dura

si

Aktivitas


(36)

Aktivitas bergerak relatif merata sepanjang hari dengan durasi tertinggi tercatat pada siang hari (36.23%). Aktivitas istirahat mempunyai tren meningkat dari pagi (25.44%) menuju sore hari (38.43%). Kecenderungan penurunan durasi dijumpai pada aktivitas sosial dan makan (Gambar 5).

Durasi aktivitas lutung jantan dan betina dewasa memiliki pola yang relatif sama dimana aktivitas makan dan sosial cenderung tinggi pada pagi hari, sedangkan aktivitas bergerak lebih dominan pada siang hari (Tabel 3).

Tabel 3 Durasi aktivitas lutung janta dan betina pada berbagai kategori selang waktu

Waktu Betina (%) Jantan (%)

Makan Gerak Sosial Istirahat Makan Gerak Sosial Istirahat

06.00-09.59 56.21 35.07 54.55 25.43 52.62 34.95 50.81 25.44

10.00-13.59 25.87 36.23 26.36 35.56 28.49 36.22 29.84 36.73

14.00-18.00 17.92 28.70 19.09 39.01 18.90 28.83 19.35 37.83

Berbeda dengan pola durasi aktivitas, frekuensi aktivitas terlihat menurun mulai dari pagi menuju sore hari. Perbedaan yang cukup menonjol terlihat dari tingginya frekuensi istirahat pada pagi hari (37.97%) (Gambar 7) dibandingkan dengan durasinya yang rendah (25.44%) (Gambar 6).

Gambar 7 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori selang waktu Pola yang sama dijumpai pada lutung jatan dan betina terkait penurunan frekuensi aktivitas makan, gerak dan istirahat pada pagi sampai sore hari. Aktivitas istirahat relatif rendah pada siang hari dibandingkan dengan pagi dan sore hari (Tabel 4).

Tabel 4 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori selang waktu

Waktu Betina (%) Jantan (%)

Makan Gerak Sosial Istirahat Makan Gerak Sosial Istirahat

06.00-09.59 41.33 37.18 50.00 37.97 41.33 37.18 50.00 37.97

10.00-13.59 32.00 33.33 29.63 30.38 32.00 33.33 29.63 30.38

14.00-18.00 26.67 29.49 20.37 31.65 26.67 29.49 20.37 31.65

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

makan gerak sosial istirahat

F

re

k

uens

i

Aktivitas


(37)

2. Aktivitas Harian pada Berbagai Kategori Stratum Pohon

Soerianegara & Indrawan (1998) membagi komposisi vegetasi hutan tropis menjadi lima stratum berdasarkan ketinggian pohon. Berdasarkan kategori tersebut diketahui durasi aktivitas lutung jawa sangat dominan pada stratum C dengan persentase aktivitas tertinggi adalah istirahat (85.59%). Stratum A dan stratum B hanya sedikit dimanfaatkan oleh lutung jawa terutama terkait dengan aktivitas makan dan bergerak (Gambar 8).

Gambar 8 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori stratum pohon Lutung jantan dan betina dewasa lebih banyak beristirahat pada kategori pohon dengan rentang ketinggian 4-20 m (stratum C). Pada stratum B lutung jantan lebih banyak bergerak (19.35%), sedangkan betina lebih banyak makan (18.33%) (Tabel 5).

Tabel 5 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori strata pohon

Stratum Pohon Betina (%) Jantan (%)

Makan Gerak Sosial Istirahat Makan Gerak Sosial Istirahat

Stratum A (>30m) 1.43 1.74 0.91 0.65 1.45 2.30 0.81 0.66

Stratum B (20-30m) 18.33 16.23 15.45 14.01 17.15 18.37 19.35 13.50

Stratum C (4-20m) 80.24 82.03 83.64 85.34 81.40 79.34 79.84 85.84

Stratum D (1-4m) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Stratum E (0-1m) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Frekuensi aktivitas menunjukkan pola yang sama dengan durasi aktivitas dengan persentase tertinggi pada strstum C (Gambar 9). Pola serupa juga dijumpai pada lutung jantan dan betina dewasa. Aktivitas bergerak memiliki persentase yang cukup tinggi pada stratum B baik pada lutung jantan maupun betina dengan persentase 19.33% (Tabel 6).

1 .4 4 % 1 7 .8 4 % 8 0 .7 2 % 0 .0 0 % 0 .0 0 % 2 .0 4 % 1 7 .3 7 % 8 0 .6 0 % 0 .0 0 % 0 .0 0 % 0 .8 5 % 1 7 .5 2 % 8 1 .6 2 % 0 .0 0 % 0 .0 0 % 0 .6 6 % 1 3 .7 6 % 8 5 .5 9 % 0 .0 0 % 0 .0 0 % 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90%

Stratum A (>30m) Stratum B (20-30m)

Stratum C (4-20m)

Stratum D (1-4m) Stratum E (0-1m)

Dura

si

Stratum Vegetasi


(38)

Gambar 9 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori stratum pohon Tabel 6 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori

stratum pohon

Stratum Pohon Betina (%) Jantan (%)

Makan Gerak Sosial Istirahat Makan Gerak Sosial Istirahat

Stratum A (>30m) 1.33 1.28 1.85 1.27 1.33 1.28 1.85 1.27

Stratum B (20-30m) 17.33 19.23 18.52 16.46 17.33 19.23 18.52 16.46

Stratum C (4-20m) 81.33 79.49 79.63 82.28 81.33 79.49 79.63 82.28

Stratum D (1-4m) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

Stratum E (0-1m) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

3. Aktivitas Harian pada Berbagai Kategori Tutupan Lahan

Durasi aktvitas tertinggi dijumpai pada habitat peralihan hutan-kebun, diikuti oleh habitat hutan terdegradasi dan habitat kebun (Gambar 10). Perbedaan pola durasi aktivitas dijumpai pada lutung jantan dan betina. Tercatat durasi aktivitas istirahat lutung jantan paling tinggi pada habitat hutan alam terdegradasi (55.81%), sedangkan pada lutung betina aktivitas makan adalah yang paling dominan (48.47%) (Tabel 7).

Gambar 10 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori tutupan lahan

1 .3 3 % 1 7 .3 3 % 8 1 .3 3 % 0 .0 0 % 0 .0 0 % 1 .2 8 % 1 9 .2 3 % 7 9 .4 9 % 0 .0 0 % 0 .0 0 % 1 .8 5 % 1 8 .5 2 % 7 9 .6 3 % 0 .0 0 % 0 .0 0 % 1 .2 7 % 1 6 .4 6 % 8 2 .2 8 % 0 .0 0 % 0 .0 0 % 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% Stratum A (>30m)

Stratum B (20-30m)

Stratum C (4-20m)

Stratum D (1-4m)

Stratum E (0-1m) F r e k ue nsi Stratum Vegetasi

makan gerak sosial istirahat

3 6 .2 9 % 4 2 .8 8 % 3 7 .6 1 % 4 1 .4 8 % 4 8 .5 0 % 4 4 .9 1 % 4 7 .8 6 % 4 6 .1 8 % 1 5 .2 1 % 1 2 .2 1 % 1 4 .5 3 % 1 2 .3 4 % 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

makan gerak sosial istirahat

Dura

si

Aktivitas


(39)

Tabel 7 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori tutupan lahan

Tutupan Lahan Betina (%) Jantan (%)

Makan Gerak Sosial Istirahat Makan Gerak Sosial Istirahat

Hutan alam 32.38 42.03 11.88 37.88 41.86 49.71 13.66 56.40

Peralihan hutan-kebun 48.47 45.51 10.18 47.05 48.55 50.58 18.02 55.81

Kebun 19.14 12.46 3.87 9.57 9.59 13.66 4.36 19.19

Grafik aktivitas total (Gambar 11) menunjukkan setiap jenis aktivitas dominan dijumpai pada habitat peralihan hutan-kebun dengan persentase berkisar antara 46.58 – 48.19%. Pola serupa juga dijumpai pada lutung jantan maupun lutung betina. Lutung jantan lebih banyak istirahat (48.10%), sedangkan betina banyak beraktivitas sosial (50.00%) (Tabel 8).

Gambar 11 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori tutupan lahan Tabel 8 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori

tutupan lahan

Tutupan Lahan Betina (%) Jantan (%)

Makan Gerak Sosial Istirahat Makan Gerak Sosial Istirahat

Hutan alam 38.67 39.74 33.33 39.24 40.00 41.03 40.74 39.24

Peralihan hutan-kebun 48.00 47.44 50.00 48.10 46.67 46.15 42.59 48.10

Kebun 13.33 12.82 16.67 12.66 13.33 12.82 16.67 12.66

4. Aktivitas Harian pada Berbagai Kategori Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng merupakan salah satu komponen penyusun topografi habitat yang berpengaruh terhadap kehidupan satwaliar yang ada didalamnya. Kemiringan lereng dikelompokkan menjadi lima kategori berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 837/Kpts/II/1980 yaitu datar (0-8%), landai (8-15%), bergelombang

4 0 .2 4 % 4 0 .2 4 % 3 9 .7 3 % 3 9 .7 6 % 4 7 .5 6 % 4 7 .5 6 % 4 6 .5 8 % 4 8 .1 9 % 1 2 .2 0 % 1 2 .2 0 % 1 3 .7 0 % 1 2 .0 5 % 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

makan gerak sosial istirahat

Fre k u ens i Aktivitas


(40)

(15-25%), curam (25-40%) dan sangat curam (> 40%). Proporsi luas dari tiap kategori disajikan pada Lampiran 7. Kemiringan lereng yang bergelombang/agak curam diketahui lebih disukai oleh lutung jawa dibandingkan area yang landai. Durasi aktivitas tertinggi adalah istirahat yang dijumpai pada kemiringan lereng bergelombang (49.67%) (Gambar 12).

Gambar 12 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori kemiringan lereng Lutung jantan dan betina tercatat dominan beraktivitas pada area dengan kemiringan lereng bergelombang. Tercatat durasi aktivitas istirahat memiliki proporsi yang tinggi, pada betina sebesar 51.29% dan pada jantan 48.01% (Tabel 9).

Tabel 9 Durasi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori kemiringan lereng

Kemiringan Lereng Betina (%) Jantan (%)

Makan Gerak Sosial Istirahat Makan Gerak Sosial Istirahat

0-8 (datar) 10.39 10.43 9.09 11.42 17.44 15.56 14.52 11.95

8-15 (landai) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

15-25 (bergelombang) 47.66 44.35 48.18 51.29 48.26 42.60 48.39 48.01

25-40 (curam) 21.38 28.70 25.45 25.22 19.77 26.02 16.94 23.89

>40 (sangat curam) 20.57 16.52 17.27 12.07 14.53 15.82 20.16 16.15

Frekuensi aktivitas lutung jawa memiliki pola yang serupa dengan durasi aktivitas pada variabel kemiringan lereng. Frekuensi aktivitas relatif tinggi pada area dengan kemiringan lereng yang bergelombang sampai curam dibandingkan area yang datar/landai dengan persentase aktivitas tertinggi adalah istirahat sebesar 47.59% (Gambar 13)

1 3 .2 9 % 0 .0 0 % 4 7 .9 0 % 2 0 .7 2 % 1 8 .0 8 % 1 3 .1 6 % 0 .0 0 % 4 3 .4 2 % 2 7 .2 7 % 1 6 .1 5 % 1 1 .9 7 % 0 .0 0 % 4 8 .2 9 % 2 0 .9 4 % 1 8 .8 0 % 1 1 .6 8 % 0 .0 0 % 4 9 .6 7 % 2 4 .5 6 % 1 4 .0 8 % 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

0-8 8-15 15-25 25-40 >40

Dura

si

Kemiringan lereng (%)


(41)

Gambar 13 Frekuensi aktivitas total pada berbagai kategori kemiringan lereng Pada kategori kemiringan lereng bergelombang, lutung jantan lebih banyak beristirahat (45.57%) sedangkan lutung betina banyak beraktivitas sosial (51.85%). Data frekuensi yang lebih lengkap disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10 Frekuensi aktivitas lutung jantan dan betina pada berbagai kategori kemiringan lereng

Kemiringan Lereng Betina (%) Jantan (%)

Makan Gerak Sosial Istirahat Makan Gerak Sosial Istirahat

0-8 (datar) 14.67 14.10 11.11 15.19 16.00 15.38 16.67 15.19

8-15 (landai) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00

15-25 (bergelombang) 46.67 46.15 51.85 45.57 44.00 43.59 44.44 45.57

25-40 (curam) 22.67 24.36 20.37 24.05 24.00 25.64 20.37 24.05

>40 (sangat curam) 16.00 15.38 16.67 15.19 16.00 15.38 18.52 15.19

5. Aktivitas Harian pada Berbagai Kategori Ketinggian Tempat

Ketinggian tempat merupakan salah satu faktor topografi yang berpengaruh terhadap distribusi dan kelimpahan vegetasi dan satwa. Gambar 14 menunjukkan bahwa aktivitas lutung jawa banyak dijumpai pada rentang ketinggian 700-850 m dpl dengan intensitas tertinggi pada rentang ketingian 800-850 m dpl (29.06%-31.77%). Durasi aktivitas terendah dijumpai pada rentang ketinggian 600-700 m dpl (1.71% - 2.56%) (Gambar 14).

Gambar 14 Durasi aktivitas total pada berbagai kategori ketinggian tempat

1 4 .8 1 % 0 .0 0 % 4 5 .6 8 % 2 4 .6 9 % 1 4 .8 1 % 1 4 .4 6 % 0 .0 0 % 4 5 .7 8 % 2 5 .3 0 % 1 4 .4 6 % 1 2 .6 8 % 0 .0 0 % 4 7 .8 9 % 2 2 .5 4 % 1 6 .9 0 % 1 4 .4 6 % 0 .0 0 % 4 5 .7 8 % 2 5 .3 0 % 1 4 .4 6 % 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60%

0-8 8-15 15-25 25-40 >40

F

re

k

uens

i

Kemiringan Lereng (%)

Makan Gerak Sosial Istirahat

2 .4 0 % 1 .6 8 % 2 2 .0 4 % 2 4 .6 7 % 2 9 .8 2 % 1 9 .4 0 % 2 .0 4 % 2 .3 1 % 2 2 .3 9 % 2 3 .0 7 % 3 0 .5 3 % 1 9 .6 7 % 2 .5 6 % 1 .7 1 % 2 3 .9 3 % 2 4 .7 9 % 2 9 .0 6 % 1 7 .9 5 % 1 .9 7 % 1 .8 6 % 2 4 .1 3 % 2 5 .9 8 % 3 1 .7 7 % 1 4 .3 0 % 0% 10% 20% 30% 40%

600-650 651-700 701-750 751-800 801-850 851-900

Dura

si

Ketinggian Tempat (m dpl)


(1)

Lampiran 5 Jenis-jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh lutung jawa untuk beraktivitas

No. Spesies Nama daerah

1 Lithocarpus elegans pasang renjung

2 Pisonia umbelliflora ki cau

3 Maesopsis eminii kayu afrika

4 Xerospermum noronhianum ki rambutan

5 Glochidion arborescens ki pare

6 Phoebe excelsa huru benyeur

7 Lithocarpus sundaicus pasang

8 Casearia grewiaefolia ki bonteng

9 Bischofia javanica gadog

10 Quercus argentea pasang

11 Quercus javensis pasang beusi

12 Ficus punctata kiara

13 Mangifera caesia ki kemang

14 Neesia altissima Randu hutan

15 Aleurites moluccana muncang/kemiri

16 Saurauia nudiflora ki ketan

17 Syzygium rostratum ki sireum

18 Azadirachta indica mindi

19 Castanopsis javanica saninten

20 Dysoxylum macrocarpum ki haji

21 Fagraea elliptica ki kadu

22 Ficus elastica kiara kebo

23 Pangium edule picung

24 Chydenanthus excelsus putat


(2)

74

Lampiran 6 Jenis-jenis tumbuhan pakan potensial lutung jawa

Famili Genus Nama lokal

Lauraceae Actinodaphne procera huru payung

Moraceae Artocarpus heterophyllus cempedak/nangka

Moraceae Artocarpus elasticus tereup

Meliaceae Azadirachta indica mindi

Euphorbiaceae Bischofia javanica gadog

Fagaceae Castanopsis javanica saninten

Meliaceae Dysoxylum macrocarpum ki haji

Moraceae Ficus punctata kiara

Moraceae Ficus globosa kiara pereng

Moraceae Ficus variegata kondang

Crusiaceae Garcinia dulcis manggu gunung

Euphorbiaceae Glochidion arborescens ki pare

Fagaceae Lithocarpus sundaicus pasang

Fagaceae Lithocarpus elegans pasang renjung

Lauraceae Litsea chinensis huru besi

Rhamnaceae Maesopsis eminii kayu afrika

Anacardiaceae Mangifera caesia ki kemang

Fagaceae Quercus javensis pasang besi

Myrtaceae Syzygium rostratum ki sireum

Myrtaceae Syzygium polycephala kupa

Urticaceae Villebrunea rubescens nangsi


(3)

Lampiran 7 Klasifikasi kemiringan lereng di TWA Gunung Pancar

Kelas Kemiringan Lereng

Luas (ha) Peralihan

hutan-kebun Hutan alam Kebun

0-8% (datar) 0.30 2.29 2.14

8-15% (landai) 0 0 0

15-25% (bergelombang) 8.95 1.90 16.05

25-40% (curam) 6.75 3.22 45.66

>40% (sangat curam) 16.30 13.11 26.45


(4)

76

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 25 Juli 1985 sebagai anak pertama dari dua bersaudara. Tahun 2003 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Kebumen dan pada tahun yang sama menempuh pendidikan sarjana di Program Studi Biologi Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta dan lulus pada tahun 2008. Selepas lulus pendidikan sarjana, penulis bekerja di Pusat Penelitian Biologi LIPI sejak tahun 2008 sebagai staf peneliti dengan bidang keahlian ekologi satwa. Pada tahun 2010 penulis berkesempatan melanjutkan pendidikan pada jenjang S2 di Program Studi Biodiversitas Tropika, Sekolah Pascasarjana IPB.


(5)

RINGKASAN

EKO SULISTYADI. Perilaku Lutung Jawa Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) pada Fragmen Habitat Terisolasi di TWA Gunung Pancar. Dibimbing oleh AGUS PRIYONO KARTONO dan IBNU MARYANTO.

Lutung jawa merupakan satwa primata yang terancam punah. Degradasi habitat sebagai ancaman utama menyebabkan banyak populasi lutung jawa hidup pada fragmen habitat yang terisolasi. Penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas harian lutung jawa di TWA sebagai bentuk adaptasi pada fragmen habitat yang terisolasi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2012 menggunakan metode focal animal sampling. Analisis vegetasi dilakukan dengan point centered quarter method pada 40 plot sampling yang ditentukan berdasarkan titik perjumpaan lutung jawa.

Hasil kajian menunjukkan terdapat tiga tipe tutupan lahan yang digunakan oleh lutung jawa yaitu hutan alam, peralihan hutan-kebun dan kebun. Aktivitas dominan lutung jawa dijumpai pada peralihan hutan-kebun (48.19%). Proporsi aktivitas tertinggi berturut-turut adalah istirahat (33.65%), makan (30.68%), bergerak/berpindah (27.08%) dan aktivitas sosial (8.60%). Berdasarkan uji chi square diketahui frekuensi perjumpaan lutung jawa menunjukkan pola sebaran yang berbeda pada setiap variabel lingkungan kecuali pada kategori waktu aktivitas, sedangkan frekuensi tiap jenis aktivitas menunjukkan pola distribusi yang relatif sama pada setiap variabel lingkungan. Durasi aktivitas lutung betina dewasa menunjukkan pola sebaran yang berbeda pada variabel waktu aktivitas, jarak dari kebun, jarak dari jalan dan tutupan lahan, sedangkan durasi aktivitas lutung jantan dewasa hanya berhubungan dengan variabel waktu aktivitas.

Analisis CCA menunjukkan adanya variasi hubungan aktivitas harian terhadap faktor-faktor lingkungan. Analisis PCA menunjukkan adanya hubungan antara beberapa vegetasi dominan terhadap aktivitas harian dengan nilai total inertia akar ciri (eigenvalue) sebesar 3.46 dan total variasi yang dapat dijelaskan pada komponen 1, komponen 2 dan komponen 3 masing-masing adalah 86.43%, 7.90% dan 4.20%.


(6)

SUMMARY

EKO SULISTYADI. The Behavior of Javan Langur Trachypithecus auratus (E. Geoffroy, 1812) on Isolated Habitat Fragment in TWA Gunung Pancar. Under supervised by AGUS PRIYONO KARTONO and IBNU MARYANTO.

Javan langur is protected spesies of primates that highly threatened. Habitat degradation as a major threat causes a lot of javan langur populations living in isolated habitat fragments. The study aims to assess the daily activities of javan langur in isolated habitat fragments in the TWA Gunung Pancar as a form of adaptation to an isolated habitat fragments. The research was conducted in May-June 2012 by using focal animal sampling method. Vegetation analysis was performed by point-centered quarter method for 40 sampling plot determined by encounter point of javan langur.

The results showed that there were three major land cover types used by the Javan langur which are forest, transitional forest-plantation and plantation. The dominant activity found in transitional forest-plantation (48.19%). The proportion of aech activity is resting (33.65%), eating (30.68%), moving (27.08%) and social activities (8.60%). Based on chi square test known that the encounter of frequency showed a different distribution pattern in each environment variable, except in the category of time activity, while the frequency of each activity showed the same distribution pattern in each environment variable. The duration activity of adult female showed a different pattern of distribution in the time activities variabel, the distance from the cultivation, the distance from the road and land cover variabel, while the duration of activity of adult male only corelated with time activity variable.

CCA analysis showed the variation trend of the daily activities related to environmental factors. PCA analysis showed a trend of association between some of the dominant vegetation with daily activities for a total eigenvalue of 3.46 and a total variation described in component 1, component 2 and component 3 is 86.43%, 7.90% and 4.20%.