Sikap Konsumen dengan Pendekatan Theory of Planned Behavior dan Proses Pembelian terhadap Produk Cabai Kering

i

SIKAP KONSUMEN DENGAN PENDEKATAN THEORY OF
PLANNED BEHAVIOR DAN PROSES PEMBELIAN
TERHADAP PRODUK CABAI KERING

ACHMAD FACHRUDDIN

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Sikap Konsumen dengan
Pendekatan Theory of Planned Behavior dan Proses Pembelian terhadap Produk
Cabai Kering adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, November 2014

Achmad Fachruddin
NIM H351130746

iv

RINGKASAN
ACHMAD FACHRUDDIN. Sikap Konsumen dengan Pendekatan Theory of
Planned Behavior dan Proses Pembelian terhadap Produk Cabai Kering.
Dibimbing oleh MUHAMMAD FIRDAUS dan NETTI TINAPRILLA.
Cabai kering dapat menjadi alternatif solusi permasalahan fluktuasi harga
cabai, jika substitusi cabai segar dengan cabai kering dapat dilakukan oleh
konsumen rumah tangga. Prospek substitusi tersebut berkaitan dengan sikap
rumah tangga terhadap cabai kering. Disisi lain sebagian usaha bumbu giling di

pasar tradisional Bogor telah menggunakan cabai kering sebagai substitusi bahan
baku cabai segar. Tujuan penelitian ini yaitu, 1) menganalisis sikap rumah tangga
terhadap cabai kering dengan pendekatan Theory of Planned Behavior, 2)
mengidentifikasi faktor yang berpengaruh terhadap niat beli cabai kering, 3)
menganalisis sensitivitas harga konsumen rumah tangga dalam pembelian cabai
segar, 4) menganalisis proses pembelian cabai kering oleh usaha bumbu giling.
Penelitian ini dilakukan pada tiga pasar tradisional di Bogor. Sebanyak 30
responden ibu rumah tangga dipilih dengan teknik judgemental sampling, dan
sebanyak 14 usaha cabai giling dipilih dengan metode sensus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap terhadap pembelian cabai
kering, persepsi pengendalian perilaku dan niat beli mayoritas responden berada
pada batas bawah kategori sedang, sedangkan norma subjektif berada pada
kategori rendah. Faktor yang berpengaruh nyata positif terhadap niat beli cabai
kering yaitu norma subjektif dan sikap terhadap pembelian cabai kering,
sedangkan pendapatan rumah tangga berpengaruh negatif. Mayoritas responden
memiliki sensitivitas harga yang sangat rendah. Sikap, niat beli, dan sensitivitas
harga konsumen rumah tangga menunjukkan kecilnya peluang substitusi cabai
segar dengan cabai kering. Usaha bumbu giling di pasar tradisional Bogor
umumnya mulai membeli cabai kering saat harga cabai segar di atas Rp 30 000,
dan kuantitas cabai kering yang digunakan sebagai bahan baku sangat bervariasi.

Pengembangan cabai kering tetap diperlukan sebagai substitusi produk impor
dalam rangka pemenuhan bahan baku industri. Niat beli cabai kering dapat
didorong dengan sosialisasi tentang manfaat produk cabai kering.
Kata kunci: cabai kering, pendapatan rumah tangga, planned behavior, sikap.

SUMMARY
ACHMAD FACHRUDDIN. Consumer Attitude with Theory of Planned Behavior
Approach and Buying Process on Dried Chili Product. Supervised by
MUHAMMAD FIRDAUS and NETTI TINAPRILLA.
Dried chili would be an alternative solution to the problem of price
fluctuation of chili, if fresh chili substitution with dried chili could be done by
household consumers. The prospect of substitution was related to the attitude of
households towards dried chili. On the other hand, partially the producers of
milled spices in Bogor traditional markets have used dried chili as raw material
substitution of fresh chili. The objective of this study was to, 1) analyze the
attitude of households towards dried chilli with the Theory of Planned Behavior
approach, 2) identify the factors that influence the purchasing intention of dried
chili, 3) analyze the price sensitivity of households consumers in purchasing fresh
chili, 4) analyze the business buying process of dried chili by milled spice
business. This study was conducted in three Bogor traditional markets. Thirty

housewives respondent were determined by judgmental sampling technique, and
fourteen producers of milled spice were determined by census method.
The results showed that the attitudes toward the purchasing of dried chili,
perceived behavioral control, and purchase intentions of majority respondents
were at the lower limit of the medium category, whereas subjective norms were in
the low category. Factors that had positive effect to the purchase intentions were
subjective norms and attitudes toward the purchasing of dried chili, nevertheless
household consumers income had a negative effect towards it. The majority of
respondents had a low price sensitivity. The attitude, purchase intention and price
sensitivity of household consumers showed little probability of fresh chili
substitution with dried chili. The milled spices business in Bogor traditional
markets generally started to purchased dried chili whenever the price of fresh chili
was above Rpi30i000, and the quantity of dried chili that was used as a raw had
many variations. It was necessary that dried chili product which was as import
substitution product had to be developed in order to supply the raw material
industry. The willingness of household consumers to purcashed dried chili could
be encouraged by socializing the benefits of dried chili products. Purchase
intention of dried chili could be encouraged by socializing the benefits of dried
chili products.


Keywords : attitude, dried chilli, household income, planned behavior.

vi

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

vii

SIKAP KONSUMEN DENGAN PENDEKATAN THEORY OF
PLANNED BEHAVIOR DAN PROSES PEMBELIAN
TERHADAP PRODUK CABAI KERING


ACHMAD FACHRUDDIN

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Agribisnis

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

viii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis

: Dr Ir Nunung Kusnadi, MS

ix


Judul Tesis : Sikap Konsumen dengan Pendekatan Theory of Planned Behavior
dan Proses Pembelian terhadap Produk Cabai Kering
Nama
: Achmad Fachruddin
NIM
: H351130746

Disetujui oleh
Komisi Pembimbing

Prof Dr Muhammad Firdaus, SP MSi
Ketua

Dr Ir Netti Tinaprilla, MM
Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Agribisnis

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 26 Agustus 2014

Tanggal Lulus:

x

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhaanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tesis ini berjudul
Sikap Konsumen dengan Pendekatan Theory of Planned Behavior dan Proses
Pembelian terhadap Produk Cabai Kering. Proses penelitian ini dilaksanakan sejak

Februari hingga Juli 2014 di Bogor.
Penulis sampaikan ucapan terima kasih khususnya kepada Biro Penerimaan
Kerjasama Luar Negeri, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik
Indonesia atas Beasiswa Unggulan yang diberikan kepada penulis selama
berkuliah di Program Studi Agribisnis IPB.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Muhammad Firdaus,
SP MSi dan Ibu Dr Ir Netti Tinaprilla, MM selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir
Nunung Kusnadi, MS dan Ibu Dr Ir Ratna Winandi, MS yang telah banyak
memberi saran. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Prof Dr Ir Rita
Nurmalina, MS, Bapak Dr Ir Suharno, MAdev dan Ibu Dr Ir Dwi Rachmina, MS
atas nasihat dan dorongan selama menjalani program sinergi S1-S2 Agribisnis. Di
samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada saudara Restu Rahmana
Putra, Sayed Ahmad Fauzan, dan Irma Awwaliyah yang telah membantu dalam
proses pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada
Rumah Tahfizh Al Fathon, ayah, ibu, seluruh keluarga dan sahabat atas segala
doa, kebaikan, dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014


Achmad Fachruddin

xi

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

xii

DAFTAR GAMBAR

xii

DAFTAR LAMPIRAN

xii

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah

Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian

1
1
2
4
4
4

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sikap Konsumen
Proses Pembelian

4
4
7

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Perilaku konsumen
Theory of planned behavior
Konsep sensitivitas harga
Proses pembelian bisnis
Kerangka Pemikiran Operasional

8
8
8
9
10
11
12

4 METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Metode Pemilihan Sampel
Metode Analisis Data
Analisis model TPB
Analisis sensitivitas harga
Analisis proses pembelian cabai kering

15
15
15
15
16
16
21
22

5 HASIL DAN PEMBAHASAN
Sikap Konsumen Rumah Tangga terhadap Cabai Kering (TPB)
Faktor yang Berpengaruh terhadap Niat Beli Cabai Kering
Sensitivitas Harga
Proses Pembelian Cabai Kering

22
22
30
32
33

6 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran

36
36
36

DAFTAR PUSTAKA

36

LAMPIRAN

39

RIWAYAT HIDUP

52

xii

DAFTAR TABEL
1 Interval kelas dan skor variabel TPB
2 Sebaran responden berdasarkan pernyataan sikap terhadap pembelian
cabai kering
3 Sebaran responden berdasarkan tingkat sikap terhadap pembelian cabai
kering
4 Sebaran skor rata-rata konsekuensi pembelian berdasarkan kelas
pendapatan
5 Sebaran responden berdasarkan pernyataan norma subjektif
6 Sebaran responden berdasarkan tingkat norma subjektif
7 Sebaran skor rata-rata setiap referensi dalam pembelian berdasarkan kelas
pendapatan
8 Sebaran responden berdasarkan pernyataan persepsi pengendalian perilaku
9 Sebaran responden berdasarkan tingkat persepsi pengendalian perilaku
10 Sebaran skor rata-rata setiap faktor dalam pembelian berdasarkan kelas
pendapatan
11 Sebaran responden berdasarkan pernyataan niat beli cabai kering
12 Sebaran responden berdasarkan tingkat niat beli cabai kering
13 Sebaran skor rata-rata setiap pernyataan niat beli cabai kering berdasarkan
kelas pendapatan
14 Analisis variabel fungsi niat beli cabai kering dengan regresi linier
berganda
15 Sebaran sensitivitas harga pada pembelian komoditas cabai segar

18
23
24
24
26
26
27
28
28
29
29
30
30
31
32

DAFTAR GAMBAR
1 Model Theory of Planned Behavior (Ajzen 1991)
2 Kerangka pemikiran operasional penelitian

10
14

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8

Perkembangan rata-rata bulanan harga eceran cabai merah besar di ibukota
provinsi, Januari-November 2013
39
Kuesioner sikap konsumen rumah tangga terhadap cabai kering
40
Kuesioner proses pembelian cabai kering oleh usaha bumbu giling
44
Sebaran pendapatan rumah tangga responden
47
Skor variabel TPB dan variabel pendapatan rumah tangga
48
Output model regresi niat beli cabai kering
49
Output uji glester (deteksi heteroskedastisitas)
50
Plot uji normalitas
51

1

1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura penting dalam menu
pangan masyarakat Indonesia. Konsumsi cabai dilakukan setiap hari oleh hampir
seluruh masyarakat meskipun dalam jumlah yang tidak banyak. Konsumsi cabai
per kapita pada tahun 2012 sebanyak 3.27 kg, yang terdiri atas 0.21 kg cabai
hijau, 1.40 kg cabai rawit, dan 1.65 kg cabai merah (BPS 2012). Cabai merah
merupakan jenis cabai yang paling banyak dikonsumsi dan mengalami
pertumbuhan konsumsi yang positif selama tahun 2007 hingga 2012 (Pusdatin
2012).
Pola konsumsi cabai oleh rumah tangga selama ini didominasi dalam bentuk
cabai segar, yaitu 70-80 persen dari total produksi nasional. Sekitar 20-30 persen
cabai segar lainnya diolah menjadi bentuk saus cabai dan cabai bubuk (Bappenas
2013). Pola konsumsi tersebut menunjukkan preferensi rumah tangga terhadap
cabai segar lebih tinggi dibandingkan terhadap cabai olahan. Kondisi tersebut
memungkinkan terbentuknya permintaan cabai oleh konsumen rumah tangga yang
inelastis, sebab konsumen tidak memiliki komoditas substitusi ketika harga cabai
segar mengalami peningkatan.
Komoditas cabai mempunyai fluktuasi harga yang tinggi dan dikategorikan
sebagai pangan bergejolak (volatile food) oleh Bank Indonesia. Fluktuasi harga
cabai dicerminkan oleh nilai koefisien keragaman harga yang tinggi. Selama bulan
September 2012 sampai dengan bulan September 2013 nilai koefisien keragaman
harga cabai sebesar 22.42 persen (Kemendag 2013). Pada periode waktu tersebut
harga rata-rata bulanan nasional tertinggi untuk komoditas cabai merah di tingkat
konsumen mencapai Rpi36i998 (Pusdatin 2013). Peningkatan harga cabai
memberikan kontribusi 0.3 persen pada inflasi tahun 2013 (Bank Indonesia 2013).
Fenomena fluktuasi harga cabai juga diiringi oleh disparitas harga cabai
yang cukup tinggi antar wilayah di Indonesia. Pada periode waktu yang sama,
disparitas harga cabai sebesar 35.45 persen. Jika dilihat secara geografis, harga
rata-rata bulanan cabai merah di ibukota provinsi di Pulau Jawa umumnya tidak
melebihi Rpi30i000, sedangkan pada pulau lainnya harga rata-rata bulanan dapat
mencapai kisaran Rpi40i000 – Rpi42i000. Harga cabai merah rata-rata bulanan
tertinggi terjadi di Maluku Utara dan Bandung yaitu sebesar Rpi64i059 dan Rp
61i381 (Lampiran 1).
Kesenjangan kuantitas penawaran dan permintaan cabai adalah determinan
utama dari fenomena fluktuasi harga cabai. Produksi cabai yang musiman
memungkinkan terjadinya panen raya pada waktu tertentu. Kondisi ini
menyebabkan kelebihan penawaran cabai (excess supply) sehingga harga cabai di
pasar jatuh. Sedangkan pada beberapa titik waktu tertentu terjadi peningkatan
permintaan cabai yaitu pada hari-hari besar keagamaan atau menjelang tahun
baru. Jika pasokan cabai tidak mampu memenuhi kenaikan permintaan tersebut
(excess demand), maka harga cabai akan mengalami kenaikan. Di sisi lain
pasokan cabai sering mengalami guncangan (supply shock), sebab produksi cabai
rentan mengalami gangguan hama dan penyakit, serta anomali iklim.

2

Pada saat harga cabai segar mengalami peningkatan yang tinggi, konsumen
rumah tangga membutuhkan produk yang dapat mensubstitusi cabai segar. Produk
olahan cabai yang berpotensi untuk mensubstitusi cabai segar adalah cabai kering.
Cabai kering merupakan cabai berbentuk utuh dengan kadar air rata-rata dibawah
20 persen (Vitarini 2003). Cabai kering dapat disegarkan kembali dengan
merendamnya dalam air hangat. Dirjen Hortikultura menyatakan bahwa cabai
kering sudah mulai dikonsumsi oleh konsumen rumah tangga, khususnya kelas
pendapatan menengah ke atas1.
Cabai kering sebenarnya merupakan produk olahan dari cabai segar yang
bersifat intermediate. Cabai kering juga disebut cabai industri, sebab
dimanfaatkan oleh usaha industri sebagai bahan baku, yaitu oleh produsen mie
instan dan makanan kemasan, produsen cabai bubuk, serta produsen benih cabai.
Permintaan cabai kering juga datang dari beberapa usaha mikro kecil dan
menengah (UMKM) seperti beberapa jenis usaha rumah makan, dan usaha
makanan ringan skala home industry. Beberapa jenis rumah makan tersebut
menggunakan cabai kering khusus untuk resep masakan tertentu.
Ketika harga cabai segar mengalami peningkatan, ada UMKM yang
sebelumnya menggunakan cabai segar, mensubstitusi cabai segar dengan cabai
kering. Berdasarkan survei pendahuluan, UMKM yang mensubstitusi cabai segar
dengan cabai kering ketika terjadi peningkatan harga adalah usaha bumbu giling
di pasar tradisional. Hal ini mereka lakukan sebagai strategi meminimumkan
biaya bahan baku dalam memproduksi cabai giling. UMKM di wilayah
Jabodetabek membeli cabai kering dari Pasar Induk Keramat Jati sebagai
wholesaler dari rantai pemasaran cabai kering. Saat harga cabai segar mahal,
seorang pedagang di Pasar Keramat Jati mampu menjual cabai kering sebanyak 1
ton dalam waktu lima belas hari.
Usaha bumbu giling dan konsumen rumah tangga mempunyai kesamaan
dalam pola pemanfaatan cabai segar. Keduanya sama-sama menggunakan cabai
dalam keadaan segar, meskipun kedua jenis konsumen tersebut memiliki
perbedaan motif dalam pemanfaatan cabai. Sebagian usaha bumbu giling telah
mensubstitusi cabai segar dengan cabai kering ketika terjadi peningkatan harga.
Substitusi tersebut juga berpotensi dilakukan oleh konsumen rumah tangga.
Prospek substitusi cabai kering oleh konsumen rumah tangga terkait dengan
sikap konsumen rumah tangga terhadap cabai kering. Semakin positif sikap
konsumen terhadap cabai kering, semakin mendorong keputusan pembelian cabai
kering. Kajian sikap konsumen rumah tangga terhadap cabai kering dapat
memberikan jawaban terhadap peluang substitusi tersebut. Sedangkan kajian
proses pembelian cabai kering yang dilakukan oleh usaha bumbu giling dapat
memberikan gambaran proses substitusi cabai segar dengan cabai kering yang
telah benar-benar dilakukan.
Perumusan Masalah
Cabai kering dapat menjadi alternatif solusi permasalahan fluktuasi harga
cabai, jika substitusi cabai segar dengan cabai kering dapat dilakukan oleh
konsumen rumah tangga. Kelebihan permintaan cabai segar yang berpotensi
terhadap peningkatan harga dapat diatasi dengan menambah pasokan cabai kering
1

http://www.agrina-online.com/redesign2.php?rid=20&aid=3834

3

ke pasar. Pasokan cabai kering tersebut diproduksi terutama ketika terjadi
kelebihan penawaran cabai segar (saat panen raya). Upaya tersebut dapat
membantu konsumen ketika harga cabai segar sangat mahal dan dapat
meningkatkan keuntungan petani di saat harga cabai segar jatuh.
Berdasarkan survei pendahuluan, cabai kering sudah sejak lama tersedia di
pasar induk dan pasar tradisional lokal wilayah Jabodetabek. Pasar Bogor, Pasar
Anyar, dan Pasar Gunung Batu merupakan pasar tradisional di wilayah Bogor
yang menyediakan produk cabai kering. Namun rumah tangga belum masuk
dalam daftar konsumen yang melakukan pembelian cabai kering. Disamping itu,
sebagian besar rumah tangga diduga belum mengetahui keberadaan produk cabai
kering.
Keputusan pembelian cabai kering oleh konsumen rumah tangga berkaitan
erat dengan sikapnya terhadap cabai kering. Sikap konsumen merupakan salah
satu karakteristik psikologi konsumen yang berpengaruh terhadap proses
keputusan pembelian (Engel 1994; Kotler dan Amstrong 2006). Salah satu model
sikap yang dapat digunakan untuk mengukur sikap terhadap sebuah produk baru,
yaitu Theory of Planned Behavior (TPB). Pada model tersebut, sikap terhadap
sebuah perilaku dapat mempengaruhi niat berperilaku (Ajzen 1991). Artinya,
sikap terhadap pembelian cabai kering dapat mempengaruhi niat beli cabai kering.
Dua faktor lain dalam model TPB yang mempengaruhi niat berperilaku adalah
norma subjektif dan persepsi pengendalian perilaku. Pengaruh ketiga variabel
tersebut terhadap niat beli dapat berbeda antara satu produk dengan produk
lainnya (Dewi dan Yusalina 2011; Sanjatmiko 2012, dan Awwaliyah 2013).
Niat beli cabai kering diduga dipengaruhi oleh jumlah pendapatan rumah
tangga. Berdasarkan informasi dari Dirjen Hortikultura bahwa rumah tangga
dengan pendapatan menengah ke atas adalah kelompok yang sudah mulai
menggunakan cabai kering. Hal ini menunjukkan bahwa pembeli cabai kering
didominasi oleh konsumen dengan tingkat pendapatan yang tinggi. Kondisi
tersebut cukup beralasan, sebab harga cabai kering di pasar tradisional lokal
berkisar Rp 60 000 – Rp 70 000 per kg.
Substitusi atau perpindahan pembelian dari komoditas cabai segar ke produk
cabai kering berkaitan dengan sensitivitas harga konsumen rumah tangga. Besar
kecilnya sensitivitas harga konsumen rumah tangga terhadap perubahan harga
cabai segar berpengaruh pada perpindahan tersebut. Sensitivitas harga yang tinggi
terhadap harga cabai segar dapat mendorong konsumen rumah tangga beralih ke
produk cabai kering dengan cepat. Sebaliknya sensitivitas harga konsumen yang
rendah membuat konsumen rumah tangga tetap bertahan membeli cabai segar.
Disisi lain, sebagian usaha bumbu giling sudah mensubstitusi cabai segar
dengan cabai kering dalam memproduksi cabai giling tersebar di ketiga pasar
tradisional di atas. Pembelian cabai kering yang dilakukan oleh usaha bumbu
giling tersebut mempunyai karakteristik yang khas, sebab hanya dilakukan ketika
harga cabai segar mengalami peningkatan. Proses pembelian cabai kering yang
dilakukan oleh usaha bumbu giling dapat memberikan informasi proses substitusi
cabai segar dengan cabai kering. Selain itu, informasi proses pembelian cabai
kering penting bagi produsen cabai kering dalam keputusan produksi dan
pemasaran.
Berdasarkan pemaparan di atas, pertanyaan yang hendak dijawab dalam
penelitian ini antara lain:

4

1. Bagaimana sikap konsumen rumah tangga di wilayah Bogor terhadap
produk cabai kering dalam menjawab prospek substitusi cabai segar
dengan cabai kering?
2. Bagaimana proses pembelian cabai kering oleh usaha bumbu giling di
Pasar Bogor, Pasar Anyar, dan Pasar Gunung Batu?
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis sikap konsumen rumah tangga di wilayah Bogor terhadap
cabai kering dengan pendekatan Theory of Planned Behavior.
2. Mengidentifikasi faktor yang berpengaruh terhadap niat beli cabai kering.
3. Menganalisis sensitivitas harga konsumen rumah tangga dalam pembelian
cabai segar.
4. Menganalisis proses pembelian cabai kering oleh usaha bumbu giling di
Pasar Bogor, Pasar Anyar, dan Pasar Gunung Batu.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang komprehensif
tentang sikap konsumen rumah tangga terhadap cabai kering dan proses
pembelian cabai kering oleh usaha bumbu giling. Informasi tersebut diharapkan
dapat menjadi dasar rekomendasi untuk pemerintah dalam pengembangan cabai
kering ke depan. Kedua informasi tersebut juga bermanfaat bagi produsen cabai
kering dalam bidang produksi dan pemasaran. Hasil penelitian juga diharapkan
dapat menjadi literatur untuk penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup sikap konsumen adalah sikap konsumen rumah tangga di
wilayah Bogor terhadap produk cabai kering dengan pendekatan Theory of
Planned Behavior. Sedangkan proses pembelian adalah proses pembelian cabai
kering yang dilakukan oleh usaha bumbu giling di tiga pasar tradisional Bogor.

2 TINJAUAN PUSTAKA
Sikap Konsumen
Sikap konsumen merupakan salah satu karakteristik psikologi konsumen
yang berpengaruh terhadap proses pembelian (Engel 1994; Kotler dan Amstrong
2006). Terdapat banyak definisi sikap yang disampaikan ahli, namun semua
definisi tersebut memiliki kesamaan umum yaitu bahwa sikap merupakan evaluasi
dari seseorang (Sumarwan 2011). Pengukuran sikap yang paling populer
digunakan oleh peneliti konsumen adalah model multiatribut sikap dari Fishbein,
yaitu model yang menjelaskan bahwa sikap konsumen terhadap suatu objek
(produk atau merek) sangat ditentukan oleh atribut-atribut yang dievaluasi.
Atribut produk adalah unsur produk yang dianggap penting oleh konsumen dan
dijadikan dasar dalam pengambilan keputusan.

5

Sari (2013) menggunakan model multiatribut sikap Fishbein dalam
mengukur dan membandingkan sikap konsumen terhadap produk olahan berbahan
baku umbi-umbian yaitu ubi kayu, ubi jalar, dan talas. Atribut produk yang
dievaluasi terdiri atas rasa, daya tahan, gizi, citra/prestise, kebersihan, harga,
lokasi strategis, kemudahan memperoleh (ketersediaan), kemudahan mengolah,
dan promosi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis umbi yang paling disukai
konsumen adalah ubi kayu, dibandingkan ubi jalar dan talas.
Dari penelitian tersebut, dapat diambil satu ciri dari populasi yang diteliti
bahwa konsumen harus memiliki pengalaman mengkonsumsi produk sebagai
syarat dalam mengevaluasi atribut produk. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
Engel et al. (1995) bahwa dalam model Fishbein, sikap konsumen terhadap
sebuah produk atau merek ditentukan oleh dua hal, yaitu (1) kepercayaan terhadap
atribut yang dimiliki oleh produk atau merek dan (2) evaluasi tingkat kepentingan
atribut dari produk atau merek yang dianalisis. Sehingga model multiatribut
Fishbein sangat tepat digunakan untuk riset konsumen yang bertujuan
meningkatkan kualitas produk atau mengembangkan produk baru berdasarkan
evaluasi konsumen.
Produk cabai kering yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah produk
yang belum dikonsumsi secara luas oleh konsumen rumah tangga. Pengukuran
sikap konsumen rumah tangga terhadap cabai kering lebih tepat menggunakan
model Teori Perilaku Terencana (Theory of Planned Behavior/TPB), yaitu sebuah
model sikap yang dapat memperkirakan niat (intention) beli konsumen untuk
melaksanakan suatu perilaku pembelian.
Niat berperilaku merupakan pendorong terjadinya sebuah perilaku, sehingga
perilaku pembelian sebuah produk dapat diduga melalui niat belinya. Dalam
model TPB, niat beli diprediksi melalui tiga faktor yang mempengaruhinya yaitu
sikap terhadap perilaku, norma subjektif, dan persepsi pengendalian perilaku.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ketiga faktor tersebut memiliki
hubungan yang erat dengan niat beli. Namun faktor yang paling mempengaruhi
niat beli dapat berbeda antara satu penelitian dengan penelitian lain. Norma
subjektif merupakan faktor yang paling mempengaruhi niat beli makanan organik
mahasiswa IPB (Awwaliyah 2013), artinya semakin besar dorongan membeli
makanan organik dari orang-orang yang dianggap penting maka akan
meningkatkan niat pembelian makanan organik. Berbeda dengan niat
mengkonsumsi beras merah masyarakat Kota Bogor yang dipengaruhi oleh ketiga
faktor tersebut (Putri 2012).
Dewi dan Yusalina (2011) mengaplikasikan model TPB (Ajzen 1991;
Armitage dan Corner 2001; Ajzen dan Fishbein 2005) untuk menganalisis faktor
yang mempengaruhi frekuensi konsumsi beras organik di Kota Bogor. Frekuensi
konsumsi beras organik merupakan sebuah perilaku yang didorong oleh niat beli,
sedangkan niat beli dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Modifikasi yang dilakukan
oleh peneliti pada model tersebut yaitu memasukkan sejumlah variabel penjelas
pada faktor sikap terhadap perilaku dan persepsi pengendalian perilaku, yaitu
perceived quality (persepsi tentang kualitas produk), healthiness (manfaat
kesehatan), negative perception (persepsi efek negatif), perceived value (persepsi
nilai), convenience (kenyamanan), dan availability (ketersediaan). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa perilaku konsumsi beras organik di Kota Bogor dipengaruhi
oleh variabel perceived value, convenience dan availability.

6

Metode analisis yang umumnya digunakan dalam mengidentifikasi faktorfaktor yang berpengaruh terhadap niat beli yaitu regresi berganda (Awwaliyah
2013; Putri 2012) dan Model Persamaan Struktural (SEM) (Izdihar 2012; Dewi
dan Yusalina 2011). Model SEM dipilih sebagai metode analisis berdasarkan
asumsi bahwa pengukuran terhadap faktor-faktor yang terdapat dalam TPB sulit
dilakukan secara langsung sehingga membutuhkan indikator atau variabel
penjelas.
Penelitian lain tentang niat beli “purchase intention” mempunyai kerangka
pemikiran yang beragam. Perbedaan kerangka tersebut tercermin pada faktorfaktor yang diduga memiliki hubungan atau pengaruh terhadap purchase
intention. Tariq et al. (2013) melakukan penelitian cross-section terhadap 362
konsumen di Pasar Pakistan dan menyimpulkan bahwa purchase intention
berkorelasi signifikan terhadap brand image, kualitas produk, pengetahuan
produk, product involvement, atribut produk, dan loyalitas brand. Ling (2013)
menyimpulkan dua faktor yang paling berpengaruh terhadap niat pembelian green
products yaitu sikap terhadap lingkungan dan self efficacy. Peluang pembelian
green products semakin tinggi bila konsumen menginginkan pembelian tersebut
(self efficacy). Karbala et al. (2012) mengkaji pengaruh bauran pemasaran (4P)
terhadap niat pembelian di Toko Toimoi Indonesia. Niat beli konsumen di Toko
Toimoi Indonesia dipengaruhi secara signifikan oleh faktor desain produk dan
variasi produk.
Loyalitas konsumen dalam pembelian produk salah satunya dipengaruhi
oleh sensitivitas harga. Pelanggan yang kurang sensitif harga atau memiliki
sentivitas harga yang rendah cenderung memiliki loyalitas yang tinggi.
Sensitivitas harga merupakan sikap atau perasaan pelanggan dalam membayar
produk pada harga tertentu yang ditawarkan perusahaan terhadap produk yang
mereka inginkan (Arafah 2010). Rendah tingginya sensitivitas harga dapat
mendorong berbagai bentuk respon pelanggan dalam pembelian produk. Respon
pelanggan tersebut berupa pengalihan terhadap produk/merek lain, menunda
pembelian atau mereka tidak jadi melakukan pembelian atas produk atau jasa
tersebut (Muncy dalam Arafah 2010). Oleh karena itu, sensitivitas harga menjadi
bagian yang cukup penting dalam melihat kemungkinan substitusi cabai segar
dengan cabai kering pada penelitian ini.
Kurva sensitivitas harga pada umumnya menyatakan hubungan antara
besarnya perubahan permintaan suatu produk dengan perubahan harga produk
yang bersangkutan. Data yang dibutuhkan untuk pendugaan kurva sensitivitas
harga biasanya diambil dari sejarah produk yang bersangkutan. Hasil kurva yang
diperoleh dengan jenis data tersebut dapat berbias jika keadaan pasar pada saat ini
sangat berbeda dengan keadaan sebelumnya (Wijayanto 1994). Perbedaan kondisi
pasar dapat disebabkan oleh perubahan berbagai faktor yang mempengaruhi
permintaan sebuah komoditas, yaitu pendapatan dan selera konsumen, keberadaan
produk substitusi dan .
Selain data time series produk, data preferensi dapat digunakan untuk
menduga sensitivitas harga suatu produk. Data preferensi merupakan data pilihanpilihan konsumen terhadap kombinasi atribut yang diajukan peneliti dalam riset
(misal harga dan merek). Terdapat dua metode yang dapat digunakan untuk
menduga tingkat sensitivitas harga dengan data preferensi yaitu metode Huisman
dan metode Model Linear Terampat atau Generalized Linear Models (GLM).

7

Wijayanto (1994) menyimpulkan bahwa metode GLM dinilai lebih baik dari
metode Huisman. Kurva dugaan sensitivitas harga yang diperoleh dengan metode
GLM tidak berbias, walaupun ragam dugaannya berbias ke bawah dan hasil
dugaannya memiliki variasi yang cukup besar pada ukuran contoh kecil (100).
Beberapa kelemahan pendugaan kurva sensitivitas harga dengan metode Huisman,
yaitu sifat ketakbiasan dugaannya tidak diketahui, ragam penduganya sulit
ditentukan, faktor interaksi sulit masuk ke dalam model, permasalahan dalam
penskoran, dan proses komputasinya membutuhkan waktu yang lama.
Elizabet (2008) menggunakan metode Huisman dalam menganalisis
sensitivitas harga pada produk kecap. Semakin kecil nilai sensitivitas harga suatu
merek produk maka semakin rendah sensitivitas harga, artinya pelanggan atau
pembeli pada merek tersebut kurang memperhatikan harga dalam pembelian
produk. Nilai sensitivitas harga kecap Bango sebesar 0.11775, lebih kecil dari
nilai sensitivitas kecap ABC (0.14758), dan kecap Nasional (0.15008) (Elizabet
2008). Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa konsumen kecap Bango
merupakan konsumen yang paling kurang sensitif terhadap perubahan harga
produk.
Riset yang yang dilakukan oleh Goldsmith dan Flynn (2003) dalam Ramirez
dan Goldsmith (2009), sensitivitas harga diukur dengan tiga pernyataan pilihan
yang ditawarkan kepada responden, yaitu: 1) saya tidak ingin membeli produk
tertentu jika harganya terlalu tinggi; 2) produk yang bagus lebih sesuai untuk
diberikan harga yang lebih tinggi; 3) menghabiskan uang untuk produk baru
merupakan hal yang biasa bagi saya. Sensitivitas harga tinggi ditunjukkan oleh
pernyataan 1, dan sensitivitas harga rendah ditunjukkan oleh pernyataan 3.
Analisis sensitivitas harga lainnya yang umumnya digunakan dalam strategi
penetapan harga adalah analisis sensitivitas harga yang ditemukan oleh Van
Westendorp. Analisis ini fokus pada penemuan sebuah acceptable price dari
konsumen sebagai indikator kualitas produk. Asumsi dalam analisis ini adalah
konsumen selalu mengaitkan antara harga dengan kualitas dari produk. Range
acceptable price (RAP) diperoleh melalui penilaian konsumen terhadap harga
produk berdasarkan kategori harga sangat murah (too cheap), harga murah
(cheap), harga mahal (expensive), dan harga sangat mahal (too expensive), yang
dikaitkan dengan kualitas produk pada masing-masing kategori harga (Lipovetsky
et al. 2011). Analisis sensitivitas harga pada pasar uang pada produk obligasi atau
semisalnya, umumnya menggunakan analisa duration dan convexity (Hamid et al.
2006).
Proses Pembelian
Proses pembelian merupakan salah satu aspek kajian dalam perilaku
konsumen. Proses pembelian didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan
oleh pembeli untuk menentukan produk atau jasa yang perlu dibeli, kemudian
menemukan, mengevaluasi, dan memilih diantara penjual dan merek yang
tersedia. Kotler dan Amstrong (2006) membedakan dua jenis konsumen
berdasarkan perilaku pembeliannya, yaitu konsumen akhir dan konsumen
organisasi. Konsumen akhir adalah konsumen perorangan atau rumah tangga yang
membeli barang dan jasa untuk konsumsi pribadi. Konsumen organisasi adalah
organisasi yang membeli barang dan jasa untuk digunakan dalam produksi produk

8

dan jasa lain yang dijual, disewakan, atau dipasok kembali kepada pihak lain
untuk tujuan mendapatkan laba. Proses pembelian yang dilakukan oleh konsumen
organisasi disebut proses pembelian bisnis, sedangkan proses pembelian yang
dilakukan oleh konsumen akhir disebut proses pembelian konsumen.
Penelitian terkait proses pembelian konsumen lebih banyak dilakukan
dibandingkan proses pembelian bisnis. Kerangka proses pembelian yang
digunakan dalam proses pembelian konsumen yaitu pengenalan kebutuhan,
pencarian informasi, evaluasi alternatif, pembelian, dan evaluasi pasca pembelian
(Hutabarat 2008; Herlambang 2009). Hutabarat (2008) mengkaji proses keputusan
konsumen dalam membeli sayuran segar, dimana proses keputusan pembelian
yaitu pengenalan kebutuhan (memenuhi kebutuhan gizi), pencarian informasi
(toko sayuran), evaluasi alternatif (atribut fisik sayuran), pembelian (dilakukan di
Foodmart), dan evaluasi pasca pembelian (puas terhadap kinerja toko).
Herlambang (2009) menyimpulkan terdapat tiga atribut utama yang
mempengaruhi proses keputusan pembelian teh herbal konsumen di Kota Bogor
yaitu atribut harga, atribut kelengkapan kandungan, dan atribut merek. Namun
terdapat penelitian yang menggunakan kerangka proses keputusan pembelian
konsumen pada konsumen organisasi. Subekti (2009) meneliti proses keputusan
pembelian benih jagung oleh petani dengan menggunakan kerangka proses
pembelian konsumen. Penelitian tersebut lebih tepat menggunakan kerangka
proses pembelian bisnis, sebab petani merupakan konsumen organisasi dimana
tujuan pembelian berorientasi pada keuntungan.
Penelitian yang terkait konsumen organisasi banyak berkonsentrasi pada
topik analisis permintaan salah satu bahan baku yang digunakan oleh konsumen
organisasi. Satriana (2013) menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap
permintaan cabai merah besar pada usaha Restoran Padang, usaha Restoran
Sunda, dan usaha Restoran Ayam di Jakarta Selatan. Rata-rata penerimaan
restoran merupakan faktor yang berpengaruh nyata terhadap permintaan cabai
merah besar pada ketiga jenis usaha. Sedangkan faktor harga cabai merah besar
berpengaruh nyata terhadap permintaan cabai merah besar hanya pada usaha
Restoran Ayam. Lokasi pembelian yang paling banyak diminati oleh ketiga jenis
usaha adalah Pasar Induk Keramat Jati karena menawarkan harga cabai merah
yang lebih murah. Penelitian terkait, Nurlianti (2002) menyimpulkan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan telur ayam ras oleh pedagang
martabak telur adalah harga telur, harga tepung terigu, harga minyak goreng,
volume usaha unit A, volume usaha unit B, volume usaha unit D, dan lokasi
usaha.

3 KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka Pemikiran Teoritis
Perilaku konsumen
Engel et al. (1994) mendefinisikan perilaku konsumen sebagai tindakan
yang langsung terlibat dalam mendapatkan, mengkonsumsi, dan menghabiskan
produk dan jasa, termasuk proses keputusan yang mendahului dan mengikuti

9

tindakan ini. Studi perilaku konsumen mempelajari dan memodelkan bagaimana
konsumen mengambil sebuah keputusan pembelian. Model perilaku pengambilan
keputusan konsumen dalam membeli dan mengkonsumsi produk menerangkan
bahwa proses keputusan pembelian konsumen dipengaruhi dan dibentuk oleh
faktor lingkungan, faktor perbedaan individu, dan faktor psikologi. Konsumen
dalam definisi ini merupakan konsumen akhir yang membeli barang dan jasa
untuk konsumsi pribadi.
Kotler dan Amstrong (2006) memberikan istilah yang berbeda pada model
perilaku konsumen, yaitu proses keputusan pembelian dan karakteristik konsumen
(faktor budaya, faktor pribadi, dan faktor psikologis) berada pada kotak hitam
konsumen. Pada model perilaku konsumen tersebut, pengaruh strategi pemasaran
perusahaan dan rangsangan lain berupa lingkungan ekonomi, teknologi, politik,
budaya akan masuk ke dalam kotak hitam konsumen, kemudian pengaruh/
rangsangan tersebut dirubah menjadi respon pembelian. Terdapat dua bagian
penting dalam kotak hitam konsumen. Pertama, karakteritik konsumen
mempengaruhi bagaimana konsumen menerima dan bereaksi terhadap
rangsangan. Kedua, proses keputusan pembelian mempengaruhi perilaku
konsumen.
Sikap konsumen merupakan salah satu karakteristik konsumen yang
termasuk dalam faktor psikologi konsumen (Engel et al. 1994; Kotler dan
Amstrong 2006). Oleh karena itu, sikap konsumen memiliki pengaruh terhadap
proses keputusan pembelian sebuah produk. Semakin positif sikap seseorang
terhadap sebuah produk mendorong terjadinya pembelian terhadap produk
tersebut. Beberapa model sikap yang dikemukakan para ahli perilaku konsumen
diantaranya, model Fishbein, model angka ideal, model maksud perilaku (Engel et
al. 1994). Model maksud perilaku merupakan salah satu model sikap yang dapat
menduga maksud (niat) perilaku pembelian sebuah produk.
Theory of planned behavior
Theory of Planned Behavior (TPB) menjelaskan bahwa niat seseorang untuk
melakukan sebuah perilaku merupakan faktor yang penting dalam menentukan
sebuah aksi (Ajzen 2005). TPB merupakan pengembangan dari model sikap
Theory of Reasoned Action (TRA), dimana dalam TPB terdapat tambahan satu
faktor yang membentuk niat, yaitu persepsi pengendalian perilaku (Ajzen 2005).
TRA dikemukakan oleh Fishbein dan Ajzen pada tahun 1975. Dalam TPB, niat
berperilaku (Behavioral Intention) merupakan fungsi dari sikap terhadap perilaku
(attitude towards behavior), norma subjektif (subjective norms), dan persepsi
pengendalian perilaku (perceived behavioral control) seperti yang ditunjukkan
oleh Gambar 1.

10

Attitude Toward
Behavior (ATB)
Subjective Norm
(SN)

Behavioral
Intention (BI)

Behavior

(PBC) Perceived
Behavioral Control
Gambar 1 Model Theory of Planned Behavior (Ajzen 1991)
Determinan niat berperilaku (BI) secara umum merefleksikan tiga aspek
yaitu individu secara alamiah (ATB), pengaruh sosial (SN), dan perlakuan
terhadap isu pengendalian (PBC). Sikap terhadap perilaku adalah penilaian
individu terhadap positif atau negatifnya kinerja suatu perilaku. Norma subjektif
adalah persepsi individu tentang tekanan sosial di sekitarnya untuk menampilkan
atau tidak menampilkan suatu perilaku. Sedangkan persepsi pengendalian perilaku
merupakan tingkat kepercayaan seseorang tentang kesempatan atau kekuatan yang
dimilikinya untuk menunjukkan suatu perilaku.
Ketiga determinan niat berperilaku (BI) masing-masing dibentuk oleh dua
komponen. Sikap terhadap perilaku (ATB) dibentuk oleh:
a. Keyakinan perilaku (behavioral belief), yaitu keyakinan terhadap adanya
konsekuensi karena melakukan perilaku tertentu.
b. Evaluasi konsekuensi (evaluation of the consequency/outcomes evaluation),
yaitu evaluasi seseorang terhadap konsekuensi dari keyakinan perilaku.
Norma subjektif (SN) dibentuk oleh:
a. Keyakinan normatif (normative belief), yaitu keyakinan terhadap orang lain
(referensi) bahwa mereka berpikir subjek seharusnya melakukan (atau tidak
melakukan) suatu perilaku tertentu.
b. Motivasi mematuhi (motivation to comply), yaitu motivasi yang sejalan
dengan keyakinan normatif.
Persepsi pengendalian perilaku (PBC) dibentuk oleh:
a. Keyakinan pengendalian (control belief), yaitu probabilitas bahwa beberapa
faktor menunjang suatu perilaku.
b. Kekuatan faktor pengendalian (power of control factor), yaitu kekuatan
subjek terkait faktor-faktor yang menunjang perilaku tersebut.
Konsep sensitivitas harga
Permintaan terhadap suatu komoditas merupakan jumlah barang yang
diminta oleh konsumen pada berbagai pilihan harga dalam periode waktu tertentu.
Dalam teori ekonomi, kurva permintaan dibedakan menjadi dua, yaitu kurva
permintaan individual dan kurva permintaan pasar. Kurva permintaan pasar
merupakan jumlah dari seluruh permintaan individual suatu komoditas dalam
suatu pasar (Salvatore 2005). Kurva permintaan terhadap suatu komoditas
memperlihatkan kemungkinan kuantitas pembelian pasar pada berbagai alternatif
harga (Kotler 2003).

11

Konsep sensitivitas harga mempunyai kaitan erat dengan konsep
permintaan. Kotler (2003) menjelaskan bahwa kurva permintaan pasar
menjumlahkan reaksi banyak individu yang mempunyai berbagai sensitivitas
harga. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa sensitivitas harga
bagian dari karakteristik individu konsumen atau pelanggan. Sensitivitas harga
merupakan sikap atau perasaan pelanggan dalam membayar produk pada harga
tertentu yang ditawarkan perusahaan terhadap produk yang mereka inginkan
(Arafah 2010).
Pelanggan biasanya kurang sensitif harga terhadap produk murah atau
produk yang jarang dibeli. Sebaliknya pelanggan sangat sensitif harga terhadap
produk mahal atau produk yang sering dibeli (Kotler 2003). Nagle dan Holden
dalam Kotler (2003) mengidentifikasi beberapa faktor yang berhubungan dengan
sensitivitas harga rendah (kurang peka terhadap harga) yaitu:
a. produk lebih berbeda atau memiliki keunikan.
b. pembeli kurang menyadari produk pengganti.
c. pembeli tidak dapat membandingkan kualitas produk pengganti dengan mudah.
d. pengeluaran untuk membeli produk adalah bagian kecil dari total pendapatan
pembeli.
e. pengeluaran untuk membeli produk adalah bagian kecil dari total biaya
mendapatkan, mengoperasikan, dan memperbaiki produk sepanjang umur
hidup produk.
f. sebagian biaya pembelian ditanggung pihak lain.
g. penggunaan produk digabungkan dengan aset yang dibeli sebelumnya.
h. produk diasumsikan mempunyai kualitas, prestise atau eksklusivitas yang
tinggi.
i. pembeli tidak dapat menyimpan produk.
Perusahaan membutuhkan pemahaman sensitivitas harga dari pelanggannya
dan calon pembeli potensial serta pengorbanan orang yang bersedia untuk
menerima harga dan karakteristik produk (Kotler 2003). Informasi sensitivitas
harga adalah salah satu aspek yang diperhatikan dalam strategi penetapan harga,
khususnya ketika perusahaan akan merubah harga produk akibat perubahan biaya
atau persaingan pasar. Jika pelanggan kurang sensitif harga, maka memungkinkan
perusahaan untuk meningkatkan harga lebih tinggi dari pesaing.
Rendah tingginya sensitivitas harga dapat mendorong berbagai bentuk
respon pelanggan dalam pembelian produk. Respon pelanggan tersebut berupa
pengalihan terhadap produk/merek lain, menunda pembelian atau mereka tidak
jadi melakukan pembelian atas produk atau jasa tersebut (Muncy dalam Arafah
2010).
Proses pembelian bisnis
Proses pembelian bisnis bagian dari perilaku pembelian bisnis. Perilaku
pembelian bisnis adalah perilaku pembelian dari organisasi yang membeli barang
atau jasa untuk digunakan dalam produksi produk atau jasa lain untuk dijual
kembali atau menyewakannya kembali kepada pihak lain untuk mendapatkan laba
(Kotler dan Amstrong 2006). Pembelian bisnis yang dilakukan oleh konsumen
organisasi (individu atau kelompok) terjadi di pasar bisnis. Proses pembelian
bisnis didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan oleh pembeli bisnis
untuk menentukan produk atau jasa yang perlu dibeli oleh organisasi mereka,

12

kemudian menemukan, mengevaluasi, dan memilih diantara pemasok dan merek
yang tersedia.
Banyaknya proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh organisasi
bergantung oleh tipe utama situasi pembelian. Terdapat tiga tipe situasi
pembelian, yaitu pembelian kembali langsung (straight rebuy), pembelian
kembali modifikasi (modified rebuy), dan pembelian tugas baru (new task). Tipe
pembelian kembali langsung adalah situasi pembelian bisnis dimana pembeli
secara rutin memesan kembali sesuatu tanpa ada modifikasi. Sedangkan tipe
pembelian kembali modifikasi merupakan situasi dimana pembeli ingin
memodifikasi spesifikasi produk, harga, persyaratan, atau pemasok.
Tipe pembelian tugas baru adalah situasi pembelian dimana pembeli
membeli sebuah produk atau jasa untuk pertama kalinya. Tipe situasi pembelian
ini melalui seluruh proses pengambilan keputusan yang terdiri atas delapan
tahapan (Kotler dan Amstrong 2006), antara lain:
a. Pengenalan masalah. Tahap dimana seseorang dalam perusahaan mengenali
masalah atau kebutuhan yang dapat dipenuhi dengan memperoleh barang
atau jasa. Pengenalan masalah dapat berasal dari rangsangan internal
maupun eksternal.
b. Deskripsi kebutuhan umum. Tahap dimana perusahaan menggambarkan
karakteristik umum dan kuantitas produk yang diperlukan.
c. Spesifikasi produk. Tahap dimana organisasi pembelian memutuskan dan
menetapkan spesifikasi karakteristik teknis produk terbaik untuk produk
yang diperlukan. Perusahaan menggunakan analisis nilai dalam tahap
spesifikasi produk.
d. Pencarian pemasok. Tahap dimana organisasi pembelian berusaha
menemukan pemasok terbaik.
e. Pengumpulan proposal. Tahap dimana pembeli mengundang pemasok
bermutu untuk mengumpulkan proposal tertulis yang rinci atau presentasi
formal.
f. Pemilihan pemasok. Tahap dimana organisasi pembelian meninjau ulang
proposal dan memilih satu atau beberapa pemasok. Atribut yang cukup
penting dalam pemilihan pemasok yaitu kualitas produk atau jasa,
pengiriman tepat waktu, perilaku perusahaan yang beretika, komunikasi
yang jujur, dan harga yang kompetitif.
g. Spesifikasi pesanan rutin. Tahapan dimana organisasi pembelian menulis
pesanan akhir dengan pemasok terpilih, menyebutkan spesifikasi teknis,
kuantitas yang diperlukan, waktu pengiriman yang diharapkan, kebijakan
pengembalian, dan pinjaman.
h. Tinjauan ulang kinerja. Tahap dimana organisasi pembelian menilai kinerja
pemasok dan memutuskan untuk melanjutkan, memodifikasi, atau
meninggalkan kesepakatan.
Kerangka Pemikiran Operasional
Cabai kering dapat menjadi alternatif solusi permasalahan fluktuasi harga
cabai, jika substitusi cabai segar ke cabai kering dapat dilakukan oleh konsumen
rumah tangga. Kelebihan permintaan cabai segar yang berpotensi terhadap
peningkatan harga dapat diatasi dengan menambah pasokan cabai kering ke pasar.

13

Pasokan cabai kering tersebut diproduksi terutama ketika terjadi kelebihan
penawaran cabai segar (saat panen raya). Upaya tersebut dapat membantu
konsumen ketika harga cabai segar sangat mahal.
Namun saat ini konsumen rumah tangga belum masuk dalam daftar pembeli
cabai kering, meskipun cabai kering sudah sejak lama tersedia di pasar tradisional.
Sebagian besar konsumen rumah tangga diduga belum mengetahui keberadaan
produk cabai kering. Prospek substitusi cabai kering terhadap cabai segar
berkaitan erat dengan sikap konsumen rumah tangga.
Model sikap yang digunakan untuk menganalisis sikap konsumen rumah
tangga terhadap cabai kering adalah Theory Planned of Behavior (TPB). Dengan
pendekatan TPB, niat beli cabai kering dapat dijelaskan oleh variabel sikap
terhadap pembelian cabai kering, norma subjektif dan persepsi pengendalian
perilaku. Pendapatan rumah tangga per bulan diduga sebagai variabel yang juga
berpengaruh terhadap niat beli cabai kering. Analisis regresi linier berganda
digunakan untuk mengidentifikasi faktor yang berpengaruh terhadap niat beli
cabai kering. Analisis sensitivitas harga digunakan untuk mengukur kemungkinan
substitusi cabai segar ke cabai kering.
Sebagian usaha bumbu giling mensubstitusi cabai segar dengan cabai kering
dalam memproduksi cabai giling, ketika harga cabai segar mengalami
peningkatan. Usaha bumbu giling dan konsumen rumah tangga mempunyai
kesamaan dalam pola pemanfaatan cabai segar. Informasi proses pembelian cabai
kering yang dilakukan oleh usaha bumbu giling dapat memberikan gambaran
proses substitusi cabai segar dengan cabai kering yang telah benar-benar
dilakukan. Proses pembelian tersebut dianalisis secara deskriptif yang mengacu
pada proses pembelian bisnis (Kotler dan Amstrong 2006). Proses pembelian
bisnis terdiri atas delapan tahapan, yaitu pengenalan masalah, deskripsi kebutuhan
umum, spesifikasi produk, pencarian pemasok, pengumpulan proposal, pemilihan
pemasok, spesifikasi pesanan rutin, dan tinjauan ulang kinerja.
Informasi substitusi cabai kering terhadap cabai segar, baik berupa prospek
pada konsumen rumah tangga maupun yang riil dilakukan oleh usaha bumbu
giling penting sebagai input rekomendasi kebijakan pengembangan cabai kering
ke depan. Informasi tersebut juga penting bagi produsen cabai kering dalam
mengambil keputusan aspek pemasaran dan produksi. Kerangka pemikiran
operasional penelitian ditampilkan pada Gambar 2.

14

Potensi cabai kering sebagai alternatif solusi
permasalahan fluktuasi harga cabai segar
Substitusi cabai segar ke cabai kering berkaitan dengan sikap
konsumen terhadap cabai kering

konsumen rumah tangga
(prospek substitusi)
Analisis
deskriptif

Norma
Subjektif

Usaha bumbu giling
(substitusi riil)

Analisis
deskriptif

Sensitivitas harga

Sikap
terhadap
pembelian

Persepsi
pengendalian
perilaku

Pendapatan
rumah tangga

Analisis
regresi

Niat beli cabai
kering

Keterangan
: pengaruh
: metode analisis

Proses Pembelian Bisnis
(Kotler & Amstrong 2006)

Rekomendasi kebijakan
pemerintah untuk
pengembangan cabai ker