PENGARUH HIPOKSIA ISKEMIK PRENATAL TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL RATTUS NORVEGICUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY

(1)

RATTUS NORVEGICUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

MOHAMMAD ARIEF ADIATMA 20120310087

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH HIPOKSIA ISKEMIK PRENATAL

TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL

RATTUS NORVEGICUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh

Derajat Sarjana Kedokteran pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh:

MOHAMMAD ARIEF ADIATMA 20120310087

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

ii

TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL

RATTUS NORVEGICUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY

Disusun Oleh :

MOHAMMAD ARIEF ADIATMA 2012 031 0087

Telah disetujui dan diseminarkan pada tanggal : 12 Februari 2016

Dosen Pembimbing Dosen Penguji

dr. Ratna Indriawati, M.Kes dr. Ikhlas Muhammad Jenie, M.Med.Sc. NIK : 19720820200101173038 NIK : 19770925200204173051

Mengetahui,

Kaprodi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

dr. Alfaina Wahyuni, Sp.OG., M.Kes. NIK : 19711028199709173027


(4)

iii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Mohammad Arief Adiatma NIM : 20120310087

Program Studi : Pendidikan Dokter

Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.

Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Yogyakarta, 12 Februari 2016 Yang membuat pernyataaan,


(5)

Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT karena atas rahmat-Nya Karya Tulis Ilmiah yang berjudul Pengaruh Hipoksia Iskemik Prenatal Terhadap Gambaran Histopatologis Ginjal

Rattus norvegicus Galur Sprague-dawley ini dapat diselesaikan.

Pada penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. dr. H. Ardi Pramono, Sp.An., M.Kes., selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

2. dr. Ratna Indriawati, M.Kes sebagai dosen pembimbing dalam penelitian yang telah membimbing dalam proses penyelesaian Karya Tulis Ilmiah ini sehingga penulis mendapatkan motivasi dan berbagai pengetahuan baru

3. dr. Ikhlas M. Jenie, M.Med.Sc sebagai dosen penguji dalam Karya Tulis Ilmiah ini, yang telah memberikan saran yang membangun sehingga membuat Karya Tulis Ilmiah ini menjadi lebih baik

4. Kawan-kawan satu perjuangan dan satu kelompok penelitian, M. Hadiyan Rasyadi yang saling menyemangati, bertukar informasi, dan berbagi pengalaman dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah ini

5. Ayahanda H. Kodri Wasono, ibunda Hj. Ris Setyowati, adik Fauziah Maulida, dan segenap keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan penuh


(6)

v

kepada penulis sehingga terciptalah pribadi penulis yang lebih baik dan diwujudkanlah karya tulis ilmiah ini

6. Kawan-kawan (AMC) Adith, Atta, Indira Fiqi, Hanif, Intan, Jifani, Nugroho, Rizky, Mardylla, Ontivia, Primanda, Qonitya, Rahma, Sonia, Vyda, dan Zakiyah atas segala dukungan yang diberikan.

7. Kawan-kawan (Tutorial 7) Zia, Anik, Kukuh, Dea, Lupi, Poppy, Puji, Rahma, Rio, Sekar, Fira dan Elsa atas segala dukungan yang diberikan.

8. Kawan-kawan (Geeks) Aliannor, Antonius Dimas, Chamim, Dimas Akbar, Dimas Prasetyo, Ezra, Jamal, Nugroho, Azham, Hadiyan, Satya, Ono dan Yoga atas segala dukungan yang diberikan.

Terimakasih penulis sampaikan juga kepada semua pihak yang membantu dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah ini. Selanjutnya apabila ada kesalahan kepada pembaca, ataupun pihak pihak yang terkait dengan penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini, penulis memohon maaf dengan segala kerendahan hati.

Semoga Allah SWT selalu memberikan nikmat dan karunia-Nya kepada kita semua.

Wassalamu’alaikum warohmatullahi wabarakatuh.

Yogyakarta, 12 Februari 2016 Penulis


(7)

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

ABSTRACT ... ix

INTISARI ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Rumusan Masalah ... 4

C.Tujuan Penelitian ... 5

D.Manfaat Penelitian ... 5

E.Keaslian Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A.Tinjauan Pustaka ... 10

1. Oksigen... 10

2. Hipoksia ... 10

3. Ginjal ... 14

4. Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague-dawley ... 23

B.Kerangka Konsep ... 25

C.Hipotesis ... 26

BAB III METODE PENELITIAN... 27

A.Desain Penelitian ... 27

B.Populasi dan Sampel Penelitian ... 27

C.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28


(8)

vii

E.Definisi Operasional ... 29

F. Alat dan Bahan Penelitian ... 30

G.Jalannya penelitian ... 30

H.Analisis Data ... 31

I. Etika Penelitian ... 32

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

A.Hasil ... 33

B.Pembahasan ... 37

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 45

A.Kesimpulan ... 45

B.Saran ... 45

DAFTAR PUSTAKA ... 47


(9)

viii

Gambar 2. Histologi ginjal normal manusia ... 17

Gambar 3. Penampang histologi normal ginjal ... 19

Gambar 4. Kelompok 1. Pewarnaan HE. Perbesaran 400x... 34

Gambar 5. Kelompok 2. Pewarnaan HE. Perbesaran 400x... 35


(10)

ix

ABSTRACT

Background: Hypoxia is a condition where body tissue does not get enough oxygen. Prenatal hypoxia is still a major cause of morbidity and mortality in developed and developing countries. Exposure of hypoxia during prenatal has a different impact on fetal development. Fetal hypoxia can impair fetal kidney development. Several studies have examined the effects of prenatal hypoxic-ischemic on kidney, but research of the effects of prenatal hypoxic-hypoxic-ischemic on renal histopathologic is still unclear.

Methods: This study was experimental research with post-test control group design. Samples used in this study were the child of Rattus norvegicus Sprague-Dawley strain, that obtained from a pregnant rats who was induced by hypoxic-ischemic at different gestational age with the right uterine artery ligation. Pregnant rats divided into three groups, K is a control group who were not given the induction of hypoxic ischemic, P1 is a group that was given the induction of hypoxic-ischemic at 7 days of gestational age, and P2 is a group that was given the induction of hypoxic-ischemia at 11 days of gestational age. Samples used in this study were 7 rats child per group, which has fulfilled the inclusion and exclusion criteria. After the age of 35 days, all samples is conducted kidney organ harvesting and the kidneys tissue is being process with HE staining and histopathologic examination. The data were analyzed with Kruskal-Wallis and Mann-Whitney with significance level of 5%.

Result: Group P1 has the highest amount kidney cells damage. Kruskal-Wallis test showed a significant difference with a p value of 0,000 (p<0,05). Post Hoc Mann Whitney test showed a significant differences in K-P1 with a p value of 0,01 (p<0,05) and K-P2 with a p value of 0,01 (p<0,05), whereas in P1-P2, have a differences, but not significant with a p value of 0,122 (p>0,05).

Conclusion: There is a correlation between kidney histopathological changes of Rattus norvegicus Sprague-dawley strain with prenatal hypoxic-ischemic induction, the earlier induction is given then the greater the effect of hypoxia on renal toxicity.


(11)

x

INTISARI

Latar Belakang : Hipoksia adalah suatu keadaan di mana jaringan tubuh tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Hipoksia prenatal masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara maju dan berkembang. Paparan hipoksia pada masa prenatal memiliki dampak yang berbeda pada perkembangan janin. Hipoksia pada janin dapat mengganggu perkembangan ginjal janin. Beberapa penelitian telah meneliti pengaruh hipoksia iskemik prenatal terhadap ginjal, namun penelitian pengaruh hipoksia iskemik prenatal terhadap histopatologis ginjal masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh hipoksia iskemik prenatal terhadap gambaran histopatologi ginjal.

Metode : Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Post-test control group desain. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang diperoleh dari induk hamil yang telah diinduksi hipoksia iskemik pada umur kehamilan yang berbeda dengan cara diligasi arteri uterina kanan. Induk tikus dibagi menjadi 3 kelompok, K adalah kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan hipoksia iskemik, P1 diberi induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 7 hari, dan P2 diberi induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 11 hari. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 7 ekor anak tikus tiap kelompok, yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Setelah usia 35 hari, semua sampel dilakukan pengambilan organ ginjal dan pemrosesan jaringan dilanjutkan dengan pengecatan HE dan dilakukan pemeriksaan histopatologis. Data dianalisa dengan uji beda Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney dengan derajat kemaknaan 5%.

Hasil : Kelompok P1 memiliki jumlah kerusakan sel ginjal tertinggi. Uji Kruskal-Wallis didapatkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p sebesar 0,000 (p < 0,05). Uji Post Hoc Mann Whitney didapatkan perbedaan yang bermakna pada K-P1 dengan nilai p sebesar 0,01 (p < 0,05) dan K-P2 dengan nilai p sebesar 0,01 (p < 0,05), sedangkan pada P1-P2 terdapat perbedaan tetapi tidak bermakna dengan nilai p sebesar 0,122 (p >0,05).

Kesimpulan : Terdapat hubungan antara perubahan histopatologis ginjal Rattus norvegicus galur Sprague-dawley dengan induksi hipoksia iskemik prenatal, dimana semakin awal induksi diberikan maka semakin besar pula efek toksisitas hipoksia terhadap ginjal.


(12)

(13)

ABSTRACT

Background: Hypoxia is a condition where body tissue does not get enough oxygen. Prenatal hypoxia is still a major cause of morbidity and mortality in developed and developing countries. Exposure of hypoxia during prenatal has a different impact on fetal development. Fetal hypoxia can impair fetal kidney development. Several studies have examined the effects of prenatal hypoxic-ischemic on kidney, but research of the effects of prenatal hypoxic-hypoxic-ischemic on renal histopathologic is still unclear.

Methods: This study was experimental research with post-test control group design. Samples used in this study were the child of Rattus norvegicus Sprague-Dawley strain, that obtained from a pregnant rats who was induced by hypoxic-ischemic at different gestational age with the right uterine artery ligation. Pregnant rats divided into three groups, K is a control group who were not given the induction of hypoxic ischemic, P1 is a group that was given the induction of hypoxic-ischemic at 7 days of gestational age, and P2 is a group that was given the induction of hypoxic-ischemia at 11 days of gestational age. Samples used in this study were 7 rats child per group, which has fulfilled the inclusion and exclusion criteria. After the age of 35 days, all samples is conducted kidney organ harvesting and the kidneys tissue is being process with HE staining and histopathologic examination. The data were analyzed with Kruskal-Wallis and Mann-Whitney with significance level of 5%.

Result: Group P1 has the highest amount kidney cells damage. Kruskal-Wallis test showed a significant difference with a p value of 0,000 (p<0,05). Post Hoc Mann Whitney test showed a significant differences in K-P1 with a p value of 0,01 (p<0,05) and K-P2 with a p value of 0,01 (p<0,05), whereas in P1-P2, have a differences, but not significant with a p value of 0,122 (p>0,05).

Conclusion: There is a correlation between kidney histopathological changes of Rattus norvegicus Sprague-dawley strain with prenatal hypoxic-ischemic induction, the earlier induction is given then the greater the effect of hypoxia on renal toxicity.


(14)

2

INTISARI

Latar Belakang : Hipoksia adalah suatu keadaan di mana jaringan tubuh tidak mendapatkan oksigen yang cukup. Hipoksia prenatal masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara maju dan berkembang. Paparan hipoksia pada masa prenatal memiliki dampak yang berbeda pada perkembangan janin. Hipoksia pada janin dapat mengganggu perkembangan ginjal janin. Beberapa penelitian telah meneliti pengaruh hipoksia iskemik prenatal terhadap ginjal, namun penelitian pengaruh hipoksia iskemik prenatal terhadap histopatologis ginjal masih belum jelas. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh hipoksia iskemik prenatal terhadap gambaran histopatologi ginjal.

Metode : Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan Post-test control group desain. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah anak Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang diperoleh dari induk hamil yang telah diinduksi hipoksia iskemik pada umur kehamilan yang berbeda dengan cara diligasi arteri uterina kanan. Induk tikus dibagi menjadi 3 kelompok, K adalah kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan hipoksia iskemik, P1 diberi induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 7 hari, dan P2 diberi induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 11 hari. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 7 ekor anak tikus tiap kelompok, yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Setelah usia 35 hari, semua sampel dilakukan pengambilan organ ginjal dan pemrosesan jaringan dilanjutkan dengan pengecatan HE dan dilakukan pemeriksaan histopatologis. Data dianalisa dengan uji beda Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney dengan derajat kemaknaan 5%.

Hasil : Kelompok P1 memiliki jumlah kerusakan sel ginjal tertinggi. Uji Kruskal-Wallis didapatkan perbedaan yang bermakna dengan nilai p sebesar 0,000 (p < 0,05). Uji Post Hoc Mann Whitney didapatkan perbedaan yang bermakna pada K-P1 dengan nilai p sebesar 0,01 (p < 0,05) dan K-P2 dengan nilai p sebesar 0,01 (p < 0,05), sedangkan pada P1-P2 terdapat perbedaan tetapi tidak bermakna dengan nilai p sebesar 0,122 (p >0,05).

Kesimpulan : Terdapat hubungan antara perubahan histopatologis ginjal Rattus norvegicus galur Sprague-dawley dengan induksi hipoksia iskemik prenatal, dimana semakin awal induksi diberikan maka semakin besar pula efek toksisitas hipoksia terhadap ginjal.


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Oksigen memegang peranan penting dalam semua proses tubuh secara fungsional. Oksigen sangat penting dalam memproduksi molekul Adenosin Trifosfat (ATP) secara normal. ATP adalah sumber bahan bakar untuk sel agar dapat berfungsi secara optimal. ATP memberikan energi yang diperlukan oleh sel untuk melakukan berbagai aktivitas fungsi tubuh. Tidak adanya oksigen akan menyebabkan tubuh mengalami kemunduran atau bahkan dapat menimbulkan kematian. Apabila pemenuhan kebutuhan oksigen dalam tubuh tidak tercukupi, baik akibat defisiensi oksigen atau peningkatan penggunaan oksigen dalam tingkat sel maka dapat terjadi hipoksia (Imelda, 2009).

Ketidakseimbangan dalam tubuh akan memberikan dampak yang tidak baik. Oleh karena itu penting bagi kita untuk mempertahankan kondisi tubuh agar tetap seimbang, salah satu caranya adalah dengan menjaga pola hidup sehat. Pola hidup sehat ada tiga macam. Pertama, melakukan hal-hal yang berguna untuk kesehatan. Kedua, menghindari hal-hal yang membahayakan kesehatan. Ketiga, melakukan hal-hal yang dapat menghilangkan penyakit yang diderita. Semua pola ini dapat ditemukan dalilnya dalam agama, baik secara jelas atau tersirat, secara khusus atau umum, secara medis maupun non medis.


(16)

2

"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan" QS al-A’râf [7]: 31

Hipoksia adalah suatu keadaan di mana jaringan tubuh tidak mendapatkan oksigen yang cukup (James et al., 2008). Hipoksia adalah penyebab paling umum cedera dan kematian seluler (Nakanishi, 2009). Hipoksia ini akan mempengaruhi respirasi oksidasi aerob. Pada kondisi aerob (tersedia oksigen) sistem enzim mitokodria mampu mengkatalisis oksidasi asam piruvat menjadi H2O dan CO2 serta menghasilkan energi dalam bentuk ATP (Adenosin Tri Phospat). Ketika tidak tersedia oksigen maka akan terjadi proses respirasi anaerob. Pada kondisi anaerob (tidak tersedia oksigen), suatu sel akan dapat mengubah asam piruvat menjadi CO2 dan etil alkohol serta membebaskan energi (ATP), atau oksidasi asam piruvat dalam sel otot menjadi CO2 dan asam laktat serta membebaskan energi (ATP). Proses anaerob ini akan berakhir dengan kematian sel (James et al., 2008).

Jika aliran oksigen ke jaringan berkurang atau penggunaan berlebihan di jaringan maka metabolisme akan berubah dari aerobik ke metabolisme anaerobik. Perubahan terjadi karena untuk menyediakan energi yang cukup untuk metabolisme (Reksodiputro et al., 2009). Pada metabolisme anaerob terjadi asidosis di sitosol karena adanya pembentukan asam laktat, yang kemudian menjadi laktat dan H+. Keadaan ini menggangu fungsi enzim intrasel


(17)

sehinga menghambat proses glikolisis yang merupakan sumber ATP terakhir menjadi terhenti. Bila kekurangan energi semakin berlanjut sel cenderung terpajan dengan kerusakan oksidatif. (Silbernagi, 2007).

Kondisi hipoksia sering dijumpai pada masa kehamilan. Oksigen yang diperoleh janin dari ibu melalui plasenta akan diikat oleh sel darah merah (eritrosit) janin, untuk selanjutnya ditransportasi dan didistribusikan melalui sistim kardiovaskuller ke seluruh tubuh (sel), untuk dimanfaatkan dalam proses metabolisme. Oksigen yang cukup diperlukan untuk perkembangan janin, dan dalam rahim hipoksia dapat menyebabkan dampak buruk terhadap perkembangan janin. Paparan hipoksia prenatal jangka pendek dan jangka kronis memiliki dampak yang berbeda pada perkembangan janin (Powell et al., 2004). Apabila kondisi ini berkelanjutan maka akan mengakibatkan hipoksemia, hiperkarbia, dan fetal asidosis (Hansen & Soul, 2012). Sejumlah faktor lingkungan dan maternal, termasuk dataran tinggi, merokok, anemia, preeklampsia, penyakit paru, dan disfungsi plasenta atau masalah tali pusat, dapat menyebabkan hipoksia prenatal. Hipoksia prenatal dapat menyebabkan gangguan sebesar 72% pada sistem saraf pusat, ginjal 42%, jantung serta gastrointestinal 29%, dan paru 26% (Mach et al., 2012). Hipoksia prenatal juga memegang peran penting dalam memicu fetal growth restriction dan mempengaruhi perkembangan organ penting janin seperti ginjal.

Hipoksia prenatal masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di negara maju dan berkembang (Mach et al., 2012). Kurang lebih empat sampai sembilan juta bayi lahir dalam keadaan hipoksia setiap tahunnya.


(18)

4

Angka kejadian hipoksia lebih tinggi pada negara berkembang, di Cape Town didapatkan 4,6 per 1000 kelahiran hidup dan di Nigeria didapatkan 26 per 1000 kelahiran hidup (Haider & Bhutta, 2006).

Periode paling penting dari manusia adalah selama perkembangan janin, tahap di mana ibu dapat mempengaruhi janin dengan paparan lingkungan yang merugikan yang dapat memiliki efek jangka panjang selama masa dewasa. Dua tantangan yang paling umum untuk janin selama masa perkembangan adalah penurunan oksigen dan pengiriman nutrisi. Ada berbagai penyebab stres maternal yang dapat mempengaruhi berat badan lahir pada keturunannya, misalnya diet rendah protein, paparan nikotin, malnutrisi janin, dan hipoksia. Melihat besarnya pengaruh hipoksia iskemik prenatal terhadap ginjal, maka peneliti tertarik untuk mengkaji keterkaitan antara pengaruh hipoksia iskemik prenatal dengan gambaran histopatologi ginjal.

B.Rumusan Masalah

1. Apakah terdapat perbedaan tingkat kerusakan ginjal yang dinilai melalui gambaran histopatologi antara tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang diberi induksi hipoksia iskemik prenatal dengan yang tidak diberi induksi hipoksia iskemik prenatal?

2. Apakah terdapat perbedaan tingkat kerusakan ginjal yang dinilai melalui gambaran histopatologi antara pemberian induksi hipoksia iskemik prenatal pada usia kehamilan 7 hari dengan usia kehamilan 11 hari pada tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley?


(19)

C.Tujuan Penelitian 1.Tujuan umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh hipoksia prenatal terhadap ginjal.

2.Tujuan khusus

Mengetahui perbedaan tingkat kerusakan ginjal yang dinilai melalui gambaran histopatologi antara pemberian induksi hipoksia iskemik prenatal pada usia kehamilan 7 hari dengan 11 hari pada tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley.

D.Manfaat Penelitian

1. Bagi kalangan medis

a. Menambah pengetahuan kedokteran di bidang fisiologi dan histologi mengenai pengaruh hipoksia iskemik prenatal terhadap gambaran histopatologi ginjal.

b. Sebagai acuan penelitian-penelitian selanjutnya yang mengkaji pengaruh kondisi hipoksia iskemik prenatal terhadap kesehatan tubuh.

2. Bagi penulis

a. Meningkatkan kemampuan penulis dalam memahami langkah-langkah penelitian yang meliputi pembuatan proposal, proses penelitian, dan pembuatan laporan penelitian.


(20)

6

b. Menambah pengetahuan penulis mengenai pengaruh hipoksia iskemik prenatal terhadap gambaran histopatologi ginjal.

c. Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam mengelola penelitian.

d. Mengembangkan daya nalar dan semangat keingintahuan. e. Menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh dari perkuliahan. 3. Bagi perguruan tinggi

a. Pengamalan tridarma perguruan tinggi sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, penelitian dan pengabdian bagi masyarakat.

b. Sebagai sumbangan dalam mengkaji ilmu yang berkaitan dengan hipoksia iskemik prenatal dan gambaran histopatologi ginjal untuk kegiatan akademis dan penelitian selanjutnya.

c. Meningkatkan hubungan kerjasama dan saling pengertian antara pendidik dan mahasiswa.

E.Keaslian Penelitian

1. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Priantono et al., (2014)dengan judul

“Pengaruh Induksi Hipoksia Hipobarik Intermiten pada Aktivitas Spesifik

Manganese Superoxide Dismutase dan Kadar Malondialdehyde Ginjal

Tikus”. Bentuk desain penelitian yang akan digunakan adalah bentuk studi eksperimental. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian disertasi Program Doktor Ilmu Biomedik yang menelusuri peran Hypoxia Inducible Factor 1A (HIF-1A) pada induksi hipoksia hipobarik sehingga perlakuan


(21)

hipobarik intermiten telah dilakukan di Lakespra Saryanto. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juni 2008 hingga Desember 2009. Pada penelitian tidak ditemukan adanya perbedaan aktivitas MnSOD dalam jaringan ginjal tikus yang bermakna antara berbagai perlakuan pajanan hipoksia hipobarik intermiten. Akan tetapi, terdapat perbedaan kadar MDA dalam jaringan ginjal tikus yang bermakna antara berbagai perlakuan pajanan hipoksia hipobarik intermiten 2x dibandingkan kontrol dan antara perlakuan pajanan hipoksia hipobarik intermiten 3x dan 4x terhadap perlakuan pajanan 2x. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara perubahan aktivitas MnSOD dengan perubahan kadar MDA pada ginjal tikus. Perbedaan penelitian yang peneliti lakukan yakni pada tempat penelitian, perlakuan, dan variabel peneltian. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan pada aktivitas spesifik manganese superoxide dismutase dan kadar malondialdehyde ginjal tikus, melainkan pada gambaran histopatologi pada tikus yang telah diberi perlakuan hipoksia iskemik prenatal. Kondisi hipoksia iskemik prenatal diperoleh dengan melakukan ligasi pada uterus induk tikus pada usia kehamilan tertentu. Yang kemudian dilakukan pengamatan pada struktur morfologi nefron dengan pewarnaan haematoxylin-eosin (HE) pada bayi tikus.

2. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Gonzalez-Rodriguez et al., (2013) dengan judul “Fetal Hypoxia Results in Programming of Aberrant Angiotensin II Receptor Expression Patterns and Kidney Development”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa Bahwa


(22)

8

hipoksia janin merugikan mempengaruhi perkembangan ginjal pada tikus janin dan keturunannya dan mengubah pola ekspresi angiotensin II tipe 1 (AT1R) dan tipe 2 (AT2R) reseptor. Pada penelitian ini induk tikus yang hamil pada usia kehamilan tertentu dibagi menjadi kelompok normosik dan hipoksik, anak tikus yang lahir kemudian diambil ginjalnya untuk dianalisa ekspresi proteinnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipoksia janin menyebabkan perkembangan ginjal yang menyimpang dan mempercepat proses penuaan ginjal selama perkembangan postnatal, yang dapat menyebabkan untuk peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan pada ekspresi protein ginjal tikus, melainkan pada gambaran histopatologi pada tikus yang telah diberi perlakuan hipoksia iskemik prenatal

3. Penelitian sebelumnya dilakukan oleh Xia et al., (2014) dengan judul

“Prenatal Exposure to Hypoxia Induced Beclin 1 Signaling-Mediated Renal Autophagy and Altered Renal Development in Rat Fetuses”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dampak hipoksia dalam perkembangan dan autophagy ginjal pada janin tikus. Pada penelitian ini tikus yang sedang hamil diberi perlakuan hipoksia selama masa kehamilan, kemudian pada usia gestasi 21 hari ginjal janin tikus dikumpulkan untuk diamati perkembangannya. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa dampak hipoksia pada perkembangan ginjal janin berhubungan dengan apoptosis ginjal dan Beclin 1 signaling-mediated autophagy. Perbedaan penelitian yang peneliti lakukan yakni ginjal yang diamati tidak diambil pada usia


(23)

gestasi 21 hari, melainkan setelah persalinan, yang kemudian dilakukan pengamatan pada gambaran histopatologi ginjal dengan pewarnaan haematoxylin-eosin (HE) pada anak tikus.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Tinjauan Pustaka

1. Oksigen

Oksigen atau zat asam adalah salah satu bahan farmakologi, merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau digunakan untuk proses pembakaran dan oksidasi. Oksigen termasuk unsur golongan kalkogen dan dapat dengan mudah bereaksi dengan hampir semua unsur lainnya. Pada Temperatur dan tekanan standar, dua atom unsur ini berikatan menjadi dioksigen, yaitu senyawa gas diatomic (Swidarmoko & Susanto, 2010). Tidak adanya oksigen akan menyebabkan tubuh secara fungsional mengalami kemunduran atau bahkan dapat menimbulkan kematian. Oleh karena itu, kebutuhan oksigen merupakan kebutuhan yang paling utama dan sangat vital bagi tubuh (Imelda, 2009).

Oksigen sangatlah penting untuk kehidupan baik sebelum dan sesudah persalinan. Selama didalam rahim, janin mendapatkan oksigen dan nutrien dari ibu melalui plasenta dari ibu yang diberikan kepada janin. (Depkes RI, 2005).

2. Hipoksia

a. Definisi

Hipoksia adalah suatu keadaan di mana jaringan tubuh tidak mendapatkan oksigen yang cukup (James et al., 2008). Hipoksia adalah


(25)

penyebab paling umum cedera dan kematian seluler (Nakanishi, 2009). Hal ini dapat disebabkan karena kurangnya suplai darah pada daerah yang terlokalisasi dan bekuan dalam lumen pembuluh darah. Penyebab lainnya bisa karena embolisme, infark dan nekrosis.

Hipoksia menyebabkan produksi ATP di mitokondira berkurang. Pada kondisi penurunan ATP, sel akan mengalami penurunan reaksi pemompaan natrium kalium. Selain itu sel juga akan mengalami penurunan sintesis protein dan kemudian memulai metabolisme anaerob. Tanpa pemompaan natrium dan kalium tekanan osmotik di dalam sel akan meningkat, sehingga akan terjadi penarikan air ke dalam sel. Sel yang mengalami kekurangan oksigen atau suplai darah tersebut mulai membengkak dan terjadi kematian sel (Michiels et al., 2004).

Hipoksia ini akan mempengaruhi respirasi oksidasi aerob. Pada kondisi aerob (tersedia oksigen) sistem enzim mitokodria mampu mengkatalisis oksidasi asam piruvat menjadi H2O dan CO2 serta menghasilkan energi dalam bentuk ATP (Adenosin Tri Phospat). Ketika tidak tersedia oksigen maka akan terjadi proses respirasi anaerob. Pada kondisi anaerob (tidak tersedia oksigen), suatu sel akan dapat mengubah asam piruvat menjadi CO2 dan etil alkohol serta membebaskan energi (ATP). Atau oksidasi asam piruvat dalam sel otot menjadi CO2 dan asam laktat serta membebaskan energi (ATP). Proses anaerob ini akan berakhir dengan kematian sel (James et al., 2008). Berdsasrkan jenisnya hipoksia dibagi menjadi 4 kelompok (Corwin, 2009).


(26)

12

1) Hipoksia Hipoksik adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena kurangnya oksigen yang masuk ke dalam paru- paru. Sehingga oksigen dalam darah menurun kadarnya. Kegagalan ini dapat disebabkan oleh adanya sumbatan/obstruksi di saluran pernapasan. 2) Hipoksia Anemik adalah keadaan hipoksia yang disebabkan oleh

karena hemoglobin dalam darah tidak dapat mengikat atau membawa oksigen yang cukup untuk metabolisme seluler. Seperti keracunan karbon monoksida (CO2).

3) Hipoksia Stagnan adalah keadaan hipoksia yang disebabkan karena hemoglobin dalam darah tidak mampu membawa oksigen ke jaringan yang disebabkan kegagalan sirkulasi seperti heart failure, atau embolisme.

4) Hipoksia Histotoksik adalah keadaan hipoksia yang disebabkan oleh karena jaringan yang tidak mampu menyerap oksigen. Salah satu contohnya pada keracunan sianida. Sianida dalam tubuh akan mengaktifkan beberapa enzim oksidatif seluruh jaringan secara radikal, terutama sitokrom oksidase dengan mengikat bagian ferric heme group dari oksigen yang dibawa darah.

b. Faktor Risiko

Hipoksia dapat terjadi pada periode antepartum dan intrapartum sebagai akibat dari pertukaran gas melalui plasenta yang berdampak tidak adekuatnya suplai oksigen dan perpindahan karbon dioksida serta hidrogen (H+) dari janin. Etiologi hipoksia prenatal antara lain meliputi


(27)

faktor maternal, uteroplasenta dan janin itu sendiri (Efendi & Kadir, 2013).

Faktor maternal antara lain infeksi (korioamnionitis), penyakit ibu (hipertensi kronik, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan diabetes. Faktor uteroplasenta juga berperan dalam hal ini, yang tersering adanya insufisiensi plasenta, oligohidramnion, polihidramnion, ruptur uterus, gangguan tali pusat (tali pusat menumbung, lilitan tali pusat, prolaps tali pusat). Faktor janin yaitu prematuritas, bayi kecil masa kehamilan, kelainan bawaan, infeksi, depresi saraf pusat oleh obat-obatan, dan twin to twin transfusion (Efendi & Kadir, 2013).

c. Fisiologi dan Patofisiologi

Oksigen yang diperoleh janin dari ibu melalui plasenta akan diikat oleh sel darah merah (eritrosit) janin, untuk selanjutnya ditransportasi dan didistribusikan melalui sistim kardiovaskuller ke seluruh tubuh (sel), untuk dimanfaatkan dalam proses metabolisme. Dengan adanya oksigen dan zat-zat lain seperti glukosa, berbagai ion, asam amino dan bahan-bahan lemak serta unsur pokok lainnya dalam jumlah yang cukup, sel-sel akan mampu untuk hidup, tumbuh, dan melakukan fungsi-fungsi khususnya. Kondisi seperti ini dapat berlangsung dengan baik selama homeostasis dapat dipertahankan, dan dalam hal ini sistim kardiovaskuler dan sistim pengaturan keseimbangan asam basa sangat berperan (Nangaku, 2006).


(28)

14

d. Kompensasi dan Adaptasi

Berkurangnya kandungan oksigen dalam darah (hipoksemia) akan merangsang syaraf simpatis, sehingga akan meniimbulkan takikardi (Guyton & Hall, 2012). Bila kondisi hipoksemia tidak teratasi maka akan berlanjut menjadi hipoksia, belum diketahui secara pasti bagaimana mekanismenya tapi diduga disebabkan disfungsi seluler sistim syaraf pusat yang dipicu hipoksemia (hypoxemia-induced central nervous system cellular disfunction). Kemoreseptor pada aortic body merespon kondisi hipoksemia arteri dengan mekanisme adaptasi. Mekanisme adaptasi ini ada 4, yaitu 1) berkurangnya denyut jantung, 2) berkurangnya konsumsi oksigen, sekunder terhadap berhentinya fungsi yang tidak penting, 3) redistribusi kardiak output ke organ-organ penting, seperti otak, jantung, kelenjar adrenal, dan 4) metabolisme seluler anerobik. Sejauh mana mekanisme tersebut efektif, ditentukan oleh kesehatan janin dan plasenta sebelumnya, dan frekuensi, lama, dan intensitas even hioksemik (Fahey & King, 2005).

3. Ginjal

a. Anatomi Ginjal

Ginjal terletak di bagian belakang abdomen atas, di belakang peritoneum, di depan dua iga terakhir, dan tiga otot besar transversus abdominis, kuadratus llumborum, dan psoas mayor. Ginjal dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal. Kelenjar adrenal terletak diatas kutub masing-masing ginjal. Ginjal terlindung dengan baik


(29)

dari trauma langsung-di sebelah posterior dilindungi oleh kosta dan otot-otot yang meliputi kosta, sedangkan di anterior dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis dekstra (Price & Wilson, 2006).

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13 cm (4,7 hingga 5,1 inci), lebarnya 6 cm (2,4 inci), tebalnya 2,5 cm (1 inci) dan beratnya sekitar 150 g. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. Perbedaan panjang dari kutub ke kutub kedua ginjal yang lebih dari 1,5 cm (0,6 inci) atau perubahan bentuk merupakan tanda yang penting karena sebagian besar manifestasi penyakit ginjal adalah perubahan struktur (Price & Wilson, 2006).

Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian korteks dan medula ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta–juta nefron sedangkan di dalam medula banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal yang terdiri atas tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distal, dan tubulus koligentes. Setiap ginjal memiliki sisi medial cekung, yaitu hilus tempat masuknya syaraf, masuk dan keluarnya pembuluh darah dan pembuluh limfe, serta keluarnya ureter dan memiliki permukaan lateral yang cembung. Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks major, dan pielum/pelvis renalis. Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang bermuara ke


(30)

16

dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang–cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Junqueira & Carneiro, 2007).

Gambar 1. Anatomi ginjal manusia (Moore & Agur, 2002)

b. Histologi Ginjal

Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagi nefron. Dalam setiap ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut (Price & Wilson, 2006).

Setiap nefron terdiri atas bagian yang melebar yakni korpuskel renalis, tubulus kontortus proksimal, segmen tipis, dan tebal ansa henle,


(31)

tubulus kontortus distal, dan duktus koligentes (Junqueira & Carneiro, 2007).

Gambar 2. Histologi ginjal normal manusia dengan pewarnaan Hematocylin Eosin perbesaran 400x (Klaus, 2009).

1) Tubulus Kontortus Proksimal

Pada kutub urinarius di korpuskel renalis, epitel gepeng di lapisan parietal kapsula bowman berhubungan langsung dengan epitel tubulus kontortus proksimal yang berbentuk kuboid atau silindris rendah. Filtrat glomerulus yang terbentuk di dalam korpuskel renalis, masuk ke dalam tubulus kontortus proksimal yang merupakan tempat dimulainya proses absorbsi dan ekskresi. Selain aktivitas tersebut, tubulus kontortus proksimal mensekresikan kreatinin dan subsatansi asing bagi organisme, seperti asam para aminohippurat dan penisilin, dari plasma interstitial ke dalam filtrat (Junqueira & Carneiro, 2007).


(32)

18

2) Tubulus Kontortus Distal

Segmen tebal asenden ansa henle menerobos korteks, setelah menempuh jarak tertentu, segmen ini menjadi berkelak–kelok dan disebut tubulus kontortus distal. Sel–sel tubulus kontortus distal memiliki banyak invaginasi membran basal dan mitokondria terkait yang menunujukkan fungsi transpor ionnya (Junqueira & Carneiro, 2007).

3) Tubulus Duktus Kolingentes

Tubulus koligentes yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid. Di sepanjang perjalanannya, tubulus dan duktus koligentes terdiri atas sel–sel yang tampak pucat dengan pulasan biasa. Epitel duktus koligentes responsif terhadap vasopressin arginin atau hormon antidiuretik, yang disekresi hipofisis posterior. Jika masukan air terbatas, hormon antidiuretik disekresikan dan epitel duktus koligentes mudah dilalui air yang diabsorbsi dari filtrat glomerulus (Junqueira & Carneiro, 2007).


(33)

Gambar 3. Penampang histologi normal ginjal dengan pewarnaan Hematocylin Eosin perbesaran 100x (Eroschenko, 2009)

Pada umumnya dengan paparan rendah terjadi perubahan fisiologis dari tubulus proksimal, namun pada paparan dosis tinggi perubahan morfologi juga dapat terjadi. Terdapat dua perubahan morforlogi yang sering terjadi pada ginjal adalah perubahan morfologi yang reversibel dan ireversibel. Perubahan reversibel antara lain adalah degenerasi sel tubulus, inflamasi sel tubulus dan terbentuknya cast, sedangkan perubahan irreversibel dari sel tubulus antara lain adalah atrofi atau dilatasi lumen, fibrosis sel tubulus, dan yang paling berat adalah nekrosis sel tubulus. Perubahan irreversibel biasanya ditandai dengan hilangnya brush border dan inti sel memipih (Price & Wilson, 2006).

c. Fisiologi Ginjal

Ginjal adalah organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Produk-produk ini


(34)

20

meliputi urea (dari sisa metabolisme asam amino), kreatin asam urat (dari asam nukleat), produk akhir dari pemecahan hemoglobin (bilirubin). Ginjal tersusun dari beberapa juta unit fungsional (nefron) yang akan melakukan ultrafiltrasi terkait dengan ekskresi (pembentukan urin) dan reabsorpsi. Kerja ginjal dimulai saat dinding kapiler glomerulus melakukan ultrafiltrasi untuk memisahkan plasma darah dari sebagian besar air, ion-ion dan molekul-molekul (Guyton & Hall, 2012).

d. Faktor yang berpengaruh pada kerusakan ginjal

Nefrotoksikasi ginjal dipengaruhi oleh berbagai hal dalam sistem tubuh manusia maupun hewan (Kumar, 2006).

1) Obat atau zat kimia toksik

Ada beberapa jenis obat atau zat kimia yang dapat menyebabkan nefrotoksikasi, contohnya antara lain, Acetaminophen dosis tinggi dapat menyebabkan terjadinya nekrosis tubulus, obat Anti Inflamasi Non-Steroid (NSAID) menyebabkan nekrosis papiler, maupun Aminoglikoksida dapat menyebabkan gagal ginjal non oliguri.

2) Dosis

Dosis obat atau zat kimia yang digunakan sangat berpengaruh pada tingkat kerusakan ginjal. Semakin tinggi dosis yang masuk ke dalam peredaran sistemik maka semakin besar pula kerusakan sel yang dapat terjadi.


(35)

3) Nutrisi

Keadaan gizi dari sesorang berpengaruh terhadap timbulnya kerusakan pada sel-sel termasuk sel ginjal. Nutrisi diperlukan untuk menjaga keadaan fisiologis dari sel tersebut.

4) Usia

Pada usia lanjut keadaan tubuh akan mengalami kemunduran, hal ini juga akan berpengaruh terhadap sel ginjal. Semakin tua sesorang maka akan semakin besar risiko terjadinya kerusakan sel ginjal.

5) Jenis Kelamin

Jenis kelamin sangar berkaitan dengan proses hormonal di dalam tubuh, diduga hormone juga berpengaruh terhadap metabolisme maupun reaksi zat di dalam tubuh.

6) Penyakit

Adanya penyakit penyerta atau penyakit pendahulu pada seseorang akan mengakibatkan terganggunya baik fisiologi maupun morfologi dari ginjal tersebut, sehingga akan memperberat kerusakan ginjal yang terjadi.

7) Alkohol

Konsumsi Alkohol yang berlebihan dalam jangka waktu yang panjang akan menyebabkan kerusakan pada sel ginjal. Dengan adanya paparan dari alkohol maka akan memperberat kerusakan ginjal yang terjadi.


(36)

22

8) Stress

Adanya stres pada organ ginjal akan dapat mengakibatkan kerusakan pada sel-sel ginjal. Sehingga adanya stres sebelum pemaparan akan memperberat kerusakan ginjal.

e. Mekanisme kerusakan ginjal akibat hipoksia

Ginjal merupakan organ tubuh dengan perfusi paling baik, bila dibandingkan dengan berat organ dan asupan oksigen permenit. Namun tekanan oksigen jaringan pada parenkim ginjal jauh lebih rendah dibandingkan organ lain dan tekanan terendah ada pada vena ginjal. Medula ginjal merupakan salah satu bagian tubuh dengan tekanan oksigen terendah. Perbedaan ini dijelaskan oleh adanya asupan oksigen yang tinggi dan tekanan oksigen jaringan yang rendah serta arsitektur unik vaskuler ginjal. Pada korteks dan medula ginjal, cabang cabang arteri dan vena ginjal berjalan secara pararel dan kontak erat antara satu dengan yang lain dalam jarak yang panjang. Hal ini memberikan kesempatan difusi oksigen dari sistem arteri menuju sistem vena sebelum masuk menuju kapiler. Mekanisme ini menjelaskan rendahnya tekanan oksigen di medula dan korteks ginjal (Eckardt et al., 2005).

Segmen tubulus sebagian besar mempunyai kapasitas yang terbatas terhadap energi yang bersifat anaerobik sehingga tergantung pada oksigen dalam memelihara reabsorpsi aktif solut transtubulus. Kapiler peritubuler ginjal merupakan basis struktur dari transport oksigen yang adekuat untuk sel tubulus, penurunan densitas kapiler ini


(37)

berhubungan penyakit ginjal kronis. Penurunan jumlah kapiler peritubuler berhubungan dengan gangguan fungi ginjal yang progresif. Penelitian terbaru, hilangnya kapiler peritubuler ditunjukkan pada berbagai model binatang, meliputi: glomerulonefritis, model ginjal remnant, obstruksi uretra, iskemi, stenosis arteri renalis. Penurunan densitas kapiler peritubuler terjadi dengan cepat dalam hitungan hari sejak terjadinya rangsangan awal dan tetap bertahan dalam beberapa minggu. Kerusakan tubulointerstisial akibat hipoksia melalui mekanisme yang multifaktorial. Hipoksia dapat mengaktifasi fibroblas, perubahan metabolisme matriks ekstrasel pada sel-sel ginjal, dan fibrogenesis. Aktifasi interstisial fibrosis akibat hipoksia dan peningkatan deposit matriks ekstrasel akan mengakibatkan gangguan aliran darah dan asupan oksigen. Sel tubulus ginjal yang mengalami hipoksia lebih mudah mengalami gangguan fungsi mitokondria dan defisit energi yang menetap. Hipoksia juga menginduksi apoptosis tubulus ginjal dan sel endotel melalui mekanisme mitokondria. Analisis histologis pada model tikus membuktikan apotosis sel tubulus ginjal akibat keadaan hipoksia (Nangaku, 2006).

4. Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague-dawley

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat dan sering digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk penelitian, dikarenakan tikus merupakan hewan yang mewakili dari kelas mamalia, sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimianya,


(38)

24

sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi menyerupai manusia. Sekali beranak tikus dapat menghasilkan sampai 15 ekor, namun rata-rata 9 ekor. Tikus albino (tikus putih) banyak digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium (Sari et al., 2010).

a. Klasifikasi (Narendra, 2007) Kingdom : Animalia

Filum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentai Subordo : Odontoceti Familia : Muridae Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus b. Jenis

Tikus galur Sprague-dawley memiliki ciri-ciri albino putih, berkepala kecil dengan ekor yang lebih panjang daripada badannya. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague-dawley merupakan tikus yang paling sering digunakan untuk percobaan. Tikus ini memiliki temperamen yang tenang sehingga mudah dalam penanganan. Rata-rata ukuran berat badan tikus Sprague-dawley adalah 10,5 gram. Berat badan

dewasa adalah 250−300 gram untuk betina, dan 450−520 gram untuk


(39)

Tikus galur Sprague-dawley dinamakan demikian, karena ditemukan oleh seorang ahli Kimia dari Universitas Wisconsin, Dawley. Dalam penamaan galur ini, dia mengkombinasikan dengan nama pertama dari istri pertamanya yaitu Sprague dan namanya sendiri menjadi Sprague-dawley. Tikus putih memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai hewan uji penelitian di antaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran yang lebih besar dari mencit, mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak. Tikus putih juga memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino, kepala kecil, dan ekor yang lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat, temperamennya baik, kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap arsenik tiroksid (Putra, 2009).

B.Kerangka Konsep

Aliran Darah Arteri Uterina Menurun

Pasokan Oksigen Menurun PRENATAL

Hipoksia Iskemik Prenatal

Kerusakan Tubulus Ginjal Janin


(40)

26

C.Hipotesis

1. Tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang diberi induksi hipoksia iskemik prenatal memiliki tingkat kerusakan ginjal yang lebih tinggi daripada tikus yang tidak diberi induksi.

2. Tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang diberi induksi hipoksia iskemik prenatal pada usia kehamilan 7 hari memiliki tingkat kerusakan ginjal yang lebih tinggi daripada yang diinduksi pada usia kehamilan 11 hari.


(41)

27

BAB III

METODE PENELITIAN

A.Desain Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, desain Post-test control group desain. Postes untuk menganalisis perubahan gambaran histopatologi pada organ ginjal.

B.Populasi dan Sampel Penelitian

Subjek penelitian ini adalah anak Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang diperoleh dari induk hamil yang sehat pada usia kehamilan 7 hari dan 11 hari yang telah diinduksi hipoksia iskemik dengan cara di ligasi arteri uterina unilateral. Ditentukan pula anak Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang diperoleh dari induk hamil yang sehat tanpa induksi hipoksia iskemik. Hewan uji dipelihara dan diberi makan minum ad libitum.

Setelah induk Rattus norvegicus galur Sprague-dawley hamil tersebut melahirkan, anak-anaknya ditimbang. Hanya anak yang berat badan lahir <5,50 gram yang dipilih sebagai subjek penelitian. Anak-anak tikus tersebut kemudian dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing kelompok 7 ekor. Anak-anak tikus yang lahir dikelompokkan berdasarkan perlakuan sebagai berikut: 1. Kelompok 1 : Hewan uji yang dijadikan sebagai kelompok kontrol, tidak


(42)

28

2. Kelompok 2 : Hewan uji dijadikan subyek penelitian, dari induk yang diberikan induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 7 hari.

3. Kelompok 3 : Hewan uji dijadikan subyek penelitian, dari induk yang diberikan induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 11 hari.

Besar sampel ditentukan berdasarkan rumus WHO (1993) jumlah sampel setiap kelompok perlakuan minimal 5 ekor tiap kelompok.

Kriteria Inklusi:

1. Rattus norvegicus galur Sprague-dawley jantan 2. Usia tikus 35 hari

3. Berat badan lahir <5,50 gram Kriteria Eksklusi:

1. Tikus dalam keadaan sakit

2. Tikus mati sebelum pemeriksaan dilakukan

C.Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Hewan Uji Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UMY untuk pemeliharaan. Pemberian perlakuan induk, dan pembedahan dilakukan di Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UMY. Pembuatan preparat ginjal tikus dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran UGM. Pengamatan preparat dilakukan di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UMY oleh peneliti. Peneliti mengetahui preparat pada setiap kelompok. Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan.


(43)

D.Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini antara lain:

1. Variabel bebas yaitu kelompok induk tikus berdasarkan pemberian perlakuan, yaitu induksi hipoksia iskemik pada usia 7 dan 11 hari.

2. Variabel tergantung adalah gambaran histopatologi ginjal Rattus norvegicus galur Sprague-dawley hipoksia iskemik prenatal.

E.Definisi Operasional

1. Tikus Putih Hipoksia Iskemik Prenatal

Induk tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang hamil diinduksi hipoksia iskemik prenatal dengan cara diligasi arteri uterina unilateral pada usia kehamilan 7 hari dan 11 hari, sehingga anaknya akan memiliki pengaruh dari induksi hipoksia. Anak yang lahir selanjutnya dipilih yang mempunyai jenis kelamin jantan dan berat badan lahir <5,50 gram. Setelah anak tikus berusia 35 hari kemudian anak tikus dimatikan dan diambil organnya untuk diamati.

2. Gambaran Histopatologi Ginjal

Preparat histopatologi ginjal dibuat dari bagian ginjal tikus putih yang sebelumnya sudah dieutanasia. Sampel diambil dengan alat-alat bedah standar dan kemudian dimasukkan ke dalam tabung kecil berisi formalin. Sampel ginjal diawetkan dengan formalin sebelum dibuat menjadi preparat. Saat akan dijadikan preparat, sampel dipotong secara melintang.


(44)

30

Gambaran histopatologi ginjal Rattus norvegicus galur Sprague-dawley didapatkan dengan menghitung presentase sel abnormal pada ginjal tikus yang telah dicat haematoxylin-eosin (HE), kemudian diamati menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali dalam ±5 lapangan pandang sejumlah 100 sel. Perubahan pada tubulus berupa degenerasi hidropis, apoptosis dan adanya endapan protein di lumen. Penilaian presentasi sel ginjal abnormal (%) menggunakan kriteria berikut ini (Wibowo, 2012):

1 = lesi <25% total lapangan pandang 2 = lesi 25-<50% total lapangan pandang 3 = lesi 50-<75% total lapangan pandang 4 = lesi ≥75% total lapangan pandang

F. Alat dan Bahan Penelitian

Rattus norvegicus galur Sprague-dawley, makan minum ad libitum, botol minum khusus untuk tikus, kandang tikus, sekam, peralatan bedah tikus, benang chromic, obat bius (ketamin dan kloroform), povidone iodine, tabung bius, alat timbang berat, alkohol, kapas, gelas preparat, mikroskop dan kamera, alat hitung, komputer alat hitung, pot untuk organ, formalin.

G.Jalannya penelitian

Tahapan penelitian yang dirancang untuk pengumpulan data adalah sebagai berikut :


(45)

1. Induk tikus yang hamil dikelompokkan secara acak.

2. Induk tikus hamil diinduksi hipoksia iskemik dengan dilakukan ligasi arteri uterina unilateral pada usia kehamilan 7 dan 11 hari sesuai masing-masing kelompok.

3. Induk tikus diberikan anastesi ketamin sebelum dilakukan pembedahan untuk dilakukan induksi hipoksia iskemik (ligasi arteri uterina unilateral) 4. Setelah anak-anak tikus lahir, kemudian dipelihara sampai pada usia 35 hari. 5. Selanjutnya anak-anak tikus dianastesi dengan kloroform untuk dilakukan pembedahan dan pengambilan organ, seperti otak, jantung, paru, hati, ginjal 6. Setelah tikus dianastesi dan dimatikan, kemudian organ yang diambil

dimasukkan kedalam pot berisi formalin,

7. Organ ginjal yang akan diteliti dibawa ke bagian Patologi Anatomi FK UGM untuk dibuat preparat dengan pengecatan HE (Hematocylin Eosin). 8. Preparat diamati menggunakan mikroskop pada perbesaran 400 kali dalam

±5 lapangan pandang sejumlah 100 sel.

H.Analisis Data

Data hasil skoring perubahan histopatologi Rattus norvegicus galur Sprague-dawley merupakan data dengan skala pengukuran ordinal, sehingga dapat langsung dilanjutkan dengan uji non parametrik Kruskal Wallis untuk menguji hipotesis perbedaan pada semua kelompok perlakuan. Kemudian, untuk mengetahui perbandingan pengaruh setiap kelompok terhadap kelompok


(46)

32

yang lain, digunakan uji Mann-Whitney. Data analisa didapatkan dari pengamatan gambaran histopatologi ginjal pada tikus hewan uji.

I. Etika Penelitian

Penelitian ini menggunakan Rattus norvegicus galur Sprague-dawley jantan umur 35 hari dengan Berat badan lahir <5,50 gram yang tidak lepas dari perlindungan hak mencit sebagai makhluk hidup dan sudah mendapatkan surat keterangan kelayakan etik penelitian nomor 469/EP-FKIK-UMY/XI/2015. Selama penelitian, hewan uji dirawat dan diperlakukan sesuai etika penelitian. Saat akhir penelitian diperlukan pengambilan ginjal hewan uji, maka hewan uji dibunuh setelah dilakukan anastesi dengan kloroform.


(47)

33

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Hasil

Subjek penelitian ini adalah anak yang diperoleh dari induk tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang telah diinduksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 7 hari dan 11 hari dengan cara di ligasi arteri uterina unilateral. Ditentukan pula anak yang diperoleh dari induk tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang sehat tanpa induksi hipoksia iskemik. Hewan uji dipelihara dan diberi makan minum ad libitum.

Setelah induk Rattus norvegicus galur Sprague-dawley hamil tersebut melahirkan, anak-anaknya ditimbang. Hanya anak yang berat badan lahir <5,50 gram yang dipilih sebagai subjek penelitian. Anak-anak tikus tersebut kemudian dibagi menjadi 3 kelompok ,masing-masing kelompok 7 ekor. Anak-anak tikus yang lahir dikelompokkan berdasarkan perlakuan sebagai berikut: 1. Kelompok 1 : Hewan uji yang dijadikan sebagai kelompok kontrol, tidak

diinduksi hipoksia iskemik.

2. Kelompok 2 : Hewan uji dijadikan subyek penelitian, dari induk yang diberikan induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 7 hari.

3. Kelompok 3 : Hewan uji dijadikan subyek penelitian, dari induk yang diberikan induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 11 hari.

Semua anak-anak tikus mendapatkan perlakuan yang sesuai hingga memasuki usia 35 hari. Setelah memasuki usia 35 hari anak-anak tikus diambil


(48)

34

organ ginjalnya untuk dibuat sediaan preparat dan dilakukan pengamatan secara penghitungan jumlah sel ginjal yang mengalami perubahan histopatologis dengan menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 400x. Perubahan pada tubulus berupa degenerasi hidropis, apoptosis dan adanya endapan protein di lumen. Hasil penelitian berupa gambaran histopatologi yaitu kerusakan tubulus dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Kelompok 1. Pewarnaan HE. Perbesaran 400x.

Gambar 4 merupakan kelompok perlakuan kontrol, yaitu kelompok yang tidak diinduksi dengan hipoksia iskemik prenatal. Kelompok ini memiliki tingkat lesi kurang dari 25%.


(49)

Gambar 5. Kelompok 2. Pewarnaan HE. Perbesaran 400x.

Gambar 5 merupakan kelompok perlakuan 2. Hewan uji yang dijadikan subyek penelitian berasal dari induk yang diberikan induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 7 hari. Pada kelompok ini sebagian besar sampel memiliki lesi sebesar 50-<75% total lapangan pandang. Pada Gambar 5 tubulus yang mengalami degenerasi hyalin ditunjukan dengan gambar panah dan degenerasi hidropis ditunjukan dengan gambar kepala panah.

Gambar 6. Kelompok 3. Tubulus yang mengalami endapan protein (kepala panah) dan inti sel yang mengalami apoptosis (panah). Pewarnaan HE.


(50)

36

Gambar 6 merupakan kelompok perlakuan 3. Hewan uji yang dijadikan subyek penelitian berasal dari induk yang diberikan induksi hipoksia iskemik pada usia kehamilan 11 hari. Pada kelompok ini sebagian besar sampel memiliki lesi sebesar 25-<50% total lapangan pandang. Pada gambar 6 tubulus yang mengalami endapan protein ditunjukan dengan gambar kepala panah dan inti sel yang mengalami apoptosis ditunjukan dengan gambar panah.

Tabel 1. Analisis Deskriptif Sel Ginjal Rattus norvegicus Galur Sprague-dawley Kontrol Perlakuan 1 hari

ke-7

Perlakuan 2 hari ke-11

Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen

Lesi kurang

dari 25% 7 100 % 0 0 0 0

Lesi

25-<50% 0 0 2 28,6 % 5 71,4 %

Lesi

50-<75% 0 0 5 71,4 % 2 28,6 %

Lesi lebih dari sama dengan 75%

0 0 0 0 0 0

Total 7 100 % 7 100 % 7 100 %

Berdasarkan Tabel 1, semua kelompok kontrol memiliki lesi yang kurang dari 25 % lapangan pandang. Pada perlakuan 1 hari ke-7 sebagian besar


(51)

sampel memiliki lesi sebesar 50-<75% total lapangan pandang, sedangkan pada perlakuan 2 hari ke-11 sebagian besar sampel memiliki lesi sebesar 25-<50% total lapangan pandang.

Data hasil skoring perubahan histopatologi Rattus norvegicus galur Sprague-dawley merupakan data dengan skala pengukuran ordinal, sehingga dapat langsung dilanjutkan dengan uji non parametrik Kruskal Wallis. Hasilnya didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05), artinya hipotesis kerja diterima dan terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik terhadap perubahan struktur histopatologi ginjal pada tiap-tiap kelompok, maka analisa data dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney. Hasil analisa data dengan uji Mann- Whitney untuk uji beda antar kelompok didapatkan bahwa skor nilai derajat perubahan histopatologi ginjal antara kelompok kontrol dengan perlakuan 1 terdapat perbedaan bermakna dimana p<0,05 dengan nilai 0,01. Pada kelompok kontrol dengan perlakuan 2 juga terdapat perbedaan yang bermakna dimana p>0,05 dengan nilai 0,01. Sedangkan pada kelompok perlakuan 1 dengan perlakuan 2, terdapat perbedaan tetapi tidak bermakna dimana p>0,05 dengan nilai 0,122.

B.Pembahasan

Pada penelitan ini ditemukan perbedaan gambaran histopatologis ginjal Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang bermakna antar kelompok dengan p=0.001. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari hipoksia iskemik prenatal terhadap gambaran histopatologis ginjal Rattus norvegicus galur Sprague-dawley. Hal ini didukung oleh temuan penelitian dalam analisis


(52)

38

dekriptif yang menyatakan bahwa pada kelompok perlakuan 1 terjadi kerusakan sel tubulus ginjal yang terberat daripada kelompok perlakuan lain. Sedangkan dalam analsis analitik antara kelompok perlakuan 1 dengan perlakuan 2, ditemukan perbedaan pada analisa deskriptif, namun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam analisis inferensial atau analitik.

Oksigen merupakan salah satu zat utama yang dibutuhkan untuk reaksi kimia di dalam sel. Pada keadaan normal, sekitar 97% oksigen yang diangkut dari paru ke jaringan dibawa dalam campuran kimiawi dengan hemoglobin di dalam sel darah merah sisanya sebanyak 3% diangkut dalam bentuk terlarut dalam cairan plasma dan sel darah. Setiap sel membutuhkan oksigen untuk mengubah energi makanan menjadi ATP (Adenosine Triphosphate) yang siap pakai untuk kerja tiap sel (Guyton & Hall, 2012).

Bila jaringan tubuh tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup maka dapat timbul hipoksia. Pada hipoksia terjadi defisiensi oksigen yang mengakibatkan kerusakan sel akibat penurunan respirasi oksidatif aerob pada sel. Hipoksia merupakan penyebab penting dan umum dari cedera dan kematian sel namun tergantung pada beratnya keadaan hipoksia. Pada keadaan hipoksia sel dapat mengalami adaptasi, cedera, atau kematian (Kumar, 2006).

Periode paling penting dari manusia adalah selama masa perkembangan janin, tahap dimana sedikit saja paparan merugikan yang didapatkan oleh ibu dapat mempengaruhi perkembangan janin di masa yang akan mendatang. Dua faktor yang paling sering terjadi pada janin selama masa perkembangan adalah penurunan oksigen atau hipoksia dan pengiriman nutrisi. Oksigen yang cukup


(53)

diperlukan untuk perkembangan janin. Dalam rahim hipoksia dapat menyebabkan dampak buruk terhadap perkembangan janin (Ojeda, 2008).

Hipoksia prenatal juga dapat mempengaruhi proses perkembangan ginjal. Pada masa prenatal, hipoksia dapat mengganggu proses nefrogenesis, yang kemudian mengarah ke penurunan jumlah nefron berfungsi yang dimiliki tiap individu ketika lahir. Selain itu, hipoksia prenatal mempengaruhi sistem renin-angiotensin janin dan hemodinamik ginjal janin, yang mengarah ke hipertensi pada anak. Malnutrisi selama kehamilan dapat menyebabkan perkembangan yang abnormal pada ginjal dan mengurangi jumlah nefron. Perkembangan abnormal yang terjadi antara lain adalah proses penuaan ginjal dikaitkan dengan perubahan fisiologis dan fungsional, termasuk penurunan berat ginjal dan jumlah glomerulus (Nangaku, 2006).

Penelitian mengenai perubahan histopatologis pada sel tubulus ginjal yang telah diinduksi hipoksia telah dilakukan sebelumnya, dan ditemukan adanya perubahan fisiologi ginjal, penurunan berat badan dan organ dan tubulus ginjal. Pada penelitian ini, antara kelompok perlakuan 1 dengan perlakuan 2, ditemukan perbedaan pada analisa deskriptif, namun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam analisis inferensial atau analitik. Hal ini dapat berhubungan dengan proses nefrogenesis pada tikus yang bermula pada masa awal kehamilan, dan berakhir pada postnatal hari ke-4 (Larsson et al., 1980). Pada masa awal kehamilan oksigen sangat dibutuhkan untuk membantu proses organogenesis. Jika terjadi hipoksia pada janin maka


(54)

40

dapat mengganggu perkembangan ginjal janin dan mempercepat proses penuaan ginjal pada perkembangan postnatal (Xia et al., 2014).

Tubulus proksimal merupakan bagian ginjal yang aktif pada aktifitas absopsi maupun sekresi sehingga sering mendapatkan paparan tertinggi dari zat toksik. Segmen tubulus sebagian besar mempunyai kapasitas yang terbatas terhadap energi yang bersifat anaerobik sehingga tergantung pada oksigen dalam memelihara reabsorpsi aktif solut transtubulus. Hipoksia akan mengakibatkan kerusakan pada tubulointerstisial ginjal melalui banyak cara. Hipoksia dapat mengaktifasi fibroblas, perubahan metabolisme matriks ekstrasel pada sel-sel ginjal, dan fibrogenesis. Aktifasi interstisial fibrosis akibat hipoksia dan peningkatan deposit matriks ekstrasel akan mengakibatkan gangguan aliran darah dan asupan oksigen. Sel tubulus ginjal yang mengalami hipoksia akan lebih mudah mengalami gangguan fungsi mitokondria dan defisit energi yang menetap, hal ini kemudian akan menyebabkan apoptosis tubulus ginjal (Nangaku, 2006). Perubahan pada tubulus di penelitian ini berupa apoptosis, degenerasi hidropis, degenerasi hyalin, kongesti, dan adanya endapan protein di lumen. Perubahan histopatologi ini disebabkan paparan hipoksia yang bersifat nefrotoksik.

Pada tubulus yang berdilatasi ditemukan epitel dengan sitoplasma yang mengalami degenerasi hyalin. Degenerasi hyalin biasanya berhubungan dengan peradangan pada tubuli yang disebabkan iskemia atau racun. Butiran hyalin akan tampak berwarna merah cerah yang bersifat homogen. Perubahan ginjal yang berupa degenerasi hyalin disajikan pada Gambar 5.


(55)

Degenerasi hidropis merupakan suatu keadaan dimana pada sitoplasma sel terdapat air. Hilangnya kontrol air disebabkan oleh kerusakan pompa sodium, dimana jumlah ion Na yang masuk ke dalam sel berlebihan. Hal ini menyebabkan air banyak masuk ke dalam sel. Pada awalnya air terakumulasi di sitosol dan sisterna retikulum endoplasma. Namun seiring berjalannya waktu seluruh sel membengkak (Barnett et al., 1999). Degenerasi hidropis disebabkan oleh ketidak cukupan sel terhadap makanan dan ketuaan individu secara keseluruhan atau jaringan tertentu. Pada penelitian ini degenerasi hidropis disebabkan oleh hipoksia yang bersifat toksik (Suyanti, 2008). Secara mikroskopik sel terlihat mengandung ruangan-ruangan yang jernih yang mengelilingi inti tetapi tidak sejernih glikogen atau lemak (Barnett et al., 1999).

Degenerasi hidropis ginjal diakibatkan oleh induksi hipoksia yang bersifat toksik. Induksi hipoksia ini menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Agar kestabilan lingungan internal terjaga, sel harus mengeluarkan energi metabolik untuk memompa ion natrium keluar dari membran dan ion kalium masuk ke dalam membran. Hal yang dapat mengganggu metabolisme energi dalam sel atau sedikit saja melukai membran sel menyebabkan sel tidak mampu memompa natrium dengan baik. Hal ini menyebabkan kenaikan konsentrasi natrium dan influks air ke dalam sel. Mekanisme ini menyebabkan perubahan yang disebut pembengkakan sel. Perubahan ini menjelaskan bahwa sewaktu air terakumulasi dalam sitoplasma, organel sitoplasma juga menyerapnya sehingga menyebabkan pembengkakan


(56)

42

di mitokondria dan pembesaran retikulum endoplasma (Barnett et al., 1999). Degenerasi hidropis merupakan gambaran utama dari perubahan sel akut dimana sel kehilangan kontrol terhadap air sehingga menyebabkan sel bengkak. Kerusakan akut terjadi akibat gangguan pada epitel tubulus oleh infeksi, efek toksin secara langsung atau iskhemia. Respon kerusakan setelah degenerasi hidropis diikuti oleh nekrosa dan deskuamasi sel epitel tubulus. Degenerasi dalam patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan fungsi normal sel (Spector et al., 1993) (Confer et al., 1995). Degenerasi juga dapat diartikan sebagai gangguan mekanisme pemompaan natrium sehingga terjadi penimbunan cairan intraseluler. Degenerasi menunjukkan gangguan biokimiawi sel yang dapat disebabkan oleh iskhemi, metabolisme abnormal, zat kimia.Epitel tubulus yang,mengalami degenerasi hidropis disajikan pada Gambar 5.

Endapan protein pada lumen tubulus disebabkan oleh malfungsi glomerulus akibat rusaknya struktur membran kapiler. Struktur membran kapiler yang rusak meningkatkan permeabilitas filter, sehingga protein dengan molekul besar dan albumin plasma dapat menerobos keluar memasuki filtrat. Kelainan pada sistem filter glomerulus dapat berupa hilangnya kaki podosit (sel epitel) glomerulus. Berbagai komponen yang berkemampuan merusak filter glomerulus diantaranya bahan toksik, molekul bermuatan atau kompleks imun. Lolosnya protein dapat menimbulkan kondisi proteinuria. Selain itu, gangguan reabsorpsi karena melebihi ambang batas kemampuan atau rusaknya epitel tubulus dapat juga menjadi penyebab hadirnya endapan protein di


(57)

tubulus. Faktor lain yang menjadi penyebab adanya protein dalam lumen tubuli adalah gangguan fungsi enzim lysosom epitel tubuli yang diakibatkan oleh akumulasi bahan yang bersifat merusak (Spector et al., 1993). Bila degradasi protein yang diserap secara enzimatik terganggu maka akan menimbulkan residu protein yang tersisa baik dalam lumen maupun pada sel epitel. Adanya endapan protein ditandai dengan massa berwarna merah muda pada pewarnaan HE (Gambar 6).

Kejadian apoptosis juga diikuti dengan adanya endapan protein di lumen tubulus. Keadaan ini kemungkinan disebabkan menurunnya kemampuan absorbsi tubulus atau terlalu banyaknya protein yang harus diserap kembali oleh tubulus. Menurunnya kemampuan absorbsi tubulus dikarenakan epitel tubulus telah mengalami degenerasi hingga apoptosis. Adanya endapan protein di tubulus disebabkan peningkatan tekanan osmotik koloid cairan interstitium sehingga mengganggu filtrasi glomerulus dan reabsorbsi tubulus. Al-Khafaji yang lolos dari glomerulus tidak dapat diserap dengan sempurna oleh epitel-epitel tubulus sehingga terjadi penumpukan protein di lumen tubulus (Al-Khafaji & Corwin, 2001).

Apoptosis yang terjadi pada sel epitel tubuli ginjal tikus diduga diakibatkan formulasi insektisida yang bersifat nefrotoksik. Apoptosis merupakan kematian sel yang terprogram (programmed cell death) serta terjadi pada dua kondisi yaitu kondisi fisiologis (normal) atau patologis (abnormal). Apoptosis fisiologis dapat terjadi pada proses pertumbuhan, sedangkan apoptosis patologis biasanya terjadi pada lesio akibat agen infeksius atau toksin


(58)

44

Pada apoptosis terjadi perisiwa pengaktifan beberapa gen untuk membentuk enzim baru seperti enzim endonuklease. Enzim ini bersifat dapat memecah DNA inti. Sel kemudian akan terbagi menjadi bagian-bagian kecil yang disebut badan apoptosis. Sebuah badan apoptosis akan terdiri dari hasil pecahan inti dan organel-oganel yang tidak lengkap. Badan apoptosis ini yang kemudian akan difagosit oleh makrofag (Barnett et al., 1999).

Pada umumnya paparan rendah hipoksia hanya dapat mengakibatkan perubahan fisiologis dari tubulus proksimal saja, namun pada paparan tinggi perubahan morfologi juga dapat terjadi. Terdapat dua perubahan morforlogi yang sering terjadi pada ginjal adalah perubahan morfologi yang reversibel dan ireversibel. Perubahan reversibel antara lain adalah degenerasi sel tubulus dan inflamasi sel tubulus, sedangkan perubahan irreversibel dari sel tubulus antara lain adalah atrofi atau dilatasi lumen, fibrosis sel tubulus, dan yang paling berat adalah nekrosis sel tubulus. Perubahan irreversibel biasanya ditandai dengan hilangnya brush border dan inti sel memipih (Al-Khafaji & Corwin, 2001).


(59)

45

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A.Kesimpulan

1. Tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang diberi induksi hipoksia iskemik prenatal memiliki tingkat kerusakan ginjal yang lebih tinggi daripada tikus yang tidak diberi induksi. Pada kelompok perlakuan induksi hipoksia iskemik prenatal hari ke 7 dan 11 ditemukan perubahan gambaran histopatologis ginjal yang bermakna, sedangkan pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan gambaran histopatologis yang bermakna.

2. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik antara kelompok tikus Rattus norvegicus galur Sprague-dawley yang diinduksi hipoksia iskemik prenatal pada umur kehamilan 7 hari dengan yang diinduksi hipoksia iskemik prenatal pada umur kehamilan 11 hari. Walaupun demikian terdapat tendensi bahwa kelompok tikus yang diinduksi hipoksia iskemik prenatal pada umur kehamilan 7 hari memiliki tingkat kerusakan ginjal yang lebih tinggi daripada umur kehamilan 11 hari.

B.Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh induksi hipoksia prenatal dengan waktu pemberian induksi yang lebih bervariasi dan waktu penelitian yang lebih lama dan berjenjang.


(60)

46

2. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan derajat hipoksia.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh induksi hipoksia prenatal dengan masing-masing jenis kelamin.


(1)

didapatkan bahwa skor nilai derajat perubahan histopatologi ginjal antara kelompok kontrol dengan perlakuan 1 terdapat perbedaan bermakna dimana p<0,05 dengan nilai 0,01. Pada kelompok kontrol dengan perlakuan 2

juga terdapat perbedaan yang bermakna dimana p>0,05 dengan nilai 0,01. Sedangkan pada kelompok perlakuan 1 dengan perlakuan 2, terdapat perbedaan tetapi tidak bermakna dimana p>0,05 dengan nilai 0,122.

Tabel 1. Analisis Deskriptif Sel Ginjal Rattus Norvergicus Galur Sprague-dawley Kontrol Perlakuan 1 hari

ke-7

Perlakuan 2 hari ke-11

Frekuensi Persen Frekuensi Persen Frekuensi Persen Lesi

kurang dari 25%

7 100 % 0 0 0 0

Lesi

25-<50% 0 0 2 28,6 % 5 71,4 %

Lesi

50-<75% 0 0 5 71,4 % 2 28,6 %

Lesi lebih dari

sama dengan

75%

0 0 0 0 0 0

Total 7 100 % 7 100 % 7 100 %

Diskusi

Pada penelitan ini ditemukan perbedaan gambaran histopatologis ginjal Rattus Norvergicus galur Sprague-dawley yang bermakna antar kelompok dengan

p=0.001. Hal ini menunjukkan bahwa adanya pengaruh dari hipoksia iskemik prenatal terhadap gambaran histopatologis ginjal Rattus Norvergicus galur Sprague-dawley. Hal ini didukung oleh temuan penelitian dalam analkisis dekriptif yang menyatakan bahwa


(2)

pada kelompok perlakuan 1 terjadi kerusakan sel tubulus ginjal yang terberat daripada kelompok perlakuan lain. Sedangkan dalam analsis analitik antara kelompok perlakuan 1 dengan perlakuan 2, ditemukan perbedaan pada analisa deskriptif, namun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam analisis inferensial atau analitik.

Hipoksia adalah suatu keadaan di mana jaringan tubuh tidak mendapatkan oksigen yang cukup (James et al., 2008). Hipoksia adalah penyebab paling umum cedera dan kematian seluler (Nakanishi, 2009). Kadar oksigen dalam sel / jaringan dapat dikatakan hipoksia apabila tekanan parsial gas (Pgas) oksigen (PO2 ) dalam darah arteri < 100 mmHg karena terdapat < 20 % gas O2 di dalam udara atmosfer (Sherwood, 2010).

Pada masa kehamilan sering dijumpai kondisi hipoksia prenatal pada janin. Paparan hipoksia prenatal jangka pendek dan jangka kronis memiliki dampak yang berbeda pada perkembangan janin (Powell et al., 2004).

Penelitian mengenai perubahan histopatologis pada sel tubulus ginjal yang telah dilakukan sebelumnya dengan dikemukakan adanya perubahan fisiologi ginjal, penurunan berat badan dan organ, nekrosis hepar dan tubulus ginjal mencit secara fokal. Pada penelitian ini, antara kelompok perlakuan 1 dengan perlakuan 2, ditemukan perbedaan pada analisa deskriptif, namun tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam analisis inferensial atau analitik. Hal ini berhubungan dengan proses nefrogenesis pada tikus yang bermula pada masa awal kehamilan, dan berakhir pada postnatal hari ke-4 (Larsson et al., 1980). Pada masa awal kehamilan oksigen sangat dibutuhkan untuk membantu proses organogenesis. Jika terjadi hipoksia pada janin maka dapat mengganggu perkembangan ginjal janin dan mempercepat proses penuaan ginjal pada perkembangan postnatal (Xia et al., 2014).


(3)

Tubulus proksimal merupakan bagian ginjal yang aktif pada aktifitas absopsi maupun sekresi dengan panjang sekitar 14 cm dan diameter lumen 60 ɥm, maka dari itu tubulus proksimal sering mendapatkan paparan tertinggi dari zat toksik. Segmen tubulus sebagian besar mempunyai kapasitas yang terbatas terhadap energi yang bersifat anaerobik sehingga tergantung pada oksigen dalam memelihara reabsorpsi aktif solut transtubulus. Hipoksia akan mengakibatkan kerusakan pada tubulointerstisial ginjal melalui banyak cara. Hipoksia dapat mengaktifasi fibroblas, perubahan metabolisme matriks ekstrasel pada sel-sel ginjal, dan fibrogenesis. Aktifasi interstisial fibrosis akibat hipoksia dan peningkatan deposit matriks ekstrasel akan mengakibatkan gangguan aliran darah dan asupan oksigen. Sel tubulus ginjal yang mengalami hipoksia lebih mudah mengalami gangguan fungsi mitokondria dan defisit energi yang menetap, hal ini kemudian akan menyebabkan apoptosis

tubulus ginjal dan sel endotel. (Nangaku, 2006). Perubahan pada tubulus di penelitian ini berupa degenerasi hidropis, apoptosis dan adanya endapan protein di lumen. Perubahan histopatologi ini disebabkan paparan hipoksia yang bersifat nefrotoksik.

Degenerasi hidropis ginjal diakibatkan oleh induksi hipoksia yang bersifat toksik. Induksi hipoksia ini menyebabkan hilangnya pengaturan volume pada bagian-bagian sel. Agar kestabilan lingungan internal terjaga, sel harus mengeluarkan energi metabolik untuk memompa ion natrium keluar dari membran dan ion kalium masuk ke dalam membran. Hal yang dapat mengganggu metabolisme energi dalam sel atau sedikit saja melukai membran sel menyebabkan sel tidak mampu memompa natrium dengan baik. Hal ini menyebabkan kenaikan konsentrasi natrium dan influks air ke dalam sel. Mekanisme ini menyebabkan perubahan yang disebut pembengkakan sel. Perubahan ini menjelaskan bahwa sewaktu air terakumulasi dalam sitoplasma, organel


(4)

sitoplasma juga menyerapnya sehingga menyebabkan pembengkakan di mitokondria dan pembesaran retikulum endoplasma (Cheville 1999). Menurut Confer dan Panciera (1995), degenerasi hidropis merupakan gambaran utama dari perubahan sel akut dimana sel kehilangan kontrol terhadap air sehingga menyebabkan sel bengkak. Kerusakan akut terjadi akibat gangguan pada epitel tubulus oleh infeksi, efek toksin secara langsung atau iskhemia. Respon kerusakan setelah degenerasi hidropis diikuti oleh nekrosa dan deskuamasi sel epitel tubulus. Degenerasi dalam patologi dapat didefinisikan secara luas sebagai kehilangan struktur dan fungsi normal sel (Spector, 1993) (Confer, 1995). Degenerasi juga dapat diartikan sebagai gangguan mekanisme pemompaan natrium sehingga terjadi penimbunan cairan intraseluler. Degenerasi menunjukkan gangguan biokimiawi sel yang dapat disebabkan oleh iskhemi, metabolisme abnormal, zat kimia.

Kejadian apoptosis juga diikuti dengan adanya endapan protein di lumen tubulus. Keadaan ini kemungkinan disebabkan menurunnya kemampuan absorbsi tubulus atau terlalu banyaknya protein yang harus diserap kembali oleh tubulus. Menurunnya kemampuan absorbsi tubulus dikarenakan epitel tubulus telah mengalami degenerasi hingga apoptosis Menurut Corwin (2001), adanya endapan protein di tubulus disebabkan peningkatan tekanan osmotik koloid cairan interstitium sehingga mengganggu filtrasi glomerulus dan reabsorbsi tubulus. Menurut Carlton dalam McGavine 1995, protein yang lolos dari glomerulus tidak dapat diserap dengan sempurna oleh epitel-epitel tubulus sehingga terjadi penumpukan protein di lumen tubulus.

Pada umumnya paparan rendah hipoksia dapat mengakibatkan perubahan fisiologis dari tubulus proksimal, namun pada paparan tinggi perubahan morfologi juga dapat terjadi. Terdapat dua perubahan morforlogi


(5)

yang sering terjadi pada ginjal adalah perubahan morfologi yang reversibel dan ireversibel. Perubahan reversibel antara lain adalah degenerasi sel tubulus dan inflamasi sel tubulus, sedangkan perubahan irreversibel dari sel tubulus antara lain adalah atrofi atau dilatasi lumen, fibrosis sel tubulus, dan yang paling berat adalah nekrosis sel tubulus. Perubahan irreversibel biasanya ditandai dengan hilangnya brush border dan inti sel memipih.

Kesimpulan

Terdapat perubahan gambaran histopatologis ginjal Rattus Norvergicus galur Sprague-dawley pada kelompok perlakuan induksi hipoksia iskemik prenatal hari ke 7 dan 11, sedangkan pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan histopatologis yang bermakna.

Terdapat hubungan antara perubahan histopatologis ginjal Rattus Norvergicus galur Sprague-dawley dengan induksi hipoksia iskemik prenatal, dimana semakin awal

induksi diberikan maka semakin besar pula efek toksisitas hipoksia terhadap ginjal.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh induksi hipoksia prenatal dengan waktu pemberian induksi yang lebih bervariasi dan waktu penelitian yang lebih lama dan berjenjang.

2. Perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan derajat hipoksia.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh induksi hipoksia prenatal dengan masing-masing jenis kelamin.

4. Perlu dilakukan studi epidemiologi mengenai hipoksia prenatal di masyarakat. Daftar pustaka

1. Eckardt, K. et al., 2005. Role of hypoxia in the pathogenesis of renal disease. Kidney Int 2005;68:S46-S51. Kidney Int, Volume 68, pp. S46-S51.

2. Efendi, S. H. & Kadir, M. R., 2013. Efendi, Sjarif Hidayat & Kadir, Minerva Riani. Dampak Jangka Panjang Hipoksia Perinatal., Bandung: Universitas Padjadjaran.


(6)

3. Haider, B. & Bhutta, Z., 2006. Birth asphyxia in developing countries: current status and public health implications. Curr Probl Pediatr Adolesc Health Care, Volume 36, pp. 178-188.

4. Hansen, A. & Soul, J., 2012. Perinatal asphyxia and hypoxic ischemic encephalopathy. Manual of Neonatal Care, pp. 721-726.

5. Imelda, F., 2009. Oksigenasi dan Proses Keperawatan. [Online]

Available at: http://ocw.usu.ac.id [Diakses 25 Maret 2015].

6. Mach, M. et al., 2012. Experimental modeling of hypoxia inpregnancy and early postnatal life. Interdisc Toxicol, 2(1), pp. 28-32.

7. Moore, K. L. & Agur, A. M., 2002. Anatomi Klinis Dasar. 2 penyunt. Jakarta: s.n.

8. Nakanishi, K., 2009. Effects of Hypobaric Hypoxiaon Antioxidant Enzymes in Rats. J Physiol, pp. 869-876.

9. Nangaku, M., 2006. Mechanism of tubulointerstitial injury in the kidney: final common pathway to end-stage renal failure. J Am Soc Nephrol, Volume 17, pp. 17-25.

10. Priantono, D., Mulyawan, W., Hardiany, N. S. & Wanandi, S. I., 2013. Pengaruh Induksi Hipoksia Hipobarik Intermiten pada Aktivitas Spesifik Manganese Superoxide Dismutase dan Kadar Malondialdehyde Ginjal Tikus. eJKI, 1(3).

11. Xia, S. et al., 2015. Prenatal Exposure to Hypoxia Induced Beclin 1 Signaling-Mediated Renal Autophagy and Altered Renal Development in Rat Fetuse. Reproductive Sciences, 22(2), pp. 156-164.


Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

6 25 78

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata Linn) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus Norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI DMBA

5 36 70

PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA GOLONGAN PARAQUAT DIKLORIDA PER-ORAL TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

3 13 78

PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)JANTAN GALUR Sprague dawley

0 27 74

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI MIOKARDIUM TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 4 65

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI ARTERI KORONARIA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 13 66

EFEK PROTEKTIF THYMOQUINONE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

1 12 70

EFEK PROTEKTIF THYMOQUINONE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

2 35 76

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 26 71

PENGARUH HIPOKSIA ISKEMIK PRENATAL TERHADAP UKURAN MIOKARDIUM TIKUS RATTUS NORVEGICUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY

2 23 87