PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)JANTAN GALUR Sprague dawley

(1)

ABSTRAK

PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALURSprague

dawley

Oleh

FADIA NADILA

Kebakaran hutan merupakan salah satu sumber asap pembakaran bahan organik. Di Indonesia, seperti di pulau Sumatera sering terjadi akibat kegiatan manusia. Kebakaran hutan menghasilkan asap yang mempengaruhi kehidupan. Asap tersebut mengandung senyawa karbon monoksida (CO), zat partikulat, nitrogen oksida (NOx), sulfur dioksida (SO2) serta volatile organic compounds (VOCs) yang dapat mengiritasi mata. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran histopatologi kornea tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galurSprague dawley.

Penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague dawley berumur 8 ̶ 10 minggu yang dibagi menjadi 5 kelompok secara acak dan diberi perlakuan selama 1 minggu. K(-) diberi aquades, P1 dipaparkan asap pembakaran bahan organik selama 1 jam, P2 selama 2 jam, P3 selama 3 jam dan P4 selama 4 jam.

Hasil penelitian menunjukan rerata jumlah lapisan epitel kornea pada K(-)=5; P1=5,6; P2=5,8; P3=6 dan P4=6,8. Data diuji dengan uji Kruskal Wallis dan didapatkan hasil tidak bermakna pada statistik dengan nilai p=0,552 (p>0,05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap gambaran histopatologi kornea tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley, namun tidak bermakna secara statistik.

Kata kunci: asap pembakaran bahan organik, histopatologi kornea, kebakaran hutan, lapisan epitel kornea, perbedaan durasi paparan.


(2)

ABSTRACT

THE EFFECT OF SMOKE BURNING ORGANIC MATERIAL EXPOSURE IN DIFFERENCE DURATION ON THE CORNEAL HISTOPATHOLOGY WHITE RATS (Rattus norvegicus) MALESprague

dawleySTRAIN

By

FADIA NADILA

A wildfire is one of the source of smoke burning organic material. In Indonesia, such as in Sumatera often occurs wildfire caused by human activities. A wildfire brings out smoke that can affect life. The smoke consist of carbon monoxide (CO), particulate matter (PM), nitrogen oxide (NOx), sulfur dioxide (SO2) and volatile organic compounds (VOCs) which can irritate eyes. The purpose of this study is to find out the effect of smoke burning organic material exposure in difference duration on the corneal histopathology white rats (Rattus norvegicus) maleSprague dawleystrain.

This study used 25 rats and 8̶10 weeks aged white male rats (Rattus norvegicus) fromSprague dawleystrain, which divided into 5 groups randomly and treated for a week. Aquadest was given to K(-), smoke burning organic material exposure was given to P2 for 1 hour, P2 for 2 hours, P3 for 3 hours and P4 for 4 hours. The result of this study showed the average of corneal layers epithellium of K(-)=5; P1=5.6; P2=5.8; P3=6; P4=6.8. The data was processed by Kruskal Wallis test and there is no statistically significant result with p=0.552 (p>0.05). The conclusion of this study, there is effect in difference duration effect of smoke burning organic material exposure on the corneal histopathology white rats (Rattus norvegicus) male Sprague dawley strain, but not statistically significant result.

Keywords: corneal layers epithelium, difference duration exposure, corneal histophatology, smoke burning organic material, wildfire.


(3)

PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALURSprague

dawley

Oleh FADIA NADILA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kotabumi, Provinsi Lampung pada tanggal 28 April 1994, sebagai anak kedua dari dua bersaudara dari bapak Tirowali, SE dan ibu Dra. Ribut Sri Utami, M.M.

Pendidikan Taman Kanak (TK) diselesaikan di TK Putra BSD Tangerang Selatan pada tahun 1999, Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN Karya Bakti 1 Kota Tangerang Selatan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 11 Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) diselesaikan di SMAN 2 Kota Tangerang Selatan pada tahun 2011. Pada tahun 2011, penulis diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif pada Gen-C sebagai kabid SCORA periode 2012 serta Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam dan Tanggap Darurat Pakis Rescue Team (PMPATD Pakis Rescue Team) sebagai anggota divisi Dana Usaha dan Logistik periode 2012-2013. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi Asisten Patologi Anatomi.


(8)

PERSEMBAHAN

Puji syukur kehadirat Allah SWT, kupersembahkan

karya sederhana ini kepada:

Kedua Orang tuaku yang selalu mengajari,

mendidik, mendukung, mendoakan dan selalu

membimbing dengan segenap kemampuan

serta keikhlasan...

Kakak ku Fakhmiyogi yang selalu memberi

semangat, saran dan memberikan inspirasi...

Keluarga besar yang mempercayai dan

mendukung segala kegiatanku...

Teman

̶

teman Kedokteran Universitas

Lampung angkatan 2011 yang kompak

melangkah bersama kedepan...

Segenap bapak/ibu dokter yang saya hormati

serta almamater tercinta...


(9)

tto

Kebajikan apa pun yang kamu peroleh

adalah dari sisi Allah SWT dan keburukkan

apa pun yang menimpamu adalah

(kesalahan) dirimu sendiri (QS.

An-Nisa :79).

Seseorang yang terjatuh kemudian ia

bangkit, lebih kuat dibanding yang tidak


(10)

SANWACANA

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang senantiasa mencurahkan segala nikmat-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa terhaturkan kepada junjungan kita, Rasululloh SAW.

Skripsi dengan judul “PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP

PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN

HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR

Sprague dawley” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Bapak Dr. Sutyarso, M. Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

3. dr. Indri Windarti, Sp. PA., selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, ilmu, saran, dan kritik dalam proses serta penyelesaian skripsi ini;


(11)

4. dr. Muhartono, M.Kes, Sp. PA., selaku Pembimbing Kedua atas kesediaan memberikan bimbingan, ilmu, saran, dan kritik dalam proses serta penyelesaian skripsi ini;

5. dr. M.Yusran, M. Sc, Sp. M., selaku Penguji Utama. Terima kasih atas waktu, ilmu serta saran-saran yang telah diberikan;

6. dr. Ety Apriliana, M. Biomed., selaku Pembimbing Akademik atas motivasi, perhatian, saran dan masukan selama ini;

7. Kepada Ibunda (Dra. Ribut Sri Utami, M.M), atas kiriman doa setiap saat dan setiap sholat, kesabaran, keikhlasan, kasih sayang, perhatian, motivasi, inspirasi dan segala sesuatu yang telah dan akan selalu diberikan kepada penulis. Ayahanda (Tirowali, S.E) yang selalu memberikan doa, pelajaran hidup, dan semangat berjuang yang tinggi. Kakak ku Fakhmiyogi yang memberikan doa, saran, bantuannya serta seluruh keluarga lainnya, terima kasih atas dukungan dan doa tanpa henti. Keinginan membahagiakan mereka adalah motivasi terkuat untuk tetap bertahan dalam menyelesaikan penelitian ini;

8. Kepada Ibu Jenny Bunanta dan Bapak Teddy Bunanta yang telah memberikan doa, ilmu, motivasi serta inspirasi dalam penelitian ini;

9. Seluruh Staf dosen dan Staf karyawan FK Unila atas ilmu dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan dan motivasi penulis;

10. Seluruh Staf TU, Administrasi dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian dan penyusunan skripsi ini;


(12)

11. Bapak Bayu selaku Asisten Laboratorium yang sudah memberikan saran, motivasi dan membantu dalam proses pembuatan preparat histopatologi. Ibu Lisa yang sudah memberikan motivasi dan bantuan dalam mempermudah akses bertemu dengan pembimbing;

12. drh. Aulia Andi M, Msi, Mas Alyas dan Om Adi yang telah membantu dalam penyediaan tikus, menjaga tikus untuk proses penelitian ini;

13. Kepada teman seperjuangan dan satu tim penelitian skripsi Tiara Anggraini dan Rizky Bayu Ajie atas kebersamaan, keluh kesah, canda tawa, bantuan, serta kerjasamanya sebelum, selama, dan setelah penelitian ini;

14. Sahabat dan saudara seperjuangan, Keluarga Pemuda-Pemudi Negeri, Fauzia Andini, Fini Amalia, Lita Marlinda, Maradewi Maksum, M. Dwi Ario, Narita Ekananda A.R, Nurul Chairunnisa, Novita Dwiswara P, Roseane M.V dan Sabrine Dwigint yang telah membantu, menemani, menyemangati, berbagi di segala hal disaat suka dan duka. Semoga persahabatan ini tetap terjaga selamanya;

15. Dessy E.D, Nyimas F yang sudah menyemangati, serta memberikan keceriaan sehingga beban penelitian lebih ringan;

16. Rekan kerja seperjuangan asisten dosen patologi anatomi Diah Septia Liantari, I Gede Eka W, Muflikha Sofiana P, Tiara Anggraini, Rizky Bayu A, Yolanda Fratiwi, Yuda Ayu K atas kerjasamanya selama ini;

17. Seluruh sahabat, teman angkatan 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas kekompakan, canda tawa, maupun masalah selama 3,5 tahun yang telah memberikan warna serta makna tersendiri. Semoga kebersamaan dan kekompakkan selalu terjalin baik sekarang maupun kedepan nanti;


(13)

18. Teman seperjuangan Sahabat Tikus dan Sahabat Mencit, Tiara, Baji, Yolci, Lian, Gede, Wayan, Oci, Erot, Caca, Belda, Dila, Nayuv, Emon, Diano, Ate, Topas, Mahe yang telah memberikan semangat, canda tawa yang memberikan warna dalam penelitian ini;

19. Keluarga Moonzher di FK Unila Allysa, Dina, Audya, Nidya yang telah menyemangati dan mendoakan;

20. Sahabat dan teman, Keluarga RC yaitu Ine, Utet, Ami, Muthia, Anti, Seto, Topan, Bion, Aby, Munip. Keluarga A6 yaitu Au, Uti, Mira, Mumu, Aldi, Wildan. Keluarga SS yaitu Sisil, Santi, Danu. Teman Kelana yaitu Lury, Dila, Putmel, Sandy, Agha yang telah menyemangati dan mendoakan;

21. Sahabat dan kakak-kakak Pejuang Pesawaran KKN 2014 Tiara, Kak Karin, Kak Ojo, Kak Tiwi, Kak Susan, Kak adit yang telah menyemangati, mendoakan, serta memberikan pelajaran akan kemandirian hidup;

22. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat (angkatan 2002–2014), yang sudah memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.

Penulis menyadari skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun, penulis berharap skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Semoga segala perhatian, kebaikan dan keikhlasan yang diberikan selama ini mendapat balasan dari Allah SWT. Amin.

Bandar Lampung, 16 Desember 2014 Penulis


(14)

i

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN...

I. PENDAHULUAN... 1.1 Latar Belakang ... 1.2 Perumusan Masalah ... 1.3 Tujuan Penelitian ... 1.4 Manfaat Penelitian ... 1.5 Kerangka Penelitian ... 1.5.1 Kerangka Teori ... 1.5.2 Kerangka Konsep ... 1.6 Hipotesis ... II. TINJAUAN PUSTAKA...

2.1 Kebakaran hutan ... i v vi vii 1 1 3 3 4 5 5 9 10 11 11


(15)

ii

2.2 Asap Kebakaran ... 2.2.1 Karbon Monoksida ... 2.2.2 Nitrogen Oksida ... 2.2.3 Sulfur Dioksida ... 2.2.4Particulate Matter... 2.2.5Volatile Organic Compounds... 2.3 Mekanisme Asap Terhadap Mata ... 2.4 Mata ... 2.4.1 Anatomi Mata Manusia ... 2.4.1.1 Kornea ... 2.4.1.1.1 Anatomi Kornea ... 2.4.1.1.2 Histologi Kornea ... 2.4.2 Anatomi Mata Tikus Putih (Rattus norvegicus) ... 2.4.2.1 Kornea ... 2.4.2.1.1 Histologi Kornea ... 2.5 Sistem Lakrimalis ...

2.5.1 Sistem Sekresi dan Ekskresi ... 2.5.2 Fungsi Air Mata ... 2.6 Proses Perubahan Kornea ... 2.7 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley ... 2.7.1 Klasifikasi ... 2.7.2 Jenis ... III. METODE PENELITIAN... 3.1 Desain Penelitian ...

12 13 15 16 18 18 19 19 19 21 21 21 23 24 24 25 25 27 27 30 30 31 32 32


(16)

iii

3.2 Tempat dan Waktu ... 3.3 Populasi dan Sampel ... 3.4 Bahan dan Alat Penelitian ... 3.4.1 Bahan Penelitian ... 3.4.2 Alat Penelitian ... 3.5 Prosedur Penelitian ...

3.5.1 Adaptasi Tikus ... 3.5.2 Persiapan Asap Bakaran ... 3.5.3 Prosedur Pemberian Intervensi ... 3.5.4 Prosedur Pengelolaan Hewan Coba Pasca Penelitian ... 3.5.5 Prosedur Pembedahan Mata ... 3.5.6 Prosedur Operasional PembuatanSlide... 3.5.7 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel ... 3.5.7.1 Identifikasi Variabel ... 3.5.7.2 Definisi Operasional ... 3.6 Pengolahan dan Analisis Data ... 3.6.1 Pengolahan Data ... 3.6.2 Analisis Data ... 3.7Ethical Clearance... IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 4.1 Hasil Penelitian ... 4.1.1 Tingkat Hiperplasia Pada Epitel Kornea ... 4.1.2 Gambaran Histopatologi Mata Tikus ... 4.2 Pembahasan ...

32 33 34 34 35 35 35 36 36 37 37 38 44 44 44 45 45 45 46 47 47 47 49 52


(17)

iv

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 5.1 Kesimpulan ... 5.2 Saran ... DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

56 56 56


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Hubungan COHb dalam darah (%) dengan gejala ... 2. Pengaruh konsentrasi SO2... 3. Definisi Operasional ... 4. Hasil Hiperplasia Epitel Kornea ...

14 17 44 48


(19)

(20)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori penelitian ... 2. Kerangka konsep penelitian ... 3. Anatomi mata ... 4. Histologi kornea ... 5. Anatomi mata tikus ... 6. Histologi kornea mata tikus... 7. Siklus inflamasi akibat paparan zat iritan secara kronik ... 8. Diagram Alur Penelitian ... 9. Histopatologi mata tikus kelompok K(-) ... 10. Histopatologi mata tikus kelompok P1 ... 11. Histopatologi mata tikus kelompok P2 ... 12. Histopatologi mata tikus kelompok P3 ... 13. Histopatologi mata tikus kelompok P4 ...

8 9 20 23 24 25 28 43 50 50 51 51 52


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3

: : :

Uji Statistik Foto Penelitian


(22)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan hutan Indonesia ditetapkan oleh Menteri Kehutanan. Luas kawasan hutan di Indonesia berdasarkan tahun 2000 seluas 120,35 juta hektar atau sebesar 62,6% dari total luas daratan Indonesia seluas 192,16 juta ha (Dephut, 2002). Luas hutan di Indonesia semakin berkurang seiring bertambahnya tahun akibat dari kebakaran hutan yang dilakukan dengan sengaja, seperti pembukaan lahan biasanya lahan kebun sawit, baik oleh perusahaan maupun oleh masyarakat (Tacconi, 2003).

Kebakaran hutan 1997/1998 di Indonesia diperkirakan menghasilkan emisi karbon yang cukup tinggi dan sebagai salah satu poluter terbesar di dunia. Asap kebakaran hutan mengandung zat yang berbahaya bagi kehidupan seperti karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), particulat matter (PM), dan sulfur dioksida (SO2), serta volatile organic compounds (VOCs) seperti benzene, formaldehid dan akrelein (Faisal, 2012; Perwitasari, 2012).


(23)

2

Dampak asap mempengaruhi di berbagai sektor kehidupan seperti gangguan aktivitas, dampak ekonomi hingga gangguan kesehatan (Faisal, 2012). Berdasarkan ATSDR, Depkes, MDH serta WHO, diketahui bahwa kandungan asap tersebut dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran nafas, iritasi kulit, iritasi mata, iritasi hidung, gangguan paru ̶paru hingga gangguan mental (ATSDR, 2014; Depkes, 2011; MDH, 2010; WHO, 2004). Seperti halnya, paparan CO dengan kadar 100 mg/m3 atau 87,3 part per million (ppm) selama 15 menit merupakan ambang batas normal yang aman bila terpapar pada manusia, bila melebihi ambang tersebut akan mempengaruhi kesehatan (WHO, 2004).

Iritasi mata adalah rasa tidak nyaman yang superfisial biasanya akibat kelainan di permukaan mata, seperti gatal, rasa kering, perih, mata berair (Riordan-Eva, 2010). Apabila iritasi mata terjadi terus-menerus dapat menyebabkan inflamasi pada permukaan okuler dan perubahan sekresi air mata (Wilson, 2003). Proses inflamasi yang terjadi pada permukaan mata ditandai dengan keberadaan sitokin, yang diketahui berperan dalam peningkatan pertumbuhan sel epitel (Fabiani, 2009).

Berdasarkan hal diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut kerusakan yang terjadi pada kornea tikus putih akibat perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik.


(24)

3

1.2 Perumusan Masalah

Kebakaran hutan merupakan hal yang sering terjadi di Indonesia. Banyaknya asap yang dihasilkan akibat kebakaran hutan membuat dampak yang cukup besar pada segi kesehatan. Kandungan asap seperti PM, CO, NOx, SO2 dan VOCs dapat menyebabkan iritasi mata, sehingga penglihatan terganggu. Oleh karena itu diperlukan penelitian histopatologi mata untuk mengetahui apakah terdapat perubahan pada epitel mata bila terpapar asap terus–menerus. Sehingga peneliti ingin mengetahui adanya pengaruh perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik terhadap hiperplasia kornea tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galurSprague dawley?

1.3 Tujuan Penelitian

Mengetahui adanya hiperplasia kornea tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley akibat perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik.


(25)

4

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Ilmu Pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai dampak paparan asap pembakaran bahan organik terhadap mata, khususnya di bidang Patologi Anatomi.

1.4.2 Bagi Peneliti

Penelitian ini sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.

1.4.3 Bagi Pembangunan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi peringatan adanya bahaya kebakaran hutan bagi kesehatan. Sehingga mendukung pemerintah untuk membuat peraturan khusus tentang kebakaran hutan.

1.4.4 Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Dapat menambah bahan kepustakaan dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dalam bidangagromedicine.

1.4.5 Bagi Peneliti Lain

Dapat dijadikan bahan acuan untuk dilakukannya penelitian yang serupa yang berkaitan dengan dampak paparan asap pembakaran bahan organik.


(26)

5

1.5 Kerangka Penelitian

1.5.1 Kerangka Teori

Asap pembakaran bahan organik yang meliputi CO, PM, NOx, SO2 serta VOCs dapat menyebabkan mata iritasi mata (Depkes, 2014; MDH, 2010; NLM2, 2014). Iritasi Mata adalah rasa tidak nyaman yang superfisial biasanya akibat kelainan di permukaan mata seperti gatal, rasa kering, perih, berpasir, mata berair, sekret mata (Riordan-Eva, 2010).

Iritasi mata yang terjadi secara berulang menyebabkan lengkung neural diaktivasi secara berlebihan dan menyebabkan perubahan sekresi air mata. Ditandai dengan sekresi sel T yang teraktivasi dan sitokin dalam air mata. Keberadaan sitokin dalam air mata menyebabkan inflamasi pada permukaan okuler, yang akan mengganggu penyampaian sinyal sensoris dari permukaan mata sehingga sekresi basal air mata menurun. Pada kelenjar lakrimalis baik secara langsung maupun tidak langsung juga mengalami kerusakan. Keadaan ini menyebabkan penurunan sekresi air mata dan inflamasi tersebut tidak dapat diatasi oleh sistem pertahanan mata yang normal, walaupun secara fisiologis, di dalam air mata mengandung komponen anti inflamasi. Inflamasi tersebut juga menyebabkan disfungsi dari sistem air mata sehingga terjadi gangguan drainase, yang menyebabkan iritasi tidak terkontrol dan peningkatan


(27)

6

aktivasi dari limfosit T. Selain itu, sitokin dan mediator inflamasi lainnya juga menyebabkan peningkatan jumlah sel T yang diaktivasi, jumlah produksi substansi inflamasi dan jumlah kerusakan jaringan (Wilson, 2003).

Penurunan produksi air mata akibat paparan zat iritan secara kronik dapat menyebabkan metaplasia dan penurunan jumlah sel goblet pada epitel konjungtiva. Hal ini terjadi akibat aktivasi sel T dan NK cells

sehingga terjadi pelepasan interferon γ (IFN−γ) dimana, memiliki potensi untuk meningkatkan regulasi protein yang berhubungan dengan diferensiasi epitel konjungtiva. Interferon γ dilaporkan mampu meningkatkan trankripsi RNA yang mengkode prekursor keratinisasi (de Paivaet al, 2007).

Kehilangan komponen aqueous air mata menyebabkan konsentrasi sodium akan meningkat atau terjadi hiperosmolaritas akibat berkurangnya produksi air mata. Hiperosmolaritas menyebabkan terjadinya keadaan dehidrasi pada lapisan air mata sehingga terjadi penarikan cairan dari sel-sel permukaan konjungtiva dan kornea. Bila keadaan tersebut berlangsung terus-menerus maka epitel permukaan akan mengering dan mengelupas. Mula-mula terjadi pada epitel konjungtiva, bila proses tersebut berlanjut akan terjadi pula pada epitel kornea. Selanjutnya, akan menyebabkan penurunan jumlah sel goblet,


(28)

7

yang berdampak pada penurunan jumlah glikogen di kornea yang akan menurunkan kemampuan regenerasi kornea (Cohen, 2005).

Diketahui paparan asap terhadap mata dapat menyebabkan hiperplasia sel pada epitel kornea. Hiperplasia merupakan salah satu respon adaptasi sel terhadap stimulus senyawa toksik. Hal ini dapat disebabkan baik faktor fisik dan atau sistemik. Faktor fisik terjadi akibat adanya kontak langsung, sedangkan faktor sistemik dapat terjadi melalui inhalasi senyawa toksik yang kemudian terbawa ke aliran darah sehingga mencapai organ mata (Kusumawardhani, 2013). Kerangka teori hiperplasia, tersaji pada gambar 1.


(29)

8

Gambar 1.Kerangka teori hiperplasia.

Sitokin dalam air mata Kebakaran hutan Asap mengandung CO Iritasi mata Aktivasi sel-T

Penurunan sekresi air mata Inflamasi

Peningkatan sodium

Peningkatan aktivasi limfosit T Pelepasan interferonγ(IFN-γ)

Meningkatkan regulasi protein berhubungan dengan

diferensiasi konjungtiva Metaplasia konjungtiva PM NOx SO2

Penurunan jumlah sel goblet pada konjungtiva Menarik cairan dari sel-sel

permukaan konjungtiva dan kornea Epitel konjungtiva dan epitel kornea

mengering dan mengelupas Respon adaptasi

sel terhadap zat toksik pada epitel

kornea

Hiperplasia

VOCs

Mata kering

Keterangan:

= Variabel yang dicari = Variabel yang tidak dicari


(30)

9

1.5.2 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep pada penelitian ini adalah pemberian paparan asap pembakaran bahan organik dengan durasi yang berbeda terhadap kelompok perlakuan, kemudian dilihat perubahan pada kornea tikus, berupa hiperplasia. Kerangka konsep penelitian, tersaji pada gambar 2.

Gambar 2.Kerangka konsep penelitian.

Paparan Asap Pembakaran Bahan Organik

1 jam

2 jam

3 jam

4 jam

Gambaran:

Hiperplasia kornea Kelompok 1

Kontrol negatif (-)

Kelompok 2

Kelompok 3

Kelompok 4

Kelompok 5


(31)

10

1.6 Hipotesis

Semakin lama paparan asap pembakaran bahan organik semakin meningkat hiperplasia kornea tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.


(32)

11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan telah menjadi masalah bukan hanya di Indonesia tetapi juga berdampak regional di Asia Tenggara yang berpengaruh terhadap berbagai sektor kehidupan seperti gangguan aktivtas sehari-hari, hambatan transportasi, kerusakan ekologis, penurunan pariwisata, dampak politik, ekonomi dan gangguan kesehatan (Faisal, 2012). Kebakaran hutan didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat alami maupun perbuatan manusia yang menyebabkan terjadinya proses penyalahan serta pembakaran bahan bakar hutan dan lahan (Syaufina, 2008). Kebakaran hutan dapat terjadi baik disengaja maupun tanpa disengaja. Diketahui bahwa 90% terjadinya kebakaran hutan diakibatkan oleh faktor kesengajaan manusia melalui beberapa kegiatan, seperti perladangan, perkebunan, penyiapan lahan untuk ternak dan sebagainya (Purbowaseso, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian di Sumatera, didapatkan penyebab langsung maupun tidak langsung dari kebakaran hutan. Adapun penyebab langsung adalah pembukaan lahan dan menyebar tidak sengaja, sedangkan penyebab


(33)

12

tidak langsung seperti alokasi penggunaan lahan, degradasi hutan dan lahan, dampak dari perubahan karakeristik penduduk, lemahnya kapasitas kelembagaan (Hadiprasetya, 2009).

Diketahui beberapa faktor seperti cuaca, struktur tanah dapat mempengaruhi sifat api dan efek asap kebakaran. Secara umum, cuaca berangin membuat konsentrasi asap lebih rendah, karena asap akan bercampur dengan udara yang dapat menyebabkan api kebakaran menyebar lebih cepat serta dampak yang timbul akan lebih besar. Intensitas panas, khusunya saat awal kebakaran akan membawa asap ke udara dan menetap, kemudian turun jika suhu menurun. Asap kebakaran pertama biasanya langsung terbawa angin sehingga menjadi prediksi area yang terbakar (Faisal, 2012).

2.2 Asap Kebakaran

Asap merupakan perpaduan atau campuran karbon dioksida (CO2), air, karbon monoksida (CO), particulate matter, nitrogen oksida (NOx), hidrokarbon, zat kimia organik, dan mineral (NCUAQMD, 2008). Selain itu, asap kebakaran hutan mengandung volatile organic compounds (VOCs) seperti benzene, formaldehid dan akrelein yang dilepaskan ke atmosfer (CDC, 2014). Komponen asap lainnya seperti SO2dan ozon (O3) terkandung dalam asap kebakaran hutan (Perwitasari, 2012). Komposisi asap tergantung dari banyak faktor, yaitu jenis bahan pembakar, kelembaban, temperatur api, kondisi angin, cuaca, jenis kayu dan tumbuhan yang mengandung selulosa,


(34)

13

lignin, tanin, polifenol, minyak, lemak, resin, lilin, dan tepung akan membentuk campuran yang berbeda saat terbakar (NCUAQMD, 2008).

2.2.1 Karbon Monoksida

Karbon dan oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan karbon dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna, serta mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena dapat membentuk ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu hemoglobin (Luthfi, 2008). Karbon monoksida di lingkungan dapat terbentuk secara alamiah, seperti dari lautan, oksidasi metal di atmosfir, pegunungan, kebakaran hutan. Namun, sumber utamanya adalah dari kegiatan manusia, antara lain kendaraan bermotor berbahan bakar bensin, asap rokok, tungku dapur rumah tangga dan tungku pemanas ruang (Depkes, 2011; Luthfi, 2008).

Dampak kesehatan yang dapat ditimbulkan dari karbon monoksida antara lain pusing, rasa tidak enak pada mata, telinga berdengung, mual, muntah, detak jantung meningkat, rasa tertekan di dada, sukar nafas, kelemahan otot-otot, tidak sadar dan meninggal dunia (Mukono, 2008). Menurut Soekamto (2012) dampak lain yang ditimbulkan CO yaitu CO


(35)

14

mengikat hemoglobin secara reversible, yang menyebabkan anemia relatif karena CO mengikat hemoglobin lebih kuat daripada oksigen. Selain itu, CO dapat mengikat mioglobin yang menyebabkan daya kontraktil miokardium menurun, sehingga pelepasan oksigen ke sel berkurang terjadi hipoksia jaringan, aritmia ventrikuler dan dapat terjadi kematian mendadak. Pada kulit, berwarna seperti buah cherry, namun jarang terjadi. Gangguan lain yang ditimbulkan oleh CO, salah satunya adalah iritasi mata. Iritasi mata merupakan rasa tidak nyaman pada permukaan luar, biasanya akibat kelainan di permukaan mata, seperti gatal, rasa kering, perih, sensasi benda asing, mata berair, sekret mata, sering tidak spesifik untuk diagnostik (Faisal, 2012; Riordan-Eva, 2010). Berikut tabel mengenai hubungan COHb dalam darah dengan gejala yang terjadi, tersaji pada tabel 1.

Tabel 1.Hubungan COHb dalam darah (%) dengan gejala.

COHb dalam darah

(%) Gejala

10 Tidak ada efek yang cukup, kecuali sesak napas saat aktivitas berat, pelebaran pembuluh darah kulit 20 Sesak napas saat aktivitas sedang, sakit kepala

sesekali

30 Sakit kepala (nyata), mudah lelah, gangguan penglihatan

40−50 Sakit kepala,collapse, pingsan saat aktivitas

60−70 Tidak sadar, kejang intermiten, gagal napas, kematian (paparan lama)

80 Kematian

(Sumber: WHO, 2004).

Digunakan rumus Henderson dan Haggard untuk menentukan kadar COHb dalam darah, yaitu Lama paparan (dalam jam) x Konsentrasi


(36)

15

CO di udara (dalam ppm) (Anggraeni, 2009). Berdasarkan The National Institute for Ocupational Safety and Health (NIOSH), Lethal consentration (LC50) CO pada tikus sebesar 1807 ppm, inhalasi selama 4 jam. Sehingga bila paparan tersebut dipaparkan dapat menimbulkan kerusakan organ hingga kematian (WHO, 2004).

2.2.2 Nitrogen Oksida

Nitrogen oksida adalah sekelompok gas yang terdiri dari nitrogen dan oksigen. Dua dari nitrogen oksida yang paling umum adalah nitrat oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2). Nitrat oksida adalah gas dengan tajam, bau manis; tidak berwarna sampai coklat pada suhu kamar. Nitrogen dioksida adalah tidak berwarna cairan coklat pada suhu kamar, dengan bau yang keras yang kuat, serta menjadi gas coklat kemerahan pada suhu di atas 70° F (NLM1, 2014).

Kadar NOx diudara perkotaan biasanya 10 100 kali lebih tinggi dari pada di udara pedesaan. Kadar NOx diudara daerah perkotaan dapat mencapai 0,5 ppm. Seperti halnya CO, emisi NOx dipengaruhi oleh kepadatan penduduk karena sumber utama NOx yang diproduksi manusia adalah dari pembakaran dan kebanyakan pembakaran disebabkan oleh kendaraan bermotor, rokok, produksi energi dan pembuangan sampah. Sebagian besar emisi NOx buatan manusia berasal dari pembakaran arang, minyak, gas dan bensin (Depkes, 2011).


(37)

16

Dampak kesehatan akibat NOx, dibagi menjadi dua yaitu paparan jangka pendek dan paparan jangka panjang. Paparan jangka pendek mempengaruhi sistem pernafasan, kardiovaskuler, kulit, dan mata. Paparan jangka pendek pada mata dengan NOx dalam bentuk cair dapat menyebabkan luka bakar yang parah pada mata, sedangkan kadar tinggi dalam bentuk gas menyebabkan iritasi dan dapat mengaburkan permukaan mata serta kebutaan bila dipaparkan lebih lama (ASTDR1, 2014). Paparan jangka panjang NOx menyebabkan penyakit paru restriktif dan obstruktif permanen, proses kelanjutan dari iritasi mata, hidung, tenggorokan, kerusakan (deoksiribonukleat) DNA, serta bersifat mutagenik dan fetotoksik (ATSDR1, 2014; NLM1, 2014).

2.2.3 Sulfur Dioksida

Pencemaran oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua komponen sulfur bentuk gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3) yang keduanya disebut sulfur oksida (SOx). Sulfur dioksida mempunyai karakteristik bau yang tajam dan tidak mudah terbakar diudara, sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen yang tidak reaktif, dengan jumlah 1 10% dari total SOx (Depkes, 2011). Paparan SO2 dapat melalui inhalasi, kontak langsung pada mata dan kulit serta ingesti. Paparan 10 20 ppm SO2 dapat menyebabkan iritasi pada membran mukosa, menyebabkan kerusakan pada konjungtiva maupun


(38)

17

kornea (ATSDR2, 2014). Berikut konsetrasi SO2 terhadap pengaruh yang ditimbulkan, tersaji pada tabel 2.

Tabel 2.Pengaruh konsentrasi SO2.

Konsentrasi ( ppm ) Pengaruh

3–5 Jumlah terkecil yang dapat dideteksi dari baunya 8–12 Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi

tenggorokan

20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan iritasi mata

20 Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan batuk 20 Maksimum yang diperbolehkan untuk konsentrasi

dalam waktu lama

50–100 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontrak singkat (30 menit)

400 -500 Berbahaya meskipun kontak secara singkat

(Sumber: Depkes, 2011).

Dampak kesehatan akibat paparan SO2 dibagi menajdi paparan akut dan paparan kronik. Paparan akut pada dipengaruhi oleh SO2 yang melarut di dalam air pada membran mukosa, mata dan kulit kemudian akan membentuk asam sulfur yang merupakan iritan dan inhibitor transportasi mukosiliar. Sebagian besar SO2 dihirup, didetoksifikasi oleh hati terhadap sulfat dan diekskresikan dalam urin. Ion bisulfit diproduksi ketika sulfur dioksida bereaksi dengan air cenderung menjadi inisiator utama sulfur dioksida yang disebabkan bronkokonstriksi (ATSDR2, 2014).


(39)

18

2.2.4Particulate Matter

Particulate Matter (PM) atau partikulat debu merupakan bagian penting dalam asap kebakaran untuk pajanan jangka pendek (jam atau mingguan). Materi debu adalah partikel tersuspensi yang merupakan campuran partikel solid dan droplet cair. Karakteristik dan pengaruh potensial partikulat debu terhadap kesehatan tergantung pada sumber, musim dan keadaan cuaca. Partikulat debu dibagi menjadi:

1. Ukuran lebih dari 10 µ m, biasanya tidak sampai ke paru; dapat mengiritasi mata, hidung, dan tenggorokkan.

2. Partikel≤10µ m; dapat terinhalasi sampai ke paru. 3. Partikel kasar berukuran 2,5−10 µ m.

4. Partikel halus berdiameter≤2,5 µ m.

Partikulat debu akan berada di udara dalam waktu relatif lebih lama dalam keadaan melayang dan masuk kedalam tubuh manusia melalui saluran pernafasan (NCUAQMD, 2008).

2.2.5Volatile Organic Compounds

Volatile Organic Compounds (VOCs) adalah senyawa yang mengandung karbon yang mudah menguap pada suhu ruang (NLM2, 2014; MDH, 2010). Paparan jangka pendek VOCs menyebabkan iritasi pada mata, hidung dan tenggorokan, sakit kepala, mual, muntah dan gangguan pernafasan. Sedangkan, paparan jangka panjang menyebabkan kerusakan hati, kerusakan


(40)

19

ginjal, serta efek pada sistem lain seperti sistem respirasi, saraf, reproduksi, gangguan mental dan kanker (MDH, 2010; Tanyanont & Vadakan, 2012).

2.3. Mekanisme Komponen Asap Terhadap Mata

Asap pembakaran bahan organik memiliki komponen yang terdiri dari CO, NO, SO2 dan VOCs. Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Rummenie., et al (2008) didapatkan bahwa zat toksin asap tersebut memicu pengaktifan sitokin yakni interleukin (IL) seperti IL 1α, IL 6, IL 8, TGF 1β dan TNF α yang akan berperan dalam proses inflamasi pada epitel permukaan mata. Diketahui sitokin IL 6, IL 8 dapat meningkatkan pertumbuhan sel epitel (Fabiani, 2009). Hal ini juga disebutkan oleh Sutyarso, Susantiningsih T, Suharto YAP (2014) dimana asap dapat menyebabkan inflamasi pada organ.

2.4 Mata

2.4.1 Anatomi Mata Manusia

Mata terdiri dari suatu lapisan luar keras yang transparan di anterior atau kornea dan opak di posterior atau sklera. Keduanya disambungkan oleh limbus. Suatu lapisan kaya pembuluh darah atau koroid melapisi segmen posterior mata dan memberi nutrisi pada permukaan retina. Korpus siliaris


(41)

20

terletak di anterior, mengandung otot-otot siliaris polos yang kontraksinya mengubah bentuk lensa dan memungkinkan fokus mata berubah-ubah. Epitel siliaris mensekresi aqueous humor dan mempertahankan tekanan okuler. Lensa terletak dibelakang iris, disokong oleh serabut-serabut halus atau zonula yang terbentang diantara lensa dan korpus siliaris. Antara kornea di anterior dan lensa serta iris di posterior terdapat bilik mata anterior. Diantara iris, lensa dan korpus siliaris terdapat bilik mata posterior. Kedua bilik ini terisi oleh aqueous humor. Di anterior, konjungtiva akan berlanjut dari sklera ke bagian bawah kelopak mata atas dan bawah (James, 2005). Berikut anatomi mata, tersaji pada gambar 3.


(42)

21

2.4.1.1 Kornea

2.4.1.1.1 Anatomi kornea

Kornea merupakan jaringan transparan yang avaskular berukuran 11−12 mm horizontal dan 10−11 mm vertikal serta memiliki indeks refraksi 1,37 mempunyai rata−rata ketebalan 550 µ m pada dewasa. Dalam nutrisinya, kornea bergantung pada difusi glukosa dari aqueous humor dan oksigen yang berdifusi melalui lapisan air mata. Sebagai tambahan, kornea perifer disuplai oksigen dari sirkulasi limbus (Riordan-Eva, 2010).

2.4.1.1.2 Histologi kornea

Secara histologis, lapisan kornea terdiri dari lima lapisan, yaitu:

1. Epitel

Tebalnya 50 µ m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng. Pada sel basal sering terlihat mitosis sel dan sel muda ini terdorong ke depan dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,


(43)

22

dan glukosa yang merupakanbarrier.Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya.

2. Membran Bowman

Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma. Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.

3. Stroma

Susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara serat kolagen stroma. Keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah trauma.

4. Membran Descement

Membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 µ m.

5. Endotel

Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20−40 µ m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemi desmosom dan zonula okluden (Ilyas, 2009).


(44)

23

Permukaan anterior kornea ditutupi epitel berlapis gepeng tanpa lapisan tanduk dan tanpa papil. Di bawah epitel kornea terdapat membran limitans anterior(membran Bowman) yang berasal dari stroma kornea (substansi propia). Permukaan posterior kornea ditutupi epitel kuboid rendah dan epitel posterior yang merupakan endotel kornea. Membran descemet merupakan membran basal epitel kornea (Eroschenko, 2010). Berikut gambar histologi kornea, tersaji pada gambar 4.

Gambar 4.Histologi kornea (Sumber: Lang, 2006).

2.4.2 Anatomi Mata Tikus Putih (Rattus norvegicus)

Pada dasarnya mata manusia dan mata tikus tidak terlalu banyak berbeda, kecuali dalam segi bentuk serta ukuran. Berikut gambar anatomi mata tikus, tersaji pada gambar 5.


(45)

24

Gambar 5.Anatomi mata tikus (Sumber: Hanson, 2012).

2.4.2.1 Kornea

2.4.2.1.1 Histologi

Sama halnya, seperti kornea manusia pada kornea tikus diketahui tidak ada perbedaan. Kornea tikus memiliki lima lapisan, yaitu epitel, membran bowman, stroma, membran decement dan endotel. Kornea tidak terdapat sel goblet (Almubrad, 2011). Gambar histologi kornea tikus, tersaji pada gambar 6.


(46)

25

Gambar 6.Histologi kornea tikus (Sumber: Almubrad, 2011).

2.5 Sistem Lakrimalis

Sistem lakrimalis dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem sekresi dan ekskresi air mata.

2.5.1 Sistem Sekresi dan Ekskresi

Sistem Sekresi Air Mata

Sekresi air mata dominan di hasilkan di kelenjar lakrimal, walapun terdapat kelenjar tambahan lainnya seperti kelenjar krause dan wolfring, terletak di dalam konjungtiva, terutama forniks superior. Modifikasi kelenjar sebasea meibom dan zeis di tepian palpebra memberi substansi lipid pada air mata. Kelenjar moll adalah modifikasi kelenjar keringat yang juga ikut membentuk film prekorneal. Sekresi dapat dipicu oleh iritasi berupa iritatif pada


(47)

26

kornea, konjungtiva, mukosa hidung, stimulus pedas yang diberikan pada mulut atau lidah dan cahaya terang, akibat dari muntah, batuk, menguap maupun emosional kesedihan (Jansen, 2009). Kerusakan pada nervus trigeminus akan menyebabkan refleks sekresi air mata menghilang. Jalur aferen berasal dari saraf ofthalmik cabang dari saraf trigeminus, sedangkan jalur eferen oleh saraf autonom yaitu simpatis, berasal dari ganglion servikal superior dan parasimpatis dari nervus fasialis (n.VII) yang memberikan pengaruh motorik yang paling dominan. Persarafan yang kompleks ini berfungsi untuk mengontrol fungsi kelenjar lakrimal sehingga menjaga homeostasis lapisan air mata dan berespon terhadap stress dan trauma (Surasmiati, 2014).

Sistem Ekskresi Air Mata

Sistem ekskresi terdiri atas punkta, kanalikuli, sakus lakrimalis dan duktus nasolakrimalis. Setiap berkedip, palpebra menutup mulai di lateral, menyebarkan air mata secara merata di atas kornea, dan menyalurkannya ke dalam sistem ekskresi pada medial palpebra. Setiap kali mengedip, muskulus orbicularis okuli akan menekan ampula sehingga memendekkan kanalikuli horizontal dan menimbulkan tekanan negatif pada sakus. Kerja pompa dinamik mengalirkan air mata ke dalam sakus, lipatan mirip katup pada sakus cenderung menghambat aliran balik air mata, yang kemudian masuk melalui duktus nasolakrimalis (Jansen, 2009).


(48)

27

2.5.2 Fungsi Air Mata

Air mata terdiri dari tiga lapisan, yaitu lipid, aqueous, dan musin. Ketebalan lapisan air mata sekitar 8 9 µ m. Lapisan lipid merupakan lapisan superfisial dengan ketebalan sekitar 0,1 0,2 µ m. Lapisan aqueous di bagian tengah dengan ketebalan 7 8 µ m dan lapisan musin di bagian basal dengan ketebalan 1 µ m (Surasmiati, 2014).

Fungsi air mata yang paling penting adalah melindungi serta mempertahankan integritas sel-sel permukaan mata, terutama kornea dan konjungtiva. Selain itu, lapisan air mata akan membentuk serta mempertahankan permukaan kornea selalu rata dan licin sehingga memperbaiki tajam penglihatan pada saat setelah berkedip. Setiap berkedip, air mata mengalir membersihkan kotoran, debu yang masuk ke mata. Menjaga sel-sel permukaan kornea dan konjungtiva tetap lembab. Mengandung antibakteri, lisozim, betalisin dan antibodi, sebagai mekanisme pertahanan mata dan proteksi terhadap kemungkinan infeksi. Sumber nutrisi seperti glukosa, elektrolit, enzim, dan protein (Asyari, 2007).

2.6 Proses Perubahan Kornea

Paparan asap yang akut dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang diakibatakan dari proses inflamasi (Rummenie., et al 2008). Iritasi mata yang terjadi secara


(49)

28

berulang menyebabkan lengkung neural diaktivasi secara berlebihan dan menyebabkan perubahan sekresi air mata. Ditandai dengan sekresi sel T yang teraktivasi dan sitokin dalam air mata. Keberadaan sitokin dalam air mata menyebabkan inflamasi pada permukaan okuler, yang akan mengganggu penyampaian sinyal sensoris dari permukaan mata sehingga sekresi basal air mata menurun. Pada kelenjar lakrimalis baik secara langsung maupun tidak langsung juga mengalami kerusakan. Keadaan ini menyebabkan penurunan sekresi air mata dan inflamasi tersebut tidak dapat diatasi oleh sistem pertahanan mata yang normal, walaupun secara fisiologis, di dalam air mata mengandung komponen anti inflamasi. Inflamasi tersebut juga menyebabkan disfungsi dari sistem air mata sehingga terjadi gangguan drainase, yang menyebabkan iritasi tidak terkontrol dan peningkatan aktivasi dari limfosit T. Selain itu, sitokin dan mediator inflamasi lainnya juga menyebabkan peningkatan jumlah sel T yang diaktivasi, jumlah produksi substansi inflamasi dan jumlah kerusakan jaringan (Wilson, 2003). Berikut adalah ilustrasi mengenai proses paparan zat iritatif yang berlangsung kronik dapat menyebabkan penurunan sekresi air mata, tersaji pada gambar 7.

Gambar 7.Siklus inflamasi akibat paparan zat iritan secara kronik (Sumber: Wilson, 2013).


(50)

29

Beberapa dampak, diduga akibat paparan zat iritatif menyebabkan terjadi peningkatan produksi tumor necrosis factorα (TNF α), IFN γ, interleukin 1 (IL 1) dan glikosaminoglikan oleh fibroblas orbital. Akibat penghasilan Interferon γ, terjadi ekpresi HLA-DR oleh fibroblas tersebut. Selain itu, menyebabkan pelepasan IL 4, IL 5, IL 10, IL 13 dan TNF α oleh sel mast (Bakeret al, 2006).

Menurut Rummenie., et al (2008) komponen asap yang bersifat toksik dapat mengaktifkan sitokin seperti IL 1α, IL 6, IL 8, TGF 1β dan TNF α yang akan berperan dalam proses inflamasi pada epitel permukaan mata. Diketahui sitokin IL 6 dan IL 8 dapat meningkatkan pertumbuhan sel epitel (Fabiani, 2009).

Paparan asap terhadap mata dapat menyebabkan hiperplasia sel pada epitel kornea. Hiperplasia merupakan salah satu respon adaptasi sel terhadap stimulus senyawa toksik. Hal ini disebabkan oleh faktor fisik dan atau sistemik. Faktor fisik terjadi akibat adanya kontak langsung, sedangkan faktor sistemik dapat terjadi melalui inhalasi senyawa toksik yang kemudian terbawa ke aliran darah sehingga mencapai organ mata (Kusumawardhani, 2013).


(51)

30

2.7 Tikus Putih (Rattus norvegicus) GalurSprague dawley

Tikus Putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat dan sering digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk penelitian, dikarenakan tikus merupakan hewan yang mewakili dari kelas mamalia, sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimia, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi menyerupai manusia. Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague dawley berjenis kelamin jantan berumur kurang lebih 3 bulan. Tikus Sprague dawleydengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian (Kesenja, 2005).

2.7.1 Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentai

Subordo : Odontoceti

Familia : Muridae

Genus : Rattus


(52)

31

2.7.2 Jenis

Terdapat beberapa galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu antara lain galur Sprague dawley, Wistar, dan Long evans. Tikus galur Sprague dawley memiliki ciri-ciri albino putih, berkepala kecil dengan ekor yang lebih panjang daripada badannya. Tikus galur

Wistar memiliki ciri-ciri bentuk kepala lebih besar dengan ekor yang lebih pendek sedangkan galur Long evans memiliki ciri badan berukuran lebih kecil dari tikus putih, berwarna hitam pada bagian kepala dan tubuh bagian depan. Tikus putih (Rattus norvegicus) galur

Sprague dawley merupakan tikus yang paling sering digunakan dalam percobaan. Tikus ini memiliki tempramen yang tenang sehingga mudah dalam penanganan. Rata-rata ukuran berat badan tikus Sprague dawley

adalah 10,5 gram. Berat badan dewasa adalah 250−300 gram untuk betina, dan 450−520 gram untuk jantan. Tikus ini jarang hidup lebih dari 3 tahun (Putra, 2009).


(53)

32

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan metode Rancangan Acak Lengkap dengan pendekatan Post Test Only Control Group Design. Menggunakan 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley berumur 8−10 minggu yang dipilih secara acak dan dibagi 5 kelompok.

3.2 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Pemeliharaan tikus dan pemeberian intevensi akan dilakukan di Pet House

Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Pembuatan preparat dan pengamatan akan dilakukan di Laboratorium Histologi dan Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Oktober−November.


(54)

33

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur

Sprague dawley berumur 8−10 minggu (dewasa) yang diperoleh dari Unit Pengelola Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Sampel penelitian sebanyak 25 ekor yang dipilih secara acak yang dibagi dalam 5 kelompok, sesuai dengan rumus Frederer.

Rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental adalah : (n−1) (t−1)≥15

Dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi:

(n−1) (5−1)≥15 (n−1)4≥15 (n−1)≥15/4 (n-1)≥3,75

n≥3,75+1

n = 4,75 (dibulatkan menjadi 5)

Jadi, sampel yang digunakan tiap kelompok percobaan sebanyak 5 ekor (n≥5) dan jumlah kelompok yang digunakan adalah 5 kelompok sehingga penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih dari populasi yang ada.


(55)

34

Kriteria inklusi:

a) Sehat (tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, botak, dan bergerak aktif).

b) Memiliki berat badan 100−150 gram. c) Berjenis kelamin jantan.

d) Berusia sekitar 8−10 minggu (dewasa).

Kriteria eksklusi:

a) Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi.

Kriteriadrop out:

a) Sakit selama perlakuan. b) Mati selama masa perlakuan.

3.4 Bahan dan Alat Penelitian

3.4.1 Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah bahan organik, seperti daun, ranting, batang pohon, kayu dan arang.


(56)

35

3.4.2 Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah:

a) Neraca analitik Metler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01 gram, untuk menimbang berat tikus.

b) Tungku untuk membakar bahan organik. c) Pipa.

d) Plastic boxsebagai tempat pengumpul asap. e) Korek api.

f) Kapas alkohol. g) Minor set. h) Mikroskop.

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Adaptasi Tikus

Tikus sebanyak 25 ekor dibagi ke dalam 5 kandang dan diadaptasi selama 1 minggu sebelum perlakuan dimulai. Selama masa adaptasi tikus diberi makan berupa pelet dan air. Pengukuran berat badan tikus sebelum perlakuan.


(57)

36

3.5.2 Persiapan Asap Bakaran

Bakar bahan organik (daun, ranting, batang pohon, kayu dan arang) pada tungku, kemudian tunggu sampai asap hasil bakaran tersebut sampai pada plastik pengumpul asap yang melewati pipa. Pastikan bahan bakar sudah menjadi bara, sehingga jumlah asap yang dihasilkan lebih konsisten atau statis.

3.5.3 Prosedur Pemberian Intervensi

Untuk pemberian intervensi dilakukan berdasarkan kelompok perlakuan. Kelompok 1 (K-) sebagai kontrol negatif, dimana hanya akan diberi aquadest. Kelompok 2 (P1) sebagai kontrol positif, dimana dipaparkan asap pembakaran bahan organik selama 1 jam per hari. Kelompok 3 (P2) sebagai kontrol positif, dimana dipaparkan asap pembakaran bahan organik selama 2 jam per hari. Kelompok 4 (P3) sebagai kontrol positif, dimana dipaparkan asap pembakaran bahan organik selama 3 jam per hari. Kelompok 5 (P4) sebagai kontrol positif, dimana dipaparkan asap pembakaran bahan organik selama 4 jam per hari.

Paparan asap pembakaran organik dilakukan dengan cara membakar bahan organik, kemudian ditunggu sampai bahan bakar menjadi bara, sehingga asap yang dihasilkan lebih konsisten atau statis. Paparan


(58)

37

dilakukan pada kandang tikus yang telah ditempatkan dalam tempat plastik pengumpul asap. Paparan asap pembakaran bahan organik dilakukan dengan perbedaan durasi, yaitu P1 selama 1 jam, P1 selama 2 jam, P3 selama 3 jam, P4 selama 4 jam. Perlakuan tersebut dilakukan selama 7 hari.

3.5.4 Prosedur Pengelolaan Hewan Coba Pasca Penelitian

Pada akhir penelitian tikus akan dianestesi dengan menggunakan

ketamine ̶xylazine dengan dosis 75−100 mg/kg + 5−10 mg/kg secara intraperitoneal dengan durasi selama 10−30 menit. Kemudian setelah tikus dianestesi akan dilakukan dislokasi servikal untuk menterminasikan tikus (AVMA, 2013).

3.5.5 Prosedur Pembedahan Mata

Dilakukan pembedahan pada mata tikus, konjungtiva dan kornea tikus diambil untuk pembuatan sediaan mikroskopis. Pembuatan sediaan mikroskopis dengan menggunakan blok parrafin dan pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE). Sampel mata difiksasi dengan formalin 10%.


(59)

38

3.5.6 Prosedur Operasional PembuatanSlide

Metode pembuatan preparat Histopatologi Bagian Patologi Anatomi Laboratorium Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung (Weldimira, 2014).

Metode teknik pembuatan preparat histopatologi menurut bagian Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung:

a) Fixation

1. Spesimen berupa potongan organ mata yang telah dipotong secara representatif kemudian segera difiksasi dengan formalin 10% selama 3 jam.

2. Dicuci dengan air mengalir sebanyak 3−5 kali. b) Trimming

1. Organ dikecilkan hingga ukuran ±3 mm.

2. Potongan organ mata tersebut lalu dimasukkan ke dalam tissue cassette.

c) Dehidrasi

1. Mengeringkan air dengan meletakkan tissue cassette pada kertas tisu.

2. Dehidrasi dengan:

 Alkohol 70% selama 0,5 jam.  Alkohol 96% selama 0,5 jam.  Alkohol 96% selama 0,5 jam.  Alkohol 96% selama 0,5 jam.


(60)

39

 Alkohol absolut selama 1 jam.  Alkohol absolut selama 1 jam.  Alkohol absolut selama 1 jam.  Alkoholxylol1:1 selama 0,5 jam. d)Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukanclearingdenganxylol I dan II, masing−masing selama 1 jam.

e)Impregnasi

Impregnasi dilakukan dengan menggunakan paraffin selama 1 jam dalam oven suhu 650C.

f)Embedding

1. Sisa paraffin yang ada pada pan dibersihkan dengan memanaskan beberapa saat di atas api dan diusap dengan kapas. 2. Paraffin cair disiapkan dengan memasukkan paraffin ke dalam

cangkir logam dan dimasukkan dalam oven dengan suhu diatas 580C.

3. Paraffin cair dituangkan ke dalam pan.

4. Dipindahkan satu persatu dari tissue cassette ke dasar pan dengan mengatur jarak yang satu dengan yang lainnya.

5. Pan dimasukkan ke dalam air.

6. Paraffin yang berisi potongan mata dilepaskan dari pan dengan dimasukkan ke dalam suhu 4−60C beberapa saat.

7. Paraffin dipotong sesuai dengan letak jaringan yang ada dengan menggunakan skalpel/pisau hangat.


(61)

40

8. Siap dipotong dengan mikrotom. g) Cutting

1. Pemotongan dilakukan pada ruangan dingin.

2. Sebelum memotong, blok didinginkan terlebih dahulu di lemari es.

3. Dilakukan pemotongan kasar, lalu dilanjutkan dengan pemotongan halus dengan ketebalan 4−5 mikron. Pemotongan dilakukan menggunakan rotary microtome dengan disposable knife.

4. Dipilih lembaran potongan yang paling baik, diapungkan pada air, dan dihilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yang lain ditarik menggunakan kuas runcing.

5. Lembaran jaringan dipindahkan ke dalamwater bath suhu 600C selama beberapa detik sampai mengembang sempurna.

6. Dengan gerakan menyendok, lembaran jaringan tersebut diambil dengan slide bersih dan ditempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah.

7. Slide yang berisi jaringan ditempatkan pada inkubator (suhu 370C) selama 24 jam sampai jaringan melekat sempurna.

h) Staining(pewarnaan) dengan Harris Hematoksilin−Eosin

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, dipilih slide yang terbaik, selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia dibawah ini dengan waktu sebagai berikut.


(62)

41

1. Dilakukan deparafinisasi dalam: 1. LarutanxylolI selama 5 menit. 2. LarutanxylolII selama 5 menit. 3. Ethanol absolut selama 1 jam. 2. Hydrasi dalam:

a. Alkohol 96% selama 2 menit. b. Alkohol 70% selama 2 menit. c. Air selama 10 menit.

3. Pulasan inti dibuat dengan menggunakan: a. Harris Hematoksilin selama 15 menit. b. Dibilas dengan air mengalir.

c. Diwarnai dengan eosin selama maksimal 1 menit. 4. Selanjutnya, didehidrasi dengan menggunakan:

a. Alkohol 70% selama 2 menit. b. Alkohol 96% selama 2 menit. c. Alkohol absolut selama 2 menit. 5. Penjernihan dengan:

a.XylolI selama 2 menit. b.XylolII selama 2 menit.

i) Mountingdengan entelan dan tutup dengandeck glass

Setelah pewarnaan selesai,slide ditempatkan di atas kertas tisu pada tempat datar, ditetesi dengan bahan mounting, yaitu entelan, dan ditutup dengan deck glass, cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara.


(63)

42

j) Slidedibaca dengan mikroskop

Slidediperiksa di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400x. Preparat histopatologi dikirim ke laboratorium Patologi Anatomi untuk dikonsultasikan dengan ahli patologi anatomi. Pengamatan mikroskopis dilakukan oleh peneliti sendiri. Digambarkan pada diagram alur penelitian, tersaji pada gambar 8.


(64)

43

Gambar 8.Diagram alur penelitian.

Tikus diberi perlakuan selama 7 hari

Paparan asap pembakaran bahan organik selama 1 jam

Paparan asap pembakaran bahan organik selama 2 jam

Paparan asap pembakaran bahan organik selama 3 jam

Paparan asap pembakaran bahan organik selama 4 jam

Tikus dianastesi dengan ketamine-xyzaline 75̶100mg/kg + 5̶10mg/kg secara IP

Eutanasiametodecervikal dislocation

Lakukan pembedahan mata tikus Sampel di fiksasi dengan formalin 10% Pembuatan sediaan dengan pewarnaan HE

Pengamatan sediaan dengan mikroskop Intrepretasi dan hasil pengamatan

Timbang Berat Badan Tikus

K (-) P 1 P2 P3 P4


(65)

44

3.5.7 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel

1. Identifikasi Variabel

a) Variabel Bebas adalah paparan asap pembakaran organik. b) Variabel Terikat adalah hiperplasia epitel kornea.

2. Definisi Operasional

Definisi operasional tergambar dalam bentuk tabel, tersaji pada tabel 3.

Tabel 3. Definisi operasional.

Variabel Definisi Skala Paparan

Asap Pembakaran Organik

Lamanya paparan asap pembakaran organik.

K (-) = tanpa paparan P1 = 1 jam

P2 = 2 jam P3 = 3 jam P4 = 4 jam

Kategorik

Hiperplasia Epitel Kornea

Gambaran adanya peningkatan jumlah sel pada epitel kornea dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopatologi oleh seorang dokter spesialis patalogi anatomi (dr. IW, Sp. PA) menggunakan mikroskop dengan perbesaran 400x.


(66)

45

3.6 Pengolahan dan Analisis Data

3.6.1 Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah ke dalam bentuk tabel-tabel, kemudian proses pengolahan data menggunakan program komputer, yang terdiri dari beberapa langkah:

1. Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.

2. DataEntry, memasukkan data ke dalam komputer.

3. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan ke dalam komputer.

4. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh komputer kemudian dicetak.

3.6.2 Analisis Data

Data yang diperoleh adalah hipotesis komparatif skala numerik dengan jumlah >2 kelompok tidak berpasangan yang kemudian diuji analisis dengan menggunakan software analisis statistik. Pada hipotesis komparatif numerik, dianalisis terlebih dahulu untuk mengetahui data terdistribusi normal (p>0,05) atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah sampel ≤50. Kemudian


(67)

46

dilakukan uji Levene untuk mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data memiliki varians data yang sama (p>0,05) atau tidak. Jika varians data terdistribusi normal dan homogen, dilanjutkan dengan metode uji parametrik One WayANOVA, bila varians data tidak sama lakukan transformasi data. Bila setelah transformasi data masih tidak sama maka data tidak memenuhi syarat uji parametrik, digunakan uji non parametrik Kruskal-Wallis. Hipotesis bermakna bila p<0,05. Jika pada uji ANOVA atau Kruskal-Wallis didapatkan nilai p<0,05 maka, dilanjutkan dengan melakukan analisis Post Hoc LSD untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan (Dahlan, 2011).

3.7Ethical Clearance

Penelitian ini diajukan ke Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, dengan menerapkan beberapa prinsip penelitian, yaitu Replacement, memanfaatkan hewan coba secara seksama dan tidak dapat digantikan oleh makhluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan. Reduction, pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin, namun tetap mendapatkan hasil yang optimal. Refinement, memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi, tidak menyakiti hewan coba (Ridwan, 2013).


(68)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hiperplasia epitel kornea tikus putih pada perbedaan durasi paparan asap pembakaran bahan organik, namun tidak bermakna secara statistik.

5.2 Saran

1. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut menggunakan organ mata yang lebih besar, seperti kelinci.

2. Peneliti lain disarankan untuk meneliti lebih lanjut pada organ lain, seperti pembuluh darah, jantung dan organ lainnya.


(69)

(70)

DAFTAR PUSTAKA

Agency for Toxic Substances and Disease Registry 1 (ATSDR1). 2014. Nitrogen oxides (NO, NO2, and others). Tersedia pada: http://www.atsdr.cdc.gov/mmg/mmg.asp?id=394&tid=69. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.

Agency for Toxic Substances and Disease Registry 2 (ATSDR2). 2014. Medical management guidelines for sulfur dioxide. Tersedia pada: http://www.atsdr.cdc.gov/mmg/mmg.asp?id=249&tid=46. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.

Almubrad T, Akhtar S. 2011. Structure of corneal layers, collagen fibrils, and proteoglycans of tree shrew cornea. Molecular Vision. 17:2283̶91.

Anggraeni NIS. 2009. Pengaruh lama paparan asap knalpot dengan kadar CO 1800 ppm terhadap gambaran histopatologi jantung pada tikus wistar [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro.

Asyari F. 2007. Dry eye syndrome (sindroma mata kering). Dexa Media. 20(4):162̶6.

AVMA. 2013. Guidlines for the euthanasia of animals. Schaumburg: American Veterinary Medical Association.

Baker GRC, Morton M, Rajapaska RS, Bullock M, Gullu S, Mazzi B,et al. 2006. Altered tear composition in smokers and patients with graves opthalmopathy. Arch Opthalmol. 124:1451̶56.

CDC. 2014. Evidence review: Wildfire smoke and public health risk. United State: Centre for Disease Control.


(71)

Cohen S, Stern ME. 2005. Dry eye: the lacrimal functional unit. Uveitis and Immunological Disorders. Germany: Springer.

Dahlan MS. 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

de Paiva CS, Villarreal AL, Corrales RM, Rahman HT, Chang VY, Farley WJ, et al. 2007. Dry-eye induced conjunctival epithelial squamous metaplasia is modulated by Interferon-γ. Investigate Ophthalmology & Visual Science.48(6):2553̶60.

Depkes. 2011. Parameter pencemaran udara dan dampaknya terhadap kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Eroschenko VP. 2010. Atlas histologi diFiore dengan korelasi fungsional. Edisi ke-11. Jakarta: EGC.

Faisal F, Faisal Y, Fachrial H. 2012. Dampak asap kebakaran hutan pada pernapasan. Cermin Dunia Kedokteran. 39(1):31̶4.

Fabiani C, Barabino S, Rashid S, Dana RM. 2009. Corneal epithel proliferation and thickness in a mouse model of dry eye. Exp Eye Res. 89(2):166 ̶ 171.

Hadiprasetya Y. 2009. Identifikasi faktor penyebab kebakaran hutan dan upaya penanggulangannya di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Instititut Pertanian Bogor.

Hanson A. 2012. The rat eyes. Tersedia pada:

http://www.ratbehavior.org/Eyes.htm. Diakses tanggal 23 Oktober 2014.

Ilyas S. 2011. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jansen. 2009. Dampak paparan asap rokok terhadap frekuensi mengedip dan keluhan yang dirasakan pada mata pada pria usia 20-40 tahun di kelurahan kesawan Medan [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.


(72)

James B, Chew C, Anthony B. 2005. Lecture notes: Oftalmologi. Edisi ke-9. Jakarta: Erlangga Medical Series.

Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung pare (Momordica charantia l) untuk penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes melitus [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Kusumawardhani A, Sarwendah K, Rahmad L, Millah NU, Herliyani N, Sutrisno B, et al. 2013. Sitotoksik asap rokok pada kornea tikus putih wistar yang diberi ekstrak kunyit (Curcuma domestica v). Jurnal Sain Veteriner. 31(1):89̶9.

Luthfi RM. 2008. Analisis beban pencemar dan konsenterasi karbon monoksida (CO) di Jakarta [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

MDH. 2010. Volatile organic compounds (VOCs) in your home. Tersedia pada: http://www.health.state.mn.us/divs/eh/indoorair/voc/. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.

Mukono HJ. 2008. Prinsip dasar kesehatan lingkungan. Surabaya: Universitas Airlangga Press.

Narendra DW. 2007. Pengaruh dehidrasi dengan pemberian bisacodyl terhadap gambaran hematokrit tikus putih jantan (Rattus norvegicus) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

National Library of Medicine (NLM1). 2014. Tox town – Environmental health concerns and toxic chemicals where you live, work, and play: nitrogen

oxides. Tersedia pada:

http://toxtown.nlm.nih.gov/text_version/chemicals.php?id=19. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.

National Library of Medicine (NLM2). 2014. Tox town – Environmental health concerns and toxic chemicals where you live, work, and play: volatile

organic compounds. Tersedia pada:

http://toxtown.nlm.nih.gov/text_version/chemicals.php?id=31. Diakses tanggal 20 Oktober 2014.


(73)

North Coast Unified Air Quality Management Distric (NCUAQMD). 2008. Wildfire smoke a guide for public health officials (revised July 2008). Tersedia pada: http://www.arb.ca.gov/smp/progdev/pubeduc/wfgv8.pdf. Diakses tanggal 18 Juli 2014.

Perwitasari D, Bambang S. 2008. Gambaran kebakaran hutan dengan kejadian penyakit ISPA dan pneumonia di Kabupaten Batang Hari Provinsi Jamb tahun 2008. Jurnal Ekologi Kesehatan. 11(2):148̶58.

Purbowaseso B. 2004. Pengendalian kebakaran hutan. Jakarta: Rineka Cipta.

Putra AP. 2009. Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus norvegicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Ridwan E. 2013. Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam penelitian kesehatan. Journal Indonesia Medical Association. 63(3):112−6.

Riordan-Eva P. 2010. Anatomi dan embriologi mata. Dalam: Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC.

Rummenie VT, Matsumono Y, Dogru M, Wang Y, Hu Y, Ward S., et al. 2008. Tear cytokine and ocular surface alterations following brief passive cigarette smoke exposure. Cytokine. (43):200 ̶ 8.

Soekamto TH, Perdanakusuma D. 2012. Intoksikasi karbon monoksida. Jurnal Rekonstruksi dan Estetik. 1(1):20̶1.

Sutyarso, Susantiningsih T, Suharto YAP. 2014. The Effect of Red Ginger Ethanol Extract (Zingiber officinale Roxb var Rubrum) to Airway Goblet Cells Count And Cilliary Lenght on Cigarette Smoke-Induced White Male Rats Sprague dawley Strains. Juke. 3(2):182̶9.

Surasmiati NMA. 2014. HbA1c yang tinggi sebagai faktor risiko rendahnya sekresi air mata pasien diabetes melitus pasca fakoemulsifikasi [Tesis]. Denpasar: Universitas Udayana.


(74)

Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS. 2003. Pengetahuan dasar pengendalian kebakaran hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Syaufina L. 2008. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Malang: PT Bayu Media.

Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: penyebab, biaya, implikasi, kebijakan. Bogor: Center of International Forestry Research.

Tayanont W, Vadakan NV. 2012. Exposure to volatile organic compounds and health risks among residents in an area affected by a petrochemical complex in rayong, Thailand. Southeast Asian J TropedMed Public Health. 43(1):201̶11

Weldimira V. 2014. Pengaruh pemberian ekstrak etanol jahe merah (Zingiber officinale Roxb var Rubrum) terhadap jumlah sel spermatogenik tikus putih (Rattus norvegicus L) jantan galur Sprague dawley yang dipapar asap rokok [skripsi]. Lampung: Universitas lampung.

WHO. 2004. Environmental health criteria 213: carbon monoxide 2nd ed. Geneva: World Health Organization.

Wilson SE. 2003. Inflammation: A unifying theory for the origin of dry eye syndrome. P&T Digest. 12(12):14̶9.


(1)

(2)

DAFTAR PUSTAKA

Agency for Toxic Substances and Disease Registry 1 (ATSDR1). 2014. Nitrogen

oxides (NO, NO2, and others). Tersedia pada:

http://www.atsdr.cdc.gov/mmg/mmg.asp?id=394&tid=69. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.

Agency for Toxic Substances and Disease Registry 2 (ATSDR2). 2014. Medical

management guidelines for sulfur dioxide. Tersedia pada:

http://www.atsdr.cdc.gov/mmg/mmg.asp?id=249&tid=46. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.

Almubrad T, Akhtar S. 2011. Structure of corneal layers, collagen fibrils, and proteoglycans of tree shrew cornea. Molecular Vision. 17:2283̶91.

Anggraeni NIS. 2009. Pengaruh lama paparan asap knalpot dengan kadar CO 1800 ppm terhadap gambaran histopatologi jantung pada tikus wistar [skripsi]. Semarang: Universitas Diponegoro.

Asyari F. 2007. Dry eye syndrome (sindroma mata kering). Dexa Media. 20(4):162̶6.

AVMA. 2013. Guidlines for the euthanasia of animals. Schaumburg: American Veterinary Medical Association.

Baker GRC, Morton M, Rajapaska RS, Bullock M, Gullu S, Mazzi B,et al. 2006. Altered tear composition in smokers and patients with graves opthalmopathy. Arch Opthalmol. 124:1451̶56.

CDC. 2014. Evidence review: Wildfire smoke and public health risk. United State: Centre for Disease Control.


(3)

Cohen S, Stern ME. 2005. Dry eye: the lacrimal functional unit. Uveitis and Immunological Disorders. Germany: Springer.

Dahlan MS. 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan. Jakarta: Salemba Medika.

de Paiva CS, Villarreal AL, Corrales RM, Rahman HT, Chang VY, Farley WJ, et al. 2007. Dry-eye induced conjunctival epithelial squamous metaplasia is modulated by Interferon-γ. Investigate Ophthalmology & Visual Science.48(6):2553̶60.

Depkes. 2011. Parameter pencemaran udara dan dampaknya terhadap kesehatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Eroschenko VP. 2010. Atlas histologi diFiore dengan korelasi fungsional. Edisi ke-11. Jakarta: EGC.

Faisal F, Faisal Y, Fachrial H. 2012. Dampak asap kebakaran hutan pada pernapasan. Cermin Dunia Kedokteran. 39(1):31̶4.

Fabiani C, Barabino S, Rashid S, Dana RM. 2009. Corneal epithel proliferation and thickness in a mouse model of dry eye. Exp Eye Res. 89(2):166 ̶ 171.

Hadiprasetya Y. 2009. Identifikasi faktor penyebab kebakaran hutan dan upaya penanggulangannya di Taman Nasional Gunung Ciremai, Jawa Barat [skripsi]. Bogor: Instititut Pertanian Bogor.

Hanson A. 2012. The rat eyes. Tersedia pada:

http://www.ratbehavior.org/Eyes.htm. Diakses tanggal 23 Oktober 2014.

Ilyas S. 2011. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Jansen. 2009. Dampak paparan asap rokok terhadap frekuensi mengedip dan keluhan yang dirasakan pada mata pada pria usia 20-40 tahun di kelurahan kesawan Medan [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.


(4)

James B, Chew C, Anthony B. 2005. Lecture notes: Oftalmologi. Edisi ke-9. Jakarta: Erlangga Medical Series.

Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung pare (Momordica charantia l) untuk penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes melitus [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Kusumawardhani A, Sarwendah K, Rahmad L, Millah NU, Herliyani N, Sutrisno B, et al. 2013. Sitotoksik asap rokok pada kornea tikus putih wistar yang diberi ekstrak kunyit (Curcuma domestica v). Jurnal Sain Veteriner. 31(1):89̶9.

Luthfi RM. 2008. Analisis beban pencemar dan konsenterasi karbon monoksida (CO) di Jakarta [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

MDH. 2010. Volatile organic compounds (VOCs) in your home. Tersedia pada: http://www.health.state.mn.us/divs/eh/indoorair/voc/. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.

Mukono HJ. 2008. Prinsip dasar kesehatan lingkungan. Surabaya: Universitas Airlangga Press.

Narendra DW. 2007. Pengaruh dehidrasi dengan pemberian bisacodyl terhadap gambaran hematokrit tikus putih jantan (Rattus norvegicus) [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

National Library of Medicine (NLM1). 2014. Tox town – Environmental health concerns and toxic chemicals where you live, work, and play: nitrogen

oxides. Tersedia pada:

http://toxtown.nlm.nih.gov/text_version/chemicals.php?id=19. Diakses tanggal 19 Oktober 2014.

National Library of Medicine (NLM2). 2014. Tox town – Environmental health concerns and toxic chemicals where you live, work, and play: volatile

organic compounds. Tersedia pada:

http://toxtown.nlm.nih.gov/text_version/chemicals.php?id=31. Diakses tanggal 20 Oktober 2014.


(5)

North Coast Unified Air Quality Management Distric (NCUAQMD). 2008. Wildfire smoke a guide for public health officials (revised July 2008). Tersedia pada: http://www.arb.ca.gov/smp/progdev/pubeduc/wfgv8.pdf. Diakses tanggal 18 Juli 2014.

Perwitasari D, Bambang S. 2008. Gambaran kebakaran hutan dengan kejadian penyakit ISPA dan pneumonia di Kabupaten Batang Hari Provinsi Jamb tahun 2008. Jurnal Ekologi Kesehatan. 11(2):148̶58.

Purbowaseso B. 2004. Pengendalian kebakaran hutan. Jakarta: Rineka Cipta.

Putra AP. 2009. Efektivitas pemberian kedelai pada tikus putih (Rattus norvegicus) bunting dan menyusui terhadap pertumbuhan dan kinerja reproduksi anak tikus betina [skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Ridwan E. 2013. Etika pemanfaatan hewan percobaan dalam penelitian kesehatan. Journal Indonesia Medical Association. 63(3):112−6.

Riordan-Eva P. 2010. Anatomi dan embriologi mata. Dalam: Vaughan, Asbury. Oftalmologi Umum. Edisi ke-17. Jakarta: EGC.

Rummenie VT, Matsumono Y, Dogru M, Wang Y, Hu Y, Ward S., et al. 2008. Tear cytokine and ocular surface alterations following brief passive cigarette smoke exposure. Cytokine. (43):200 ̶ 8.

Soekamto TH, Perdanakusuma D. 2012. Intoksikasi karbon monoksida. Jurnal Rekonstruksi dan Estetik. 1(1):20̶1.

Sutyarso, Susantiningsih T, Suharto YAP. 2014. The Effect of Red Ginger Ethanol Extract (Zingiber officinale Roxb var Rubrum) to Airway Goblet Cells Count And Cilliary Lenght on Cigarette Smoke-Induced White Male Rats Sprague dawley Strains. Juke. 3(2):182̶9.

Surasmiati NMA. 2014. HbA1c yang tinggi sebagai faktor risiko rendahnya sekresi air mata pasien diabetes melitus pasca fakoemulsifikasi [Tesis]. Denpasar: Universitas Udayana.


(6)

Suratmo FG, Husaeni EA, Jaya NS. 2003. Pengetahuan dasar pengendalian kebakaran hutan. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Syaufina L. 2008. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Malang: PT Bayu Media.

Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia: penyebab, biaya, implikasi, kebijakan. Bogor: Center of International Forestry Research.

Tayanont W, Vadakan NV. 2012. Exposure to volatile organic compounds and health risks among residents in an area affected by a petrochemical complex in rayong, Thailand. Southeast Asian J TropedMed Public Health. 43(1):201̶11

Weldimira V. 2014. Pengaruh pemberian ekstrak etanol jahe merah (Zingiber officinale Roxb var Rubrum) terhadap jumlah sel spermatogenik tikus putih (Rattus norvegicus L) jantan galur Sprague dawley yang dipapar asap rokok [skripsi]. Lampung: Universitas lampung.

WHO. 2004. Environmental health criteria 213: carbon monoxide 2nd ed. Geneva: World Health Organization.

Wilson SE. 2003. Inflammation: A unifying theory for the origin of dry eye syndrome. P&T Digest. 12(12):14̶9.


Dokumen yang terkait

Pengaruh Hormon Testosteron Undekanoat (TU) Dan Medroksiprogesteron Asetat (MPA) Terhadap Konsentrasi Spermatozoa dan Histologi Spermatogenesis Tikus Jantan (Rattus Novergicus L) Galur Sprague Dawley

4 46 157

Uji Aktivitas Ekstrak Etanol 96% Daun Sambiloto (Andrographis paniculata (Burm.f.) Nees) Terhadap Kualitas Sperma Pada Tikus Jantan Galur Sprague- Dawley Secara In Vivo dan Aktivitas Spermisidal Secara In Vitro

0 15 104

PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI PARENKIM PARU TIKUS PUTIH (Rattus novergicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 6 76

PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA GOLONGAN PARAQUAT DIKLORIDA PER-ORAL TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

3 13 78

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI MIOKARDIUM TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 4 65

PENGARUH EKSTRAK ETANOL 96 % BIJI JENGKOL (Pithecellobium lobatum Benth.) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI PANKREAS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

1 8 50

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI ARTERI KORONARIA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 13 66

EFEK PROTEKTIF THYMOQUINONE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

1 12 70

EFEK PROTEKTIF THYMOQUINONE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

2 35 76

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 26 71