PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA GOLONGAN PARAQUAT DIKLORIDA PER-ORAL TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

(1)

ABSTRACT

THE EFFECT OF ORAL HERBICIDE PARAQUAT DICHLORIDE TO KIDNEY HISTHOPATHOLOGY IN MALE RATS (Rattus norvegicus)

Sprague dawley STRAIN By

DIAH SEPTIA LIANTARI

Herbicide is one of chemical material which is used by farmers to inhibit and kill weeds. Nowadays, the use of herbicide is increasing. But, the use of herbicide sometimes doesn’t appropriate to the procedure so it causes adverse effect in human. The exposure of herbicide paraquat dichloride give effects to human organs such as lung, kidney, heart, liver, muscle, spleen, skin, eyes, and brain. In kidney, it damage both glomerulus and renal tubules. The purpose of this study is to determine the effect of oral herbicide paraquat dichloride to kidney histhopathology in male rats (Rattus norvegicus) Sprague dawley strain. In this study, 25 male rats (Rattus norvegicus) Sprague dawley strain about 8−10 weeks are divided randomly into 5 group and treated for 2 days. K1 is given aquadest, K2, K3, K4, K5 is given herbicide paraquat dichloride 25 mg/kgBB, 50 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, and 200 mg/kgBB. The results showed that the average number of kidney damage K1:0, K2:1,8, K3:2,0, K4:3,6, K5:4,4. In Kruskal Wallis test found a significant difference (p<0,05). There is an effect of oral herbicide paraquat dichloride to kidney histhopathology in male rats (Rattus novergicus) Sprague dawley strain.


(2)

ABSTRAK

PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA GOLONGAN PARAQUAT DIKLORIDA PER-ORAL TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI

GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

Oleh

DIAH SEPTIA LIANTARI

Herbisida merupakan salah satu bahan kimia yang digunakan oleh para petani untuk menghambat dan mematikan tumbuhan. Saat ini, penggunaan herbisida semakin meningkat. Namun, penggunaan herbisida sering tidak sesuai prosedur sehingga dapat menimbulkan efek samping terhadap manusia. Paparan herbisida golongan paraquat diklorida berpengaruh ke organ-organ tubuh seperti paru-paru,jantung, ginjal, hati, otot, limpa, kulit, mata dan otak. Pada organ ginjal dapat merusak glomerulus maupun tubulus ginjal. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per-oral terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley. Pada penelitian ini, 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley berumur 8−10 minggu tikus dibagi dalam 5 kelompok secara acak dan diberi perlakuan selama 2 hari. K1 diberi aquades, K2, K3, K4, K5 diberi herbisida paraquat diklorida 25mg/kgBB, 50mg/kgBB, 100mg/kgBB dan 200mg/kgBB. Hasil penelitian menunjukan bahwa rerata skor kerusakan ginjal pada K1: 0, K2: 1,8, K3: 2,0, K4:3,6, K5; 4,4. Data yang diperoleh diuji dengan Uji Kruskal-Wallis didapatkan perbedaan bermakna (p<0,05). Terdapat pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per-oral terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley


(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bumi Nabung, Lampung Tengah pada tanggal 12 September 1993, sebagai anak keempat dari empat bersaudara dari Bapak Sugito, S.Pd dan Ibu Astiyatun, S.Pd.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) di TK Alfirman Ma’arif, Sekolah Dasar (SD) di SDN 5 Bumi Nabung Ilir pada tahun 1999, Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMPN 1 Rumbia pada tahun 2005 dan Sekolah Menengah Atas (SMA) di SMAN 4 Metro pada tahun 2008.

Tahun 2011, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran Unuversitas Lampung melalui jalur Undangan Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama menjadi mahasiswa, penulis menjadi asisten dosen Patologi Anatomi pada tahun 2013-2014. Penulis aktif dalam Lembaga Kemahasiswaan Forum Studi Islam (FSI) Ibnu Sina FK Unila sebagai Kardiak pada tahun 2011/2012 dan sebagai Bendahara Umum pada tahun 2012/2013. Penulis juga aktif dalam Lembaga Kemahasiswaan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FK Unila sebagai EA BEM pada tahun 2011/2012, sebagai anggota Biro KIK pada tahun 2012/2013 dan sebagai Bendahara Eksekutif pada tahun


(8)

2013/2014. Penulis juga aktif dalam Lembaga Eksternal yaitu Pusat Komunikasi Daerah (PUSKOMDA) Lampung sebagai anggota Komisi D (media dan kehumasan) pada tahun 2013/2014.


(9)

“Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu”

(Q.S. Al-Baqarah: 32)

“Ya Allah, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap

mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau

Anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku

dan agar aku mengerjakan kebajikan yang Engkau

Ridhoi; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke


(10)

PERSEMBAHAN

Segala puji hanyalah milik Allah SWT yang telah memberikan nikmat iman,

nikmat islam, hidayah dan rahmat kepada penulis. Shalawat serta salam

semoga tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW

beserta keluarganya.

Dengan syukur kupersembahkan lembaran-lembaran sederhana ini untuk

Ayah dan Ibuku Tercinta

Yang selalu menyanyangiku, yang selalu memberikan kebahagiaan dalam

hidupku dan yang selalu menyebut namaku dalam setiap doa.

Kakak-kakak ku tersayang


(11)

SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad S.A.W.

Skripsi dengan judul “Pengaruh Pemberian Herbisida Golongan Paraquat Diklorida Per−OralTerhadap Gambaran Histopatologi Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague dawley” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S., selaku Rektor Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Sutyarso, M.Biomed., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.

3. Bapak dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA., selaku Pembimbing Utama atas kesediannya memberikan untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini.

4. Ibu dr. Indri Windarti, Sp.PA., selaku Pembimbing Kedua atas kesediannya untuk menyempatkan waktu memberikan bimbingan, saran dan kritik selama


(12)

proses skripsi ini serta memberikan banyak ilmu selama lebih dari setahun terakhir ini.

5. Ibu dr. Susianti, M.Sc., selaku Penguji Utama pada ujian skripsi untuk masukan dan saran-saran yang diberikan.

6. Ibu dr. Tiwuk Susantiningsih, M. Biomed., dan dr. Maya Ganda Ratna yang telah memberikan banyak masukan, saran dan bantuan dalam proses penelitian ini.

7. Ibu Prof. Dr. dr. Efrida Warganegara, M.Kes., Sp. MK., selaku Pembimbing Akademik saya sejak semester awal hingga semester akhir.

8. Ayah dan Ibu yang selalu memberikan kasih sayang, nasehat, motivasi, selalu mendoakan anak-anaknya dan selalu memberikan yang terbaik. Semoga Allah swt selalu melindungi dalam setiap langkah.

9. Kakak-kakak saya, Mas Andi Perdana Saputra yang dulu selalu mendukung saya dan semoga tenang disana, Mbak Marthia Ratna Dewi dan Mbak Indah Kusuma Rini yang selalu memberikan doa, bantuan dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini serta adik kecil Angga Adi Prayoga.

10. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu dan pengalaman berharga yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita.

11. Seluruh Staf TU, Administrasi dan Akademik FK Unila, serta pegawai yang turut membantu dalam proses penelitian skripsi ini.

12. Mas Bayu Putra yang sudah banyak membantu dalam proses pembuatan preparat histopatologi dan nasehat-nasehat yang diberikan.


(13)

13. drh. Aulia Andi M. Msi., Abang Alias dan Om Adi yang telah banyak membantu dalam proses penelitian ini.

14. Sahabat-sahabat saya: Yolanda Fratiwi, Ferina Dwi Marinda, Sakinah dan Tiara Anggraini yang selalu ada dalam suka maupun duka, saling mengingatkan dan selalu memberikan semangat.

15. Sahabat-sahabat saya yang dipertemukan dalam sebuah lingkaran kecil: Anggia, Karimah dan Melly yang telah mengajariku tujuan hidup ini.

16. Sahabat-sahabat CUPS: Yolci, Ferina, Sakinah, Naomi, Bela, Rifka, Dila, Pelis, Ririn, Mbak Oni, Roby, Desta, Wayan, Gede, Filla dan Baji atas bantuan, doa dan saling menyemangati untuk menyelesaikan skripsi ini. 17. Partner kerja skripsi saya, Yolanda Fratiwi, I Gede Eka Widayana dan Wayan

Ferly Aryana atas kerjasama dan semangat nya dalam menyelesaikan skripsi ini.

18. Rekan kerja seperjuangan Asdos PA, Yolanda Fratiwi, Kak Tiara Anggraini, Fadia Nadila, Yuda Ayu K, Muflikha Sofiana, I Gede Eka dan Rizky Bayu atas kerjasama nya selama ini.

19. Sahabat-sahabat Keluarga Besar FSI IBNU SINA: Mbak Defi, Mbak Putri, Mbak Tya, Mbak Megan, Mbak Ghina, Mbak Nora, Mbak Annida, Mbak Nyimas, Mbak Nida, Mbak Meta, Mbak Vicha, Mbak Laili, Nindry, Rania, Huzai, Idzni, Oci, Laras, Eka, Siti M, dan sahabat-sahabat semua yang tidak bisa saya tulis satu persatu, atas nasehat, motivasi selama ini dan semoga kita semua tetap berada dalam barisan ini.


(14)

20. Sahabat-sahabat BEM FK UNILA Kabinet NEURAL: Ara, Tiwi, Mahendra, Yolci, Ani, Gede, Putri, Vivi, Taufiq, Belinda Sandra, Bulan, Aryati, dan teman-teman semua.

21. Sahabat-sahabat PUSKOMDA Lampung atas ilmu dan pengalaman selama ini.

22. Sahabat-sahabat angkatan 2011 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih atas kebersamaan dan kerja sama dalam mengemban ilmu di kampus tercinta ini.

23. Kakak-kakak dan adik-adik tingkat saya (angkatan 2002-2014) yang sudah memberikan semangat kebersamaan dalam satu kedokteran.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.

Bandar Lampung, Desember 2014

Penulis,


(15)

i DAFTAR ISI DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang... 1.2 Rumusan Masalah... 1.3 Tujuan... 1.4 Manfaat... 1.5 Kerangka Teori... 1.6 Kerangka Konsep... 1.7 Hipotesis... BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Herbisida Golongan Paraquat Diklorida... 2.1.1 Deskripsi Herbisida Golongan Paraquat Diklorida... 2.1.2 Penggunaan Herbisida Golongan Paraquat Diklorida... 2.1.3 Kandungan Kimia Herbisida Golongan Paraquat

Diklorida... i iv v vi 1 5 6 6 7 11 11 12 12 13 14


(16)

ii

2.1.4 Mekanisme Toksisitas Herbisida Golongan Paraquat Diklorida... 2.2 Ginjal...

2.2.1 Anatomi Ginjal... 2.2.2 Histologi Ginjal... 2.2.3 Fisiologi Ginjal... 2.2.4 Patologi Ginjal... 2.3 Radikal Bebas dan Stres Oksidatif...

2.3.1 Radikal Bebas... 2.3.2 Stres Oksidatif... 2.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley......

2.4.1 Klasifikasi Tikus Putih... 2.4.2 Jenis Tikus Putih... 2.4.3 Biologi Tikus Putih... BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian ………...……... 3.2 Tempat dan Waktu ……….……….... 3.3 Populasi dan Sampel ………...……...

3.4 Bahan dan Alat Penelitian………....…....

3.4.1 Bahan Penelitian ………...…...

3.4.2 Bahan Kimia ………...…..…...

3.4.3 Perangkat Penelitian ………...….. 3.4.3.1 Alat Penelitian ………...

3.4.3.2 Alat Pembuat Preparat Histopatologi …..….…...

15 20 20 21 26 28 29 29 32 33 33 33 34 35 35 36 37 37 38 38 38 38


(17)

iii

3.5 Prosedur Penelitian ……….…... 3.5.1 Prosedur Pemberian Dosis Herbisida Paraquat Diklorida...

3.5.2 Prosedur Penelitian………...

3.6 Identifikasi Variabel dan Devinisi Operasional Variabel …... 3.6.1 Identifikasi Variabel ………...…...

3.6.2 Definisi Operasional Variabel ………...

3.7 Analisis Data ………... 3.8 Ethical Clearance... BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian... 4.2 Pembahasan... BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan... 5.2 Saran... DAFTAR PUSTAKA ...

LAMPIRAN……….

39 39 42 48 48 49 48 50

52 62

69 69 71 75


(18)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Definisi Operasional ………... 2. Rerata Skor Kerusakan Ginjal... 3. Analisis Mann Whitney...

49 58 61


(19)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Kerangka teori ... 2. Kerangka konsep... 3. Histologi glomerulus ginjal normal manusia... 4. Histologi tubulus ginjal normal manusia... 5. Pembentukan radikal bebas... 6. Diagram Alur Penelitian... 7. Histologi ginjal normal tikus kontrol negatif... 8. Histopatologi ginjal tikus kelompok 2... 9. Histopatologi ginjal tikus kelompok 3... 10. Histopatologi ginjal tikus kelompok 4... 11. Histopatologi ginjal tikus kelompok 5... 12. Grafik perbandingan rerata skor kerusakan ginjal...

10 11 22 23 32 47 53 54 55 56 57 59


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. Analisis Statistik... 2. Dokumentasi Penelitian...

75 81


(21)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit tanaman dalam bidang pertanian dan perkebunan. Laporan dari Food Agriculture Oganization menyatakan lebih dari 70.000 pestisida beredar di seluruh dunia dan dipergunakan secara aktif oleh para petani (FAO, 2003). Penggunaan pestisida dalam mengatasi organisme pengganggu tanaman telah meluas di kalangan para petani di Indonesia. Penggunaan pestisida yang tidak terkendali akan berakibat pada kesehatan petani dan lingkungan. Pada tahun 2000, penelitian terhadap para pekerja atau penduduk yang memiliki riwayat kontak pestisida banyak sekali dilakukan di Indonesia. Dari berbagai penelitian tersebut diperoleh gambaran prevalensi keracunan tingkat sedang hingga berat disebabkan pekerjaan, yaitu antara 8,5%−50% (Achmadi, 2005).

Pestisida dikelompokkan menjadi tiga yaitu insektisida sebagai pembunuh insekta, fungisida sebagai pembunuh jamur dan herbisida sebagai pembunuh tanaman pengganggu. Kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena kecelakaan waktu menggunakannya, maupun


(22)

2

karena disalahgunakan yaitu untuk bunuh diri. Sekarang ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada tanaman penggangu dan serangga (WHO, 2008).

Penggunaan pestisida secara global dan jenis-jenis pestisida yang digunakan jika dipresentasikan penggunaan herbisida adalah yang terbanyak, kemudian insektisida dan fungsida. Insektisida adalah pestisida yang paling banyak digunakan di negara maju, sedangkan fungisida dan herbisida paling banyak digunakan di negara berkembang (Ginting et al., 2012).

Herbisida paraquat dan diquat termasuk golongan dipyrydyl yang merupakan herbisida non−selektif dan secara luas sering digunakan, terutama pada sistem pertanian dan oleh agen pemerintah dan perindustrian untuk mengontrol hama tanaman. Paraquat dibatasi pemakaiannya terutama di Amerika Serikat, dan sudah menjadi isu dunia yang signifikan tentang kemungkinan keracunannya. Beberapa negara di Eropa juga sudah membatasi pemakaian paraquat. Pada beberapa dekade terakhir, paraquat menjadi agen yang popular untuk tindakan bunuh diri (Indika & Buckley, 2011).

Keracunan herbisida merupakan permasalahan kesehatan masyarakat di negara berkembang dengan perkiraan sekitar 300.000 kematian di daerah Asia−Pasifik. Sebagai contoh, di Sri Lanka ada sekitar 3−400 keracunan


(23)

3

herbisida per 100.000 populasi setiap tahun. Paraquat merupakan agen penyebab kematian utama di Sri Lanka dengan angka fatalitas yang tinggi yaitu lebih dari 50%. Keracunan paraquat tidak hanya merupakan masalah di daerah Asia−Pasifik dan Sri Lanka, pada tahun 1986−1990, 63% dari seluruh percobaan bunuh diri di Trinidad-Tobago dikarenakan paraquat. Kontribusi yang sama tentang kematian akibat paraquat juga dilaporkan dari Trinidad Selatan yaitu 76% diantara tahun 1996−1997 dan Samoa yaitu 70% dari tahun 1979−2000 (Indika & Buckley, 2011).

Penelitian oleh Saftarina (2011) di desa Raja Basa Bandar Lampung didapatkan petani melakukan penyemprotan pestisida rata-rata lebih dari 3 kali dalam seminggu. Petani melakukan penyemprotan walaupun tidak ada tanda-tanda tanaman yang diserang hama, hal ini dilakukan untuk mencegah tanaman diserang hama secara tiba-tiba. Pada saat melakukan penyemprotan pestisida, para petani kurang memperhatikan arah angin dan cara pemakaian pestisida yang benar.

Penelitian yang dilakukan oleh Pujiono (2009) pada tenaga kerja di tempat penjualan pestisida di kabupaten subang didapatkan bahwa masih banyak tenaga kerja yang praktek pengelolaan pestisida tidak memakai alat pelindung diri yang memenuhi syarat dengan alasan tidak disediakannya alat pelindung diri, sudah terbiasa tidak pakai dan menghambat aktivitas saat bekerja. Sebagian pekerja telah mempunyai persepsi bahwa praktek saat mengelola pestisida dianggap hal yang tidak berbahaya sehingga tidak perlu


(24)

4

menggunakan alat pelindung diri, dan hal ini cenderung telah menjadi perilaku pekerja untuk tidak menggunakan alat pelindung diri pada saat mengelola pestisida. Pemakaian alat pelindung diri yang tidak memenuhi syarat, berisiko menyebabkan keracunan pestisida terhadap tenaga kerja.

Penggunaan pestisida apabila tidak benar dan tepat maka akan menimbulkan efek samping terhadap manusia. Efek samping dapat berupa hasil dari penimbunan yang berlama-lama, surface runoff, atau kontak langsung dengan komponen herbisida. Resiko terhadap manusia, kehidupan hewan, dan kematian terhadap tumbuhan disekitarnya, harus dipertimbangkan sebelum pemakainan pestisida (WHO, 2008).

Paparan herbisida golongan paraquat diklorida berpengaruh ke organ-organ tubuh seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, otot, limpa, kulit, mata dan otak. Pada organ ginjal didapatkan kerusakan pada tubulus ginjal. Gangguan fungsi ginjal memainkan peranan penting untuk menentukan outcome dari keracunan paraquat (Ginting et al., 2012).

Rute utama eliminasi pestisida paraquat setelah masuk aliran darah adalah melalui ginjal dimana paraquat secara aktif disekresi oleh sistem transport kation organik. Konsentrasi paraquat yang lebih tinggi dapat bersifat nefrotoksik. Kerusakan ginjal ditandai dengan adanya proteinuria, hematuri, piuria dan azotemia (Kim et al.,2009).


(25)

5

Pada penelitian yang dilakukan oleh Malekinejad et al (2011) didapatkan bahwa pemberian paraquat secara subkutan menyebabkan perubahan gambaran histopatologi pada ginjal berupa nefritis interstitial multifokal, endapan protein pada tubulus dan degenerasi tubulus.

Berdasarkan hal di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

1.2 Rumusan Masalah

Herbisida paraquat diklorida merupakan salah satu herbisida yang angka penggunaannya tinggi. Keracunan herbisida menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di negara berkembang dengan perkiraan sekitar 300.000 kematian di daerah Asia−Pasifik. Paparan herbisida paraquat berpengaruh ke organ-organ tubuh seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, otot, limpa, kulit, mata dan otak. Rute utama eliminasi paraquat setelah masuk aliran darah adalah melalui ginjal. Konsentrasi paraquat yang lebih tinggi dapat bersifat nefrotoksik. Dari uraian singkat tersebut dapat dirumuskan:

Apakah terdapat pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley?


(26)

6

1.3 Tujuan

Tujuan Umum:

Untuk mengetahui pengaruh pemeberian herbisida golongan paraquat diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

Tujuan Khusus:

1. Untuk mengetahui pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi glomerulus ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi tubulus ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

1.4 Manfaat

Manfaat Teoritis:

Penelitian ini dapat digunakan untuk pengembangan Ilmu Patologi Anatomi dan agromedicine khususnya di bidang Toksikologi.

Manfaat Praktis: 1. Bagi Peneliti

Penelitian ini sebagai wujud pengaplikasian disiplin ilmu yang telah dipelajari sehingga dapat mengembangkan wawasan keilmuan peneliti.


(27)

7

2. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh paparan herbisida paraquat diklorida terhadap ginjal.

3. Bagi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

Meningkatkan iklim penelitian dibidang agromedicine sehingga dapat menunjang pencapaian visi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung sebagai Fakultas Kedokteran Sepuluh Terbaik di Indonesia pada Tahun 2025 dengan kekhususan agromedicine.

4. Bagi Peneliti Lain

Dapat dijadikan bahan acuan untuk dilakukannya penelitian yang serupa yang berkaitan dengan herbisida paraquat diklorida.\

1.5 Kerangka Teori

Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan (Riadi, 2011). Herbisida paraquat diklorida merupakan herbisida yang dapat diaplikasikan pada saat purna tumbuh. Herbisida ini merupakan herbisida kontak yang dapat mematikan jaringan tumbuhan yang terkontaminasi dan beracun pada sel-sel tumbuhan yang hidup (Sarbino & Syahputra, 2012).

Paraquat merupakan suatu herbisida golongan bipyridylium. Komposisi kimia dari paraquat adalah C12H14N2 (karbon, hidrogen dan nitrogen). Paraquat

merupakan zat yang sangat toksik dan dapat memasuki tubuh dengan beberapa cara, terutama dengan cara tertelan tiba-tiba, atau melalui kulit yang


(28)

8

rusak, mungkin juga melalui inhalasi. Beribu kematian muncul karena menelan untuk bunuh diri atau kontak kulit dengan paraquat biasanya karena pekerjaan (Indika & Buckley, 2011).

Paraquat menginduksi toksisitas dikarenakan kemampuannya untuk mempengaruhi siklus redoks dan membentuk ROS. Paraquat dimetabolisme oleh beberapa sistem enzim seperti NADPH-Cytochrome p450 reductase, Xantin oksidase, NADH dan ubiquinone oxireductase serta nitric oxide synthase. Metabolisme paraquat melalui sistem enzim ini menyebabkan terbentuknya paraquat mono-cation radical (PQ+) di dalam sel. PQ2+ secara cepat di reoksidasi menjadi PQ2+ dan proses ini mencetuskan terbentuknya superoxide (O2) yang menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap lemak,

protein dan DNA (Indika & Buckley, 2011).

Paraquat akan menyebabkan peningkatan reaksi oksidasi di dalam tubuh dengan cara dimetabolisme oleh berbagai enzim seperti NADPH sehingga akan meningkatkan ROS (Haliwell & Whiteman, 2004). Paparan herbisida golongan paraquat diklorida berpengaruh ke organ-organ tubuh seperti paru-paru,jantung, ginjal, hati, otot, limpa, kulit, mata dan otak. Pada paru-paru akan terjadi edema paru akut, yang akan menyebabkan asfiksia dan anoxia jaringan. Pada kulit, paraquat menyebabkan kerusakan kulit lokal termasuk dermatitis kontak yang meimbulkan eritema, abrasi dan ulserasi paraquat (Ginting et al., 2012).


(29)

9

Traktus gastrointestinal merupakan tempat awal kerusakan yang ditandai mukosa edema, ulserasi pada mulut, faring, esofagus dan lambung. Paraquat juga menyebabkan kerusakan hepatoseluler, peningkatan bilirubin dan enzim hepatoseluler. Pada organ ginjal didapatkan kerusakan pada glomerulus tubulus ginjal. Gangguan fungsi ginjal memainkan peranan penting untuk menentukan outcome dari keracunan paraquat (Ginting et al., 2012). Kerangka teori pada penenilitian ini, tersaji pada gambar 1.


(30)

10

Keterangan

: Bagian yang diteliti

Gambar 1. Kerangka Teori Herbisida golongan

paraquat dikorida

Kerusakan jaringan Stres oksidatif

Radikal bebas (Reactive Oxygen Species)

Superoxide, hidrogen peroksida dan hidroksil radikal

Cedera sel Kulit Traktus digestivus Ginjal Hati Paru-paru Kerusakan pada glomerulus dan tubulus ginjal

Dimetabolisme oleh enzim NADPH-Cytochrome p450 reductase, Xantin oksidase,

ubiquinone oxireductase, nitric oxide synthase.

Karbon, Hidrogen dan Nitrogen

Paraquat mono-cation radical (PQ+) dalam sel

PQ2+ Di reoksidasi Edema paru akut, asfiksia dan anoxia jaringan Eritema, abrasi, ulserasi Mukosaedema, ulserasi pada mulut, faring, esofagus dan lambung Kerusakan hepatoseluler, peningkatan bilirubin


(31)

11

1.6 Kerangka Konsep

Kerangka konsep pada penelitian ini, tersaji pada gambar 2.

Gambar 2. Kerangka konsep

1.7 Hipotesis

Terdapat pengaruh pemberian herbisida paraquat diklorida per−oral terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

Perubahan gambaran

glomerulus berupa infiltrat sel radang,

edema spatium

Bowman dan nekrosis. Herbisida paraquat

dikloridadosis per

-oral 50 mg/kgBB Herbisida paraquat

dikloridadosis

per-oral 25 mg/kgBB

Herbisida paraquat

dikloridadosis per

-oral 100 mg/kgBB Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 Kelompok 5 Herbisida paraquat

dikloridadosis per

-oral 200 mg/kgBB

Perubahan gambaran tubulus ginjal berupa infiltrat sel radang, pembengkakan sel epitel tubulus dan nekrosis.


(32)

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Herbisida Golongan Paraquat Diklorida

2.1.1 Deskripsi Herbisida Golongan Paraquat Diklorida

Herbisida merupakan suatu bahan atau senyawa kimia yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan tumbuhan. Herbisida ini dapat mempengaruhi proses pembelahan sel, perkembangan jaringan, pembentukan klorofil, fotosintesis, respirasi, metabolisme nitrogen, aktivitas enzim dan sebagainya yang sangat diperlukan tumbuhan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Herbisida berasal dari metabolit, hasil ekstraksi, atau bagian dari suatu organisme. Di samping itu herbisida bersifat racun terhadap gulma atau tumbuhan penganggu juga terhadap tanaman. Herbisida yang diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian dan jenis tumbuhan. Pada dosis yang lebih rendah, herbisida akan membunuh tumbuhan dan tidak merusak tumbuhan yang lainnya (Riadi, 2011).

Herbisida paraquat diklorida merupakan herbisida yang dapat diaplikasikan pada saat purna tumbuh. Herbisida ini merupakan herbisida kontak yang dapat mematikan jaringan tumbuhan yang terkontaminasi dan beracun pada sel-sel tumbuhan yang hidup. Apabila


(33)

13

daun tanaman terkena herbisida, daun akan segera layu dan akhirnya seperti terbakar. Keuntungan penggunaan herbisida kontak adalah gulma cepat mati sehingga dapat segera ditanami (Sarbino & Syahputra, 2012).

Penetrasi paraquat terjadi melalui daun. Aplikasi paraquat akan lebih efektif apabila ada sinar matahari karena reaksi keduanya akan menghasilkan hidrogen peroksida yang merusak membran sel. Cara kerja paraquat yaitu menghambat proses dalam fotosistem I, yaitu mengikat elektron bebas hasil fotosistem dan mengubahnya menjadi elektron radikal bebas. Radikal bebas yang terbentuk akan diikat oleh oksigen membentuk superoksida yang bersifat sangat aktif. Superoksida tersebut mudah bereaksi dengan komponen asam lemak tak jenuh dari membran sel, sehingga akan menyebabkan rusaknya membran sel dan jaringan tanaman (Pusat Informasi Paraquat, 2006).

2.1.2 Penggunaan Herbisida Golongan Paraquat Diklorida

Pada era peningkatan mekanisasi dan program budidaya intensif ini, peran penggunaan herbisida dalam upaya meningkatkan hasil dan mengurangi biaya produksi semakin besar. Seperti kita ketahui bersama bahwa peran herbisida kini sangat penting dalam mengurangi jumlah gulma yang mengganggu tanaman utama. Penggunaan herbisida dan jenis pestisida lainnya telah memberikan kontribusi yang sangat penting terhadap peningkatan produktivitas pertanian (Riadi, 2011).


(34)

14

Penggunaan herbisida untuk mendukung produktivitas pertanian dunia masih dominan yaitu 49,6% dibandingkan dengan jenis pestisida lainnya. Tiga bahan aktif herbisida paling luas digunakan adalah glifosat, paraquat dichloride, dan dichloro phenoxyacetic acid (Supriadi, 2011).

2.1.3 Kandungan Kimia Herbisida Golongan Paraquat Diklorida

Paraquat merupakan suatu herbisida golongan bipyridylium. Komposisi kimia dari paraquat adalah C12H14N2 (karbon, hidrogen dan nitrogen).

Paraquat merupakan herbisida yang paling umum digunakan dari golongan ini. Angka kematian akibat toksisitas dari paraquat sangat tinggi dikarenakan toksisitasnya secara langsung dan belum adanya pengobatan yang efektif (Indika & Buckley, 2011).

Menurut WHO's Classification of Pesticides by Hazard, bahan aktif paraquat termasuk golongan II dimana absorbsi paraquat mempunyai efek serius dalam jangka panjang. Dengan dosis rendah paraquat relatif berbahaya dan fatal jika termakan atau mengenai kulit secara langsung (WHO, 2009). Selain itu herbisida paraquat dapat mempengaruhi kesehatan manusia lewat tanah dan air yang tercemar sehingga produk makanan manusia ikut tercemar paraquat (Purnawati, 2008).


(35)

15

2.1.4 Mekanisme Toksisitas Herbisida Golongan Paraquat Diklorida Herbisida dapat menimbulkan efek pada hama khususnya tanaman pengganggu, namun herbisida dapat mempengaruhi mekanisme yang penting bagi bentuk kehidupan yang lebih tinggi seperti manusia dan hewan. Dalam dosis kecil, herbisida tidak berbahaya bagi manusia dan hewan karena ukurannya yang jauh lebih besar dari hama tanaman pengganggu, namun apabila dosis kecil tersebut terakumulasi dalam jumlah tertentu akan membahayakan manusia dan hewan. Kontak dengan herbisida akan mengakibatkan efek bakar yang langsung dan dapat terlihat pada penggunaan kadar tinggi karena kandungan asam sulfat 70%, besi sulfat 30%, tembaga sulfat 40%, dan paraquat. Keracunan herbisida menyebabkan rusaknya lapisan selaput lendir saluran pernafasan, dehidrasi, rasa terbakar di saluran pencernaan, terganggunya sistem pernafasan yang akhirnya menyebabkan korban kejang, muntah, koma akibat kekurangan oksigen hingga kematian mendadak jika tidak segera mendapatkan pertolongan (Riadi, 2011).

Faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian keracunan pestisida yaitu umur, jenis kelamin, pengetahuan, pengalaman, keterampilan, pendidikan, pemakaian alat pelindung diri, status gizi dan praktek penanganan pestisida. Sedangkan fase kritis yang harus diperhatikan adalah penyimpanan pestisida, pencampuran pestisida, penggunaan pestisida dan pasca penggunaan pestisida (Achmadi, 2005). Terdapat 3 faktor yang menyebabkan keracunan pestisida pada petani yaitu luas


(36)

16

lahan, banyak pestisida yang digunakan dan frekuensi penyemprotan (Saftarina, 2011)

Paraquat merupakan zat yang sangat toksik dan dapat memasuki tubuh dengan beberapa cara, terutama dengan cara tertelan tiba-tiba, atau melalui kulit yang rusak, mungkin juga melalui inhalasi. Beribu kematian dijumpai karena menelan paraquat atau kontak dengan kulit biasanya karena pekerjaan. Paraquat sangat bersifat korosif terhadap kulit dan sangat mudah terabsorbsi kedalam tubuh. Seorang petani meninggal hanya dalam 3,5 jam setelah menyemprot paraquat yang sudah diencerkan dengan luka pada tangan dan kaki yang tidak tertutup. Lebih dari ribuan para pekerja yang pernah terpapar paraquat baik akut maupun kronik, terkena efek paraquat tersebut (Indika & Buckley, 2011).

Di negara berkembang, paraquat sering digunakan dengan sembarangan dan tidak memperhatikan label peringatan sehingga menyebabkan angka keterpaparan yang tinggi. Hanya sedikit sendok teh paraquat, maka dapat menyebabkan kematian. Kematian dikarenakan kegagalan pernafasan dan mungkin bisa dijumpai dalam beberapa hari setelah keracunan bahkan sampai beberapa bulan kemudian (Indika & Buckley, 2011).


(37)

17

Lama reaksi reaksi racun ditentukan dari kondisi fisik korban. Korban dengan kondisi fisik lemah, kurang gizi, perut kosong atau menderita tukak lambung akan cepat mengalami muntah–muntah dan mulut berbuih. Jika terindikasi keracunan, secepatnya korban diberikan antidotum seperti norit, putih telur atau susu. Tujuan pemberian antidotum agar dinding usus tidak rusak dan racun tidak diserap oleh darah. Namun cara yang paling penting adalah agar korban muntah sehingga jumlah herbisida yang masuk berkurang (Riadi, 2011).

Paraquat menginduksi toksisitas dikarenakan kemampuannya untuk mempengaruhi siklus redoks dan membentuk Reactive Oxygen Species (ROS). Paraquat dimetabolisme oleh beberapa sistem enzim seperti NADPH-Cytochrome p450 reductase, Xantin oksidase, NADH, dan ubiquinone oxireductase serta nitric oxide synthase. Metabolisme paraquat melalui sistem enzim ini menyebabkan terbentuknya paraquat mono-cation radical (PQ+) di dalam sel. PQ+ secara cepat di reoksidasi menjadi PQ2+ dan proses ini mencetuskan terbentuknya superoxide (O2). Superoxide bertindak sebagai reseptor elektron dan NADP

bertindak sebagai donor elektron pada reaksi ini. Reaksi ini lebih jauh membentuk Hydroxyl free radical (HO). Paraquat secara langsung atau tidak langsung menginduksi nitric oxide synthase menghasilkan Nitric Oxide (NO). NO berikatan dengan O2 membentuk peroxinitrite


(38)

18

oksigen reaktif dan nitrite menyebabkan toksisitas pada kebanyakan organ (Indika & Buckley, 2011).

Paraquat merupakan bahan reduksi alternatif dan reoksidasi berulang akan menyebabkan terbentuknya oksigen free radicals, seperti superoksida, hidrogen peroksida, dan hidroksil radikal, yang menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap lemak, protein dan DNA. Siklus redoks juga menyebabkan berkurangnya jumlah NADPH dan Thiol intraseluler (Indika & Buckley, 2011). Paraquat akan menyebabkan peningkatan reaksi oksidasi di dalam tubuh dengan cara dimetabolisme oleh berbagai enzim seperti Nikotinamideadenine dinukleotide phosphate oxidase (NADPH) sehingga akan meningkatkan ROS (Haliwell & Whiteman, 2004).

Paparan herbisida golongan paraquat diklorida berpengaruh ke organ-organ tubuh seperti paru-paru, jantung, ginjal, hati, otot, limpa, kulit, mata dan otak. Paru-paru merupakan target primer dari toksisitas paraquat baik akut dan kronik. Pada paru-paru akan terjadi edema paru akut, yang akan menyebabkan gangguan pertukaran gas sehingga proliferasi jaringan ikat fibrosa semakin progresif di alveoli dan menyebabkan asfiksia dan anoxia jaringan. Pada kulit, paraquat menyebabkan kerusakan kulit lokal termasuk dermatitis kontak yang menimbulkan eritema, abrasi dan ulserasi (Ginting et al., 2012).


(39)

19

Traktus gastrointestinal merupakan tempat awal kerusakan yang ditandai mukosa edema, ulserasi pada mulut, faring, esofagus dan lambung. Paraquat juga menyebabkan kerusakan hepatoseluler, peningkatan bilirubin dan enzim hepatoseluler. Otak merupakan organ yang sangat vital, karena di otak terdapat sistem saraf pusat yang apabila terjadi gangguan pada otak bisa memicu munculnya berbagai penyakit misalnya, alzheimer dan sindrom parkinson. Pada organ ginjal didapatkan kerusakan pada tubulus ginjal. Gangguan fungsi ginjal memainkan peranan penting untuk menentukan outcome dari keracunan paraquat (Ginting et al., 2012).

Setiap obat atau racun yang masuk dalam tubuh akan mengalami absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi. Ginjal merupakan organ ekskresi utama. Ekskresi di ginjal dapat berefek samping baik karena toksik, obat atau konsentrasi tinggi zat yang potensial dapat merusak, menyebabkan nekrosis tubuler akut (NTA), nefritis intersisial akibat obat dan glomerulonefritis membranosa (Dharma, 2006).

Pemberian formulasi pestisida menyebabkan perubahan histopatologi pada ginjal baik pada glomerulus, tubulus maupun interstisiumnya. Perubahan yang ditemukan pada glomerulus adalah edema ruang Bowman. Pada tubulus terjadi degenerasi, apoptosis, endapan protein pada lumen dan dilatasi lumen tubulus. Kongesti adalah perubahan yang ditemukan pada intersisium (Juhryyah, 2008).


(40)

20

2.2 Ginjal

2.2.1 Anatomi Ginjal

Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen di daerah lumbal, di sebelah kanan dan kiri tulang belakang dibungkus lapisan lemak, dibelakang peritonium (Price & Wilson, 2012). Kedua ginjal terletak retroperitoneal pada dinding abdomen, masing-masing disisi dekstra dan sinistra columna vertebralis setinggi vertebra T12 sampai L3. Ginjal dekstra terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal sinistra karena besarnya lobus hepatis dekstra. Masing-masing ginjal memiliki facies anterior dan facies poserior, margo medialis dan margo lateralis, extremitas superior dan extremitas inferior (Moore, 2002).

Pada orang dewasa, panjang ginjal adalah sekitar 12 cm sampai 13 cm, lebarnya 6 cm, tebalnya 2,5 cm dan beratnya sekitar 150 gram. Ukurannya tidak berbeda menurut bentuk dan ukuran tubuh. (Price & Wilson, 2012). Sisi medial ginjal berbentuk cekung dan sisi lateralnya cembung. Sisi cekung medial ginjal atau disebut hilum merupakan tempat masuknya saraf, keluar masuknya pembuluh darah dan pembuluh limfa, serta keluarnya ureter (Junqueira & Carneiro, 2007).

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan melalui vena renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak


(41)

21

mempunyai anastomosis dengan cabang–cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya iskemia atau nekrosis pada daerah yang dilayaninya (Purnomo, 2012).

Aliran darah di dalam kedua ginjal seorang dewasa berjumlah 1,2−1,3L darah permenit. Hal ini berarti bahwa seluruh darah yang beredar dalam

tubuh mengalir melalui ginjal setiap 4−5 menit. Glomerulus terdiri atas

kapiler arteri dengan tekanan hidrostastik lebih kurang 45 mmHg yang lebih tinggi dari tekanan hidrostatik kapiler lain di tubuh (Junqueira & Carneiro, 2007).

2.2.2 Histologi Ginjal

Unit fungsional setiap ginjal yaitu tubulus uriniferus mikroskopik. Tubulus ini terdiri dari nefron dan duktus koligentes yang menampung curahan dari nefron. Jutaan nefron terdapat di setiap korteks ginjal. selanjutnya, nefron terbagi lagi menjadi dua komponen yaitu korpuskulum ginjal dan tubulus ginjal. Korpuskulum ginjal terdiri dari suatu kumpulan yang disebut glomerulus yang dikelilingi oleh dua lapis sel epitel, yaitu kapsul glomerulus (Bowman). Ada dua lapisan dalam korpuskulum ginjal yaitu lapisan dalam atau stratum viseral yang teridiri dari sel epitel khusus disebut podosit dan lapisan luar atau stratum parietal terdiri dari epitel gepeng selapis (Eroschenko, 2010)


(42)

22

Korpuskulum ginjal menyaring darah melalui kapiler-kapiler di glomerulus dan filtrat masuk ke stratum kapsulare yang terletak diantara stratum parietal dan stratum viseral. Filtrasi darah di korpuskulum ginjal difasilitasi oleh endotel glomerulus. Endotel di kapiler glomerulus ini berfenestra dan sangat permeabel terhadap banyak substansi di dalam darah, kecuali elemen darah yang terbentuk atau protein plasma. Oleh karena itu, filtrat glomerulus yang masuk ke spatium kapsulare bukanlah urin, melainkan ultrafiltrat yang mirip dengan plasma, kecuali tidak mengandung protein (Eroschenko, 2010). Secara histopatologi, gambaran glomerulus ginjal normal manusia terlihat pada gambar 3.

Gambar 3. Histologi glomerulus ginjal normal manusia (Sumber: Kuehnel, 2003).

Keterangan: 1. Kapsular Bowman, 2. Spatium Bowman, 3. Arteriol

glomerulus aferen, 4. Tubulus distal, 5. Makula densa, 6. Polus urinarius.

Pada kutub urinarius di korpuskel renalis, epitel gepeng di lapisan parietal kapsula bowman berhubungan langsung dengan epitel tubulus kontortus proksimal yang berbentuk kuboid atau silindris rendah.

1 3 2

5 4


(43)

23

Tubulus ini lebih panjang dari tubulus kontortus distal dan karenanya tampak lebih banyak di dekat korpuskel ginjal dalam korteks ginjal. Sel−sel epitel kuboid ini memiliki sitoplasma asidofilik yang disebabkan oleh adanya mitokondria panjang dalam jumlah besar. Apeks sel memiliki banyak mikrovili dengan panjang kira-kira 1 µm yang membentuk suatu brush border (Junquiera & Carneiro, 2007). Secara histopatologi, gambaran tubulus ginjal normal manusia terlihat pada gambar 4.

Gambar 4. Histologi tubulus ginjal normal manusia (Sumber: Kuehnel, 2003).

Keterangan: 1. Tubulus proximal, 2. Tubulus distal, 3. Pembuluh darah

Filtrat glomerulus keluar dari korpuskulum ginjal di polus urinarius dan mengalir melalui berbagai bagian nefron sebelum sampai tubulus ginjal yaitu tubulus koligens dan duktus koligens. Filtrat glomerulus mula-mula masuk ke tubulus ginjal, yang terbentang dari kapsul glomerulus sampai tubulus koligens. Tubulus ginjal ini memiliki beberapa bagian histologik dan fungsional yang berbeda. Bagian tubulus yang berawal

3

1

3 2


(44)

24

di korpuskulum ginjal sangat berkelok atau melengkung sehingga disebut tubulus kontortus proksimal (Eroschenko, 2010).

Tubulus kontortus proksimal mengabsorpsi seluruh glukosa dan asam amino dan lebih kurang 85% natrium klorida dan air dari filrat, selain fosfat dan kalsium. Selain aktivitas tersebut, tubulus kontortus proksimal menyekresikan kreatinin dan subsatansi asing bagi organisme, seperti asam para aminohippurat dan penisilin, dari plasma interstitial ke dalam filtrat. Hal tersebut merupakan suatu proses aktif yang disebut sekresi tubulus (Junquiera & Carneiro, 2007).

Sel epitel tubulus proksimal sangat peka terhadap anoksia dan rentan terhadap toksik. Banyak faktor yang memudahkan tubulus mengalami toksik, seperti permukaan bermuatan listrik yang luas untuk reabsorbsi tubulus, sistem transport aktif untuk ion dan asam organik serta kemampuan melakukan pemekatan secara efektif. Iskemia menyebabkan banyak perubahan struktural di sel epitel. Hilangnya polaritas sel tampaknya merupakan kejadian awal yang penting secara fungsional atau reversibel (Robbins et al., 2011).

Tubulus kontortus distal tidak memiliki brush border, tidak ada kanalikuli apikal, dan ukuran sel yang lebih kecil. Tubulus ini mengadakan kontak dengan kutub vaskular di korpuskel ginjal yang berasal dari induk nefronnya. Pada tempat kontak ini, tubulus distal


(45)

25

mengalami modifikasi, seperti halnya dengan arteriol aferennya. Di daerah jukstaglomerulus ini, sel-sel tubulus kontortus distal biasanya menjadi silindris dan intinya berhimpitan. Kebanyakan selnya memiliki kompleks Golgi di bagian basal. Dinding segmen tubulus distal yang termodifikasi ini, yang tampak lebih gelap pada sediaan mikroskopik karena rapatnya inti, disebut makula densa (Junqueira & Carneiro, 2007).

Fungsi utama aparatus jukstaglomerulus adalah mempertahankan tekanan darah yang sesuai di ginjal untuk filtrasi glomerulus. Sel di aparatus ini bekerja sebagai baroreseptor dan kemoreseptor. Sel jukstaglomerulus memantau perubahan tekanan darah sistemik dengan berespon terhadap peregangan dinding arteriol aferen. Sel-sel makula densa peka terhadap perubahan konsentrasi natrium klorida. Penurunan tekanan darah menyebabkan jumlah filtrat glomerulus berkurang dan akibatnya, konsentrasi ion natrium di filtrat berkurang sewaktu filtrat melewati makula densa di tubulus kontortus distal. Penurunan tekanan darah sistemik atau penurunan konsentrasi natrium dalam filtrat merangsang sel jukstaglomerulus untuk melepaskan enzim renin ke dalam aliran darah (Eroschenko, 2010).

Urin mengalir dari tubulus kontortus distal ke tubulus koligentes, yang saling bergabung membentuk duktus koligentes yang lebih besar dan lebih lurus. Tubulus koligentes yang lebih kecil dilapisi oleh epitel


(46)

26

kuboid. Di sepanjang perjalanannya, tubulus dan duktus koligentes terdiri atas sel–sel yang tampak pucat dengan pulasan biasa. Epitel duktus koligentes responsif terhadap vasopresin arginin atau hormon antidiuretik, yang disekresi hipofisis posterior. Jika masukan air terbatas, hormon antidiuretik disekresi dan epitel duktus koligentes mudah dilalui air yang diabsorbsi dari filtrat glomerulus. Air berpindah ke kapiler darah sehingga air dipertahankan dalam tubuh (Junquiera & Carneiro, 2007).

2.2.3 Fisiologi Ginjal

Ginjal melakukan berbagai fungsi yang ditujukan untuk mempertahankan homeostasis. Ginjal bekerja sama dengan masukan hormonal dan saraf yang mengrontrol fungsinya. Ginjal merupakan organ yang terutama berperan dalam mempertahankan stabilitas volume, komposisi elektrolit dan osmolaritas/konsentrasi zat terlarut cairan ekstra seluler. Dengan menyesuaikan jumlah air dan berbagai konstituen plasma yang dipertahankan ditubuh atau dikeluarkan di urin, ginjal dapat mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit dalam kisaran yang sangat sempit yang memungkinkan kehidupan, meskipun pemasukan dan pengeluaran konstituen−konstituen ini melalui saluran yang bervariasi (Sherwood, 2011).


(47)

27

Price & Wilson (2012) menjelaskan secara singkat fungsi utama ginjal yaitu:

Fungsi Eksresi:

1) Mempertahankan osmolalitas plasma sekitar 285 mili Osmol dengan mengubah-ubah ekresi air.

2) Mempertahankan volume ekstracellular fluid (ECF) dan tekanan darah dengan mengubah-ubah ekresi natrium.

3) Mempertahankan konsentrasi plasma masing-masing elektrolit individu dalam rentang normal.

4) Mempertahankan derajat keasaman atau pH plasma sekitar 7,4 dengan mengeluarkan kelebihan hidrogen dan membentuk kembali karbonat.

5) Mengeksresikan produk akhir nitrogen dari metabolisme protein terutama urea, asam urat dan kreatinin.

6) Bekerja sebagai jalur ekskretori untuk sebagian besar obat.

Fungsi non eksresi:

Menyintesis dan mengaktifkan hormon :

1) Renin: penting dalam pengaturan tekanan darah

2) Eritropoietin: merangsang produksi sel darah merah oleh sumsum tulang

3) 1,25-dihidroksivitamin D3 sebagai hidroksilasi akhir vitamin D3 menjadi bentuk yang paling kuat.


(48)

28

4) Prostaglandin: sebagian besar adalah vasodilator bekerja secara lokal dan melindungi dari kerusakan iskemik ginjal.

5) Degradasi hormon polipeptida

6) Insulin, glukagon, parathormon, prolaktin, hormon pertumbuhan, ADH dan hormon gastrointestinal yaitu gastrin, polipetida intestinal vasoaktif.

Ginjal adalah organ utama untuk membuang produk sisa metabolisme yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh. Produk-produk ini meliputi urea dari sisa metabolisme asam amino, kreatinin asam urat dari asam nukleat, produk akhir dari pemecahan hemoglobin yaitu bilirubin. Gangguan pada fungsi ginjal dapat diketahui melalui pengukuran beberapa bahan-bahan hasil metabolisme diantaranya adalah ureum dan kreatinin (Guyton & Hall, 2008).

2.2.4 Patologi Ginjal

Ginjal menerima darah sebesar 20%−25% dari curah jantung melalui

arteri renalis. Tingginya aliran darah yang menuju ginjal inilah yang menyebabkan berbagai macam obat, bahan kimia, dan logam−logam berat dalam sirkulasi sistemik dikirim ke ginjal dalam jumlah yang besar. Zat-zat toksik ini akan terakumulasi di ginjal dan menyebabkan kerusakan bagi ginjal itu sendiri (Schnellman & Goldstein, 2001). Ginjal memiliki kemampuan untuk mengkonsentrasikan larutan dan substansi bahan kimia sehingga ginjal sangat rentan terhadap kerusakan


(49)

29

yang disebabkan bahan-bahan kimia berbahaya yang ada di dalam sirkulasi darah (Susianti, 2013). Pada keadaan normal glomerulus tidak dapat dilalui oleh protein yang bermolekul besar, tetapi pada keadaan patologis protein tersebut dapat lolos (Junquiera & Carneiro, 2007).

Setiap ginjal memiliki kira-kira satu sampai satu setengah juta nefron. Bila terjadi kerusakan pada ginjal tersebut, maka akan terjadi gangguan eksresi ginjal yang menyebabkan perubahan fungsi dan perubahan struktur yang meliputi reaksi inflamasi, degenerasi, nekrosis dan fibrosis. Tubulus proksimal yang rusak akibat iskemia atau nefrotoksik, gagal untuk menyerap jumlah natrium dan air yang terfiltrasi. Akibatnya makula densa mendeteksi adanya kadar natrium di tubulus distal dan merangsang peningkatan produksi renin dari sel−sel jukstaglomerolus. Terjadi aktivasi angiotensin II yang menyebabkan vasokonstriksi arteriol afferen, mengakibatkan penurunan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus (Dharma, 2006).

2.3 Radikal Bebas dan Stres Oksidatif 2.3.1 Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan spesies kimiawi dengan satu elektron tak berpasangan di orbital luar. Keadaan kimiawi tersebut sangat tidak stabil dan mudah bereaksi dengan zat kimia anorganik atau organik, saat dibentuk dalam sel, radikal bebas segera menyerang dan mendegradasi asam nukleat serta berbagai molekul membran. Selain


(50)

30

itu, radikal bebas menginisiasi reaksi autokatalitik. Sebaliknya, molekul yang bereaksi dengan radikal bebas diubah menjadi radikal bebas, semakin memperbanyak rantai kerusakan (Robbins et al., 2011).

Tiga reaksi yang paling relevan dengan jejas sel yang diperantarai radikal bebas:

1) Peroksidasi membran lipid

Ikatan ganda pada lemak tak jenuh membran mudah terkena serangan radikal bebas berasal dari oksigen. Interaksi radikal lemak menghasilkan peroksida yang tidak stabil dan reaktif sehingga terjadi reaksi rantai autokatalitik.

2) Fragmentasi DNA

Reaksi radikal bebas dengan timin pada DNA mitokondria dan nuklear menimbulkan kerusakan untai tunggal. Kerusakan DNA tersebut telah memberikan implikasi pada pembunuhan sel dan perubahan sel menjadi ganas.

3) Ikatan silang protein

Radikal bebas mencetuskan ikatan silang protein diperantarai sulfhidril, menyebabkan peningkatan kecepatan degradasi atau hilangnya aktivitas enzimatik. Reaksi radikal bebas juga bisa secara langsung menyebabkan fragmentasi polipeptida (Robbins et al, 2011).


(51)

31

Reactive Oxygen Species adalah senyawa yang mengandung O2,

termasuk ke dalam radikal bebas yang sangat reaktif atau senyawa yang siap dikonversi menjadi radikal bebas O2 dalam sel. Radikal hidroksil

mungkin adalah ROS yang paling poten. ROS terbentuk di sel secara

konstan, sekitar 3%−5% O2 yang dikonsumsi dikonversi menjadi

radikal bebas O2. Sumber utama produksi ROS dalam sel adalah

mitokondria karena sekitar 80%−90% O2 yang masuk digunakan oleh

mitokondria untuk membentuk ROS (Wu & Cederbaum, 2004).

Reactive Oxygen Species terbentuk di hati dan akan masuk kedalam sirkulasi darah sistemik yang dapat merusak struktur sel-sel jaringan yaitu jaringan otak, paru-paru, jantung dan ginjal. ROS yang dihasilkan akan terakumulasi dalam tubuh dan bersifat sebagai radikal bebas dan dapat menimbulkan kerusakan sel, termasuk sel ginjal (Muhartono et al., 2012)

Selain ROS yang terbentuk secara alami dalam tubuh, manusia secara konstan terpapar radikal bebas dari lingkungan dalam bentuk radiasi. Sinar ultra violet, asap rokok, pestisida, dan beberapa obat kanker adalah contoh radikal bebas dari lingkungan (Wu & Cederbaum, 2004). Proses pembentukan radikal bebas terlihat pada gambar 5.


(52)

32

Gambar 5. Pembentukan radikal bebas (Sumber: Robbins et al., 2011)

2.3.2 Stres Oksidatif

Keadaan dimana terjadi gangguan keseimbangan antara produksi ROS dan pembuangan ROS disebut stres oksidatif (Wu & Cederbaum, 2004). Pada kondisi stres oksidatif, radikal bebas akan menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid membran sel dan merusak organisasi membran sel. Membran sel ini sangat penting bagi fungsi reseptor dan fungsi enzim, sehingga terjadinya peroksidasi lipid membran sel oleh radikal bebas dapat mengakibatkan hilangnya fungsi seluler secara total (Evans, 2000).


(53)

33

2.4 Tikus Putih (Rattus norvegicus) Galur Sprague dawley 2.4.1 Klasifikasi Tikus Putih

Kingdom : Animalia

Filum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Rodentai

Subordo : Sciurognathi Familia : Muridae

Genus : Rattus

Species : Rattus norvegicus (Setiorini, 2012).

2.4.2 Jenis Tikus Putih

Tikus putih (Rattus norvegicus) merupakan hewan pengerat dan sering digunakan sebagai hewan percobaan atau digunakan untuk penelitian, dikarenakan tikus merupakan hewan yang mewakili dari kelas mamalia, sehingga kelengkapan organ, kebutuhan nutrisi, metabolisme biokimianya, sistem reproduksi, pernafasan, peredaran darah dan ekskresi menyerupai manusia. Tikus yang digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague dawley berjenis kelamin jantan berumur kurang lebih 3 bulan. Tikus Sprague dawley dengan jenis kelamin betina tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian (Kesenja, 2005).


(54)

34

Tikus putih (Rattus norvegicus) juga memiliki beberapa sifat menguntungkan seperti berkembang biak, mudah dipelihara dalam jumlah banyak, lebih tenang dan ukurannya lebih besar daripada mencit. Tikus putih juga memiliki ciri−ciri yaitu albino, kepala kecil dan ekor lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhan cepat, tempramen baik, kemampuan laktasinya tinggi dan tahan terhadap perlakuan. Keuntungan utama tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley adalah ketenangan dan kemudahan penanganannya (Kesenja, 2005).

2.4.3 Biologi Tikus Putih

Di Indonesia hewan percobaan ini sering dinamakan tikus besar. Dibandingkan dengan tikus liar, tikus laboratorium lebih cepat menjadi dewasa dan umumnya lebih mudah berkembang biak. Berat badan tikus laboratorium lebih ringan dibandingkan dengan berat tikus liar. Biasanya pada umur empat minggu beratnya 35−40 gram dan berat dewasa rata-rata 200−250 gram (FKH UGM, 2006).


(55)

35

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, yaitu untuk mempelajari suatu fenomena dalam korelasi sebab-akibat, dengan cara memberikan perlakuan pada subjek penelitian kemudian mempelajari efek perlakuan tersebut (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini menggunakan metode rancangan acak terkontrol dengan pola post test-only control group design. Sebanyak 25 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley berumur

8−10 minggu yang dipilih secara acak dan dibagi menjadi 5 kelompok, dengan pengulangan sebanyak 5 kali.

3.2 Tempat dan Waktu

Perlakuan hewan coba pada penelitian ini akan dilaksanakan selama bulan Oktober 2014 di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dan pembuatan serta pengamatan preparat dilaksanakan di Laboratorium Patologi Anatomi dan Histologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.


(56)

36

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley berumur 8−10 minggu yang diperoleh dari laboraturium Unit Kandang Hewan Laboratorium Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Sampel penelitian sebanyak 25 ekor tikus putih jantan yang dipilih secara acak yang dibagi menjadi 5 kelompok dengan pengulangan sebanyak 5 kali, sesuai dengan rumus Frederer.

Menurut Frederer (1967), rumus penentuan sampel untuk uji eksperimental adalah:

(t-1) (n-1)≥15

Dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Penelitian ini menggunakan 5 kelompok perlakuan sehingga perhitungan sampel menjadi:

(5-1)(n-1)≥15 4n-4≥15

4n≥19 n≥4,75

Jadi, sampel yang digunakan tiap kelompok percobaan sebanyak 5 ekor (n≥4,75) dan jumlah kelompok yang digunakan adalah 5 kelompok sehingga penelitian ini menggunakan 25 ekor tikus putih jantan dari populasi yang ada.


(57)

37

Kriteria Inklusi

a. Tikus putih galur Sprague dawley b. Berjenis kelamin jantan

c. Berat badan sekitar 100−150 gram d. Berusia sekitar kurang lebih 8–10 minggu e. Tingkah laku dan aktivitas normal

f. Tidak ada kelainan anatomi yang tampak

g. Tidak tampak penampakan rambut kusam, rontok, atau botak, dan bergerak aktif

Kriteria Eksklusi

a. Terdapat penampakan rambut kusam, rontok atau botak dan aktivitas kurang atau tidak aktif, keluarnya eksudat yang tidak normal dari mata, mulut, anus dan genital.

b. Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% setelah masa adaptasi di laboraturium.

c. Mati selama masa pemberian perlakuan.

3.4 Bahan dan Alat Penelitian 3.4.1 Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan ada 1 yakni herbisida paraquat diklorida dengan dosis yang diberikan secara berbeda disetiap kelompoknya, yakni pada kelompok 2 dengan dosis 25 mg/kgBB, pada kelompok 3 dengan dosis 50 mg/kgBB, pada kelompok 4 dengan


(58)

38

dosis 100 mg/kgBB dan pada kelompok 5 dengan dosis 200 mg/kgBB.

3.4.2 Bahan Kimia

Bahan yang digunakan untuk pembuatan preparat histopatologi dengan metode paraffin meliputi larutan formalin 10% untuk fiksasi, alkohol 70%, alkohol 96%, alkohol absolut, etanol, xilol, pewarna Hematoksilin dan Eosin, dan Entelan.

3.4.3 Perangkat Penelitian 3.4.3.1 Alat Penelitian

Alat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah neraca analitik Metler Toledo dengan tingkat ketelitian 0,01g, untuk menimbang berat tikus, spuit oral 1cc, 3cc dan 5cc, sonde lambung, minor set untuk membedah perut tikus (laparotomi), kandang tikus, mikroskop cahaya, gelas ukur dan pengaduk, serta kamera digital.

3.4.3.2 Alat Pembuat Preparat Histopatologi

Alat pembuat preparat histopatologi yang digunakan yaitu object glass, deck glass, tissue cassette, rotarymicrotome, oven, water bath, platening table, autochnicom processor, staining jar, staining rak, kertas saring, histoplast dan parafin dispenser.


(59)

39

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Prosedur Pemberian Dosis Herbisida Paraquat Diklorida

Dosis herbisida paraquat diklorida yang digunakan pada ekperimen ini adalah 25 mg/kgBB untuk kelompok 2, 50 mg/kgBB untuk kelompok 3, 100 mg/kgBB untuk kelompok 4, dan 200 mg/kgBB untuk kelompok 5. Kelompok 1 merupakan kelompok kontrol negatif sehingga tidak diberikan herbisida paraquat diklorida per-oral. Herbisida paraquat diklorida yang digunakan pada penelitian ini adalah herbisida dalam bentuk cair. Dosis herbisida cair yang digunakan adalah 276 SL atau sama dengan 276 mg/ml yang akan dilarutkan dengan air sesuai dengan dosis masing-masing kelompok sehingga mendapatkan jumlah sebanyak 1 ml. Berat rata-rata tikus putih jantan yang digunakan sebagai hewan coba pada eksperimen ini adalah 100 gram atau 0,1 kg sehingga didapatkan dosis herbisida paraquat diklorida untuk masing-masing tikus perkelompok adalah:


(60)

40

1) Dosis untuk tiap tikus kelompok 2

Dosis tikus (100 g) = 25 mg/kgBB x 0,1 kg = 2,5 mg/100gBB

Dosis herbisida dalam bentuk cairan 276 mg = 2,5 mg/100gBB

1 ml x

x = 2,5 mg/100gBB 276 mg

x = 0,009 ml dibulatkan menjadi 0,01 ml

Dosis herbisida paraquat diklorida yang diberikan per-oral adalah 0,01 ml herbisida paraquat diklorida + 0,99 ml air = 1 ml

2) Dosis untuk tiap tikus kelompok 3

Dosis tikus (100 g) = 50 mg/kgBB x 0,1 kg = 5 mg/100gBB

Dosis herbisida dalam bentuk cairan 276 mg = 5 mg/100gBB

1 ml x x = 5 mg/100gBB

276 mg

x = 0,0018 ml dibulatkan menjadi 0,02 ml

Dosis herbisida paraquat diklorida yang diberikan per-oral adalah 0,02 ml herbisida paraquat diklorida + 0,98 ml air = 1 ml


(61)

41

3) Dosis untuk tiap tikus kelompok 4

Dosis tikus (100 g) = 100 mg/kgBB x 0,1 kg = 10 mg/100gBB

Dosis herbisida dalam bentuk cairan 276 mg = 10 mg/100gBB

1 ml x

x = 10 mg/100gBB 276 mg

x = 0,036 ml dibulatkan menjadi 0,04 ml

Dosis herbisida paraquat diklorida yang diberikan per-oral adalah 0,04 ml herbisida paraquat diklorida + 0,96 ml air = 1 ml

4) Dosis untuk tiap tikus kelompok 5

Dosis tikus (200 g) = 200 mg/kgBB x 0,1 kg = 20 mg/100gBB

Dosis herbisida dalam bentuk cairan 276 mg = 20 mg/100gBB

1 ml x

x = 20 mg/100gBB 276 mg

x = 0,072 ml dibulatkan menjadi 0,07 ml

Dosis herbisida paraquat diklorida yang diberikan per-oral adalah 0,07 ml herbisida paraquat diklorida + 0,93 ml air = 1 ml


(62)

42

Jadi, dosis toksik minimal herbisida paraquat dikloridayang diberikan

per−oral pada penelitian ini adalah 0,01 ml.

3.5.2 Prosedur Penelitian

a. Tikus sebanyak 25 ekor, dikelompokkan dalam 5 kelompok. Kelompok 1 (K1) sebagai kontrol negatif, hanya diberi aquadest. Kelompok 2 (K2) sebagai kontrol patologis, diberikan herbisida paraquat diklorida dengan dosis 2,5 mg/100gBB, kemudian untuk kelompok 3 (K3), diberi herbisida paraquat diklorida dengan dosis 5 mg/100gBB, untuk kelompok 4 (K4) diberi dosis 10 mg/100gBB dan kelompok 5 (K5) diberi dosis 20 mg/100gBB. Pemberian herbisida paraquat diklorida diberikan secara per−oral selama 2 hari. b. Selanjutnya tikus dilakukan anastesi kemudian didekapitasi dan

dilakukan pembedahan.

c. Dilakukan laparotomi untuk mengambil organ ginjal, setelah itu bangkai tikus dimusnahkan dengan cara pembakaran ditempat khusus.

d. Pembuatan sediaan mikroskopis dengan metode paraffin dan pewarnaan Hematoksilin Eosin.

e. Sampel ginjal difiksasi dengan formalin 10%. f. Teknik pembuatan preparat :

1) Fixation

a) Memfiksasi spesimen berupa potongan organ ginjal yang telah dipilih segera dengan larutan pengawet formalin 10%.


(63)

43

b) Mencuci dengan air mengalir. 2) Trimming

a) Mengecilkan organ ±3 mm.

b) Memasukkan potongan organ ginjal tersebut ke dalam embedding cassette.

3) Dehidrasi

a) Menuntaskan air dengan meletakkan embedding cassette pada kertas tisu.

b) Berturut-turut melakukan perendaman organ ginjal dalam alkohol bertingkat 70%, 96%, alkohol absolut I, II, III masing-masing selama 1 jam.

c) Clearing

Untuk membersihkan sisa alkohol, dilakukan clearing dengan xilol I, II, III masing-masing selama 30 menit.

4) Impregnasi

Impregnasi dengan menggunakan paraffin I dan II masing-masing selama 1 jam di dalam inkubator dengan suhu 65,10C.

5) Embedding

a) Menuangkan paraffin cair dalam pan.

b) Memindahkan satu persatu dari embedding cassette ke dasar pan.

c) Melepaskan paraffin yang berisi potongan ginjal dari pan dengan memasukkan ke dalam suhu 460C beberapa saat.


(64)

44

d) Memotong paraffin sesuai dengan letak jaringan yang ada dengan menggunakan scalpel/pisau hangat.

e) Meletakkan pada balok kayu, ratakan pinggirnya dan buat ujungnya sedikit meruncing.

f) Memblok paraffin siap dipotong dengan mikrotom. 6) Cutting

a) Sebelum memotong, mendinginkan blok terlebih dahulu. b) Melakukan pemotongan kasar, dilanjutkan dengan pemotongan

halus dengan ketebalan 45 mikron.

c) Memilih lembaran potongan yang paling baik, mengapungkan pada air dan menghilangkan kerutannya dengan cara menekan salah satu sisi lembaran jaringan tersebut dengan ujung jarum dan sisi yang lain ditarik menggunakan kuas runcing.

d) Memindahkan lembaran jaringan ke dalam water bath selama beberapa detik sampai mengembang sempurna.

e) Dengan gerakan menyendok mengambil lembaran jaringan tersebut dengan slide bersih dan menempatkan di tengah atau pada sepertiga atas atau bawah, mencegah jangan sampai ada gelembung udara di bawah jaringan.

f) Mengeringkan slide. Jika sudah kering, slide dipanaskan untuk merekatkan jaringan dan sisa paraffin mencair sebelum pewarnaan.


(65)

45

Setelah jaringan melekat sempurna pada slide, memilih slide yang terbaik selanjutnya secara berurutan memasukkan ke dalam zat kimia di bawah ini dengan waktu sebagai berikut: Untuk pewarnaan, zat kimia yang pertama digunakan xilol I, II, III masing-masing selama 5 menit. Kedua, zat kimia yang digunakan Alkohol absolut I, II, III masing-masing selama 5 menit. Zat kimia yang ketiga aquadest selama 1 menit. Keempat, potongan organ di masukkan dalam zat warna Harris Hematoxylin selama 20 menit. Kemudian memasukkan potongan organ dalam Eosin selama 2 menit. Secara berurutan memasukkan potongan organ dalam alkohol 96% selama 2 menit, alkohol 96%, alkohol absolut III dan IV masing-masing selama 3 menit. Terakhir, memasukkan dalam xilol IV dan V masing-masing 5 menit.

7) Mounting

Setelah pewarnaan selesai menempatkan slide di atas kertas tisu pada tempat datar, menetesi dengan bahan mounting yaitu kanada balsam dan tutup dengan cover glass cegah jangan sampai terbentuk gelembung udara.

8) Pemeriksaan mikroskopis ginjal

Slide diperiksa dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 10x dan 40x. Pengamatan dilakukan oleh peneliti dan pembimbing ahli. Gambaran kerusakan ginjal yang dilihat adalah


(66)

46

bagian glomerulus dan tubulus ginjal. Skala kerusakan sel dihitung secara semikuantitatif dalam seluruh lapang pandang. a. Kerusakan glomerulus, dengan skor sebagai berikut:

0 = gambaran normal 1 = infitrasi sel radang 2 = edema spatium Bowman 3 = nekrosis

b. Kerusakan tubulus ginjal, dengan skor sebagai berikut: 0 = gambaran normal

1 = infitrasi sel radang

2 = pembengkakan sel epitel tubulus 3 = nekrosis

c. Kriteria Penilaian Derajat Kerusakan Ginjal

Penilaian derajat kerusakan ginjal diambil dari kerusakan tertinggi kemudian dihitung dari skor kerusakan glomerulus dan skor kerusakan tubulus ginjal dengan total skor


(67)

47

Gambar 6. Diagram Alur Penelitian

K1 K2 K3 K4 K5

Tikus diadaptasikan selama 7 hari

Tikus diberi perlakuan selama 2 hari

Cekok aquades 1x sehari Cekok paraquat diklorida 2,5mg/ 100gBB 1 x sehari

Cekok paraquat diklorida 20mg/ 100gBB 1 x sehari Cekok paraquat diklorida 10mg/ 100gBB 1 x sehari Cekok paraquat diklorida 5mg/ 100gBB 1x sehari

Tikus di anastesi dan didekapitasi

Lakukan laparotomi selanjutnya ginjal tikus di ambil

Sampel ginjal difiksasi dengan formalin 10%

Interpretasi hasil pengamatan

Sampel dikirim ke Laboratorium Patologi Aanatomi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung untuk pembuatan sediaan histopatologi

Pengamatan sediaan histopatologi dengan mikroskop Pemusnahan tikus dengan menggunakan inecerator


(68)

48

3.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel 3.6.1 Identifikasi Variabel

a. Variabel Bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah paparan herbisida golongan paraquat diklorida.

b. Variabel terikat

Variabel terikat pada penelitian ini adalah:

1) Gambaran histopatologi glomerulus ginjal hewan coba. 2) Gambaran histopatologi tubulus ginjal hewan coba.


(69)

49

3.6.2 Definisi Operasional

Untuk memudahkan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas, maka dibuat definisi operasional sebagai berikut.

Tabel 1. Definisi Operasional

Variabel Definisi Skala

Dosis herbisida paraquat diklorida

Dosis letal paraquat adalah 20mg/100gBB. Kelompok 2 (perlakuan coba)=pemberian paraquat 2,5 mg/100gBB

Kelompok 3 (perlakuan coba)=pemberian paraquat 5 mg/100gBB

Kelompok 4 (perlakuan coba)=pemberian paraquat 10 mg/100gBB

Kelompok 5 (perlakuan coba)=pemberian paraquat 20 mg/100gBB

Kategorik Gambaran histopatologi ginjal bagian glomerulus dan tubulus

Gambaran kerusakan glomerulus ginjal tikus dilihat dengan melakukan pengamatan sediaan histopalogi menggunakan mikroskop cahaya dengan bagian perbesaran 10x dan 40x pada seluruh lapang pandang berdasarkan kriteria yang telah disebutkan, kerusakan glomerulus ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang,

edema spatium Bowman dan nekrosis.

Kerusakan tubulus ginjal ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang, pembengkakan sel epitel tubulus dan nekrosis tubulus.


(70)

50

3.7 Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pengamatan histopatologi di bawah mikroskop diuji analisis statistik menggunakan software statistik. Hasil penelitian dianalisis apakah memiliki distribusi normal atau tidak secara statistik dengan uji normalitas Shapiro-Wilk karena jumlah sampel ≤50. Kemudian, dilakukan uji Levene untuk mengetahui apakah dua atau lebih kelompok data memiliki varians yang sama atau tidak. Jika varians data berdistribusi normal dan homogen, dilanjutkan dengan metode uji parametrik One Way ANOVA. Bila tidak memenuhi syarat uji parametrik, digunakan uji nonparametrik Kruskal-Wallis. Hipotesis dianggap bermakna bila p<0,050. Jika pada uji ANOVA atau Kruskal-Wallis menghasilkan nilai p<0,050, maka dilanjutkan dengan melakukan analisis Post-Hoc LSD untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan.

3.8 Ethical Clearance

Penelitian ini telah lolos kaji etik oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung, dengan menerapkan prinsip 3R dalam protokol penelitian, yaitu replacement, reduction dan refinement. Replacement adalah keperluan memanfaatkan hewan percobaan sudah diperhitungkan secara seksama, baik dari pengalaman terdahulu maupun literatur untuk menjawab pertanyaan penelitian dan tidak dapat digantikan oleh makhluk hidup lain seperti sel atau biakan jaringan.


(71)

51

Selanjutnya reduction, adalah pemanfaatan hewan dalam penelitian sesedikit mungkin, tetapi tetap mendapatkan hasil yang optimal. Dalam penelitian ini sampel dihitung berdasarkan rumus Frederer yaitu (t-1)(n-1)≥15, dimana t merupakan jumlah kelompok percobaan dan n merupakan jumlah pengulangan atau jumlah sampel tiap kelompok. Prinsip yang ketiga adalah refinement. Refinemenet adalah memperlakukan hewan percobaan secara manusiawi, dengan prinsip dasar membebaskan hewan coba dalam beberapa kondisi yaitu bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan dan bebas dari nyeri serta penyakit dengan menjalankan program kesehatan.


(72)

69

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Terdapat pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklrorida

per−oral terhadap gambaran histopatologi ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

2. Terdapat pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklrorida

per−oral terhadap gambaran histopatologi glomerulus ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

3. Terdapat pengaruh pemberian herbisida golongan paraquat diklroridaper− oral terhadap gambaran histopatologi tubulus ginjal tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur Sprague dawley.

5.2 Saran

1. Peneliti lain disarankan menguji lebih lanjut dengan jangka waktu pemberian herbisida golongan paraquat diklorida lebih lama dan dosis pemberian herbisida golongan paraquat diklorida lebih rendah.

2. Peneliti lain disarankan untuk meneliti potensi zat-zat yang dapat mencegah kerusakan organ dari pengaruh herbisida golongan paraquat diklorida.


(73)

70

3. Peneliti lain disarankan untuk meneliti urin tikus secara mikroskopik untuk mengetahui ada atau tidak silinder hialin.


(74)

70


(75)

71

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi UF. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Kompas. Alpers CE, Fogo AB. 2007. The kidney and is collecting system. In: Kumar V,

Abbas K, Fausto N, Mitchell RN, Robbins. Pathologic basic of disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevie.

Assiam N, Setyawati I, Sudirga SK. 2014. Pengaruh dosis dan lama perlakuan ekstrak daun kaliandra merah (Calliandra calothyrsus meissn.) terhadap struktur histologi ginjal mencit (Mus musculus l.). Jurnal Simbiosis. 2(2):236- 246

Dharma AG. 2006. Pengaruh pemberian propoxur dosis bertingkat per oral terhadap gambaran histopatologi ginjal Mencit balb/c. Karya Tulis Ilmiah. Semarang : UNDIP.

Eroschenko VP. 2010. Atlas histologi diFiore dengan korelasi fungsional, edisi ke-11. Jakarta: EGC.

Evans WJ. 2000. Vitamin E, vitamin C, and exercise. The American Journal of Clinical Nutrition. 72(2):647-652.

Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM. 2006. Tikus Laboratorium. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

FAO. 2003. FAO Specification and evaluations for agricultural pesticides: paraquat dichloride. Food Agriculture Organization: WHO.

Ginting AW, Endang S, Marpaung S, Ginting F, Kembaren T, Rahimi A, et al. 2012. Intoksikasi herbisida (paraquat). IKAAPDA (Ikatan Keluarga Asisten Ahli Penyakit Dalam). Tersedia dari: http://ikaapda.com/. Diakses tanggal 11 September 2014.

Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku ajar fisiologi kedokteran, edisi ke-6. Jakarta: EGC.


(1)

3. Peneliti lain disarankan untuk meneliti urin tikus secara mikroskopik untuk mengetahui ada atau tidak silinder hialin.


(2)

(3)

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi UF. 2005. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah. Jakarta: Kompas. Alpers CE, Fogo AB. 2007. The kidney and is collecting system. In: Kumar V,

Abbas K, Fausto N, Mitchell RN, Robbins. Pathologic basic of disease. 8th ed. Philadelphia: Saunders Elsevie.

Assiam N, Setyawati I, Sudirga SK. 2014. Pengaruh dosis dan lama perlakuan ekstrak daun kaliandra merah (Calliandra calothyrsus meissn.) terhadap struktur histologi ginjal mencit (Mus musculus l.). Jurnal Simbiosis. 2(2):236- 246

Dharma AG. 2006. Pengaruh pemberian propoxur dosis bertingkat per oral terhadap gambaran histopatologi ginjal Mencit balb/c. Karya Tulis Ilmiah. Semarang : UNDIP.

Eroschenko VP. 2010. Atlas histologi diFiore dengan korelasi fungsional, edisi ke-11. Jakarta: EGC.

Evans WJ. 2000. Vitamin E, vitamin C, and exercise. The American Journal of Clinical Nutrition. 72(2):647-652.

Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) UGM. 2006. Tikus Laboratorium. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

FAO. 2003. FAO Specification and evaluations for agricultural pesticides: paraquat dichloride. Food Agriculture Organization: WHO.

Ginting AW, Endang S, Marpaung S, Ginting F, Kembaren T, Rahimi A, et al. 2012. Intoksikasi herbisida (paraquat). IKAAPDA (Ikatan Keluarga Asisten Ahli Penyakit Dalam). Tersedia dari: http://ikaapda.com/. Diakses tanggal 11 September 2014.

Guyton AC, Hall JE. 2008. Buku ajar fisiologi kedokteran, edisi ke-6. Jakarta: EGC.


(4)

Haliwell B, Whiteman M. 2004. Measuring reaction species and oxidative damage in vivo and in cell culture: how should you do it and what do the result mean. British Journal Pharmacology. 142:231-255.

Malekinejad H, Aysa R, Fatemeh R, Mazdak RM. 2013. Paraquat Exposure

Up-regulates Cyclooxygenase-2 in the Lungs, Liver and Kidneys in Rats. Iranian Journal of Pharmaceutical Research. 12(4):887-896.

Indika G, Buckley N. 2011. Medical management of paraquat ingestion. British Journal of Clinical Pharmacology [Jurnal Online]. Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov. Diakses tanggal 11 September 2014.

Juhryyah S. 2008. Gambaran histopatologi organ hati dan ginjal tikus pada intoksikasi akut insektisida (metofluthrin, d-phenothrin, d-allethrin) dengan dosis bertingkat. Skripsi. Bogor: IPB.

Junqueira LC, Carneriro J. 2007. Histologi dasar teks dan atlas, edisi ke-10. Jakarta: EGC.

Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung buah pare (Momordica charantia L.) untuk penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes melitus. Skripsi. Bogor: IPB.

Kim S-J, Gil H-W, Yang J-O, Lee E-Y, Hong S-Y. 2009. The clinical features of acute kidney injury in patients with acute paraquat intoxication. Nephrol Dial Transplant. 24:1226–1232.

Kuehnel W. 2003. Color atlas of cytology, histology, and microscopic anatomy. 4th Ed. Stuttgart: Thieme.

Manurung RD. 2011. Manfaat pemberian madu terhadap perubahan kadar ureum dan kreatinin serta makroskopik ginjal dan histopatologi tubulus proksimal ginjal mencit (Mus musculus l.) jantan yang diberi rhodamin B. Tesis. Medan: Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Moore KL. 2001. Anatomi klinik dasar. Jakarta: EGC.

Muhartono, Hanriko R, Dwita H. 2012. Efek Protektif Madu Terhadap Ginjal Tikus Putih yang Diinduksi Etanol. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung. 2(2):1-5.

Notoatmodjo S. 2012. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Price SA, Wilson LM. 2012. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit,


(5)

Pujiono. 2009. Hubungan faktor lingkungan kerja dan praktek pengelolaan pestisida dengan kejadian keracunan pestisida pada tenaga kerja di tempat penjualan pestisida di kabupaten subang. Tesis. Semarang: UNDIP

Purnawati S. 2008. Pendekatan ergonomi total untuk mengantisipasi resiko keracunan pestisida pada petani-petani bali. Jurnal Bumi Lestari. 8(2):154-161.

Purnomo BB. 2012. Buku kuliah dasar–dasar urologi. Jakarta: CV Infomedika. Pusat Informasi Paraquat. 2006. The paraquat information center on behalf of

syngenta crop protection ag. Tersedia dari: http://www.paraquat.com Diakses tanggal 11 September 2014.

Riadi M. 2011. Bahan ajar kuliah: Herbisida dan aplikasinya. Makassar: Universitas Hasanudidn.

Robbins SL, Kumar V, Cotran RS. 2011. Buku ajar patologi, edisi ke-7. Jakarta: EGC.

Saftarina F. 2011. Analisis Keracunan Pestisida Pada Petani Padi di Desa RJ Bandar Lampung. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung. 1(1):61-69.

Saftarina F. 2011. Hubungan Pemaparan Pestisida Terhadap Jumlah Leukosit dan Trombosit Pada Petani Padi di Desa Rajabasa Jaya Bandar Lampug. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung. 1(2):81-93.

Sarbino, Syahputra E. 2012. Keefektifan parakuat diklorida sebagai herbisida untuk persiapan tanam padi tanpa olah tanah di lahan pasang surut. Jurnal Perkebunan & Lahan Tropika. 2(1):15-22.

Schnellman RG, Goldstein RS. 2001. Toxic Responses of kidney. In: Klaasen CD, editor. Casarett and doull’s toxicology the basic sciences of poisons. New York: The Mc Graw-Hill.

Setiorini Y. 2012. Deteksi secara imunohistokimia imunoglobulin A (IgA) pada usus halus tikus yang diberi bakteri asam laktat (BAL) dan enteropatogenik escherichia coli. Journal of scientific resporitory. 3(1):4450.

Sherwood L. 2011. Fisiologi Manusia, edisi ke-6. Jakarta: EGC.

Supriadi. 2011. Pengembangan formulasi herbisida berbasis asam asetat untuk mengendalikan gulma pada kelapa sawit. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Tersedia dari: http://pkpp.ristek.go.id/. Diakses tanggal 14 September 2014.


(6)

Susianti. 2013. Pengaruh Ekstrak Jinten Hitam (Nigella Sativa L) terhadap Kerusakan Sel Tubulus Proksimal Ginjal Tikus Putih (Rattus norvegicus) Jantan Galur Sprague dawley yang Diinduksi Gentamisin. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan Universitas Lampung. 3(1):32-37.

Suyanti L. 2008. Gambaran histopatologi hati dan ginjal tikus pada pemberian fraksi asam amino non-protein lamtoro merah (Acacia villosa) pada uji toksisitas akut. Skripsi. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Viaiudiana RA. 2013. Pengaruh bentonit terhadap kadar malondialdehye (MDA) jaringan ginjal ratus novergicus yang dipapar herbisida paraquat. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya

Wijaya I, Miranti IP. 2005. Patologi ginjal dan saluran kemih, edisi ke-3. Semarang: FK UNDIP.

World Health Organization. 2008. Children’s health and environment. WHO Training Package for he Health Sector. Tersedia dari: www.who.int/ceh. Diakses tanggal 10 September 2014.

World Health Organization. 2009. The WHO recommended classification of pesticides by hazard and guidelines to classification 2009. World Health Organization: International Programme on Chemical Safety. Tersedia dari http://www.who.int/foodsafety/. Diakses tanggal 10 September 2014.

Wu D, Cederbaum WI. 2004. Alcohol, oxidative stres, and fre radical damage. Alcohol Res Health. 27(4):277-284.


Dokumen yang terkait

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK BUAH MAHKOTA DEWA (Phaleria macrocarpa) TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR SPRAGUE DAWLEY YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

6 25 78

PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA PARAQUAT DIKLORIDA PER−ORAL TERHADAP DERAJAT KERUSAKAN ESOFAGUS TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

6 31 68

PENGARUH PEMBERIAN HERBISIDA PARAQUAT DIKLORIDA PER-ORAL TERHADAP PEMBENGKAKAN HEPATOSIT DAN KONGESTI SINUSOID HATI PADA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 8 81

PENGARUH PERBEDAAN DURASI PAPARAN ASAP PEMBAKARAN BAHAN ORGANIK TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI KORNEA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)JANTAN GALUR Sprague dawley

0 27 74

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH PADA GAMBARAN HISTOPATOLOGI MIOKARDIUM TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 4 65

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI ARTERI KORONARIA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 13 66

EFEK PROTEKTIF THYMOQUINONE TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) GALUR Sprague dawley YANG DIINDUKSI RIFAMPISIN

1 12 70

PENGARUH PEMBERIAN MINYAK JELANTAH TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) JANTAN GALUR Sprague dawley

0 26 71

PENGARUH HIPOKSIA ISKEMIK PRENATAL TERHADAP GAMBARAN HISTOPATOLOGI GINJAL RATTUS NORVEGICUS GALUR SPRAGUE-DAWLEY

1 8 82

PENGARUH HERBISIDA PARAQUAT DIKLORIDA ORAL TERHADAP HATI TIKUS PUTIH

0 1 6