Hasil Penelitian Data sekunder
A. Hasil Penelitian Data sekunder
Penyidikan merupakan bagian terpenting dalam proses penegakan hukum, karena berdasarkan hasil penyidikan yang baik akan menghasilkan surat dakwaan yang tepat, sehingga proses persidangan akan berjalan dengan benar serta menghasilkan putusan yang mampu mendekati kebenaran materiil.
Asas-asas dalam proses penyidikan diperlukan untuk menjadi pedoman pelaksana tugas bagi para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penyidikan. Dengan mengingat bahwa proses penyidikan akan Asas-asas dalam proses penyidikan diperlukan untuk menjadi pedoman pelaksana tugas bagi para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penyidikan. Dengan mengingat bahwa proses penyidikan akan
Hal ini juga sama halnya terhadap penyidikan dalam tindak pidana korupsi karena tahap-tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian tahap-tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang mengatur mengenai tindak pidananya. Hal ini berlaku baik penyidikan tersebut dilakukan oleh kejaksaan maupun kepolisian.
Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyidikan dirumuskan di dalam pasal-pasal di beberapa peraturan perudang- undangan yaitu:
1. Pengaturan Perundangan Mengenai Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi Di Indonesia
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Indonesia sebagai Negara hukum sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah mengatur tentang perlindungan terhadap terjaminnnya hukum bagi setiap orang. Hal tersebut dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa:
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Dengan melihat pasal tersebut, walaupun tidak disampaikan mengenai penyidikan itu sendiri terjaminnya hukum bagi setiap orang merupakan hak konstitusional yang wajib diberikan oleh Negara. Termasuk halnya dalam penyidikan.
Artinya setiap warga negara mempunyai hak diperlakukan sama dimuka hukum (equality before the law) dan hak untuk mendapatkan keadilan (access to justice).
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merupakan salah satu acuan dalam beracara untuk menangani kasus-kasus hukum pidana. Dan sampai saat ini yang masih berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Salah satu tahapan dalam beracara yang tertuang dalam KUHAP adalah tahap penyidikan. Tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian tahap-tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang mengatur mengenai tindak pidananya.
Penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana diartikan :
“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Dalam melaksanakan penyidikan dilakukan oleh penyidik sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu :
“Penyidik adalah pejabat pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melaksanakan penyidikan.
Lebih lanjut, menurut ketentuan Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP, menyebutkan bahwa:
Penyidik adalah :
a. Pejabat polisi Negara Republik Indonesia;
b. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang.
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur tugas dan wewenang kepolisian dalam melakukan penyidikan. Hal itu bisa kita lihat Berdasarkan Pasal 14 huruf f yang dirumuskan bahwa salah satu tugas kepolisian yaitu:
“Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.”
Dengan melihat rumusan pasal tersebut menunjukan bahwa salah satu tugas dari kepolisian adalah melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi dengan peraturan perundangan yang berlaku. Jadi jelas bahwa Kepolisian berwenang dalam melakukan proses penyidikan terhadap tersangka suatu tindak pidana.
d. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia merupakan peraturan perundang-undangan terbaru yang mengatur mengenai kejaksaan di Indonesia. Dalam hal mengenai wewenang jaksa dalam melakukan penyidikan diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf d yaitu :
“Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, jelas bahwa jaksa hanya berwenang untuk melakukan Penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP, yaitu serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat tidaknya dilakukan Penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
e. TAP MPR No. XIMPR1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
TAP MPR No. XIMPR1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang ditetapkan pada tanggal 13 Nopember 1998 merupakan tindak lanjut atas ketidaksesuaian lagi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum mengenai tindak pidana korupsi. Dikatakan tidak sesuai lagi karena setelah diberlakukan selama 28 (dua puluh delapan) tahun berlaku ternyata telah terjadi perkembangan tindak pidana korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para penyelenggara negara dengan para pengusaha. 69 Sebuah Aide Memorie Bank Dunia
yang diterbitkan pada Oktober 1998 menyatakan bahwa benar terjadi korupsi pada proyek-proyek di Indonesia yang didanai Bank Dunia
69 Ermasyarah Djaja, 2009, Memberantas Korupsi bersama KPK, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.
dan dana bantuan dari lembaga-lembaga internasional lainnya sehingga disimpulkan bahwa korupsi di Indonesia sudah melembaga. 70
Dalam konsideransnya ada dua pertimbangan pokok lahirnya TAP MPR ini:
1) Bahwa dalam penyelenggaraan negara telah terjadi praktik-
praktik usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggara negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional;
2) Bahwa dalam rangka rehabilitasi seluruh aspek kehidupan
nasional yang berkeadilan, dibutuhkan penyelenggara negara yang dapat dipercaya melalui usaha pemeriksaan harta kekayaan para pejabat negara dan mantan pejabat negara serta keluarganya yang diduga berasal dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, dan mampu membebaskan diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
TAP MPR ini bertujuan untuk memfungsikan secara proporsional dan benar lembaga-lembaga negara yang ada, sehingga penyelenggaraan negara dapat berlangsung sesuai dengan UUD 1945. Penyelenggara negara pada lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan
70 Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern (Yogyakarta: FH UII Press, 2008),
Hal. 85 Hal. 85
diri dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. 71 Dari TAP MPR ini,
lahirlah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang ditetapkan pada tanggal 19 Mei 1999 agar TAP MPR ini dapat dijalankan.
f. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme disahkan pada tanggal 19 Mei 1999, sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa undang-undang ini dirumuskan karena undang- undang ini diamanatkan secara langsung oleh TAP MPR No. XIMPR1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam undang-undang ini sangat rinci merumusakan fokus upaya tata kelola negara yang bebas dari KKN antara lain melalui definisi penyelenggara negara,
71 Ermansyah Djaja, Op. Cit, hal 16 – 17.
penyelenggaraan negara yang bersih, korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam Pasal 1 secara berututan 72 .
Adapun bunyi Pasal 1 tersebut adalah berikut: Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Penyelenggara Negara yang bersih adalah Penyelenggara Negara yang menaati asas-asas umum penyelenggaraan negara dan bebas dari praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta perbuatan tercela lainnya.
3. Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.
4. Kolusi adalah permufakatan atau kerjasama secara melawan hukum antar-Penyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat dan atau negara.
5. Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Selain itu, undang-undang ini dalam Pasal 2 nya secara tegas merumusakan siapa-siapa saja yang terkategori sebagai penyelenggara negara, adapun bunyi Pasal 2 tersebut adalah sebagai berikut:
Penyelenggara Negara meliputi:
1. Pejabat Negara pada Lembaga Tertinggi Negara;
2. Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara
72 Servas Pandur, 2011, Testimoni Antasari Azhar Untuk Hukum dan keadilan, Laras indra Semesta, Jakarta, hal. 365.
6. Pejabat negara lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
7. Pejabat lain yang memilki fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penyelenggara yang dimaksud Pasal 2 tersebut pun memiliki hak secara limitatif sebagaimana tercantum dalam Pasal 4. Berkaitan dengan mewujudkan penyelenggara yang bersih dan bebas dari KKN, undang-undang ini mewajibkan kepada penyelenggara untuk melakukan pemeriksaan kekayaan dalam rangka pencegahan praktek KKN bagi penyelenggara negara. Kewajiban pemeriksaan kekayaan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 5 yang berbunyi:
Setiap Penyelenggara Negara berkewajiban untuk:
1. mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agamanya
sebelum memangku jabatannya;
2. bersedia diperiksa kekayaannya sebelum, selama, dan
setelah menjabat;
3. melaporkan dan mengumumkan kekayaan sebelum dan
setelah menjabat;
Pelaksanaan kewajiban pemeriksaan kekayaan bagi penyelenggara negara dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara.
Undang-undang ini memungkinkan untuk adanya peluang peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bebas dari KKN. Peluang tersebut diberikan undang-undang ini dalam Pasal 8, kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) peran serta Undang-undang ini memungkinkan untuk adanya peluang peran serta masyarakat dalam mewujudkan penyelenggara negara yang bebas dari KKN. Peluang tersebut diberikan undang-undang ini dalam Pasal 8, kemudian dalam Pasal 9 ayat (1) peran serta
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diwujudkan dalam bentuk:
a. Hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
tentang penyelenggaraan negara;
b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
Penyelenggara Negara;
c. Hak menyampaikan suatu saran dan pendapat secara
bartanggungjawab terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d. Hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal:
1) Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam
bentuk a, b, dan c;
2) Diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan,
dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, dan saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pelaksanaan peran serta masyarakat tersebut dilaksanakan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara. Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dalam melaksanakan bentuk- bentuk peran serta masyarakat tersebut dengan ketentuan melakukan pemberitahuan baik secara tertulis maupun lisan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia atau instansi yang berwenang.
g. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan undang-undang yang menggantikan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam considerans Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dinayatakan bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi.
Sisi penting Undang-Undang ini adalah mengakui bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan risiko korupsi yang terjadi selama ini di Negara RI adalah:
1) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
2) Menghambat pertumbuhan dan kelangsungan negara
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi. 73 Dalam undang-undang ini terdapat beberapa perubahan yang
bersifat fundamental, diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Perumusan Tindak Pidana Korupsi
Tindak pidana korupsi dirumuskan pengertiannya dalam Pasal
2 ayat (1) sebagai berikut:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
73 Ibid, Hal. 366.
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,”
Dari pasal tersebut dapat dilihat bahwa terdapat tiga unsur dalam tindak pidana korupsi yakni:
a) Melawan hukum;
b) Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
c) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Berkaitan dengan unsur melawan hukum, penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan secara tegas bahwa melawan hukum dalam undang-undang ini adalah melawan hukum secara formil dan materiil. Adapun bunyi penjelasan Pasal 2 ayat (1) tersebut adalah berikut:
“Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perudang- undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.”
Ketentuan perumusan ini merupakan ketentuan yang menguntungkan bagi Penuntut Umum karena mempermudah dalam menjerat terdakwa karena tidak perlu membuktian bahwa perbuatan yang didakwakan telah melanggar ketentuan pasal yang mana. Dalam perkembangannya, ketentuan sifat melawan hukum materiil berhenti diterapkan sejak tahun 2006 karena ketentuan ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konsitusi karena Ketentuan perumusan ini merupakan ketentuan yang menguntungkan bagi Penuntut Umum karena mempermudah dalam menjerat terdakwa karena tidak perlu membuktian bahwa perbuatan yang didakwakan telah melanggar ketentuan pasal yang mana. Dalam perkembangannya, ketentuan sifat melawan hukum materiil berhenti diterapkan sejak tahun 2006 karena ketentuan ini dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Mahkamah Konsitusi karena
Senada dengan Putusan Mahmakah Konstitusi tersebut, Andi
Hamzah 74 mengemukakan bahwa: “Dengan adanya kata “tidak sesuai dengan rasa keadilan dan
seterusnya, hal ini menjadi sangat luas sehingga sangat sulit bagaimana hakim dapat menyatakan bahwa unsur rasa keadilan masyarakat itu terbukti. Dapatkah dikatakan jika ada demonstrasi menuntut seseorang sebagai koruptor merupakan manifestasi rasa keadilan masyarakat. Jika demikian halnya, orang dapat mengumpulkan seribu orang dengan bayaran untuk berdemonstrasi menunut orang sebagai koruptor, misalnya dengan motif politik. Gejala seperti ini sangat berbahaya bagi kepastian hukum dan telah terlihat pada beberapa kasus pilkada. Mencantumkan kata-kata “rasa keadilan masyarakat” sangat bersifat karet, dan menjadi sama dengan penyingkiran asas legalitas Jaman Nazi dengan kata-kata yang sama yaitu “rasa keadilan masyarakat” (the sound sense of justice of the people) menuntut agar seseorang dipidana maka orang itu harus dipidana, walaupun tidak tercantum di dalam undang-undang. Setiap orang dapat mengatasnamakan masyarakat untuk menuduh orang telah melakukan korupsi.”
Berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi, nampak bahwa unsur ini merupakan tujuan dari korupsi. Istilah “memperkaya” sebagai suatu unsur (bestanddeel) merupakan istilah yang baru dalam hukum pidana di Indonesia mengingat bahwa dalam KUHP tidaklah dikenal istilah demikian. 75
Secara harafiah, istilah “memperkaya” mengandung makna mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya), pengertian istilah “memperkaya” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
74 Ermasnjah Djaja, Op. Cit, Hal. 34 -35
75 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), Hal. 174.
menjadikan orang yang belum kaya menjadi kaya, atau orang yang sudah kaya menjadi bertambah kaya. 76
Unsur memperkaya ini tidak seperti unsur melawan hukum yang diberikan penjelasannya oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, berbeda dengan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi sebelumnya yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 yang dalam penjelasan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 dinyatakan sebagai berikut:
“Perkataan "memperkaya diri sendiri" atau "orang lain" atau "suatu badan" dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal
18 ayat (2), yang memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.”
Dengan memperbandingkan ketentuan tersebut, nampak bahwa terdapat kemunduran dalam kebijakan formulasi dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 khususnya yang berkaitan dengan pemahaman unsur “memperkaya”, namun kekurangan ini sebenarnya tertutupi dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang memberikan kewajiban bagi penyelenggara negara untuk melaporkan kekayaannya. Lebih dari itu, Undang- Undang Nomor 28 Tahun 1999 dapat dijalankan secara efektif karena memiliki peraturan pelaksanaanya yakni Peraturan Pemerintah Nomor
76 Ibid., Hal. 174 – 175.
65 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara dan dengan disahkannya Undang-Undang ini telah memunculkan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN).
Berkaitan dengan unsur terakhir yakni dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, undang-undang ini memberikan makna dalam penjelasan dalam Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:
“Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelum frasa “merugikan keuangan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.”
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang perumusannya dititikberatkan pada perbuatan yang dilarang, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tindak pidana formil adalah tindak pidana yang telah dianggap terjadi atau selesai dengan telah dilakukannya perbuatan
yang dilarang dalam undang-undang. 77 Konsekuen dari klasifikasi tindak p[idana korupsi menjadi tindak pidana formil dapat dilihat
dalam Pasal 4 yang menyatakan bahwa:
“Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”
77 Tongat, Op. Cit., Hal. 118 – 119.
Pengertian korupsi tidak hanya dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) saja, melainkan pula dirumuskan dalam Pasal 3 yaitu:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”
Dari rumusan pasal tersebut, diketahui beberapa unsur dalam pengertian tindak pidana korupsi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 3, adapun unsur-unsur dalam Pasal 3 tersebut adalah sebagai berikut:
a) Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi,
b) Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,
c) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara. Perumusan dalam ketentuan Pasal 3 ini memiliki perbedaan dengan perumusan dalam ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1). Perbedaan pertama dalam Pasal 3 ini adalah tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum secara eksplisit, unsur sifat melawan hukum dalam pasal ini lebih bersifat implisit dimana apabila semua unsur dalam pasal ini dapat dipenuhi maka hal tersebut secara otomatis telah membuktikan adanya sifat melawan hukum. Logika yang demikian pada hakikatnya mudah dipahami oleh karena setiap tindak pidana negara. Perumusan dalam ketentuan Pasal 3 ini memiliki perbedaan dengan perumusan dalam ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1). Perbedaan pertama dalam Pasal 3 ini adalah tidak mencantumkan unsur sifat melawan hukum secara eksplisit, unsur sifat melawan hukum dalam pasal ini lebih bersifat implisit dimana apabila semua unsur dalam pasal ini dapat dipenuhi maka hal tersebut secara otomatis telah membuktikan adanya sifat melawan hukum. Logika yang demikian pada hakikatnya mudah dipahami oleh karena setiap tindak pidana
perbuatan itu dirumuskan sebagi perbuatan pidana. 78
Perbedaan kedua dalam perumusan Pasal 3 ini adalah pencantuman unsur “menguntungkan”, berbeda dengan perumusan dalam Pasal 2 ayat (1) yang mencantumkan unsur “memperkaya”. Kedua perbedaan ini menunjukan peluang kemudahan bagi Penuntut Umum karena kedua unsur tersebut relatif lebih mudah dibuktikan, dimana unsur pertama tidak perlu membuktikan sifat melawan hukumnya perbuatan dan unsur kedua tidak perlu membuktikan apakah ada peningkatan harta kekayaan.
Dalam prakteknya, perumusan tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan perumusan yang paling banyak diterapkan dalam formulasi surat dakwaan oleh penuntut umum dimana “semestinya” Pasal 2 ayat (1) dikualifikasikan sebagai dakwaan primair dan pasal 3 dikulifikasikan sebagai dakwaan subsiadair. 79
2) Ancaman Pidana
Dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dirumuskan beberapa perubahan dalam ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi. Dalam undang-undang ini dikenal ancaman pidana mati
78 Ibid., Hal. 214. 79 Andi Hamzah, Op. Cit., Hal. 191 78 Ibid., Hal. 214. 79 Andi Hamzah, Op. Cit., Hal. 191
“Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.”
Istilah “keadaaan tertentu” tersebut diberikan makna dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) sebagai berikut:
“Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.”
Dengan adanya ancaman pidana mati ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 merupakan undang-undang yang paling keras
dan berat di ASEAN. 80 Dalam perkembangannya, penjelasan ini dinyatakan tidak berlaku karena Undang-Undang Nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah merumuskan baru penjelasan pasal tersebut.
Perubahan ancaman pidana selain ancaman pidana mati adalah ancaman pidana minimum baik untuk pidana penjara ataupun denda, konsep ancaman pidana minimum ini merupakan konsep baru yang tidak dikenal dalam KUHP.
80 Andi Hamzah, Op. Cit., Hal. 73
Menurut Barda Nawawi Arief 81 yaitu : “rumusan ancaman pidana minimum ini terdapat kekurangan
yakni tidak merumuskan pedoman pemidanaan untuk menerapkan ancaman pidana minimum ini. Seharusnya undang-undang khusus di luar KUHP membuat aturan tersendiri untuk penerapannya, karena ini merupakan konsekuensi logis dari Pasal 103 KUHP.”
Tanpa adanya pedoman pemidanaan pidana minimal ini maka tidak dapat ditentukan apakah pidana minimal dapat diperingan atau dapat diperberat. Kejanggalan lain nampak dalam pola pidana minimalnya, ada delik yang diancam dengan pidana maksimalnya 20 tahun penjara dan pidana minimalnya pidana 4 tahun penjara seperti dalam Pasal 2 dan Pasal 12. Sedangkan ada delik yang diancam dengan pidana maksimalnya 20 tahun penjara namun ancaman pidana minimalnya 1 tahun penjara seperti dalam Pasal 3. Padahal untuk delik lainnya, pidana minimal 1 tahun diancam dengan pidana maksimal 5
tahun penjara seperti dalam Pasal 9 dan Pasal 11. 82
Barda Nawawi Arief 83 juga mengkritik konsep sistem
perumusan kumulatif dan sistem perumusan kumulatif alternatif dalam ancaman pidana undang-undang ini yaitu:
“Konsep yang dipergunakan tidaklah jelas karena konsep tersebut menimbulkan pertanyaan sederhana yang paling mendasar yakni mengapa delik korupsi berupa memperkaya diri dalam Pasal 2 diancam dengan pidana secara kumulatif sedangkan menyalahgunakan kewenangan dalam Pasal 3 diancamn dengan pidana secara kumulatif alternatif. Padahal
81 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2008), Hal. 149
82 Ibid., Hal. 150 83 Ibid.
kedua delik ini ancaman pidana maksimumnya sama dan bobot kualitas deliknya juga sama.”
Menurutnya secara teoritis, delik yang diancam dengan pidana kumulatif lebih berat daripada yang diancam dengan kumulatif alternatif. Ini berarti pembentuk undang-undang menganggap delik memperkaya diri dipandang lebih berat daripada delik menyalahgunakan kewenangan. Padahal dilihat dari sudut pandang masyarakat dan sudut pandang hakikat korupsi sebagai delik jabatan, perbuatan menyalahgunakan kewenangan dirasakan lebih berat atau lebih jahat daripada memperkaya diri atau setidak-tidaknya kedua delik tersebut sama berat atau sama jahatnya. Patut perlu dicatat pula menurutnya, bahwa konsep kumulatif mengandung kelemahan karena bersifat imperatif dan kaku apabila dilihat dari sudut pandang
kebijakana operasionalisasi pidana. 84
3) Peran Serta Masyarakat
Peran serta masyarakat yang diatur dalam undang-undang ini diatur secara khusus dalam BAB V yang terdiri dari Pasal 41 dan Pasal
42. Masyarakat diberikan peluang oleh undang-undang ini untuk berperan serta, adapun bentuk peran serta tersebut diatur dalam Pasal
41 ayat (2). Urgensi diakomodirnya peran serta masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana korupsi dapat dilihat dalam Deklarasi Manila yang dihasilkan oleh “The Asian Regional Ministerial Meeting of Transnational Crime” pada 23 – 25 Maret 1998, urgensi peran serta
84 Ibid, Hal. 150 – 151.
masyarakat dalam deklarasi tersebut adalah untuk melibatkan peran masyarakat secara aktif dalam memberantas korupsi, khususnya dalam mengembangkan tindakan pencegahan dan pengawasan yang memajukan “a culture of accountability and transparency” atau
budaya pertanggungjawaban dan keterbukaan. 85
Adapun bentuk peran serta masyarakat dalam udang-undang ini merupakan bentuk peran serta yang mirip diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN seperti yang dirumuskan dalam Pasal 41 ayat (2) yaitu:
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalam bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi;
b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari,
memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung
jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang
laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, b, dan c;
2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan,
dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
85 Barda Nawawi Arief, Op. Cit.,Hal. 139.
Berbeda dengan ketentuan peran serta masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, peran serta masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 memberikan amanat bagi pemerintah untuk memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berjasa membantu upaya menanggulangi tindak pidana korupsi dimana ketentuan tersebut dapat dilihat dalam pasal 43 ayat (1):
“Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengungkapan tindak pidana korupsi.”
Undang-undang ini sebenarnya memerintahkan kepada Pemerintah untuk membuat dua Peraturan Pemerintah dalam rangka melaksanakan tata cara peran serta masyarakat dan tata cara pemberian penghargaan bagi masyarakat yang berjasa, namun dalam kenyataannya hingga disusunnya penelitian ini amanat penyusunan peraturan pemerintah tersebut belum terealisasi. 86
4) Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
Agar undang-undang ini dapat dilaksankan sebagaimana mestinya, pembentuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengamanatkan agar dibentuk lembaga baru yang dinamakan dengan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. amanat ini termaktub dalam Pasal 43, dimana dalam Pasal 43 ayat (2) dinyatakan bahwa Komisi tersebut mempunyai tugas dan wewenang melakukan
86 Andi Hamzah, Op. Cit., Hal. 117 86 Andi Hamzah, Op. Cit., Hal. 117
“Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 disahkan pada tanggal
16 Agustus 1999. Melihat ketentuan dalam Pasal 43 ayat (2) tersebut nampak bahwa dengan hadirnya Komisi yang dimaksud akan merubah sistem peradilan pidana, karena selama ini penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh polisi sedangkan penuntutan dilakukan oleh jaksa. Dengan kata lain, hadirnya Komisi tersebut akan menghadirkan pula sistem peradilan pidana khusus tindak pidana korupsi.
h. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di bentuk pada Desember 2003. Dalam Undang-Undang tersebut disebutkan bahwa KPK dibentuk karena lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi. KPK memiliki visi mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi dan misi penggerak perubahan untuk mewujudkan bangsa yang antikorupsi. KPK memiliki lima juga tugas utama yaitu :
Tugas-tugas tersebut diatas sesuai dengan Pasal 6 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yaitu :
a. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang
melakukan tindak pidana korupsi.
b. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang
melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; insatansi yang berwenang adalah termasuk Badan Pemeriksaan Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Pemyelenggara Negara, inspekorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non- Departemen.
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi.
d. Melakukan tindakan- tindakan pencegahan tindak pidana
korupsi.
e. Menyelenggarakan monitor tehadap penyelenggaraan
pemerintah Negara.
Salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang paling penting dalam suatu tindakan pemberantasan korupsi adalah pada saat penyidikan.
Dalam penyidikan sendiri ada yang disebut penyidik yaitu orang yang melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yang dijelaskan pada Pasal 1 butir 1 Kitab Undang – Undang Hukum
Pidana. Pejabat penyidik sendiri terdiri dari Penyidik Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Penyidik sendiri menurut Pasal 45 angka 1 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 adalah :
“Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Penyidik melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.”
Dari uraian pasal tersebut diatas dapat dilihat bahwa penyidik dari Komisi Pemberantasan Korupsi hanya melaksanakan tugas penyidikan mengenai perkara-perkara tindak pidana korupsi saja yang biasanya melibatkan pejabat-pejabat negara dengan nominal korupsi diatas 1 Milyar.
Sedangkan mengenai penyidik selain dari Komisi Pemberantasan Korupsi juga ada penyidik dari Kepolisian dan Kejaksaan. Dan KPK harus terus berkoordinasi dengan Instansi lain yang berwenang dalam menangani tindak pidana korupsi yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang dirumuskan sebagai berikut:
“Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pembernatasan tindak pidana korupsi”
Selain itu dalam hal penyidikan dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan harus melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi, hal ini sesuai dengan Pasal 50 angka 1 yaitu :
“Dalam hal suatu tindak pidana korupsi terjadi dan Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara tersebut telah dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan”
Selain itu penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan haruslah terus berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi sesuai dengan Pasal 50 angka 2 yaitu :
“Penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan koordinasi secara terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi”
Lain halnya dalam hal penyidikan yang dilakukan bersamaan oleh ketiga lembaga tersebut seperti yang dirumuskan dalam Pasal 50 angka 4 yaitu :
“Dalam hal penyidikan dilakukan secara bersamaan oleh Kepolisian danatau Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidikan yang dilakukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan tersebut segera dihentikan”
Jadi dalam hal di atas Komisi Pemberantasan Korupsi yang berwenang dalam malaksanakan penyidikan dalam tindak pidana korupsi tersebut.
2. Lembaga Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Daerah
Sekalipun perundang-undangan di bidang tindak pidana korupsi telah dirumuskan, perundang-undangan ini tentu tidak akan dapat berjalan efektif apabila tidak ada lembaga penegak hukum di bidang tindak pidana korupsi. Lembaga yang demikian dibutuhkan karena pada hakikatnya perundang-undangan hanyalah sekumpulan Sekalipun perundang-undangan di bidang tindak pidana korupsi telah dirumuskan, perundang-undangan ini tentu tidak akan dapat berjalan efektif apabila tidak ada lembaga penegak hukum di bidang tindak pidana korupsi. Lembaga yang demikian dibutuhkan karena pada hakikatnya perundang-undangan hanyalah sekumpulan
a. Kepolisian
Dalam konteks sistem peradilan pidana, Polisi merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan pada sub sistem penyidikan. Definisi penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 KUHAP adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Adapun dalam Pasal 1 KUHAP turut pula didefinisikan penyidik yakni pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Ketentuan dalam kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam undang-undang tersebut diatur mengenai tugas pokok dari kepolisian. Pengaturan menganai tugas pokok kepolisian diatur dalam Pasal 13, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa tugas pokok kepolisian adalah:
1) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2) Menegakkan hukum; dan
3) Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan
kepada masyarakat
Agar dapat menjalankan tugas pokok tersebut, kepolisian diberikan beberapa tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 14 undang- undang kepolisian. Diantara beberapa tugas tersebut, terdapat satu tugas yang kemudian dengan tugas ini dapat membuktikan bahwa kepolisian memgang kekuasaan sub sistem penyidikan, tugas tersebut adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang- undangan lainnya. Tugas tersebut terlihat dalam Pasal 14 huruf g Undang-Undang Kepolisian.
Khusus tindak pidana korupsi, tugas ini tidak dapat dijalankan begitu saja karena adanya Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penuntutan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang:
1) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan
orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
2) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; danatau
3) Menyangkut kerugian negara paling sedikit rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah).
Dengan demikian, Kepolisian dapat menjalankan tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi apabila tindak pidana korupsi yang dilakukan tidaklah memenuhi keadaan yang diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
b. Kejaksaan
Seperti halnya Kepolisian, Kejaksaan juga bertindak sebagai pemegang kekuasaan dalam sub sistem penuntutan dalam sistem peradilan pidana. Kejaksaan tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perlu dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan penuntutan, karena penuntutan adalah wilayah kekuasaan dari kejaksaan.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Kejaksaan dinyatakan bahwa penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Selanjutnya yang dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Kemudian yang dimaksud dengan jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang- undang.
Sebagai salah satu pemegang peran dalam sistem peradilan pidana, jaksa mempunyai tugas dan kewenangan dalam bidang pidana Sebagai salah satu pemegang peran dalam sistem peradilan pidana, jaksa mempunyai tugas dan kewenangan dalam bidang pidana
1) Melakukan penuntutan;
2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
4) Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang;
5) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat
melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
Terkait dengan point pertama yakni melakukan penuntutan, dalam perkara tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan secara otomatis karena telah berlaku Undang-Undang KPK. Dengan adanya undang-undang ini, jaksa hanya dapat melakukan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi diluar tiga keadaan yang dirumuskan dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Tiga keadaan tersebut adalah tindak pidana korupsi yang:
1) Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan
orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
2) Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; danatau
3) Menyangkut kerugian
negara paling sedikit Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
3. Prosedur Dilakukan Penyidikan
a. Penyidikan Kepolisian
Tugas dan wewenang dari penyelidik salah satunya adalah menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Penyelidik dalam hal ini polisi sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 4 KUHAP, atas laporanpengaduan tersebut mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Di dalam penyidikan berdasarkan Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidikpolisi mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Di dalam Pasal 4 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana, dasar dilakukan penyidikan adalah:
a. Laporan polisipengaduan;
b. Surat perintah tugas;
c. Laporan hasil penyelidikan (LHP);
d. Surat perintah penyidikan; dan
e. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Sedangkan menurut Pasal 1 angka 21 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia menyatakan: “Bukti permulaan adalah alat bukti berupa Laporan Polisi dan 1 (satu)
alat bukti yang sah, yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk dapat dilakukan penangkapan.”
Dari Pasal 184 KUHAP menjabarkan bahwa alat bukti yang sah sebagai berikut:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa. Atas pengertian dan penjelasan di atas dapat diketahui polisi
dengan adanya laporan polisipengaduan dan keterangan saksi korban dapat menindaklanjuti laporan tersebut.
b. Penyidikan Kejaksaan
Proses penyidikan yang dilakukan oleh Pihak Kejaksaan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi juga berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI No.KEP-518AJ.A112001 tanggal 1 November 2001 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia No.Kep 132J.A111994 tanggal 7 November 1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana dan kelaziman praktik penanganan perkara Tindak Pidana Korupsi, modus operandi terungkapnya perkara korupsi dapat karena adanya inisiatif penyidik sendiri atau karena laporan atau informasi seseorang tentang telah terjadinya tindak pidana korupsi.
Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum yaitu yang biasa dikenal dengan SPDPSurat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut Umum yaitu yang biasa dikenal dengan SPDPSurat Pemberitahuan dimulainya Penyidikan
Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum “Pemberhentian Penyidikan” ini diberitahukan kepada Penuntut Umum dan kepada tersangkakeluarganya. Namun, jika peristiwa tersebut merupakan peristiwa tindak pidana, maka setelah dilakukan penyidikan, berkas diserahkan kepada Penuntut Umum (Pasal 8 ayat (2) KUHAP).
c. Penyidikan Terhadap Pejabat Negara
Prosedur pemeriksaan atau penyidikan merupakan administrasi yang harus ditempuh untuk melakukan suatu kegiatan pemeriksaan dalam rangkaian tindakan kepolisian, sehingga pemeriksaan yang dilakukan memenuhi syarat yuridis dan administrative. Adapun prosedur penyidikan meliputi :
a. Prosedur umum berdasarkan KUHAP ( Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.)
b. Prosedur khusus berdasarakan Undang-undang yang mengaturnya
yang ditujukan kepada : - Kepala Daerah wakil
- Anggota MPR,DPR dan DPD - Anggota DPRD - Dewan Gubernur BI - Hakim - Jaksa - Notaris - Kepala Desa
Prosedur pemanggilan atau penyidikan terhadap Kepala Daerah dan Wakilnya berdasarkan Pasal 36 (1) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 8 tahun 2005 :
a. Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah
danatau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden atas permintaan penyidik.
b. Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak diberikan oleh presiden dalam waktu paling lambat 60 (enam puluh hari) terhitung sejak diterimanya permohonan, proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilakukan.
c. Tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan
diperlukan persetujuan tertulis sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2).
d. Hal-hal yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) adalah :
1. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
2. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang
diancam dengan pidana mati, atau telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara.
e. Tindakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) setelah
dilakukan wajib dilaporkan kepada presiden paling lambat dalam waktu 2 kali 24 jam.
Adapun tata caranya berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Undang- undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah bahwa Tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari Presiden RI, dengan tata cara yaitu:
a. Penyidik mengajukan surat permohonan persetujuan tertulis untuk
memeriksa Kepala Daerah Wakil melalui Bareskrim Mabes Polri, dengan menyebut status terperiksa sebagai tersangka atau saksi, serta mencantumkan identitas penyidiknya.
b. Permohonan disertai dengan laporan hasil kemajuan perkara.
c. Dalam hal terperiksa sebagai saksi, harus menyebutkan siapa
tersangkanya.
d. Sebelum mulai pemeriksaan, terlebih dahulu dokumen asli
persetujuan tertulis Presiden diperlihatkan untuk dibaca terperiksa.