Kewenangan Lembaga Penyidik Dalam Penyidikan Tipikor

3. Kewenangan Lembaga Penyidik Dalam Penyidikan Tipikor

  Dalam perjalanan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi semakin membantu dalam penanganan kasus – kasus tindak pidana korupsi di Indonesia. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang berdasarkan Pasal 2 dan 3 Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang untuk selanjutnya disebut Komisi Pemberantsan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan apapun.

  Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu :

  “Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan, “Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyelidikan, penyidikan,

  Komisi pemberantasan korupsi dalam hal penanganan tipikor harus sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku sebagai ketentuan yang memuat tata cara dan suatu proses perkara pidana, mengatur hak dan kewajiban bagi mereka yang bersangkut paut dalam proses perkara serta mengatur pelaksanaan peradilan menurut Undang-Undang. Pengertian hukum acara pidana menurut

  Moeljatno 37 bahwa:

  “Hukum acara pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara yang berisikan dasar-dasar dan aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan, bagaimana cara dan prosedur dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.”

  Sedangkan menurut Wirjono Projodikoro hukum acara

  pidana erat hubungannya dengan hukum pidana. Wirjono

  Projodikoro 38 memberi pengertian hukum acara pidana:

  “Hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara, bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yakni kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara yang mengadakan hukum pidana.”

  Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi sendiri dapat dilihat dalam Pasal 6 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu :

  a. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi.

  37 Topo Santoso,”Polisi dan Jaksa Dalam Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia”, Jurnal Ilmu Hukum. Volume 10 ( September 2001 ) Hal. 12

  38 Ibid. Hal. 2 38 Ibid. Hal. 2

  c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

  d. Melakukan tindakan- tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.

  e. Menyelenggarakan monitor tehadap penyelenggaraan pemerintah Negara.

  f. Melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan tindak pidana korupsi.

  g. Melakukan supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; instansi yang berwenang adalah termasuk Badan Pemeriksaan Keuangan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Komisi Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, inspekorat pada Departemen atau Lembaga Pemerintah Non- Departemen.

  h. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

  i. Melakukan tindakan- tindakan pencegahan tindak pidana korupsi. j. Menyelenggarakan monitor tehadap penyelenggaraan pemerintah

  Negara.

  Salah satu tugas dari Komisi Pemberantasan Korupsi adalah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang paling penting dalam suatu tindakan pemberantasan korupsi adalah pada saat penyidikan.

  Tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian tahap- tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa Tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian tahap- tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa

  Dalam sejarah hukum acara pidana bahwa sebelum berlakunya KUHAP, kekuasaan melakukan penyidikan dimiliki oleh kejaksaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) Undang- Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indonesia yang berbunyi:

  “Mengadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinir alat- alat penyidik menurut ketentuan- ketentuan dalam Undang- Undang Hukum Acara Pidana dan lain- lain peraturan negara”.

  Penjelasan pasal tersebut menyatakan untuk kesempurnaan tugas penuntutan, jaksa perlu sekali mengetahui sejelas- jelasnya semua pekerjaan yang dilakukan dalam bidang penyidikan perkara pidana dari permulaan sampai akhir yang seluruhnya itu harus dilakukan atas dasar hukum. Hal ini dapat dilihat bahwa yang memimpin dalam hal penyidikan pada periode sebelum berlakunya KUHAP adalah kejaksaan, yaitu dengan tugas selaku pengawas dan koordinator di bidang penyidikan yang dilakukan oleh pihak- pihak lain, termasuk polisi.

  Dalam perkembangan selanjutnya, dengan lahirnya Undang- undang Kepolisian yang baru pada tahun 2002, menyatakan polisi dapat melakukan penyidikan untuk semua tindak pidana. Dalam arti

  39 Hibnu Nugroho, Op.Cit., Hal. 67 39 Hibnu Nugroho, Op.Cit., Hal. 67

  Dari ketiga lembaga penyidikan tersebut dapat menimbulkan tumpang tindihnya kewenangan antara sub sistem dalam sistem peradilan pidana tentang siapa yang berwenang melakukan penyidikan pada perkara tindak pidana korupsi setelah keluarnya Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dimulai dengan rumusan Pasal 26 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, merumuskan:

  “Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang Pengadilan terhadap tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang ini.”

  Hal ini sama dengan rumusan Pasal 39 Undang-undang No.

  30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Secara Gramatikal arti kalimat berdasarkan hukum acara yang berlaku tentunya merujuk kepada Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana, karena selain KUHAP tidak ada lagi hukum acara pidana lain yang berlaku di Indonesia. Hal tersebut juga berarti bahwa terhadap tindak pidana korupsi, harus dilakukan penyidikan berdasarkan Pasal 106 sampai 136 KUHAP oleh penyidik menurut Pasal 1 angka 1 sampai 5, yaitu polisi. Sedangkan penuntutan tindak pidana dilakukan menurut Pasal

  137 sampai 144 KUHAP oleh penuntut umum menurut Pasal 1 angka 6 dan 7 KUHAP, yaitu Jaksa.

  Berdasarkan uraian dan pemikiran tersebut di atas, jelas bahwa masalah kewenangan masing-masing sub sistem dalam sistem peradilan pidana sangat menentukan sekali dalam rangka penegakan hukum terutama pada tindak pidana korupsi, agar kepastian hukum dan kesebandingan hukum dapat tercapai.

  Hal ini sebagaima sebagaimana dijelaskan oleh Muladi 40 ,

  bahwa : “Sistem peradilan didalamnya terkandung gerak sistemik dari

  subsistem – subsistem pendukung ( Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Pengadilan ) yang secara keseluruhan dan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha mentrasformasikan masukan menjadi keluaran yang menjadi tujuan sistem peradilan pidana yang berupaya resosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menengah) dan kesejahteraan sosial (jangka panjang). Untuk itu perlu adanya sinkronisasi pelaksanaan penegakan hukum dikalangan subsistem-subsistem. Jika keterpaduan subsistem- subsistem dalam sistem peradilan pidana tidak terwujud, masyarakat dapat beranggapan bahwa sistem peradilan pidana menyebabkan timbulnya kejahatan.”

  Berdasarkan hal tersebut diatas maka, diantara ketiga lembaga pemberantasan tipikor tersebut yaitu Kepolisian, Kejaksaan dan KPK harus adanya hubungan yang sinergis dan kerjasama yang baik begitu pula dalam halnya penyidikan di tingkat daerah.

  Menurut “ Kamus besar bahasa Indonesia “bahwa yang dikatakan harmonisasi adalah pengharmonisan, pencarian

  40 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000) Hal. 7 40 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2000) Hal. 7

  Dalam

  hal ini dapat

  dikatakan bahwa

  pengharmonisasian atau pencarian keselarasan antara hukum pidana formil yang diatur dalam Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1981 dengan Undang- Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Karena hal inilah yang bisa menjadi satu hambatan dalam penyidikan tindak pidana korupsi jika tidak ada hubungan sinergis diantara ketiga lembaga tersebut.

  Penerapan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang telah terjadi di daerah sesuai dengan Pasal 50 angka 1 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai penyidik di daerah yaitu :

  “Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi belum melakukan penyidikan, sedangkan perkara telah dilakukan penyidikan oleh kepolisisan atau kejaksaan, instansi tersebut wajib memberitahukan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi paling lambat 14 (empat Belas) hari kerja terhitung sejak tanggal dimulainya penyidikan.”

  Selain itu, jika penyidikan sudah dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan maka lembaga tersebut wajib melakukan koordinasi terus menerus dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.

  Dalam perkara lain jika Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan, maka sesuai dengan Pasal 50 ayat (3) Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 yaitu kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan. Jika penyidikan dilakukan secara bersamaan maka penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan segera dihentikan. Oleh karena itu juga untuk menghindari terjadi tumpang tindih, penyidik

  Polri yang telah menyepakati untuk melakukan penandatangan MoU. 41

  Pada intinya MoU tersebut berisi tentang kesepakatan bahwa KPK akan memberitahukan kepada institusi kepolisian dan kejaksaan pada saat mulai melakukan penyidikan suatu kasus dengan menerbitkan SPDP (Surat Penghentian Dimulainya Penyidikan), karena selama ini yang telah melakukan hal tersebut baru antara lembaga kepolisian dengan kejaksaan, sedang KPK tidak pernah melakukan hal tersebut baik kepada kepolisian maupun kejaksaan.

  Hubungan fungsional dan koordinatif antara Kejaksaan dan Kepolisian dengan Komisi Pemberantasan Korupsi dapat dilihat dalam Pasal 6 huruf a Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas – tugas :

  “Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi”

  Tugas tersebut haruslah dilaksanakan dengan baik oleh penyidik dalam penyidikan tipikor di daerah agar berjalanya pemberantasan tindak pidana korupsi sesuai dengan peraturan yang berlaku.