TOGAR

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH
( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )

SKRIPSI

Oleh :
MUCHAMMAD FAHMI ROSADI
E1A009125

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014

i

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH
( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Oleh :
MUCHAMMAD FAHMI ROSADI
E1A009125

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
ii

SURAT PERNYATAAN

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : MUCHAMMAD FAHMI ROSADI
NIM


: E1A009125

Menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH
( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )

Yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri, tidak menjiplak hasil karya
orang lain, maupun dibuatkan orang lain.
Apabila dikemudian hari ternyata terbukti saya melakukan pelanggaran
sebagaimana tersebut diatas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari
Fakultas, termasuk pencabutan gelar Sarjana Hukum (SH.) yang saya sandang.

Purwokerto, Februari 2014

MUCHAMMAD FAHMI ROSADI
E1A009125

iv

ABTRAK

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH
( Studi Implementasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap )
Oleh :
MUCHAMMAD FAHMI ROSADI
E1A009125
Dalam suatu pemberantasan korupsi, tahap penyidikan merupakan salah satu bagian
penting dari tahap yang harus dilalui untuk menuju suatu pembuktian tindak pidana korupsi
dan akan menghasilkan putusan yang mampu mendekati kebenaran materiil. Oleh sebab itu
keberadaan tahap penyidikan tidak bisa dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang
mengatur tindak pidana korupsi yang penyidikannya dilakukan oleh KPK, Kepolisian dan
Kejaksaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganalisis penerapan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan di wilayah Cilacap dan mengetahui hambatan
yang dihadapi oleh penyidik di wilayah Cilacap.
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis sosiologis dan
menggunakan spesifikasi penelitian deskriptif. Metode Pengambilan informan dengan
menggunakan Purposive Sampling dengan criterian based selection dan metode analisis data
secara kualitatif.
Berdasarkan hasil penelitian, kewenangan penyidikan yang dilakukan di Cilacap

dilakukan oleh Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam proses penyidikan, penyidik bisa
menggunakan upaya paksa khusus terhadap tersangka untuk menemukan barang bukti dan
dapat menggunakan ilmu bantu lain di tingkat pemeriksaan. Selain itu dalam proses
penyidikan, penyidik bisa melakukan gelar perkara untuk menemukan alat bukti baru dan
keterangan lain mengenai perkara. Faktor yang menghambat penyidikan di wilayah Cilacap
yaitu faktor hukum, penegak hukum, sarana prasarana, masyarakat dan wilayah geografis.

Kata Kunci : Penyidikan, Tindak Pidana Korupsi, Daerah

ABTRACT
v

THE INVESTIGATION OF CORRUPTION IN THE REGION
( The Study of Implementation Investigation of Corruption in Cilacap)
By :
MUCHAMMAD FAHMI ROSADI
E1A009125
In the fight against corruption, the investigation stage was one of the important part
from the procedure that must be followed to get a proof of corruption, and will produced a
decision which could approach the material truth. There fore the existence of investigation

stage cant be separated from the existence of legislative provision that arranged corruption
which the investigation was did by KPK, the police, and the attorney according to Act Number
30 Year 2002 about corruption eradication commission.
The purposes of this research is to know and to analyze the applying investigation of
corruption which commited in Cilacap and also to knowing the obstacle which faced by the
investigator in Cilacap.
Approaching method that used in this research was socio-juridical and the
specification of this research was descriptive research. The Informant taking method with used
Purposive Sampling with criterian based selection and data analyze method used qualitative
method.
Based on the result of research, the investigation which commited in Cilacap was did
by the attorney and the police. In the investigation process, investigator can used the special
force against suspect to find the evidence and can used criminal psycology in the interrogation
level. In addition, in the process of investigation, the investigator may conduct his case to find
new evidence and other information about the case. The obstacle factor the investigation in the
Cilacap is a law factor, law enforcement, infrastructure, society and geographic area.

Key word : Investigation, Corruption, Region

vi


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul: PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DI DAERAH ( Studi Implementasi Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap ).
Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.
Dalam proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak
secara langsung ataupun tidak langsung. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis akan
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman;
2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi I yang telah memberikan
arahan

dan

bimbingan dengan


penuh

kesabaran

sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini;
3. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Skripsi II yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini;
4. Pranoto, S.H., M.H. selaku Dosen Penguji Skripsi yang memberi masukan dan
bimbingan bagi kesempurnaan skripsi penulis;
5. Kedua orang tua tercinta, yang tidak pernah habis memberikan doa, kasih sayang,
pengorbanan, dorongan dan semangat dari kecil hingga dewasa dan sepanjang
penulisan skripsi ini.

vii

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna,

mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur. Namun dangan segala
kerendahan hati penulis mohon maaf sekaligus sumbang saran maupun kritik konstruktif
yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap semoga
tulisan ini ada manfaatnya bagi kita semua.

Purwokerto,

Februari 2014

Penulis

viii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Puji syukur selalu terpanjatkan kehadirat Allah SWT beserta Sholawat dan salam
semoga selalu tercurah limpahkan kepada Rasullah SAW, karya sederhana ini akhirnya
terseesaikan. Dengan penuh kerja keras ku persembahkan skripsi ini untuk orang-orang yang
penulis sayangi yaitu :
1. Secara khusus skripsi ini kupersembahkan kepada kedua orang tuaku, Drs.

Muchammad Suprayogo dan Musyarofah terima kasih telah merawat, menjaga,
membimbing, melindungi serta selalu mendoakan dan memberikan dukungan baik
moril maupun materiil yang pastinya tidak ternilai dan tidak dapat terbayar oleh
apapun;
2. Kedua saudaraku, Qorianita Khajar Ikhsani dan Qurrotun Imammah yang selalu
memberi dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini;
3. Untuk para Dosen di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, terima kasih
yang sebesar - besarnya atas ilmu, bimbingan, kritik, saran, masukan dan lain
sebagainya guna menjadikan penulis pribadi yang lebih baik di masa depan;
4. Saryono Hanadi, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik yang memberikan
motivasi dan bimbingan dari semester awal hingga akhir;
5. Untuk Masayu Novalina, yang selalu memberi doa dan dukungan untuk cepat
terselesainya skripsi ini serta sudah mengisi dan memberi warna dalam hari-hariku
selama masa kuliah ini dan semoga seterusnya;
6. Keluarga besar UKM Law Football Club Fakultas Hukum Unsoed, yang memberi
pengalaman berharga mengenai organisasi maupun dalam bermain sepakbola dan
futsal;

ix


7. Keluarga besar UKM Unsoed Football Club, yang telah memberi pengalaman baru
dalam berorganisasi di UKM Universitas serta kekeluargaan yang sangat erat di
organisasi ini;
8. Keluarga besar Milanisti Indonesia Sezione Purwokerto, yang selalu memberi
keceriaan selama ini karena kalian lebih dekat dari saudara dan lebih besar dari
keluarga;
9. Tim Sepakbola dan Futsal Fakultas Hukum Unsoed yang memberi pengalaman
berharga mengenai kekeluargaan dan semangat pantang menyerah baik saat bermain
maupun saat mendampingi kalian di dalam maupun luar lapangan;
10. Sahabatku Saikhu, Ajeng, Marno, Irvan, Dwina, Widya, Irfan Shidiq, Agung, Dita dan
Yenita yang berawal dari kelompok PLKH kalian sudah aku anggap seperti keluarga
sendiri karena kalianlah yang selalu peduli satu sama lain ketika senang maupun sedih;
11. Sahabatku Ali, Bayu Sendi, Tyas, Raymon, Subkhan, Rosi, Almas, Ardian Rizky, Tyo
dan Egi yang selalu memberi keceriaan baik saat futsal maupun saat main bareng,
kalianlah yang selalu bisa bikin tertawa, semoga kalian cepat menyusul menjadi Sarjana
Hukum;
12. Sahabatku Fahmi Fiqi, Rizqo, Alvian, Desi, Avry, Harley dan Damas dari kalianlah aku
belajar mengenai tanggung jawab dan kedewasaan;
13. Rekan seperjuangan, Rizka, Barkah, Daniel, Singgih dan Ohan yang sama-sama
berjuang dalam menyelesaikan skripsi kita. Kita harus sukses setelah ini;

14. Teman-teman kosan Adi Primanto, Bogo, Adi dan Dika yang selalu meramaikan
suasana di kosan sehingga menjadikan semangat selama di Purwokerto;
15. Serta pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

HALAMAN MOTTO
x

“Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu
kebaikan, Maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan
kemajuan”
(Bung Karno)

“Ada kualitas yang harus dimiliki orang untuk menang, yaitu tujuan yang jelas, tahu
yang diinginkan, dan semangat membara untuk meraihnya”
(Napoleon Hill)

"Kenapa seorang juara selalu menang, Karena mereka punya mental dan kemauan
kuat untuk juara."
(Muchammad Fahmi Rosadi)

DAFTAR ISI
xi

HALAMAN
HALAMAN JUDUL ................................................................................................

ii

HALAMAN PENGESAHAN..................................................................................

iii

SURAT PERNYATAAN .........................................................................................

iv

ABSTRAK ................................................................................................................

v

ABSTRACT..............................................................................................................

vi

KATA PENGANTAR..............................................................................................

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ..............................................................................

ix

HALAMAN MOTTO ..............................................................................................

xi

DAFTAR ISI.............................................................................................................

xii

BAB I. PENDAHULUAN
A. Pendahuluan ..................................................................................................

1

B. Perumusan Masalah.......................................................................................

5

C. Tujuan Penelitian...........................................................................................

6

D. Kegunaan Penelitian .....................................................................................

6

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan dan Azas dalam Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana .............................................................

7

2. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana.................................................

9

3. Pihak Pihak Dalam Acara Pidana.............................................................

11

4. Azas – Azas Berlakunya Undang – Undang ............................................

12

5. Azas – Azas Hukum Acara Pidana...........................................................

13

B. Penyidikan
1. Pengertian Penyidikan ..............................................................................
xii

24

2. Pengertian Penyidik..................................................................................

27

3. Kewenangan Lembaga Penyidik Dalam Penyidikan Tipikor ..................

29

C. Lembaga Penyidikan Tipikor di Indonesia
1. Komisi Pemberantasan Korupsi ...............................................................

36

2. Kepolisian.................................................................................................

38

3. Kejaksaan .................................................................................................

41

D. Tindak Pidana Korupsi
1. Pengertian Tindak Pidana.........................................................................

44

2. Korupsi .....................................................................................................

47

a. Pengertian Korupsi...............................................................................

47

b. Sebab – Sebab Tindak Pidana Korupsi................................................

50

BAB III. METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan ........................................................................................

53

2. Spesifikasi Penelitian .....................................................................................

53

3. Lokasi Penelitian............................................................................................

54

4. Sumber Data...................................................................................................

54

5. Metode Pengumpulan Data............................................................................

55

6. Metode Penyajian Data ..................................................................................

55

7. Metode Penentuan Informan..........................................................................

56

8. Metode Validitas Data ...................................................................................

56

9. Metode Analisis Data.....................................................................................

57

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Data Sekunder .....................................................................

58

B. Hasil Penelitian Data Primer..........................................................................

93

C. Pembahasan....................................................................................................

105

xiii

BAB V. PENUTUP
A. Simpulan ........................................................................................................

145

B. Saran ..............................................................................................................

147

DAFTAR PUSTAKA

xiv

1

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akhir –
akhir ini akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan
perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan
bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan
sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hakhak ekonomi masyarakat, karena itu semua maka tindak pidana korupsi
tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah
menjadi suatu kejahatan luar biasa.
Karena hal itu, korupsi merupakan salah satu dari sekian istilah
yang kini telah akrab di telinga masyarakat Indonesia, hampir setiap hari
media massa memberitakan berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh
aparatur negara baik pegawai negeri ataupun pejabat negara. Dalam
kepustakaan kriminologi, korupsi merupakan salah satu kejahatan jenis
“white collar crime” atau kejahatan kerah putih. Akrabnya istilah korupsi
di kalangan masyarakat telah menunjukkan tumbuh suburnya perhatian
masyarakat terhadap korupsi, “white collar crime” mampu menarik
perhatian masyarakat karena para pelakunya adalah orang-orang yang
dipersepsikan oleh masyarakat sebagai orang-orang terkenal atau cukup

2

terpandang namun merekalah yang membuat kemelaratan dalam
masyarakat.1
Timbulnya kejahatan jenis tersebut menurut menurut J.E. Sahetapi
dikutip oleh Usman dalam Jurnalnya diungkapkan bahwa :
“Timbulnya kejahatan jenis seperti ini menunjukan bahwa sudah
tidak hanya kemiskinan saja yang menjadi penyebab timbuknya
kejahatan, melainkan faktor kemakmuran dan kemewahan
merupakan faktor pendorong orang-orang melakukan kejahatan.”2
Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang
dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai
hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar
biasa. Pada saat ini kinerja aparat penegak hukum dalam menangani
masalah-masalah hukum khususnya yang terkait dengan tindak pidana
korupsi dipertanyakan kembali. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
aparat kepolisian, kejaksaan, kehakiman adalah lembaga-lembaga yang
melanggengkan korupsi sehingga menjadi suatu sistem yang buruk dalam
penegakan hukum. Bahkan karena sudah melembaganya korupsi di
lingkungan aparat penegak hukum itu sendiri hingga akhirnya timbul suatu
idiom tentang Kasih Uang Habis Perkara.
Berbagai kebijakan pemerintah tertuang dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pemberantasan korupsi antara
lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
1
Teguh Sulista dan Aria Zurnetti, Hukum Pidana: Horizon Baru Pasca Reformasi
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011) Hal. 63
2
Usman. “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum.Volume 2
Nomor 1.Hal. 68 ( Juni 2013 )

3

Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan dalam hal ini masih banyak
peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan korupsi.
Pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan, dirasakan tidak
cukup hanya dengan perluasan perbuatan yang dirumuskan sebagai
korupsi serta cara- cara yang konvensional, diperlukan metode dan cara
tertentu agar mampu membendung meluasnya korupsi. Salah satu cara
adalah ialah dengan menetapkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime), sehingga pemberantasaannya tidak lagi dapat
dilakukan secara biasa. Karena itu diperlukan metode penegakan hukum
secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang
menangani pemberantasan tindak pidana korupsi. Kewenangan badan
khusus tersebut harus bersifat independen serta bebas korupsi, yang
pelaksanaannya dilakukan secara maksimal, optimal, intensif, efektif,
profesional dan berkesinambungan. Badan khusus itu disebut Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dalam Undang-

4

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi dalam bertindak pastilah terdapat
kendala maupun hambatan dalam upaya pemberantasan korupsi. Kendala
tersebut dapat dilihat pada realita saat ini yaitu terkait dengan masalah
pemeriksaan pada tingkat penyidikan. Bahwa sesuai dengan Pasal 6 ayat
(1) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa
penyidik adalah pejabat polisi Republik Indonesia dan pejabat pegawai
negeri sipil.
Hal yang menjadi kelemahan penyidikan tipikor daerah, bisa
dilihat jika lemahnya suatu penyidikan tersebut bisa menyebabkan
pengadilan menjatuhkan putusan bebas terhadap pelaku korupsi. Bahkan
jika dijatuhi hukumanpun, sewaktu – waktu pihak tersebut melakukan
banding bisa saja pengadilan membebaskan terdakwa karena lemahnya
penyidikan tipikor daerah.3
Dengan adanya pengadilan tipikor daerah, semua kasus Tipikor
yang ada di daerah akan disidik oleh penyidik kepolisian dan kejaksaan.
Jika dalam hal supervisi KPK tidak mampu melaksanakan tugasnya
dengan maksimal terhadap semua penyidikan, maka dalam penyidikan
tanggung jawab sepenuhnya nantinya akan jatuh kepada kepolisian dan
kejaksaan. Namun jika kualitas kejaksaan dan kepolisian masih seperti

3

Diunduh dari : http://www.suaramerdeka.com/ v2/ index.php /read/ cetak/ 2011 /05 /09
/145909 /Prospek-Peradilan-Tipikor-Daerah-. Diakses tanggal 22 Mei 2013 Pukul 17.00 WIB

5

dulu, hal ini dikhawatirkan akan memberatkan hakim Tipikor dalam
menyidangkan perkara.
Oleh karena itu patut dicermati kinerja kepolisian dan kejaksaan
sebagai penidik di daerah dalam melakukan penyidikan tindak pidana
korupsi yang ada di daerah. Dan berdasarkan latar belakang tersebut
penulis memberi judul skripsi PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
KORUPSI DI DAERAH ( Studi Implementasi Penyidikan Tindak
Pidana Korupsi di Wilayah Cilacap ).
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan hal – hal yang telah diuraikan dalam latar belakang,
maka disusunlah perumusan masalah sebagai berikut :
1.

Bagaimana penyidikan tipikor yang dilakukan di wilayah Cilacap?

2.

Apakah ada hambatan dalam pelaksanaan penyidikan Tipikor di
wilayah Cilacap?

B. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.

Mengetahui penyidikan Tipikor di wilayah Cilacap.

2.

Mengetahui hambatan dalam pelaksanaan penyidikan Tipikor di
Cilacap.

C. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan
sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum. Dan sebagai

6

tambahan wacana referensi acuan penelitian yang sejenis dari
permasalahan yang berbeda dibidang Hukum Acara Pidana.
2. Kegunaan praktis
a. Sebagai salah satu acuan kepustakaan Hukum Acara Pidana
khususnya mengenai penyidikan Tipikor.
b. Sebagai masukan kepada pihak-pihak yang terkait seperti aparatur
pemerintah, mahasiswa, advokat dalam memberikan penyelesaian
terhadap penyidikan Tipikor di daerah.

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian, Tujuan dan Azas dalam Hukum Acara Pidana
1. Pengertian Hukum Acara Pidana
Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dikutip oleh C.S.T. Kansil
Hukum Acara Pidana Adalah:
“Peraturan yang mengatur tentang bagaimana cara alat- alat
perlengkapan pemerintah melaksanakan tuntutan, memperoleh
Keputusan Pengadilan, oleh siapa Keputusan Pengadilan itu harus
dilaksanakan, jika ada seseorang atau kelompok orang yang
melakukan perbuatan pidana.”4

Perbedaannya dengan hukum pidana adalah Hukum Pidana
merupakan peraturan yang menentukan tentang perbuatan yang tergolong
perbuatan pidana. Syarat- syarat umum yang harus dipenuhi agar suatu
perbuatan dapat dikenakan sanksi pidana, pelaku perbuatan pidana dapat
dihukum dan macam- macam hukuman yang dapat dijatuhkan kepada
pelaku perbuatan pidana.
Hukum Acara Pidana disebut Hukum Pidana Formil (Formeel
Strafrech), sedang Hukum Pidana disebut sebagai Hukum Pidana Materiil
(Materieel Strafrecht). Jadi, Kedua hukum tersebut mempunyai hubungan
yang sangat erat.
Hukum Acara Pidana mempunyai tugas untuk:
1.

4

Mencari dan mendapatkan kebenaran materiil;

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1986), Hal. 345

8

2.

Memperoleh keputusan oleh hakim tentang bersalah tidaknya
seseorang atau sekelompok orang yang disangka/didakwa melakukan
perbuatan pidana;

3.

Melaksanakan keputusan hakim.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang

menjadi pedoman dalam proses beracara para penegak hukum tidak
memberikan definisi tentang hukum acara pidana, yang ada hanyalah
berbagai pengertian mengenai bagian-bagian tertentu dari hukum acara
pidana, misalnya pengertian penyelidikan, penyidikan, penangkapan,
penahanan, dan lain-lain.5
Untuk mengetahui pengertian tentang acara pidana, maka
didasarkan pada pendapat (doctrine) dari para sarjana.
Pengertian hukum acara pidana menurut Moeljatno, seperti yang
dikutip oleh Sutomo bahwa:
Hukum acara pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu negara yang berisikan dasar-dasar dan aturan yang
menentukan dengan cara dan prosedur macam apa ancaman pidana
yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan, bagaimana
cara dan prosedur dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa
orang telah melakukan delik tersebut.6
Simons juga memberikan pengertian hukum acara pidana yaitu hukum
yang mengatur bagaimana negara dengan alat-alat perlengkapannya

5
Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana Indoensia (Jakarta: Balai Aksara,
2001) Hal. 4
6
Sutomo, Handout Hukum Acara Pidana (Surabaya: Fakultas Hukum Airlangga, 2007)
Hal. 1

9

mempergunakan

haknya

menghukum

dan

menjatuhkan

hukuman

(memidana).7
De Bosch Kemper yang dikutip oleh Andi Hamzah, memberikan
pengertian hukum acara pidana, yaitu keseluruhan asas-asas dan peraturan
undang-undang mengenai mana negara menjalankan hak-haknya karena
terjadi pelanggaran undang-undang.8
Van Bemellen seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah dalam
bukunya, memberikan penjelasan hukum acara pidana adalah sebagai berikut:
Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh negara, karena adanya dugaan terjadinya pelanggaran
undang-undang hukum pidana.
1. Negara melalui alat-alat penyidik kebenaran;
2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu;
3. Mengambil perbuatan-perbuatan yang perlu guna mengungkap si
pelaku dan kalau perlu menahannya;
4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijs material) yang telah
diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada
hakim dan membawa terdakwa kepada hakim tersebut;
5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan
yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan
pidana atau tindakan tata tertib;
6. Upaya hukum untuk melawan keputusan sendiri;
7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan
tata tertib itu.9
Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa Hukum Acara Pidana tidak
semata- mata menerapkan Hukum Pidana. Akan tetapi lebih menitikberatkan
pada proses dari pertanggungjawaban seseorang atau sekelompok orang yang
diduga dan/atau didakwa telah melakukan perbuatan pidana. Selain itu jika

7

Ibid, Hal. 3
Ibid, Hal. 3
9
Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 15

8

10

dalam hukum acara pidana dijalankan hanya berdasarkan kekuatan undangundang dan acara pidana dijalankan jika terjadi tindak pidana.
2. Tujuan Dan Fungsi Hukum Acara Pidana
Tujuan Hukum Acara Pidana sangat erat hubungannya dengan tujuan
Hukum Pidana, yaitu menciptakan ketertiban, ketentraman, kedamaian,
keadilan, dan kesejahteraan masyarakat. Hukum Pidana memuat tentang
rincian perbuatan yang termasuk perbuatan pidana, pelaku perbuatan pidana
yang dapat dihukum, dan macam- macam hukuman yang dapat dijatuhkan
kepada pelanggar hukum pidana. Sebaliknya Hukum Acara Pidana mengatur
bagaimana proses yang harus dilalui aparat penegak hukum dalam rangka
mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggarnya.
Tujuan hukum acara pidana pada hakikatnya mencari kebenarann
materiil. Kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang senyatanya
didapatkan dengan pembuktian.
Selanjutnya menurut R. Soesilo memberikan pendapat mengenai
tujuan hukum acara pidana yaitu:
“Hakikatnya memang mencari kebenaran. Para penegak hukum mulai
dari polisi, jaksa sampa kepada hakim dalam menyidik, menuntut, dan
mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan hal yang sungguhsungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas-petugas selain yang
berpengalaman luas, berpendidikan bermutu, dan berotak cerdas juga
berkepribadian yang teguh, yang kuat mengelakan dan menolak segala
godaan.”10

10

R. Soesilo, Op. Cit, Hal. 19

11

Menurut Andi Hamzah11 tujuan hukum acara pidana mencari
kebenaran itu hanyalah tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya ialah
mencapai

suatu

ketertiban,

ketentraman,

kedamaian,

keadilan

dan

kesejahteraan dalam masyarakat. Selain itu sesuai dengan definisi-definisi di
atas, bahwa hukum acara pidana mempunyai suatu tujuan untuk membentuk
aparat penegak hukum yang bertanggung jawab serta menghormati hak asasi
manusia.
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedua hukum tersebut
saling melengkapi, karena tanpa hukum pidana, hukum acara pidana tidak
berfungsi. Sebaliknya tanpa hukum acara pidana, hukum pidana juga tidak
dapat dijalankan (tidak berfungsi sesuai dengan tujuan).
Fungsi dari Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran
materiil,putusan hakim, dan pelaksanaan keputusan hakim.
3. Pihak- Pihak Dalam Acara Pidana
Pihak- pihak yangh turu serta dalam proses pelaksanaan Hukum Acara
Pidana adalah sebagai berikut :
a. Tersangka dan terdakwa
Tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau
keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku
perbuatan pidana (Pasal 1 Butir 14 KUHAP). Sedangkan terdakwa
adalah Seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang
pengadilan.
11

Andi Hamzah, Op. Cit.

12

b. Penuntut Umum (Jaksa)
Penuntut umum adalah lembaga yang baru ada setelah HIR
berlaku. Sebelum itu belum ada penuntut umum, yang ada adalah
magistrate yang masih berada di bawah residen atau asisten residen.
Tetapi setelah HIR berlaku, penuntut umum ada dan berdiri sendiri
dibawah procureur general.
c. Penyidik dan Penyelidik
Penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang- undang untuk melakukan penyidikan (butir 1 Pasal 1
KUHAP). Sedangkan penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik
Indonesia yang diberi wewenang oleh undang- undang ini untuk
melakukan penyelidikan (butir 4 Pasal 1 KUHAP).
d. Penasihat Hukum
Penasihat hukum adalah seseorang yang membantu tersangka atau
terdakwa sebagai pendamping dalam pemeriksaan.
4. Azas- Azas Berlakunya Undang- Undang
a. Azas Retroaktif, bahwa undang- undang tidak berlaku surut.
b. Lex Posterior Derogate Lex Priori, bahwa undang- undang yang
berlaku kemudian membatalkan undang- undang terdahulu sejauh itu
mengatur hal yang sama.

13

c. Lex Superior Derogate Legi Inferior, bahwa undang- undang yang
dibuat oleh penguasa tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi.
d. Lex Specialis derogate Legi Generalis, bahwa undang- undang khusus
mengalahkan undang- undang umum.
5. Asas – Asas Hukum Acara Pidana
Suatu hukum menggunakan asas sebagai landasan berpijak dalam
operasional pelaksanaannya, begitu pula hukum acara pidana. dalam hukum
acara pidana terdapat beberapa asas-asas penting yang perlu diketahui.
Menurut Andi Hamzah,12 terdapat sembilan asas penting dalam hukum acara
pidana yaitu:
1. Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan;
Suatu peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan
biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan. Berdasarkan penjelasan
umum KUHAP Butir 3 Huruf e ditegaskan sebagai berikut:
Peradilan harus dilaksanakan dengan cepat, sederhana dan biaya
ringan serta bebas jujur, dan tidak memihak harus diterapkan
secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.

Berdasarkan ketentuan tersebut juga ditegaskan dalam ketentuan
Pasal 59 ayat (1), (2), dan (3) KUHAP yang pada intinya bahwa
tersangka dan terdakwa berhak:
a. Segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik;
b. Segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik;
12

Ibid, Hal. 23

14

c. Berhak perkaranya diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; dan
d. Berhak segera diadili oleh pengadilan.
KUHAP menunjukkan sistem peradilan cepat, dengan banyak
menggunakan istilah “segera”. Menurut Andi Hamzah13 bahwa istilah
“satu kali dua puluh empat jam” lebih pasti dari pada istilah “segera”.
Demikianlah sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan
dalam praktik penegak hukum. Ia mengharapkan sebaiknya dalam
pembuatan peraturan perundang-undangan yang akan dihindari istilah
“segera”, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan semacamnya dan
diganti dengan “satu kali dua puluh empat jam”, “tiga kali dua puluh
empat jam”, “dua bulan”, dan seterusnya.
Mengenai pelimpahan berkas dari Pengadilan Negeri ke
Pengadilan Tinggi sebagai pengadilan tingkat banding juga diatur
sedemikian rupa, agar tercapai pengadilan yang bersifat tepat. Pasal 110
KUHAP mengatur tentang hubungan penuntut umum dan penyidik
dengan kata “segera.”
Pasal 140 ayat (1) KUHAP, bahwa:
Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil
penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu
secepatnya membuat surat dakwaan.
Berdasarkan pasal tersebut yang juga terdapat kata secepatnya,
berarti penegak hukum dalam melakukan pemeriksaan tidak boleh
ditunda-tunda dalam penyelesaian dan harus sesuai dengan tanggung
jawab. Dalam KUHAP Tentang asas sederhana dan biaya ringan:
13

Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 19

15

a. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti
rugi yang bersifat perdata oleh seorang korban yang mengalami
kerugian sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan
oleh terdakwa (Pasal 98);
b. Banding tidak dapat diminta terhadap putusan acara cepat;
c. Pembatasan penahanan dengan memberi sanksi dapat dituntut ganti
rugi pada sidang praperadilan, tidak kurang artinya sebagai
pelaksanaan prinsip mempercepat dan menyederhanakan poses
penahanan;
d. Demikian juga peletakan asas diferensiasi fungional, nyata-nyata
memberi

kesederhanaan

penanganan

fungsi

dan

wewenang

penyidikan, agar tidak terjadi penyidikan bolak-balik, timpang tindih
dan saling bertentangan.
Proses

perkara

pidana

dengan

biaya

ringan

diartikan

menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya
para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan
atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding, karena biaya yang
dikeluarkan lebih besar dari hasil yang diharapkan.
Menurut Andi Hamzah tentang peradilan cepat yaitu :
“Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang
lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak
asasi manusia. Begitu pula peradilan yang bebas, jujur, dan tidak
memihak yang ditonjolkan dalam undang-undang tersebut.” 14
Secara ringkasnya menurut Sudikno Mertokusumo yaitu :
14

Ibid, Hal. 11

16

“Sederhana adalah sederhana peraturannya, sederhana untuk
dipahami dan tidak berbelit-belit, cepat berarti tidak berlarut-larut
proses penyelesaiannya, biaya ringan berarti beaya untuk mencari
keadilan itu dapat terpikul oleh rakyat semuanya dengan tanpa
mengorbankan ketelitian untuk mencari kebenaran dan keadilan.”
15

2. Praduga tak bersalah (Presumption of innocence);
Asas ini dapat di lihat dalam Penjelasan Umum butir 3c KUHAP,
bahwa:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Asas ini merupakan asas penghormatan kepada seseorang yang
berhadapan dengan hukum dikatakan tidak bersalah sebelum adanya
putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam KUHAP merupakan
salah satu upaya untuk melindungi hak-hak tersangka dari tindakan
sewenang-wenang dari aparat hukum.
Namun menurut Rohmini tentang pengaturan asas praduga tidak
bersalah yaitu :
“Pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam Penjelasan Umum
Butir 3c KUHAP, dapat menjadi kendala dalam pelaksanaannya,
karena ketentuan tersebut tidak di atur dalam batang tubuh tetapi
hanya dalam penjelasan.13 Kendala dalam penerapan asas praduga
tidak bersalah dalam perkara pidana bukan karena pengaturannya
tidak secara tegas dalam batang tubuh KUHAP, tetapi lebih kepada
kesadaran hukum dari aparat hukumnya, yang kurang

15

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Yogyakarta: Liberty, 2003) Hal. 123

17

memperhatikan hak-hak tersangka yang
kepentingan untuk pembelaan hukum.”16

juga

mempunyai

Sebagaimana dikemukakan oleh Soekanto, bahwa :
“Penegakan hukum yang baik tidak hanya dilandasi faktor hukum
(undang- undang) yang baik dan lengkap melainkan juga
dipengaruhi oleh aparat penegak hukum, fasilitas, dan budaya
hukum masyarakat.”17
Senada dengan pendapat tersebut Winarta18

mengemukakan

bahwa:
“Melemahnya penegakan hukum di Indonesia, dikarenakan aparat
penegak hukum yang belum menunjukkan sikap profesional dan
tidak memiliki integritas serta moral yang tinggi.”

Oleh karenanya dapat disebutkan bahwa

budaya hukum yang

merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhi bekerjanya sistem
hukum adalah kesadaran hukum dari para pelaksana fungsi kekuasaan
kehakiman.
Penerapan asas presumption of innocence dalam perkara pidana
merupakan akibat proses pemidanaan oleh para penegak hukum, seperti
penyidik dan penuntut umum berhadapan dengan tersangka atau terdakwa
sering dihadapkan

dengan hak asasi manusia, sehingga asas ini

kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999,

16

Mien Rohmini, Perlindungan HAM melalui Asas Praduga tak Bersalah dan Asas
Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bandung:
Alumni, 2003) Hal. 67.
17
Frans H.Winarta, Pencapaian Supremasi Hukum yang Beretika dan Bermoral, Vol. 20
No. 1 (Jakarta: Pro Justitia, 2003) Hal. 8
18
E. Nurhaini Butarbutar, Sistem Peradilan dalam Negara Hukum Republik
Indonesia (Jakarta: Legalitas, 2010) Hal. 10

18

tentang Hak Asasi Manusia. Meskipun sebenarnya hak asasi yang
merupakan hak kodrati yang melekat pada manusia tidak membutuhkan
legitimasi yuridis untuk memberlakukannya, namun sifat negara yang
sekuler dan positivistik mengakibatkan eksistensi hak kod- rati manusia
tersebut memerlukan landasan yuridis dalam mengatur kehidupan
bersama-sama dengan manusia yang lain.
Proses pemidanaan tersebut sering tidak mengindahkan hak-hak
tersangka, yang seharusnya dilindungi karena perbuataan pidana yang
disangkakan kepadanya tidak selalu terbukti. Dijatuhkannya putusan
hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap terhadap perkara tersebut,
maka

peristiwa

yang

disangkakan atau diajukan oleh pihak yang

berkepentingan dianggap sebagai suatu kebenaran. Sesuai dengan fungsi
hukum sebagai alat untuk merubah masyarakat (a tool social engineering)
maka diharapkan putusan hakim dapat merubah pola tingkah

laku

masyarakat ke arah yang lebih baik sehingga tujuan negara yang sudah
dituangkan dalam

alinea

keempat

Pembukaaan UUD 1945 dapat

diwujudkan.
3. Oportunitas;
Penuntut Umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan
delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum.
Asas ini merupakan wewenang dari Kejaksaan Agung sesuai dengan
ketentuan Pasal 35 huruf (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004,
bahwa:

19

Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan
suatu perkara demi kepentingan umum.
A.Z. Abidin19 seperti yang dikutip oleh Andi Hamzah memberi
suatu rumusan tentang asas oportunitas adalah
“Asas hukum yang memberikan wewenangnya kepada Penuntut
Umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa
syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik
demi kepentingan umum.”
4. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum;
Pada dasarnya setiap persidangan adalah terbuka untuk umum
kecuali persidangan mengenai perkara kesusilaan atau terdakwanya anakanak. Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 153 ayat (3)
KUHAP, bahwa:
“Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara
mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Apabila hakim tidak membuka sidang tersebut untuk umum maka
hakim melanggar ketentuan ketentuan dan mengakibatkan putusan hakim
pengadilan menjadi “batal demi hukum.” Terhadap ketentuan ini ada
kecualinya mengenai

perkara

yang menyangkut

kesusilaan dan

terdakwanya terdiri dari anak-anak, dalam hal ini persidangan dapat
dilakukan dengan tertutup.
Menurut pendapat Andi Hamzah20 bahwa:
“Ketentuan yang terdapat di dalam pasal tersebut terlalu limitatif,
seharusnya hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai

19
20

Ibid, Hal. 14
Andi Hamzah, Op. Cit

20

situasi dan kondisi apakah sidang tersebut terbuka atau tertutup
untuk umum.”
Yahya Harahap berpendapat bahwa:
“Semua sidang pengadilan terbuka untuk umum. Pada saat majelis
hakim hendak membuka sidang, harus menyatakan “sidang terbuka
untuk umum.” Setiap orang yang hendak mengikuti jalannya
persidangan, dapat hadir memasuki ruang sidang. Pintu dan jendela
ruangan sidang pun terbuka, sehingga dengan demikian makna
prinsip persidangan terbuka untuk umum benar-benar tercapai.
Asas pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum disebut sebagai
asas demokrasi. Asas ini memberi makna yang mengarahkan
tindakan penegakan hukum di Sistem Peradilan Indonesia (SPP)
Indonesia harus dilandasi jiwa “persamaan” dan “keterbukaan”
serta musyawarah dan mufakat dari majelis peradilan dalam
mengambil keputusan.” 21
5. Semua orang diperlakukan sama didepan hakim;
Penjelasan Umum Butir 3a KUHAP bahwa perlakuan yang sama
atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan
pembedaan perlakuan. Jadi sesuai dengan ketentuan pasal tersebut di atas
telah ditegaskan bahwa peradilan memberikan perlakuan yang sama
kepada setiap orang di dalam pemeriksaan hakim tanpa adanya
pembedaan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sudikno Mertokusumo,
dimuka hukum semua orang adalah sama (equality before the law).
Pengadilan tidak hanya mengadili berdasarkan undang-undang seperti
yang tercantum dalam Pasal 20AB, tetapi mengadili menurut hukum.22
Menurut Barda Nawawi Arif23 bahwa :

21
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) edisi kedua,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003) Hal. 110
22
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit.
23
Barda Nawawi Arif, Op. Cit

21

“Adanya pembedaan perlakuan hukum dari apara penegak hukum,
berdasarkan asas kesamaan didepan hukum (equality before the
law), seharusnya secara hukum tidak ada perbedaan perlakuan
yang diberikan oleh aparat penegak hukum kepada sesama
tersangka, karena proses hukum yang digunakan merupakan proses
hukum yang adil dan jujur (dueprocess model) dalam sistem
penegakan hukum yang in concreto.”
Dalam due process model, perbedaan perlakuan hukum antara
tersangka satu dengan tersangka lainnya oleh majelis hakim berdasarkan
penggunaan hak subyektifnya berakibat telah terjadinya pelanggaran asas
kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) yang
dianut oleh KUHAP.
6. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap;
Ini berarti pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa
dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk
jabatannya hakim-hakim ini diangkat oleh Kepala Negara. Berdasarkan
rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia.
Prinsip ini sesuai dengan sistem pembuktian yang dianut undangundang, yakni sistem pembuktian undang-undang secara negatif.
Mewajibkan hakim mencari kebenaran hakiki (ultimate truth) di dalam

22

membuktikan

kesalahan

terdakwa

berdasarkan

batas

minimum

pembuktian menurut undang-undang dengan alat bukti yang sah.24

7. Tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum;
Asas ini memberikan harkat dan martabat kepada tersangka atau
terdakwa bahwa mereka sederajat dengan manusia lainnya. Bantuan
hukum dapat diperoleh oleh tersangka sejak saat di tangkap atau di tahan
pada semua tingkat pemeriksaan. Berdasarkan Pasal 69 sampai dengan 74
KUHAP dirumuskan bahwa tersangka atau terdakwa mendapatkan:
a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak tersangka ditangkap atau
ditahan (Pasal 69);
b. Bantuan hukum diberikan pada semua tingkat pemeriksaan (Pasal
69);
c. Penasehat hukum dapat menghubungi tersangka atau terdakwa pada
semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu (Pasal 70 ayat (1));
d. Pembicaraan antara penasehat hukum saat menghubungi tersangka
tidak didengar oleh penyisik dan penuntut umum kecuali pada delik
yang menyangkut keamanan negara (Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2));
e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penuntut
umum guna kepentingan pembelaan (Pasal 72);
f. Penasehat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari
tersangka atau terdakwa (Pasal 73).
Pengecualian dari pasal tersebut di atas terdapat pada ketentuan
Pasal 56 ayat (1) KUHAP merupakan kewajiban dari aparat penegak
hukum menegaskan bahwa dalam hal tersangka atau terdakwa melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana 15
tahun penjara atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri,
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksan dalam proses
peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
24

M. Yahya Harahap, Op. Cit, Hal. 112

23

Menurut Andi Hamzah25 bahwa :
“Pembatasan-pembatasan hanya dikenakan jika penasehat hukum
menyalahgunakan hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan
kelonggaran-kelonggaran tersebut hanya dari segi yuridis sematamata bukan dari segi politik, sosial dan ekonomi.”
8. Akusator dan inkusitor (Accusatoir dan Inqusitoir);
Kebebasan

memberi

dan

mendapatkan

nasihat

hukum

menunjukkan bahwa KUHAP telah menganut asas akusator. Ini artinya
perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan sidang
pengadilan pada asasnya telah dihilangkan.
Prinsip akusator menempatkan kedudukan

tersangka atau

terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai subyek, bukan obyek
pemeriksaan, karena itu kedudukan tersangka atau terdakwa harus
didudukkan dalam kedudukan yang mempunyai harkat dan martabat.
Kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka atau terdakwa
menjadi obyek dalam prinsip akusator.26
Menurut Andi Hamzah27, prisnsip inkusitor adalah menempatkan
tersangka atau terdakwa sebagai obyek yang dapat diperlakukan dengan
sewenang-wenang. Sedangkan menurut L. J. Van Apeldoorn28 yang
dimaksud akusator dan inkusitor adalah:
Sifat accusatoir ialah prinsip, bahwa dalam acara pidana,
pendakwa (penuntut umum) dan terdakwa berhadapan sebagai
pihak yang sama haknya. Penuntut umum dan terdakwa
melakukan pertarungan hukum (rechtsstriid) di muka hakim yang
25

Andi Hamzah, Op. Cit, Hal. 21
ibid, Hal. 22
27
Loc. Cit
28
L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 2009)

26

Hal.338

24

tidak berpihak; Kebalikannya ialah asas inquisitoir dalam mana
hakim sendiri mengambil tindakan untuk mengusut, hakim sendiri
bertindak sebagai pendakwa, jadi dalam mana tugas dari orang
yang menuntut, orang yang mendakwa dan hakim disatukan
dalam satu orang.
9. Pemeriksaan Hakim yang langsung dan lisan.
Pemeriksaan di tingkat pengadilan oleh hakim secara langsung,
artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan
acara perdata di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya.
Menurut Andi Hamzah29 hal ini berkaitan dengan tujuan hukum
acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, di mana hakim melakukan
pemeriksaan di tingkat pengadilan haruslah secara langsung. Pemeriksaan
hakim juga dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara hakim dan
terdakwa.
B. Penyidikan
1. Pengertian Penyidikan
Salah satu rangkaian dalam menyelesaikan kasus dalam acara
pidana

termasuk

tindak

pidana

korupsi

adalah

melakukan

penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
ataupun tindak pidana korupsi. Salah satu hal yang paling penting
dalam suatu tindakan pemberantasan korupsi adalah pada saat
penyidikan.
Tahap penyidikan merupakan salah satu bagian penting
dalam rangkaian tahap- tahap yang harus dilalui suatu kasus menuju

29

Ibid

25

pengungkapan terbukti atau tidaknya dugaan telah terjadinya suatu
tindak pidana. Oleh sebab itu keberadaan tahap penyidikan tidak bisa
dilepaskan dari adanya ketentuan perundangan yang mengatur
mengenai tindak pidannanya.30
Penyidikan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana yang tercantung dalan Pasal 1 angka 2 diartikan :
“Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya.”
Penyidikan merupakan rangkaian tindakan penyidik untuk
mencari dan mengumpulkan bukti agar dapat ditemukan tersangka.31
Sedangkan menurut K. wantjik Saleh yang dikutip dalam
jurnal hukum Sahuri Lasmadi32, penyidikan sendiri diartikan yaitu:
“Usaha dan tindakan untuk mencari dan menemukan kebenaran
tentang apakah betul terjadi suatu tindak pidana, siapa yang
melakukan perbuatan itu, bagaimana sifat perbuatan itu serta
siapakah yang terlibat dengan perbuatan itu.”
Penyidik sendiri menurut Pasal 45 angka 1 Undang- Undang
Nomor 30 Tahun 2002 adalah :
“Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan Penyidik
melaksanakan fungsi penyidikan tindak pidana korupsi.”
30
Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia (Jakarta:
Media Aksara Prima, 2012) Hal. 67
31
Hibnu Nugroho, Kedaulatan rakyat (18 Juli 2012) Hal. 1
32
Sahuri Lasmadi, “Tumpang Tindih Kewenangan Penyidikan Pada Tindak Pidana
Korup