Sikap batin dalam hukum tata usaha negara (administrative) (substantive maupun prosesuil)

Sikap batin dalam hukum tata usaha negara (administrative) (substantive maupun prosesuil)

Ihwalnya dalam hal bidang hukum tata usaha negara (hukum administrasi) ialah pengaturan dan penataan hubungan hukum antara pemerintah (pejabat negara-publik/pemerintah) dengan warganegara (individual maupun kelompok). Perilaku (berbuat/tidak berbuat) pejabat pemerintah dapat muncul dalam wujud perbuatan faktual (feitelijke handeling) dan perbuatan hukum (rechtelijke handeling). Pembedaan ini dikaitkan dengan apakah perbuatan tersebut memunculkan akibat hukum atau tidak pada atau dihadapan warganegara.

Sikap batin pejabat public khususnya penting dalam hal yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum (yang memunculkan akibat hukum pada warganegara). Pejabat public pada dasarnya harus mengimplementasikan peraturan perundang-undangan (intra-legem) atau dalam hal khusus ia dapat menyimpang (extra-legem, sekalipun tidak melanggar-contra legem) dari koridor yang ditetapkan perundang-undangan ketika memutus sesuatu berdasarkan kebijakan. Kewenangan untuk memutus berdasarkan kebijakan (diskresi) adalah apa yang dikenal dengan discretionary power atau freis ermessen. Baik perbuatan pejabat public yang berada sepenuhnya dalam koridor peraturan perundang- undangan dan di luarnya (diskresi), diputuskan berdasarkan alasan pertimbangan subyektif pejabat public yang bersangkutan. Maka di sinipun sikap batin pejabat public menjadi perhatian hukum, terutama bila perbuatan tersebut memunculkan kerugian pada warganegara yang langsung terkena maupun masyarakat umum.

Sikap batin, dalam konteks hukum administrasi, di sini akan dimaknai sebagai motivasi (subyektif) atau alasan pertimbangan dari pejabat public yang membuat keputusan baik yang bersifat umum (regulasi; ditujukan pada semua orang secara umum) atau secara khusus (keputusan; ditujukan pada individu atau kelompok masyarakat tertentu). Untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir/abuse of power), perbuatan (fakta obyektif)) dan sikap batin (fakta subyektif) dari pejabat pemerintah yang melandasi perbuatan itu perlu diujikan terhadap sejumlah asas. Asas-asas ini bersegi dua: pertama menjamin bahwa kegiatan pemerintahan dijalankan sesuai hukum – berkaitan dengan gagasan negara hukum dan pemerintahan yang bersih- berwibawa - dan kedua ditujukan untuk melindungi masyarakat serta hak-hak dasar dan kebebasan individu/warga negara (dari kesewenang-wenangan penguasa).

Dalam pada itu, dikembangkan sejumlah asas-asas umum pemerintahan yang baik, yaitu kepastian hukum; keseimbangan; kesamaan (dihadapan hukum dan pemerintahan); bertindak cermat (hati-hati); (memberikan) motivasi (alasan-pertimbangan); tidak mencampuradukan kewenangan (hanya memutus dalam batas kewenangan yang dimiliki); permainan yang layak (keterbukaan dan kesempatan memperoleh informasi yang benar dan adil); keadilan atau kewajaran (fairplay); menanggapi pengharapan wajar dari masyarakat; meniadakan suatu akibat dari keputusan yang dibatalkan; perlindungan pandangan hidup pribadi (terutama berlaku dalam hubungan kepegawaian); kebijaksanaan (pemerintah berwenang membuat kebijakan demi kepentingan umum) dan pelaksanaan kepentingan umum.

Apa yang terutama relevan bagi kita di sini dalam pembahasan sikap batin dari pejabat public/pemerintah adalah asas kecermatan dan pemberian motivasi (alasan-pertimbangan) yang harus melandasi pembuatan keputusan. Bagaimanapun juga seorang pejabat public dalam rangka mempertanggungjawabkan perbuatannya harus dapat dan mampu menguji dan mengungkap motivasi (intensi/niatan) yang melatarbelakangi perbuatannya kehadapan public. Maka suatu putusan sebelum diterbitkan harus dilandaskan pertimbangan yang cermat akan situasi-kondisi yang terkait beserta dampak yang mungkin timbul dari putusan tersebut. Alasan pertimbangan tersebut harus dimunculkan (atau dapat dibaca sebagai latarbelakang) diterbitkannya putusan tertentu. Dengan kata lain, berkenaan dengan akuntabilitas pejabat public, sikap batin pejabat public yang bersifat subyektif (personal), misal keberpihakan pada keluarga atau keluarga sedarah dalam memberikan layanan public, sejauh mungkin harus dihindari atau setidak-tidaknya dikendalikan oleh pedoman perilaku (obyektif) dalam wujud asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Sikap batin penjabat pemerintah inipula yang akan diujikan terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik dihadapan pengadilan tata usaha negara (PTUN). Layanan pemerintah terhadap warga dalam bentuk pemberian/penolakan putusan (administrative) yang bersifat konkrit-individual (pemberian atau penolakan izin, misalnya) yang dianggap merugikan warganegara (diberikan baik berdasarkan peraturan perundang-undangan atau sebagai diskresi) akan diujikan terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik di atas. Maka, dihadapan pengadilan – melalui proses pembuktian – juga hendak diungkap seberapa jauh sikap batin pejabat negara sejalan atau justru tidak sesuai dengan asas-asas umum tersebut. Bilamana ternyata terbukti sejalan, pejabat public dalam memutus dianggap akuntabel, pengadilan akan berpihak pada pemerintah dan memutus bahwa keputusan pejabat public sudah mencirikan pemerintahan yang baik. Sebaliknya bila kemudian terbukti bahwa pejabat public ternyata telah bertindak tidak adil (ada kesengajaan hendak menguntungkan seorang lain) atau tidak cermat (tidak memperhitungkan dengan cermat atau teliti dampak dari keputusan yang diterbitkan), hakim akan berpihak pada warga yang mengajukan gugatan.