Sikap batin subyek hukum dalam ranah hukum public internasional

Sikap batin subyek hukum dalam ranah hukum public internasional

Di dalam konteks hukum public internasional, Negara sebagai korporasi – dan bukan individu – yang menjadi subyek hukum terpenting. Hukum internasional public-pun mengandaikan bahwa Negara sebagai entitas abstrak – bukan konkrit seperti perseorangan/individu – memiliki kehendak bebas dan sebab itu dapat dimintakan pertanggungjawaban dihadapan hukum internasional. Bahkan Negara – dalam bahasa sehari-hari – dapat dikatakan berbuat jahat atau memiliki itikad buruk terhadap Negara lain, bahkan terhadap warganegara sendiri maupun warganegara asing.

Pemahaman inipun yang melandasi prinsip hukum perjanjian internasional, di mana itikad baik juga melandasi penetapan keabsahan kesepakatan. Perjanjian yang dibuat dengan itikad baik harus dilaksanakan/dipatuhi (pacta sunt servanda). Sebaliknya perjanjian yang dilakukan dengan itikad buruk, misalnya konspirasi untuk menyerang Negara lain, akan dipandang tidak patut dan tidak absah. Contoh lain dapat kita temukan dalam pengiriman duta besar sebagai wakil Negara di luar negeri. Pemberian kekebalan hukum (imunitas) terhadap pemberlakuan hukum nasional dan hak-hak istimewa (priveleges) terhadap duta besar dan staf dilandasi kepercayaan timbal-balik bahwa Negara asal yang mengirim duta Pemahaman inipun yang melandasi prinsip hukum perjanjian internasional, di mana itikad baik juga melandasi penetapan keabsahan kesepakatan. Perjanjian yang dibuat dengan itikad baik harus dilaksanakan/dipatuhi (pacta sunt servanda). Sebaliknya perjanjian yang dilakukan dengan itikad buruk, misalnya konspirasi untuk menyerang Negara lain, akan dipandang tidak patut dan tidak absah. Contoh lain dapat kita temukan dalam pengiriman duta besar sebagai wakil Negara di luar negeri. Pemberian kekebalan hukum (imunitas) terhadap pemberlakuan hukum nasional dan hak-hak istimewa (priveleges) terhadap duta besar dan staf dilandasi kepercayaan timbal-balik bahwa Negara asal yang mengirim duta

Selain itu, sikap Negara cq. pemerintahan terhadap warganegaranya sendiri juga dapat diukur dari ada/tidaknya itikad baik. Diasumsikan dalam hukum public internasional, Negara akan mengurus warganegara dan juga warga asing yang berada dalam wilayah kedaulatan Negara yang bersangkutan dengan baik. Artinya diandaikan bahwa Negara cq. Pemerintah niscaya memiliki itikad baik ketika mengurus (melayani) warganegara sendiri maupun warganegara asing. Dari sudut pandang inipun kita harus pahami prinsip kesamaan kedudukan hukum warganegara dihadapan hukum dan pemerintahan (equality before law and government) yang sejatinya menjadi landasan kehidupan hukum di Negara manapun juga.

Dilanggarnya prinsip itikad baik baik ini oleh pejabat negara pada titik tertentu tidak lagi hanya akan menjadi persoalan hukum administrasi Negara sebagaimana digambarkan di atas, melainkan bergeser menjadi persoalan pelanggaran hak asasi manusia yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Dalam kasus ekstrim,kita akan berhadapan dengan pelanggaran hak asasi manusia berat (gross violation of human rights), di mana Negara baik karena kebijakan aktif melakukan atau sekadar karena pembiaran menenggang dilakukannya baik oleh aparat negara maupun kelompok masyarakat tindak pidana (penganiayaan, pembunuhan, persecution) terhadap perseorangan atau kelompok masyarakat lain. Di sini kita tidak lagi berhadapan dengan kasus-kasus hukum pidana biasa di mana kejahatan bersifat accidental dan hanya melibatkan satu-dua orang saja. Kejahatan tersebut bersifat terorganisasi (organized crime) atau disponsori Negara (state sponsored) dan skalanya luas. Maka mengungkap motif pelaku (individual) yang bekerja atas nama negara atau kelompok tidak lagi dapat berhenti hanya pada mengungkap ada/tidaknya rencana, kesengajaan atau kelalaian. Diperlukan lebih dari itu, yaitu motif (adanya itikad buruk), baik karena sekadar kebencian terhadap yang berbeda atau tujuan-tujuan politik lainnya yang melandasi perilaku perseorangan atau kelompok.

Berhadapan dengan kasus-kasus ekstrim demikian (pelanggaran berat hak asasi manusia), hukum public atau khususnya hukum pidana internasional tidak lagi menuntut pertanggungjawaban Negara sebagai korporasi – yang memperlakukan warganegara sendiri maupun warganegara asing dengan itikad tidak baik – melainkan akan mengalihkan perhatian pada individu (pejabat Negara atau pihak manapun yang bertindak atas nama Negara/pemerintah). Merekalah yang sebagai individu (bukan pejabat Negara/pemerintahan) akan dituntut mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Di sini, perseorangan tidak lagi dapat membela diri, menafikan hatinuraninya sendiri, dengan mengatakan

ahwa ia terpaksa melakukan kewajiban Negara, dan dengan itu mengalihkan kebebasan memilih dan kemampuan bertanggungjawab pada entitas abstrak Negara.

Bahkan juga mereka yang berkedudukan sebagai kepala Negara/kepala pemerintahan atau pimpinan militer akan dituntut melakukan tugas-tugas kenegaraan tetap dengan memperhitungkan hatinurani. Artinya kebijakan (hukum) publik, di mata hukum (pidana) internasional, serupa dengan yang muncul dalam uraian di atas tentang hukum adminstrasi, juga diandaikan wajib dilandaskan pada itikad baik.