kebebasan manusia sikap batin dan pertan

Pendahuluan

Topik bahasan di tulisan ini mencakup uraian tentang kebebasan-kemerdekaan, otonomi manusia serta kemampuan manusia untuk bertanggungjawab (responsibility) dan diminta pertanggungjawaban (liability). Untuk yang terakhir disebut hal itu akan mencakup baik ihwal kemampuan manusia sebagai subyek hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatan dihadapan hukum yang mencakup tanggungjawab sebagai pejabat public (accountability) maupun sebagai pribadi di lapangan hukum pidana-perdata (criminal and civil liability). Untuk itu sekaligus diulas ihwal kemampuan manusia untuk merasa-menilai (baik-buruk; adil tidak adil; layak tidak layak), mengolah kemampuan berpikir (manusia sebagai mahluk berpikir), dan keterkaitannya dengan sikap batin (perasaan, pikiran, pandangan yang melatarbelakangi) perbuatan (perilaku obyektif). Persoalan tentang apakah manusia bebas atau justru tidak bebas (dalam berpikir/berbuat) dan konsep-konsep suara batin (conscience), sikap batin (motivation, though, rationalization behind human action) besar pengaruhnya terhadap bagaimana kita memandang persoalan kemampuan manusia mempertanggungjawabkan dihadapan akibat yang muncul dari perbuatannya.

Uraian tentang itu semua akan dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama membahas ihwal suara batin (conscience) dan akal budi serta bagaimana keduanya membentuk atau berkait dengan sikap batin. Topik ini tersebut selanjutnya akan dikaitkan pada pertanyaan apakah manusia betul bebas (dan mampu) menentukan dirinya sendiri jalan hidupnya atau justru semua pilihan dalam hidupnya ditentukan oleh faktor-faktor yang berada di luar kuasanya (Tuhan Yang Maha Kuasa; masyarakat, nasib- peruntungan). Persoalan ini dibahas pada bagian kedua. Titik tolak pembahasan ialah pandangan bahwa hukum niscaya mengandaikan adanya manusia (bebas) yang tidak saja mampu menilai baik buruknya namun juga kemasukakalan (rationality/redelijkheid) dari perbuatan yang dilakukan oleh diri sendiri maupun orang lain. Selanjutnya pada bagian ketiga ditelaah keterkaitan sikap batin dengan persoalan tanggungjawab dan pertanggungjawaban dihadapan hukum. Titik tolaknya di sini adalah adagium cogitationis poenam nemo patitur (no one may be punished for his thoughs). Diyakini bahwa manusia tidak dapat dihukum karena apa yang (kebetulan) pernah atau sedang dipikirkannya. Singkat kata pikiran yang tidak terwujud (termanifestasi-terejewantahkan ke-) dalam perbuatan konkrit (perkataan dan/atau perilaku nyata) – sekalipun mungkin hanya berdasarkan alasan praktis - berada di luar perhatian dan jangkauan hukum. Kendati demikian tidak berlaku sebaliknya. Seketika hukum dilanggar, maka pikiran (motivasi-sikap batin) yang melandasi perbuatan, harus diungkap dalam rangka mempertimbangkan kadar ketercelaan perbuatan dan pertanggungjawaban hukum yang akan dibebankan kepada pelaku. Dengan kata lain, dari sudut pandang hukum, perbuatan lahiriah dan sikap batiniah (sikap batin) baru menjadi penting – bukan ketika manusia patuh (comply/compliance) – melainkan justru ketika manusia melanggar hukum. Sebab itu pada bagian ketiga akan ditelusuri keterkaitan sikap batin pada persoalan pertanggungjawaban hukum dari manusia yang berbuat.

BAGIAN PERTAMA Manusia adalah manusia yang memiliki hati nurani

Bagi mereka yang percaya (pada Tuhan dan kebenaran-absolut yang diajarkan agama/kepercayaan), manusia adalah ciptaan Tuhan yang dibentuk menurut citra-Nya. Itu pula sebabnya dipercaya bahwa setiap manusia dalam dirinya sendiri membawa dan memiliki cahaya Ilahi (nur). Cahaya Ilahi sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa inilah yang memberikan kemampuan pada setiap manusia untuk membedakan serta menilai baik-buruk, adil-tidak adil, layak-tidak layak, pantas-tidak pantas perbuatan diri sendiri maupun orang lain. Singkat kata, manusia sebagai manusia bermoral-beretika harus dianggap berkemampuan mengenali kebenaran (absolut), dan lebih lagi, mampu memahami bagaimana sepatutnya menjalani hidup yang benar dan menghindari yang jahat. Hati nur-ani dianggap ada pada setiap manusia dan dapat dikembangkannya sendiri. Hal ini pula yang dikatakan membedakan manusia dari mahluk ciptaan Tuhan lainnnya. Hewan dan tumbuhan dipercaya hanya memiliki naluri- alamiah (insting), namun tidak hati nurani. Tidak dapat dikatakan hewan atau tumbuhan dapat dan mampu berperilaku atau berpikir jahat. Bilapun hewan membunuh (mangsa atau bahkan manusia), hal itu harus dimengerti se agai sifat aluriah/ala i da tidak dapat di ilai de ga ukura oralitas manusia.

Bahkan ada yang berpendapat - terlepas dari persoalan ada/tidaknya Tuhan – manusia bagaimanapun juga memiliki dan mampu mengembangkan hati nurani. Hati nurani secara alamiah dianggap melekat pada setiap manusia. Maka orang yang tidak percaya (atheis) atau perduli akan persoalan ada/tidaknya Tuhan (agnostic) tidak seketika dapat dianggap tidak memiliki kemampuan membedakan baik-buruk. Mereka yang tidak beragama (atheis atau agnostic) atau kebetulan berbeda kepercayaan/keyakinan tidak seketika dapat dianggap manusia tidak bermoral dan/atau berhati-nurani. Artinya moralitas manusia tidak sekaligus dikaitkan dengan pilihan individual atau kelompok untuk meyakini ada/tidaknya Tuhan (atau liyan yang mengatasi eksistensi temporal manusia).

Tentu tidak dapat dikatakan bahwa hati nurani manusia seketika dilahirkan sudah berkembang penuh dan sempurna. Seorang bayi (yang belum memiliki kemampuan membentuk kesadaran diri) baru memiliki potensi untuk mengembangkan hati nurani. Nur ya g ada pada setiap a usia sejak lahir dapat dikembangkan atau justru dipadamkan oleh lingkungan sekitar atau realitas sosial yang membentuk dan menjadi batas cakrawala kehidupan manusia. Potensi untuk berkemampuan membedakan dan memilih baik atau buruk yang diandaikan ada pada setiap manusia sejak lahir dapat dan akan terus berkembang dalam kehidupan bermasyarakat dan turut dipengaruhi akal budi manusia yang bersangkutan. Bayi dan anak kecil belum memiliki kemampuan demikian dan dalam pertumbuhannya menjadi manusia dewasa harus dan akan belajar dari dan dalam lingkungan masyarakat (orang tua/teman bermain dan masyarakat). Dengan berinteraksi (dalam pergaulan hidup sehari-hari) seorang anak kecil – bahkan juga orang dewasa - belajar tentang apa yang baik (dan patut dilakukan) dengan yang tidak (harus dihindari) karena dinilai jelek/buruk atau tidak patut.

Apa yang hendak dikatakan di sini ialah lingkungan (social) tempat manusia tumbuh kembang juga berpengaruh (nurture yang dikontraskan dengan nature-natural/alamiah) terhadap pembentukan hati nurani serta perkembangannya dalam manusia sebagai individu maupun mahluk sosial.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hati nurani adalah tatanan nilai dalam diri setiap manusia yang terbentuk dan terkait berkelindan dengan kehidupan masyarakat (realitas social). Norma yang melandasi pertimbangan baik-buruk (tatanan nilai di atas) dapat bersumber pada agama/keyakinan atau kepercayaan, kesusilaan dalam arti luas, sopan santun maupun kebiasaan (adat-istiadat). Kesemua itu turut membentuk keyakinan manusia (hati nurani) yang menentukan bagaimana yang bersangkutan berperilaku dan tampil ke hadapan orang-orang lain.

Terlepas dari perdebatan apakah kita terlahir dengan hati nurani (naturally endowed with capacity to make moral judgement) atau memiliki dan membentuk hati nurani karena pergaulan dalam masyarakat (nurture: pendidikan-pergaulan), tata nilai yang terbentuk dalam hati/budi nurani (conscience) inilah yang dimaksud ketika kita berbicara tentang norma kesusilaan atau moral-positif. Singkat kata, moralitas atau kesusilaan merujuk pada pengertian adanya kemampuan manusia (yang dianggap berakal-berpikir) untuk membedakan baik dan buruk serta bertindak sesuai dengan penilaian baik-buruk tersebut.

Manusia adalah mahluk berakal budi

Selanjutya dikatakan pula bahwa manusia dalam dirinya sendiri memiliki akal budi (ratio-logos), yaitu (potensi) kemampuan untuk berpikir dan mempertimbangkan pilihan serta dampak dari perbuatan yang (akan) dilakukan. Di sini manusia yang mampu berpikir adalah manusia yang mampu memperhitungkan baik-buruk serta untug rugi pilihan perbuatan (felicific calculus). Dalam hal ini diyakini bahwa manusia sebagai mahluk rasional akan setiap kali secara sadar mempertimbangankan untung rugi (termasuk kesangkilan-kemangkusan) suatu perbuatan yang akan atau sudah dilakukannya. Pilihan tersebut dilakukan secara rasional (menurut akal budi) dan tidak (semata-mata) emosional (menuruti perasaan) maupun dilandaskan atas pertimbangan nurani.

Kemampuan berpikir ini, namun demikian, harus pula dikaitkan pada kecakapan (kemampuan mental) dan kedewasaan yang mencakup baik ukuran obyektif: usia maupun kriteria subyektif: intelegensia; spiritual; emosional dan financial. Orang yang mengalami gangguan mental (atau cacat mental) dan mereka yang belum dewasa dianggap belum secara sempurna mengembangkan kemampuan akal budi mereka. Perbuatan mereka dianggap i-rasional dan secara umum (masih) dapat dimaafkan/ditenggang.

Dalam konteks ini pula kita berbicara tentang kemasuk-akalan (rasionalitas) suatu perbuatan. Maka penilaian atas perbuatan obyektif atau sikap batin yang melandasi perbuatan (unsur subyektif) tidak dikaitkan dengan penilaian baik buruk, melainkan dengan bagaimana memahami nalar perbuatan tersebut atau pertimbangan yang melandasinya (rasional/logis atau irrasional/illogical). Celaan dalam wujud saya tidak dapat memahami mengapa A atau B melakukan atau tidak melakukan sesuatu pada prinsipnya adalah penilaian tentang kemasukakalan perbuatan tertentu. Artinya penilaian tentang kemasukakalan suatu perbuatan tidak serta merta mencakup penilaian tentang baik-buruknya (dari sudut pandang moral) perbuatan yang sama.

Potensi akal budi ada pada setiap manusia dan dapat dikembangkan dengan proses pendidikan- pembelajaran. Dengan kata lain, potensi ini berkembang sesuai proses pembelajaran formal atau informal yang dikembangkan dalam masyarakat. Pendidikan (formal), misalnya, dapat memperkokoh potensi manusia untuk mengembangkan baik hati nurani maupun akal budinya. Itu pula sebabnya mengapa pendidikan formal pada akhirnya atau sejatinya ditujukan pada ihtiar memanusiakan atau memperadabkan manusia dan masyarakat. Pada saat sama, orang yang dikategorikan pandai dan sangat terdidik (cerdik cendekia) tidak niscaya bijaksana maupun pasti bermoral tinggi. Tidak ada korelasi sertamerta antara pengembangan akal budi (kepandaian) dengan kepekaan hati nurani.

Lagipula dari sudut pandang keilmuan (sosiologi-antropologi) kita hanya dapat menunjukkan adanya korelasi (kompleks) antara individu-masyarakat tempat individu tumbuh kembang (serta pola pendidikan formal-informal yang dikembangkan dalam masyarakat) dengan kecenderungan dan keragaman moralitas masyarakat. Hal ini pada gilirannya berpengaruh terhadap pembentukan hatinurani maupun sikap batin individu (anggota masyarakat).

Kesadaran diri (the mind; self; consciousness) & Hati Nurani dan/atau Akal Budi (ratio/logos)

Keduanya, hati/budi nurani maupun akal budi, selanjutnya membentuk citra diri atau kesadaran akan diri (self; consciousness; mind). Kita juga dapat berbicara tentang kesadaran perihal identitas diri (persona), siapa diri kita sebagai individu yang bebas merdeka maupun sebagai bagian atau anggota masyarakat. Kesadaran diri ini, antara lain, terwujud dalam perbincangan batin (inner dialogue). Ketika kita dalam menjalani kehidupan sehari-hari harus memutuskan sesuatu, sadar atau tidak sadar, kita selalu berdialog dengan diri sendiri ya g di ak ai aik se agai erpikir aupu erasa . Namun khususnya ketika kita menghadapi masalah pelik yang memaksa kita mengambil keputusan penting dalam hidup (misalnya tentang masa depan atau yang menyangkut hidup mati orang lain atau diri sendiri), peran penting perbincangan batin semakin terasa dan disadari.

Di dalam batin ini pula terjadi pergulatan antara akal budi (ratio/logika) dengan hati nurani (rasa keadilan; baik/benar dstnya). Contoh konkrit adalah perbincangan dalam batin yang kita lakukan dengan diri sendiri ketika kita berhadapan dengan pilihan memberi atau tidak memberi uang kepada pengemis anak jalanan. Terbuka kemungkinan bahwa kita memilih mengabaikan hati nurani (berbelas kasih) dan mementingkan pertimbangan untung rugi yang berasal dari rasio (memberi akan berujung pada gagalnya pengentasan anak jalanan) atau sebaliknya kita memberi (menganggapnya sebagai kewajiban moral) sekalipun memahami rasio larangan memberi uang kepada anak jalanan.

Kemasukakalan larangan memberikan derma kepada pengemis (ataupun banyak perintah/larangan lainnya yang berlaku dalam masyarakat) selalu dapat kita perdebatkan. Bahkan selalu wajib dinilai dari sudut pandang hati nurani. Karena bagaimanapun juga hati nurani diharapkan berfungsi sebagai kendali terhadap akal budi. Manusia pada prinsipnya memiliki kecondongan untuk menyelaraskan keragaman pandangan, sikap, keyakinan yang ada dalam suara hati maupun akal budinya.

Ketidakselarasan, bila ada, akan memunculkan apa yang disebut sebagai cognitive dissonance, yaitu kecemasan yang melekat pada manusia apabila mempertahankan sikap, keyakinan atau pandangan yang sebenarnya kontradiktif satu sama lain. Dalam bahasa berbeda kita menggunakan istilah hipokrit atau munafik untuk mencerca orang yang meyakini kebenaran sesuatu hal, namun berperilaku berbeda dari apa yang dinyatakan sebagai keyakinan batinnya.

Hati Nurani dan Akal Budi dapat keliru/sesat

Hati nurani dan/atau akal budi bisa keliru bahkan salah. Dalam hal ini kita dapat bedakan keyakinan (moralitas) yang baik (good faith) dari yang buruk (bad faith). Kolonialisme atau imperialisme pada abad 18/19 dibenarkan oleh keyakinan (batiniah) bahwa hanyalah bangsa kulit putih yang merupakan manusia ciptaan Tuhan atau sebagai kelompok merupakan bangsa pilihan Tuhan. Bangsa kulit berwarna (merah, coklat, kuning atau hitam) yang hidup dibenua Asia-Afrika, Amerika Utara & Latin juga Australia bukanlah manusia yang setara dan diragukan tidak saja kemampuannya untuk mengembangkan akal budi, namun juga dianggap tidak atau memiliki hati nurani tidak sempurna. Layak atau pantas dan masuk akal bangsa berwarna dianggap bukan manusia, bodoh, ditaklukan bahkan jika perlu diperbudak atau dalam kasus ekstrim layak dimusnahkan. Penaklukan dan/atau perbudakan bahkan dianggap sebagai hak bahkan kewajiban bangsa kulit putih. Hal itu dibenarkan dengan alasan membawa peradaban barat yang niscaya lebih unggul ( the white’s a burde ) atau sekadar konsekuensi hukum alam: survival of the fittest.

Keyakinan keliru ini, kendati demikian, bukan hanya monopoli bangsa kulit putih. Kecenderungan seperti ini ada pada ha pir setiap a gsa , tidak terkecuali di antara ragam (suku)bangsa di Indonesia. Hanya (suku-) a gsa Jawa ya g a pu njawani e apai ada terti ggi seda gka ya g lai tidak. Dari hal ini pula muncul pembedaan antara kami-kalian (inclusive-exclusive). Hanya mereka yang tergolong ke dalam kategori ka i dianggap berkedudukan sejajar. Kalian atau mereka yang berada di luar kategori k a i adalah er eda da se a itu dia ggap a a a da sekaligus di –dehumanisasi.

Singkat kata, bad faith serupa melandasi perilaku membedakan diri dari yang lain (berdasarkan suku, agama/keyakinan atau kategori lainnya), khususnya yang kemudian terwujud dalam sikap memusuhi mereka yang berbeda. Mereka yang berbeda (suku-bangsa atau keyakinan) dianggap bukan manusia yang setara tingkatan moral (kesusilaan)nya. Moralitas di sini dikaitkan dengan tinggi-rendah keadaban

de ga ukura ti gkat keada a ya g diyaki i ha ya di iliki kelo pok ka i da uka ereka ya g berbeda. Konsekuensi dari itu ialah penerimaan pemilahan (dalam akal budi maupun hati nurani) antara budaya tinggi yang menghasilkan manusia tinggi (uber-mensch) dan budaya rendah yang menghasilkan

manusia berbudaya (bermoral) rendah (unter-mensch). Perilaku terror (atas dasar keyakinan apapun) yang mengadopsi sikap tujuan menghalalkan cara

merupakan contoh lain dari pengembangan hati nurani yang keliru. Perilaku tersebut yang dilandaskan pada pandangan pragmatis atau utilitarian seringkali mementingkan pencapaian tujuan (yang secara keliru dianggap paling mulia) dengan cara paling praktis, kadang atau kerap tanpa peduli akibat (buruk) pada orang lain atau masyarakat sekitar. Bahkan seringkali justru ada kesengajaan mengorbankan orang merupakan contoh lain dari pengembangan hati nurani yang keliru. Perilaku tersebut yang dilandaskan pada pandangan pragmatis atau utilitarian seringkali mementingkan pencapaian tujuan (yang secara keliru dianggap paling mulia) dengan cara paling praktis, kadang atau kerap tanpa peduli akibat (buruk) pada orang lain atau masyarakat sekitar. Bahkan seringkali justru ada kesengajaan mengorbankan orang

Suara batin keliru dapat pula tumbuh-kembang dalam sekelompok masyarakat yang secara sadar memilih profesi sebagai pencuri/perampok atau sebagai perompak. Alkisah sejumlah orang atau kelompok kecil masyarakat di Indonesia secara sadar memilih sikap ini. Keyakinan yang diajarkan adalah bahwa mencuri/merampok atau merompak orang lain (di luar kelompok masyarakat mereka sendiri) adalah perbuatan normal, dapat dibenarkan, bahkan baik atau terpuji. Dapat pula terjadi bahwa kelo pok asyarakat iski dan terpinggirkan (marginalized) mengembangkan keyakinan bahwa

merampok atau mencuri dari orang kaya (sekadar karena mereka kaya atau dianggap tidak peduli) tidaklah salah (fenomena robin hood). Kenyataan ini tidak meniadakan fakta bahwa oleh kelompok mereka sendiri (atau oleh keluarga terdekat) mereka itu (yang mencuri atau berbuat jahat terhadap orang di luar kelompok) dianggap orang yang berperilaku baik, santun atau soleh. Pencuri, pembunuh, perampok, pelaku teroris atau koruptor, misalnya, dalam kenyataan dapat tetap muncul sebagai orangtua atau warga yang baik di lingkungan sekitarnya. Sekaligus uraian ini menunjukkan kemampuan (setiap) manusia (dan masyarakat) untuk mengembangkan standar ganda atau hidup dalam cognitive dissonance: moralitas yang berlaku dalam lingkaran sekitar dianggap tidak perlu diberlakukan apabila menyangkut orang lain (asing) bukan bagian dari lingkaran kelompoknya sendiri.

Berbeda adalah budi nurani seseorang (anggota kelompok masyarakat) yang muncul dan berkembang dalam sistem hukum adat (atau keyakinan/kepercayaan) tertentu. Budaya yang mengharuskan kaum pria menjaga kehormatan diri dan keluarga (siri, carok atau sistem kepercayaan lain) bila perlu dengan kekerasan seringkali berujung pada pembunuhan demi kehormatan keluarga (siri). Pelaku yang menghilangkan nyawa orang lain yang dianggap mencemarkan kehormatan diri atau keluarga (honorrary killing) tidak akan merasa salah sedikitpun. Ia merasa telah melaksanakan kewajiban social untuk menjaga atau memulihkan kehor ata keluarga yang tercoreng, sekalipun pada saat sama sadar (secara cognitive: mengetahui) telah melanggar hukum negara. Dalam hal ini dapat dikatakan ada pertentangan suara batin (antara kelompok masyarakat tertentu) dengan nilai (moralitas) yang dianut masyarakat umum atau negara.

Bila itu terjadi, maka muncul persoalan, kebenaran moral manakah yang harus dianggap lebih unggul? Apakah kita dapat (berhak atau berwenang) membandingkan satu sistem nilai yang dianut kelompok masyarakat tertentu dengan yang lain atau menilainya berdasarkan ukuran moralitas/etis yang berada di luar keyaki a -kesadaran oral suatu asyarakat? Apakah kita sebagai individu atau bagian suatu kelo pok asyarakat ya g e ga ggap o oga y utlak se agai ke is ayaa da ukti kesetaraa

perempuan-laki-laki akan dibenarkan untuk menilai kepantasan dari sistem kekeluargaan yang di a gu atas pe eri aa poliga y atau justru polia dri ? Juga ila kita erasal dari asyarakat yang sangat patriarkhis, apakah kita dibenarkan menilai praktik-praktik kehidupan yang dilandaskan pada pendekatan sebaliknya (matriarchal)?

Di sini kita berhadapan dengan persoalan relativisme budaya (temporal-lokal-partikular) yang dipertentangkan dengan pada satu pihak, keyakinan/agama dan pada lain pihak, norma-norma hak asasi manusia. Keduanya, keyakinan agama maupun pendekatan hak asasi manusia dianggap mengusung norma-norma yang dianggap universal dan pada derajat tertentu non-temporal. Bagaimanapun juga

hati ura i atau udi ura i kelompok maupun individu pada derajat tertentu terbentuk dalam medan pertarungan nilai-nilai particular-temporal dengan nilai-nilai yang diasumsikan kekal-abadi dan transenden.

Pada lain pihak ada pula pandangan yang menyatakan bahwa hati nurani (yang dianggap secara alamiah ada pada manusia atau anugerah Tuhan) tidak mungkin keliru. Pengetahuan tentang baik/buruk adalah bagian tidak terpisahkan dari manusia. Justru adanya hati nurani yang menjadikan manusia menjadi manusiawi atau beradab. Bahkan seorang pembunuh berdarah dingin (dengan kecenderungan psikopatis) tetap dianggap memiliki hati nurani (conscience) dan (diharapkan) mampu merasa bersalah atau menyesal. Ia sebaliknya dianggap secara sadar memilih untuk tidak mendengarkan hati nuraninya sendiri atau mengabaikannya. Bila itu terjadi, hati nurani yang terus menerus diabaikan pada akhirnya akan mati dan pada saat itu manusia dianggap kehilangan kemanusiaannya.

Kendati demikian harus diperhatikan bahwa sekalipun seseorang dapat dikatakan tidak lagi manusiawi (bersikap tindak layaknya manusia yang beradab dan berhati nurani), kehilangan kemampuan untuk bersikap tindak atau berpikir sebagai manusia, hal ini saja tidak serta merta berarti mereka harus diperlakukan tidak manusiawi. Justru sebaliknya yang muncul, mereka yang merasa memiliki keadaban, hati nurani, akan tetap dituntut untuk mempertahankan kemanusiaan dan tidak larut dalam ketidakadaban atau ketidakmanusiawian yang ditunjukkan orang-orang lain.

Perbuatan yang dengan sendirinya jahat dan yang kejahatannya diukur menurut ratio/nalar manusia

Persoalan lain yang kemudian juga muncul berkenaan dengan tolok ukur yang dapat digunakan untuk memilah bad faith dari good faith. Salah satunya – sekalipun bukan satu-satunya – adalah dengan menggunakan pengertian perbuatan yang dengan sendirinya jahat. Dalam khasanah hukum pidana kita berbicara tentang mala in se (perbuatan yang dianggap jahat dengan sendirinya atau dalam dirinya sendiri dianggap melawan hukum). Itulah iussum quia iustum, sesuatu diperintahkan (iussum) karena benar (iustum). Maka melarang dilakukannya sesuatu sudah dengan sendirinya dianggap kebajikan. Dalam hal ini kita dapat cermati perkelindanan antara penilaian moral (sesuatu hal dianggap tidak benar, salah) dengan pandangan hukum (sesuatu perbuatan dianggap patut dilarang dan dalam hal adanya pelanggaran diancamkan dengan sanksi (pidana)).

Mala/malum in se ini dikontraskan dengan mala prohibita atau malum prohibitum (dianggap jahat karena ditentukan demikian oleh pembuat undang-undang), hal mana dilakukan dengan mempertimbangkan akibat yang muncul dari perbuatan atau kepentingan yang hendak dilindungi. Itulah iustum quia iussum, sesuatu benar (iustum) karena diperintahkan (iussum), diatur oleh hukum. Dalam hal ini penilaian salah/benar (etikal) dan cara pandang hukum tidak akan otomatis sejalan.

Konsep serupa dalam khasanah hukum perdata ialah perbedaan antara illegal per se (dianggap dengan sendirinya melanggar hukum dalam arti luas: peraturan tertulis + kesusilaan yang baik) dan yang sifat Konsep serupa dalam khasanah hukum perdata ialah perbedaan antara illegal per se (dianggap dengan sendirinya melanggar hukum dalam arti luas: peraturan tertulis + kesusilaan yang baik) dan yang sifat

Sesuatu perbuatan mala in se atau illegal per se dapat dikatakan merupakan perilaku yang dipandang dari sudut apapun juga sudah dengan sendirinya bersifat jahat atau melanggar hukum. Contoh dari itu ialah perbudakan, perdagangan manusia, menganiaya bayi/anak, memperkosa, atau bersaing secara curang dalam dunia usaha. Sebaliknya perbuatan lain baru dianggap jahat dan akan dilarang (dinyatakan melanggar hukum), setelah masyarakat yang bersangkutan mempertimbangkan akibat yang muncul dan diderita orang lain/masyarakat. Memasuki halaman/pekarangan milik orang lain tidak dengan sendirinya dianggap jahat, melainkan dinyatakan sebagai jahat oleh pembuat undang-undang karena dikaitkan dengan kerugian potensial atau yang dapat muncul pada pemilik/penghuni (gangguan kenyamanan/ketenangan). Begitu pula dalam menilai perilaku monopoli/monopsoni (menguasai permintaan-penawaran dalam mekanisme pasar) atau menjual barang di bawah harga pasar (yang umum berlaku) (dumping). Perbuatan ini baru dianggap jahat apabila dilandasi ihtiar atau niatan menimbulkan kerugian dan senyatanya memunculkan kerugian pada pedagang-pedagang lain. Istilah predatory dumping misalnya mengindikasikan niat jahat dari perbuatan menjual barang di bawah harga pasar.

Bahkan apa yang dianggap jahat dan dilarang dalam konteks ini bisa berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Misalnya berpoligami dalam sistem hukum Barat (yang menerima dan mengakui kesetaraan hukum perempuan dengan pria) dianggap perbuatan jahat yang dilarang hukum dan diancam sanksi pidana. Sementara itu dalam sistem hukum Islam justru diperbolehkan (tidak dianggap jahat atau dicela), yaitu sepanjang suami dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya. Sementara itu, dalam sistem hukum adat (kesultanan atau bentuk negara /masyarakat tradisional lainnya) beristeri banyak (selir, harem) justru dianggap kebajikan karena sekaligus membuktikan kejantanan pimpinan (dan simbol kemakmuran negara). Pada lain pihak, di dalam satu masyarakat (di wilayah Tibet-Himalaya) yang mengalami kelangkaan laki-laki dewasa, seorang perempuan dianggap biasa dan wajar bila bersuamikan lebih dari satu pria. Poliandri sekalipun sifatnya kasuitik juga dianggap wajar dalam kisah Mahabrata, yakni dalam hal pernikahan Drupadi dengan Pandawa, yang juga mengkombinasikannya dengan poligami.

Berkaitan dengan itu perlu pula disebut nilai-nilai dasar (asasi) yang terangkum dalam pengertian hak asasi manusia. Hati nurani dan/atau akal budi (sikap batin), sebagaimana termanifestasi dalam perilaku konkrit manusia, tidak boleh bertentangan dengan (tepatnya melanggar) hak asasi manusia lain. Sikap batin yang buruk/keliru adalah keyakinan yang membenarkan pelanggaran hak asasi manusia orang lain. Salah satu dari hak asasi adalah hak hidup. Merupakan manifestasi dari sikap batin keliru bila atas nama keyakinan dan berpegang teguh pada kebenaran yang dianut, hak hidup orang/sekelompok orang lain dirampas. Dengan cara serupa, hak asasi manusia berupa kebebasan beragama/berkeyakinan tidak dapat dinafikan sekadar karena semangat memenuhi kewajiban

e ye arka ke e ara dari aga a se diri .

Adanya kesepakatan tentang kemutlakan sifat jahat atau melanggar hukum suatu perbuatan – dikontraskan dengan perbuatan yang dianggap jahat secara relatif-tergantung pada kehendak pembuat Adanya kesepakatan tentang kemutlakan sifat jahat atau melanggar hukum suatu perbuatan – dikontraskan dengan perbuatan yang dianggap jahat secara relatif-tergantung pada kehendak pembuat

BAGIAN KEDUA Sikap Batin mengandaikan kebebasan manusia

Kemampuan mempertimbangkan baik/buruk suatu perbuatan atau perilaku pada gilirannya mengandaikan kemampuan untuk mengetahui, mengenali dan membedakan kategori-kategori baik- buruk, halal-haram, dosa-pahala atau pantas-tidak pantas. Sikap batin, dengan demikian, berkaitan erat dengan kemampuan yang diandaikan ada pada setiap manusia untuk memilih dan melakukan apa yang dipandang baik dan menghindari yang buruk. Dengan demikian, bersikap etis (sesuai etos: kebajikan) adalah bersikap baik. Di sini kita tidak berbicara tentang estetika yang berkaitan dengan penilaian tentang keindahan.

Lebih lanjut, sikap batin juga harus dikaitkan dengan kemampuan bertanggungjawab atas dan mempertanggungjawabkan perbuatan (baik-buruk) yang dilakukan. Sikap batin berbeda dengan perilaku tidak dapat diamati oleh mata telanjang dan tidak segera nampak bagi orang lain. Namun hal itu tidak berarti bahwa sikap batin atau hati nurani tidak ada dan tidak nyata. Apa yang terjadi dalam batin kita sama nyatanya seperti perilaku yang muncul dalam kegiatan sehari-hari manusia.

Singkat kata, dalam setiap perbuatan (baik-buruk) sikap batin akan turut mempengaruhi nilai perbuatan yang terwujud. Melakukan pahala (perbuatan baik) demi mendapat pujian berbeda nilainya dengan berpahala tanpa pamrih. Jika memberi sesuatu pada orang lain (yang membutuhkan dan meminta sesuatu bantuan), pemberi harus memastikan bahwa apa yang dilakukan tangan kanan (yang memberi) tidak perlu diketahui tangan kiri (orang lain sekadar untuk mendapat pujian atau pahala). Sebaliknya ketika seseorang melakukan sesuatu yang buruk (kesalahan), orang-orang sekitar berkepentingan pula dengan sikap batin (apa yang terjadi dalam hati nurani) pelaku. Apa yang dilakukan sekadar karena khilaf atau sepenuhnya tidak tahu/mengerti akan dinilai berbeda bila dilakukan dengan sengaja atau dengan niat jahat. Dalam hal ini juga diandaikan bahwa seseorang (pada umumnya) mampu berpikir logis (mempertimbangkan dengan menggunakan nalar/ratio atau pertimbangan baik-buruk atau untung –rugi) serta yang terpenting: menunjukkan keselarasan antara apa yang diyakini (sebagai benar atau

salah) dengan perilaku (perkataan-perbuatan) yang ditunjukkan. Pada prinsipnya kebebasan manusia inilah yang mendasari pemikiran dapat/tidaknya manusia diminta

pertanggungjawaban (hukum) atas perbuatan atau dampak dari perbuatannya. Pertanyaan yang dapat diajukan di sini ialah apakah betul manusia sepenuhnya bebas, hanya untuk sebahagian bebas atau sepenuhnya tidak bebas. Seberapa besar pengaruh misalnya sifat bawaan lahir (nature) atau pendidikan/lingkungan (nurture) terhadap kemampuan manusia untuk berbuat baik dan menghindari yang jahat? Selanjutnya juga dapat dipersoalkan apakah manusia serupa dengan hewan sebenarnya hanya mengikuti naluri (yang melekat padanya) atau justru sepenuhnya ditentukan kodrat, kehendak Ilahi atau nasib (baik-buruk) atau peruntungan?

Di sini kita akan berhadapan dengan perdebatan antara paham determinisme dan indeterminisme. Kedua pandangan yang bertolak belakang ini penting dalam penelaahan seberapa jauh manusia sebenarnya bebas dan dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum.

Determinisme versus Indeterminisme

Dalam pandangan in-determinisme (ketidaktentuan), manusia dianggap sepenuhnya memiliki kehendak bebas. Perbuatan manusia dan akibat yang ditimbulkannya sepenuhnya dianggap bersumber dari kebebasan mutlak tersebut. Manusia (karena memiliki hati nurani dan/atau akal budi) mampu, sanggup dan bebas memilih dan sebab itu pula (secara implikatif dapat dikatakan) mampu serta harus bertanggungjawab atas perbuatan dan dampak perbuatannya. Bahkan juga orang yang berada di bawah todongan senjata (atau bentuk ancaman terhadap nyawa atau badan) dianggap tidak kehilangan kebebasannya untuk memilih (termasuk memilih risiko terburuk).

Kebebasan seperti ini harus (niscaya) digantungkan pada ada dan berkembangnya sempurna: hati nurani dan/atau akal. Bagaimanapun juga anak kecil (yang belum memiliki akal dan hati nurani sempurna) atau mereka yang mengalami gangguan (cacat) kemampuan berpikir (akal budi) dan merasa (hati nurani) tidak dapat dikatakan sepenuhnya mampu mewujudkan kebebasan mereka. Mereka yang dianggap memiliki gangguan kejiwaan – menderita sakit – tidak akan dipersamakan dengan dan diukur perilaku ya erdasarka patoka keada a a usia or al pada u u ya.

Sebaliknya kita juga dapat temukan pandangan yang menegasikan kebebasan manusia baik secara total maupun parsial (determinisme). Diyakini bahwa manusia pada prinsipnya tidak bebas memilih dan menentukan sikap maupun perilaku karena semua itu (termasuk nasibnya) sudah ditetapkan oleh dewa- dewa atau yang Ilahi. Manusia tidak memiliki kehendak bebas dan semua apa yang ia akan lakukan adalah sekadar mengikuti garis nasib atau memenuhi takdir. Kelahiran, bagaimana hidup dijalani dan juga kematian manusia adalah sekadar untuk memenuhi kodrat yang sudah digariskan - dan tidak mungkin) diubah atas dasar kehendak bebas. Seseorang menjadi jahat atau baik dengan segala konsekuensinya (masuk neraka atau surga) terutama disebabkan karena nasib (kodrat/Tuhan) sudah menggariskannya seperti itu. Untung tak dapat diraih, malang tidak dapat ditolak. Semua yang terjadi pada manusia (masyarakat/bangsa) sudah ditetapkan oleh garis-nasib, peruntungan atau oleh yang Maha Kuasa. Manusia hanyalah pemain peran di panggung sandiwara yang alur ceritanya sudah ditentukan terlebih dahulu oleh sang sutradara (Tuhan atau nasib atau kodrat). Ketidakbebasan manusia demikian jelas meniadakan perlunya bahasan atas kemampuan manusia bertanggungjawab atas pilihan-pilihan sadar/tidak sadar yang diperbuatnya.

Namun kodrat, takdir, garis nasib atau peruntungan bisa juga dimaknai terbatas. Misalnya takdir atau karma (nasib atau kebetulan alamiah) untuk dilahirkan sebagai pria-wanita atau terlahir di dalam bangsa/suku atau keluarga tertentu pada zaman tertentu (dan mendapat keuntungan-kerugian dari

ke etula alamiah atau sosial ini: garis keturunan yang baik atau justru buruk). Dari sudut pandang ini kita dapat mengatakan hanya perempuan secara kodrati dapat hamil dan melahirkan anak. Begitu juga

hanya laki-laki yang secara kodrati dapat membuahi perempuan. Juga kecacatan fisik atau mental atau hanya laki-laki yang secara kodrati dapat membuahi perempuan. Juga kecacatan fisik atau mental atau

Kodrat yang dimaknai terbatas seperti di atas tidak sertamerta menggariskan seluruh jalan hidup manusia. Menjadi perempuan atau terlahir dari keluarga miskin pada prinsipnya tidak menghalangi manusia (dan masyarakat) untuk berubah. Manusia dapat bereaksi dan menanggapi kodrat tale ta ini dan mendayagunakannya untuk kebaikan atau justru menyia-nyiakannya. Dalam hal ini peruntungan atau nasib dianggap masih dapat diubah dengan kerjakeras atau upaya, bahkan juga oleh sejumlah kebetulan yang dimaknai sebagai peruntungan. Di sini kodrat, takdir, atau garis nasib dianggap mungkin dan dapat diubah oleh ihtiar dan upaya manusia sendiri. Ke etula social atau alam tersebut dapat dianggap sebagai bekal (potensi) yang terserah manusia yang bersangkutan bagaimana menyadari, memaknai dan mengembangkannya.

Pandangan deterministic (dari determinare: menentukan atau menetapkan batas) seperti digambarkan di atas (baik total maupun parsial) jelas berpengaruh terhadap pemahaman kadar serta bentuk kemampuan individu untuk bertanggungjawab atas dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pilihan yang terbuka di sini adalah menyatakan manusia yang tidak berkehendak bebas sebagai insan yang tidak dapat bahkan mungkin dapat diminta pertanggungjawaban atas perbuatannya (termasuk yang paling jahat). Opsi yang menurut akal sehat tidak mungkin diterima. Pilihan lain, sebagai jalan tengah, ialah menerima kemungkinan bahwa sebenarnya manusia tidak sepenuhnya bebas. Artinya kebebasan manusia bagaimanapun juga dibatasi dan ditentukan oleh sejumlah faktor dari luar diri manusia.

Dalam pandangan ini (kebebasan manusia yang bersifat terbatas), tidak selamanya individu harus bertanggungjawab sepenuhnya atas perbuatan yang ia lakukan. Diterima anggapan manusia tidak sepenuhnya dapat mengendalikan hasrat dan perilakunya. Juga dapat terjadi manusia justru sepenuhnya dikendalikan hasrat liar (bertindak di luar kendali akal sehat). Maka itu, seseorang menjadi jahat atau berbuat jahat, di samping sebagai pilihan yang muncul dari kehendak bebas, untuk sebahagian ditentukan pula oleh faktor-faktor yang berada di luar kendalinya. Ia menjadi jahat bukan semata-mata karena pilihan pribadi. Bisa jadi ia menjadi jahat karena pengaruh factor internal: amarah atau frustasi akibat keluarga yang pecah, tumbuh-kembang kejiwaan yang terganggu (sociopath- psikopat) atau factor eksternal: kondisi sosial-budaya (pergaulan dengan penjahat; kemiskinan yang menjerat, salah didik/asuh dll). Singkat kata, baik factor internal (gangguan atau ketidakmampuan untuk merasa bersalah) maupun factor eksternal: masyarakat (dan lingkungan sosial) juga harus dipertimbangkan untuk mengukur kadar kemampuan manusia bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan perbuatannya dihadapan hukum. Lebih dari itu, pandangan ini juga mengakui peran kesehatan jiwa, keluarga dan masyarakat atas munculnya kejahatan yang dilakukan anggota masyarakatnya.

Hukum dan kebebasan manusia dalam masyarakat

Berangkat dari pengandaian kebebasan manusia (baik total maupun partial) dapat dijelaskan mengapa ilmu hukum (modern) akan mengandaikan bahwa manusia (dewasa) adalah makhluk yang mampu Berangkat dari pengandaian kebebasan manusia (baik total maupun partial) dapat dijelaskan mengapa ilmu hukum (modern) akan mengandaikan bahwa manusia (dewasa) adalah makhluk yang mampu

Dengan kata lain, manusia pada prinsipnya memiliki kebebasan: berpikir, berpendapat, bersikap, berbuat/tidak berbuat dan sebab itu manusia seyogianya dapat diminta pertanggungjawaban oleh manusia lainnya maupun oleh masyarakat. Di sini mempertanggungjawabkan secara sederhana merujuk pada pengertian mampu diminta dan memberikan penjelasan (alasan pembenar) tentang sikap luar (perilaku yang muncul dan dapat dicermati orang lain) maupun sikap batinnya (dasar pemikiran atau alasan mengapa seseorang memilih dan memutuskan dilakukan/tidak dilakukannya suatu perilaku). Sekalipun dari kacamata orang luar yang muncul dan dapat dicermati hanya perilaku seseorang, tidak berarti bahwa apa yang terjadi dalam pemikiran orang yang melakukan atau tidak melakukan sesuatu menjadi tidak penting sekadar karena tidak langsung teramati oleh pancaindera manusia lain. Dalam kenyataan sikap batin (pemikiran/perasaan yang memotivasi, mendorong atau menjadi latarbelakang pemikiran yang terjadi di dalam hati/batin/pemikiran) adalah faktor penentu mengapa orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

BAGIAN KETIGA Sikap batin sebagai ukuran kesalahan perbuatan dan pertanggungjawaban hukum

Di samping itu, memahami mengapa seseorang melakukan sesuatu (apa yang terjadi dalam hati nurani/batin yang bersangkutan) pada akhirnya penting untuk mengerti-memahami dan menentukan bagaimana dan seberapa jauh pelaku dapat dipersalahkan atas akibat yang muncul dari perbuatannya terhadap orang lain, masyarakat maupun Negara. Bahkan kadar pertanggungjawaban yang dapat diminta akan juga digantungkan pada sikap batin yang melatarbelakangi diperbuatnya perilaku salah tersebut. Motivasi (niatan) seseorang menentukan kadar kesalahan, tanggungjawab dan seberapa jauh yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban hukum.

Kadar kesalahan akan selalu dikaitkan dengan pertanyaan apakah seseorang melakukan sesuatu yang salah (buruk) dengan kesadaran dan pengetahuan penuh bahkan dengan kehendak menimbulkan akibat buruk pada orang lain ataukah semata-mata karena ketidaktahuan atau ke(-tidak)sengajaan yang dapat dimaafkan. Dalam kaitan ini pula kadar kesalahan manusia dewasa harus dinilai berbeda dengan kesengajaan atau ketidaksengajaan yang dilakukan anak kecil (belum dewasa) dan mereka yang tidak sempurna akalnya (sakit atau mengalami gangguan kejiwaan). Kecakapan (kemampuan untuk memiliki pengetahuan dan kehendak) pada orang dewasa harus juga dibedakan dari bagaimana hal serupa muncul dalam kelompok masyarakat yang dianggap belum dewasa (tidak cakap hukum), yakni yang tidak/belum memiliki pengetahuan/kehendak sempurna. Maka harus juga dibedakan kemampuan mereka yang sudah dewasa untuk bertanggungjawab dan mempertanggungjawabkan perbuatan dari mereka yang belum dewasa. Kelompok yang disebut terakhir bilamana melakukan hal yang salah (dari kacamata hukum ataupun di luar hukum), sekalipun tetap dianggap bertanggungjawab, tidak/belum dapat dimintakan pertanggungjawaban (hukum). Untuk itu, orang tua/wali atau pihak yang dianggap bertanggungjawab untuk mengawasi (termasuk mengasuh, mendidik/membina) yang akan dimintakan pertanggungjawaban (hukum).

Bagaimana kita dapat mengungkap sikap batin tertentu yang melatarbelakangi perbuatan manusia? Apakah mungkin kita mengetahui apa yang terjadi dalam hati nurani atau akal budi seseorang? Betul bahwa apa yang tampak kasat mata kehadapan orang lain hanyalah perbuatan (perilaku) manusia. Namun demikian perbuatan tersebut dilakukan dalam situasi kondisi kejiwaan tertentu dan juga terjadi dalam konteks hubungan antar manusia. Keduanya (kondisi kejiwaan) dan situasi-kondisi factual di seputar kejadian (atau perbuatan) merupakan indikasi tentang sikap batin dari pelaku. Kesemua itu dapat diungkap melalui cerita dari pelaku (pengakuan atau kesaksian), mereka yang menyaksikan sendiri kejadian (apa yang sesungguhnya terjadi). Selain itu dari bukti-bukti fisik (pintu yang dirusak; kunci yang dibongkar: maksud/kesengajaan mencuri) atau suasana yang meliputi kejadian (malam hari-sepi atau justru ramai di pasar: copet), seorang pengamat luar dapat menyimpulkan kurang lebih sikap batin apa yang ada pada pelaku. Singkat kata, sikap batin pelaku yang melandasi perbuatan diungkap melalui proses (hukum) pembuktian di pengadilan. Keseluruhan proses pembuktian ini terkait dengan penting dan perlunya mengungkap kebenaran dari apa yang senyatanya terjadi (kebenaran materiil) atau fakta Bagaimana kita dapat mengungkap sikap batin tertentu yang melatarbelakangi perbuatan manusia? Apakah mungkin kita mengetahui apa yang terjadi dalam hati nurani atau akal budi seseorang? Betul bahwa apa yang tampak kasat mata kehadapan orang lain hanyalah perbuatan (perilaku) manusia. Namun demikian perbuatan tersebut dilakukan dalam situasi kondisi kejiwaan tertentu dan juga terjadi dalam konteks hubungan antar manusia. Keduanya (kondisi kejiwaan) dan situasi-kondisi factual di seputar kejadian (atau perbuatan) merupakan indikasi tentang sikap batin dari pelaku. Kesemua itu dapat diungkap melalui cerita dari pelaku (pengakuan atau kesaksian), mereka yang menyaksikan sendiri kejadian (apa yang sesungguhnya terjadi). Selain itu dari bukti-bukti fisik (pintu yang dirusak; kunci yang dibongkar: maksud/kesengajaan mencuri) atau suasana yang meliputi kejadian (malam hari-sepi atau justru ramai di pasar: copet), seorang pengamat luar dapat menyimpulkan kurang lebih sikap batin apa yang ada pada pelaku. Singkat kata, sikap batin pelaku yang melandasi perbuatan diungkap melalui proses (hukum) pembuktian di pengadilan. Keseluruhan proses pembuktian ini terkait dengan penting dan perlunya mengungkap kebenaran dari apa yang senyatanya terjadi (kebenaran materiil) atau fakta

Sikap batin dalam hukum pidana (substantive maupun prosesuil)

Dalam hukum pidana (substantif maupun acara/prosesuil), pengertian mens rea atau sikap batin (dalam kaitan dengan actus reus: perbuatan) sangat penting. Hal ini pertama-tama muncul dalam perbedaan gradasi perbuatan yang diancamkan dengan sanksi pidana (dari tingkat kesalahan paling berat (dengan rencana atau dengan sengaja) sampai dengan yang paling ringan (lalai/salahnya) dan kedua dalam penjatuhan sanksi pidana yang diancamkan (dan dijatuhkan) terhadap pelaku perbuatan (tindak pidana) oleh pengadilan.

Orang yang melakukan suatu perbuatan tertentu dapat melakukannya dengan atau tanpa pengetahuan (wetens; cognition; knowledge) ataupun kehendak/kesadaran (willens; intention) akan munculnya akibat. Ada tidaknya pengetahuan dan kehendak tersebut menentukan tingkat ketercelaan perbuatan dan juga berkaitan dengan kadar kesalahan yang dapat dikaitkan pada pelaku. Secara konkrit, hal ini muncul dalam perumusan perbuatan yang diancamkan sanksi pidana (delik atau ketentuan pidana).

Di dalam peraturan perundang-undangan (KItab Undang-Undang Hukum Pidana/KUHP) dapat kita temukan raga kete tua ya g e gatur ihwal e ghila gka yawa ora g lai yang dibuat dengan memperhatikan gradasi pengetahuan (wetens)-kehendak (willens) pelaku. Perujukan pada sikap batin kita temukan dalam peristilahan dengan rencana terlebih dahulu, dengan sengaja, atau karena salahnya (lalai). Di samping itu juga ditemukan perujukan pada sikap batin yang dikaitkan pada kualifikasi yang melekat pada orang (pelaku perbuatan). Berat/ringannya perbuatan seorang ibu yang mengaborsi anak dalam kandungan atau membuang anak yang baru dilahirkan, suami/atau istri yang menganiaya pasangan atau anak-anak mereka, akan dinilai berdasarkan sikap batin yang melandasi perbuatan mereka. Dengan kata lain, pembuat undang-undang dalam merumuskan ketentuan pidana harus memperhitungkan dan mencakupkan ke dalam rumusan pidana ragam kategori sikap batin (dengan sengaja, dengan maksud, karena salahnya, dll) yang mungkin ada pada pelaku.

Pentingnya sikap batin muncul pula dalam menentukan ada/tidaknya alasan yang meniadakan kesalahan dan pertimbangan untuk memperberat atau sebaliknya meringankan pidana yang dijatuhkan atas suatu perbuatan tertentu. Orang yang bertindak (berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu- melalaikan kewajiban hukum) karena keterpaksaan (tanpa niat jahat) sekalipun perbuatannya kemudian dikategorikan sebagai tindak pidana, akan dinilai dan dihukum berbeda dari mereka yang memiliki sikap batin yang buruk. Adanya keadaan terpaksa atau situasi yang tidak memungkinkan seseorang secara bebas mempertimbangkan dan memutus berdasarkan pertimbangan terbaik (tentang baik/salah atau dampak perbuatan) – yang berarti tidak bebasnya seseorang menggunakan hati nurani – akan menghilangkan kesalahan yang bersangkutan dan melepaskannya dari tuntutan pertangggungjawaban hukum.

Selanjutnya penegak hukum (polisi, kejaksaan & kekuasaan kehakiman) dalam penegakan ketentuan pidana seyogianya memperhitungkan sikap batin pelaku (tersangka/terdakwa) tatkala memperhitungkan kadar kesalahan pelaku. Sikap batin seseorang yang mengambil sandal (sekalipun Selanjutnya penegak hukum (polisi, kejaksaan & kekuasaan kehakiman) dalam penegakan ketentuan pidana seyogianya memperhitungkan sikap batin pelaku (tersangka/terdakwa) tatkala memperhitungkan kadar kesalahan pelaku. Sikap batin seseorang yang mengambil sandal (sekalipun

Hal serupa berlaku pula dalam berlalu-lintas. Kadar kesalahan orang yang menerobos lampu lalu lintas karena tidak melihat lampu lalulintas (negligence/lalai) harus dinilai berbeda bila melanggar lampu lalulintas terjadi karena mabuk (gross negligence/culpa lata: kelalaian besar). Pada gilirannya kedua perbuatan tersebut juga harus dinilai berbeda dari orang yang kebut-kebutan di jalan raya (reckless indiference/ketidakperdulian yang sembrono dan membahayakan) atau karena ketidakpedulian (willful blindness). Kadar kesalahan (dan tingkat ketercelaan) seorang suami yang karena terburu-buru mengantarkan isterinya yang hendak segera melahirkan ke rumah sakit dengan sengaja melanggar aturan lalulintas dengan demikian juga harus dinilai berbeda.

Selain itu, juga dalam proses pengadilan, apa dan bagaimana sikap batin seorang pelaku (terdakwa) akan diperdebatkan oleh pembela pada satu sisi dan jaksa-penuntut umum pada lain pihak. Tujuan mengungkap kebenaran (apa yang sesungguhnya terjadi sebagai fakta) juga mencakup ihtiar mengungkap apa yang memotivasi (menjadi latarbelakang) perbuatan seseorang. Diungkapnya sikap batin pelaku akan menjadi pertimbangan hakim dalam memutus bersalah/tidaknya terdakwa serta dalam penjatuhan berat/ringannya hukuman. Motivasi tersebut bahkan juga dapat menghasilkan putusan melepas pelaku dari segala tuntutan hukum. Artinya sekalipun perbuatan untuk mana pelaku dihadapkan pada pengadilan dianggap benar terjadi, namun kemudian terbukti tidak ada kesalahan pada pelaku (adanya alasan yang meniadakan kesalahan atau alasan pembenar), sehingga ia dinyatakan tidak patut dihukum.

Sikap batin dalam hukum perdata (substantive maupun prosesuil)

Dalam ranah hukum perdata (materiil/formil), kecakapan/kemampuan bertindak (bertanggungjawab dan dimintakan pertanggungjawaban) sama halnya dalam ranah pidana, mencakup pengertian kecakapan bertindak (dewasa/cukup umur) yang sekaligus mengindikasikan kemampuan untuk bertindak berdasarkan pengetahuan serta kehendak bebas. Dalam hal inipun penting menelaah bagaimana sikap batin melandasi perbuatan hukum dalam ranah hukum perdata. Sejatinya itikad baik (good faith) melandasi terbentuknya semua perbuatan hukum – yakni perbuatan (bersegi satu atau banyak) terutama yang melahirkan hak dan kewajiban dalam ranah keperdataan.

Ilustrasi dari perbuatan bersegi satu ialah zaakwaarneming, seseorang secara sukarela mengambilalih dan mengurus kepentingan orang lain. Pelaksanaan tugas yang diembannya secara sukarela serta penuntasannya harus dilakukan dengan itikad baik. Pentingnya itikad baik lebih lagi muncul dalam hal kita berhadapan dengan perbuatan hukum bersegibanyak: melibatkan lebih dari satu orang yang menimbulkan hak-kewajiban hukum bertimbalbalik. Tidak adanya itikad baik (good faith), misalnya membuat perjanjian, yang ternyata dibuat dengan tujuan menipu atau memperoleh suatu kebendaan Ilustrasi dari perbuatan bersegi satu ialah zaakwaarneming, seseorang secara sukarela mengambilalih dan mengurus kepentingan orang lain. Pelaksanaan tugas yang diembannya secara sukarela serta penuntasannya harus dilakukan dengan itikad baik. Pentingnya itikad baik lebih lagi muncul dalam hal kita berhadapan dengan perbuatan hukum bersegibanyak: melibatkan lebih dari satu orang yang menimbulkan hak-kewajiban hukum bertimbalbalik. Tidak adanya itikad baik (good faith), misalnya membuat perjanjian, yang ternyata dibuat dengan tujuan menipu atau memperoleh suatu kebendaan