TINJAUAN PUSTAKA
2.11. Degradasi Zat Warna
Tekstil dengan Sistem Anaerobik Limbah cair industri tekstil dari proses pewarnaan mengandung warna yang cukup pekat. Zat warna ini berasal dari sisa-sisa zat warna yang tak larut dan juga dari kotoran yang berasal dari serat alam.Warna selain mengganggu keindahan, mungkin juga bersifat racun dan sukar dihilangkan.
Perombakan zat warna ini berawal dari penemuan hasil metabolisme hewan mamalia yang diberi makanan campuran zat warna azo. Zat warna azo yang masuk ke dalam pencernaan hewan ini direduksi oleh mikroflora yang berada di dalam saluran pencernaan pada kandisi anaerobik. Ikatan azo yang direduksi ini menghasilkan produk samping (intermediat) yaitu Perombakan zat warna ini berawal dari penemuan hasil metabolisme hewan mamalia yang diberi makanan campuran zat warna azo. Zat warna azo yang masuk ke dalam pencernaan hewan ini direduksi oleh mikroflora yang berada di dalam saluran pencernaan pada kandisi anaerobik. Ikatan azo yang direduksi ini menghasilkan produk samping (intermediat) yaitu
Perlakuan secara anaerobik pada dasarnya sebagai pengalahan pendahuluan untuk limbah cair yang mengandung bahan organik tinggi dan sukar untuk didegradasi. Pada proses anaerobik terjadi pemutusan molekul-molekul yang sangat kompleks menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana, sehingga mudah terbiodegradasi oleh proses aerobik menjadi CO2, H2O, NH3 dan Biomassa.
2.12. Mekanisme Perombakan Zat
Tesktil pada Kondisi Anaerobik Proses penghilangan warna pada campuran azo terdiri dari dua tahapan. Tahap pertama reaksi yang terjadi tidak stabil, karena masih ada molekul oksigen dalam media, yang dinyatakan sebagai persaingan dari oksida (zat warna dan oksiogen) pada saat respisasi. Pada kondisi oksidasi zat warna akan kembali ke bentuk semula. Setelah molekul oksigen yang ada dalam media habis maka proses perombakan zat warna akan stabil dimana R1 dan R2 adalah substitusi dari residu fenil dan naphtol.
R1-N=N-R2 + 2e- + 2H+ R1-NH-NH-R2…………(2.1.) R1-NH-NH-R2 + 2e- + 2H+ R1-NH2 + R2-NH2…… .(2.2.)
Reduksi azo secara enzimatis dikatalisa oleh suatu enzim yang disebut azo reduktase.Enzim ini sensitif terhadap oksigen, sehingga aktivitas maksimum diperoleh pada kondisi anaerobik. Hasil penelitian ini masih kurang jelas apakah azoreduktase secara langsung mengkatalisa transfer elektron akhir ke campuran zat. Reduksi azo terjadi bersama dengan terbentuknya flavin yang tereduksi secara enzimatik, tetapi transfer elektron akhir terjadi secara non enzimatik.
Mekanisme dasar pemutusan ikatan azo terjadi bersamaan dengan reoksidasi dari nukleotida yang dibangkitkan secara enzimatis.Selama nukleotida direduksi dari sistem Mekanisme dasar pemutusan ikatan azo terjadi bersamaan dengan reoksidasi dari nukleotida yang dibangkitkan secara enzimatis.Selama nukleotida direduksi dari sistem
2.13. Adsorpsi Zat Warna Tekstil
Cara yang umum dilakukan untuk pengolahan limbah tekstil ini adalah cara koagulasi dan filtrasi. Menurut penelitian Zahrul Mufrodi, dkk, diteliti kemungkinan penggunaan abu terbang (fly ash) untuk menyerap zat warna tekstil. Abu terbang merupakan limbah industri kimia yang menggunakan bahan bakar berbasis padat yang jumlahnya banyak dan belum banyak dimanfaatkan, sejauh ini fly ash hanya dimanfaatkan sebagai bahan campuran pembuatan beton, semen, batako, pavin blok, pembenah lahan pertanian, dan lain-lain.
Penelitian uji daya adsorpsi abu terbang terhadap zat warna tekstil berupaya untuk mengetahui mekanisme penyerapan zat warna dan efektifitas abu terbang sehingga dimasa yang akan datang, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian-penelitian berikutnya dan menjadi salah satu alternatif dari upaya penanganan pencemaran air oleh zat warna.
Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit listrik adalah silika (SiO 2 ), alumina, (Al 2 O 3 ), dan besi oksida (Fe 2 O 3 ), sisanya adalah karbon, kalsium, magnesium, dan belerang. Rumus empiris abu terbang batubara ialah: Si 1.0 A l0.45 Ca 0.51 Na 0.047 Fe 0.039 Mg 0.020 K 0.013 Ti 0.011 . Pozolanik adalah bahan yang mengandung silica atau alumino silica secara sendiri, tidak atau sedikit mempunyai sifat mengikat seperti semen, akan tetapi dalam bentuknya yang halus dan dengan adanya air, maka senyawa tersebut akan bereaksi secara kimia dengan hidroksa-hidroksa alkali atau alkali tanah temperature ruang yang membentuk atau membantu terbentuknya senyawa-senyawa yang mempunyai sifat seperti semen (SNI 06-6867-2002).
Adsorpsi secara umum adalah proses penggumpalan substansi terlarut (soluble) yang ada dalam larutan, oleh permukaan zat atau benda penyerap, dimana terjadi suatu ikatan kimia fisika antara substansi dengan penyerapannya. Adsorpsi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: Adsorpsi secara umum adalah proses penggumpalan substansi terlarut (soluble) yang ada dalam larutan, oleh permukaan zat atau benda penyerap, dimana terjadi suatu ikatan kimia fisika antara substansi dengan penyerapannya. Adsorpsi dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:
b. Adsorpsi kimia (chemisorption), yaitu reaksi yang terjadi antara zat padat dan zat terlarut yang teradsorpsi. Abu terbang memiliki karakteristik yang mirip dengan karbon aktif, hal ini berdasarkan penelitian Chemical Engineering Alliance and Innovation (ChAIN) Center pada tahun 2006, yang memaparkan bahwa abu memenuhi syarat layak digunakan sebagai adsorben karena luas permukaan dan pori-porinya potensial. Dengan melakukan sedikit intervensi yaitu memperbesar luas permukaannya dengan chemical activation, ditambah asam sehingga pori-porinya semakin membesar. Dengan demikian, penggunaan pelarut HCl diupayakan untuk memperbesar pori-pori abu terbang.
Abu terbang memiliki potensi yang cukup besar sebagai absorben yang ramah lingkungan. Abu terbang batubara dapat menjadi alternatif pengganti karbon aktif dan zeolit. Tetapi, kapasitas adsorpsi abu terbang sangat bergantung pada asal dan perlakuan pasca pembakaran batubara. Sampai sekarang, pemanfaatan abu terbang masih dilakukan dalam skala kecil karena umumnya kapasitas adsorpsinya masih rendah.
Modifikasi sifat fisik dan kimia dapat meningkatkan kapasitas adsorpsi abu terbang. Peningkatan kapasitas adsorpsi dapat membuat adsorben dari abu terbang batubara kompetitif bila dibandingkan dengan karbon aktif dan zeolit.
Berdasarkan hasil uji laboratorium yang dilakukan terhadap komposisi bahan pewarna ”Kuda Leo” yang telah dilakukan, didapatkan hasil beberapa jenis logam yang terkandung di dalamnya yaitu diantaranya logam Cu, Cd, Mg, Fe, Cu, dan Cr. Dari empat sampel yang diujikan (larutan warna pengadukan ke 15, 45, 75 menit dan larutan zat warna) diketahui terjadi penurunan kadar logam Cu, Cr, Cd, Fe, Pb yang cukup signifikan.
Pengaruh logam-logam itu sendiri terhadap pewarnaan adalah: logam Cu memberikan efek warna biru, logam Cr memberikan efek warna hijau atau kuning, logam Fe memberikan efek warna kuning atau hijau, logam Pb,Mg dan Cd tidak berwarna.Dari keterangan-keterangan yang didapat, diperoleh asumsi awal yaitu kemampuan fly ash dalam menjerap zat warna adalah disebabkan oleh terjerapnya partikel-pertikel logam sebagai agen pembawa warna tersebut.
Keterangan : (a) Larutan zat warna tekstil (warna biru) (b) Larutan zat warna tekstil + abu terbang (fly ash) (warna hitam) (c) Hasil adsorbsi setelah 2 hari (bening).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Abu terbang (fly ash) batubara dapat dijadikan adsorbent limbah zat warna tekstil dengan mengaktifkannya menggunakan asam sulfat 1M. Kemudian Abu terbang (fly ash) dapat digunakan sebagai absorbent logam-logam seperti Cr, Cu, Cd, Mg, Pb dan Fe, yang merupakan penyebab timbulnya warna dalam air.
2.14. Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil
Baku Mutu Limbah Cair industri adalah batas maksimum limbah cair yang diperbolehkan dibuang ke lingkungan. Baku Mutu Limbah Cair industri tekstil di Indonesia mengacu pada Kep.Men.51/Men,LH/1Q/1995, sesudah tahun 2000, acuannya adalah lampiran B Men.Kep.Men tersebut. Berdasarkan acuan tersebut masing-masing daerah membuat BMLC dengan ketentuan boleh lebih ketat namun tidak boleh lebih longgar. Tabel 2 : BMLC industri tekstil lampiran B Kep.Men 51/Men/LH/10/1995