Arief Amrullah. 2004. Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundring. Malang: Bayu

Hal itu seperti yang tercantum dalam Rekomendasi 1 dari Finansial Action Task Force FATF Tentang The Fourty Recommendations money laundering yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia bahwa setiap negara harus segera mengambil tindakan-tindakan untuk mengesahkan dan melaksanakan sepenuhnya Konvensi PBB tentang perdagangan Gelap Narkotika dan Psikotropika tahun 1998 Konvensi Wina 5 . Dalam perkembangan selanjutnya money laundering menjangkau Terroris Financing, yang meliputi freezing and confiscating terrorist assets, reporting suspicious transactions related to terrorism. Bahkan dalam The Fourty Recommendations yang telah direvisi pada tahun 2003, FATF telah pula mencantumkan the 2000 United Nations Convention on Transnational Organized Crime The Palermo Convention sebagai ruang lingkup dari Money Laundering. 6 Berkaitan dengan rumusan yang tercantum dalam Pasal 641 RUU tentang KUHP di atas, para konseptor atau perancang ketentuan Pasal 641 tersebut telah mengembangkan cakupan dari Money Laundering tidak hanya terbatas pada uang hasil dari perdagangan gelap narkotika atau psikotropika. Menurut Yenti Garnasih 7 dengan pendapatnya yang berbeda tentang permasalahan dari Money Laundering ini. Yaitu setidaknya ada 2 dua masalah besar dalam pelaksanaan penegakan hukum anti Money Laundering ini, yakni kerahasiaan bank dan pembuktian. Dari aspek kerahasiaan bank, nasabah mempunyai Right To Privacy dan dilindungi berdasarkan hukum kerahasiaan bank. Sedangkan dari aspek pembuktian, Money Laundering bukan merupakan kejahatan tunggal, tetapi ganda. Tuntutan akan suatu Money Laundering mengharuskan pembuktian dua bentuk kejahatan sekaligus, yakni pembuktian Money Laundering Follow Up Crime itu sendiri dan pembuktian bahwa uang tersebut adalah ilegal. Dengan kata lain, penegakkan UU TPPU tidak bisa berjalan bila tidak ada unsur pendukung lainnya. Yaitu Unsur Aparat Penegak Hukum dan Unsur Masyarakat. 5

M. Arief Amrullah. 2004. Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundring. Malang: Bayu

media. Hal. 12 6 Ibid. 7 Yenti Garnasih, Anti Pencucian Uang Sebagai Strategi Untuk Memberantas Kejahatan Keuangan Profit Oriented Crimes, Jurnal Hukum Progesif, PDIH Undip, 2006, Semarang. Ibid. Hal 4 UU TPPU adalah komitmen pemerintah Republik Indonesia untuk berpartisipasi dalam upaya pemberantasan Money Laundering sebagai jawaban atas dugaan kekhawatiran masyarakat internasional yang selama ini menganggap Indonesia sebagai sasaran empuk untuk kegiatan Money Laundering. Kondisi meningkatnya berbagai kejahatan baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi dalam batas wilayah suatu negara maupun yang dilakukan melintas batas wilayah negara lain juga menjadi alasan utama UU TPPU dibentuk. Pembentukan UU TPPU juga ditinjau dari 1Aspek filosofi yang berlandaskan Pancasila yang memuat falsafah keadilan, 2Aspek yuridis landasan untuk mengetahui dasar kewenangan membentuk produk hukum bentuk dan pembentuknya, 3Aspek sosiologis menyangkut aspek efektifitas yaitu pada Pasal 35 yang mengatur masalah Pembuktian Terbalik yang berbunyi sebagai berikut “bahwa untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak pidana” atau yang biasa disebut dengan Asas Pembuktian Terbalik. Asas pembuktian terbalik yang dimaksud di dalam Pasal 35 merupakan salah satu kekhususan di dalam UU TPPU di bandingkan dengan pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk selanjutnya disebut dengan KUHAP sebagaimana di atur dalam Pasal 66 KUHAP 8 yang berbunyi “Tersangka atau Terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian”. Asas Pembuktian Terbalik hanya dilakukan pada tingkat pengadilan bukan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Didalam orientasinya Asas Pembuktian Terbalik yang dimaksud dalam UU TPPU ini sulit untuk diterapkan dalam memberantas Money Laundering. Disamping karena dipengaruhi oleh faktor intern yang meliputi keberadaan UU TPPU yang belum seberapa dipahami oleh masyarakat karena kurangnya 8 Penjelasannya: Dimana mengandung pengertian bahwa pembebanan pembuktian diletakkan pada penuntut umum, yang berarti menjadi kewajiban penuntut umum untuk membuktikan terhadap salah atau tidaknya seorang terdakwa. Dalam hal ini hakim dapat memperkenankan kepada terdakwa memberikan keterangan tentang pembuktian yang tidak merupakan alat bukti menurut hukum, akan tetapi segala sesuatunya dapat lebih memberikan kejelasan dan membuat terang tentang duduk perkaranya, setidak-tidaknya keterangan tersebut dapat dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya dalam Martiman Prodjohamidjojo. 1990. Komentar Atas Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Jakarta. PT Pradnya Paramita. Hal. 50 sosialisasi dan dikarenakan UU TPPU masih ada revisi ulang meski sebelumnya telah diubah. Faktor ekstern yaitu terhadap aparat penegak hukum juga berpengaruh dalam penerapan Asas Pembuktian Terbalik ini khususnya jaksa sebagai penuntut umum yang juga berkewajiban untuk membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana atau tidak. Asas Pembuktian Terbalik dalam UU TPPU ini merupakan suatu kewajiban yang wajib dibuktikan oleh terdakwa yang berarti bahwa asas pembuktian terbalik yang dimaksud dalam UU TPPU bersifat Compulsory atau wajib, yakni diharuskan atau diwajibkan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan harta yang ilegal. Dapat dimengerti disini bahwa asas pembuktian terbalik ini adalah beban yang harus dilakukan oleh terdakwa di dalam persidangan Asas Pembuktian Terbalik atau yang juga dapat kita sebut dengan Beban Pembuktian Terbalik, karena membebankan kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan hasil tindak pidana. Selain itu Asas Pembuktian Terbalik ini juga pada tataran hukumnya berkaitan dengan asas praduga tak bersalah untuk selanjutnya disebut dengan Presumption Of Innocence. Dari perspektif ketentuan sistem hukum pidana khusus dihubungkan dengan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 KAK 2003 yang diratifikasi Indonesia dengan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against 2003 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi Tahun 2003. Hakikatnya, dari dimensi ini Asas Pembuktian Terbalik tersebut dilarang terhadap kesalahan orang karena potensial akan melanggar Hak Asasi Manusia HAM, bertentangan dengan Presumption Of Innocence sehingga menimbulkan pergeseran pembuktian menjadi asas praduga bersalah Presumption Of Guilt atau asas praduga Money Laundering Presumption Of Money Laundering. Berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membahas tentang masalah- masalah yang terkait dengan asas pembuktian terbalik. Dimana Penerapan Asas Pembuktian Terbalik di dalam Hukum Acara Pidana Indonesia bertentangan dengan asas Presumption Of Innocent yang menjadi dasar dalam perkara-perkara pidana, juga dikarenakan Asas Pembuktian Terbalik dibentuk agar dapat secara efektif dan efisien memberantas Money Laundering sebagai wujud tujuan hukum pidana memberantas hingga ke akar dan sendi-sendinya. Yang berstatus sebagai tindak pidana yang baru dan bersifat Serious Crime maupun Transnasional Crime karena jaringannya yang luas dan berkaitan dengan tindak pidana-tindak pidana yang teroganisir yang berorientasi pada bidang perekonomian karena berkaitan dengan sistem keuangan dan sistem perbankan. Untuk selanjutnya penulis mengangkat dan mengimplementasikannya dalam tulisan ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul “ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG”.

1.2 Rumusan Masalah