pengadilan. Sementara itu asas Non Self Incrimination ditemui dalam praktek dan dalam peraturan tertulis di Indonesia seperti dalam undang-undang tentang Hak
Asasi Manusia.
98
Asas Non-Self Incrimination dalam sistem hukum Common Law dikenal dengan istilah The Privilege Against Self Incrimination, yaitu seorang tidak dapat
dituntut secara pidana atas dasar keterangan yang diberikannya atau dokumen yang ditujukannya. Sebagai konsekuensi tersangka atau terdakwa dapat diam dan
tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, asas ini dapat berjalan dengan baik di negara yang menganut sistem hukum Common Law. Namun
berbeda dengan sistem hukum di negara kita, apabila terdakwa tidak menjawab pertanyaan yang diajukan akan dianggap menyulitkan jalannya persidangan
hingga dapat memperberat hukuman nantinya. Dengan demikian terdapat kecenderungan seorang terdakwa akan menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadanya, hingga pada akhirnya tidak merugikan dirinya.
99
Teori Asas Beban Pembuktian Terbalik
Konsekuensi logis teori hukum pembuktian berkorelasi dengan eksistensi terhadap pembalikan pembuktian. Dikaji dari prespektif ilmu pengetahuan hukum
pidana dikenal ada 3 tiga teori tentang pembalikan pembuktian. Secara universal ketiga teori tentang pembalikan pembuktian tersebut hakikatnya terdapat di negara
Indonesia maupun di beberapa negara, seperti Malaysia, Inggris, hongkong maupun singapura, yaitu:
100
a. Beban Pembuktian pada Terdakwa
Berkenaan dengan konteks ini, terdakwa berperan aktif menyatakan bahwa dirinya bukan sebagai pelaku tindak pidana. Oleh karena itu terdakwalah di depan
sidang pengadilan yang akan menyiapkan segala beban pembuktian dan bila tidak dapat membuktikan maka terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.
Pada asasnya teori pembuktian jenis ini dinamakan teori pembalikan beban pembuktian Omkering van het bewijslast atau Reversal of Burden of Proof,
98
Ibid.
99
Ibid.
100
Djoko Sumaryanto. Op. Cit. Hal. 142
dikaji dari prespektif teoritik dan praktik teori beban pembuktian ini dapat diklasifikasikan lagi menjai pembalikan beban pembuktian yang bersifat murni
maupun bersifat terbatas Limited Burden Of Proof. Pada hakikatnya, pembalikan beban pembuktian tersebut merupakan suatu penyimpangan hukum
pembuktian dan juga merupakan suatu tindakan luar biasa terhadap Money Laundering.
Konsekuensi logis dengan diterapkannya Asas Pembuktian Terbalik yang bersifat murni atau absolut atau mutlak, asas yang dipergunakan adalah
Presumption Of Guilt atau asas praduga bersalah, yang mengandung pengertian bahwa seseorang dianggap bersalah telah melakukan suatu Money Laundering
sampai dengan yang bersangkutan dapat membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan Money Laundering. Penerapan pembuktian terbalik yang bersifat
murni atau absolut atau mutlak menurut Guwandi
101
harus mempunyai limitasi, dengan mempergunakan ukuran pembuktian sebagai berikut:
Penerapan Asas Pembuktian Terbalik harus ada bukti-bukti sedemikian rupa sehingga bila diukur mempunyai kekuatan lebih
besar akan kebenarannya; Penerapan Asas Pembuktian Terbalik harus dirumuskan
sebagai tingkat ukuran bukti-bukti yang akan memberi kekuatan hukum yang kuat yang akan memberi suatu kesan kepada hakim
dan publik suatu tingkat ukuran yang diperjuangkan oleh penuntut umum untuk secara sungguh-sungguh menjerat pelaku Money
Laundering.
Dengan diterapkannya Asas Pembuktian Terbalik yang bersifat murni atau absolut atau mutlak secara teoritis, normatif dan praktik, dipersyaratkan harus ada
keyakinan jaksa penuntut umum bahwa terdakwa melalui alat bukti dan barang bukti yang ada secara limitatif telah benar melakukan Money Laudering, dan bila
hal ini diabaikan akan berakibat bahwa terdakwa berhasil membuktikan dirinya tidak bersalah melakukan Money Laundering sehingga akan mengakibatkan
terdakwa diputus bebas Vrijspraak oleh hakim didepan sidang pengadilan. Asas Pembuktian Terbalik yang diatur dalam UU TPPU ini ada dua hal
penting yang mana harus dilakukan oleh terdakwa yang telah didakwa dengan
101
Guwandi. 9 April 2001. Harian kompas dalam Djoko Sumaryanto. Ibid. Hal 143
tuduhan Money Laundering. Pertama, merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan KUHAP, yang menentukan bahwa penuntut umum wajib membuktikan
dilakukannya tindak pidana bukan terdakwa, menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan dalilnya, bahwa ia tidak melakukan Money Laundering.
Kedua, terdakwa berkewajiban memberikan keterangan perolehan tentang seluruh harta bendanya yang ditempatkan, ditransfer dan sebagainya kepada
penyedia jasa keuangan yang diduga merupakan harta kotor. Perolehan atau asal usul harta benda tersebut mengenai kapan; bagaimana; dan siapa saja yang terlibat
dalam perolehan harta serta mengapa dan sebab-sebab apa harta itu diperoleh. Penggunaan beban pembuktian terbalik ini dapat menguntungkan dan merugikan
kedudukan terdakwa dalam pembelaannya.
b. Beban Pembuktian pada Penuntut Umum