Jual beli yang mendapat berkah dari Allah adalah jual beli yang jujur, yang tidak curang, tidak mengandung unsur penipuan dan pengkhianatan.
6
Sabda Rasulullah SAW:
ضاﺮ ا ﺎ ا ﻰ ﻬ ا اور
Artinya: “Jual beli itu atas dasar suka sama suka.”
HR. Baihaqi Sabda Rasulullah SAW:
مﺎ ه ا ﺮ آ ﺎ ﺎﻐ ا قﺎ إ ﺪ ﺎ بﻮ ﺪ
سﺎ ا ﻮ أ ﺎ ﺪ لﺎ ﺮ ﺎ بﻮ أ يﺮ ا ﺷﻮ مﻮ آ ﺎ
: ﷲا لﻮ ر لﺎ
و ﺁ ﻰ و ﷲا ﻰ
: مﻮ ءاﺪﻬ ا
ا ﻷا قوﺪ ا ﺮ ﺎ ا ﺔ ﺎ ا
ﺎ ﺮ و ﺪ ا يﺮ اﺬه مﻮ آ ، .
ا اﺮ ﻰ ﺪهﺎﺷ و .
7
Artinya: “Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar tempatnya di surga dengan
para Nabi, Siddiqin, dan Syuhada”. HR. Tirmizdi
C. Syarat dan Rukun jual beli
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga jual beli itu dapat dikatakan sah oleh syara’. Dalam menentukan rukun jual beli, terdapat
6
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, hal. 116
7
Imam Al Hâfidz Abi Abdillah Al Hâkim Al Nîsâbûri, Al Mustadrok ‘Ala Al Shohîhaini, Kairo: Dâr Al Haromain,Cet.1,1997, Juz 2, hal.8
20
perbedaan pendapat ulama Hanafiyah dengan Jumhur ulama. Rukun jual beli menurut ulama Hanafiyah hanya satu, yaitu ijab ungkapan membeli dari pembeli dan qabul
ungkapan menjual dari penjual. Menurut mereka yang menjadi rukun dalam jual beli itu hanyalah kerelaan ridhatara’dhin kedua belah pihak untuk melakukan
transaksi jual beli. Akan tetapi karena unsur kerelaan itu merupakan unsur hati yang sulit untuk diindera sehingga tidak kelihatan, maka diperlukan indikasi yang
menunjukan kerelaan itu dari kedua belah pihak. Indikasi yang menunjukan kerelaan kedua belah pihak yang melakukan transaksi jual beli menurut mereka boleh
tergambar dalam ijab dan qabul, atau melalui cara saling memberikan barang dan harga barang ta’athi.
8
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa rukun jual beli itu ada empat, yaitu:
1. Ada orang yang berakad atau almuta’aqidain penjual dan pembeli. 2. Ada shighat lafal ijab dan qabul
3. Ada barang yang dibeli. 4. Ada nilai tukar pengganti barang.
9
Menurut ulama Hanafiyah, orang yang berakad, barang yang dibeli dan nilai tukar barang termasuk ke dalam syarat-syarat jual beli, bukan rukun jual beli.
Adapun syarat-syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan Jumhur ulama di atas adalah sebagai berikut:
10
8
Nasrun Haroen, Fiqih Mu’amalah, hal. 115
9
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, hal. 118
21
1. Syarat orang yang berakad Ulama fikih sepakat, bahwa orang yang melakukan akad jual beli harus
memenuhi syarat: a. Berakal. Dengan demikian, jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum
berakal hukumnya tidak sah. Adapun anak kecil yang sudah mumayiz, menurut ulama Hanafiyah, apabila akad yang dilakukannya membawa keuntungan bagi
dirinya, seperti menerima hibah, wasiat dan sedekah, maka akadnya sah. b. Orang yang melakukan akad itu, adalah orang yang berbeda. Maksudnya,
seseorang tidak dapat bertindak sebagai pembeli dan penjual dalam waktu yang bersamaan.
2. Syarat yang terkait dengan ijab qabul Apabila ijab dan Kabul telah diucapkan dalam akad jual beli, maka pemilikan
barang dan uang telah berpindah tangan. Ulama fikih menyatakan bahwa syarat ijab dan kabul itu adalah sebagai
berikut: a. Orang yang melakukannya telah akil baligh dan berakal Jumhur ulama atau
telah berakal ulama madzhab Hanafiyah. b. Kabul sesuai dengan ijab. Contohnya: “Saya jual sepeda ini dengan harga
sepuluh ribu” , lalu pembeli menjawab: ”Saya beli dengan harga sepuluh ribu”.
10
Ibid,
22
c. Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis. Maksudnya kedua belah pihak yang melakukan akad jual beli hadir dan membicarakan masalah yang sama.
11
3. Syarat barang yang diperjualbelikan, adalah sebagai berikut: Menurut mazhab Hanafiyah syarat barang yang diperjualbelikan ada lima:
a. Ada barangnya, maka tidak terjadi jual beli bila barangnya tidak ada. b. Berupa barang milik.
c. Barang itu milik penjual sendiri atau milik orang yang mewakilkan kepadanya. d. Ada nilainya secara syara’.
e. Brang itu dapat diterima secara langsung atau dalam waktu dekat. Menurut mazhab Syafi’iyah syarat barang yang diakadkan itu antara lain:
a. Barang itu suci, maka tidak sah menjual barang najis. b. Dapat dimanfaatkan secara syara’, maka tidak sah menjual serangga, karena
secara syara’ tidak dapat dimanfaatkan. c. Dapat diserah terimakan, maka tidak sah menjual barang yang terbang di udara,
ikan yang masih di air belum ditangkap, atau harta rampasan jarahan. d. Barang itu diakad oleh orang yang memiliki wewenang penuh. Maka tidak sah
menjual barang yang masih tersangkut dengan hak orang lain. e. Barang itu diketahui oleh kedua belah pihak, baik zat, ukuran maupun
sifatnya.
12
11
Ibid, hal 120.
12
Abdurrahman Ibnu Iwadh al-Juzburi, Fiqh Ala Mazahibul Arba’ah,Qahirah: Dar Ibnu Haitsam, 1360, Jilid 5, hal. 35.
23
Jual beli menurut mazhab Syafi’iyah artinya menukarkan barang dengan barang atau barang dengan uang, dengan jalan melepaskan hak milik dari
seseorang terhadap orang lainnya atas dasar kerelaan kedua belah pihak. Sebagaiman firman Allah SWT:
☺ ⌧
ةﺮ ا :
Artinya: “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka
tidaklah beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk”. QS. al-Baqarah2: 16
Dalam melakukan jual beli, hal yang terpenting adalah mencari barang yang
halal dan dengan jalan yang halal pula. Artinya yaitu mencari barang yang halal untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan dengan cara yang sejujur-jujurnya.
Bersih dari sifat yang dapat merusak jual beli, seperti penipuan, perampasan, riba dan lain-lain.
Jika barang yang diperjualbelikan tidak sesuai dengan yang tersebut di atas, artinya tidak mengindahkan peraturan-peraturan jual beli, perbuatan dan barang
hasil jual beli yang dilakukannya haram hukumnya. Haram dipakai dan haram dimakan sebab tergolong perbuatan bathil tidak sah.
Yang termasuk perbuatan bathil menurut mazhab Syafi’iyah adalah:
24
1. Penipuan khid’ah 2. Perampasan ghasab
3. Makan riba aklur riba 4. Pengkhianatan khianat penggelapan
5. Perjudian maisir 6. Suapan risywah
7. Berdusta kidzib 8. Pencurian syirqah
13
Semua hasil yang diperoleh dengan jalan tersebut hukumnya haram dipakai, haram dimakan dan dipergunakan. Sebagimana hadits Rasulullah Saw.
menyatakan :
لﺎ ﷲا ﺿر ةﺮ ﺮه ﻰ ا :
و ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر ﻰﻬ
: ﷲا نا
ﺮ ا ﺮ ا ﺎ نﻮ ﺆ ا ﺮ ا ﷲا ناﻮ ا ا
ﻰ ﺎ ﷲا لﺎ :
ﺎ ﺎ اﻮ او تﺎ ﻄ ا اﻮ آ لﻮ ﺮ اﺎﻬ اﺎ .
ﻰ ﺎ لﺎ و :
تﺎ ﻄ ا اﻮ آاﻮ ا ﺬ ﺎﻬ اﺎ آﺎ زر ﺎ
.
Artinya: “Sesungguhnya Allah itu baik tidak menerima amal kecuali amal kebaikan
dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada para rasul. Allah berfirman: wahai para rasul makanlah dari makanan yang baik dan kerjakan amal saleh.
Dan Allah berfirman : wahai orang-orang yang beriman makanlah dari yang baik yang telah Kami anugerahkan kepada kalian.”
13
Ibid,
25
Sedangkan menurut Nasrun Haroen dalam bukunya Fikih Muamalah, jenis-
jenis jual beli yang bathil adalah: 1. Jual beli sesuatu yang tidak ada, para ulama sepakat menyatakan bahwa jual
beli seperti ini tidak sahbathil. 2. Menjual barang yang tidak boleh diserahkan pada pembeli, seperti menjual
barang yang hilang atau burung piaraan yang lepas dan terbang di udara. Hukum ini disepakati oleh seluruh ulama fikih dan termasuk ke dalam kategori
bai’ algarar jual beli tipuan. Alasannya adalah hadits yang diriwayatkan
Ahmad bin Hanbal, Muslim, Abu daud, dan at-Tirmizi sebagai berikut: Janganlah kamu membeli ikan di dalam air, karena jual beli seperti ini adalah
jual beli tipuan. 3. Jual beli yang mengandung unsur penipuan, yang pada lahirnya baik, tetapi
ternyata dibalik itu terdapat unsur penipuan, sebagaiman terdapat dalam sabda Rasulullah saw tentang memperjualbelikan ikan di dalam air di atas. Contoh
lainnya adalah memperjualbelikan kurma yang ditumpuk. 4. Jual beli benda-benda najis, seperti babi, khamar, bangkai dan darah, karena
semuanya itu dalam pandangan Islam adalah najis dan tidak mengandung makna harta. Hal ini dijumpai dalam sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:
حﺎ ر ﻰ أ ءﺎﻄ ، ﻰ أ ا ﺪ ﺰ ،
ا ﺎ ﺪ ،ﺔ ﺎ ﺪ ﷲاﺪ ﺮ ﺎ
– ﺎ ﻬ ﷲا ﻰﺿر
– و
ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر أ
ﺔﻜ ﻮه و ا مﺎ لﻮ
: ،ﺔ او ،ﺮ ا مﺮ ﻮ ر و ﷲا نإ
26
Artinya: Sesungguhnya Allah dan Rasulnya telah mengharamkan jual beli khamar,
bangkai, babi, dan berhala. Lalu dikatakan orang: Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau tentang lemak bangkai, kerena boleh dijadikan sebagai
pendompol perahu, boleh dijadikan penyamak kulit, dan boleh dijadikan alat penerangan bagi manusia. Rasul menjawab: Tidak, itu adalah haram. Lalu
rasulullah saw. melanjutkan dengan sabdanya: Allah telah memerangi umat Yahudi, karena tatkala Allah mengharamkan bagi mereka lemaknya, mereka
rekayasa lemak itu lalu mereka jual dan mereka makan hasil penjualannya. HR. al-Bukhari dan Muslim dari Jabir ibn ‘Abdillah.
Menurut jumhur Ulama termasuk dalam jual beli najis ini adalah memperjualbelikan anjing, baik anjing yang dipersiapkan untuk menjaga rumah
maupun untuk berburu, karena Rasulullah SAW juga bersabda :
ﺪ ﺮﻜ ﺪ ،بﺎﻬﺷ ا ،ﻚ ﺎ ﺎ ﺮ أ ، ﻮ ﷲاﺪ ﺎ ﺪ
ﷲا ﺿر ىرﺎ ا دﻮ
ﻰ أ ، ﺮ ا
: ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر نأ
هﺎﻜ ا ناﻮ و ﻐ ا ﺮﻬ و ﻜ ا ﻰﻬ و
15
Artinya: “Rasulullah saw melarang memanfaatkan hasil jualan anjing, hasil
praktek prostitusi, dan upah tenung.” HR. al-Bukhari dan Muslim dari Abi
Mas’ud al-Anshari.
14
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh bin Bardazbah Al Bukhori Al Ju’fi, Shohîh Al Bukhôri, Kairo: Dâr Al Hadîts, 2004, Jilid 2, hal.114
15
Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrohim bin Al Mughiroh bin Bardazbah Al Bukhori Al Ju’fi, Shohîh Al Bukhôri, Kairo: Dâr Al Hadîts, 2004, Jilid 2, hal.114-115
27
Mazhab Syafi’iyah berpendapat tidak membolehkan kita menjual atau
membeli anjing. Dalam masalah ini ulama Hanabilah pun sepaham dengan mazhab Syafi’iyah. Bahkan mereka tidak membenarkan kita memelihara anjing
selain dari anjing buruan dan anjing hitam walaupu untuk berburu. Akan tetapi ulama Malikiyah membolehkan memperjual belikan anjing untuk menjaga
rumah dan berburu bukanlah najis, begitu pula dengan mazhab Hanafiyah berpendapat demikian.
16
Dengan sabda Rasulullah SAW yang menyatakan:
لﺎ ا هاﺮ إ ﺎ ﺮ أ
: ،ﺔ دﺎ ﺪ
جﺎ ﺎ ﺄ أ ﷲا ﺪ ﺮ ﺎ ،ﺮ ﺰ ا أ
ﻰﻬ و ﷲا ﻰ ﷲا لﻮ ر نأ
آ إ ،رﻮ ا و ﻜ ا ﺪ
. ﺮ ا ﺪ ﻮ أ لﺎ
: ﺮﻜ اﺬه
.
17
Artinya: Rasulullah saw melarang memakan hasil penjualan anjing, kecuali anjing
untuk berburu. HR. an-Nasai dari Jabir ibn ‘Abdillah.
Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa mazhab Hanafiyah dan mazhab Zahiriyah mengecualikan barang-barang bermanfaat, dapat dijadikan sebagai
objek jual beli. Untuk itu mereka mengatakan “Diperbolehkan seseorang menjual kotoran. Kotorantinja dan sampah yang mengandung najis. Karena
sangat dibutuhkan untuk keperluan perkebunan, barang-barang tersebut dapat
16
Teungku Muhammad Hasbi Ash-shiddiqy, Hukum-Hukum Fikih Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. 2 Hal. 356.
17
Al Hâfidz Jalâluddin Al Suyûti, Syarh Sunan Al Nasa’i Beirut-Libanon: Dâr Al Ma’refat,Jilid 4,juz 7 ,hal.355
28
dimanfaatkan sebagai bahan bakar perapian dan pupuk tanaman.”
18
Namun demikian, perlu diingatkan bahwa barang itu barang-barang yang mengandung
najis, arak, dan bangkai boleh diperjualbelikan sebatas bukan untuk dikonsumsi atau dijadikan sebagai bahan makanan.
Landasan hukum tentang hal ini dapat dipedomani ketentuan hukum yang terdapat dalam hadits Nabi Muhammad saw. pada suatu hari Nabi Muhammad
lewat dan menemukan bangkai kambing milik Maimunah dalam keadaan terbuang begitu saja. Kemudian Rasululllah bersabda, “mengapa kalian tidak
mengambil kulitnya?” para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, kambing itu
telah mati menjadi bangkai.” Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya yang
diharamkan adalah hanya memakannya.”
19
5. Jual beli al-arbun jual beli yang bentuknya dilakukan melalui perjanjian, pembeli membeli sebuah barang dan uangnya seharga barang diserahkan
kepada penjual dengan syarat apabila pembeli tertarik dan setuju, maka jual beli sah. Tetapi jika pembeli tidak setuju dan barang dikembalikan, maka uang yang
telah diberikan pada penjual, menjadi hibah bagi penjual. 6. Memperjualbelikan air sungai, air danau, air laut dan air yang tidak boleh
dimiliki seseorang; karena air yang tidak dimiliki seseorang merupakan hak
18
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hal. 54
19
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, hal. 54-55
29
bersama umat manusia, dan tidak boleh diperjual belikan. Hukum ini disepakati jumhur ulama dari kalangan Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
20
4. Syarat-syarat nilai tukar harga barang. Harga dapat dipermainkan para pedagang adalah as-tsaman, bukan harga as-
si’r. Ulama fikih mengemukakan syarat ats-tsam sebagai berikut:
a. Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya. b. Dapat diserahkan pada waktu akad transaksi, sekalipun secara hukum seperti
pembayaran dengan cek atau kartu kredit. c. Apabila jual beli itu dilakukan secara barter, maka barang yang dijadikan nilai
tukar bukan barang yang diharamkan syara’.
D. Jual Beli as-Salam