Degradasi Lahan Di Daerah Aliran Sungai Batang Gadis

(1)

DEGRADASI LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI

BATANG GADIS

Oleh

:

JAMILAH

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

DEGRADASI LAHAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI BATANG

GADIS

Oleh : Jamilah, SP. MP

Staf Pengajar Fakultas Pertanian USU Medan Email : jamilah_tnh@yahoo.co.id

PENDAHULUAN

Peningkatan jumlah penduduk terutama di DAS hulu, menyebabkan terjadinya percepatan degradasi daerah aliran sungai. Selain itu sempitnya lapangan pekerjaan di luar sektor pertanian, terbatasnya lahan pertanian, kurangnya pembinaan terhadap petani lahan kering, lemahnya penegakan hukum dan lain-lain, maka petani cenderung mencari alternatif lahan garapan baru berupa lahan kering perbukitan atau lahan kering berlereng. Semakin intensif dan tak terkendalinya kegiatan usaha tani tersebut telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan beban dan tekanan stabilitas DAS yang mengarah pada kerusakan (degradasi ) DAS secara nyata baik itu lahan maupun sungainya.

DAS bagian hulu mempunyai peran penting, terutama sebagai tempat penyedia air untuk dialirkan ke bagian hilirnya. Oleh karena itu bagian hulu DAS seringkali mengalami konflik kepentingan dalam penggunaan lahan, terutama untuk kegiatan pertanian, pariwisata, pertambangan, serta permukiman. Mengingat DAS bagian hulu mempunyai keterbatasan kemampuan, maka setiap kesalahan pemanfaatan akan berdampak negatif pada bagian hilirnya. Pada prinsipnya, DAS bagian hulu dapat dilakukan usaha konservasi dengan mencakup aspek-aspek yang berhubungan dengan suplai air. Secara ekologis, hal tersebut berkaitan dengan ekosistem tangkapan air (catchment ecosystem) yang merupakan rangkaian proses alami daur hidrologi.

Perubahan tata guna lahan di DAS hulu memberikan pengaruh yang cukup dominan terhadap peningkatan debit banjir. Fenomena tersebut terjadi di DAS Batang Gadis yang meliputi 3 kabupaten /kota yaitu Mandailing Natal, Tapanuli Selatan dan kota Padang Sidimpuan. Sekarang ini sering kita dengar di 3 (tiga) daerah ini terjadi bencana alam berupa banjir dan tanah longsor yang menyebabkan kerugian harta dan nyawa. Pemerintah sudah menetapkan DAS Batang Gadis termasuk dalam DAS skala prioritas (Kep. Menhut RI No. 328/Menhut-II/2009) dan harus diperhatikan pengelolaannya karena DAS ini sudah mengalami degradasi yang cukup parah dan diperlukan upaya terpadu dalam pengelolaan DAS ini agar fungsi DAS ini kembali seperti semula.


(3)

DENISI DAS DAN DEGRADASI DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) secara umum didefinisikan sebagai suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau. Linsley (1980) menyebut DAS sebagai “A river of drainage basin in the entire area drained by a stream or system of connecting streams such that all stream flow originating in the area discharged through a single outlet”. Sementara itu IFPRI (2002) menyebutkan bahwa “A watershed is a geographicarea that drains to a common point, which makes it an attractive unit for technical efforts to conserve soil and maximize the utilization of surface and subsurface water for crop production, and a watershed is also an area with administrative and property regimes, and farmers whose actions may affect each other’s interests”. Menurut UU No 7/2004 Ps 1, pengertian Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah “suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah pengairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan”.

Dari definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa DAS merupakan ekosistem, dimana unsur organisme dan lingkungan biofisik serta unsur kimia berinteraksi secara dinamis dan di dalamnya terdapat keseimbangan inflow dan outflow dari material dan energi. Selain itu pengelolaan DAS dapat disebutkan merupakan suatu bentuk pengembangan wilayah yang menempatkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang secara umum untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian dan kehutanan yang optimum dan berkelanjutan (lestari) dengan upaya menekan kerusakan seminimum mungkin agar distribusi aliran air sungai yang berasal dari DAS dapat merata sepanjang tahun.

Dalam rangka memberikan gambaran keterkaitan secara menyeluruh dalam pengelolaan DAS, terlebih dahulu diperlukan batasan-batasan mengenai DAS berdasarkan fungsi, yaitu pertama DAS bagian hulu didasarkan pada fungsi konservasi yang dikelola untuk mempertahankan kondisi lingkungan DAS agar tidak terdegradasi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kondisi tutupan vegetasi lahan DAS, kualitas air, kemampuan menyimpan air (debit), dan curah hujan. Kedua DAS bagian tengah didasarkan pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang antara lain dapat diindikasikan dari kuantitas air, kualitas air, kemampuan menyalurkan air, dan ketinggian muka air tanah, serta terkait pada prasarana pengairan seperti pengelolaan sungai, waduk, dan danau. Ketiga DAS bagian hilir didasarkan


(4)

pada fungsi pemanfaatan air sungai yang dikelola untuk dapat memberikan manfaat bagi kepentingan sosial dan ekonomi, yang diindikasikan melalui kuantitas dan kualitas air, kemampuan menyalurkan air, ketinggian curah hujan, dan terkait untuk kebutuhan pertanian, air bersih, serta pengelolaan air limbah.

Dengan meningkatnya jumlah penduduk pada DAS hulu, sempitnya lapangan pekerjaan diluar sektor pertanian, terbatasnya lahan pertanian, kurangnya pembinaan terhadap petani lahan kering, lemahnya penegakan hukum dan lain-lain, maka petani cenderung mencari alternatif lahan garapan baru non sawah berupa lahan kering perbukitan atau lahan kering berlereng. Semakin intensif dan tak terkendalinya kegiatan usaha tani tersebut telah memberikan kontribusi terhadap peningkatan beban dan tekanan stabilitas DAS yang mengarah pada kerusakan (degradasi ) DAS secara nyata baik itu lahan maupun sungainya.

Barrow ( 1991 ) mendefinisikan degradasi lahan sebagai hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. kehilangan atau perubahan kenampakkan tersebut menyebabkan fungsinya tidak dapat diganti oleh yang lain. Barrow (1991) menyatakan bahwa faktor-faktor utama penyebab degradasi lahan adalah: 1) bahaya alami, 2) perubahan jumlah populasi manusia, 3) marjinalisasi tanah, 4) kemiskinan, 5) status kepemilikan tanah, 6) ketidakstabilan politik dan masalah administrasi, 7) kondisi sosial ekonomi, 8) masalah kesehatan, 9) praktek pertanian yang tidak tepat, 10) aktifitas pertambangan dan industri.

Lima faktor penyebab degradasi tanah akibat campur tangan manusia secara langsung, yaitu : deforestasi, overgrazing, aktivitas pertanian, ekploitasi berlebihan, serta aktivitas industri dan bioindustri. Sedangkan faktor penyebab tanah terdegradasi dan rendahnya produktivitas, antara lain : deforestasi, mekanisme dalam usaha tani, kebakaran, penggunaan bahan kimia pertanian, dan penanaman secara monokultur (Lal, 2000). Faktor-faktor tersebut di Indonesia pada umumnya terjadi secara simultan, sebab deforestasi umumnya adalah langkah permulaan degradasi lahan, dan umumnya tergantung dari aktivitas berikutnya apakah ditolerenkan, digunakan ladang atau perkebunan maka akan terjadi pembakaran akibat campur tangan manusia yang tidak terkendali.

Permasalahan yang terjadi di DAS hulu adalah : teknologi konservasi tanah dan air kurang diterapkan dalam budi daya di lahan kering; degradasi lahan terus berlanjut akibat erosi; tutupan dan produktifitas lahan semakin menurun; pendapatan dan kesejahteraan petani semakin menurun dan umumnya jauh lebih rendah dari petani padi sawah; tingginya tingkat urbanisasi dan masalah sosial ekonomi lainnya (Deptan, 2009).

Tingkat kerusakan DAS ini diindikasikan dengan fluktuasi debit sungai yang tajam antara musim penghujan dan kemarau, pendangkalan sungai, danau, dan waduk, terjadinya


(5)

tanah longsor, banjir dan kekeringan sebagaimana sering terjadi akhirakhir ini. Dari 458 DAS yang ada di Indonesia, 60 diantaranya dalam kondisi kritis berat sampai dengan sangat berat (Deptan, 2009).

Dalam hubungannya dengan sistem hidrologi, DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur utamanya seperti jenis tanah, tata guna lahan, topografi, kemiringan dan panjang lereng. Karakteristik biofisik DAS tersebut merespon curah hujan yang jatuh dalam wilayah DAS tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, air larian, aliran permukaan, kandungan air tanah dan aliran sungai. Faktor tata guna lahan dan kemiringan dan panjang lereng dapat direkayasa manusia dan diperlukan dalam merencanakan pengelolaan DAS.

Aktivitas bercocok tanam yang tidak atau kurang mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air di hulu DAS telah mengakibatkan proses sedimentasi yang serius pada waduk dan/atau sungai di bagian hilir DAS yang bersangkutan. Besarnya proses sedimentasi menyebabkan terjadinya pendangkalan pada saluran-saluran irigasi yang mendapat aliran air dari waduk/sungai tersebut. Cara bercocok tanam yang sejajar lereng atau memotong garis kontur merupakan fenomena yang sering terlihat di daerah pertanian hulu DAS, terutama pada sentra-sentra produksi tanaman sayuran. Alasannya adalah bahwa jenis tanaman yang diusahakan termasuk tanaman yang tidak menghendaki kelembaban tanah terlalu tinggi. Oleh karenanya, cara bercocok tanam yang dilaksanakan adalah dengan penanaman naik-turun bukit (up and down the slope) karena dengan cara ini air hujan dapat langsung mengalir ke tempat yang lebih rendah. Dengan sistem tanam seperti ini, tingkat resiko terjadinya erosi dan tanah longsor pada musim hujan termasuk tinggi. Laju erosi akan dipercepat apabila jenis tanaman yang diusahakan termasuk jenis tanaman yang pemanenannya dilakukan dengan cara cabutan, misalnya tanaman kentang. Sebenarnya dengan menerapkan pertanaman yang sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air yang memadai, kekhawatiran terjadinya kelembaban tanah yang tinggi atau adanya genangan air hujan dapat dihindari. Pembuatan teras yang terencana dengan baik dapat mencegah terjadinya akumulasi air hujan pada bidang tanam. Dengan kemiringan bidang tanam yang disesuaikan dengan kontur bukit. air hujan yang jatuh dapat diatur atau dialirkan langsung ke tempat yang lebih rendah melalui sistem drainase yang dirancang untuk itu. Dengan cara ini kelembaban tanah yang berlebihan dapat dihindari dan resiko terjadinya erosi dan/atau tanah longsor dapat dikurangi.  


(6)

KARAKTERISTIK DAS BATANG GADIS Letak Geografis

DAS Batang Gadis terletak antara 98° 55’ 32,1” BT sampai dengan 99° 56’ 14,2” BT dan 1° 32’ 38,4” LU sampai dengan 0° 27’ 27,1” LU, melintasi 3 kabupaten/kota : Mandailing Natal, Tapanuli Selatan dan kota Padangsidimpuan.

Luas DAS dan SUB DAS Batang Gadis

DAS Batang Gadis terdiri dari 5 Sub DAS dan luas keseluruhannya mencapai 481.242.320 ha seperti terlihat pada Tabel 1 dan Gambar 1.

Tabel 1. Luas DAS dan Sub DAS Batang Gadis

No. Nama Sub DAS Luas (Ha)

1 Batang Angkola 90,823.630

2 Batang Gadis Hilir 94,080.760

3 Batang Gadis Hulu 165,724.450

4 Batang Salai 50,113.120

5 Sikorsik 80,500.360

Jumlah 481,242.320

Gambar 1. Peta DAS Batang Gadis dan Sub DAS nya


(7)

DAS Batang Gadis penutupan lahannya didominasi oleh hutan lahan kering skunder sebesar 39,72%. Tapi pada kenyataan di lapangan hutan ini sudah dieksploitasi menjadi lahan pertanian dan perkebunan.

Tingkat Bahaya Erosi DAS Batang Gadis

Tingkat bahaya erosi di DAS Batang Gadis didominasi kelas ringan dan sedang. Jika tidak dilakukan tindakan konservasi maka kelas bahaya erosi ini dapat membahayakan karena kelas kemiringan lerang > 25% meliputi lebih dari 25% luas DAS ini. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kelas Tingkat Bahaya Erosi DAS Batang Gadis

Sub DAS (ha) Kelas Erosi Batang Ang kola Batang Gadis Hilir Batang Gadis Hulu Batang

Salai Sikorsik

Jumlah %

Kelas O Sangat Ringan

(SR )

19,371.207 19,936.511 23,176.450 4,374.659 7,011.202 73,870.03 15.35

Kelas I

Ringan (R) 41,809.107 40,728.532 76,221.500 35,834.966 50,803.597 245,397.70 50.99 Kelas II

Sedang (S ) 23,673.665 22,822.530 49,750.792 6,420.515 15,935.048 118,602.55 24.65 Kelas III

Berat (B) 5,969.651 8,972.777 14,836.534 2,533.582 5,187.260 37,499.80 7.79 Kelas IV

Sangat Berat (SB).

0.000 1,620.427 1,739.175 949.416 1,563.258 5,872.28 1.22

Luas 90,823.630 94,080.768 165,724.45 50,113.120 80,500.365 481,242.33 100.00

Keadaan DAS Batang Gadis Saat Ini.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan di sebagian DAS Batang Gadis diperoleh gambaran sebagai berikut :

Sungai Batang Gadis dari bagian hulu (pengamatan di jembatan Muara Sipongi Mandailing Natal hingga ke Dusun Pardomuan Desa Simaningkir Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan, lokasi bertemunya sungai Batang Gadis dengan Batang Angkola) sangat keruh dengan gejolak (turbulensi) dan debit aliran yang cukup besar.

Terdapat banyak mata air euphemeral atau intermitten (ada pada saat terjadinya hujan) di sepanjang lereng sebelah kanan jalan menuju ke Sumatera Barat yang umumnya sangat keruh


(8)

(karena pada saat dilakukan pengamatan terjadi hujan yang tidak terlalu deras merata di kawasan DAS Batang Gadis terutama di bagian hulunya menuju perbatasan dengan Sumatera Barat).

Anak-anak sungai yang melintas di sepanjang jalan menuju ke perbatasan Sumatera Barat yang bermuara ke sungai Batang Gadis dari kawasan sebelah kanan jalan pada saat pengamatan berwarna keruh. Padahal menurut informasi masyarakat di sekitarnya, pada saat tidak terjadi hujan, airnya sangat jernih dan sehari-hari digunakan untuk air konsumsi dan MCK. Gambar dibawah ini adalah Sungai Batang Angkola yang merupakan salah satu sub DAS Batang Gadis yang mempunyai air yang keruh pada saat dilakukan pengamatan.

Banyak aktifitas pembukaan lahan (penebangan hutan dan kebun karet tua) untuk dijadikan perkebunan atau usaha pertanian semusim di sepanjang lereng pegunungan (sebelah kanan jalan Negara Lintas Sumatera Kabupaten Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal) hingga menuju ke perbatasan Sumatera Barat (Gambar 2). Hutan yang sudah ditebang menyebabkan tanah terbuka dan akan mengakibatkan daerah ini rawan erosi karena berada di lereng perbikitan dan di gunung. Selain itu ada juga dijumpai aktifitas penambangan pasir di daerah ini.

Gambar 2. Pembukaan Lahan Perbukitan (foto koleksi Jamilah, 2010)

Ada beberapa lokasi pertanaman tanaman sayuran di kaki bukit menggunakan guludan yang dilapisi mulsa plastik, namun arah guludan (dan mulsa plastiknya) dibuat memotong garis kontur (sejajar lereng), meskipun ada bagian dari guludan ini yang sejajar garis kontur. Alasan pembuatan guludan seperti ini adalah agar mudah dalam perawatan dan pemanena tanaman sayuran. Tanaman yang ditanam di sini adalah tanaman cabe (Gambar 3).

Terdapat banyak kebun salak di kawasan hulu sungai Batang Angkola Padang Sidempuan dan Kabupaten Tapanuli Selatan yang merumpukkan pangkasan pelepahnya belum mengikuti (sejajar) garis kontur. Rumpukan pangkasan pelepah salak ini diletakkan sesuai keinginan petani atas dasar kemudahan meletakkannya, sehingga ada yang sudah memenuhi kaidah konservasi tanah dan air (merumpukkan sejajar garis kontur atau memotong


(9)

lereng), namun tidak sedikit yang merumpukkan memotong garis kontur atau sejajar dengan lereng. Terdapat pula alur air yang terbentuk akibat jalur panen.

Gambar 3. Praktek Konservasi Tanah dan Air yang Salah di Lahan Petani (foto koleksi Jamilah, 2010)

Terdapat bekas longsoran tebing di sebelah kanan hingga menutup jalan Negara Lintas Sumatera, yang ditemui di Desa Maga Mandailing Natal.

Gambar 4. Longsoran Tanah di Pinggir Jalan (foto koleksi Jamilah, 2010)

REHABILITASI LAHAN YANG DIANJURKAN

Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS


(10)

secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, Penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.

Untuk mendapatkan hasil kegiatan yang optimal sehingga lahan kritis dapat berfungsi kembali sebagai unsur produksi, media pengatur tata air, maupun sebagai unsur perlindungan alam dan lingkungannya , upaya konservasi DAS hulu harus mampu memberdayakaan dan mampu meningkatkan kesejahteraan petaninya. Oleh karena itu, disamping peningkatan kesadaran, pengetahuan, dan penggalakan partisipasi petani, suatu paket rakitan teknologi usaha tani konservasi terpadu dengan pengembangan berbagai komoditas perlu diintroduksikan. Dalam paket ini, tindakan sipil teknis harus dipadukan dengan kegiatan peningkatan tutupan vegetasi berupa penanaman tanaman tahunan produktif bernilai ekonomi tinggi (buah-buahan/perkebunan), pengusahaan ternak ruminansia, penanaman rumput pakan ternak dan polongan penguat teras/gulud, pemupukan organik dll.

Guna mengawal dan merubah perilaku, silkap dan ketrampilan petani maka upaya pendampingan tenaga penggerak masyarakat tani (Community Organizer) sangat diperlukan. Disamping itu usaha peningkatan kapasitas SDM (Capacity building) berupa pelatihan CO, petugas teknis kabupaten, petani, local leader, wanita tani, dan petugas lapangan sangat diperlukan. Selanjutnya dalam rangka pemantapan kelembagaan, koordinasi dengan instansi terkait seperti PU, Kehutanan, Diknas, Pemda, dll dalam wadah kegiatan Gerhan/GNRHL, GNKPA dll dalam memperbaiki kondisi DAS yang telah kritis itu perlu lebih ditingkatkan.

Oleh karena itu kegiatan konservasi DAS hulu bukan kegiatan bagi-bagi bibit tanaman semata, tetapi didalamnya disamping kegiatan peningkatan kemampuan SDM petani, petugas, dan CO dilakukan pula kegiatan Community Development berupa pemberdayaan petani untuk mengelola ternak, mengolah pupuk organik, menyiapkan pembibitan bersama, magang petani, RRA, pertemuan dan pendapingan rutin petani, dll. Upaya ini diharapkan serupa bobotnya dengan pembinaan lahan sawah beririgasi beberapa waktu lalu. Dengan penanganan fisik maupun non fisik tersebut diatas, diharapkan kegiatan akan lebih memberikan hasil optimal dan lebih berkesinambungan.

Tindakan Pengelolaan DAS Batang Gadis oleh Masyarakat Setempat

Diberlakukan sistem “Lubuk Larangan” di beberapa tempat di sepanjang sungai Batang Gadis sebagai bentuk larangan mengeksploitasi ikan pada sungai Batang Gadis secara sembarangan.


(11)

Gambar 5 : Lubuk Larangan di Kecamatan Muara Sipongi(kiri) dan Sistem Persawahan di Kecamatan Muara Sipongi Madina (kanan) (foto koleksi Jamilah, 2010)

Ada upaya penanaman batang/bibit tanaman bambu di sepanjang bantaran anak sungai yang barusan terjadi luapan banjir dan longsoran di Desa Tanjung Medan Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan.

Adanya upaya merumpukkan pangkasan pelepah salak yang sebagiannya telah memotong lereng (sejajar garis kontur) meskipun masih dilakukan dengan tidak disengaja.

Sistem pertanaman padi sawah sudah menggunakan sistem terasering. Terlihat bahwa tanaman padi sawah yang berada lebih dekat dengan hutan yang telah dibuka memiliki warna daun lebih hijau dibandingkan dengan daun padi yang lebih jauh dari lokasi hutan yang terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi erosi tanah yang membawa unsur-unsur hara ke areal persawahan.

Anjuran Tindakan Rehabilitasi Lahan A. Usahatani Konservasi Terpadu (Deptan, 2009b)

Usahatani konservasi terpadu adalah suatu usahatani yang menekankan pada upaya pelestarian pemanfaatan lahan semaksimal mungkin sepanjang tahun untuk meningkatan produksi pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, maupun ternak) dengan memperhatikan kaidah dan menerapkan teknik-teknik konservasi tanah dan air (terasering, pembuatan guludan dan penanaman tanaman penguat teras dll). Standar teknis pengembangan usahatani konservasi lahan terpadu adalah sebagai berikut:

1. Lahan berupa lahan kering/upland dan terletak dalam satu hamparan minimal seluas + 5 hektar. Lapisan top soil sudah mulai terkikis dan jeluk perakaran atau kedalaman solum tanah masih cukup dalam untuk diusahakan tanaman keras.


(12)

3. Kemiringan lahan 3% s/d 30%. Untuk menjamin keberhasilan sebaiknya dipilih lahan yang tidak terlalu curam sehingga tidak diperlukan adanya pembangunan teras bangku yang relatif mahal dan memerlukan kebutuhan HOK (Hari Orang Kerja) yang relatif besar. 4. Ketinggian tempat masih memungkinkan berbagai komoditas pertanian untuk diusahakan. 5. Lahan berpotensi menjadi lahan kritis.

B. Usaha Konservasi DAS Hulu (Deptan, 2009a)

Konservasi lahan adalah usaha pemanfaatan lahan dalam usahatani dengan memperhatikan kelas kemampuannya dan dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah agar lahan dapat digunakan secara lestari.

Standar teknis kegiatan konservasi DAS Hulu adalah sebagai berikut:

1. Lahan berupa lahan kering/upland dan terletak dalam satu wilayah hulu DAS / sub DAS. Lapisan top soil sudah mulai terkikis dan jeluk perakaran atau kedalaman solum tanah masih cukup dalam untuk diusahakan tanaman keras.

2. Lahan masih dapat diusahakan tapi produktivitasnya cenderung menurun. 3. Kemiringan lahan antara 20 – 30 %.

4. Ketinggian tempat masih memungkinkan berbagai komoditas pertanian (hortikultura dan atau perkebunan) untuk diusahakan.

5. Lahan berpotensi menjadi lahan kritis.

Kriteria lokasi kegiatan konservasi lahan DAS Hulu adalah sebagai berikut:

1. Lokasi merupakan kawasan pertanian lahan kering pada DAS hulu dengan kelerengan antara 20-30 %.

2. Status pemilikan tanah jelas dan bukan merupakan kawasan hutan.

3. Pada lokasi tersebut terdapat petani yang telah tergabung dalam wadah kelompok tani. Apabila belum terbentuk maka harus dibentuk Kelompok Tani.

4. Petani bersedia mengikuti kegiatan dan melakukan pemeliharaan selanjutnya serta tidak menuntut ganti rugi.

5. Terdapat petugas lapangan (PPL, Mantri Tani) yang aktif.

Pelaksanaan kegiatan Konservasi DAS Hulu mendukung sub sektor Hortikultura dan Perkebunan pada dasarnya komponen kegiatannya sama dan yang membedakan adalah komoditi utama yang dikembangkan.

- Mendukung Hortikultura

Pelaksanaan Konservasi DAS Hulu mendukung Hortikultura yaitu tanaman utama yang dikembangkan adalah tanaman hortikultura (buah-buahan). Sambil menunggu tanaman buahbuahan tersebut menghasilkan maka di antara tanaman buah dapat ditanami dengan


(13)

tanaman semusim (jagung, kedele, kacang-kacangan dan lain-lain). Selain itu harus mengadakan ternak (kambing/domba) sebagai usaha kelompok.

- Mendukung Perkebunan

Pelaksanaan Konservasi DAS Hulu mendukung Perkebunan yaitu tanaman utama yang dikembangkan adalah tanaman perkebunan (kopi, kakao, mete dan lain-lain). Sambil menunggu tanaman tersebut menghasilkan maka di antara tanaman perkebunan dapat ditanami dengan tanaman semusim (jagung, kedele, kacang-kacangan dan lain-lain). Selain itu harus mengadakan ternak (kambing/domba) sebagai usaha kelompok.

Dalam pelaksanaannya kegiatan konservasi DAS hulu di perlukan adanya bangunan konservasi, misalnya terasering, guludan, saluran pembuangan air (SPA), banguna terjunan (drop structure), dan rorak (saluran buntu).

Terasering

Terasering adalah bangunan konservasi tanah yang dibuat sejajar garis kontur yang dilengkapi saluran peresapan, saluran pembuangan air (SPA) serta tanaman penguat teras yang berfungsi sebagai pengendali erosi.

Guludan

Guludan adalah bangunan konservasi tanah berupa pematang dengan ukuran tinggi dan lebar tertentu yang dibuat sejajar garis kontur/ memotong arah lereng yang dilengkapi tanaman penguat teras yang berfungsi sebagai pengendali erosi.

Saluran Pembuangan Air (SPA)

Saluran pembuangan air adalah saluran dengan ukuran tertentu yang dibuat tegak lurus kontur serta dilengkapi dengan bangunan terjunan yang berfungsi menampung dan menyalurkan aliran permukaan.

Bangunan Terjunan (Drop Structure)

Bangunan terjunan (drop structure) adalah suatu konstruksi yang dapat dibuat dari batu, bambu/kayu, dan gebalan rumput yang berfungsi untuk memperlambat aliran permukaan.

Rorak/ Saluran Buntu

Rorak/saluran buntu adalah suatu bangunan berupa got/saluran buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat pada bidang olah teras dan sejajar garis kontur yang berfungsi untuk menjebak/menangkap aliran permukaan dan juga tanah yang tererosi.

KESIMPULAN

Pengelolaan lahan yang dilakukan olah masyarakat petani di DAS Batang Gadis sebagian masih belum mengindahkan kaidah-kaidah konservasi. terlihat bahwa masih banyak


(14)

praktek pengelolaan lahan pertanian di daerah berlereng yang sejajar lereng dan membiarkan lahan terbuka yang mendorong peningkatan laju erosi di daeerah tersebut

Perlu dilakukan tindakan penyuluhan kepada masyarakat berupa sekolah lapang DAS agar masyarakat dapat melakukan tindakan konservasi lahan dan air agar lahan-lahan kritis tidak bertambah luas dan lahan tidak mengalami degradasi.

Hutan lindung yang harusnya selalu dijaga msih banyak yang dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu. Perlu dibuat UU dan peraturan yang tegas untuk menindak tegas para perusak hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sianturi, H. 2010. Karakteristik DAS Batang Gadis. Bahan Ceramah dalam Rangka FGD DAS Tingkat Propinsi Sumatera Utara. Dephut. BPDAS Asahan Barumun. Medan Deptan, 2009a. Pedoman Teknis Konservasi DAS Hulu (KDH). Direktorat Pengelolaan

Lahan. Direktorat Pengelolaan lahan dan Air. Departemen Pertanian.

Deptan, 2009b. Pedoman Teknis Pengembangan Usahatani Konservasi Lahan Terpadu (PUKLT). Direktorat Pengelolaan Lahan. Direktorat Pengelolaan lahan dan Air. Departemen Pertanian.

Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK. 328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai DAS Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Tahun 2010-2014

Lal. 2000. Soil management in the developing countris. Soil Science. 165(1):57-72

Rauf, A. 2010. Bahan Ceramah FGD Kegiatan Fasilitasi Peerencanaan Pengelolaan DAS (PDAS) Terpadu Batang Gadis. Sipirok.


(1)

lereng), namun tidak sedikit yang merumpukkan memotong garis kontur atau sejajar dengan lereng. Terdapat pula alur air yang terbentuk akibat jalur panen.

Gambar 3. Praktek Konservasi Tanah dan Air yang Salah di Lahan Petani (foto koleksi Jamilah, 2010)

Terdapat bekas longsoran tebing di sebelah kanan hingga menutup jalan Negara Lintas Sumatera, yang ditemui di Desa Maga Mandailing Natal.

Gambar 4. Longsoran Tanah di Pinggir Jalan (foto koleksi Jamilah, 2010)

REHABILITASI LAHAN YANG DIANJURKAN

Pentingnya posisi DAS sebagai unit perencanaan yang utuh merupakan konsekuensi logis untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air. Kurang tepatnya perencanaan dapat menimbulkan adanya degradasi DAS yang mengakibatkan buruk seperti yang dikemukakan di atas. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS


(2)

secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu, menyeluruh, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan mempertimbangkan DAS sebagai suatu unit pengelolaan. Dengan demikian bila ada bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, Penanggulangannya dapat dilakukan secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.

Untuk mendapatkan hasil kegiatan yang optimal sehingga lahan kritis dapat berfungsi kembali sebagai unsur produksi, media pengatur tata air, maupun sebagai unsur perlindungan alam dan lingkungannya , upaya konservasi DAS hulu harus mampu memberdayakaan dan mampu meningkatkan kesejahteraan petaninya. Oleh karena itu, disamping peningkatan kesadaran, pengetahuan, dan penggalakan partisipasi petani, suatu paket rakitan teknologi usaha tani konservasi terpadu dengan pengembangan berbagai komoditas perlu diintroduksikan. Dalam paket ini, tindakan sipil teknis harus dipadukan dengan kegiatan peningkatan tutupan vegetasi berupa penanaman tanaman tahunan produktif bernilai ekonomi tinggi (buah-buahan/perkebunan), pengusahaan ternak ruminansia, penanaman rumput pakan ternak dan polongan penguat teras/gulud, pemupukan organik dll.

Guna mengawal dan merubah perilaku, silkap dan ketrampilan petani maka upaya pendampingan tenaga penggerak masyarakat tani (Community Organizer) sangat diperlukan. Disamping itu usaha peningkatan kapasitas SDM (Capacity building) berupa pelatihan CO, petugas teknis kabupaten, petani, local leader, wanita tani, dan petugas lapangan sangat diperlukan. Selanjutnya dalam rangka pemantapan kelembagaan, koordinasi dengan instansi terkait seperti PU, Kehutanan, Diknas, Pemda, dll dalam wadah kegiatan Gerhan/GNRHL, GNKPA dll dalam memperbaiki kondisi DAS yang telah kritis itu perlu lebih ditingkatkan.

Oleh karena itu kegiatan konservasi DAS hulu bukan kegiatan bagi-bagi bibit tanaman semata, tetapi didalamnya disamping kegiatan peningkatan kemampuan SDM petani, petugas, dan CO dilakukan pula kegiatan Community Development berupa pemberdayaan petani untuk mengelola ternak, mengolah pupuk organik, menyiapkan pembibitan bersama, magang petani, RRA, pertemuan dan pendapingan rutin petani, dll. Upaya ini diharapkan serupa bobotnya dengan pembinaan lahan sawah beririgasi beberapa waktu lalu. Dengan penanganan fisik maupun non fisik tersebut diatas, diharapkan kegiatan akan lebih memberikan hasil optimal dan lebih berkesinambungan.

Tindakan Pengelolaan DAS Batang Gadis oleh Masyarakat Setempat

Diberlakukan sistem “Lubuk Larangan” di beberapa tempat di sepanjang sungai Batang Gadis sebagai bentuk larangan mengeksploitasi ikan pada sungai Batang Gadis secara sembarangan.


(3)

Gambar 5 : Lubuk Larangan di Kecamatan Muara Sipongi(kiri) dan Sistem Persawahan di Kecamatan Muara Sipongi Madina (kanan) (foto koleksi Jamilah, 2010)

Ada upaya penanaman batang/bibit tanaman bambu di sepanjang bantaran anak sungai yang barusan terjadi luapan banjir dan longsoran di Desa Tanjung Medan Kecamatan Sayur Matinggi Kabupaten Tapanuli Selatan.

Adanya upaya merumpukkan pangkasan pelepah salak yang sebagiannya telah memotong lereng (sejajar garis kontur) meskipun masih dilakukan dengan tidak disengaja.

Sistem pertanaman padi sawah sudah menggunakan sistem terasering. Terlihat bahwa tanaman padi sawah yang berada lebih dekat dengan hutan yang telah dibuka memiliki warna daun lebih hijau dibandingkan dengan daun padi yang lebih jauh dari lokasi hutan yang terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi erosi tanah yang membawa unsur-unsur hara ke areal persawahan.

Anjuran Tindakan Rehabilitasi Lahan A. Usahatani Konservasi Terpadu (Deptan, 2009b)

Usahatani konservasi terpadu adalah suatu usahatani yang menekankan pada upaya pelestarian pemanfaatan lahan semaksimal mungkin sepanjang tahun untuk meningkatan produksi pertanian (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, maupun ternak) dengan memperhatikan kaidah dan menerapkan teknik-teknik konservasi tanah dan air (terasering, pembuatan guludan dan penanaman tanaman penguat teras dll). Standar teknis pengembangan usahatani konservasi lahan terpadu adalah sebagai berikut:

1. Lahan berupa lahan kering/upland dan terletak dalam satu hamparan minimal seluas + 5 hektar. Lapisan top soil sudah mulai terkikis dan jeluk perakaran atau kedalaman solum tanah masih cukup dalam untuk diusahakan tanaman keras.


(4)

3. Kemiringan lahan 3% s/d 30%. Untuk menjamin keberhasilan sebaiknya dipilih lahan yang tidak terlalu curam sehingga tidak diperlukan adanya pembangunan teras bangku yang relatif mahal dan memerlukan kebutuhan HOK (Hari Orang Kerja) yang relatif besar. 4. Ketinggian tempat masih memungkinkan berbagai komoditas pertanian untuk diusahakan. 5. Lahan berpotensi menjadi lahan kritis.

B. Usaha Konservasi DAS Hulu (Deptan, 2009a)

Konservasi lahan adalah usaha pemanfaatan lahan dalam usahatani dengan memperhatikan kelas kemampuannya dan dengan menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah agar lahan dapat digunakan secara lestari.

Standar teknis kegiatan konservasi DAS Hulu adalah sebagai berikut:

1. Lahan berupa lahan kering/upland dan terletak dalam satu wilayah hulu DAS / sub DAS. Lapisan top soil sudah mulai terkikis dan jeluk perakaran atau kedalaman solum tanah masih cukup dalam untuk diusahakan tanaman keras.

2. Lahan masih dapat diusahakan tapi produktivitasnya cenderung menurun. 3. Kemiringan lahan antara 20 – 30 %.

4. Ketinggian tempat masih memungkinkan berbagai komoditas pertanian (hortikultura dan atau perkebunan) untuk diusahakan.

5. Lahan berpotensi menjadi lahan kritis.

Kriteria lokasi kegiatan konservasi lahan DAS Hulu adalah sebagai berikut:

1. Lokasi merupakan kawasan pertanian lahan kering pada DAS hulu dengan kelerengan antara 20-30 %.

2. Status pemilikan tanah jelas dan bukan merupakan kawasan hutan.

3. Pada lokasi tersebut terdapat petani yang telah tergabung dalam wadah kelompok tani. Apabila belum terbentuk maka harus dibentuk Kelompok Tani.

4. Petani bersedia mengikuti kegiatan dan melakukan pemeliharaan selanjutnya serta tidak menuntut ganti rugi.

5. Terdapat petugas lapangan (PPL, Mantri Tani) yang aktif.

Pelaksanaan kegiatan Konservasi DAS Hulu mendukung sub sektor Hortikultura dan Perkebunan pada dasarnya komponen kegiatannya sama dan yang membedakan adalah komoditi utama yang dikembangkan.

- Mendukung Hortikultura

Pelaksanaan Konservasi DAS Hulu mendukung Hortikultura yaitu tanaman utama yang dikembangkan adalah tanaman hortikultura (buah-buahan). Sambil menunggu tanaman buahbuahan tersebut menghasilkan maka di antara tanaman buah dapat ditanami dengan


(5)

tanaman semusim (jagung, kedele, kacang-kacangan dan lain-lain). Selain itu harus mengadakan ternak (kambing/domba) sebagai usaha kelompok.

- Mendukung Perkebunan

Pelaksanaan Konservasi DAS Hulu mendukung Perkebunan yaitu tanaman utama yang dikembangkan adalah tanaman perkebunan (kopi, kakao, mete dan lain-lain). Sambil menunggu tanaman tersebut menghasilkan maka di antara tanaman perkebunan dapat ditanami dengan tanaman semusim (jagung, kedele, kacang-kacangan dan lain-lain). Selain itu harus mengadakan ternak (kambing/domba) sebagai usaha kelompok.

Dalam pelaksanaannya kegiatan konservasi DAS hulu di perlukan adanya bangunan konservasi, misalnya terasering, guludan, saluran pembuangan air (SPA), banguna terjunan (drop structure), dan rorak (saluran buntu).

Terasering

Terasering adalah bangunan konservasi tanah yang dibuat sejajar garis kontur yang dilengkapi saluran peresapan, saluran pembuangan air (SPA) serta tanaman penguat teras yang berfungsi sebagai pengendali erosi.

Guludan

Guludan adalah bangunan konservasi tanah berupa pematang dengan ukuran tinggi dan lebar tertentu yang dibuat sejajar garis kontur/ memotong arah lereng yang dilengkapi tanaman penguat teras yang berfungsi sebagai pengendali erosi.

Saluran Pembuangan Air (SPA)

Saluran pembuangan air adalah saluran dengan ukuran tertentu yang dibuat tegak lurus kontur serta dilengkapi dengan bangunan terjunan yang berfungsi menampung dan menyalurkan aliran permukaan.

Bangunan Terjunan (Drop Structure)

Bangunan terjunan (drop structure) adalah suatu konstruksi yang dapat dibuat dari batu, bambu/kayu, dan gebalan rumput yang berfungsi untuk memperlambat aliran permukaan.

Rorak/ Saluran Buntu

Rorak/saluran buntu adalah suatu bangunan berupa got/saluran buntu dengan ukuran tertentu yang dibuat pada bidang olah teras dan sejajar garis kontur yang berfungsi untuk menjebak/menangkap aliran permukaan dan juga tanah yang tererosi.

KESIMPULAN

Pengelolaan lahan yang dilakukan olah masyarakat petani di DAS Batang Gadis sebagian masih belum mengindahkan kaidah-kaidah konservasi. terlihat bahwa masih banyak


(6)

praktek pengelolaan lahan pertanian di daerah berlereng yang sejajar lereng dan membiarkan lahan terbuka yang mendorong peningkatan laju erosi di daeerah tersebut

Perlu dilakukan tindakan penyuluhan kepada masyarakat berupa sekolah lapang DAS agar masyarakat dapat melakukan tindakan konservasi lahan dan air agar lahan-lahan kritis tidak bertambah luas dan lahan tidak mengalami degradasi.

Hutan lindung yang harusnya selalu dijaga msih banyak yang dieksploitasi oleh pihak-pihak tertentu. Perlu dibuat UU dan peraturan yang tegas untuk menindak tegas para perusak hutan.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor

Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sianturi, H. 2010. Karakteristik DAS Batang Gadis. Bahan Ceramah dalam Rangka FGD DAS Tingkat Propinsi Sumatera Utara. Dephut. BPDAS Asahan Barumun. Medan

Deptan, 2009a. Pedoman Teknis Konservasi DAS Hulu (KDH). Direktorat Pengelolaan Lahan. Direktorat Pengelolaan lahan dan Air. Departemen Pertanian.

Deptan, 2009b. Pedoman Teknis Pengembangan Usahatani Konservasi Lahan Terpadu (PUKLT). Direktorat Pengelolaan Lahan. Direktorat Pengelolaan lahan dan Air. Departemen Pertanian.

Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK. 328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran Sungai DAS Prioritas dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RJPM) Tahun 2010-2014

Lal. 2000. Soil management in the developing countris. Soil Science. 165(1):57-72

Rauf, A. 2010. Bahan Ceramah FGD Kegiatan Fasilitasi Peerencanaan Pengelolaan DAS (PDAS) Terpadu Batang Gadis. Sipirok.