Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis

PERAN KELEMBAGAAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN
TAMAN NASIONAL BATANG GADIS

HASIL PENELITIAN

Rozalina
031201003/Manajemen Hutan

DEPARTEMEN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007

Universitas Sumatera Utara

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia
dan rahmat-Nya sehingga draft hasil penelitian ini dapat selesai dikerjakan.
Draft ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan April

tahun 2007 dengan judul “Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Taman
Nasional Batang Gadis”.
Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada berbagai pihak, yang telah memberikan bantuan
baik moril maupun materil. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada :
1. Yang tercinta Ayahanda Armen Lubis, Ibunda Almh. Hafni Harahap, Abang
Ahmad Rizal, Ujing Siti Hani, dan seluruh keluarga yang telah memberikan
dorongan baik moril maupun materil sehingga ananda dapat melaksanakan
studi terutama dalam penelitian ini.
2. Bapak Dr.Ir.Edy Batara Mulya Siregar, MS selaku Ketua Departemen
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Oding Affandi, S. Hut, MP dan Bapak Drs. Zulkifli Lubis, MA selaku
dosen pembimbing yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis
dalam penelitian ini.
4. Kepada seluruh informan, masyarakat Desa Sopotinjak dan Desa Sibanggor
Julu yang tidak dapat disebutkan satu per satu dan semua pihak termasuk
stakeholder Taman Nasional Batang Gadis, terima kasih atas sambutan dan
bantuannya selama penulis melakukan penelitian ini.

Universitas Sumatera Utara


5. Para sahabat penulis, Roro, Wilda, Endang, Nia, Azmin, Anto, Riyadi, Kak
Yos, Bang Hasrul, Bang Yudi, Pak Cardi, Bowo’05, terima kasih atas
bantuannya.
Penulis menyadari banyak kekurangan dari diri penulis dalam menyusun
draft hasil penelitian ini. Oleh karena itu, penulis mohon maaf yang sebesarbesarnya kepada seluruh pihak. Besar harapan penulis dapat menerima saran dan
kritik dari berbagai pihak sehingga nantinya dapat menjadi bahan bagi penulis
dalam memperbaikinya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada pembaca.

Medan.

November 2007

Penulis

(Rozalina)

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

Hal
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................ iv
DAFTAR TABEL .................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................ vii
PENDAHULUAN
Latar Belakang .....................................................................................
Perumusan Masalah .............................................................................
Pertanyaan Penelitian ...........................................................................
Tujuan Penelitian .................................................................................
Manfaat Penelitian ...............................................................................

1
4
4
5
5


TINJAUAN PUSTAKA
Sekilas Taman Nasional Batang Gadis .................................................
Partisipasi ............................................................................................
Masyarakat Lokal.................................................................................
Kelembagaan .......................................................................................
Komponen dan Fungsi Kelembagaan ...................................................
Penguatan Identitas ..............................................................................
Kebijakan Dasar Pengelolaan TNBG....................................................
Pengorganisasian dan Kelembagaan Pengelolaan TNBG ......................
Pengaruh Taman Nasional Batang Gadis ..............................................

6
11
17
20
22
23
24
25
26


METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................
Metode Penelitian ................................................................................
Objek Penelitian ...................................................................................
Teknik dan Tahapan Pengumpulan Data...............................................
Analisis Data........................................................................................

27
27
27
27
28

DESKRIPSI UMUM LOKASI PENELITIAN
Daerah Lokasi Studi .............................................................................
Kondisi Geografis ................................................................................
Kondisi Desa Sibanggor Julu ...............................................................
Kondisi Desa Sopotinjak ......................................................................


30
30
31
33

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kegiatan Pengelolaan TNBG ............................................................... 35
Visi dan Misi Pengelolaan .............................................................. 37

Universitas Sumatera Utara

Program dan Kegiatan Pengelolaan TNBG Tahun 2007.................
Permasalahan Pengelolaan TNBG .................................................
Kelembagaan Lokal Masyarakat dalam TNBG .....................................
Kelembagaan Desa Sopotinjak ......................................................
Kaitan Desa Sopotinjak dengan TNBG ..........................................
Kelembagaan Desa Sibanggor Julu ................................................
Kaitan Desa Sibanggor Julu dengan TNBG ...................................
Peran dan Fungsi Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan TNBG ........
Hubungan Antar Kelembagaan dalam Pengelolaan TNBG ...................

Kelembagaan lain dalam Pengelolaan TNBG ................................
Hubungan antar lembaga dalam Pengelolaan TNBG......................

38
39
40
40
41
43
45
46
56
56
62

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .......................................................................................... 66
Saran .................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 68sss


Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL

1. Matrik Metodologi yang Digunakan dalam Penelitian ............................ 29
2. Peranan lembaga-lembaga dan Mitra dalam Pengelolaan TNBG ............ 51

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR GAMBAR

1. Struktur Organisasi Balai TNBG ............................................................ 36
2. Struktur Organisasi Kolaborasi Pengelolaan dan Keterkaitannya
antar Hubungan Lembaga, Program dan Sumber Dana ........................... 60
4. Hubungan Stakeholder dalam Pelaksanaan Pengelolaan TNBG.............. 62

Universitas Sumatera Utara

Judul
Nama

NIM
Departemen
Program Studi

: Peran Kelembagaan Lokal dalam Pengelolaan Taman
Nasional Batang Gadis
: Rozalina
: 031201003
: Kehutanan
: Manajemen Hutan

Disetujui Oleh
Komisi Pembimbing

Ketua,

Anggota,

Oding Affandi, S. Hut, MP
NIP. 132 259 566


Drs. Zulkifli Lubis, MA
NIP. 131 882 278

Mengetahui,
Ketua Departemen Kehutanan
Fakultas Pertanian

Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, MS
NIP : 132 287 853

Universitas Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Akar dari berbagai persoalan dan konflik di dalam pengelolaan
sumberdaya alam adalah ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya alam itu
sendiri. Di sisi lain pengelolaan yang sentralistik telah mematikan potensi
Pemerintah Daerah termasuk peluangnya untuk mengembangkan daerah sesuai

kebutuhan dan keinginan sendiri, dan tidak adanya hak dasar masyarakat untuk
mengelola sumberdaya yang terdapat di sekitar mereka (Sembiring, dkk., 1999).
Dengan berlakunya otonomi daerah maka Pemerintah Daerah mempunyai
tanggung jawab dan wewenang untuk mengelola sumberdaya alam termasuk
hutan. Demikian halnya dengan masyarakat dan Pemerintah Daerah Mandailing
Natal yang mempunyai kesadaran dan berinisiatif dalam mengelola Taman
Nasional Batang Gadis.
Harus diakui bahwa Pemerintah mempunyai keterbatasan sumber daya,
baik dalam dukungan finansial, sarana atau fasilitas maupun sumber daya
manusia. Atas dasar hal tersebut, keterlibatan lembaga swadaya masyarakat perlu
dipertimbangkan dalam upaya memberikan manfaat, khususnya manfaat
ekonomis dari hutan dan pemanfaatan pengetahuan tradisional itu sendiri.
Pada tingkat pelaksanaan dari peran tersebut, Pemerintah dapat bekerja
sama dengan berbagai pihak, termasuk dengan masyarakat lokal, industri jamu
tradisional, industri farmasi, lembaga-lembaga penelitian, perguruan tinggi,
lembaga swadaya masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap perlindungan

1
Universitas Sumatera Utara

sumber daya alam dan warisan budaya (conservation of natural and cultural
heritage), dan sebagainya (Sardjono, 2006).
Meskipun

secara

historis

pengetahuan

masyarakat

lokal tentang

pengelolaan hutan telah cukup memadai, namun peningkatan terus menerus
kualitas teknis dan produktivitas lahan hutan masih cukup relevan untuk
dilakukan saat ini, terutama untuk menghindari ekstraktivitas dalam pengusahaan
sumberdaya hutan. Selain itu, pengelolaan hutan di masa mendatang juga
menuntut adanya kelembagaan masyarakat yang fungsional dan mandiri, yang
banyak disyaratkan oleh pemerintah (Awang, dkk., 2000).
Kelembagaan yang fungsional dan mandiri tersebut penting agar hak dan
akses pengelolaan yang akan diberikan tidak diterapkan dalam skema penguasaan
yang horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang
diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi
menjadikan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di
masyarakat untuk peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan
ekonomi dan konservasi dapat terlaksana (Awang, dkk., 2000).
Pembentukan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) mempunyai
pengertian bahwa negara telah secara langsung menghormati, mengakui dan
memberdayakan kearifan lokal yang telah dipunyai masyarakat asli Mandailing
dalam menjaga hutan alamnya selama ini. Contohnya seperti tempat keramat
“naborgo-borgo” (tempat terlarang) dan “harangan rarangan” (hutan larangan)
dalam melindungi hutan alam beserta sumber air di dalamnya. Atau adanya sistem
lubuk larangan yang secara langsung dapat diintegrasikan ke dalam pengelolaan
taman nasional.

Universitas Sumatera Utara

Salah satu hal penting yang menjadi tantangan ke depan dalam konservasi
TNBG yaitu mempersiapkan dan melaksanakan penataan ruang dan pengurusan
kawasan taman nasional secara efisien dan efektif melalui pengelolaan kolaborasi.
Artinya, akan lebih banyak pihak berkepentingan yang terlibat dalam
pengambilan keputusan untuk pengelolaan TNBG, khususnya masyarakat
setempat dan Pemerintah Kabupaten Madina.
Pengelolaan TNBG akan dikembangkan secara kolaboratif yang lebih
inklusif dengan lebih banyak melibatkan para pihak dalam pengelolaannya.
Pemerintah pusat dalam hal ini akan terbantu oleh pemerintah daerah dan para
pihak lainnya dalam mengamankan eksistensi TNBG. Di sisi lain juga akan
menciptakan keseimbangan kontrol yang sama besar antara pemerintah pusat,
pemerintah daerah, lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat
setempat, sehingga keberadaan jasa ekologis taman nasional lebih dapat
terlindungi dalam jangka panjang (Rahayuningsih, dkk., 2004).
Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui keterlibatan
lembaga-lembaga baik itu formal maupun non formal dalam pengelolaan TNBG
dengan mengkaji mengenai eksistensi dan peran kelembagaan itu sendiri karena
kelangsungan eksistensi jasa lingkungan dan modal alam yang ada di TNBG
tergantung dari bagaimana kita terus bersama mengelolanya secara efektif agar
modal alam tersebut dapat dimanfaatkan terus menerus untuk kelangsungan hidup
lintas generasi, baik pada saat ini maupun saat yang akan datang.

Universitas Sumatera Utara

Perumusan Masalah

1. Pengaturan dan pengelolaan hutan Madina telah ditetapkan sejak zaman
Belanda dan diusahakan oleh masyarakat sekitar hutan tersebut dalam
upaya pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Namun keberadaan TNBG
yang terbentuk sejak tahun 2004 belum bisa menjamin apakah TNBG
mampu menjadi andalan utama dalam mensejahterakan masyarakat desa
sekitar TNBG tersebut.
2. Pengaturan pengelolaan TNBG sangat ditentukan oleh bentuk pengelolaan
yang ada pada pemerintah dan masyarakat itu sendiri. Pengaturan
pengelolaan tersebut sangat ditentukan oleh peran serta lembaga-lembaga
yang terkait dengan TNBG. Identifikasi kelembagaan tersebut perlu dikaji
kembali apakah lembaga-lembaga tersebut berperan dalam pengelolaan
TNBG.

Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana bentuk-bentuk kelembagaan lokal yang fungsional dalam
pengelolaan TNBG.
2. Bagaimana fungsi dan peran lembaga lokal yang fungsional dalam
pengelolaan TNBG.
3. Bagaimana hubungan antar kelembagaan dalam pengelolaan TNBG.

Universitas Sumatera Utara

Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi kelembagaan lokal yang fungsional dalam pengelolaan
TNBG.
2. Mengetahui fungsi dan peran lembaga lokal yang fungsional dalam
pengelolaan TNBG.
3. Mengetahui hubungan antar kelembagaan dalam pengelolaan TNBG.

Manfaat Penelitian
1. Sebagai informasi bagi pihak-pihak dalam mempertimbangkan kebijakan
dalam pengelolaan TNBG untuk masa yang akan datang.
2. Sebagai informasi bagi masyarakat luas dan Mandailing Natal khususnya
tentang kelembagaan yang terkait dengan pengelolaan TNBG.

Universitas Sumatera Utara

TINJAUAN PUSTAKA

Sekilas Taman Nasional Batang Gadis
Hutan lindung merupakan kawasan hutan register yang relatif masih utuh
dan terbaik dibandingkan dengan kawasan hutan lindung di Provinsi Sumatera
Utara. Hutan lindung dan hutan produksi tersebut merupakan sumber mata air
bagi Batang Gadis dan sungai-sungai lainnya di DAS Batang Gadis. Ada 13 dari
17 kecamatan di Kabupaten Madina dan Kecamatan Batang Angkola di tapanuli
Selatan yang termasuk DAS dan Sub DAS Batang Gadis, ialah : Muara Sipongi,
Ulu Pungkut, Kotanopan, Lembah Sorik Merapi, Laru Tambangan, Panyabungan
Kota, Panyabungan Utara, Bukit Malintang, Siabu, dan Muara Batang Gadis
sepanjang 180 kilometer (Harahap, 2004).
Ancaman terhadap kelestarian hutan di Madina terutama datang dari
meningkatnya aktivitas manusia, menurunnya potensi hutan produksi sebagai
akibat dari semakin bertambahnya jumlah penduduk dan jumlah pengangguran
sekaligus. Taman Nasional Batang Gadis adalah jawaban yang tepat untuk
meningkatkan intensitas pengelolaan hutan dengan mempertimbangkan aspekaspek pemanfaatan, pengamanan dan pelestarian sumber daya alam hayati dan
ekosistem di kawasan itu. Pengelolaan hutan secara professional dengan
stakeholder, pemanfaatan secara proporsional akan membuka lapangan kerja baru
sekaligus dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Madina
dengan tetap menjaga kelestariannya (Harahap, 2004).

6

Universitas Sumatera Utara

Berbeda halnya dengan taman nasional lainnya, penunjukan Taman
Nasional Batang Gadis (TNBG) diprakarsai oleh Pemerintah Derah Mandailing
Natal (Madina). Prakarsa ini tidak terlepas dari inisiatif, keinginan, dorongan, dan
dukungan dari masyarakat setempat, tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga
swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan hidup.
Tujuannya tak lain untuk menyelamatkan “harta dan kekayaan” Madina yaitu
tutupan hutan alam yang masih tersisa dan relatif utuh di Provinsi Sumatera Utara,
agar dapat mendatangkan manfaat jangka panjang bagi masyarakat setempat dan
Pemerintah daerah (Rahayuningsih, dkk., 2004).
Sejalan dengan upaya sinergi dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
dan disambut Departemen Kehutanan, akhirnya dapat ditunjuk dan diresmikan
penunjukannya oleh Menteri Kehutanan sebagai kawasan pelestarian alam yang
meliputi luas 108.000 hektar berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
SK.126/Menhut-II/2004 tanggal 29 April 2004 (Balai TNBG, 2007).
Sesuai dengan peraturan, penataan batas-batas Taman Nasional Batang
Gadis merupakan wewenang dari Badan Planologi Kehutanan, sedangkan
pengelolaannya menjadi wewenang Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (Harahap, 2004).
Taman Nasional Batang Gadis secara administrasi berada di Kabupaten
Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Secara geografis terletak diantara 99°
12' 45" sampai dengan 99° 47' 10" Bujur Timur dan 0° 27' 15" sampai dengan 1°
01' 57" Lintang Utara (Balai TNBG, 2007).
Taman Nasional Batang Gadis memiliki luas 108.000 hektar atau 16 %
dari total luas

Kabupaten Madina dan terletak pada kisaran ketinggian 300

Universitas Sumatera Utara

sampai 2.145 meter di atas permukaan laut dengan titik tertingginya di puncak
gunung berapi Sorik Merapi. Keadaan topografi kawasan hutan TNBG berupa
perbukitan sampai pegunungan (dolok – dolok) yang memiliki ketinggian
bervariasi, dengan kemiringan rata – rata lebih dari 40 %. Kombinasi curah hujan
yang tinggi, dominasi kemiringan lereng > 50 %, kondisi topografi yang
umumnya perbukitan dan pegunungan, terletak di daerah vulkanis aktif sehingga
membawa kondisi geologis yang labil. Disamping itu dengan topografi yang
memiliki elevasi yang tinggi tersebut mengakibatkan tingkat rawan erosi tanah
sangat tinggi, dengan kata lain tanah akan rawan tererosi, sehingga keadaan ini
menyebabkan di Mandailing Natal relatif rawan bencana alam seperti tanah
longsor, erosi dan penurunan kualitas tanah (Balai TNBG, 2007).
Kawasan hutan TNBG yang terdapat di Sumatera Utara merupakan
hamparan hutan hujan tropis antara dataran hingga pegunungan dengan hari hujan
rata – rata bulanan adalah 12 – 13 hari/bulan, Presipitasi rata – rata tahunan >
1.717,5 mm/th. Temperatur rata – rata bulanan adalah 23 – 25,4°C (valensi rata –
rata bulannya tidak begitu besar, hal ini dipengaruhi oleh ketinggian). Dari hasil
rata rata tersebut, menurut klasifikasi iklim Scmith-Ferguson TNBG termasuk
dalam tipe A. Kawasan TNBG ditunjuk sebagai kawasan pelestarian alam karena
memiliki salah satu fungsi sebagai pengendali siklus hidrologi, pengatur tata air
dimana merupakan bagian dari perlindungan sistem penyangga kehidupan. TNBG
yang terdiri dari beberapa bentang alam yang berupa pegunungan menyimpan
fungsi sebagai daerah tangkapan air dan sumber mata air bagi beberapa Daerah
Aliran Sungai (DAS) yang antara lain: DAS Batang Gadis, DAS Batang Natal,
DAS Batang Batahan, dan DAS Batang Parlampungan yang mempunyai luas

Universitas Sumatera Utara

kurang lebih 386.445 Ha atau 58,37 % dari luas daratan Kabupaten Mandailing
Natal (Balai TNBG, 2007).
TNBG yang terletak pada bagian bukit barisan di tubuh Pulau Sumatera
bagian Barat-Utara, memiliki potensi sebagai hutan hujan tropis alami mendukung
untuk terbentuknya koridor biodiversitas Sumatera. Dipertegas bahwa adanya
bentang alam yang berfungsi sebagai koridor biodiversitas ini akan membantu
dalam upaya penyelamatan species langka untuk dapat berkembang biak dengan
menyediakan peluang untuk bergerak, berpindah untuk mendapatkan habitat dan
berinteraksi dengan individu lain sehingga menghindarkan pada kawin kerabat
yang akan menurunkan kualitas genetis pada turunannya (Balai TNBG, 2007).
Penelitian keanekaragaman hayati secara cepat telah dilakukan oleh CI
Indonesia, Balitbang Kehutanan-Dephut, LIPI dan Pemerintah Kabupaten Madina
pada tahun 2004. Berdasarkan hasil penelitian flora, dalam petak penelitian di
hutan dataran rendah dengan ketinggian ± 660 meter dpl, di TN. Batang Gadis
terdapat 240 jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plant) yang terdiri dari 47
suku atau sekitar 0,9% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar 25.000 jenis
tumbuhan berpembuluh di Indonesia). Nilai penting jenis untuk famili dari 10
famili

yang

paling

seringkali

ditemukan

menunjukan

bahwa

keluarga

Dipterocarpaceae menempati urutan pertama dengan Species Important Values
for a Family (TSIVF) sebesar 84,24% disusul secara berurutan keluarga-keluarga
dari Euphorbiaceae

31.97%,

Burseraceae

24.11%,

Myrtaceae

15.89%,

Fagaceae 13.72%, Lauraceae 11.62 %, Sapotaceae 11.51% , Myristicaceae
9.73%,

Moraceae 9.09% dan

Clusiaceae 7.44%. Berdasarkan pengamatan

langsung dan tak langsung, survei berhasil menambah secara signifikan catatan

Universitas Sumatera Utara

keberadaan mamalia di TN. Batang Gadis dan sekitarnya dari 26 menjadi 47 jenis.
Di antara jenis mamalia yang tercatat dalam survei ini adalah harimau Sumatera
(Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir
(Tapirus indicus), beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor),
kijang (Muntiacus muntjac), Landak (Hystrix brachyura) empat jenis primata,
serta beberapa jenis kucing hutan yaitu : Kucing emas (Catopuma temmininckii),
Kucing cengkok (Celis bengalensis), Macan dahan (Neofelis nebulosa).
Sementara masyarakat juga menginformasikan adanya anjing hutan/ajak (Cuon
alpinus) dan dua jenis berang-berang di TNBG (Balai TNBG, 2007).
Hasil Kajian Tim terpadu ini menjadi bahan pertimbangan bagi Menteri
Kehutanan dalam proses pengambilan keputusan tentang pembentukan Taman
Nasional Batang Gadis. Keputusan Menteri Kehutanan itu merupakan landasan
kebijakan pengelolaan dan pelestarian kawasan Taman Nasional Batang Gadis.
Hal ini menjadi sangat penting, karena proses penetapan Taman Nasional Batang
Gadis berawal dari keinginan yang kuat dari seluruh elemen masyarakat
Mandailing Natal. Keinginan yang kuat itu ditanggapi dan diperjuangkan oleh
Pemerintah Daerah Mandailing Natal, sampai ditetapkannya Taman Nasional
Batang Gadis. Ini bermakna, bahwa peran serta dan kerjasama masyarakat dan
Pemerintah Daerah Mandailing Natal sejak dahulu sampai kini masih tetap kuat
dalam pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian sumber daya hutan, tanah, air,
danau, dan sumber daya alam lainnya (Harahap, 2004).
Pengelolaaan Taman Nasional Batang Gadis dilaksanakan secara bersamasama oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah Propinsi, instansi
pemerintah Kabupaten dan lembaga swadaya masyarakat atau organisasi-

Universitas Sumatera Utara

organisasi non pemerintah terkait lainnya. Dengan pendekatan pengelolaan
kolaboratif atau pengelolaan multipihak bertujuan untuk meningkatkan efektifitas
dan kesinambungan keberdayaan serta memperbesar komitmen dari para pihak
dalam pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis (Dinas Kehutanan Madina,
2004).

Partisipasi
Mengutip pendapat David-Case (1990) dikemukakan oleh Messerschmidt
(1995) dalam Sardjono (2004), partisipasi merupakan pelibatan secara aktif pihak
dalam ataupun pihak luar dalam seluruh keputusan yang terkait dnegan sasaran,
tujuan dan kegiatan, maupun dalam implementasi kegiatan itu sendiri. Maksud
daripada partisipasi itu sendiri adalah pelibatan secara aktif pihak dalam ataupun
dari luar dalam seluruh keputusan yang terkait dengan sasaran, tujuan dan
kegiuatan, maupun dalam implementasi kegiatan itu sendiri. Maksud daripada
partisipasi itu sendiri adalah untuk mendorong kemandirian masyarakat sehingga
tercapai pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Sementara Natapracha dan Stephens (1990) dalam Desmond (1996) dalam
Sardjono (2004), partisipasi merupakan masyarakat sebagai suatu proses dimana
masyarakat dilibatkan pada setiap tahap situasi yang berpengaruh terhadap
kehidupan mereka. Keterlibatan tersebut meliputi kegiatan-kegiatan pengambilan
keputusan dan pelaksanaannya, termasuk di dalamnya adalah penjajagan,
perencanaan, implementasi, pemantauan, evaluasi dan distribusi keuntungan.
Korten (1983) dalam Sardjono (2004), bahwa dengan keterlibatan
masyarakat sejak perencanaan akan dapat diperoleh komitmen mereka terhadap
pemanfaatan yang optimal dan sustainabilitas hasil-hasil kegiatan yang telah

Universitas Sumatera Utara

dilaksanakan. Disamping itu, dan tidak kalah pentingnya adalah membuat mereka
menjadi lebih mandiri dan lebih mampu dalam mencoba menyelesaikan
permasalahan-permasalahan yang mungkin akan dihadapi selanjutnya pada saat
dukungan teknis dan finansial dari pemerintah atau pihak luar lainnya dihentikan.
Dalam upaya meningkatkan keberhasilan pemeransertaan masyarakat
dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, perlu diperhatikan dan
dipelajari situasi lapangan. Memang benar bahwa masyarakat lokal tradisonal
relatif homogen dalam arti antara lain berciri kelompok primer, ikatan-ikatan
kekeluargaan dan kekerabatan (family and kindship ties) membentuk batasanbatasan dalam masyarakat dan menentukan kesetiaan (loyalties) dan solidaritas
(soladarities). Akan tetapi, kondisi tersebut tidak berarti bahwa perbedaan kecil
yang menyangkut kelompok-kelompok berkepentingan lebih kecil seperti
didasarkan jenis kelamin (kelompok pria dan wanita), umur (golongan tua dan
golongan muda), tingkat pendidikan (kelompok terdidik dan kurang terdidik), dan
lain-lain bisa diabaikan (Sardjono, 2004).
Berdasarkan kondisi faktual di atas, maka ada kunci-kunci lainya yang
harus disadari bahwa dalam partisipasi masyarakat, harus benar-benar melibatkan
atau mendengarkan suara dari wakil-wakil seluruh fraksi yang ada di masingmasing kelompok masyarakat sasaran. Pemberian kesempatan kepada wakil
kelompok perempuan untuk berpartisipasi serta dalam proses sebagai contoh,
tidak hanya akan memantapkan komitmen, tetapi juga melengkapi berbagai
informasi yang diperlukan dalam perencanaan terkait program kegiatan yang akan
dilaksanakan (Sardjono, 2004).

Universitas Sumatera Utara

Di samping itu, partisipasi dalam arti melibatkan masyarakat yang
mewakili seluruh komponen yang ada semata tidak mencukupi untuk
menunbuhkan kemandirian, bilaman tidak disertai dengan pembagian tanggung
jawab. Tanggung jawab hanya dapat ditumbuhkan bilamana setiap pihak yang
terlibat juga memberikan kontribusinya secara setara, tidak terkecuali masyarakat
lokal sekitar hutan. Hal inilah yang mulai menggeser konsep pelibatan masyarakat
kepada konsep bekerja bersama antar parapihak dengan menempatkan masyarakat
sebagai salah satu komponen kuncinya (Sardjono, 2004).
Tipe – tipe Partisipasi masyarakat menurut Sardjono, (2004) :
1)

Partisipasi Pasif (Passive participation). Masyarakat berperan serta dengan
melalui

pemberitahuan/arahan

dari

satu

sisi

(penyelenggara

proyek/program kegiatan a.l. pemerintah atau perusahaan);
2)

Partisipasi dalam Pemberian Informasi (Participation in Information
Giving). Masyarakat berperan serta dengan sekedar menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan kepada mereka sehubungan dengan suatu
kegiatan proyek/program kegiatan;

3)

Partisipasi

untuk Konsultasi (participation by Consultation). Berbeda

dengan butir dua di atas, masyarakat di sini berperan serta dengan cara
memberikan saran-saran/pandangan atas permasalahan yang sedang
dihadapi dalam rangka suatu peroyek / program kegiatan ;
4)

Partisipasi untuk Intensif materi (Participation for Material Incentives).
Masyarakat berpartisipasi dengan pemberian kompensasi atas jasa yang
divberikan atas suatu kebutuhan (misal suatu proyek atau program
kegiatan);

Universitas Sumatera Utara

5)

Partisipasi secara Fungsional

(Functional participation). masyarakat

berperan serta dengan membentuk kelompok-kelompok kecil guna
memenuhi tujuan proyek / program kegiatan yang telah ditetapkan;
6)

Partisipasi Interaktif (Interactive participation). Masyarakat berperan serta
dalama analisis bersama pelaksana proyek/program kegiatan melalui
upaya memfungsikan peran kelembagaan yang sudah ada di masyarakat.
Tipe partisipasi ini yang umum dikembangkan saat ini ;

7)

Mobilisasi secara Mandiri (Self-mobilization). Masyarakat berperan serta
dalam suatu proyek/program kegiatan berdasarkan inisiatif sendiri tanpa
tergantung dengan pihak luar.

Prinsip- prinsip partisipasi menurut Djohani, dkk., (1996) adalah:


Cakupan. semua orang, atau wakil-wakil dari semua kelompok yang
terkena dampak dari hasil-hasil suatu keputusan atau proses-proyek
pembangunan misalnya.



Kesetaraan dan Kemitraan (Equal Partnership). Pada dasarnya setiap
orang

mempunyai

ketrampilan,

kemampuan

dan

prakarsa

serta

mempunyai hak untuk menggunakan prakarsa tersebut terlibat dalam
setiap proses guna membangun dialog tanpa memperhitungkan jenjang
dan struktur masing-masing pihak.


Transparansi.

Semua pihak

harus

dapat

menumbuh-kembangkan

komunikasi dan iklim berkomunikasi terbuka dan kondusif sehingga
menimbulkan dialog.

Universitas Sumatera Utara



Kesetaraan Kewenangan (Sharing Power / Equal Powership). Berbagai
pihak yang terlibat harus dapat menyeimbangkan distribusi kewenangan
dan kekuasaan untuk menghindari terjadinya dominasi.



Kesetaraan Tanggung Jawab (Sharing Responsibility). Berbagai pihak
mempunyai tanggung jawab yang jelas dalam setiap proses karena adanya
kesetaraan kewenangan (sharing power) dan keterlibatannya dalam proses
pengambilan keputusan dan langkah-langkah selanjutnya.



Pemberdayaan (Empowerment). Keterlibatan berbagai pihak tidak lepas
dari segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki setiap pihak, sehingga
melalui keterlibatan aktif dalam setiap proses kegiatan, terjadi suatu proses
saling belajar dan saling memberdayakan satu sama lain



Kerjasama. Diperlukan adanya kerjasama berbagai pihak yang terlibat
untuk saling berbagi kelebihan guna mengurangi berbagai kelemahan yang
ada, khususnya yang berkaitan dengan kemampuan sumberdaya manusia.

Hambatan-hambatan yang kerap menghambat menurut Djohani, dkk., (1996)
antara lain:


Hambatan perilaku. Para pegawai negeri sudah terbiasa bekerja dalam
sistem top-down dengan menunggu perintah dari atasan apa yang harus
dilakukannya. Sehingga sangatlah sulit merubah sikap mereka ke dalam
sistem bottom-up, dimana mereka tidak sekedar harus mendiskusikan
dengan pelanggan mereka (masyarakat), tapi juga bertanggung jawab
untuk menyampaikan hasil -hasilnya kepada atasannya.

Universitas Sumatera Utara



Hambatan

Kebijakan.

Meskipun

kebijakan

tingkat

tinggi

telah

memperkenalkan pendekatan partisipatif, namun visi, misi serta program
lembaga pemerintah masih mengikuti pendekatan top-down. Hal ini
diperparah lagi oleh para manajer senior dan pembuat kebijakan yang
masih memakai cara-cara lama dalam pengambilan kebijakan, yaitu
dengan mengeluarkan Surat Keputusan dan Petunjuk Pelaksanaan.


Hambatan sistem manajemen. Sebagian besar

bahkan nyaris semua-

sistem manajemen dalam lembaga pemerintah masih mengikuti "Model
Perencanaan Mekanistik" dimana "para ahli" di tingkat pusat menyiapkan
"cetak biru" untuk dilaksanakan oleh petugas lapangan. Alokasi dana dan
sistem manajemen dirancang untuk mendukung proyek mencapai hasilhasil fisik. Sedang sistem monitoring dan evaluasi didesain untuk
mengukur pengeluaran dan pembelanjaan ketimbang mengetahui hasil dan
dampak yeng telah dicapai. Sistem perencanaan bottom-up yang dulu tidak
berfungsi, kini sudah mulai digunakan untuk menyusun rencana
pembangunan daerah, sehingga pada akhirnya nanti proyek akan dibiayai
dari anggaran pemerintah daerah. Sayangnya, meski angin desentralisasi
telah dihembuskan ke daerah, namun nyaris tidak ada saran yang diberikan
kepada pemerintah daerah mengenai sistem yang selayaknya mereka
bangun. Situasi ini akan terus menghidupkan sistem top-down dan
sentralistik.


Hambatan

sumber

daya

manusia.

"Masyarakat

sebagai

fokus

pembangunan" merupakan konsep baru bagi staf pemerintah, sehingga
butuh waktu untuk sekadar memperkenalkan agar konsep ini bisa diterima

Universitas Sumatera Utara

ditengah-tengah mereka. Karenanya pelatihan sangat diperlukan untuk
melengkapi mereka dengan keahlian baru yang kelak akan berguna.

Masyarakat Lokal
Istilah masyarakat didefinisikan dalam bahasa yang berbeda oleh para ahli
sosiologi, akan tetapi secara umum mengandung persamaan pemahaman, yaitu,
menjelaskan: sekelompok manusia, yang hidup bersama pada suatu wilayah
geografis tertentu, sehingga memilki budaya yasng sama, dan (lebih penting lagi)
dapat bertindak secara terintegrasi dalam mencapai tujuan kolektif. Dalam
pemahaman luas dapat meliputi suatu bangsa atau secara sempit dapat dipandang
sebagi suatu kampung. Penggunaan istilah “lokal” dimaksudkan untuk
mengartikulasikan, masyarakat ‘manakah’ yang dimaksud, atau membedakan
antara suatu persekutuan hidup dimaksud dengan ‘siapa- siapa’ yang tidak
termasuk didalamnya (Sardjono, 2004).
Masyarakat Lokal (Pemerintah: SK Menteri Kehutanan No. 31/ Kpts
II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan) yaitu :
“Kesatuan sosial yang terdiri dari warga negara Republik Indonesia yang tinggal
di dalam dan/ atau di sekitar hutan, yang membentuk komunitas, yang didasarkan
pada mata pencaharian yang berkaitan dengan hutan, yang membentuk
komunitas, yang didasarkan pada mata pencaharian yang berkaitan dengan
hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib
kehidupan bersama”
Masyarakat lokal adalah sekelompok orang, baik yang disebut masyarakat
adat maupun pendatang (baik sedaerah ataupun dari luar daerah), yang turun-

Universitas Sumatera Utara

temurun bertempat tinggal didalam dan di sekitar hutan sehingga memiliki
keterikatan kehidupan (termasuk teknologi dan norma budaya) serta penghidupan
(meliputi subsistensi dan pendapatan) bersama atas hasil hutan dan / atau lahan
hutan (Sardjono, 2004).
Menurut Sardjono (2004), sebenarnya sulit untuk mencari alasan yang
sangat ‘akurat’ dalam hal ini. Akan tetapi secara pemikiran logis (common sense),
adalah adil bila masyarakat adat memperoleh prioritas kepentingan terhadap
sumberdaya alam setempat lebih tinggi daripada kelompok pendatang, karena:


ditinjau baik dari sisi sejarah kehadirannya (yang seharusnya lebih dulu)



keterikatan dan tanggung jawab bagi masa depan sumberdaya (yang
seharusnya lebih besar)



implementasi kelembagaan (yang seharusnya lebih membudidaya)



pengakuan yang diberikan oleh pihak- pihak luar atas sumberdaya (yang
seharusnya lebih kuat)
Soejarwo (1998) dalam Sardjono (2004), mengatakan bahwa masyarakat

sekitar hutan adalah masyarakat yang pada umumnya merupakan suatu
masyarakat zona sosial-ekonomi yang berada dalam kawasan dalam dan luar
hutan. Masyarakat sekitar hutan pada umumnya kuat dalam menjaga adat istiadat
dari berbagai pengaruh dari luar, memanfaatkan lahan hutan sebagai sumber
ekonomi untuk bertani (palawija, cabe, ubi kayu, sayur-sayuran), sumber energi
untuk keperluan rumah tangga dipenuhi melalui pengadaan bahan kayu bakar dari
kebun maupun dari ladang, norma dan nilai sosial memegang peranan penting
dalam kehidupan sehari-hari (dilarang menebang pohon beringin), selain agama

Universitas Sumatera Utara

kepercayaan terhadap kehadiran tenaga supranatura dalam bentuk tempat dan
larangan masuk daerah keramat masih sangat kuat.
Menurut Sardjono (2004), tipologi masyarakat lokal hanya akan dibedakan
atas dasar dua kelompok yang lebih umum, yaitu :
1. Masyarakat Lokal tradisional (Local Traditional Community)
Yaitu masyarakat yang sudah turun- temurun di dalam atau sekitar hutan,
baik yang saat ini sudah atau belum bertempat tinggal pada suatu desa
yang defenitif, tetapi masih memiliki dan mempraktekkan kelembagaan
(organisasi, struktur dan norma) adat dan teknologi tradisionalnya dalam
kehidupan sehari- hari (termasuk dalam mengelola sumberdaya hutan
sebagai sumber utama kehidupan dan penghidupan di samping kegiatan
perladangan dan perkebunan tradisional).
2. Masyarakat Lokal Non-Tradisional (Local Non-Traditional Community)
Masyarakat asli maupun pendatang yang telah tinggal permanen di
pemukiman, dusun ataupun desa- desa definitif di dalam dan di sekitar
hutan, meskipun tidak memiliki (dan apalagi mempraktekkan) institusi
adat (kalaupun ada bersifat longgar) tetapi ada yang telah mengembangkan
aturan/kesepakatan

lokal

dalam

pengelolaan

sumberdaya

alam

disekitarnya termasuk pemanfaatan sumberdaya hutan hasil hutan dan
lahan hutan untuk pertanian). Lokasi relatif terbuka (aksesbilitas cukup
tinggi) dan secara umum merupakan pusat pertumbuhan ekonomi (ada
kegiatan pasar, warung dan industri rumah tangga), dan/ atau berada di
sekitar pusat pemerintahan lokal (ibukota Kecamatan ataupun Kota/
Kabupaten).

Keterbukaan

wilayah

juga

mengakibatkan

struktur

Universitas Sumatera Utara

demografinya heterogen (multietnik), lokasinya tersentuh dengan beberapa
program pembangunan (khususnya sarana dan prasarana sosial- ekonom,
pendidikan dan kesehatan), motivasi dan orientasi semi-komersial hingga
komersial mulai mewarnai kehidupan perekonomian masyarakat.

Kelembagaan
Meskipun

secara

historis

pengetahuan

masyarakat

lokal tentang

pengelolaan hutan telah cukup memadai. Namun peningkatan terus menerus
kualitas teknis dan produktivitas lahan hutan masih cukup relevan untuk
dilakukan saat ini, terutama untuk menghindari ekstraktivitas dalam pengusahaan
sumberdaya hutan. Selain itu, masyarakat yang fungsional dan mandiri, yang
banyak disyaratkan oleh pemerintah, terutama dalam kaitannya dengan skenario
redistribusi sumberdaya alam yang banyak diperbincangkan akhir-akhir ini.
Kelembagaan yang fungsional dan mandiri tersebut penting agar hak dan akses
pengelolaan yang akan diberikan tidak diterapkan dalam skema penguasaan yang
horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan
kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan
kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di masyarakat untuk
peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan
konservasi dapat terlaksana (Awang, dkk., 2000).
Pada tataran pragnatis, keberadaan kelompok/institusi masyarakat di
sekitar kawasan hutan sebenarnya bukanlah hal yang baru. Berbagai institusi lokal
baik formal/dengan legitimasi pemerintah), informal (yang hanya memperoleh
legitimasi sosial maupun lembaga Adat telah tumbuh dan berkembang cukup lama
di masyarakat. Meskipun dari segi konsep dan bentuk lembaga-lembaga tersebut

Universitas Sumatera Utara

masih sangat beragam, namun dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan,
khususnya mengenai pelestarian peran, manfaat dan fungsi hutan, masyarakat
sudah memiliki pola kelembagaan yang berperan mengatur kegiatan, membangun,
memanfaatkan dan menjaga sumberdaya hutan. Dalam kehidupan sehari-hari,
kelompok/institusi ini memiliki corak yang beragam, baik dalam jenis, bentuk
maupun kegiatannya, sesuai dengan yang dikembangkan sendiri oleh masyarakat
(Awang, dkk., 2000).
Hal umum yang dijumpai menyangkut kelembagaan adat di beberapa
kelompok masyarakat lokal adalah bahwa peraturan-peraturan adat yang terkait
dengan pengelolaan dan penguasaan sumberdaya hutan seringkali bersifat lisan
atau tidak tertulis. Walaupun demikian, adanya karisma seorang Kepala Adat dan
penyelesaian permasalahan yang dilakukan secara musyawarah dengan bantuan
dewan adat (yang umumnya terdiri dari orang-orang tua berpengalaman atau
berpengaruh dalam kelompok masyarakat itu sendiri) telah mampu membuat
aturan adat tetap dihormati dan bahkan tetap diberlakukan hingga sekarang ini di
beberapa daerah. Oleh karenanya, penyeragaman administrasi pemerintahan desa
di seluruh nusantara selama kurun waktu lebih dari tiga dasawarsa pemerintahan
Orde Baru ataupun dengan semakin banyaknya generasi muda di desa yang
berpendidikan lebih tinggi (meskipun dalam sisi tertentu di beberapa tempat telah
mampu menyurutkan peran dan fungsi lembaga adat) sejatinya tidak sepenuhnya
hilang. Hal tersebut dikarenakan kelembagaan adat masih merupakan kebutuhan
dalam mengimbangi dinamika kehidupan masyarakat lokal. Apalagi dalam era
desentralisasi dan otonomi daerah, lembaga adat tampaknya tidak lagi hanya
menjadi bagian dari identitas kultural masyarakat lokal, melainkan dapat

Universitas Sumatera Utara

merupakan sarana ampuh dalam memperjuangkan kembalinya hak penguasaan
sumberdaya alam termasuk hutan (Sardjono, 2004).

Komponen dan Fungsi Kelembagaan
Menurut Babbie (1994) dalam Sardjono (2004), dari sisi sosiologi ada
empat komponen utama kelembagaan, yaitu: norma (norms), sanksi (sanctions),
nilai (values), dan kepercayaan (beliefs). Norma menekankan pada tingkah laku
yang dituntut dari masyarakat secara keseluruhan (tidak terikat dengan status
sosial yang disandang). Sedangkan sanksi, adalah instrument yang terikat pada
norma dalam bentuk penghargaan (reward) dan hukuman (punishments). Sanksi
diharapkan dapat menjamin terlaksananya norma dimaksud. Nilai, lebih
ditekankan pada hal-hal yang lebih disukai (atau yang tidak disukai) dalam rangka
menetapkan norma yang dipilih. Nilai akan dijustifikasikan melalui basis
kepercayaan yang berkembang di kelompok. Sedangkan pola kelembagaan secara
total akan membentuk budaya.
Kelembagaan sebenarnya memiliki fungsi penting dalam mengatur
hubungan antara manusia dengan sumberdaya alam (termasuk hutan) agar tetap
bisa berfungsi lestari, serta menjamin hubungan antar manusia dalam masyarakat
(bisa warga satu desa yang sama dan atau antar desa bertetangga) agar tetap
harmonis (Sardjono, 2004).
Adat suatu masyarakat atau komunitas biasanya diteruskan secara lisan
kepada anggota-anggotanya oleh generasi terdahulu. Adat menetapkan apa yang
diharuskan, dibenarkan atau diizinkan, dicela atau dilarang dalam situasi-situasi
tertentu. Adat dianggap sebagai himpunan norma-norma yang sah yang harus
dijadikan pegangan bagi perilaku seseorang. Suatu pola perilaku tertentu adalah

Universitas Sumatera Utara

sah dan layak apabila sesuai dengan adat. Apa yang menjadi hukum adalah
kebiasaan yang sudah diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Bilamana
terdapat pelanggaran terhadap adat kebiasaan itu, maka sanksi hukum biasanya
ditetapkan oleh kepala adat setempat yang bentuk putusannya pun tidak tertulis
(Sardjono, 2006).

Penguatan Identitas
Masyarakat desa hutan secara historis kultural memiliki karakteristik khas
yang dianggap sebagai identitas bersama, yaitu sistem tata nilai budaya yang arif,
kelembagaan lokal yang mengakar, dan terikat oleh lingkungan sumber daya
hutan. Sistem tata nilai budaya, kelembagaan lokal, dan keterikatan masyarakat
desa hutan atas lingkungan sumber daya hutan mengalami kemarginalan. Realita
ini memberi perhatian (warning) ancaman akan bahaya kepunahan masyarakat
desa hutan. Atas dasar itu perlu dilakukan suatu upaya penguatan (revitalitation)
dari identitas bersama masyarakat desa hutan. Ada 3 upaya yang dapat segera
dilakukan guna mengeksistensikan kembali identitas bersama masyarakat desar
hutan, yaitu (1) penguatan sistem tata nilai budaya, (2) penghidupan kembali
sistem kelembagaan lokal, dan (3) optimalisasi potensi sumber daya hutan
(Nugraha dan Murtijo, 2005).
Kelembagaan masyarakat desa hutan dalam bentangan sejarah terbukti
mampu mengatur keteraturan, ketertiban, keamanan, dan keharmonisan, akan
tetapi seiring masuknya budaya modernisasi dan penyeragaman kelembagaan
tingkat nasional berdampak pada terpinggirkannya peran kelembagaan lokal
masyarakat. Bahkan, dalam dua dekade terakhir kelembagaan lokal masyarakat
telah mengalami kematian obor. Masyarakat desa hutan kehilangan arah

Universitas Sumatera Utara

melangkah untuk menapak jalan kehidupan yang pasti. Kebijakan struktural
kelembagaan dari pemerintah pusat mengakibatkan tercerai berainya sistem
kelembagaan masyarakat desa hutan yang berakar pada sistem tata nilai budaya
lokal. Bercermin pada realita tersebut, maka langkah prioritas yang segera harus
dilakukan untuk mewujudkan eksistensi masyarakat desa hutan adalah
penghidupan kembali sistem kelembagaan lokal. Hal ini didasarkan oleh sisi
positif kelembagaan lokal masyarakat, yaitu berakar pada sistem tata nilai budaya
masyarakat lokal, struktur kelembagaan yang demokratis, tingkat partisipasi yang
tinggi, dan selaras dengan nafas desentralisasi. Atas dasar itu, upaya yang segera
dapat dipersiapkan untuk menghidupkan kembali kelembagaan lokal sebagai
wujud aktualisasi kembali masyarakat desa hutan, adalah : (1) identifikasi
kelembagaan lokal yang pernah ada, (2) merevitalisasi kelembagaan lokal dengan
mengadopsi aspek positif kelembagaan sekarang, (3) sosialisasi kelembagaan, dan
(4) penerapan akulturasi kelembagaan di masyarakat (Nugraha dan Murtijo,
2005).

Kebijakan Dasar Pengelolaan Taman Nasional Batang Gadis
Pengelolaan taman nasional pada saat ini sudah harus disesuaikan dan
dapat mengatasi situasi dan perubahan-perubahan yang acap kali muncul dalam
mengelola taman nasional di Indonesia. Adanya pergeseran paradigma dalam
bidang pengelolaan sumberdaya alam, pembangunan dan pemerintahan maka
menuntut pula perubahan pada pengelolaan taman nasional. Misalnya, pergeseran
paradigma pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik, pembangunan
yang berpusat pada pemerintah menjadi pembangunan yang partisipatif serta

Universitas Sumatera Utara

keputusan birokrasi yang top down menjadi buttom up (Dinas Kehutanan Madina,
2004).
Dengan demikian maka kebijakan dasar pengelolaan TNBG menurut
Dinas Kehutanan Madina (2004), dapat ditetapkan sebagai berikut :
a. Pengelolaan TNBG dilakukan secara holistic, terencana dan berkelanjutan
guna memenuhi kebutuhan barang, jasa maupun pelestarian lingkungan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
b. Pengnelolaan TNBG dilaksanakan secara kolaboratif antara pemerintah
pusat, pemerintah daerah dan stakeholder yang bertanggungjawab dengan
pendekatan taman nasional dan kawasan pendukungnya sebagai suatu
kawasan pengelolaan.
c. Pengelolaan TNBG dilaksanakan secara partisipatif dan konsultatif pada tiap
tingkatan untuk mendorong tumbuhnya komitmen bersama antar pihak yang
berkepentingan (stakeholder). Perlu diciptakan kondisi yang memungkinkan
partisipasi masyarakat guna mengurangi secara bertahap baban pemerintah
dalam pengelolaan TNBG.
d. Sasaran wilayah pengelolaan TNBG adalah wilayah TNBG dan wilayah
pendukungnya secara utuh menjadi satu kesatuan ekosistem.

Pengorganisasian dan Kelembagaan Pengelolaan TNBG
Pengelolaan TNBG dilaksanakan secara bersama-sama oleh instansi
pemerintah pusat, instansi pemerintah propinsi, instansi pemerintah kabupaten dan
lembaga swadaya masyarakat atau organisasi-organisasi non pemerintah terkait
lainnya. Dengan pendekatan pengelolaan kolaboratif atau pengelolaan multipihak

Universitas Sumatera Utara

bertujuan untuk meningkatkan efektifitas dan kesinambungan keberdayaan serta
memperbesar komitmen dari para pihak dalam pengelolaan TNBG (Dinas
Kehutanan Madina, 2004).

Pengaruh Taman Nasional Batang Gadis
Menurut Dinas Kehutanan Madina (2004), keberadaan taman nasional
harus dapat lebih meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat antara lain :
1. Persepsi dan kesadaran konservasi pada masyarakat.
2. Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan taman
nasional.
3. Pengembangan sistem zonasi kawasan taman nasional yang dapat
mengakomodasi peningkatan kesejahteraan masyarakat :
a. Zona pemukiman khusus/enclave
b. Zona pemanfaatan khusus/tradisional (pemanfaatan non-kayu)
c. Zona rehabilitasi (rehabilitasi kawasan melibatkan masyarakat)
4. Pelatihan dan penguatan kelembagaan masyarakat
a. Pelatihan di bidang jasa pelayanan dan pengusahaan wisata alam
b. Bantuan teknis dan nasehat di bidang pengusahaan berbasis
konservasi alam dan pembangunan berkelanjutan
5. Pengembangan zona penyangga

Universitas Sumatera Utara

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sopotinjak, Kecamatan Batang Natal,
dan Desa Sibanggor Julu, Kecamatan Tambangan, Kabupaten Mandailing Natal,
Provinsi Sumatera Utara, yang dilaksanakan pada bulan April-September 2007.

Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kajian deskriptif yang bersifat eksploratif,
pengumpulan data dilakukan dengan mengkombinasikan Metode Telaahan
Dokumentasi (Documentation Study) dari berbagai sumber data sekunder dan
Metode Langsung (Direct Methods) yaitu pengumpulan data primer di lapangan
dengan teknik wawancara (dengan dan tanpa kuesioner) dan observasi lapangan.
Objek Penelitian
Penelitian ini melibatkan lembaga yang terkait dengan pengelolaan Taman
Nasional Batang Gadis dengan obyek penelitian:
(1) Lembaga formal
(2) Lembaga non-formal

Metode Pengumpulan Data
Teknik dan Tahapan Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan secara langsung di lapangan (daerah terpilih
sebagai lokasi kajian). Tahapan yang dilakukan dalam pengumpulan data adalah
sebagai berikut:
1. Pengumpulan data primer dalam penelitian ini dilakukan dengan cara :
27

Universitas Sumatera Utara



Wawancara
Wawancara adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan
informasi secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan
pada para responden (Subagyo, 1997). Wawancara ini dilakukan kepada
pihak lembaga yang ada untuk memperoleh informasi mengenai proses
pelaksanaan kebijakan kelembagaan.



Observasi
Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis
mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian
dilakukan pencatatan (Subagyo, 1997). Observasi atau pengamatan
langsung ini dilakukan terhadap kondisi dan peran kelembagaan tersebut.

2. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari arsip-arsip lembaga, pustaka
maupun publikasi yang dibuat oleh instansi terkait.

Analisis Data
Keseluruhan data, baik primer maupun sekunder, selanjutnya di edit
(untuk menghilangkan keraguan data) dan ditabulasikan sesuai dengan kebutuhan
sebelum dilakukan pengolahan dan analisis data.
Analisis dilakukan dengan penyusunan data dengan bersifat naratif, dan
mereduksi data yang telah didapatkan, menyajikan kembali data dengan bersifat
deskriptif. Data-data yang diperoleh dari observasi, wawancara maupun data-data
pelengkap, dikumpulkan, dan diklasifikasikan sesuai dengan tema kajian
permasalahan. Setelah itu dilakukan analisis berupa penginterpretasikan data
tersebut dengan bantuan data-data sekunder, dan diuraikan dalam bentuk diagram
sehingga bisa menghasilkan