Upaya Pengembangan Taman Nasional Batang Gadis Sebagai Daerah Tujuan Ekowisata

(1)

UPAYA PENGEMBANGAN TAMAN NASIONAL BATANG

GADIS SEBAGAI DAERAH TUJUAN EKOWISATA

KERTAS KARYA

Oleh :

M. REZA ANDHIKA PUTRA HARAHAP

082204064

PROGRAM STUDI D III PARIWISATA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2012


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN

UPAYA PENGEMBANGAN TAMAN NASIONAL BATANG

GADIS SEBAGAI DAERAH TUJUAN EKOWISATA

OLEH

M. REZA ANDHIKA PUTRA HARAHAP

082204064

Dosen Pembimbing,

Dosen Pembaca,

Drs.HARIS SUTAN LUBIS, M.SP

ARWINA SUFIKA, SE., M.Si NIP.

19570322 198602 1 002

NIP.

19640821 199802 2 001


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Kertas Karya : UPAYA PENGEMBANGAN TAMAN

NASIONAL BATANG GADIS

SEBAGAI DAERAH TUJUAN

EKOWISATA

Oleh : M. REZA ANDHIKA PUTRA

HARAHAP

NIM

: 082204064

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dekan,

Dr. Syahron Lubis, MA

NIP. 19511013 197603 1 001

PROGRAM STUDI D-III PARIWISATA

Ketua,

Arwina Sufika, SE., M.Si


(4)

ABSTRAK

Pariwisata di Sumatera Utara memiliki potensi wisata yang cukup yang salah satunya adalah ekowisata di Taman Nasional Batang Gadis. Ekowisata di Taman Nasional Batang Gadis terus berkembang dalam waktu beberapa tahun terakhir ini. Ekowisata bahkan menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan pendapatan negara dan membuka peluang kerja baru. Mengingat minat wisatawan yang tinggi untuk melakukan perjalanan menantang sekaligus dapat menikmati keindahan alam hutan tropis, maka perlu adanya usaha dari kita terutama mahasiswa pariwisata, untuk pengembangan potensi wisata ini dimana di daerah ini terdapat banyak sungai dan kondisi hutan yang masih alami. Dengan sumberdaya ini penulis mencoba mengangkat ekowisata sebagai judul kertas karya, penulis menggumpulkan data dengan cara penelitian ke lapangan dan mengumpulkan data dari berbagai buku yang berhubungan dengan ekowisata, jadi, usaha pengembangan ekowisata sangat bergantung pada peranan dari berbagai pihak baik dari pemerintah maupun masyarakat.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT atas segala berkat dan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini dengan judul “UPAYA

PENGEMBANGAN TAMAN NASIONAL BATANG GADIS

SEBAGAI DAERAH TUJUAN EKOWISATA

”.

Penulisan kertas karya ini diperoleh berdasarkan pengetahuan dan pengalaman penulis selama masa perkuliahan . Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan dalam penyusunan dan penyelesaian kertas karya ini. Penulis banyak menemui kesulitan , namun dengan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak maka penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah memberikan do’a, dorongan atau semangat, saran maupun bantuan – bantuan lain, yang berguna bagi penulis , karena tanpa bantuannya kertas karya ini tidak akan pernah terwujud.

Pada kesempatan ini penulis, dengan segala kerendahan hati dan rasa hormat inginmengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Arwina Sufika, S.E., M.Si. Selaku ketua Program Studi Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen pembaca yang telah membantu dalam menyelesaikan kertas karya ini.


(6)

3. Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, MSP. Selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan masukkan dalam menyelesaikan kertas karya ini dengan baik.

4. Staf Pengajar pada Program Studi Pariwisata Fakultas Ilmu Budaya Sumatera Utara Medan.

5. Kepada kedua Orang Tua saya yang tercinta,Ir.H.Arman N Hrp dan Ir.Hj.IrmaAryanti Lbs.M.AP, penulis sangat berterima kasih atas cinta, kasih sayang dan dukungannya baik moril maupun materi, sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan yang baik.

6. Kepada adik saya tersayang Suci annisaa fitry yanti Hrp dan Mira syanita rosliana Hrp, yang telah banyak memberikan dukungan dan semangat.

7. Buat seseorang yang telah memberikan penulis dukungan moral dalam menyelesaikan kertas karya ini.

8. Tidak lupa juga kepada seluruh keluarga penulis yang tidak disebutkan satu persatu yang memotivasi dan mendoakan penulis.

9. Buat sahabat seperjuangan khususnya buat Boy, Muamalah, Baong, Dedi, Rian, Yofie, fery, Mokil, Putra, Chotep dan semua teman-teman Perhotelan dan Usaha Wisata yang tidak dapat disebut satu persatu terima kasih buat dukungannya.

10.Untuk teman-teman stambuk 2009 dan 2010 tak lupa ucapan terima kasih buat kalian yang telah memberi dukungan dan motivasinya.


(7)

11.Kepada semua teman SMeCK HOOLIGAN khusnya buat Ryan, Denzo, Danil, Wido, Surya, Otong, Ade, Ari, atas segala doa dan dukungannya selama ini saya ucapkan terima kasih.

Akhir kata penulis berharap semoga kertas karya ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya, khususnya bagi penulis sendiri, dan penulis juga memohon maaf atas kekurangan dalam penulisan kertas karya ini.

Wassalamuallaikum Wr. Wb.

Medan, Desember 2012

Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ...……… i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ...………... v

DAFTAR TABEL ... viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...……....………... 1

1.2 Pembatasan Masalah ……….. 2

1.3 Manfaat Penulisan ....……….……….. 3

1.4 Metode Pelitian……….………... 4

1.5 Sistematika Penulisan ……… 4

BAB II URAIAN TEORITIS DAN KONSEP EKOWISATA 2.1 Asal Mula dan Pengembangan Wisata... 7

2.2 Defenisi Ekowisata ... 9

2.2.1 Secara konseptual ... 9

2.2.2 Dalam Konteks Pengelolaan ... 9

2.2.3 Karakteristik Bisnis Ekowisata ... 10

2.2.4 Komponen Produk Ekowisata ... 11


(9)

2.2.6 Profil dan Pasar Ekowisata ... 13

2.2.7 Konsep Daur Hidup Produk ... 14

2.3 Wisata Alam dan Kesadaran Lingkungan ... 16

2.4 Krisis Keanekaragaman Hayati di Indonesia ……….. 18

2.5 Wisata dan Konservasi...... 21

2.6 Parameter Ekowisata ... 24

2.6.1 Perjalanan Ke Kawasan Alamiah ... 25

2.6.2 Dampak yang Ditimbulkan Terhadap Lingkungan Rendah ...… 25

2.6.3 Membangun Kepedulian terhadap Lingkungan ... 25

2.6.4 Memberikan Dampak Keuntungan Ekonomi Secara Langsung Bagi Konservasi ... 26

2.6.5 Memberikan Dampak Keuangan dan Pemberdayaan Masyarakat ... 26

2.6.6 Penghargaan terhadap Budaya Setempat ... 27

2.6.7 Mendukung Hak Asasi Manusia dan Gerakan Demokrasi ... 27

BAB III POTENSI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA 3.1 Desa sibanggor ... 37

3.2 Potensi Ekowisata ... 39

3.2.1 Wisata Dan Konservasi TNBG ... 40

3.2.2 Potensi Hutan ... 41

3.3 Keterlibatan Masyarakat Lokal Sebagai Upaya Peningkatan Kesejahteraan .... 43


(10)

3.3.1 Akomodasi ... 44

3.3.2 Restoran dan Coffee shop ... 45

3.3.3 Atraksi Wisata ... 45

3.4 Flora dan Fauna ... 46

3.5 Tracking dan Pembelajaran Tentang Alam ... 50

BAB IV PENUTUP 4. 1 Kesimpulan ………... 51

4. 2 Saran ………... 51

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

• Tabel 1.1 Jenis – jenis Burung Yang Hilang Dan Langka ……… 20 • Tabel 1.2 Hutan Yang Mengalami Perubahan perluasan ... 20


(12)

ABSTRAK

Pariwisata di Sumatera Utara memiliki potensi wisata yang cukup yang salah satunya adalah ekowisata di Taman Nasional Batang Gadis. Ekowisata di Taman Nasional Batang Gadis terus berkembang dalam waktu beberapa tahun terakhir ini. Ekowisata bahkan menjadi salah satu alternatif dalam meningkatkan pendapatan negara dan membuka peluang kerja baru. Mengingat minat wisatawan yang tinggi untuk melakukan perjalanan menantang sekaligus dapat menikmati keindahan alam hutan tropis, maka perlu adanya usaha dari kita terutama mahasiswa pariwisata, untuk pengembangan potensi wisata ini dimana di daerah ini terdapat banyak sungai dan kondisi hutan yang masih alami. Dengan sumberdaya ini penulis mencoba mengangkat ekowisata sebagai judul kertas karya, penulis menggumpulkan data dengan cara penelitian ke lapangan dan mengumpulkan data dari berbagai buku yang berhubungan dengan ekowisata, jadi, usaha pengembangan ekowisata sangat bergantung pada peranan dari berbagai pihak baik dari pemerintah maupun masyarakat.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Akar dari berbagai persoalan dan konflik di dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah ketidakadilan dalam alokasi sumberdaya alam itu sendiri. Di sisi lain pengelolaan yang sentralistik telah mematikan potensi Pemerintah Daerah termasuk peluangnya untuk mengembangkan daerah sesuai kebutuhan dan keinginan sendiri, dan tidak adanya hak dasar masyarakat untuk mengelola sumberdaya yang terdapat di sekitar.

Dengan berlakunya otonomi daerah maka Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab dan wewenang untuk mengelola sumberdaya alam termasuk hutan. Demikian halnya dengan masyarakat dan Pemerintah Daerah Mandailing Natal yang mempunyai kesadaran dan berinisiatif dalam mengelola Taman Nasional Batang Gadis.

Harus diakui bahwa Pemerintah mempunyai keterbatasan sumber daya, baik dalam dukungan finansial, sarana atau fasilitas maupun sumber daya manusia. Atas dasar hal tersebut, keterlibatan lembaga swadaya masyarakat perlu dipertimbangkan dalam upaya memberikan manfaat, khususnya manfaat ekonomis dari hutan dan pemanfaatan pengetahuan tradisional itu sendiri.


(14)

Kelembagaan yang fungsional dan mandiri tersebut penting agar hak dan akses pengelolaan yang akan diberikan tidak diterapkan dalam skema penguasaan yang horizontal dan anarkis, melainkan melalui pendekatan kolektif yang diorientasikan kepada kesejahteraan seluruh masyarakat. Dengan demikian, obsesi menjadikan kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga lokal yang ada di masyarakat untuk peran pengaturan fungsi hutan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi dan konservasi dapat terlaksana. Pembentukan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) mempunyai pengertian bahwa negara telah secara langsung menghormati, mengakui dan memberdayakan kearifan lokal yang telah dipunyai masyarakat asli Mandailing dalam menjaga hutan alamnya selama ini. Contohnya seperti tempat keramat “naborgo-borgo” (tempat terlarang) dan “harangan rarangan” (hutan larangan) dalam melindungi hutan alam beserta sumber air di dalamnya. Atau adanya sistem lubuk larangan yang secara langsung dapat diintegrasikan ke dalam pengelolaan taman nasional.

Berdasarkan hal tersebut, penulis mencoba mengangkat judul :

“UPAYA PENGEMBANGAN TAMAN NASIONAL BATANG

GADIS SEBAGAI DAERAH TUJUAN EKOWISATA”.


(15)

1.2Pembatasan Masalah

Dalam penulisan Kertas Karya ini penulis perlu membuat suatu pembatasan masalahuntuk mempermudah dan mengarahkan penganalisaan. Menyadari sepenuhnya masalah yang akan dibahas cukup luas, maka penulis ingin membatasi permasalahan yakni pendeskripsian potensi ekowisata di Sibanggor, dan pelibatan masyarakat dalam pengembangan kawasan sebagai upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

1.3Mamfaat Penulisan

Ada beberapa mamfaat penulis Kertas Karya ini yang dapat dikemukakan oleh penulis sebagai berikut:

1. Sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Ahli Madya Pariwisata pada Program Diploma III Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

2. Memperkenalkan potensi ekowisata Taman Nasional Batang Gadis kepada wisatawan mancanegara maupun domestik.

3. Sebagai langkah dasar dalam upaya meningkatkan intelektual penulis.

4. Sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa yang ingin lebih tahu mengenai Taman Nasional Batang Gadis.


(16)

1.4Metode Penelitian

Dalam penulisan Kertas Karya ini, penulis mengumpulkan data dengan cara:

1. Penelitian pustaka (Library Research) Penulis mencari dan mengumpulkan data dari bahan-bahan pustaka seperti buku, diktat, berhubungan dengan judul di atas.

2. Penelitian Lapangan. Penulis melaksanakan penelitian langsung ke obyek dan wawancara dengan pihak-pihak yang dianggap tahu tentang obyek penulisan.

1.5Sistematika Penulisan

Dalam penulisan Kertas Karya ini dibagi dalam beberapa BAB dan sub BAB, yaitu sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada Bab ini merupakan pendahuluan yang meliputi pembahasan mengenai Alasan Pemilihan Judul, Tujuan Penulisan, Ruang Lingkup Permasalahan, Metode Penulisan, dan Sistematika Penulisan.


(17)

BAB II :LATAR BELAKANG DAN KONSEP-KONSEP EKOWISATA

Bab ini menjelaskan tentang Asal Mula Perkembangan Wisata, Defenisi Ekowisata, Kesadaran akan Lingkungan, Krisis Keanekaragaman Hayati di Indonesia, Wisata dan Konservasi, Parameter Ekowisata yang di dalamnya membahas tentang perjalanan ke kawasan alamiah, dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan rendah, membangun kepedulian terhadap lingkungan, memberikan dampak keuntungan ekonomi secara langsung bagi konservasi, memberikan dampak keuangan dan pemberdayaan masyarakat lokal, adanya penghargaan terhadap budaya setempat, serta mendukung hak asasi manusia dan gerakan demokrasi.

BAB III : POTENSI EKOWISATA TAMAN NASIONAL BATANG GADIS

Di sini akan lebih dijelaskan mengenai Taman Nasional Batang Gadis, pembahasan ini meliputi Mandailing Natal, berwisata, Dampak, Pelangaran Hukum dan Tantangan tentang masa depan Taman Nasional Batang Gadis.

Di dalam Bab ini akan lebih banyak menceritakan tentang Taman Nasional Batang Gadis yang tersembunyi keindahannya, seperti bagaimana bisa kesana, penginapannya, restoran, margasatwa, belajar tambahan tentang alam, dan perlindungan alam.


(18)

BAB IV : PENUTUP DAFTAR PUSTAKA


(19)

BAB II

URAIAN TEORITIS DAN KONSEP EKOWISATA

2.1 Asal Mula dan Perkembangan Wisata

Kata wisata (tourism) pertama kali muncul dalam Oxford English Dictionary

tahun 1811 ( Otto, 2004 ) yang mendeskripsikan atau menerangkan tentang perjalanan untuk mengisi waktu luang. Namun, konsepnya mungkin dapat dilacak balik dari budaya nenek moyang Yunani dan Romawi yang sering melakukan perjalanan menuju negeri-negeri tertentu untuk mencari tempat-tempat indah di Eropa.

Orang pertama yang membuat sebuah petunjuk perjalanan wisata adalah Aimeri de Picaud, warga Perancis yang mempublikasikan bukunya tahun 130 tentang perjalanan ke Spanyol. Awalnya, perjalanan atau wisata sering berkaitan dengan perjalanan ibadah, eksplorasi Geografis, expedisi Ilmu Pengetahuan, studi Antropologi dan Budaya, serta keinginan-keinginan untuk melihat tentang alam yang indah, ( Fandeli, 2002 ).

Sampai pertengahan abad ke-12, pertumbuhan wisata sangat rendah. Biasanya, transportasi wisata menggunakan kapal laut, kuda, unta, kereta kuda, atau alat-alat transportasi yang ada saat itu. Selanjutnya, dalam abad ke-18 dan ke-19, kebutuhan wisata mulai meningkat. Pertumbuhan tersebut juga sangat dipengaruhi


(20)

oleh Revolusi Industri. Tahun 1841 industri wisata di Inggris mulai dijalankan, sementara Amerika memulai industri wisata tahun 1950-an, ( Lindberg, 1995 ).

Perkembangan wisata selanjutnya semakin menggembirakan. Pada tahun 1948 sebuah perusahaan penerbangan Amerika, Pan American World Airways

memperkenalkan tourist class pada penerbangannya. Di sini, mass tourism mulai berkembang dengan adanya transportasi udara. Tujuan perjalanan mulai beralih ke negara berkembang. Tahun 1970, arus kunjungan dari negara maju ke negara berkembang sudah mencatat angka 8%. Pertumbuhan wisatawan ke negara berkembang semakin menjanjikan, ketika tahun 1980 arus kunjungan wisatawan ke negara berkembang mencapai 17% dan tahun 1990 mencapai angka 20%. Tahun 1990, industri wisata telah dipandang sama nilainya dengan industri minyak.

Perkembangan wisata secara besar-besaran ini, pada awalnya diyakini tidak mengganggu lingkungan dan tidak menimbulkan polusi. Namun, banyak temuan-temuan yang mengindikasikan bahwa aktivitas wisata (dalam banyak hal) sangat merugikan ekosistem, terutama ekosistem destinasi wisata setempat. Dalam banyak kasus, tempat-tempat yang dulunya indah dan digunakan sebagai tujuan favorit wisata menjadi tercemar oleh logam berat dan bahan-bahan kimia berbahaya lainnya. Perkembangan dan pertumbuhan wisatawan yang besar dan tidak terkontrol, telah mendorong laju kerusakan habitat dan erosi pantai. Dampak tidak langsung lainnya, yakni ekploitasi terhadap bentuk-bentuk kehidupan yang ada di daerah wisata, ( Lindberg, 1995 ).


(21)

2. 2 Defenisi Ekowisata

Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupandan kesejahteraan penduduk setempat. Semula ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan di daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, disamping budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga, ( The Ecotourism Society, 1990 ).

2.2.1 Secara konseptual

Konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya) dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehinggga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat., ( Fandeli, 2002 )

2.2.2 Dalam konteks pengelolaan

Penyelenggaraaan kegiatan wisata yang bertanggung jawab di tempat-tempat alami, yang secara ekonomi berkelanjutan dan memberikan manfaat langsung kepada masyarakat setempat dari generasi serta mendukung upaya pelestarian lingkungan (alam dan budaya).

2.2.3 Karakteristik bisnis ekowisata (Chafid , 2002 )

1. Menggunakan teknik-teknik ramah lingkungan dan berdampak rendah. (Misalnya:mengelola jumlah kunjungan).


(22)

2. Mendukung upaya-upaya konservasi.

3. Menyadari bahwa alam dan budaya, pengetahuan tradisional merupakan elemen utama untuk pengalaman pengunjung.

4. Memberikan nilai edukasi pada pengunjung.

5. Mendukung peningkatan local ekonomi, melalui penggunaan masyarakat local, membeli kebutuhan perjalanan dari local (jika memungkinkan).

6. Menggunakan pemandu/interpreter yang memahami pengetahuan alam dan budaya masyarakat setempat.

7. Memastikan bahwa satwa target tidak terganggu.

8. Raspek pada budaya dan tradisi masyarakat local.

2.2.4 Komponen produk ekowisata:

1. Transportasi

2. Makanan dan minum

3. Atraksi

4. Prasarana (air bersih, listrik, telekomunikasi, pembuangan limbah)

5. Pemandu


(23)

Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pengemabangan produk ekowisata:

1. keamanan dan keselamatan pengunjung

2. tipe dan karakter wisatawan target

3. karakter dan kebutuhan segmen wisatawan (survey selera pasar)

4. infrastuktur, sarana dan prasaranan yang dibutuhkan utnuk kepuasan pengunjung

5. iklim

6. harga

7. karakterristik lingkungan (alam dan budaya)

8. pesaing/factor kompetitif.

Secara proses, pengembangan produk dapat digambarkan dalam diagram berikut:

2.2.5 Pengemasan produk ekowisata

Berisikan atraksi dengan keunikan dan pengalaman yang orisinil, seperti:

1. lingkungan yang alami (hutan, taman nasional, laut)

Pengenalan Perencanaan Peluncuran produk Uji coba

Uji coba promosi Prakiran pasar Uji coba pemasaran DESAIN Pengukuran Pariwisata Konsep pengembangan Strategi pengembangan INDENTIFIKASI PELUANG Defensisi pasar Pengembangan ide Penyaingan ide


(24)

2. Satwa liar

3. Ekosistem asali dengan akses jalan setapak yang berisi informasi interprestasi

4. Bentang alam (pemandangan, air terjun, air panas, terumbu karang, dan lain-lain )

5. Pemanfaatan kebudayaan dari masyarakat tradisional dan eksplor peninggalan prasejarah.

6. Memberikan kesempatan kepada pengunjung untuk mendapatkan pengalaman baru.

7. Menjamin kegiatan berdampak rendah dan akomodasi yang ramah lingkungan

8. Diskripsikan dengan jelas aksesbilitas menuju daerah tujuan.

9. Gunakan kata-kata yang mampu menunjukkan keaslian sebagai produk ekowisata.

10.Harga paket harus kompetitif

11.Perlu diperhitungkan pembatasan-pembatasan seperti: besaran wisatawan dalam kelompok, volume dan ambang batas dari fasilitas dan sumber lokal.


(25)

2.2.6 Profil dan pasar ekowisata

Profil yang menyukai ekowisata:

1. Berumur 35-54 tahun, 50% laki-laki dan 50% wanita dan jelas ada perbedaan aktivitas yang dipilih.

2. 82% berpendidikan S1, juga dapat terlihat tingkat pendidikan mempengaruhi wisatawan yang berminat pada ekowisata.

3. 60% responded senang berpergian berdua, 15% senang berpergian bersama keluarga dan 13 % memilih pergi sendiri.

4. 50% responded memilih lama perjalanan 8 samapai 14 hari.

5. 26% responded bersedia menghabiskan US$.1001-1500/trip.

6. Senang berpergian ke kawasan : (1) kawasan alami, (2) mengamati satwa,(3) mendaki dan menjelajah/traking.

7. Motivasi berpergian: (1) menikmati alam/pemandangan,(2) pengalaman baru/kawasan baru.

2.2.7 Konsep daur hidup produk

Produk secara umum memiliki daur hidup:

Tahap Pengenalan, sebuah produk mulai dilakukan tes pasar, tes pemasaran dan tes terhadap berbagai variable penting lain, kegiatan evaluasi dan pemantauan terhadap produk akan memiliki porsi yang besar.


(26)

Tahap Eksplorasi, produk mulai digencarkan kegiatan promosi serta berbagai upaya utnuk merebut pasar. Pemantauan terhadap aktivitas pesaing mutlak dilakukan dan juga menggalli berbagai respon dari konsumen.

Tahap Pengembangan, respon pasar dan aktivitas pesaing semakin meningkat, pembenahan terhadap berbagai variable produk dilakukan sesuai dengan harapan dan keinginan konsumen, serta utnuk tetap mempertahankan daya saingnya.

Tahap Konsolidasi dipicu dari terjadinya penurunan tingkat kunjungan wisatawan ke obyek/atraksi wisata yang dipasarkan. Evaluasi terhadap produk dan aktivitas pemasaran perlu dilakukan serta menggali berbagai ide pengembangan terhadap produk yang bersangkutan.

Tahap Stagnasi produk timbul ketika tingkat kunjungan wisatawan ke obyek/atraksi wisata tidak pernah meningkat dari waktu ke waktu. Kecenderungan ini diakibatkan tidak adanya sesuatu yang baru pada daerah/produk yang bersangkutan. Karena itu perlu segera digali berbagai ide-ide pengembangan produk wisata baru

Tahap Penurunan Produk terjadi ketika tingkat kunjungan wisatawan ke obyek/atraksi wisata semakin turun menunjukkan kecenderungan terus menurun dari waktu ke waktu. Kecenderungan ini diakibatkan tidak adanya upaya pengembangan produk dan hanya bertahan dengan produk yang ada.


(27)

2. 3 Wisata Alam dan Kesadaran Lingkungan

Sementara mass tourism (wisata masal) berkembang, di Amerika muncul sebuah aktivitas wisata yang dikenal sebagai wisata alam (nature tourism). Hal itu merupakan aktivitas wisata menuju tempat-tempat alamiah, yang biasanya diikuti oleh aktivitas-aktivitas oleh fisik dari wisatawan. Termasuk dalam kategori ini, antara lain biking, biking-sailing dan camping. Di sini, kita juga mengenal adventure tourism, sebuah istilah yang menunjuk kepada kegiatan wisata alam, namun lebih mempunyai nilai tantangan tersendiri, seperti panjat tebing, diving di laut dalam. Tempat-tempat wisata favorit jenis ini kebanyakan merupakan kawasan lindung, seperti Taman Nasional, Taman Laut, Cagar Alam, Taman Hutan Raya dan kawasan lindung lainnya.

Pertumbuhan wisata jenis ini didorong oleh semakin banyaknya pencinta alam (nature lovers). Walaupun pada kenyataannya sangat sulit untuk mendefenisikan “pencinta alam”, kedaerah-daerah baru bagi tujuan wisata, terutama di ekosistem hutan tropis dengan kekayaan hayatinya yang khas. Namun, sayang sekali bahwa beberapa “pencinta alam” menyumbang peran besar bagi menurunnya nilai situs-situs atau monumen alam, dengan cara mencoret-coret dan mengotori komponen para “pencinta alam” memanen kayu-kayu hutan untuk sekadar menghangatkan diri dari sengatan hawa dingin pegunungan. kawasan-kawasan konservasi yang dibuka untuk wisata di Pulau Jawa, mendapat tekanan dari para pencinta alam dengan cara seperti di atas. Edelweis (Anaphalis), merupakan spesies tumbuhan yang sering menjadi


(28)

korban dari persepsi dan pandangan yang salah dari para pencinta alam, karena diyakini sebagai bunga abadi yang bernilai keberanian dan romantisme.

Ancaman terhadap keberadaan keanekaragaman hayati dunia semakin lama semakin memperihatinkan, hal ini juga diikuti oleh laju kepunahan spesies yang semakin meningkat. Saat ini diyakini bahwa laju kepunahan tersebut sebagian besar disebabkan oleh ulah manusia (Anthropogenic Faktor). Dengan demikian, membangun sebuah kesadaran manusia terhadap pentingnya konservasi lingkungan hidup, di mana keanekaragaman hayati menjadi isu penting di dalamnya, sangat diperlukan. Banyak ahli berpendapat bahwa membangun kesadaran konservasi lewat pendidikan informal dapat dilakukan dengan sektor wisata.

Berdasarkan pengetahuan dan motivasinya dalam kegiatan wisata, wisatawan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yakni wisatawan biasa dan wisatawan eco-tourist mempunyai motivasi mengunjungi destinasi wisata dengan maksud khusus. Berdasarkan minatnya tersebut, eco-tourist dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Hard core nature Tourist, merupakan peneliti atau anggota paket tur/perjalanan yang memang didesain atau dirancang untuk pendidikan alam dan penelitian.

2. Dedicated Nature Touris, yaitu wisatawan yang melakukan perjalanan, terutama untuk mengunjungi atau melihat kawasan-kawasan lindung. Selain itu, mereka ingin mengetahui keindahan landscape dan kekayaan hayati serta budaya lokal.


(29)

3. Mainstream Nature Tourist, yaitu wisatwan yang ingin mendapatkan pengalaman yang lain daripada yang telah didapatkan sebelumnya. Seperti, mengunjungi taman Gorilla di Rwanda, Afrika atau mengunjungi hutan Amazonia di Amerika Selatan.

4. Cassual Nature Tourist, yaitu wisatawan yang menginginkan pengalaman menikamti alam sebagai bagian dari perjalanan yang lebih besar. “ ( Lindberg, 1995 )

2. 4 Krisis Keanekaragaman Hayati di Indonesia

Krisis keanekaragaman hayati di Indonesia termasuk dalam kategori parah dan membutuhkan perhatian dan tindakan lebih serius untuk mengatasinya. Bahkan, beberapa spesies telah punah untuk selamanya, seperti Harimau Jawa dan Harimau Bali (Panthera Tigris). Survei terakhir yang dilakukan oleh PHPA dan WWF menegaskan bahwa setidaknya pada tahun 1976 masih terdapat tiga harimau Jawa di Taman Nasional Meru Betiri. Namun, semakin lama tidak ada bukti-bukti yang meyakinkan tentang keberadaannya sehingga diyakini spesies ini telah punah.

Beberapa spesies masih bertahan dalam kelompok-klompok kecil, yang habitatnya telah terfragmentasi. Monitoring terhadap kekayaan hayati saat ini, telah dilakukan secara intensif. Data yang didapatkan sering menunjukkan bahwa kekayaan hayati semakin terancam, meskipun terdapat pada daerah konservasi, seperti Taman Nasional. Banyak contoh menunjukkan bahwa meskipun kawasan lindung dengan


(30)

seperangkat undang-undang dan peraturan yang menyertainya, tidak berarti bahwa diversitas spesies yang ada di dalamnya terlindungi dengan baik. Contoh kasus pada Tabel 1.1 ini setidaknya menunjukkan jenis-jenis burung yang hilang dan lebih langka dijumpai di Gede Pangrango.

Sebenarnya, usaha-usaha perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia telah diperkirakan sejak lama. Tahun 1929, dalam suatu kongres Ilmu Pengetahuan wilayah Pasifik yang diadakan di Jawa, menyatakan bahwa perlindungan alam di India-Belanda (sebutan untuk wilayah Indonesia saat itu), harus segera dilakukan secara serius. Peraturan yang mengatur perlindungan alam, pertama dibuat tahun 1909 dan mulai diimplementasikan 01 Januari 1910. Namun, bisa jadi peraturan ini hanya “terdengar” di Jawa dan Madura, sementara perburuan satwa saat itu juga terjadi di Borneo dan wilayah lainnya. Sat itu, kegiatan berburu merupakan kegiatan wisata yang sangat digemari dan mulai diatur dalam regulasi tahun1909. saat itu, Surat Izin Berburu mulai diperkenalkan dan dikeluarkan Peraturan Tahun 1924 juga menyatakan secara tegas mengenai hewan-hewan apa saja yang boleh diburu.

Contoh-contoh kepunahan dan kecenderungan kepunahan spesies telah diketahui dengan baik, terutama di pulau Jawa. Namun demikian, tidak berarti bahwa pulau dan kawasan lainnya bebas dari ancaman kepunahan dan kemiskinan keanekaragaman hayati. Perubahan luas tutupan hutan di Pulau Jawa merupkan cermin, bagaimana pertumbuhan kawasan sangat mempengaruhi laju degradasi hutan. Tabel 1.2 menunjukkan bahwa kasus Jawa Timur sejumlah hutan masa pemukiman dan pertanian di Jawa Timur. Saat ini, kebanyakan sisa hutan telah ditetapkan sebagai


(31)

kawasan lindung dengan berbagai kategori seperti, Taman Nasional, Cagar Alam atau Taman Hutan Raya. Tabel jenis Burung Hilang dan Lebih Langka ditemukan di bagian Timur Taman Nasional Gede Pangrango Tahun 1949 dan 1985.

Tabel 1.1 Burung Jenis hilang dan langka

No. Hilang Lebih Langka

1 2 3 4 5 6 7 8 9 Gosong Maluku Mentok Rimba Bangau Tong tong Kasuari Glambir Ganda Malao Senkawor Kua Kerdil Kalimantan Mentok Rimba

Thokrotor Sumatera Burung Bidadari

Elang Jawa Merak Jawa

Kakatua Kecil Jambul Kuning Jalak Bali Elang Flores Burung Hantu Trulek Jawa Beo Nias Enggang

Burung Pelatuk Bawang


(32)

Contoh Penyusutan Luas dan Tiga Habitat dengan Kekayaan Hayati yang Berpotensi untuk Kegiatan Pariwisata di Indonesia.

Tabel 1.2

Habitat Lahan Asli (Km2) Persen yang tersisa

Hutan Rawa air tawar Hutan hujan pegunungan Hutan Bakau

103.054 206.233 50.800

46.8 77.1 43.9

Data di atas merupakan kondisi pada awal tahun 1980. selanjutnya, luasan habitat tersebut semakin menyusut.

2. 5 Wisata dan Konservasi

Konsep pemanfaatan sektor wisata untuk menunjang konservasi saat ini sedang ramai didiskusikan. Sejauh mana wisata dapat mendorong tindakan-tindakan konservasi yang dilakukan? Bagaimana strategi yang dapat diterapkan sehingga tujuan konservasi tetap tercapai dalam industri wisata yang terus berkembang? Siapa dan di mana harus memulai dan dimulai? Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul sebagai respons dari dampak buruk wisata terhadap keanekaragaman hayati.

Harus diakui bahwa pihak-pihak yang aktif berdebat dan berdiskusi adalah para akademis dan peneliti melawan praktisi wisata. Ada kesenjangan dalam diskusi


(33)

ini, yaitu tidak bertemunya antara akademis-peneliti pada satu sisi dan praktisi wisata pada sisi yang lain. Para praktisi wisata memandang bawa akademisi dan peneliti tidak mengetahui secara pasti dan memahami seluk-beluk industri wisata yang kompleks tentang operasional wisata. Sementara di lain pihak, para praktisi dan pelaku wisata dinilai terlalu sibuk sehingga mereka tidak mengetahui masa depan wisata, pengembangan produknya dan dampak wisata terhadap lingkungan hidup. Perdebatan ini merupakan salah satu dari berbagai kasus perdebatan yang seringkali melibatkan para developer pembangunan, dimana para praktisi wisata ada di dalamnya.

Sementara perdebatan berlangsung, banyak kajian antara lain oleh Dixon dan Sherman (1990), Gossling (1999), Honey (1999), Wunder (2000) (dalam buku Lukman Hakim), Dharmaratne et al. (2000), mengatakan bahwa jika sektor wisata diatur secara khusus dapat membantu pembiayaan konservasi lingkungan hidup. Terutama koservasi keanekaragaman hayati yang keadaannya semakin tertekan. Kajian yang dilakukan oleh Burger (2000) dan Waller (2001), menunjukkan bahwa hubungan yang harmonis antara wisata, keanekaragaman, bentang alam dan konservasinya dapat terjadi dalam kehidupan manusia. Lebih lanjut, dampaknya secara teoritis dapat ditafsirkan mempunyai pengaruh positif bagi perekonomian lokal dan pendidikan konservasi bagi pengunjung, yang datang dari daerah perkotaan yang miskin dengan kekayaan hayati. Aktivitas wisata tersebut kemudian lebih dikenal sebagai ekowisata atau ekoturisme (ecotourism).


(34)

Benyak defenisi yang menjelaskan arti ekowisata. Namun, semua sepakat bahwa ekowisata berbeda dengan wisata lainnya, karena sifatnya yang dikondisikan untuk mendukung kegiatan konservasi. Defenisinya selalu memfokuskan pada wisata yang bertangung jawab terhadap lingkungan. Selanjutnya, banyak masukan para ahli untuk memperbaiki defenisi tersebut. Antara lain memberikan dampak langsung terhadap konservasi kawasan, berperan dalam usaha-usaha pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, mendorong konservasi dan pembangunan berkelanjutan, seorang arsitek dan environmentalis, Meksiko, menjelaskan bahwa ekowisata adalah perjalanan wisatawan menuju daerah alamiah yang relatif belum terganggu atau terkontaminasi. Tujuan utamanya yakni mempelajari, mengagumi, dan menikmati pemandangan alam (lanskap) dan kekayaan hayati yang dikandungnya, seperti hewan dan tumbuhan, serta budaya lokal yang ada di sekitar kawasan.

Banyak tempat indah dengan kekayaan hayati yang tinggi berada dalam wilayah negara berkembang di mana kebutuhan dan permintaan sumber daya alam meningkat dengan cepat. Hubungan antara laju dijelaskan di berbagai naskah kerja. Degradasi ekosistem yang terjadi saat ini telah menurunkan mutu lingkungan, lebih kurang lagi menurunkan mutu daerah tujuan wisata. Tidak adli untuk menyalahkan dan mengalihkan tanggung jawab ini kepada negara berkembang dan komunitas masyarakat lokal. Masyarakat di luar kawasan juga harus diikutsertakan untuk memikirkan hal itu.

Banyak pihak yang mengatakan bahwa masyarakat lokal yang sekat sumber daya alam merupakan faktor yang secara langsung mempengaruhi pemiskinan


(35)

sumberdaya alam dan kerusakan ekosistem. Dengan demikian, strategi yang dirancang dalam konservasi antara lain adalah pemberdayaan masyarakat lokal.

2.6Parameter Ekowisata

Defenisi dan operasional wisata alam (nature tourism) tidak dapat diartikan secara langsung sebagai ekowisata, meskipun wisata alam mempunyai sisi strategis sebagai point untuk memahami ekowisata, (Wearning dan Neil ) menyatakan bahwa ide-ide ekowisata berkaitan dengan wisata yang diharapkan dapat mendukung konservasi lingkungan hidup. Karena tujuannya adalah menciptakan sebuah kegiatan industri wisata yang mampu memberikan peran dalam konservasi lingkungan hidup, seringkali ekowisata dirancang sebagai wisata yang berdampak rendah (Low Impact Tourism).

Untuk menjawab maksud tersebut, ekowisata dikarakterisasikan dengan adanya beberapa hal berikut:

1. Adanya manajemen lokal dalam pengelolaan

2. Adanya produk perjalanan dan wisata yang berkualitas

3. Adanya penghargaan terhadap budaya

4. Pentingnya pelatihan-pelatihan


(36)

6. Adanya integrasi pembangunan dan konservasi

Dalam aktivitasnya, ekowisata harus menjawab dan menunjukkan parameter berikut :

2.6.1 Perjalanan ke Kawasan Alamiah

Kawasan alamiah yang dimaksud adalah kawasan dengan kekayaan hayati dan bentang alam yang indah, unik dan kaya. Kawasan itu dapat berupa Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Hutan Raya, Taman Laut, dan kawasan lindung lainnya.

2.6.2 Dampak yang Ditimbulkan terhadap Lingkungan Rendah

Dampak yang diakibatkan oleh wisata jenis ini, harus ditekan sekecil mungkin. Dampak dapat dihasilkan dari pengelola wisata, wisatawan, pengelola hotel, penginapan, restoran, dan sebagainya. Semua pihak dituntut untuk meminimalkan dampak yang mempunyai peluang, menyebabkan pencemaran dan penurunan mutu habitat atau destinasi wisata.

2.6.3 Membangun Kepedulian terhadap Lingkungan

Tujuan aktivitas ini pada dasarnya untuk mempromosikan kekayaan hayati di habitat aslinya dan melakukan pendidikan konservasi secara langsung. Seringkali kesadaran terhadap lingkungan hidup akan mudah dimunculkan pada pelajaran-pelajaran di luar kelas, karena sentuhan-sentuhan emosional yang langsung dapat diraskan. Dengan demikian, usaha ekowisata harus mampu membawa seluruh pihak


(37)

yang terlibat dalam ekowisata mempunyai kepedulian terhadap konservasi lingkungan hidup.

2.6.4 Memberikan Dampak Keuntungan Ekonomi Secara Langsung bagi Konservasi

Di banyak kawasan negara berkembang, pembiayaan terhadap kawasan konservasi seringkali rendah sehinga fungsi yang dijalankan tidak maksimal. Penelitian-penelitan untuk menilai sumber daya Taman Nasional bagi kegiatan pariwisata dan penilaian dampak pariwisata terhadap habitat, jarang dilakukan karena keterbatasan sumber daya. Dalam hal ini, ekowisata dengan sebuah mekanisme tertentu, harus mampu menyumbangkan aliran dana dari penyelenggaraannya untuk melakukan konservasi habitat. Tujuan utamanya, yakni memelihara integritas fungsi-fungsi ekosistem dari destinasi wisata. Tidak ada rumus baku atau mekanisme khusus untuk mengembangkan pola ini. Namun banyak contoh dapat digunakan sebagai model, bagaimana seharusnya wisata dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi konservasi.

2.6.5 Memberikan Dampak Keuangan dan Pemberdayaan Masyarakat

Masyarakat lokal harus mendapatkan manfaat dari aktivitas wisata yang dikembangkan, seperti sanitasi, pendidikan, perbaikan ekonomi dan dampak-dampak lainnya. Unit-unit bisnis pendukung wisata seperti pusat penjualan cinderamata, usaha penginapan, restoran, dan lainnya harus dikendalikan oleh masyarakat lokal.


(38)

Hal itu untuk menjamin keikutsertaan masyarakat lokal dalam pertumbuhan ekonomi setempat karena aktivitas wisata.

2.6.6 Penghargaan terhadap Budaya Setempat

Budaya masyarakat lokal, biasanya untuk bagi wisatawan dan menjadi bagian dari atraksi wisata. Budaya ini telah berkembang dalam jangka waktu yang lama sebagai bagian dari strategi masyarakat lokal untuk hidup dalam lingkungan sekitarnya. Budaya itu harus mendapatkan penghargaan dan pelestariaan, agar kontribusinya bagi konservasi kawasan tetap memainkan peran. Harus diakui bahwa masyarakat lokal dengan budayanya, lebih mengetahui cara berinteraksi dan memafaatkan seumber daya sekitarnya secara bijaksana dan lestari daripada mengambil keputusan yang tinggal jauh dari kawasan hutan.

2.6.7 Mendukung Hak Asasi Manusia dan Gerakan Demokrasi

Pada dasarnya, penduduk setempat merupakan masyarakat yang selama bertahun-tahun telah berinteraksi dengan lngkungan sekitar destinasi wisata. Beberapa kelompok masyarakat secara tradisional masih tergantung kepada sumber daya hutan, pesisir dan laut. Oleh karena itu, penetapan kawasan lindung tidak semata-mata “memagari kawasan dari pengaruh manusia”. Karena secara de facto, masyarakat sekitar mempunyai kekuatan untuk tetap memasuki kawasan dan menggunakan sumber daya alam. Oleh karena itu, melakukan sebuah regulasi dan diskusi-diskusi dengan masyarakat untuk menjamin pemanfaatan secara adil menjadi parameter yang tepat dan berguna untuk menilai keberhasilan ekowisata.


(39)

Banyak kawasan di belahan dunia menjalankan ekowisata. Kebanyakan dari mereka memanfaatkan kawasan konservasi, seperti Taman Nasional sebagai destinasi atau tujuan alamiah bagi penyelenggara ekowiata. Diskusi-diskusi seputar implementasi dan keberhasilan ekowisata, terus bermunculan. Hal itu disebabkan oleh sulitnya memenuhi seluruh kriteria ideal, untuk mencapai apa yang dimaksud dengan ekowisata. Namun, kebanyakan sepakat bahwa kegiatan ini adalah wisata yang bertanggung jawab, untuk melakukan konservasi dan pendidikan lingkungan hidup, serta memperhatikan tingkat kesejahteraan masyarakat lokal.

Semakin populernya kegiatan ekowisata dan sumbangan-sumbangan penting yang diberikan bagi aktivitas konservasi mendorong Persatuan Bangsa-Bangsa lewat badan lingkungan hidup dunia United Nations Environment Programme (UNEP) Ecotourism 2002. tujuannya yakni mempromosikan ekowisata pada skala internasional dan memberikan wahana dan kesempatan belajar bagi negara-negara yang mempunyai potensi untuk mengembangkan ekowisata di wilayahnya dari negara-negara yang telah sukses menyelenggarakan ekowisata. Pemahaman tersebut menghasilkan sebuah kespakatan untuk diadakannya pertemuan ekowisata dunia, pada bulan Mei di Kanada. Pada tahun yang sama, Indonesia juga menetapkan tahun 2002 sebagai tahun ekowisata Indonesia. Namun, karena keterbatasan-keterbatasan dan alasan sefesiensi, pengembangan ekowisata di Indonesia untuk tahun 2002 memfokuskan diri pada ekowisata di daerah pegunungan.

Usaha pengembangan ekowisata di Indonesia, dapat dikatakan masih dalam taraf wacana. Hal itu diindikasikan bahwa sampai saat ini, belum diterbitkan secara


(40)

tersendiri peraturan perundangan yang mengatur pengembangan ekowisata. Perundang-undangan yang menyangkut penyelenggaraan ekowisata, masih banyak merujuk pada peraturan dan perundangan yang berkaitan dengan wisata alam dan konservasi. Sampai saat ini, kebanyakan ekowisata di Indonesia diadakan di kawasan-kawasan konservasi. Sesuai dengan perundangan yang berlaku, ekowisata yang diselenggarakan harus mengacu kepada kebijakan-kebijakan yang menyangkut kawasan konservasi. Dalam hal ini, yakni UU no. 5 tahun 1990 tentang konservasi sember daya alam hayati dan ekosistemnya.

Ada beberapa permasalahan yang timbul dalam pengembangan ekowisata di Indonesia, antara lain sebagai berikut:

1. Belum adanya konsep dan pemahaman yang sama tentang ekowisata oleh para stakebolder yang terlibat.

2. Ekowisata masih sering dijadikan slogan-slogan dan alat-alat promosi. Tetapi pada implementasi sesungguhnya menjadi lemah atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata yang diisyaratkan.

3. Meskipun kesadaran pemerintah akan pentingnya ekowisata telah ada, komitmen pengembangannya masih sangat lemah. Hal itu sangat jelas pada implementasi di lapangan.

4. Kebijakan yang mengatur dan mendukung saling tumpang tindih sehingga mempengaruhi implementasi di lapangan.


(41)

5. Terbatasnya akses informasi, seperti jaringan pasar dan infra struktur yang diperlukan dalam pengelolaan ekowisata.

6. Tebatasnya peran serta masyarakat local dan stakebolder dalam pengembangan ekowisata.

7. Meningkatnya degradasi sumber daya alam yang tidak terkendali

8. Pemandu memiliki keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan dan aspek-aspek pendidikan lingkungan hidup dalam kegiatan ekowisata.

9. Pembangunan yang tidak terkontrol pada destinasi wisata, karena pertumbbuhan jumlah pengunjung membuat implementasi ekowisata menjadi sulit.

Permasalahan-permasalahan di atas, idealnya harus dapat diselesaikan untuk mewujudkan pembangunan ekowisata di Indonesia. Kelompok-kelompok pencinta dan pemerhati lingkungan, LSM, pemerhati ekowisata dan stakebolder yang terlibat dalam ekowisata dapat menekan pemerintah karena lemahnya dukungan pemerintah pada tahap implementasi kebijakan ekowisata pada tingkat lokal. Selanjutnya, bantuan-bantuan pemikiran dan aksi nyata untuk mewujudkan komitmen bagai inisiasi dan pembangunan ekowisata dapat dilaksanakan. Perguruan tinggi atau lembaga-lembaga pemberdaya dapat berperan aktif dalam memberdayakan potendsi masyarakat dan stakebolder yang belum optimal untuk mencapai implementasi ekowisata dan melakukan evaluasi terhadap praktik ekowisata dengan sesungguhnya.


(42)

Tujuannya sangat jelas, yakni bersama-sama mewujudkan pembangunan ekiowisata dengan benar, sebagaimana konsep-konsep yang mendasarinya, yakni mewujudkan pembangunan lokal dengan memperhatikan aspek konservasi sumber daya alam dan menjaga integritas budaya lokal menuju masyarakat berkelanjutan.


(43)

BAB III

POTENSI TAMAN NASIONAL BATANG GADIS SEBAGAI KAWASAN EKOWISATA

Sebelum Mandailing Natal menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailing Natal berdasarkan undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 9 Maret 1999.

Kabupaten Mandailing Natal terletak berbatasan dengan Sumatera Barat, bagian paling selatan dari Propinsi Sumatera Utara. Penduduk asli Kabupaten Mandailing Natal terdiri dari dua etnis :

· Masyarakat etnis Mandailing

· Masyarakat etnis Pesisir

Masyarakat Mandailing Natal terdiri dari suku/etnis Mandailing, Minang, Jawa, Batak, Nias, Melayu dan Aceh, namun etnis mayoritas adalah etnis Mandailing 80,00 %, etnis Melayu pesisir 7,00 % dan etnis jawa 6,00 %. Etnis Mandailing sebahagian besar mendiami daerah Mandailing, sedangkan etnis melayu dan minang mendiami daerah Pantai Barat.


(44)

Seperti halnya kebanyakan daerah-daerah lain, pada zaman dahulu penduduk Mandailing hidup dalam satu kelompok-kelompok, yang dipimpin oleh raja yang bertempat tinggal di Bagas Godang. Dalam mengatur sistem kehidupan, masyarakat Mandailing Natal menggunakan sistem Dalian Na Tolu (tiga tumpuan). Artinya, mereka terdiri dari kelompok kekerabatan Mora (kelompok kerabat pemberi anak dara), Kahanggi (kelompok kerabat yang satu marga) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak dara). Yang menjadi pimpinan kelompok tersebut biasanya adalah anggota keluarga dekat dari Raja yang menjadi kepala pemerintahan di Negeri atau Huta asal mereka.

Kabupaten Mandailing Natal terletak pada 0°10' - 1°50' Lintang Utara dan 98°10' - 100°10' Bujur Timur ketinggian 0 - 2.145 m di atas permukaan laut. Luas wilayah Kabupaten Mandailing Natal ± 6.620,70 km2 atau 9,23 persen dari wilayah Sumatera Utara dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

1. Sebelah Utara : Kab.Tapanuli Selatan

2. Sebelah Selatan : Prop.Sumatera Barat

3. Sebelah Barat : Samudera Indonesia

4. Sebelah Timur : Prop.Sumatera Barat

Iklim Kabupaten Mandailing Natal adalah berkisar antara 23 ºC - 32 ºC dengan kelembaban antara80–85%. Gugusan Bukit Barisan merupakan sumber mata air sungai-sungai yang mengalir di Kabupaten Mandailing Natal. Ada 6 sungai besar


(45)

bermuara ke Samudera Hindia diantaranya adalah : Batang Gadis 137,5 Km, Siulangaling 46,8 Km, Parlampungan 38,72 Km, Tabuyung 33,46 Km, Batahan 27,91 Km, Kunkun 27,26 Km, dan sungai-sungai lainnya kira-kira 271,15 Km. Keberadaan sungai-sungai itu membuktikan bahwa daerah Kabupaten Mandailing Natal adalah daerah yang subur dan menjadi lumbung pangan bagi wilayah sekitarnya.

Status kepemilikan tanah di Kabupaten Mandailing Natal adalah :

- Hak Milik 1.885,00 Ha

- Hak Guna Bangunan 2,00 Ha

- Hak Pakai 9,00 Ha

- -Hak Guna Usaha 2.392,00 Ha

Daerah Mandailing Natal terbagi dalam 3 bagian topografi yakni :

• Dataran Rendah, merupakan daerah pesisir dengan kemiringan 0 º - 2 º dengan luas sekitar 160.500 hektar atau 18,68 %.

• Dataran Landai, dengan kemiringan 2º - 15 º, dengan luas 36.385 hektar atau 4,24 %

• Dataran Tinggi, dengan kemiringan 7º - 40º, dengan luas 662.139 hektar atau 77,08% dibedakan atas 2 jenis yakni : Daerah perbukitan dengan luas 308.954 hektar atau 46,66% dan Daerah pegunungan dengan luas 353.185 hektar atau 53,34%


(46)

Kabupaten Mandailing Natal, terdiri dari 23 Kecamatan , dan 386 Desa/Kelurahan dengan jumlah penduduk 413.750 jiwa, laki-laki 203,565 jiwa atau 49.20 % dan perempuan 210.185 jiwa atau 50.80 % (data tahun 2006). Dan tingkat pertumbuhan 1,42% pertahun.

Penetapan kawasan hutan di Kabupaten Mandailing Natal menjadi Taman Nasional Batang Gadis, bukan merupakan akhir perjalanan. Kita semua berharap TNBG tidak hanya menjadi taman nasional di atas kertas saja (paper park) tanpa pengurusan yang baik. Ini semua merupakan langkah awal perjalanan yang berat bagi para pihak berkepentingan untuk mempertahankan dan meningkatkan keutuhan ekosistem TNBG, agar dapat mendukung pembangunan daerah yang berkelanjutan dan meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar taman nasional. Setidak-tidaknya ada tigahal penting yang menjadi tantangan ke depan dalam konservasi TNBG, yaitu:

1. Mempersiapkan dan melaksanakan penataan ruang dan pengurusan kawasan taman nasional secara efisien dan efektif melalui pengelolaan kolaborasi. Artinya, akan lebih banyak pihak berkepentingan yang terlibat dalam pengambilan keputusan dalam pengelolaan TNBG, khususnya masyarakat setempat dan Pemerintah Kabupaten Madina. Pada urnumnya selama ini pengelolaan kolaborasi yang mengedepankan prinsip-prinsip pengurusan yang baik (good governance), desentralisasi serta dekonsentrasi kewenangan pengelolaan diharapkan akan lebih dapat menciptakan keseimbangan kontrol yang sama besar antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi-organisasi non-pemerintah dan masyarakat setempat. Sehingga keutuhan


(47)

ekologi TNBG lebih dapat terlindungi serta memberikan manfaat yang adil bagi masyarakat setempat dan dunia.

2. Mempersiapkan dan mengembangkan pilihan-pilihan kegiatan ekonomi lokal yang berkelanjutan dan kebijakan pembangunan ekonomi daerah yang terintegrasi dan lebih sesuai dengan tujuan pelestarian TNBG. Pada kenyataannya nanti pengurusan TNBG akan dihadapkan pada kebutuhan di daerah untuk memperkuat kemandirian fiskalnya guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penggalian sumber-sumber penerimaan pendapatan asli daerah. Suatu yang tidak diharapkan bila penggalian sumber penerimaan pendapatan asli berorientasi )angka pendek dengan mengorbankan jasa ekologis TNBG.

3. Mempersiapkan dan mengembangkan mekanisme alternatif pendanaan jangka panjang untuk pengembangan taman nasional secara berkesinambungan. Pendanaan jangka panjang pengurusan TNBG harus dibangun untuk menjamin keberlanjutan dukungan ekologis TNBG terhadap pembangunan daerah dan sumber penghidupan rakyat. Jaminan terhadap keberlanjutan kegiatan atau program sering menjadi prioritas paling belakang dalam pengelolaan suatu kawasan taman nasional kita. Kegagalan dan keberhasilan implementasi proyek-proyek konservasi skala besar di beberapa taman nasional di Indonesia dapat menjadi pelajaran kita bersama.


(48)

3.1 Desa Sibanggor

Desa Sibanggor yang letaknya jauh dari Ibukota Propinsi termasuk kedalam salah satu desa di Kabupaten Mandailing Natal Kec. Puncak Sorik Marapi. Desa yang letaknya di kaki Gunung Sorik Marapi ini merupakan desa konservasi Taman Nasional Batang Gadis (TNBG). Keberadaan desa ini juga diharapkan bisa menjadi penopang terhadap kelestarian alam yang ada disekitarnya. Topografi kawasan yang berkontur dan permukiman tradisional yang tersusun secara alami memberikan pemandangan yang luar biasa.

Menurut sejarah, Desa Sibanggor pada tahun 1892 karam oleh lahar gunung berapi yang dimuntahkan dari puncak Gunung Sorik Marapi. Desa yang karam ini biasa disebut Desa Sibanggor lama yang kemudian dipindah atau direlokasi ketempat yang sekarang ini kita lihat.

Bila kita kaji lebih mendalam, Desa ini menyimpan aneka keindahan dan pelajaran tersendiri. Desa yang mayoritas penduduknya beragama islam sangat kental sekali dengan nuansa keagamaannya. Aktifitas penduduk sehari-hari juga bisa kita lehat sebagai daya tarik bagi siapa saja yang berkunjung kemari. Masyarakat yang ramah dan terbuka dengan wisatawan baik lokal maupun luar membuat pengunjung merasa nyaman. Penduduk juga tidak enggan untuk menerima wisatawan menginap dirumah mereka.

Beberapa poin yang menjadi daya tarik wisata di Desa Tradisional Sibanggor ini adalah:


(49)

- Deretan perumahan penduduk dari bahan kayu dan atap ijuk yang sangat alamiah membuat kita tak ingin meninggalkannya. Kelompok-kelompok rumah yang terbentuk secara alamiah menciptakan suatu ruang terbuka sosial yang fungsional.

- Aktifitas keseharian masyarakat dari mulai subuh, pergi ke ladang, sampai sore dan malam hari sangat menginspirasi kita akan kebersamaan dan persaudaraan satu sama lain.

- Di Desa Sibanggor ini juga terdapat tempat pemandaian air panas yang banyak di kunjungi wisatawan dalam dan luar.

- Pada hari-hari tertentu, acara adat menjadi tontonan yang sangat menarik seperti pertunjukkan Gordang Sembilan dan juga acara makan bersama pada 10 Dzulhijjah di masjid.

- Masjid yang begitu kontras pada permukiman merupakan hasil sumbangsih masyarakat yang ada diperantauan. Masjid ini lah tempat dimana mereka beribadah dan bersosialisasi. Bila kita ada di lantai 2 mesjid ini, maka kita akan menikmati indahnya permukiman secara menyeluruh.

- Kawasan Taman Nasional Batang Gading juga bisa diakses melalui Desa Sibanggor

- Beberapa Fasilitas juga banyak disediakan oleh pihak Pemerintah Pusat maupun Daerah yang ingin menjadikan Desa Sibanggor sebagai desa wisata. Salah satunya


(50)

adalah pembangunan sopo godang atau gedung serbaguna yang bisa dimanfaatkan untuk warga sebagai tempat pertemuan dan bersosialisai. ( http://anstone.wordpress.com/2010/02/17/desa-sibanggor-desa-wisata-yang-eksotis/ )

3.2 Potensi Ekowisata

Definisi ekowisata yang pertama diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society 1990 sebagai berikut: Ekowisata adalah suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat (Eplerwood, 1999).

3.2.1 Wisata dan Konservasi

Nama Batang Gadis mungkin masih cukup asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Jangankan di Indonesia, di Sumatera Utara sendiri Batang gadis masih merupakan tempat yang jarang didengar orang, kecuali untuk orang-orang yang bergerak dalam bidang konservasi. Kawasan hutan ini merupakan salah satu habitat asli dari Harimau Sumatera. Sebagai habitat Harimau, data-data yang menjelaskan mengenai keberadaan Harimau di lokasi ini masih sangat kurang. Hutan Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal (Madina) Provinsi Sumatera Utara yang meliputi 13 wilayah kecamatan dan bersinggungan dengan 68 desa. Daerah ini sangat luas dan kaya akan keanekaragaman hayati.


(51)

Untuk mencapai lokasi Tangkahan dari Medan, diperlukan waktu sekitar 10-12 jam dengan menggunakan angkutan Bus umum..

Kawasan di sekitar penginapan adalah hutan lindung yang penuh kicau burung dan suara aliran sungai dangkal. Kebersihan alam dan keindahannya merupakan tujuan utama dalam pengembangan Kawasan Ekowisata Taman Nasional Batang Gadis. Diharapkan pengunjung akan belajar berwisata tanpa merusak alam sekitarnya. Karena itu, Dinas Pariwisata Kabupaten Madina lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas kunjungan ke Taman Nasional Batang Gadis.

Di Taman Nasional Batang Gadis juga terdapat beragam jenis monyet, Tapir, harimau sumatera, dan bila beruntung juga melihat elang yang tengah berputar di udara mengintai mangsa. Pepohonan setinggi 20-40 meter dengan kanopi selebar 40-50 meter masih banyak menghiasi Kawasan Ekowisata Taman Nasional Batang Gadis. Karena itu, wisata menyusuri hutan merupakan pilihan utama di Taman Nasional Batang Gadis. Sambil berwisata menyusuri hutan, pengunjung juga merasakan kedekatan alami dengan alam. Secara tidak langsung, ekowisata ini akhirnya juga merupakan sarana pendidikan bagi masyarakat untuk lebih memahami alam dan bersama-sama melindunginya.

3.2.2 Potensi Hutan

TNBG merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Gadis. DAS ini mempunyai luas 386.455 hektar atau 58,8% dari luas Kabupaten Madina dan sangat penting artinya sebagai penyedia air yang teratur untuk mendukung


(52)

kelangsungan hidup dan kegiatan perekonomian utama masyarakat, yaitu pertanian. Lebih dari 360.000 jiwa di Kabupaten Madina menggantungkan hidup dari sektor pertanian, khususnya di 68 desa pada 13 kecamatan yang bertetangga dengan TNBG. Ketergantungan pada sektor pertanian terlihat pada besarnya sumbangan sektor pertanian pada nilai PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) kabupaten, 35% diantaranya berasal dari sektor ini. Keberadaan TNBG akan menjaga kualitas dan kelancaran pasokan air untuk keperluan air minum dan pengairan 34.500 hektar persawahan dan 43.000 hektar perkebunan kopi, karet dan kayu manis.

TNBG juga berfungsi menjaga tata air regional, karena keseimbangan tata air lokasi lain yang bertetangga dengan Madina, seperti Kabupaten Tapanuli Selatan, Pasaman di Provinsi Sumatera Barat dan Rokan Ulu di Propinsi Riau, tergantung dari kondisi tutupan hutan TNBG. Kabupaten Madina secara geologis berada di daerah yang dikategorikan sebagai daerah rawan bencana. Kurang lebih 36% dari luas wilayahnya merupakan daerah pegunungan sampai ketinggian 2.145 meter dpi (di atas permukaan laut) dan merupakan daerah vulkanis aktif dengan jenis tanah yang rawan erosi dan longsor, serta curah hujan tinggi.

Kabupaten Madina dilalui Daerah Patahan Besar Sumatera (Great Sumatran fault Zone), khususnya Sub-Patahan Batang Gadis-Batang Angkola-Batang Torn. Dengan kondisi geologis yang sedemikian, maka bila terjadi pembukaan terhadap tutupan hutan alam di kawasan TNBG, resiko bencana dan dampak dari bencana tersebut akan semakin tinggi. TNBG menjadi semakin penting guna keberlanjutan pembangunan ekonomi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi di


(53)

Kabupaten Madina. Pengeluaran biaya 'mubazir' yang harus dikeluarkan pemerintah daerah untuk memulihkan alam sebagai konsekuensi dari rusaknya hutan alam dapat dihindari. Tidak akan terjadi pengalihan dana investasi dari sektor-sektor produktif masyarakat (pemodalan usaha produktif, biaya pendidikan, biaya kesehatan, peningkatan gizi, perumahan dsb) kepada usaha pemulihan bencana (non-produktif). Masyarakat tidak perlu menanggung beban akibat pengalihan dana produktif ini dan pertumbuhan ekonomi daerah tidak terhambat. Dengan kondisi hutan yang lestari dan terjaga baiknya fungsi ekologis (pengatur iklim, penjaga kesuburan tanah, pengendali tata air), fungsi keanekaragaman hayati maupun fungsi ekonominya, maka TNBG secara maksimal dapat dimanfaatkan sebagai modal alam tanpa bayar (unchanged natural capital) bagi serangkaian aktivitas perekonomian lokal secara jangka panjang, seperti pertanian, perkebunan, pariwisata alam, perikanan atau peternakan.

3.3 Keterlibatan Masyarakat Lokal Sebagai upaya Peningkatan Kesejahteraan

Membaringkan diri di tengah – tengah Hutan Tropis Sumatera Utara yang langka tepatnya di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), bisa menemukan rahasia terbesar yang tersimpan di Kepulauan Indonesia. dengan Pemandangan dan margasatwa yang diselimuti dengan kabut.


(54)

Siapa saja juga bisa beristirahat untuk meninggalkan stress atau rasa jenuh yang ada dengan singgah dari salah satu air panas yang tenang, tidak jauh dari tempat istirahat. Beristirahat di bawah air terjun yang menarik dan dingin atau juga bisa mandi dan berenang di salah satu sungai – sungai hutan yang jernih.

Di malam hari, bisa saja kumpul bersama – sama dengan para penduduk setempat yang sedang memainkan gitarnya dan menyanyikan lagu – lagu bahasa Mandailing, suara merdu penyanyi ditambah dengan alunan suara lembut yang berasal dari hutan tropis di malam hari bisa menidurkan siapa saja dari rasa kantuknya.

Kalau berkunjung ke tempat ini semua yang di atas bisa di dapatkan dan bahkan bisa menambah ilmu pengetahuan, dengan cara menolong margasatwa yang tetap murni dan mensejahterakan masyarakat lokal yang ada di daerah ini juga.

Taman Nasional Batang Gadis adalah sebuah lokasi pariwisata yang disahkan pada tahun 2001. sebelumnya daerah ini sangat rimbun dengan batang kayu atau pepohonan dan pemburu – pemburu binatang yang telah dilarang. Masyarakat lokal membuat perubahan bentuk daerah, menghentikan penebangan pohon dan membentuk grup penjaga hutan untuk mengawasi dari kegiatan yang dilarang. Dengan menolong FFI (Fauna and Flora International) dalam perlindungan alam, mereka mengembangkan sebuah hal yang tak ada bandingnya, tujuan pariwisata yang berkelanjutan menyediakan sebuah panggung penelitian.


(55)

3.3.1 Akomodasi

Tempat penginapan yang indah seperti lukisan telah dibangun sedamai dengan lingkungannya, menggunakan bahan – bahan dari alam untuk menciptakan sebuah suasana tropis yang segar. Jika di lihat dari tempat penginapannya, tempat ini disediakan tinggi di atas sungai, memberikan kepada siapa saja kesempatan untuk melihat margasatwa saat menikmati sarapan pagimu atau mendengarkan senendu suara hutan di malam hari.

3.3.2 Restoran dan Coffee Shop

Makanan yang lezat dapat dibeli dari Restaurant Cafes namanya. Makanan tradisional setempat dan makanan Barat dapat di pesan sesuai dengan harga yang sudah tertera di restoran itu. Menikmati sebuah makanan ringan di suasana berbeda yaitu hutan.

Disamping makanan dan minuman yang disediakan oleh peginapan ini, ada juga restoran yang menyediakan makanan ringan untuk para pejalan yang sudah lelah melakukan perjalanannya. Coffee Shop dan kedai kecil yang tidak jauh dari tempat itu juga di sediakan di daerah ini. Disamping itu cafe juga menyediakan Fasilitas Kemping / Kemah:Daerah kemping disediakan bagi siapa yang mau untuk berkemah di bundaran Taman Nasional ini, dengan biaya : Rp 50.000 / orang.Tamu diharapkan untuk membawa semua perealatan kemahnya masing – masing karena disini tidak disediakan.


(56)

3.3.3 Atraksi Wisata

Atraksi wisata yaitu sesuatu yang menarik untuk dilihat, dirasakan, dinikmati dan dimiliki oleh wisatawan, yang dibuat oleh manusia dan memerlukan persiapan terlebih dahulu sebelum diperlihatkan kepada wisatawan. Sedangkan menurut Yoeti dalam bukunya yang berjudul “Pengantar Ilmu Pariwisata “ atraksi wisata adalah atraksi itu merupakan sinonim dari pengertian entertainment, yaitu sesuatu yang dipersiapkan terlebih dahulu agar dapat dilihat, dinikmati dengan melibatkan orang lain. (Yoeti, 1996 : 172).

3.4 Flora dan Fauna

Flora (dunia tumbuhan) dan Fauna (dunia binatang) dari Kawasan sangat beraneka ragam, dengan sebuah ekoistem yang berbeda – beda juga, dari tumbuh – tumbuhan yang juga terdapat di pantai (coastal), dibanjiri oleh air sungai dan bendungan hutan yang ada (pinggir sungai dan tanah – tanah yang baru) seperti mengelilingi lautan ke pinggir bukit dan hutan di atas 3.4 meter.

Hasil survei singkat keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh Cl Indonesia selama kurun waktu kurang lebih satu bulan, telah memperlihatkan bahwa kekayaan hayati di Taman Nasional Batang Gadis cukup tinggi. Beragamnya jenis flora dan fauna yang diternui oleh tim survei, cukup untuk menjadikan alasan bahwa kawasan Batang Gadis ini perlu segera dilindungi, guna menekan laju kepunahan flora dan fauna di Taman Nasional Batang Gadis.


(57)

Berdasarkan hasil penelitian flora, dalam petak penelitian seluas 200 meter persegi terdapat 242 jenis tumbuhan berpembuluh (vascular plant) atau sekitar 1% dari flora yang ada di Indonesia (sekitar 25.000 jenis tumbuhan berpembuluh yang ada di Indonesia). Selain itu, diternukan juga bunga langka dan dilindungi yaitu bunga Padma (Rafflesia sp.) jenis baru. Tingginya nilai kekayaan flora di TNBG menjadikan kawasan ini harus segera dilindungi karena masih banyak jenis-jenis tumbuhan yang belum belum diketahui manfaatnya bagi kehidupan manusia sehingga perlu dikaji lebih lanjut. Melalui perangkap kamera dan penelusuran jejak, tim peneliti berhasil menemukan satwa langka yang dilindungi undang-undang dan konvensi internasional, seperti harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae), kambing hutan (Naemorhedus sumatrensis), tapir (Tapirus indicus), kucing hutan (Catopuma temminckii), kancil (Tragulus javanicus), binturong (Arctitis binturong) beruang madu (Helarctos malayanus), rusa (Cervus unicolor) dan kijang (Muntiacus muntjac)dan landak (Hystix brachyura). Selain itu tim survei berhasil menernukan amfibi tak berkaki (Ichtyopis glutinosa) yang merupakan jenis satwa purba dan katak bertanduk tiga (Megophyris nasuta) yang sudah langka dan merupakan jenis yang hanya dapat dijumpai (endernik) di Sumatera.

Jumlah burung di kawasan TNBG yang dapat diternukan sampai saat ini adalah 242 jenis. Dari 242 jenis tersebut, 45 merupakan jenis burung yang dilindungi di Indonesia, 8 jenis secara global terancam punah, 11 jenis mendekati terancam punah, seperti jenis-jenis Sunda groundcuckoo, Salvadori pheasant, Sumatran cochoa. Crested fireback dan March finfoot. Dua jenis burung yang selama ini dikategorikan


(58)

sebagai 'kekurangan data' (data deficient) oleh IUCN karena sedikitnya catatan, juga diternukan. Dari total jenis burung tersebut 13 merupakan jenis yang dikategorikan sebagai Burung Sebaran Terbatas yang berkontribusi pada terbentuknya Daerah Burung Endernik dan Daerah Penting bagi Burung (DPB). Kawasan TNBG juga merupakan salah satu lokasi transit burung-burung migran yang datang dari belahan burni utara. Bila hutan TNBG tak segera dilindungi maka akan mempercepat kepunahan mereka.

Burung Lophura inornata (salvadori pheasant) dan Pitta schneiderii (schneider's pitta) adalah jenis langka dan endernik untuk Sumatera. Jenis tersebut dapat ditemukan kembali setelah hampir satu abad tidak tercatat dalam Daftar Jenis Burung Sumatera. Jenis burung Carpococcyx radiceus ("Sunda ground-cuckoo) ditemukan kembali untuk kedua kalinya setelah hampir lebih dari satu abad tidak diternukan dalam daftar burung Sumatera. Jenis ini sebelumnya hanya diketahui dari spesimen di museum pada tahun 1912. Pertama kali jenis ini diternukan di Provinsi Bengkulu pada tahun 2000.

Tim survei menemukan 6 jenis burung dari keluarga rangkong (Bucerotidae) atau 60% dari total jenis yang diternukan di Pulau Sumatera, diantaranya Buceros rhinoceros, Rhinoplax vigil dan Aceros undulatus. Kehadiran jenis burung ini menunjukan bahwa hutan tropis Taman Nasional Batang Gadis masih sehat untuk berkembangnya jenis-jenis satwa pemakan buah (frugivor).


(59)

Banyaknya jenis-jenis rangkong dapat menjadi indikasi bahwa kondisi hutan alam di TNBG masih baik dan masih terdapat hubungan mutualistik (saling menguntungkan.) yang relatif utuh antara jenis satwa penyebar biji tumbuhan dengan jenis tumbuhan tropis. Di hutan tropis, agen perantara dalam penyebaran biji tumbuhan urnumnya dilakukan oleh satwa pemakan buah dan ini menjadi penting dalam memelihara keanekaragaman hayati dan regenerasi/rehabilitasi hutan secara alami di hutan tropis.

Temuan penting lainnya adalah konservasi mikroba endofitik dari jaringan tumbuhan yang hidup di hutan tropis mandailing Natal. Konservasi mikroba endofitik dari hutan tropis di Indonesia belum pernah dilakukan oleh lembaga manapun. Dalam hal ini, tim survei berhasil mengumpulkan sebanyak 1500 jenis mikroba yang terdiri dari bakteri dan kapang. Saat ini mikroba tersebut disimpan dalam koleksi kultur mikroba Puslit bioteknologi LIPI. Mikroba ini sangat bermanfaat sebagai sumber obat-obatan, bio-fungisida, bio-insektisida serta pupuk bio yang menunjang sektor pertanian maupun sebagai penghasil berbagai jenis hormon dan enzirn yang sangat bermanfaat bagi industri.

Di Taman Nasional Batang Gadis, pengunjung punya kesempatan untuk menyewa seorang penjaga Hutan Setempat untuk masuk ke dalam Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dan menemukan banyak jenis – jenis binatang – binatang. Bisa saja seorang pengunjung beruntung bisa melihat Harimau Sumatera, Harimau Jawa, Harimau Bali, Tapir, Kambing Hutan, Landak, Kucing Emas, Kijang Muntiacus, Burung Rangkong Dll.


(60)

3.4 Tracking dan Pembelajaran Tentang Alam

Melakukan perjalanan ke hutan walaupun melewati jalan yang kecil, menjelajahi sungai – sungai dengan cara sederhana, pergi ke gua atau hanya beristirahat di tepi singai. Percayalah bahwa siapa saja yang datang ke tempat ini akan merasa senang dan mendapatkan pengalaman yang menarik, baik itu memperluas pengetahuan tentang lingkungan dan dalam waktu yang sama menolong masyarakat setempat.

Ini jenis aktifitas yang bermaksud untuk para pelajar punya keinginan untuk belajar lebih lagi tentang alam. Para pelajar akan berpartisipasi di dalam permainan simulasi yang berisi beberapa topic pengenalan tentang alam.


(61)

BAB IV PENUTUP

4. 1 KESIMPULAN

Ekowisata Taman Nasional Batang Gadis merupakan daerah tujuan wisata yang memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan dalam dan luar negri, sebab Taman Nasional Batang Gadis adalah salah satu dari berbagai Ekowisata yang ada di Indonesia yang masih memiliki kondisi hutan yang terjaga keasliannya. TNBG juga dapat digunakan sebagai tempat penelitian mahasiswa pariwisata dan kehutanan untuk menambah ilmu dan wawasan mahasiswa.

4. 2 SARAN

Perkembangan geopolitik, demokratisasi dan tuntutan otonomi daerah, selain memberikan dampak yang positif pada kehidupan bernegara, juga memberikan pengaruh negative pada kualitas sumber daya alam dan keragaman hayati, serta menimbulkan konflik social yang berkepanjangan.

Menyadari akibat yang ditimbulkan dari perkembangan politik dan ekonomi, maka program ekonomi dan kebijakan konservasi merupakn salah satu solusi konservasi yang tepat dan rasional. Program ini ditujukan untuk mempengaruhi para pengambil keputusan dengan cara memperlihatkan nilai – nilai ekonomi dari


(62)

keanekaragaman hayati, memperkuat strategi konservasi dengan menggunakan sudut pandang ekonomi pada perencanaan konservasi yang lebih terbuka dan terpadu, serta mengoptimalkan kinerja kegiatan konservasi dengan menciptakan insentif ekonomi bagi pihak – pihak yang terlibat.

Oleh sebab itu, kesadaran masyarakat perlu dibangun dan ditanamkan dalam rangka penghargaan terhadap jasa – jasa lingkungan. Perhitungan nilai ekonomi jasa lingkungan berupa manfaat dari salah satu pendekatan yang bisa dilakukan sebagai alat kampanye kesadaran lingkungan juga sebagai alat penguat kebijakan pemerintah mengenai status kawasan konservasi.


(63)

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Perhubungan dan Pariwisata Mandailing Natal

Otto, Soemarwoto. 2004. Buku Ekologi Lingkungan Hidup Dan Pembangunan. Jakarta; Djambatan.

Fandeli, Chafid. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Yogyakarta; Fakultas Kehutanan UGM.

The Ecotourism Society, 1990. Defenisi Ekowisata

Lindberg, Kreg. 1995. Ekoturisme. Jakarta; Uniting Conservation And Travel Worldwide.

Yoeti, Oka. 1996. Pengantar ilmu Pariwisata. Bandung. Angkasa

http://www.dephut.go.id


(1)

sebagai 'kekurangan data' (data deficient) oleh IUCN karena sedikitnya catatan, juga diternukan. Dari total jenis burung tersebut 13 merupakan jenis yang dikategorikan sebagai Burung Sebaran Terbatas yang berkontribusi pada terbentuknya Daerah Burung Endernik dan Daerah Penting bagi Burung (DPB). Kawasan TNBG juga merupakan salah satu lokasi transit burung-burung migran yang datang dari belahan burni utara. Bila hutan TNBG tak segera dilindungi maka akan mempercepat kepunahan mereka.

Burung Lophura inornata (salvadori pheasant) dan Pitta schneiderii (schneider's pitta) adalah jenis langka dan endernik untuk Sumatera. Jenis tersebut dapat ditemukan kembali setelah hampir satu abad tidak tercatat dalam Daftar Jenis Burung Sumatera. Jenis burung Carpococcyx radiceus ("Sunda ground-cuckoo) ditemukan kembali untuk kedua kalinya setelah hampir lebih dari satu abad tidak diternukan dalam daftar burung Sumatera. Jenis ini sebelumnya hanya diketahui dari spesimen di museum pada tahun 1912. Pertama kali jenis ini diternukan di Provinsi Bengkulu pada tahun 2000.

Tim survei menemukan 6 jenis burung dari keluarga rangkong (Bucerotidae) atau 60% dari total jenis yang diternukan di Pulau Sumatera, diantaranya Buceros rhinoceros, Rhinoplax vigil dan Aceros undulatus. Kehadiran jenis burung ini menunjukan bahwa hutan tropis Taman Nasional Batang Gadis masih sehat untuk berkembangnya jenis-jenis satwa pemakan buah (frugivor).


(2)

Banyaknya jenis-jenis rangkong dapat menjadi indikasi bahwa kondisi hutan alam di TNBG masih baik dan masih terdapat hubungan mutualistik (saling menguntungkan.) yang relatif utuh antara jenis satwa penyebar biji tumbuhan dengan jenis tumbuhan tropis. Di hutan tropis, agen perantara dalam penyebaran biji tumbuhan urnumnya dilakukan oleh satwa pemakan buah dan ini menjadi penting dalam memelihara keanekaragaman hayati dan regenerasi/rehabilitasi hutan secara alami di hutan tropis.

Temuan penting lainnya adalah konservasi mikroba endofitik dari jaringan tumbuhan yang hidup di hutan tropis mandailing Natal. Konservasi mikroba endofitik dari hutan tropis di Indonesia belum pernah dilakukan oleh lembaga manapun. Dalam hal ini, tim survei berhasil mengumpulkan sebanyak 1500 jenis mikroba yang terdiri dari bakteri dan kapang. Saat ini mikroba tersebut disimpan dalam koleksi kultur mikroba Puslit bioteknologi LIPI. Mikroba ini sangat bermanfaat sebagai sumber obat-obatan, bio-fungisida, bio-insektisida serta pupuk bio yang menunjang sektor pertanian maupun sebagai penghasil berbagai jenis hormon dan enzirn yang sangat bermanfaat bagi industri.

Di Taman Nasional Batang Gadis, pengunjung punya kesempatan untuk menyewa seorang penjaga Hutan Setempat untuk masuk ke dalam Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) dan menemukan banyak jenis – jenis binatang – binatang. Bisa saja seorang pengunjung beruntung bisa melihat Harimau Sumatera, Harimau Jawa, Harimau Bali, Tapir, Kambing Hutan, Landak, Kucing Emas, Kijang Muntiacus, Burung Rangkong Dll.


(3)

3.4 Tracking dan Pembelajaran Tentang Alam

Melakukan perjalanan ke hutan walaupun melewati jalan yang kecil, menjelajahi sungai – sungai dengan cara sederhana, pergi ke gua atau hanya beristirahat di tepi singai. Percayalah bahwa siapa saja yang datang ke tempat ini akan merasa senang dan mendapatkan pengalaman yang menarik, baik itu memperluas pengetahuan tentang lingkungan dan dalam waktu yang sama menolong masyarakat setempat.

Ini jenis aktifitas yang bermaksud untuk para pelajar punya keinginan untuk belajar lebih lagi tentang alam. Para pelajar akan berpartisipasi di dalam permainan simulasi yang berisi beberapa topic pengenalan tentang alam.


(4)

BAB IV

PENUTUP

4. 1 KESIMPULAN

Ekowisata Taman Nasional Batang Gadis merupakan daerah tujuan wisata yang memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan dalam dan luar negri, sebab Taman Nasional Batang Gadis adalah salah satu dari berbagai Ekowisata yang ada di Indonesia yang masih memiliki kondisi hutan yang terjaga keasliannya. TNBG juga dapat digunakan sebagai tempat penelitian mahasiswa pariwisata dan kehutanan untuk menambah ilmu dan wawasan mahasiswa.

4. 2 SARAN

Perkembangan geopolitik, demokratisasi dan tuntutan otonomi daerah, selain memberikan dampak yang positif pada kehidupan bernegara, juga memberikan pengaruh negative pada kualitas sumber daya alam dan keragaman hayati, serta menimbulkan konflik social yang berkepanjangan.

Menyadari akibat yang ditimbulkan dari perkembangan politik dan ekonomi, maka program ekonomi dan kebijakan konservasi merupakn salah satu solusi konservasi yang tepat dan rasional. Program ini ditujukan untuk mempengaruhi para pengambil keputusan dengan cara memperlihatkan nilai – nilai ekonomi dari


(5)

keanekaragaman hayati, memperkuat strategi konservasi dengan menggunakan sudut pandang ekonomi pada perencanaan konservasi yang lebih terbuka dan terpadu, serta mengoptimalkan kinerja kegiatan konservasi dengan menciptakan insentif ekonomi bagi pihak – pihak yang terlibat.

Oleh sebab itu, kesadaran masyarakat perlu dibangun dan ditanamkan dalam rangka penghargaan terhadap jasa – jasa lingkungan. Perhitungan nilai ekonomi jasa lingkungan berupa manfaat dari salah satu pendekatan yang bisa dilakukan sebagai alat kampanye kesadaran lingkungan juga sebagai alat penguat kebijakan pemerintah mengenai status kawasan konservasi.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Perhubungan dan Pariwisata Mandailing Natal

Otto, Soemarwoto. 2004. Buku Ekologi Lingkungan Hidup Dan Pembangunan. Jakarta; Djambatan.

Fandeli, Chafid. 2002. Perencanaan Kepariwisataan Alam. Yogyakarta; Fakultas Kehutanan UGM.

The Ecotourism Society, 1990. Defenisi Ekowisata

Lindberg, Kreg. 1995. Ekoturisme. Jakarta; Uniting Conservation And Travel Worldwide.

Yoeti, Oka. 1996. Pengantar ilmu Pariwisata. Bandung. Angkasa

http://www.dephut.go.id