Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat dari Kepailitan

(1)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGURANGAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI AKIBAT DARI KEPAILITAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

ANTONIO ROMARIO H. SIDABUTAR NIM: 110200310

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


(2)

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGURANGAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI AKIBAT DARI KEPAILITAN

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

ANTONIO ROMARIO H. SIDABUTAR NIM: 110200310

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

Disetujui/Diketahui Oleh:

KETUA DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

(WINDHA, S.H., M.Hum) NIP.197501122005012002

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H. Windha.S.H., M.Hum NIP. 195603291986011001 NIP.197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015


(3)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGURANGAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI AKIBAT DARI KEPAILITAN

Antonio Romario H. Sidabutar *) Bismar Nasution **)

Windha ***)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengurangan pungutan terhadap wajib bayar yang mengalami kepailitan. Dalam hal ini, OJK melaksanakan pungutan terhadap lembaga keuangan yang diawasinya dalam pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasannya sesuai dengan pasal 37 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Pungutan tersebut merupakan sumber penerimaan OJK dan sifatnya wajib. Ada pun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap sektor jasa keuangan, bagaimanakah keberadaan sumber keuangan Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan fungsi Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengawas lembaga keuangan, dan bagaimanakah pengurangan pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai akibat dari kepailitan

Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan, meliputi bahan hukum primer, sekunder, tersier yang terkait dengan permasalahan. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengurangan pungutan terhadap wajib bayar yang mengalami kepailitan dilakukan dengan pengajuan permohonan kesulitan keuangan kepada OJK, dan OJK akan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, terhadap analisi yang dilakukan OJK pengurangan Pungutan dapat dilakukan tanpa mengajukan permohonan terlebih dahulu. Pengurangan pungutan dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan semakin memburuknya kondisi keuangan wajib bayar dan untuk membantu proses penyehatan keuangan Wajib Bayar. Serta memberikan kesempatan untuk reorganisasi perusahaan yang sakit, tetapi masih potensial bila kepentingan para kreditor dan kebutuhan sosial dilayani dengan lebih baik.

Kata Kunci : Otoritas Jasa Keuangan, Pungutan, Kepailitan.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan karunianya , sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan harapan penulis. Berbagai tantangan harus dihadapi Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tentunya dengan dorongan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuaangan Sebagai Akibat Dari Kepailitan”.

Secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua Penulis, Gulbahar Sidabutar dan Setiawan Evalina Purba, yang setia membawa Penulis ke dalam doanya, tiada hentinya memberikan perhatian, dukungan, nasihat, dan semangat serta kesabaran yang tidak ternilai harganya sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) dengan baik dan kepada abang dan kakak penulis, Josimar P. Sidabutar, S.E dan Ny. Pasaribu br. Sidabutar, Amkeb, dan keponakan Penulis Samuel Alvaro N. Pasaribu yang selalu mendukung, memperhatikan dan menghibur Penulis selama pengerjaan skripsi ini. Skripsi ini Penulis persembahkan untuk mereka.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga Penulis haturkan kepada pihak-pihak berikut:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(5)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H., M.H., DFM. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. OK. Saidin S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Ibu Joiverdia Arifiyanto S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik; 6. Ibu Windha S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi; 7. Bapak Ramli Siregar S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum

Ekonomi;

8. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang Bapak berikan kepada Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi;

9. Ibu Windha S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas waktu, saran, semangat dan bimbingan yang Ibu berikan kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;

10.Seluruh Dosen dan Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11.Keluarga Besar yang selalu memberikan dukungan dan perhatian kepada Penulis;

12.Sahabat-sahabat GASTER, Coky desrian saragih, Tung Asido Malau, Arius Prima Lumbanbatu, Syahputra Sibagariang, Dani Sinaga, Devid Lubis, Vincent Nadeak, Leader Tirta Silalahi, Rio S.silalahi, Lambok Hutauruk, Timoty, Mazmur, Juanda Tampubolon, Ivan Halawa, Richard,


(6)

Guntur S Gultom, Philip, Maykel. Terimakasih buat kebersamaannya sejak awal kuliah;

13.Sahabat jumpa tengah, Agnestesia Risky Panjaitan (bermula dari Andaliman), Irryn Bukit, Restika, Fahmi Habibana S. Sinaga, ivan, vincent, endha (yang dulu di sebut BUMI sekarang jangan tanyak lagi), Jhon Perdana Purba, Togar Albertus Nainggolan (lagi nyarik kos yang parkirannya luas biar buat semua). Makasi buat semuanya teman, kalian luar biasaa;

14.Sahabat dari SMA Evy Situmorang, Juliana Alexander Dacosta, makasi buat bantuan dan dukungannya wak;

15.Endha Ancilla Sembiring,yang selalu menemani baik suka maupun duka; 16.Vina Naomiria Tarigan, makasi buat dukungan dan bantuannya nomnom;

Penulis sadar masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran agar dapat menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Medan, Juni 2015 Penulis

Antonio Romario H. Sidabutar NIM. 110200310


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI………………...i

KATA PENGANTAR………....ii

DAFTAR ISI………..……….v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………..………1

B. Perumusan Masalah………..…….6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……...6

D. Keaslian Penelitian………..……….7

E. Tinjauan Kepustakaan………...…8

F. Metode Penelitian………12

G. Sistematika Penulisan………..16

BAB II PENGATURAN DAN PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP SEKTOR JASA KEUANGAN A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan…………..…19

B. Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Sektor Jasa Keuangan………...………...27

C. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Keuangan………...32


(8)

BAB III KEBERADAAN SUMBER KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERKAIT DENGAN FUNGSI OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI PENGAWAS LEMBAGA KEUANGAN

A. Bentuk Penerimaan sebagai Sumber Keuangan Otoritas Jasa Keuangan………...……….41 B. Mekanisme Pelaksanaan Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan………...…….50 C. Keberadaan Sumber Keuangan Otoritas Jasa Keuangan Terkait dengan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan sebagai Pengawas Lembaga Keuangan………...….57

BAB IV PENGURANGAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI AKIBAT DARI KEPAILITAN

A. Kepailitan Lembaga Keuangan……….……..63 B. Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Lembaga Keuangan………….74 C. Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat

Dari Kepailitan ………...82

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………..…..100

B. Saran………..102

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(9)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGURANGAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI AKIBAT DARI KEPAILITAN

Antonio Romario H. Sidabutar *) Bismar Nasution **)

Windha ***)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengurangan pungutan terhadap wajib bayar yang mengalami kepailitan. Dalam hal ini, OJK melaksanakan pungutan terhadap lembaga keuangan yang diawasinya dalam pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasannya sesuai dengan pasal 37 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Pungutan tersebut merupakan sumber penerimaan OJK dan sifatnya wajib. Ada pun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap sektor jasa keuangan, bagaimanakah keberadaan sumber keuangan Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan fungsi Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengawas lembaga keuangan, dan bagaimanakah pengurangan pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai akibat dari kepailitan

Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan, meliputi bahan hukum primer, sekunder, tersier yang terkait dengan permasalahan. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengurangan pungutan terhadap wajib bayar yang mengalami kepailitan dilakukan dengan pengajuan permohonan kesulitan keuangan kepada OJK, dan OJK akan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, terhadap analisi yang dilakukan OJK pengurangan Pungutan dapat dilakukan tanpa mengajukan permohonan terlebih dahulu. Pengurangan pungutan dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan semakin memburuknya kondisi keuangan wajib bayar dan untuk membantu proses penyehatan keuangan Wajib Bayar. Serta memberikan kesempatan untuk reorganisasi perusahaan yang sakit, tetapi masih potensial bila kepentingan para kreditor dan kebutuhan sosial dilayani dengan lebih baik.

Kata Kunci : Otoritas Jasa Keuangan, Pungutan, Kepailitan.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I


(10)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Otoritas Jasa Keuangan yang merupakan otoritas tunggal di sektor jasa keuangan di Indonesia, yang dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut UU OJK) mempunyai tujuan agar keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.1Definisi secara umum yang dimaksud dengan Lembaga Keuangan adalah setiap perusahaan yang bergerak di bidang keuangan, menghimpun dana, menyalurkan dana atau kedua-duanya.2Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi dan gerak pembangunan suatu bangsa.

Lembaga keuangan tumbuh dengan berbagai alternatif jasa yang ditawarkan.3Paling tidak ada sembilan fungsi pokok yang dapat dilayani lembaga keuangan bank dan selain bank yakni fungsi kredit, fungsi investasi, fungsi pembayaran, fungsi tabungan, fungsi pengelolaan kas, fungsi penjamin, fungsi perantara, fungsi perlindungan, dan fungsi kepercayaan.4

1

Undang-Undang Repulik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014, Penjelasan Umum.

2

Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan lainnya (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada,2011), hlm. 2.

3

Neni sri imaniyati, Pengantar hukum Perbankan Indonesia(Bandung : PT. Refika Aditama,2010),hlm. 1.

4

Juli Irmayanto dkk,Bank dan lembaga keuangan(Jakarta: universitas trisaksi, 2002)hlm. 12.


(11)

Pembinaan dan pengawasan terhadap lembaga keuangan bank dan selain bank dilakukan oleh Bank Indonesia dan menteri keuangan, yang sekarang menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut OJK) sebagai penyelenggara sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan sesuai dengan UU OJK .5

Fungsi-fungsi ini menjadikan lembaga keuangan dapat mendorong perkembangan dan pembangunan ekonomi suatu daerah atau suatu Negara . Lembaga keuangan dapat memobilisasi dana dari masyarakat atau dari luar daerah yang kemudian disalurkan kembali kedalam perekonomian dalam bentuk kredit.6

Fungsi OJK sebagai regulator adalah penyelengaraan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor keuangan. Berdasarkan itu, keseluruhan kegiatan jasa keuangan yang dilakukan oleh lembaga lembaga keuangan tunduk pada sistem pengaturan dan pengawasan OJK, seperti sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.7

Guna mencapai tujuan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang, OJK memerlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektifnya pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan

5

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 5 dan Pasal 6.

6

Frianto Pandia, Elly Santi Ompusunggu, Achmad Abror, Lembaga keuangan (Jakarta: rineka cipta,2004) hlm. 1.

7Bismar Nasution, “OJK Sebagai Suatu Sistem Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi”

(Medan: Makalah disampaikan pada Seminar tentang Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan untuk mewujudkan perkonomian nasional yang berkelanjutan dan stabil, 25 November 2014), hlm. 4.


(12)

pengawasan sektor jasa keuangan.8Sesuai dengan Pasal 34 ayat 2 UU OJK, Angaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.

Ketentuan tersebut bermakna bahwa pembiayaan kegitan OJK, sewajarnya didanai secara mandiri yang pendanaanya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keungaan, pembiayaan secara adil harus dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK.9 Pungutan yang diwajibkan kepada industri jasa keuangan ini diyakini dapat dirasakan manfaatnya kembali oleh industri (recycling) dengan berbagai program kerja OJK yang bernilai tambah pada bidang pengaturan dan pengawasan terintegrasi, perlindungan konsumen dan good governance. Program kerja yang bernilai tambah itu diarahkan untuk meningkatkan pemahaman dan kepercayaan konsumen terhadap sektor jasa keuangan sehingga mampu menciptakan dan membangun pertumbuhan industri jasa keuangan yang berkelanjutan.10

Menurut Asosiasi Emiten Indonesia (AEI), iuran yang dikenakan OJK kepada pelaku industri terutama emiten, dikhawatirkan berbuntut pada kenaikan beban emiten.11Menurut Presiden Direktur PT Bank Maspion Indonesia Tbk

8Zulkarnain Sitompul, “Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan dalam menjaga

stabilitas Sistem Keuangan,” (Medan:disampaikan pada Seminar tentang Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan untuk Mewujudkan Perkonomian Nasional yang Berkelanjutan dan Stabil, 25 November 2014), hlm. 16.

9

Ibid, hal, 17.

10

http://www.ojk.go.id/siaran-pers-aturan-pelaksanaan-pungutan-ojk (diakses tanggal 13 Juni 2015)

11

http://investasi.kontan.co.id/news/ini-tanggapan-asosiasi-emiten-atas-pungutan-ojk(diakses tanggal 13 Juni 2015).


(13)

Herman Halim mengatakan target OJK tersebut sangat memberatkan bank kecil dan pungutan OJK membuat beban yang ditanggung oleh industri perbankan semakin banyak dan membuat laba yang diperoleh semakin menyusut.12 Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Budi Gunadi Sadikin juga meminta adanya pemangkasan pungutan OJK dan mengusulkan skema pembayaran pungutan ini disesuaikan dengan aset yang dimilik setiap bank.13

Pungutan OJK ini ditujukan untuk memajukan industri jasa keuangan sesuai dengan tujuan dan fungsi dibentuknya OJK. Apabila pungutan ini dibebankan kepada konsumen atau masyarakat maka berpotensi mengurangi daya saing industri yang pada akhirnya merugikan perusahaan itu sendiri.14

Terhadap pihak yang sedang mengalami kesulitan keuangan dan dalam upaya penyehatan dan/atau dalam pemberesan, dapat dilakukan penyesuain paungutan sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK (selanjutnya disebut PP No. 11 Tahun 2014).15 Berdasarkan hal tersebut, penetapan besarnya pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegitan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK.16Penjelasan

12

http://finansial.bisnis.com/read/20150423/90/426411/iuran-ojk-lebih-baik-dihapus (diakses tanggal 13 Juni 2015).

13

http://finansial.bisnis.com/read/20150423/90/426411/iuran-ojk-lebih-baik-dihapus ( diakses tanggal 13 Juni 2015).

14

http://www.ojk.go.id/siaran-pers-aturan-pelaksanaan-pungutan-ojk (diakses tanggal 13 Juni 2015)

15

Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor11 tahun 2014 tentang Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan. Bab VI, Pasal 17.

16


(14)

Pasal 17 PP No. 11 Tahun 2014, yang dimaksud dengan “pemberesan” adalah pemberesan yang dilakukan oleh likuidator atau kurator.

Pemberesan yang dilakukan oleh kurator merupakan pemberesan dalam kepailitan, yang merupakan sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas.17Dalam sita umum, maka seluruh harta kekayaan debitur akan berada di bawah penguasaan dan pengurusan kurator, sehingga debitur tidak memiliki hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya.18

Hendaknya besaran pungutan tidak membebani pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, penyesuaian terhadap pungutan yang di bebankan menjadi sangat penting khususnya terhadap lembaga keuangan yang sedang mengalami pemberesan oleh kurator yang dalam hal ini adalah kepailitan, lembaga keuangan tersebut kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya. Sehingga pungutan yang tujuannya memberikan manfaat tidak menjadi sebaliknya memperburuk pihak yang mengalami kepailitan.

Kepailitan menimbulkan akibat hukum salah satunya terhadap harta kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pengawasannya beralih kepada kurator, sehingga guna memenuhi pembayaran utang-utangnya terhadap kreditur dilakukan pemberesan harta pailit oleh kurator yang apa bila dilakukan pungutan akan semangkin mengurangi harta pailit dan mempersulit keuangan pihak tersebut. Berdasarkan hal tersebut pentingnya pengaturan yang jelas mengenai

17

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan K ewajiban Pembayaran Utang, Bab I, Pasal 1 ayat (1).

18


(15)

pengurangan pungutan terhadap pihak yang mengalami kepailitan agar tidak semangkin mempersulit pihak yang mengalami kepailitan tersebut.

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan tersebut diatas, dalam skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Terhadap pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat Dari Kepailitan”, maka penulis memuat rumusan masalah skripsi ini sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap sektor jasa keuangan ?

2. Bagaimanakah keberadaan sumber keuangan Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan fungsi Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengawas lembaga keuangan ? 3. Bagaimanakah pengurangan pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan terhadap

lembaga keuangan yang mengalami kepailitan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan pengawasan OJK terhadap sektor jasa keuangan.

2. Untuk mengetahui bagaimana keberadaan sumber keuangan OJK terkait dengan fungsi OJK sebagai pengawas lembaga keuangan.

3. Untuk mengetahui bagaimana pengurangan pungutan oleh OJK terhadap lembaga keuangan yang mengalami kepailitan.


(16)

Sementara hal yang diharapkan menjadi manfaat dari adanya penulisan skripsi ini adalah:

1. Manfaat teoritis

Tulisan ini diharapkan dapat dijadikan bahan kajian dan memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka perkembangan ilmu hukum pada umumnya, khususnya di bidang peran dan tanggungjawab OJK terhadap sektor jasa keuangan dalam pengaturan dan pengawasan, mekanisme pelaksanaan pungutan sebagai sumber penerimaan OJK dan penyesuain terhadap pelaksanaan pungutan bagi lembaga keuangan yang mengalami kepailitan atau pemberesan oleh kurator berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Manfaat praktis

Uraian dalam skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran serta menambah wawasan dan pengetahuan secara khusus bagi Penulis dan secara umum bagi masyarakat tentang pengaturan dan pengawasan OJK terhadap sektor jasa keuangan sebagai regulator dengan melakukan pungutan sebagai sumber penerimaan, yang tetap memperharikan kemampuan keuangan lembaga keuangan tersebut sehingga tidak membebani lembaga keuangan yang sedang mengalami kepailiatan.

D.Keaslian Penulisan

Sepanjang pengamatan dan pengetahuan penulis, belum ada penelitian tentang pengurangan pungutan OJK sebagai akibat dari kepailitan sesuai dengan


(17)

judul skripsi ini. Karena pengaturan mengenai pungutan Otoritas Jasa Keuangan dituangan dalam PP No. 11 Tahun 2014 , peraturan pemerintah tersebut masih bersifat baru, kemudian penulis juga melakukan pemeriksaan judul skripsi tersebut kepada Arsip Perpustakaan Universitas cabang Fakultas Hukum USU/Pusat Dokumentasi dan Informasi Fakultas Hukum USU, yang menyatakan bahwa”Tidak Ada Judul yang Sama”. Surat keterangan tersebut merupakan bukti yang sah, yang brarti bahwa tidak ada judul skripsi yang sama dengan judul skripsi penulis,berdasarkan surat pernyataan tersebut Bapak Ramli Siregar Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi FH USU, menerima judul skripsi yang di ajukan penulis. Maka berdasarkan hal itu wajarlah bila penulis melanjutkan penelitian terhadap judul skripsi tersebut.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini murni hasil pemikiran penulis yang didasarkan pada pengertian-pengertian, teori-teori dan aturan hukum yang diperoleh melalui referensi media cetak maupun media elektronik. Penelitian ini disebut asli sesuai dengan asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

E.Tinjauan Kepustakaan

Adapun judul yang dikemukakan adalah “Analisis Yuridis Terhadap pengurangan Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai Akibat dari Kepailitan”. Dalam tinjauan kepustakaan dicoba untuk mengemukakan beberapa ketentuan dan batasan yang menjadi sorotan dalam mengadakan studi kepustakaan. Hal ini akan berguna untuk membantu melihat ruang lingkup skripsi


(18)

agar tetap berada didalam topik yang diangkat dari permasalahan yang telah disebutkan diatas. Adapun yang menjadi pengertian secara etimologis daripada judul skripsi ini adalah sebagai berikut.

Defenisi OJK adalah lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,yang mempunyai fungsi, tugas,dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan,dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang.19Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya antara lain melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan, termasuk kewenangan perizinan kepada lembaga jasa keuangan20.

Anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.21 Pungutan adalah sejumlah uang yang wajib dibayar oleh Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.Yang diatur dalam Pasal 1 angka (2) PP No. 11 Tahun 2014. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan yang

19

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan, Bab I, Pasal 1 angka (1).

20

Adrian Sutedi, Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan (Jakarta:Raih Asa Sukses, 2014), hlm. 55.

21

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan, Bab VIII, Pasal 34 ayat (2).


(19)

selanjutnya disebut Pihak adalah lembaga jasa keuangan dan/atau orang perseorangan atau badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. 22

Sektor jasa keuangan adalah sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan dan lembaga jasa keuangan lainnya.23perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan peroses dalam melaksakan kegiatan usahannya.24 Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek dalam yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.25

Perasuransian adalah usaha perasuransian yang bergerak di sektor usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang, usaha reasuransi, dan usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria.26

22

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jas a Keuangan, Bab I, Pasal 1 angka 3.

23

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jas a Keuangan, Bab I, Pasal 1 angka 4.

24

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan, Bab I, Pasal 1 ayat (1).

25

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab I, Pasal 1 angka (6).

26

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab I, Pasal 1 angka (7).


(20)

Dana pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.27 Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.28Lembaga jasa keuangan lainnya adalah pengadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun dan kesejahteraan.29

Pihak sebagaimna disebutkan dalam ayat (1) wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK. Yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 PP No. 11 tahun 2014. Pengecualian, berdasarkan Pasal 17 ayat 1 PP No. 11 Tahun 2014. Dalam hal Pihak sedang mengalami kesulitan keuangan dan dalam upaya penyehatan dan/atau dalam pemberesan, OJK dapat mengenakan pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sampai dengan 0% (nol persen) dari besaran pungutan sebagaimana ditetapkan dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari peraturan pemerintah ini.

Pemberesan adalah pemberesan yang dilakukan oleh likuidator atau kurator.30Kurator adalah orang perorangan yang berdomisili di indonesia, yang memiliki keahlian khusus yang di butuhkan dalam rangka menggurus dan

27

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab I, Pasal 1 angka (8).

28

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab I, Pasal 1 angka (9).

29

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab I, Pasal 1 angka (10).

30

Republik Indonesia,PeraturanPemerintah Nomor.11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan Pasal 17.


(21)

membereskan harta pailit. 31Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusannya dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas seebagaimana diatur dalam undang-undang ini.32 Dengan demikian pemberesan yang dimaksud adalah pemberesan oleh kurator yang dalam hal ini adalah kepailitan sebagaimana di jelaskan dalam penjelasan Pasal 17 ayat (1) PP No. 11 Tahun 2014.

Sita umum berarti bahwa seluruh harta kekayaan debitur akan berada di bawah penguasaan dan pengurusan kurator, sehingga debitur tidak memiliki hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaannya.33Berdasarkan hal tersebut OJK dalam fungsinya menyelengarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan yang melakukan pungutan terhadap lembaga keuangan yang di awasinya sebagai sumber penerimaan, dilakukan dengan tetap memperhatikan kema mpuan keuangan lembaga keuangan tersebut.34

F. Metode Penulisan

Metode penelitian adalah urutan-urutan bagaimana penelitian itu dilakukan. Untuk mendapatkan data yang akurat penelitian harus dilakukan secara sistematis dan teratur. Dalam penulisan skripsi ini, metode yang dipakai adalah sebagai berikut :

31

Sunarmi, Op.Cit., hlm. 132.

32

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bab I, Pasal 1 ayat (1).

33

Sunarmi, Op.Cit., hlm. 29.

34

Republik Indonesia,PeraturanPemerintah Nomor.11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan Umum.


(22)

1. Spesifikasi penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan sekunder. Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.35 Dalam penelitian ini, adapun undang-undang yang digunakan antara lain : Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang OJK, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ,Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait.

Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan masalah dengan cara menjabarkan fakta secara sistematik, faktual, dan akurat. Pendekatan penelitian dalam skripsi ini adalah pendekatan yuridis, yaitu dengan menganalisis permasalahan dalam penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum, yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

2. Sumber data

Materi dalam skripsi ini diambil dari data primer dan data sekunder. Penelitian yuridis normatif menggunakan jenis data sekunder sebagai data utama. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari kepustakaan. Data sekunder

35

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm. 118.


(23)

merupakan data primer yang telah diolah lebih lanjut dan disajikan baik oleh pihak pengumpul data primer atau oleh pihak lain.36 Data sekunder berfungsi untuk mencari data awal/informasi, mendapatkan batasan/definisi/arti suatu istilah. Data sekunder yang dipakai adalah sebagai berikut :

a. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum terkait tentang ketentuan-ketentuan dalam praturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, seperti:

1) Undang- Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.

2) Undang –Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan.

3) Undang- Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaraan Utang (PKPU).

4) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.

5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

6) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

7) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa

36

Husein Umar, Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 41.


(24)

8) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan.

9) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3/POJK.02/2014 Tentang tata cara pelaksanaan pungutan oleh OJK.

10) Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 4/SEOJK.02/2014 tentang Mekanisme Pembayaran Pungutan Otoritas Jasa Keuangan. b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku yang berkaitan dengan judul

skripsi, artikel-artikel ilmiah, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, makalah, skripsi, tesis, disertasi dan sebagainya yang diperoleh melalui media cetak maupun media elektronik.

c. Bahan hukum tersier atau disebut juga bahan hukum penunjang, yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan hukum sekunder, misalnya Kamus, Ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data melengkapi penulisan skripsi ini,agar terstruktur dan sistematis serta dapat dipertanggungjawabkandigunakan metode penelitian hukum normatif dengan pengumpulan data secara studi pustaka melalui data yang tertulis, dan data yang di peroleh dari internet. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan hukum primer dan bahan hukum skunder dari data yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, buku, makalah ilmiah, majalah, jurnal dan sumber-sumber lain yang terkait dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini.


(25)

4.Analisis data

Metode analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan :

a. Mengumpulkan bahan hukum primer, sekunder, dan tertier yang relevan dengan permasalahan yang terdapat dalam penelitian ini.

b. Melakukan pemilahan terhadap bahan-bahan hukum relevan tersebut diatas agar sesuai dengan masing-masing permasalahan yang dibahas.

c. Mengolah data guna mendapatkan kesimpulan dari permasalahan.

d. Memaparkan kesimpulan, yang dalam hal ini adalah kesimpulan kualitatif, yaitu kesimpulan yang dituangkan dalam bentuk pernyataan dan tulisan.

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat mendeskripsikan mengenai pengurangan pungutan oleh otorias jasa keuangan sebagai akibat dari kepailitan agar tidak membebani lembaga keuangan yang sedang mengalami pemberesan oleh kurator yang dalam hal ini adalah kepailitan.

G. Sistematika Penulisan

Sebagai karya ilmiah, skripsi ini memiliki sistematika yang teratur terperinci didalam penulisannya agar dimengerti dan di pahami maksud dan tujuannya.Tulisan ini terdiri dari lima bab, yang akan diperinci lagi dalam satu bab.Adapun kelima bab tersebut terdiri dari :


(26)

Bab ini berisikan mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN DAN PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP SEKTOR JASA KEUANGAN

Bab ini berisikan tentang sejarah singkat OJK, pengaturan dan pengawasan OJK, dan hubungan OJK dengan lembaga keuangan lainnya.

BAB III KEBERADAAN SUMBER KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERKAIT DENGAN FUNGSI OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI PENGAWAS LEMBAGA KEUANGAN Bab ini berisikan tentang bentuk penerimaan sebagai sumber keuangan OJK, mekanisme pelaksanaan pungutan oleh OJK, dan keberadaan sumber keuangan OJK terkait dengan fungsi OJK sebagai pengawas lembaga keuangan.

BAB IV PENGURANGAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI AKIBAT DARI KEPAILITAN

Bab ini berisikan tentang proses kepailitan lembaga keuangan, akibat hukum kepailitan terhadap lembaga keuangan, dan pengurangan pungutan oleh OJK sebagai akibat dari kepailitan. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini akan dikemukakan kesimpulan dari bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna


(27)

bagi pembaca sebagai sumber dalam melakukan penelitian lebih mendalam terkait dengan pengurangan pungutan yang dilakukan oleh lembaga OJK.


(28)

BAB II

PENGATURAN DAN PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP SEKTOR JASA KEUANGAN

A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan

Sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum UU OJK, dalam rangka mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan, program pembangunan ekonomi harus dilaksanakan secara komprehensif serta tata kelola pemerintahan yang baik dan mampu menggerakkan kegiatan perekonomian nasional yang memiliki jangkauan yang luas dan menyentuh keseluruh sektor riil dari perekonomian masyarakat indonesia. Salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasinal dimaksud adalah sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuanngan yang menjalankan fungsi intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional.Negara secara serius memberikan perhatian yang serius terhadap perkembangan kegiatan sektor jasa keuangan, dengan mengupayakan terbentuknya kerangka peraturan dan pengawaasan sektor jasa keuangan yang terintegrasi dan komprehensif.37

Secara yuridis, OJK sebagai lembaga pengawas jasa keuangan lahir dari amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah terakir kali dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 Tentang Bank Indonesia, yang dalam Pasal 34 diamanatkan bahwa wewenang pengawasan terhadap bank dari

37

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan Umum.


(29)

Bank Indonesia sebagai pengawas sektor perbankan dialihkan kepada lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang. Disebutkan pula selain pengawasan terhadap sektor perbankan, lembaga pengawas ini akan pula mengawasi sektor jasa keuangan lainnya seperti asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat. OJK didirikan untuk menggantikan peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga keuangan, dan menggantikan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan bank, serta untuk melindungi konsumen industri jasa keuangan.38

Pengawasan sektor jasa keuangan selain bank yang semula dilakukan antara lain oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) juga beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan. Pembentukan OJK sendiri kemudian dikukuhkan dengan disahkannya Undanng-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan.39 Undang-ndang ini sebagai dasar hukum pembentukan Lembaga Otoritas Jasa Keuangan pada dasarnya memuat ketentuan tentang organisasi dan tata kelola (governance) dari lembaga yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasaan terhadap sektor jasa keuangan. Sedangkan ketentuan mengenai jenis-jenis produk jasa keuangan, cakupan dan batas-batas kegiatan lembaga jasa keuangan, kualifikasi dan kriteria lembaga jasa keuangan, tingkat kesehatan dan pengaturan prudensial serta ketentuan tentang jasa

38

Otoritas Jasa Keuangan,https://id.wikipedia.org/wiki/Otoritas_Jasa_Keuangan (Diakses tanggal 25 Mei 2015).

39Khopiatuziadah, “hubungan kelembagaan antar pengawas sektor perbankan: perspektif

undang-undang tentang otoritas jasa keuangan,” Jurnal Legislasi Indonesia,Vol.9, Nomor3, Oktober 2012, hlm. 426.


(30)

penunjang sektor jasa keuangan dan lain sebagainya yang menyangkut tentang jasa penunjang sektor jasa keungan diatur dalam undang-undang sektor tersendiri.40Adapun hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya UU OJK, yaitu41: 1. Sistem keuangan dan seluruh kegiatan jasa keuangan yang menjalankan fungsi

intermediasi bagi berbagai kegiatan produktif di dalam perekonomian nasional merupakan salah satu komponen penting dalam sistem perekonomian nasional.

2. Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial telah menciptakan sistem keuangan yang sangat kompleks, dinamis, dan saling terkait antar-subsektor keuangan baik dalam hal produk maupun kelembagaan.

3. Adanya lembaga jasa keuangan yang memiliki hubungan kepemilikan di berbagai subsektor keuangan (konglomerasi) telah menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antarlembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan. 4. Banyaknya permasalahan lintas sektoral di sektor jasa keuangan, yang

meliputi tindakan moral hazard, belum optimalnya perlindungan konsumen jasa keuangan, dan terganggunya stabilitas sistem keuangan.

Alasan lain yang memicu dilakukannya perubahan terhadap struktur kelembagaan pengawasan sektor jasa keuangan antara lain. Munculnya konglomerasi keuangan dan mulai diterapkan universal banking di banyak Negara . Kondisi ini menyebabkan regulasi yang didasarkan atas sektor menjadi tidak

40Rudy Hendra Pakpahan, “Akibat Hukum Dibentuknya Lembaga Otoritas Jasa

Keuangan Terhadap Pengawasan Lembaga Keuangan di Indonesia,” Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.9 Nomor3, Oktober 2012, hlm. 416.

41


(31)

efisien dalam regulasi dan supervisi. Stabilitas sistem keuangan telah menjadi isu utama bagi lembaga pengawas (dan lembaga pengawas) yang awalnya belum memperhatikan masalah stabilitas sistem keuangan, mulai mencari struktur kelembagaan yang tepat untuk meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Kepercayaan dan keyakinan pasar terhadap lembaga pengawas menjadi komponen utama good governance. Untuk meningkatkan good governance pada lembaga pengawas jasa keuangan, banyak Negara melakukan revisi struktur lembaga pengawas jasa keuangan.42

Terjadinya proses globalisasi dalam sistem keuangan dan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informasi serta inovasi finansial yang menciptakan suatu sistem keuangan yang kompleks, dinamis, dan saling terkait, serta hubungan kepemilikan di berbagai sub-sektor keuangan (konglomerasi) semangkin menambah kompleksitas transaksi dan interaksi antar lembaga jasa keuangan di dalam sistem keuangan.43Dalam pembentukannya UU OJK mengalami pro dan kontra yang diuraikan sebagai berikut :

1. Pengalihan fungsi pengawasan bank dari bank sentral di Negara yang industri kuangannya didominasi oleh industri perbankan.

Ide pembentukan otoritas pengawas sektor jasa keuangan yang terpisah dari otoroitas moneter sejak awal telah menui perdebatan dan kontroversi. Bismar Nasution menyebutkan bahwa amanat pembentukan OJK harus dikritisi secara mendalam, apakah amanat demikian dapat membuat pengawasan bank menjadi

42Bismar Nasution, “Struktur Regulasi Indenpendensi Otoritas Jasa Keuangan” (Medan :

Makalah disampaikan pada seminar Hukum dalam rangka meningkatkan pemahaman atas peran dan tujuan Otoritas Jasa Keuangan, 13 November, 2013), hlm. 2.

43


(32)

lebih baik dan dapat membawa perubahan lebih baik pada sistem ekonomi, terutama dalam pengaturan dan pengawasan pengelolaan kegiatan sektor keuangan yang diselenggarakan oleh lembaga jasa keuangan.44

2. Penundaan pembentukan OJK dari tanggal 31 Desember 2002 sampai 31 Desember 2010 atau sekitar 8 tahun.

Menjadi pertanyaan sendiri, benarkah faktor kesiapan infrastruktur dan sumber daya manusia yang menjadi alsan mendasar perubahan ini sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan umum? Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa keuangan ini sebenarnya masuk dalam satu poin letter of intend (LOI) antara pemerintah dan IMF sebagaimana salah satu persyaratan bagi pemerintah mendapatkan pinjaman pada saat krisis ekonomi pertengahan tahun 1997-1998. Walaupun banyak keberatan dari berbagai pihak baik DPR, Pemerintah dan Bank Indonesia hampir tidak mempunyai kekuatan untuk menolak ketentuan IMF, termasuk pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan ini.45

Pembentukan lembaga ini kemudian diundur samapai dengan tahun 2010 dengan alasan kesiapatan infrastruktur, pendanaan, dan sumber daya manusia. Bank ndonesia menganggap pemerintah belum siap membentuk dan mengoprasionalkan sebuah lembaga super di bidang pengawasan sektor keuangan di Indonesia. Tarik ulur pembentukan badan pengawas menjadi lebih kencang pada tahun yang samaletter of intend (LOI) antara pemerintah dan IMF akan segera berakhir.46

44

Khopiatuziadah, Op.Cit.,hlm. 429.

45

Ibid, hlm. 431.

46


(33)

3. Dari sisi pendanaan sendiri, kerugian Negara dari beban tanggungan bantuan likuidasi.

Bank Indonesia yang jumlahnya mencapai ratusan triliun rupiah akibat lemahnya pengawasan Bank Indonesia, secara tidak langsung menjawab keraguan pentingnya lembaga pengawas sektor jasa keuangan, guna mencegah kejadian dan kerugian yang sama. Munculnya kasus perbankan yang baru seperti kasus bank century dan beberapa perusahaan sekuritas, mangkin mendorong kebutuhan percepatan pembentukan lembaga pengawasan sektor keuangan, termasuk perbankan.47

4. Pembentukan otoritas pengawas sektor keuangan yang terpisah dari otoritas moneter.

Struktur OJK di Indonesia menggunakan pendekatan intergrated approach, di mana OJK mengawasi seluruh lembaga keuangan seperti halnya FSA di Inggris, di Australia dan di Korea Selatan, sejarah menunjukan gagalnya kordinasi dengan Bank of England (BoE) dalam penanganan Northern Rock. Di korsel, FSA mengalami tekanan politik yang hebat agar pengawasan dikembalikan ke bank sentral akibat maraknya kasus korupsi. Tantangan kedepan OJK adalah bahwa masalah yang terjadi di Inggris dan Korea Selatan agar tidak berulang di Indonesia.48

Namun demikian, terdapat argumen yang mendukung pengawasan bank tetap di tangan bank sentral adalah fungsi pengawasan bank dapat membantu bank sentral menjalankan fungsi dengan baik, karna dapat memperoleh informasi ya ng

47

Ibid

48


(34)

dibutukan sevara cepat dan menyeluruh.pengetahuan tentang keadaan dan kesehatan sistem perbankan dapat meningkatkan kualitas analisis dan prediksi kondisi keuangan yang dibuat bank sentral. Alasan lain yakni untuk mengantisipasi konflik kepentingan antar lembaga dan juga lebih ekonomis.49

Naskah Akademik Pembentukan OJK dinyatakan bahwa salah satu dasar pertimbangan pembentukan OJK adalah bestpractices di beberapa Negara dan memperhatikan model pengawasan industri jasa keuangan di berbagai Negara di dunia. Meskipun sangat beragam, namun model pengawasannya dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kelompok yaitu :50

1. Multi Supervisory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh lebih dari dua otoritas. Masing-masing industri jasa keuangan seperti perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga jasa keuangan lainnya diatur dan diawasi oleh masing-masing regulator yang berbeda. Model ini ditetapkan oleh beberapa Negara seperti Amerika Serikat dan Republik Rakyat China.

2. Twin Peak Supervisory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang dilakukan oleh dua otoritas utama yang pembagiannya didasarkan pada aspek prudential dan aspek market conduct. Dalam model ini lembaga keuangan prudensial seperti bank dan peruahaan asuransi berada dalam satu jurisdiksi pengaturan dan pengawasan tersediri, sedangkan perusahaan efek dan lembaga keuangan lainnya serta seluruh produk -produk jasa keuangan berada dalam satu jurusdiksi pengaturan dan pengawasan

49

Ibid

50


(35)

tersendiri pula. Model ini diterapkan oleh Negara -Negara seperti Autralia dan Canada.

3. Unified Supervisory Model, yaitu pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh otoritas yang terintegrasi di bawah satu lembaga atau bandan yang memiliki otoritas pengaturan dan pengawasan terhadap seluruh sektor jasa keuangan mencakup perbankan, pasar modal, asuransi, dan lembaga keuangan lainnya. Yang pertama menerapkan model ini adalah Norwegia Tahun 1986. Sampai saat ini sudah di terapkan lebih dari 30 Negara seperti, Inggris, Jepang, Korea Selatan dan Jerman.

Pengalaman krisis perbankan yang pernah terjadi di Indonesia serta struktur dan sistem keuangan yang saat ini berlaku, maka model pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan yang sangat sesuai dengan Indonesia adalah Unified Supervisory Model, yaitu suatu sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi di dalam suatu lembaga tunggal yang disebut OJK.51

Mempertimbangkan berbagai latar belakang tersebut, maka dipandang perlu untuk melakukan penataan kembali struktur pengorganisasian dari lembaga-lembaga yang melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di Sektor Jasa Keuangan. Diharapkan nantinya kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselengara secara lebih teratur, adil, transparan, dan akuntabel, mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil, dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.52

51

Ibid

52


(36)

B. Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Sektor Jasa Keuangan

Lahirnya UU OJK yang berlaku tanggal 22 November 2011, pengawasan jasa keuangan di indonesia berubah yang pada awalnya dilakukan oleh beberapa lembaga menjadi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga tunggal, yaitu OJK. Pasal 5 UU OJK menyatakan, bahwa OJK berfungsi menyelenggarakan sisitem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.53

Memang secara teoritis, terdapat dua aliran (school of thought) dalam hal pengawasan lembaga keuangan. Di satu pihak terdapat aliran yang mengatakan bahwa pengawasan industri keuangan sebaiknya dilakukan oleh institusi tunggal. Di pihak lain ada aliran yang berpendapat pengawasan industri keuangan lebih tepat apabila dilakukan oleh beberapa lembaga.54

Secara umum, regulasi atau pengaturan OJK harus meliputi beberapa sasaran yaitu melindungi investor untuk membangun kepercayaan terhadap pasar, memastikan bahwa pasar yang terbentuk adalah pasar yang fair, efisien, dan transparan, mengurangi risiko sistemik, melindungi lembaga keuangan dari penyalahgunaan atau malpraktek dari konsumen (seperti money laundering).55Untuk melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan di sektor

53 Bismar Nasution, “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan : Kajian Terhadap Independensi dan Pengintegrasian Pengawasan Lembaga Keuangan”, (Medan : disampaikan pada Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Era Baru Pengawasan Sektor Jasa Keuangan yang Terintegrasi, 8 juni 2012), hlm 3.

54

Ibid.

55


(37)

Perbankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a, OJK mempunyai wewenang yang diatur dalam Pasal 7 :

1. Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan bank yang meliputi: a. Perizinan untuk pendirian bank, pembukaan kantor bank, anggaran dasar,

rencana kerja, kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia, merger, konsolidasi dan akuisisi bank, serta pencabutan izin usaha bank; dan

b. kegiatan usaha bank, antara lain sumber dana, penyediaan dana, produk hibridasi, dan aktivitas di bidang jasa.

2. Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi:

a. likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum,batasmaksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank;

b. laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; c. sistem informasi debitur;

d. sistem informasi debitur;

e. pengujian kredit (credit testing); dan f. standar akuntansi bank.

3. Pengaturan dan pengawasan mengenai aspek kehati-hatian bank, meliputi: a. manajemen risiko;

b. tata kelola bank;

c. prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang;


(38)

e. pemeriksaan bank.

Pelaksanaan tugas pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6,OJK mempunyai wewenang yang diatur dalam Pasal 8 UU OJK:

1. menetapkan peraturan pelaksanaan UU OJK;

2. menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; 3. menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

4. menetapkan peraturanmengenai pengawasan di sektor jasa keuangan; 5. menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

6. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap lembaga jasa keuangan dan pihak tertentu;

7. menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola statuter pada lembaga jasa keuangan;

8. menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara,dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; dan

9. menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, OJK mempunyai wewenang yang diatur dalam Pasal 9 UU OJK :

1. menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

2. mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif;


(39)

3. melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

4. memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;

5. melakukan penunjukan pengelola statuter; 6. menetapkanpenggunaan pengelola statuter;

7. menetapkansanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadapperaturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

8. memberikan dan/atau mencabut: a. izin usaha;

b. izin orang perseorangan;

c. efektifnya pernyataan pendaftaran; d. surat tanda terdaftar;

e. persetujuan melakukan kegiatan usaha; f. pengesahan;

g. persetujuan atau penetapan pembubaran; dan

h. penetapan lain,sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Ketentuan pengawasan lembaga jasa keuangan oleh OJK harus dilakukan secara terintegrasi atau kesatuan dengan baik, agar berjalan sejalan dengan filosofi UU OJK. UU OJK harus dapat membuat prediksi ( predictability), yaitu apakah


(40)

nantinya dapat memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi industri jasa keuangan terutama dampak dari struktur pengawasan pada aspek kesehatan sistem lembaga jasa keuangan yang meliputi keselamatan dan kesehatan lembaga jasa keuangan, stabilitas sistemik dan pengembangan lembaga jasa keuangan. Hal ini penting mengingat pengaturan dan pengawasan lembaga jasa keuangan merupakan satu kesatuan dari sistem lembaga jasa keuangan.56Otoritas Jasa Keuangan dalam melaksankan tugas dan wewenang pengaturan serta pengawasan berlandaskan asas-asas sebagai berikut:57

1. asas indenpendensi, yakni indenpenden dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang OJK, dengan tetap sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2. asas kepastian hukum, yakni asas dalam Negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelengaraan OJK;

3. asas kepastian umum, yakni asas yang membela dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat serta memajukan kesejahteraan umum;

4. asas keterbukaan,yakni asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan OJK, dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi dan golongan, serta rahasia Negara , termasuk rahasia sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

56

Bismar Nasution,Op.Cit.,hlm. 6.

57


(41)

5. asas profesionalitas, yakni asas yang mengutamakan keahlian dalam pelaksanaan tugas dan wewenang OJK, dengan tetap berlandaskan pada kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

6. asas integritas, yakni asas yang berpegang teguh pada nilai-nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambil dalam penyelenggaraan OJK; dan 7. asas akuntabilitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil

akhir dari setiap kegiatan penyelenggaraan OJK harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik.

Sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola dan asas-asas di atas, OJK harus memiliki struktur dengan prinsip “checks and balances”. Hal ini diwujudkan dengan melakukan pemisahan yang jelas antara fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan serta pengawasan.58

C. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan dengan Lembaga Keuangan 1. Hubungan otoritas jasa keuangan dengan Bank Indonesia

Secara lebih spesifik bank dapat berfungsi sebagai agent of trust, agent of development, dan agent of service.59Berkaitan dengan fungsi tersebut terintegrasi peraturan penting dalam kaitannya terpisahnya antara pengawasan microprundentia dengan pengawasan macroprudential sebagaimana diatur Pasal 7 UU OJK yang menetapkan bahwa pengawasan microprudential difokuskan pada kesehatan individu bank dengan melakukan analisis kesehatan neraca bank khususnya terkait dengan kecukupan modal dalam menghadapi siklus usaha.

58

Ibid

59

Totok Budisantoso dan Nuritomo, Bank dan Lembaga keuangan Lain (Jakarta: Salemba Empat, 2014), hlm. 9.


(42)

Tujuan pemgawasan microprudential adalah melindungi nasabah dan menurunkan ancaman efek menular kebangkrutan bank terhadap perekonomian. Sedangkan pengawasan perilaku bisnis terkait dengan perilaku bank terhadap nasabahnya lebih difokuskan pada perlindungan konsumen melalui keterbukaan informasi, kejujuran, intergritas dan praktik bisnis yang adil.60

Pengaturan dan pengawasan macroprudential merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia, peran OJK adalah membantu BI untuk melakukan himbauan moral kepada industri perbankan.61Keterikatan antara kebijakan macroprudential dengan kebijakan microprudential, disadari oleh pembuat undang-undang. Hal ini dapat dilihat dari pengaturan yang terdapat pada Pasal 39 UU OJK yang menetapkan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya, OJK berkordinasi dengan BI dalam membuat peraturan pengawasan di bidang perbankan antara lain :62

a. Kewajiban pemenuhan modal minimum bank; b. Sistem informasi perbankan yang terpadu;

c. Kebijakan penerimaan dana dari luar negeri, penerimaan dana valuta asing, dan pinjaman komersial luar negeri;

d. Produk perbankan, transaksi derivatif, kegiatan usaha bank lainnya, antara lain kartu kredit, kartu debet dan internet banking;

e. Penentuan institusi bank yang masuk kategori systemicallyimportant bank; dan

f. Data lain yang dikecualikan dari ketentuan tentang kerahasiaan informasi

60

Zulkarnain Sitompul,Op.Cit.,hlm 8.

61

Ibid.

62


(43)

Pasal 40 dan Pasal 41 UU OJK disebutkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap bank dengan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis terlebih dahulu kepada OJK, tetapi dalam pemeriksaan tersebut Bank Indonesia tidak dapat memberikan penilaian terhdap tingkat kesehatan bank. Laporan hasil pemeriksaan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia tersebut disampaikan kepada OJK, kemudian Otoritas Jasa Keuangan Menginformasikan, kepada Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengenai bank bermasalah yang sedang dalam upaya penyehatan oleh OJK. Apabila bank tersebut mengalami kesulitan likuidasi dan/atau kondisi kesehatan semangkin memburuk, OJK segera menginformasikan ke Bank Indonesia untuk melakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia.63

Sebagai lembaga yang ditetapkan bertugas sebagai dan berwenang di bidang pengaturan dan pengawasan macroprudential berarti BI adalah sistemik regulator yang bertanggungjawab meningkatkan stabilitas sistem keuangan. Meskipun disadari bahwa stabilitas sistem keuangan bukan hanya tanggung jawab bank sentral. Oleh karena itu, dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, BI bersama-sama dengan Kementrian Keuangan, OJK dan LPS tergabung dalam Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK).64

2. Hubungan OJK dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Badan Pemeriksa Keuangan akan mengoptimalkan perannya dalam melaksanakan pemeriksaan yang relevan dengan kebutuhan. Badan Pemeriksa Keuangan juga akan melakukan komunikasi yang konstruktif dengan pengawas

63

Andrian Sutedi, Op.Cit.,hlm.278.

64


(44)

internal BPJS (dewan pengawas dan SPI), pengawas eksternal (Dewan Jaminan Sosial Nasional dan Otoritas Jasa Keuangan), serta instansi terkait lainnya dalam hal ini membangun tata kelola keuangan yang baik, tentunya dengan memperhatikan posisi strategis Badan Pemeriksa Keuangan.65

Akuntabilitas perencanaan dan penggunaan anggaran wajib terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari DPRD. Dalam hal akuntabilitas pelaksanaan tugas, OJK wajib menyusun laporan yang terdiri atas laporan kegiatan secara berkala kepada Presiden dan DPR. Selain laporan kegiatan, OJK juga diwajibkan menyusun laporan keuangan tahunan yang diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Kantor Akuntan Publik yang ditunjuk oleh BPK.66

3. Hubungan OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) didirikan dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan. LPS memiliki dua fungsi yaitu menjamin dana nasabah penyimpanan pada industri perbankan dan turut menjaga stabilitas sistem perbankan. Untuk mengefektifkan peran dan fungsi LPS, UU OJK menetapkan pengaturan hubungan antara OJK dengan LPS dengan memberikan kewenangan lebih luas kepada LPS yaitu dengan menetapkan Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai anggota FKSSK (Forum Kordinasi Stabilitas Sistem Keuangan).67

Monitoring dan evaluasi terhadap stabilitas sistem keuangan akan menjadi bidang kerja dari Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Forum ini akan memformulasikan serta mengimplementasikan kebijakan-kebijakan untuk

65

Ibid, hlm. 279.

66

Ibid, hlm.279.

67


(45)

mencegah serta menyelesaikan krisis/masalah sistem keuangan. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, forum ini mengkomunikasikan temuannya kepada institusi lainnya. Terkait dengan Pasal 63 ayat (3), Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) akan mengambil alih kewenangan, tugas dan fungsi Komite Koordinasi sebagaimana termuat di dalam UU LPS.68

Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan juga menetapkan bahwa LPS dapat melakukan pemeriksaan terhadap bank terkait dengan fungsi, tugas dan wewenang LPS sebagai lembaga yang menjamin simpanan masyarakat dan turut menjaga stabilitas sistem perbankan.Lingkup pemeriksaan yang dapat dilakukan LPS meliputi pemeriksaan premi, posisi simpanan bank tingkat bunga, kredit macet dan tercatat, bank bermasalah, kualitas asset serta kejahatan di sektor perbankan.69 Otoritas Jasa Keuangan wajib memberikan informasi berkala kepada Lembaga Penjamin Simpanan mengenai laporan keuangan bank yang telah diaudit, hasil pemeriksaan bank dan kondisi kesehatan keuangan bank yang diatur dalam Pasal 38 ayat (2) UU OJK. Berdasarkan uraian diatas, maka hubungan Koordinasi dan kerja sama OJK, Bank Indonesia dan LPS serta lembaga lainnya dapat di simpulkan sebagai berikut :70

a. Otoritas Jasa keuangan, Bank Indonesia, dan LPS membangun dan memelihara sarana pertukaran informasi secara terintegrasi.

68

Nova Asmirawati, Catatan Singkat Terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Jurnal Legislasi Indonesia , Volume 9, Nomor3, Oktober 2012, hlm. 454.

69

Zulkarnail Sitompul,Op.Cit.,hlm. 16.

70Abdul Hanan, “Tugas, Wewenang dan Kedudukan OJK” (Medan : disampaikan pada

seminar Hukum dalam rangka meningkatkan pemahaman atas peran dan tujuan Otoritas Jasa Keuangan , 14 November 2013), hlm.3.


(46)

b. Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan LPS berbagi seluruh informasi tentang perbankan (tirnely basis) dengan menjaga kerahasian. c. Otoritas Jasa keuangan, Bank Indonesia, dan LPS bekerja samadalam

kegiatan pemeriksaan bank.

d. Otoritas Jasa Keuangan segera menginformasikan ke Bank Indonesia terhadap bank yang mengalami kesulitan keuangan likuidasi atau kondisi memburuk untuk dilakukan langkah-langkah sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia (lender of last resort).

e. Otoritas Jasa Keuangan, Kementrian Keuangan, Bank Indonesia dan LPS bekerja sama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan dan dalam pencegahan serta penanganan krisis.

f. Otoritas Jasa Keuangan bekerja sama dan berkoordinasi dengan instansi lain, termasuk penegakan hukum dalam rangka penyidikan dan perlindungan konsumen.

g. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja dan berkoordinasi dengan instansi lain nasional maupun internasional berdasarkan asas timbal balik yang seimbang.

4. Posisi OJK dalam ketataNegara an

Undang- undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa keuangan mendefenisikan OJK sebagai lembaga yang independen bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan. Secara kelembagaan OJK berada di luar pemerintah, yang dimaknai bahwa OJK tidak menjadi bagian dari kekuasaan


(47)

pemerintah, meskipun OJK berada di luar pemerintah, namun tidak menutup kemungkinan adanya unsur-unsur perwakulan pemerintah karena hahekatnya OJK merupakan Otoritas Jasa keuangan yang mempunyai relasi dan keterkaitan dengan otoritas lain, dalam hal fiskal dan moneter.71

Pernyataan Kementerian Sekretariat Negara (Melalui Surat Kementrian Sekretariat Negara Kepada Dewan Komisioner OJK Nomor B-61/Kemensetneg/D-2/KN.01.00/01/3013 tanggal 21 Januari 2013 yang menyatakan bahwa :

“Meskipun tidak diatur secara khusus bahwa OJK merupakan lembaga Negara , akan tetapi karena menjalankan tugas dan fungsi Negara , dapat dimaknai bahwa OJK merupakan Lembaga Negara ”.

Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan tugas dan fungsi Negara yang terbagi atas, menjalankan fungsi-fungsi pembuatan dan pelaksanaan norma hukum (law-creating function and law-applying function), melaksanakan fungsi-fungsi yang berkaitan dengan tugas dan fungsi-fungsi Negara dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.Sehingga OJK merupakan Lembaga Negara yang bersifat constitutional importance, dalam hal ini indirect constitusional. Dalam hubungannya koordinasi OJK dengan Lembaga Keuangan Laiannya hal yang menjadi penting untuk di perhatikan adalah indenpendensi dan transparansi sehingga tujuan pembentuakan OJK dapat tercapai.72

1. Indenpendensi

71

Ibid.

72


(48)

Otoritas pengawas lembaga jasa keuangan membutuhkan indenpendensi, baik dari pemerintahan maupun dari industri yang diawasi, sehingga tujuan OJK untuk memastikan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel dapat tercapai. Pasal 2 UU OJK menetapkan bahwa OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya serta bebas campur tangan pihak lain. Pentingnya independensi bagi otoritas pengawas jasa keuangan karna dual hal. Pertama, hampir semua krisis keuangan yang terjadi pada tahun 1990an diakibatkan oleh pengaruh politik. Lemah dan tidak efektifnya regulasi seringkali disebabkan campur tangan politik. Kedua, dialihkannya kewenangan pengawasan dari bank sentral. Bank sentral selama ini telah mendapat independensi sehingga dengan dialihkannya pengawasan dari bank sentral isu independensi muncul kembali. Indenpendensi regulasi dimaksudkan sebagai kemampuan dari lembaga pengawas memperoleh suatu tingkatan ekonomi dalam menetapkan peraturan teknis yang mengatur industri yang diawasinya sesuai dengan undang-undang yang berlaku.73

2. Transparansi

Transparansi adalah fitur utama pemerintahan demokratis. Transparansi dapat mengurangi kekuasaan kelompok penekan dan memberikan kesempatan luas kepada publik memantau proses pengambilan keputusan, Transparansi meliput pemberian informasi kepada publik oleh pembuat kebijakan tentang rencana kebijakan yang akan diambil dan implikasi kebijakan tersebut bagi

73 Julkarnain Sitompul, “konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa keuangan,”Jurnal


(49)

masyarakat, kemampuan masyarakat atau pihak yang akan diatur untuk mengajukan tanggapan baik lisan maupun secara tertulis tentang usulan kebijakan, informasi yang diberikan oleh pembuat kebijakan tentang proses penetapan kebijakan dan kebijakan yang diputuskan dapat diakses oleh publik.74

Esensi dari transparansi adalah pada proses pembuatan kebijakan sehingga transparansi dapat meningkatkan rasionalitas keputusan karena transparansi memberikan kesempatan kepada beragam pihak untuk memberi masukan kepada pembuatan kebijakan.75

74

Ibid,hlm. 349.

75


(50)

BAB III

KEBERADAAN SUMBER KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERKAIT DENGAN FUNGSI OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI

PENGAWAS LEMBAGA KEUANGAN

A.Bentuk Penerimaan sebagai Sumber Keuangan Otoritas Jasa Keuangan Sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan adalah lembaga jasa keuangan dan/atau orang perorangan atau badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.76

Sehubungan dengan pengaturan secara konstitusional terhadap anggaran, dalam hal ini adalah APBN Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 19945 menyatakan :77

1. APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan PDP.

3. Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu.

Penganggaran APBN, untuk pendanaan operasional OJK dilakukan dengan mekanisme penyusunan APBN secara umum yang berkoordinasi dengan

76

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, penjelasan Pasal 37.

77


(51)

Kementerian Keuangan, melalui penyusunan pagu indikatif, pagu anggaran sementara, dan pagu alokasi anggaran untuk selanjutnya memperoleh persetujuan DPR.78 Pagu adalah batas tertinggi atas sesuatu, seperti batas tertinggi pemberian kredit, penetapan bunga deposito dan batas harga nilai tukar mata uang asing; plafon (ceiling; cap).79OJK memerlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.80

Selain anggaran yang diperoleh dari APBN, Pasal 37 UU OJK mengatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. Dalam penjelasan Pasal 37 tersebut dinyatakan bahwa pembiayaan kegiatan Otoritas Jasa Keuangan sewajarnya dibiayai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Berkaitan dengan anggaran OJK ditentukan sebagai berikut:81

1. OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan disektor jasa keuangan.

2. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK.

78

Zulkarnain Sitompul, Op.Cit., hlm. 17.

79

http://www.ojk.go.id/pedia (diakses tanggal 15 juni 2015)

80

Ibid ,hlm. 16.

81

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 2 dan Bab III Pasal 3.


(52)

4. OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.

5. Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke kas Negara .Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan pemerintah.

Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK.82Penerimaan pungutan biaya tahunan pada tahun berjalan telah cukup untuk memenuhi kebutuhan rencana kerja dan anggaran OJK tahun berikutnya yeng telah disetujui DPR. Maka OJK mengenakan tarif 0% pada sisa tahun berjalan, sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) POJK Nomor 3 Tahun 2014.

Diamati dari ketentuan Pasal 37 UU OJK tersebut, maka OJK dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada kesediaan anggaran yang berasal dari APBN, sehingga dapat mengurangi intervensi terhadap OJK. Karena akuntabilitas diperlukan OJK untuk meletigimasi tindakannya atas dasar kewenangan yang diberikan. Integritas direfleksikan dalam mekanisme yang mensyaratkan karyawan lembaga dalam mencapai tujuan organisasi tanpa menjadi takut terhadap intervensi.83

Aspek keadilan dalam pembiyaan OJK merupakan salah satu aspek filosofis yang dipertimbangkan, dalam arti pembiayaan secara adil harus

82

Ibid.

83


(53)

dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK.84

Pengenaan pungutan kepada industri jasa keuangan ini tentunya menjadi hal penting bagi OJK untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sesuai amanah UU. Pengenaan pungutan ini jelas bertujuan untuk mendorong dan memajukan industri jasa keuangan nasional dan bukan untuk sebaliknya.85Praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya dengan adanya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan :

1. Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencabutan Efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang diberikan.

2. Biaya dan Iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek.

Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam UU LPS khususnya pada bagian ketiga mengenai premi. Oleh karena itu, pungutan, iuran atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia. Namun demikian, pembiayaan OJK yang bersumber dari APBN tetap diperlukan untuk memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasional secara mandiri, antara lain pada masa awal pembentukan OJK.86

84

Zulkarnail Sitompul, Op.Cit., hlm. 17.

85

Siaran pers: Aturan Pelaksanaan Pungutan OJK,http://www.ojk.go.id/siaran-pers-aturan-pelaksanaan-pungutan-ojk (diakses tanggal 16 Mei 2015).

86


(1)

B.Saran

Adapun saran-saran yang dapat diberikan terkait dengan penulisan skripsi ini adalah:

1. Regulasi atau pengaturan OJK harus melindungi investor untuk membangun kepercayaan terhadap pasar, memastikan bahwa pasar yang terbentuk adalah pasar yang fair, efisien, dan transparan, mengurangi risiko sistemik, dan melindungi lembaga keuangan dari penyalahgunaan atau malpraktek dari konsumen (seperti money laundering), guna mencapai sasaran tersebut perlunya dilakukan amandemen terhadap Peraturan-perundangan di sektor jasa keuangan.

2. Sebagai lembaga otoritas yang memperoleh dana dari APBN dan pungutan terhadap Lembaga Keuangan yang diawasinya, OJK dapat mengurangi intervensi dari pemerintah maupun indutri, sebab terdapat kombinasi pungutan dan APBN sebagai sumber penerimaan, dihawatirkan bila sumber dana hanya berasal dari pungatan atau APBN saja dapat mempengaruhi OJK dalam membuat kebijakan, akibat intervensi yang dilakukan pemerintah maupun industry.

3. Terhadap wajib bayar yang sedang mengalami kesulitan keuangan atau Kepailitan, hendaknya OJK dengan kewenangannya dapat langsung melakukan analisa tanpa harus menunggu pengajuan permohonan, sebab telah ada putusan permohonan pernyataan pailit sebagai indikasi awal wajib bayar sedang mengalami kesulitan keuangan. Sehingga pengurangan pungutan


(2)

sampai dengan 0% dapat langsung diterapkan agar tidak semangkin mempersulit keuangan wajib bayar tersebut.


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2006.

Umar, Husein. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2005.

Imaniyati, Neni Sri. Pengantar hukum Perbankan Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama, 2010.

Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan lainnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.

Irmayanto, July dkk. Bank dan lembaga keuangan. Jakarta: Universitas Trisaksi, 2002.

Pandia, Frianto, Elly Santi Ompusunggu dan Achmad Abror, Lembaga keuangan. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Budisantoso, Totok dan Nuritomo. Bank dan Lembaga keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat, 2014.

Tjandra,W.Riawan. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: PT. Grasindo, 2013. Sunarmi. hukum kepailitan,edisi 2. Medan: PT. Sofmedia,2010.

Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafitia, 2002.

Sinaga, Syamsudin M. Hukum Kepailitan Indonesia. Jakarta: PT. Tatanusa,2010. Sutedi, Adrian. Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta: Raih Asa Sukses,

2014.

Irawan, Bagus. Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dsn Asuransi. Bandung: PT. Alumni, 2007.

Jono. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Nurdin, Andriani. Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum. Bandung: P.T Alumni, 2012.


(4)

Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan. Malang: Universitas Muhammadyah, 2007. Sembiring, Sentosa. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan

yang Terkait dengan Kepailitan. Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2006. Saidi, Muhammad. Hukum Keuangan Negara. Makasar: PT Rajagrafindo

Persada, 2008.

B. Peraturan

Republik Indonesia Undang –Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-republik Indonesia, Undang-Undangn Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Republik Indonesia, Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan Otoritas Jasa Keuangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU

Republik Indonesia, Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

Republik Indonesia, Peraturan OJK No. 3 Tahun 2014 tentang Tata cara Pelaksanaan Pungutan oleh OJK

Republik Indonesia, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mekanisme Pembayaran Pungutan OJK.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.


(5)

C. Makalah

Bismar Nasution, “OJK Sebagai Suatu Sistem Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi,” Medan: Makalah disampaikan pada Seminar tentang Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan untuk mewujudkan perkonomian nasional yang berkelanjutan dan stabil, 25 November 2014.

Zulkarnain Sitompul, “Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan,” Medan: Makalah disampaikan pada Seminar tentang Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan untuk mewujudkan perkonomian nasional yang berkelanjutan dan stabil, 25 November 2014. Bismar Nasution, “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan : Kajian Terhadap Independensi dan Pengintegrasian Pengawasan Lembaga Keuangan,” Medan : Disampaikan pada Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Era Baru Pengawasan Sektor Jasa Keuangan yang Terintegrasi, 8 juni 2012.

Bismar Nasution, “Keberadan Pungutan Otoritas jasa Keuangan untuk pelaksaan tugas, fungsi dan wewenangnya secara independen,” Medan : Disampaikan pada seminar pungutan oleh OJK dalam mendukung fungsi dan tugas OJK secara independen dan professional, 14 April 2014.

D. Jurnal

Asmirawati, Nova. “Catatan Singkat Terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.” Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9 No.3. Oktober 2012.

Sitompul, Julkarnain. “Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa keuangan.” Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9 No.3.Oktober 2012.

Pakpahan, Rudy hendra. “Akibat Hukum Dibentuknya lembaga Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Lemabaga Keuangan Di Indonesia,” Jurnal legislasi Indonesia, Volume. 9 No. 3. oktober 2012.

E. Website

http://finansial.bisnis.com/read/20150423/90/426411/iuran-ojk-lebih-baik-dihapus (diakses tanggal 13 Juni 2015).

“Otoritas Jasa Keuangan.” https://id.wikipedia.org/wiki/Otoritas_Jasa_Keuangan (diakses tanggal15 Juni 2015).


(6)

Sulaiman, Alfin. “Hubungan OJK Terhadap Prosedur Kepailitan Perbankan dan IndustriKeuangan.”http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52dfe654

d9902/hubungan-ojk-terhadap-prosedur-kepailitan-perbankan-dan-industri-keuangan (diakses tanggal 15 Juni 2015).

Siaran pers. “Aturan Pelaksanaan Pungutan OJK.” http://www.ojk.go.id/siaran-pers-aturan-pelaksanaan-pungutan-ojk (diakses tanggal 16 Mei 2015). http://malang