Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat Dari Kepailitan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Amiruddin dan H. Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 2006.

Umar, Husein. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Imaniyati, Neni Sri. Pengantar hukum Perbankan Indonesia. Bandung: PT. Refika Aditama, 2010.

Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan lainnya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011.

Irmayanto, July dkk. Bank dan lembaga keuangan. Jakarta: Universitas Trisaksi, 2002.

Pandia, Frianto, Elly Santi Ompusunggu dan Achmad Abror, Lembaga keuangan. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Budisantoso, Totok dan Nuritomo. Bank dan Lembaga keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat, 2014.

Tjandra,W.Riawan. Hukum Keuangan Negara. Jakarta: PT. Grasindo, 2013. Sunarmi. hukum kepailitan,edisi 2. Medan: PT. Sofmedia,2010.

Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37

Tahun 2004 tentang Kepailitan. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafitia,

2002.

Sinaga, Syamsudin M. Hukum Kepailitan Indonesia. Jakarta: PT. Tatanusa,2010. Sutedi, Adrian. Aspek Hukum Otoritas Jasa Keuangan. Jakarta: Raih Asa Sukses,

2014.

Irawan, Bagus. Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dsn Asuransi. Bandung: PT. Alumni, 2007.

Jono. Hukum Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Nurdin, Andriani. Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian


(2)

Hartini, Rahayu. Hukum Kepailitan. Malang: Universitas Muhammadyah, 2007. Sembiring, Sentosa. Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan

yang Terkait dengan Kepailitan. Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2006.

Saidi, Muhammad. Hukum Keuangan Negara. Makasar: PT Rajagrafindo Persada, 2008.

B. Peraturan

Republik Indonesia Undang –Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-republik Indonesia, Undang-Undangn Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

Republik Indonesia, Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2014 tentang Pungutan Otoritas Jasa Keuangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU

Republik Indonesia, Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian

Republik Indonesia, Peraturan OJK No. 3 Tahun 2014 tentang Tata cara Pelaksanaan Pungutan oleh OJK

Republik Indonesia, Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mekanisme Pembayaran Pungutan OJK.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa.


(3)

C. Makalah

Bismar Nasution, “OJK Sebagai Suatu Sistem Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi,” Medan: Makalah disampaikan pada Seminar tentang Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan untuk mewujudkan perkonomian nasional yang berkelanjutan dan stabil, 25 November 2014.

Zulkarnain Sitompul, “Fungsi dan Tugas Otoritas Jasa Keuangan Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan,” Medan: Makalah disampaikan pada Seminar tentang Keberadaan Otoritas Jasa Keuangan untuk mewujudkan perkonomian nasional yang berkelanjutan dan stabil, 25 November 2014. Bismar Nasution, “Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa

Keuangan : Kajian Terhadap Independensi dan Pengintegrasian Pengawasan Lembaga Keuangan,” Medan : Disampaikan pada Sosialisasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Era Baru Pengawasan Sektor Jasa Keuangan yang Terintegrasi, 8 juni 2012.

Bismar Nasution, “Keberadan Pungutan Otoritas jasa Keuangan untuk pelaksaan tugas, fungsi dan wewenangnya secara independen,” Medan : Disampaikan pada seminar pungutan oleh OJK dalam mendukung fungsi dan tugas OJK secara independen dan professional, 14 April 2014.

D. Jurnal

Asmirawati, Nova. “Catatan Singkat Terhadap Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.” Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9 No.3. Oktober 2012.

Sitompul, Julkarnain. “Konsepsi dan Transformasi Otoritas Jasa keuangan.”

Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 9 No.3.Oktober 2012.

Pakpahan, Rudy hendra. “Akibat Hukum Dibentuknya lembaga Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Pengawasan Lemabaga Keuangan Di Indonesia,”

Jurnal legislasi Indonesia, Volume. 9 No. 3. oktober 2012.

E. Website

http://finansial.bisnis.com/read/20150423/90/426411/iuran-ojk-lebih-baik-dihapus (diakses tanggal 13 Juni 2015).

“Otoritas Jasa Keuangan.” https://id.wikipedia.org/wiki/Otoritas_Jasa_Keuangan (diakses tanggal15 Juni 2015).


(4)

Sulaiman, Alfin. “Hubungan OJK Terhadap Prosedur Kepailitan Perbankan dan IndustriKeuangan.”http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52dfe654 d9902/hubungan-ojk-terhadap-prosedur-kepailitan-perbankan-dan-industri-keuangan (diakses tanggal 15 Juni 2015).

Siaran pers. “Aturan Pelaksanaan Pungutan OJK.” http://www.ojk.go.id/siaran-pers-aturan-pelaksanaan-pungutan-ojk (diakses tanggal 16 Mei 2015). http://malang


(5)

BAB III

KEBERADAAN SUMBER KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERKAIT DENGAN FUNGSI OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI

PENGAWAS LEMBAGA KEUANGAN

A.Bentuk Penerimaan sebagai Sumber Keuangan Otoritas Jasa Keuangan

Sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) UU OJK, anggaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/ atau pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan adalah lembaga jasa keuangan dan/atau orang perorangan atau badan yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan.76

Sehubungan dengan pengaturan secara konstitusional terhadap anggaran, dalam hal ini adalah APBN Pasal 23 Undang-Undang Dasar Tahun 19945 menyatakan :77

1. APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. RUU APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan PDP.

3. Apabila DPR tidak menyetujui R-APBN yang diusulkan oleh Presiden, pemerintah menjalankan APBN tahun yang lalu.

Penganggaran APBN, untuk pendanaan operasional OJK dilakukan dengan mekanisme penyusunan APBN secara umum yang berkoordinasi dengan

76Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan, penjelasan Pasal 37.

77


(6)

Kementerian Keuangan, melalui penyusunan pagu indikatif, pagu anggaran sementara, dan pagu alokasi anggaran untuk selanjutnya memperoleh persetujuan DPR.78 Pagu adalah batas tertinggi atas sesuatu, seperti batas tertinggi pemberian kredit, penetapan bunga deposito dan batas harga nilai tukar mata uang asing; plafon (ceiling; cap).79OJK memerlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur yang menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.80

Selain anggaran yang diperoleh dari APBN, Pasal 37 UU OJK mengatur bahwa OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dan pungutan tersebut merupakan penerimaan OJK. Dalam penjelasan Pasal 37 tersebut dinyatakan bahwa pembiayaan kegiatan Otoritas Jasa Keuangan sewajarnya dibiayai secara mandiri yang pendanaannya bersumber dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Berkaitan dengan anggaran OJK ditentukan sebagai berikut:81

1. OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan disektor jasa keuangan.

2. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK.

78Zulkarnain Sitompul, Op.Cit., hlm. 17.

79http://www.ojk.go.id/pedia (diakses tanggal 15 juni 2015) 80Ibid ,hlm. 16.

81Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 2 dan Bab III Pasal 3.


(7)

4. OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.

5. Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke kas Negara .Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan pemerintah.

Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK.82Penerimaan pungutan biaya tahunan pada tahun berjalan telah cukup untuk memenuhi kebutuhan rencana kerja dan anggaran OJK tahun berikutnya yeng telah disetujui DPR. Maka OJK mengenakan tarif 0% pada sisa tahun berjalan, sesuai dengan Pasal 20 ayat (1) POJK Nomor 3 Tahun 2014.

Diamati dari ketentuan Pasal 37 UU OJK tersebut, maka OJK dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada kesediaan anggaran yang berasal dari APBN, sehingga dapat mengurangi intervensi terhadap OJK. Karena akuntabilitas diperlukan OJK untuk meletigimasi tindakannya atas dasar kewenangan yang diberikan. Integritas direfleksikan dalam mekanisme yang mensyaratkan karyawan lembaga dalam mencapai tujuan organisasi tanpa menjadi takut terhadap intervensi.83

Aspek keadilan dalam pembiyaan OJK merupakan salah satu aspek filosofis yang dipertimbangkan, dalam arti pembiayaan secara adil harus

82Ibid.

83


(8)

dibebankan kepada pihak yang secara langsung menerima manfaat dari efektifnya fungsi pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan oleh OJK.84

Pengenaan pungutan kepada industri jasa keuangan ini tentunya menjadi hal penting bagi OJK untuk menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sesuai amanah UU. Pengenaan pungutan ini jelas bertujuan untuk mendorong dan memajukan industri jasa keuangan nasional dan bukan untuk sebaliknya.85Praktik pungutan atau iuran dalam sistem hukum sektor jasa keuangan Indonesia juga telah dikenal sebelumnya dengan adanya Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang menyatakan :

1. Bursa Efek dapat menetapkan biaya pencabutan Efek, iuran keanggotaan, dan biaya transaksi berkenaan dengan jasa yang diberikan.

2. Biaya dan Iuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disesuaikan menurut kebutuhan pelaksanaan fungsi Bursa Efek.

Selain itu, pungutan, iuran atau premi juga dikenal di dalam UU LPS khususnya pada bagian ketiga mengenai premi. Oleh karena itu, pungutan, iuran atau premi yang dikenakan kepada para pelaku pasar merupakan praktik yang lazim dalam sistem hukum sektor jasa keuangan di Indonesia. Namun demikian, pembiayaan OJK yang bersumber dari APBN tetap diperlukan untuk memenuhi kebutuhan OJK pada saat pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di industri jasa keuangan belum dapat mendanai seluruh kegiatan operasional secara mandiri, antara lain pada masa awal pembentukan OJK.86

84 Zulkarnail Sitompul, Op.Cit., hlm. 17.

85Siaran pers: Aturan Pelaksanaan Pungutan OJK,http://www.ojk.go.id/siaran-pers-aturan-pelaksanaan-pungutan-ojk (diakses tanggal 16 Mei 2015).


(9)

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara , yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Pendekatan yang dipergunakan untuk merumuskan defenisi stipulatif keuangan negara adalah dari sisi objek, subjek, proses dan tujuan yang dapat dijelaskan sebagai berikut:87

1. Dari sisi objek, keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiscal, moneter dan pengelolaan keuangan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 2. Dari sisi subyek, keuangan negara meliputi seluruh objek sebagaimna tersebut

di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara .

3. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban.

87


(10)

4. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sdalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negera.

Selanjutnya, Pasal 2 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa keuangan negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 1 meluputi :

1. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

2. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

3. penerimaan negara ; 4. pengeluaran negara; 5. penerimaan daerah; 6. pengeluaran daerah;

7. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.

8. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka pennyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.

9. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.


(11)

Ruang lingkup keuangan negara tersebut di atas dikelompokan ke dalam tiga bidang pengelolaan yang bertujuan untuk memberikan pengklasifikasian terhadap pengelolaan keuangan negara. Yang meliputi bidang pengelolaan pajak , bidang pengelolaan moneter dan bidang pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.88

Pasal 37 ayat (3) UU OJK menyebutkan bahwa pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan adalah penerimaan OJK. Berdasarkan uraian diatas maka pungutan OJK yang berasal dari pungutan sebagaimana diatur dalam pasal 37 ayat (3) UU OJK adalah merupakan kekayaan negara yang dikelola sendiri oleh OJK dan merupakan lingkup dari keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 huruf (g) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dengan demikian, penerimaan OJK yang berdasar dari pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan merupakan lingkup dari keuangan negara. Hal ini sejalan dengan Pasal 23A UUD 1945 yang menyatakan bahwa pajak dari pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.89

Mempertimbangkan bahwa penerimaan OJK melalui pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan yang tekah diatur dengan UU OJK merupakan lingkup keuangan negara, maka penerimaan OJK melalui pungutan tersebut memiliki kekuatan yang sama dengan kewajiban pembayaran Pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan PNBP. Dengan

88Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara (Makasar: PT Rajagrafindo Persada, 2008), hlm.5.

89


(12)

demikian, setiap pembayaran atas pungutan oleh pihak-pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dihitung sebagai beban biaya usaha yang dapat mengurangi perhitungan pembayaran pajak sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.90

Pengaturan pungutan OJK sebagai mana diatur dalam UU OJK tersebut, telah diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan Oleh OJK. Untuk mendorong struktur regulasi independen, efisien dan efektif, memang perlu pungutan oleh OJK. APBN bagi OJK dapat diamati sebagai sebagai sumber pembiayaan sementara. Dengan itu, terdapat pengelolaan khusus keuangan OJK, sebagaimana dapat diamati dalam UU OJK dan PP No. 11 Tahun 2014. Pungutan itu dipraktekkan juga oleh otoritas pengawas industri jasa keuangan di negara-negara lain dan sudah meruapakan

international base practice.91

Pembiayaan kegiatan yang bersumber dari pungutan pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan ini di Indonesia bukan merupakan hal baru. Pembaiayaan kegiatan regulator di sektor jasa keuangan oleh industri jasa keuangan dalam bentuk pungutan adalah peraktek yang lazim dibanyak negara. Sebagai contoh, Office of the Comptroller of the Currency (OCC) di Amerika Serikat memungut biaya dari bank secara sementara yang didasarkan pada skala usaha bank sesuai dengan total asetnya. Selain itu terdapat tambahan pungutan dengan presentase tertentu sesuai dengan peringkat resiko bank. Selain hal

90

Ibid.hlm19.

91


(13)

tersebut diatas, OCC memperoleh pendapatan dari memproses aplikasi perusahaan investasi terutama pada US-Treasury, pungutan atas pemeriksaan khusus/ investigasi tertentu, pungutan atas perizinan, serta pendapatan lainnya dari kegiatan seminar, penjuaan publikasi dan sebagainya.92

Tidak terlalu berbeda dengan OCC di Amerika Serikat, Office Of

Superintendent Of Financial Institute (OSFI) di kanada memiliki pendanaan

bersumber dari pungutan atas penilaian terhadap lembaga keuangan yang diperhitungkan baik berbasis total aset, berbasis premi, maupun berbasis keanggotaan.93

Financial Service Supervisory (FSS) Korea Selatan memperoleh

pendanaan dari supervisory fee, yaitu pungutan yang dikenakan kepada lembaga keuangan sehubungan dengan kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh FSS. Selain supervisory fee, FSS juga memungut issuer regulatory fee yaitu pungutan yang dikenakan kepada emiten sehubungan dengan pengajuan perizinan kepada FSC-Korea sesuai dengan exchange act (capital market).94

Selain contoh diatas, terdapat banyak contoh negara yang pembiayaan otoritas jasa keuangannya sepenuhnya dilakukan melalui pungutan dari indutri, misalnya Australia, Singapura, Belgia, Bolivia, Bosnia, Ekuador, Jerman, Hungaria, Islandia, Latvia, Norwegia, Luxemburg, Malta, Meksiko, Panama, Swedia, Peru, Swiss, Turki dan Inggris.95

92

Zulkarnail Sitompul,Op.Cit., hlm. 19. 93Ibid,hlm. 19-20.

94Ibid. 95


(14)

Terdapat juga regulator di beberapa negara yang kegiatannya dibiayai oleh indutri dan anggaran negara, misalnya Austria, El-Salvador, Guatelama, Nikaragua, dan Venezuela. Sedangkan regulator yang sepenugnya dibiayai oleh negara antara lain Cili, Cina, Costa Rica, Kazakhstan, Libanon, Jepang dan Uruguay.96

B.Mekanisme Pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan

Sebagai pelaksanaan dari amanat Pasal 37 ayat (6) UU OJK, telah ditetapkan PP No. 11 Tahun 2014 yang mengatur mengenai pungutan OJK kepada Wajib Bayar yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, yang antara lain mencakup tata cara penetapan, penggunaan, jenis, besaran, waktu penagihan dan pembayaran pungutan, dan sanksi denda. Penetapan besaran pungutan tersebut dilakukan dengan tetap memperhatikan kemampuan Wajib Bayar yang melakukan kegiatan di Sektor Jasa Keuangan serta kebutuhan pendanaan OJK.97 Wajib bayar adalah Pihak sebagaimna dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3) PP No. 11 Tahun 2014. Pokok –pokok pengaturan pungutan oleh OJK dan aturan pelaksanaannya yaitu PP No. 11 Tahun 2014, Peraturan Otoritas jasa Keuangan (POJK) Nomor 3 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut POJK Nomor 3 Tahun 2014), serta Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 4 Tahun 2014 tentang Mekanisme

96Ibid.

97Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Penjelasan Umum.


(15)

Pembayaran Pungutan Otoritas Jasa Keuangan (selanjutnya disebut SEOJK Nomor 4 Tahun 2014), adalah sebagai berikut:98

1. Penerimaan pungutan OJK tahun berjalan digunakan untuk kebutuhan anggaran OJK tahun berikutnya.

2. Jenis pungutan OJK meliputi :99

a. Biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahaan atas rencana aksi korporasi (biaya registrasi).

b. Biaya tahunan dalam rangka pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penelitian.

3. Penjelasan biaya registrasi :

a. Biaya registrasi tidak berlaku bagi industri jasa keuangan yang telah memperoleh registrasi sebelum berlakunya pungutan OJK.

b. Biaya regustrasi tidak berlaku bagi perizinan, persetujuan, pendaftaran, pengesahan, dan penelaahan atas rencana aksi korporasi yang masi dalam proses termasuk izin prinsip bagi perbankan yang diterima OJK sebelum berlakunya PP tentang Pungutan OJK.

4. Pembayaran biaya registrasi dilakukan sebelum pengajuan dan bersifat final. 5. Penjelasan biaya tahunan :

a. Biaya tahunan dengan tarif presentase

Wajib dibayar dalam 4 (empat) tahap, pembayaran setiap tahap dihitung dengan cara :100

98Pungutan Terhadap Industri Jasa Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan, (Medan: disampaikan pada seminar Pungutan oleh OJK dalam Mendukung Fungsi dan Tugas OJK secara Independen dan Profesional, April 2014), hlm. 5-7.

99Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bab III, Pasal 5 ayat (1).


(16)

1) Pembayaran biaya tahunan tahap I paling lambat 15 April untuk pembayaran atas kewajiban triwulan I yaitu mulai tanggal 1 januari sampai dengan 31 Maret tahun berjalan;

2) pembayaran biaya tahunan tahap II paling lambat tanggal 15 Juli untuk pembayaran atas kewajiban triwulan II yaitu mulai tanggal 1 April sampai dengan 30 Juni tahun berjalan;

3) pembayaran biaya tahunan tahap III paling lambat tanggal 15 Oktober untuk pembayaran atas kewajiban triwulan III yaitu mulai tanggal 1 Juni sampai dengan 30 Desember tahun berjalan; dan

4) pembayaran biaya tahunan tahap IV paling lambat tanggal 31 Desember untuk pembayaran atas kewajiban triwulan IV yaitu mulai tanggal 1 Oktober sampai dengan tanggal 31 Desember tahunan berjalan. Masing-masing tahap sebesar 25% dari kewajiban biaya tahunan selama setahun dan dihitung secara self assesment berdasarkan laporan keuangan tahunan audited tahun sebelumnya. b. Biaya tahunan dengan tarif nominal tertentu

Biaya tahunan yang besaran tarifnya ditetapkan dalam nominal tertentu yang tidak mengacu pada laporan keuangan, pembayaran dilakukan paling lambat tanggal 15 Juni untuk pembayaran atas kewajiban periode satu tahun yaitu mulai tanggal 1 kewajiban periode satu tahun

100Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bab II, Pasal 9 ayat (1).


(17)

yaitu mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 desember tahun berjalan.101

6. Urutan acuan laporan keuangan sebagai dasar perhitungan biaya tahunan meliputi :102

a. laporan keuangan tahunan audit;

b. laporan keuangan tahunan yang tidak diaudit;

c. buku, catatan, atau dokumen lain atas pembukuan yang dikelola.

7. Biaya tahunan dihitung kembali berdasarkan laporan keuangan tahunan tahun bersangkutan yang telah diaudit. Apabila terdapat kurang atau lebih akan diperhitungkan pada pembayaran tahap terdekat berikutnya.103

8. Timbulnya kewajiban biaya tahunan dimulai sejak industri jasa keuangan memperoleh perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, dan berakhir setelah perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan dicabut, dibatalkan, dibubarkan, atau perusahaan terbuka menjadi perusahaan tertutup.104

9. Industri jasa keuangan yang kewajiban biaya tahunan tidak setahun penuh, dihitung secara proporsional bulanan dengan bagian bulan dihitung secara harian.105

101Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 tahun 2014 tentang tata cara pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas jasa keuangan, Bab II, Pasal 9.

102Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bab V, Pasal 9.

103Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bab V, Pasal 11 ayat (1) .

104

Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 tahun 2014 tentang tata cara pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas jasa keuangan, Bab II,Pasal 10 ayat (1).

105Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 tahun 2014 tentang tata cara pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas jasa keuangan, Bab II, Pasal 9 ayat (3).


(18)

10.Perhitungan biaya tahunan bagi emiten, nilai emisi autstanding dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan nilai emisi yang meliputi :

a. jumlah nilai penerbitan efek yang bersifat ekuitas pada saat penawaran umum, penawaran umum dalam rangka penambahan modal dengan hak memesan efek terlebih dahulu (Penawaran Umum terbatas/right issue), penambahan modal tanpa hak memesan efek terlebih dahulu, pelaksanaan efek yang dpat dikonversi menjadi saham, dikurangi dengan nilai saham dari emisi yang dibeli kembali dan menurunkan modal disetor;

b. jumlah nilai efek bersifat utang yang diterbitkan melalui penawaran umum dan belum lunas; dan

c. jumlah nilai sukuk yang diterbitkan melalui penawaran umum dan belum lunas.

11.Verifikasi oleh OJK

a. Otoritas jasa keuangan dapat melakukan verifikasi atas pembayaran kewajiban biaya tahunan.

b. Verifikasi dilakukan secara rutin dan khusus

Verifikasi rutin dilaksanakan melalui pencocokan data, permintaan keterangan, konfirmasi, dan pengujian offsite lainnya.106Dan menurut Pasal 14 ayat (5) POJK Nomor 3 Tahun 2014, verifikasi khusus dilakukan dalam hal terdapat antara lain;

106Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 tahun 2014 tentang tata cara pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas jasa keuangan, Bab IV, Penjelasan Pasal 14 ayat (1).


(19)

1)keterangan tertulis dari Wajib Bayar atas kehendak sendiri yang menyatakan bahwa biaya tahunan yang telah dibayar tidak sesuai dengan kewajibannya;

2)perubahan nilai dasar pengenaan biaya tahunan;

3)indikasi ketidaksesuaian perhitungan kewajiban dan pembayaran biaya tahunan.

4)industri jasa keuangan dapat meminta klarifikasi atas hasil verifikasi. 12. Sanksi terhadap biaya tahunan

Apabila wajib bayar tidak melunasi kewajiban biaya tahunan sampai dengan batas waktu sebagaimana ditetapkan pada surat teguran pertama, OJK memberikan surat teguran kedua yang memuat :107

a. kewajiban membayar biaya tahunan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal teguran pertama; dan

b. pengenaan sanksi administratif berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari kewajiban pembayaran pungutan yang wajib dibayar karena terlambat melakukan pembayaran dan paling banyak 48% (empat puluh delapan persen) dari pungutan yang wajib dibayar dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan. Selain sanksi administratif berupa denda OJK dapat menetapkan pengenaan sanksi administratif tambahan dan tindakan tertentu.

13. OJK menyerahkan penagihan piutang macet kepada Panitia Urusan Piutang Negara, kriteria piutang macet yaitu apabila kewajiban kepada OJK tidak

107Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 tahun 2014 tentang tata cara pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas jasa keuangan, Bab III, Pasal 12 ayat (2) dan ayat (3).


(20)

dibayar selama 1 tahun setelah jatuh tempo sesuai dengan ketentuan Pasal 13 POJK Nomor 3 Tahun 2014.

Tata cara pembayaran pungutan bagi sektor pasar modal,perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, bank perkreditan rakyat, bank pembiayaan rakyat syariah, dan lembaga jasa keuangan lainnya diatur dalam SEOJK Nomor 4 Tahun 2014 tetang Mekanisme Pembayaran Pungutan oleh OJK, antara lain : 1. Wajib Bayar bagi sektor pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga

pembiayaan, bank perkreditan rakyat, bank pembiayaan rakyat syariah, dan lembaga jasa keuangan lainnya melakukan penyetoran pungutan ke rekening OJK di Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.

2. Penyetoran sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan dengan cara:. a. Penyetoran langsung dengan menggunakan Surat Setoran sebagai slip

setoran pada jaringan pelayanan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk meliputi kantor cabang, kantor cabang pembantu, kantor kas, unit, dan teras pada PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.

b. Penyetoran langsung dengan mencantumkan NRS melalui electronic

channel PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk meliputi internet banking, Automatic Teller Machine (ATM), cash management system, dan mobile banking.

c. Pemindah bukuan atau transfer dengan mencantumkan NRS dari rekening Wajib Bayar di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau bank lain ke rekening OJK di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.


(21)

Tata cara pembayaran pungutan bagi bank umum sebagaimana diatur dalam SEOJK Nomor 4 Tahun 2014 tetang Mekanisme Pembayaran Pungutan oleh OJK adalah sebagai berikut:

1. Wajib Bayar bagi bank umum melakukan penyetoran Pungutan ke rekening OJK di Bank Indonesia.

2. Penyetoran sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilakukan dengan pemindahbukuan, kliring atau Real Time Gross Settlement (RTGS) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, Kantor Cabang dan Kantor Perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dengan mencantumkan NRS ke rekening OJK di Bank Indonesia.

3. Segala biaya yang timbul terkait pembayaran pungutan ditanggung oleh Wajib Bayar.

4. Pembayaran pungutan berlaku efektif pada tanggal dicatatnya penerimaan pembayaran pungutan di rekening OJK.

5. Wajib Bayar menyimpan bukti pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada angka 2 sebagai bukti pembayaran.

C. Keberadaan Sumber Keuangan Otoritas Jasa Keuangan Terkait dengan

Fungsi Otoritas Jasa Keuangan sebagai Pengawas Lembaga Keuangan Berdasarkan pasal 34 ayat (2) UU OJK menentukan bahwa anggaran OJK bersumber dari anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau pungutan dari


(22)

pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Berkaitan dengan anggaran OJK ditentukan sebagai berikut:108

1. OJK mengenakan pungutan kepada pihak yang melakukan kegiatan disektor jasa keuangan.

2. Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

3. Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penerimaan OJK. 4. OJK menerima, mengelola, dan mengadministrasikan pungutan sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) secara akuntabel dan mandiri.

5. Dalam hal pungutan yang diterima pada tahun berjalan melebihi kebutuhan OJK untuk tahun anggaran berikutnya, kelebihan tersebut disetorkan ke Kas Negara .

6. Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan pemerintah.

Penjelasan Pasal 37 ayat (1) UU OJK menyatakan yang dimaksud dengan pungutan antara lain pungutan untuk biaya perizinan, persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan, biaya pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, serta penelitian dan transaksi perdagangan efek. Pungutan digunakan untuk membiayai anggaran OJK yang tidak dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Pungutan OJk dingunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi dan pengadaan aset serta kegiatan pendukung lainnnya untuk penyesuaian biaya-biaya dimaksud

108Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab VIII, Pasal 37.


(23)

terhadap standar yang wajar di industri jasa keuangan.109 OJK dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada kesedian anggaran yang berasal dari APBN, sehingga dapat mengurangi dan membentuk indenpendensi dalam segi pembiayaan, 110

Independensi dari segi pembiayaan (Budgetary Independence) mengacu pada keterlibatan dari ekekutif dan legislative dalam memutuskan anggaran OJK termasuk personel dan besarnya gaji. Otoritas yang mempunyai kebebasan dalam merancang anggaran dan sumber dayanya akan lebih siap untuk menghadapi tekanan politik. Sehingga, proses pengambilan keputusan akan berjalan lebih cepat dan sesuai dengan perkembangan pasar. Dalam hal ini, maka sebaiknya pendanaan dari OJK diperoleh dari luar anggaran pemerintah.111

Namun demikian, disisi lain, apabila pendanaan hanya berasal dari industri, ada kekhawatiran bila nantinya OJK akan mengalami conflict interest di saat mengambil keputusan yang berpotensi merugikan. Misalnya dalam situasi krisis dimana industri dapat menekan OJK untuk mengambil kebijakan yang menguntungkan industri tanpa melihat kepentingan publik secara umum.112

Pasal 2 ayat (2) UU OJK menentukan OJK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang, indenpendensi tidak berarti OJK bebas menajalankan pengaturan dan

109 Bismar Nasution, “Keberadan Pungutan Otoritas jasa Keuangan untuk pelaksaan tugas, fungsi dan wewenangnya secara independen,” ( Medan : disampaikan pada seminar pungutan oleh OJK dalam mendukung fungsi dan tugas OJK secara independen dan professional, 14 April 2014).hlm 3-4.

110 Bismar Nasution, Op Cit, hlm.6. 111Ibid , hlm.14

112


(24)

pengawasan yang mereka inginkan. Indenpendensi berarti OJK dapat menggunakan instrumen yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh sistem politik tanpa adanya campur tangan dari pihak luar OJK. Ini yang disebut dengan “instrument independence”. Konsekwensi independen

bagi OJK adalah harus lebih akuntabel untuk tindakan yang dilakukan dalam pengaturan dan pengawasan secara transparan.113

Transparansi adalah fitur utama pemerintahan demokratis. Transparansi dapat mengurangi kekuasaan kelompok penekan dan memberikan kesempatan luas kepada publik memantau proses pengambilan keputusan. Transparansi meliputi:114

1. Pemberian informasi kepada publik oleh pembuat kebijakan tentang rencana kebijakan yang akan diambil dan implikasi kebijakan tersebut bagi masyarakat.

2. Kemampuan masyarakat atau pihak yang akan diatur untuk mengajukan tanggapan baik lisan maupun secara tertulis tentang usulan kebijakan.

3. Informasi yang diberikan oleh pembuat kebijakan tentang proses penetapan kebijakan dan kebijakan yang diputuskan dapat diakses oleh publik.

Esensi dari transparansi adalah pada proses pembuatan kebijakan sehingga transparansi dapat meningkatkan rasionalitas keputusan karena transparansi memberikan kesempatan kepada beragam pihak untuk memberi masukan kepada pembuatan kebijakan.115Dalam membentuk kebijakan yang tepat regulasi di bidang keuangan haruslah didesain untuk memberikan keleluasaan untuk OJK.

113Bismar Nasution, Op.Cit., hlm.2. 114Zulkarnain Sitompul, Op.Cit., hlm. 5. 115


(25)

Undang –undang harus memberikan ruang dan fleksibilitas kepada OJK untuk dapat mendesain dan merubah kebijakan sesuai dengan kebutuhan dan pengembangan ekonomi.116

Mengingat fungsinya yang sangat krusial untuk menyeimbangkan keadaan perekonomian, menjadi sangat penting untuk menjaga indenpendensi OJK dari pengaruh politik dan pemerintah. untuk itu ada beberapa faktor penting yang harus diadopsi oleh sebuah struktur regulasi yang independen sebagai berikut:117 1. Peraturan yang jelas mengenai pengangkatan dan pemberhentian dari personel

senior. Kepastian mengenai proses pengangkatan dan pemberhentian diperlukan untuk memberikan jaminan kepada anggota OJK untuk dapat mengambil keputusan tanpa adanya kekhawatiran atas ancaman pemberhentian.

2. Struktur pengaturan yang jelas. Pengambilan kebijakan di OJK sebaiknya bersifat kolektif dan diisi oleh para ahli dibidangnya. Hal ini untuk mencegah adanya satu individu yang terlalu dominan yang pada gilirannya dapat mempengaruhi kebijakan yang di ambil.

3. Proses pengambilan kebijakan yang transparan. Walaupun ada beberapa keputusan yang menurut sifatnya bersifat rahasia dan sensitif. Proses pengambilan kebijakan yang transparan harus tetap dilakukan. Hal ini penting untuk memastikan adanya kontrol dari publik terhadap kebijakan yang diambil oleh OJK.

116Bismar nasution,Op.Cit., hlm. 11. 117


(26)

Indonesia adalah negara berkembang dengan perekonomian yang masi berkembang. Infrastruktur perekonomian yang ada juga masih belum sematang negara lain yang mempunyai perekonomian yang maju. Oleh karenanya harmonisasi antara kebijakan pemerintah dan regulasi di bidang perekonomian menjadi sangat penting untuk menjamin pertumbuhan ekonomi yang sehat dan tepat untuk kesejahteraan rakyat. Dalam konteks inilah, struktur regulasi otoritas jasa keuangan di Indonesia (OJK) harus dapat menyeimbangan antara kepentingan pemerintah dan kepentingsn industri agar nantinya arah kebijakan perekonomian di bidang keuangan dapat berjalan dengan selaras. Oleh karenanya, independensi yang dimaksud bukanlah independensi yang absolute. OJK sebagai regulator dan pengawas jasa keuangann harus dapat berfungsi sebagai katalisator pembangunan ekonomi dan wasit untuk fair play.118

Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan telah mengambil langkah tepat. Dalam UU OJK, pendanaan OJK berasal dari kombinasi APBN dan premi dari Industri. Mengingat masih rentannya perekonomian Indonesia, kombinasi ini merupakan solusi yang baik dimana OJK tetap dapat berfungsi penuh di saat krisis dengan dukungan dari pemerintah.119

118Ibid, hlm. 10.


(27)

BAB IV

PENGURANGAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI AKIBAT DARI KEPAILITAN

A. Kepailitan Lembaga Keuangan

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang Pengurusan dan Pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalamPasal 1 ayat (1) Undang-UndangNomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.) 1. Syarat-syarat kepailitan

Syarat-syarat kepailitansangat penting karena bila permohonan kepailitan tidak memenuhi syarat, maka permohonan tersebut tidak akan dikabulkan oleh pengadilan niaga. Syarat-syarat tersebut ialah sebagai berikut :120

a. Pailit ditetapkan apabila debitur yang mempunyai dua kreditur atau lebih tidak mampu membayar sedikitnya satu hutang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang t Kepailitan dan PKPU). b. Paling sedikit harus ada 2 (dua) kreditur (concurus creditorum).

c. Harus ada utang.

Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tidak menentukan apa yang dimaksud dengan utang. Dengan demikian para pihak yang terkait dengan

120


(28)

suatu permohonan peryataan pailit dapat berselisih pendapat mengenai ada atau tidaknya utang.

d. Syarat utang harus telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU tidak membedakan, tetapi menyatukan syarat utang yang telah jatuh tempo dan utang yang telah dapat di tagih.

e. Syarat cukup satu utang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Bunyi Pasal 2 ayat (1) di dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU merupakan perubahan dari bunyi Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Faillissementsverordening Stb. 1905 Nomor 2017 jo.S.1906 Nomor 348. Bunyi Pasal 1 ayat (1) Fv adalah :

“setiap debitur yang tidak mampu membayar utangnya yang berada dalam keadaan berhenti membayar kembali utang tersebut, baik atas permintaannya sendiri maupun atas permintaan seseorangkreditor atau beberapa orang kreditornya, dapat diadakan putusan oleh hakim yang menyatakan bahwa debitur yang bersangkutan dalam keadaan pailit”. f. Debitur harus dalam keadaan insoven, yaitu tidak membayar lebih dari

50% utang-utangnya. Debitur harus telah berada dalam keadaan berhenti membayar kepada para krediturnya, bukan sekedar tidak membayar kepada satu atau dua orang kreditur saja.121

Sedangkan syarat selanjutnya terdapat suatu utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik secara langsung

121


(29)

maupun yang akan timbul dikemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitur, dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhan dari harta kekayaan debitur.122 Berdasarkan definisi atau rumusan di atas, unsur-unsur untuk dapat dikatakan utang adalah :123

a. Adanya kewajiban

Kewajiban yang dimaksud tidak saja yang timbul akibat suatu perikatan, baik yang timbul karena persetujuan juga timbul dari undang-undang, maupun yang timbul akibat suatu perintah hakim demi kepentingan kreditur.

b. Yang dapat dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah utang

Kalimat atau dapat dinyatakan dalam jumlah utang menunjukan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU telah memberikan utang dalam pengertian yang luas, yaitu utang yang timbul akibat suatu perjanjian, juga termasuk utang yang timbul akibat suatu undang-undang yang dapat meliputi suatu akibat perbuatan melawan hukum;

1) baik secara langsung maupun yang timbul di kemudian hari; 2) ditimbulkan akibat suatu perjanjian atau karena undang-undang; 3) wajib dipenuhi oleh debitur; dan

4) menimbulkan hak dari kreditur untuk menuntut debitur.

122

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bab I, pasal 1 ayat (6).

123 Bagus Irawan, Aspek-Aspek Hukum Kepailitan; Perusahaan; dsn Asuransi (Bandung : PT. Alumni, 2007), hlm. 53-54.


(30)

Timbulmya utang menimbulkan hak untuk memperoleh pembayaran sejumlah uang atau Right to payment.

2.Pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU adalah sebagai berikut :

a. Debitur sendiri

Undang-undang memungkinkan seorang debitur untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atas dirinya sendiri. Jika debitur masih terikat dalam pernikahan yang sah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri yang menjadi pasangannya diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

b. Seorang kreditur atau lebih

Kreditur yang dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debiturnya adalah kreditur konkuren, kreditur preferen, ataupun kreditur sparatis diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU.

c. Kejaksaan

Permohonan pailit terhadap debitur juga dapat diajukan oleh kejaksaan demi kepentingan umum124 Pengertian kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara dan /atau kepentingan masyarakat luas, misalnya:125

1)debitur melarikan diri;

2)debitur menggelapkan bagian dari harta kekayaannya;

124Republik Indonesia, Undang-Undang nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bab II, Pasal 2 ayat (2).

125


(31)

3)debitur mempunyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari masyarakat;

4)debitur mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari masyarakat luas;

5)debitur tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau

6)dalam hal lainnya yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

d. Otoritas Jasa Keuangan

Permohonan pernyataan pailit terhadap perbankan, perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan, dan penyelesaian dengan adanya OJK, otomatis telah mengubah prosedur permohonan pailit terbatas pada perusahaan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian yang dahulu menjadi kewenangan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam-LK) dan tersebut beralih ke OJK.126Terhadap perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah juga hanya dapat diajukan oleh OJKsesuai dengan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian yang menyatakan:

“Permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan

126Alfin Sulaiman, “Hubungan OJK Terhadap Prosedur Kepailitan Perbankan dan Industri Keuangan”, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52dfe654d9902/hubungan-ojk-terhadap-prosedur-kepailitan-perbankan-dan-industri-keuangan (diakses Tanggal 15 Juni 2015)


(32)

perusahaan reasuransi syariah berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan”.

Sejalan dengan ruang lingkup tugas Otoritas Jasa keuangan yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, maka kewenangan pengajuan pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dan dana pensiun yang semula dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU beralih menjadi kewenangan OJK berdasarkan Undanag-Undang ini.127

Transaksi efek di pasar modal, mengandalkan analisis pasar yang dilakukan oleh profesional di bidang pasar modal. Jika perusahaan yang bergerak di pasar modal sewaktu-waktu di pailitkan, otoritas jasa keuangan yang mengetahui seluk-beluk badan usaha yang bergerak di bidang pasar modal tersebut.128

f. Menteri keuangan

Perusahaan arusansi, perusahaan reasuransi, dana pensiun dan badan usaha milik negara yang bergerak dibidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan, sesuai denganPasal 2 ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, Namun dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun

127

Republik indonesia, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian, bab X, Pasal 50 ayat (1).

128Sentosa sembiring, Hukum Kepailitan dan Peraturan Perundang-Undangan yang


(33)

2014 tentang Perasuransian maka kewenangan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yang diatur dalam Pasal 50 ayat (1). Sedangkan Permohonan pernyataan pailit terhadap BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan, dengan maksud untuk membangun tingkat kepercayaan masyarakat terhadap usaha-usaha tersebut.129

Kepailitan perusahaan merupakan cara untuk perampingan perusahaan yang dilakukan dengan cara mempergunakan pranata hukum tentang kepailitan yang kemudian diikuti oleh likuidasi perusahaan. Walaupun likuidasi perusahaan ini dapat dilakukan tanpa terlebih dahulu menggunakan prosedur pailit. Namun prosedur likuidasi dengan atau tanpa prosedur pailit baru dilakukan jika cara-cara ;ain sudah tidak feasible lagi untuk dilakukan.130 Suatu hukum kepailitan dapat memenuhi tujuan-tujuan di bawah ini :131

a. Meningkatkan upaya pengembalian kekayaan

Semua kekayaan debitur harus ditampung dalam suatu kumpulan dana yang sama disebut harta kepailitan yang disediakan untuk pembayaran tuntutan kreditur. Kepailitan menyediakan suatu forum untuk likuidasi secara kolektif atas asset debitur.

129 Jono, Op. Cit., hlm. 20.

130 Bagus Irawan, Op.Cit.,hlm. 98-99.

Likuidasi adalah tindakan penyelesaian seluruh hak dan kewajiban sebagai akibat pencabutan izin usaha dan pembubaran perusahaan dengan menetapkan aktiva dan membagi-bagikan aktiva untuk menutupi utang-utang atau kewajiban-kewajiban.

131


(34)

b. Memberikan perlakuan baik yang seimbang dan yang dapat diperkirakan sebelumnya kepada para kreditur

Pada dasarnya, para kreditor dibayar secara pari passu; mereka menerima suatu pembagian secara pro rata parte dari kumpulan dana tersebut sesuai dengan besarnya tuntutan masing-masing. Prosedur dan peraturan dasar dalam hubungan ini harus dapat memberikan suatu kepastian dan keterbukaan. Kreditur harus mengetahui sebelumnya mengenai kedudukan hukumnya.

c. Memberikan kesempatan yang praktis untuk reorganisasi perusahaan yang sakit, tetapi masih potensial bila kepentingan para kreditur dan kebutuhan sosial dilayani dengan lebih baik dengan mempertahankan debitur dalam kegiatan usahanya.

3. Peroses permohonan pernyataan pailit diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 11 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, yang memuat tahap-tahap sebagai berikut:

a. Tahap pendaftaran permohonan pailit

Pemohon mengajukan permohonan pailit kepada Ketua Pengadilan Niaga. Panitera Pengadilan Niaga wajib mendaftarkan permohonan tersebut pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang dengan tanggal sama dengan tanggal pendaftaran.132

132


(35)

Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU mewajibkan panitera untuk menolak pendaftaran permohonan pernyataan pailit bagi institusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, jika dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat-ayat tersebut.133Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ini pernah diajukan Judicial

Review di Mahkamah Konstitusi dan Putusan Mahkamah Konstitusi

Perkara Nomor 071/PUU-II/2004 dengan Perkara Nomor 001-002/PPU.III/2005 telah menyatakan bahwa Pasal 6 ayat (3) beserta penjelasannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berdasar putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, panitera Pengadilan Niaga menjadi tidak berwenang untuk menolak setiap perkara yang masuk. Setelah mendaftarkan permohonan pernyataan pailit, panitera menyampaikan permohonan tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga paling lambat 2 (dua) hari setelah permohonan didaftarkan.134

b. Tahap pemanggilan para pihak

Sebelum persidangan dimulai, pengadilan melalui juru sita melakukan pemanggilan para pihak baik debitur dan kreditur, dengan ketentuan sebagai berikut :135

1) Wajib memanggil debitur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh kreditor, kejaksaan, OJK, atau Menteri Keuangan.

133Ibid.

134Ibid. 135


(36)

2) Dapat memanggil kreditur, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh debitur dan terdapat keraguan bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU telah terpenuhi, pemanggilan dilakukan juru sita dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 hari sebelum siding pemeriksaan pertama diselenggarakan.

c. Tahap Persidangan atas permohonan pernyataan pailit

Jangka waktu paling lambat 3 hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan, pengadilan mempelajari permohonan dan menetapkansidang pemeriksaan atas permohonan tersebut. Sidang diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan.136

Selama putusan atas permohonan pernyataan pailit belum diucapkan, setiap kreditor, kejaksaan, bank Indonesia, OJK, atau Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan berupa:137 1) meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan

debitur;

2) menunjuk kurator sementara untuk mengawasi ; a) pengelolaan usaha debitur;

b) pembayaran kepada kreditor, pengalihan, atau pengagunan kekayaan debitur yang dalam kepailitan merupakan wewenang kurator.

136Ibid.

137Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bab II, Pasal 10 ayat (1).


(37)

d. Tahap putusan atas permohonan pernyataan pailit

Putusan Pengadilan Niaga atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan pernyataan didaftarkan, sebagai perwujudan asas perdilan yang bersifat cepat, murah, dan sederhana. Putusan atas permohonan pernyataan pailit wajib diucapkan dlam siding terbuka untuk umum dan wajib memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut serta memuat pula;138

1)Pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili;

2)pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.

Salinan putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada debitur, pihak yang mengajukan permohonan pailit, kurator, dan hakim pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan.139 Putusan kepailitan adalah bersifat serta merta dan konstitutif yaitu meniadakan keadaan dan menciptakan keadaan hukum baru.140

138

Jono, Op. Cit., hlm.91. 139Ibid.

140Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan (Malang: Universitas Muhammadyah, 2007), hlm.103.


(38)

B.Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Lembaga Keuangan

Putusan hakim tentang kepailitan ada tiga hal yang esensial yaitu, pernyataan bahwa si debitur pailit, pengangkatan hakim pengawas yang di tunjuk hakim pengadilan dan pengajuan kurator. Bila tidak diajukan maka Balai Harta Peninggalan (BHP) yang bertindak selaku kurator.141Sejak debitur dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan, debitur pailit kehilangan kewenanganya (onbevoegd) dan dianggap tidak cakap (onbekwaam) untuk mengurus dan menguasai hartanya tersebut. Pengurusan dan penguasaan atas harta debitur beralih kepada kurator.142 Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 24 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan sebagai berikut : 1. Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus

kekayaanya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

2. Tanggal putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat143.

3. Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan transfer dana melalui bank atau lembaga selain bank pada tanggal putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), transfer tersebut wajib diteruskan. 4. Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan

transaksi efek di bursa efek maka transaksi tersebut wajib diselesaikan.

141

Rahayu Hartini, Op.Cit.,hlm. 103. 142 Bagus Irawan, Op.Cit., hlm. 28.

143 Waktu setempat adalah waktu tempat putusan pernyataan pailit diucapkan oleh Pengadilan Niaga.


(39)

Transaksi dana melalui bank dan transaksi efek di bursa efek perlu dikecualikan untuk menjamin kelancaran dan kepastian dan sistem transfer melalui bank maupun transaksi efek di bursa efek, adapun penyelesaian transaksi efek di bursa efek dapat dilaksanakan dengan cara penyelesaian pembukuan atau cara lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.144

Putusan Pailit bukan menyangkut para kreditor saja tetapi menyangkut para pemangku kepentingan lainnya atau stakeholders dari debitur, yaitu Negara sebagai penerima pajak, para karyawan dan buruhnya, pemasok barang dan jasa kebutuhan debitur, para pedagang atau pengusaha yang memperdagangan barang dan jasa debitur.145

Meskipun debitur kehilangan hak untuk mengurus dan menguasai harta kekayaanya tetapi debitur tidak kehilangan kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum sepanjang perbuatan tersebut tidak mempunyai akibat hukum atas harta kekayaan yang telah dikuasi kurator. Apabila debitur tetap melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta pailit, perbuatan tersebut tidak mengikat harta pailit kecuali apabila perbuatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta pailit.146

Hal tersebut sejalan dengan Pasal 25 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang menyatakan semua perikatan debitur pailit yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila

144Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Penjelasan, Bab II, Pasal 24 ayat (3) dan ayat (4).

145 Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian

Hukum(Bandung : P.T Alumni, 2012), hlm. 217.

146


(40)

perikatan tersebut mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Dalam pemberesan harta pailit diterapan beberapa asas yakni :147

1. Asas keseimbangan

Penerapan Asas Keseimbangan akan mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh baik debitur yang tidak jujur maupun kreditur yang tidak beritikad baik.

2. Asas keadilan

Pemenuhan utang-utang debitur dari asset pailit dapat memenuhi rasa keadilan bagi par pihak yang berkepentingan, dan mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih.

3. Asas kelangsungan

Penyelesaian kepailitan akan diarahkan agar perusahaan debitur pailit yang prospektif dapat dilanjutkan.

4. Asas integritas

Asas Integritas tidak membedakan proses kepailitan yang menyangkut perorangan, badan usaha swasta dan BUMN/BUMD, kecuali mengenai persyaratan pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Setelah putusan pailit diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum maka putusan itu menjadi mengikat secara hukum.148 Akibatnya antara lain sebagai berikut:

1. Terhadap gugatan-gugatan

147 Andriani Nurdin,Op.Cit.,hlm. 226.

148Syamsudin M. Sinaga, Hukum Kepailitan Indonesia (Jakarta: PT. Tatanusa,2012), hlm. 117.


(41)

Akibat hukum dari putusan kepailitan membawa konsekwensi bahwa gugatan-gugatan hukum yang bersumber pada hak dan kewajiban harta kekayaa debitur pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator.149Dalam Pasal 28 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU putusan pernyataan pailit membawa akibat hukum terhadap gugatan-gugatan yang sedang berjalan, baik dalam kapasitas debitur sebagai tergugat maupun penggugat yaitu:

a. gugatan ditunda/ ditangguhkan;

b. kurator mengambil alih perkara (pengalihan kedudukan kreditor sebagai tergugat, dialihkan kepada kurator) dengan menggantikan kedududkan debitur;

c. perkara digugurkan; d. gugatan diteruskan. 2. Terhadap perikatan-perikatan

a. Perjanjian timbal balik

Apabila terdapat perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian terpenuhi, maka pihak dengan siapa Debitur mengadakan perjanjian tersebut dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan kedua belah pihak. Bila tidak tercapai kesepakatan tentang jangka waktu, Hakim Pengawas akan menetapkan jangka waktu tersebut. Dalam hal kurator tidak memberikan jawaban atau tidak bersedia melanjutkan pelaksanaan perjanjian, maka

149


(42)

perjanjian berakhir dan pihak dengan siapa Debitur mengadakan perjanjian tersebut dapat menuntut ganti rugi dan akan berkedudukan sebagai kreditur kokuren. Dalam hal kurator menyatakan kesanggupannya, maka kurator dapat dimintakan untuk memberikan jaminan atas kesanggupannya melaksanakan perjanjian tersebut.150

b. Penyerahan barang

Apabila perjanjian penyerahan benda dagangan dengan suatu jangka waktu dan pihak yang harus menyerahkan benda tersebut sebelum penyerahan dilaksanakan dinyatakan pailit maka perjanjian menjadi hapus dengan diucapankan putusan pernyataan pailit dan dalam hal pihak lawan dirugikan maka yang bersangkutan dapat mengajukan disi sebagai kreditor kunkuren untuk mendapatkan ganti rugi.151

c. Perjanjian sewa menyewa

Bila debitur telah menyewa suatu benda, maka baik kurator maupun pihak yang menyewakan benda, dapat menghentikan perjanjian sewa dengan syarat pemberitahuan penghentian dilakukan sebelum berakhirnya perjanjian sesuai dengan adat kebiasaan setempat. Untuk itu harus diindahkan pemberitahuan penghentian menurut perjanjian atau menurut kelaziman dalam jangka waktu paling singkat 90 hari. Bila uang telah dibayat di muka maka perjanjian sewa tidak dapat dihentikan lebih awal sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah dibayar uang sewa

150 Sunarmi, Op.Cit.,hlm. 100. 151


(43)

tersebut. Sejak tanggal Putusan diucapkan, uang sewa merupakan utang harta paili.152

d. Hubungan kerja

Pekerja yang bekerja pada debitur dapat memutuskan hubungan kerja dan kurator dapat memberhentikannya dengan mengindahkan jangka waktu menurut persetujuan atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku, dengan pengertian paling singkat 45 (empat puluh lima) hari sebelumnya. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, upah yang terutang sebelum maupun sesudah pernyataan pailit diucapkan merupakan utang harta pailit.153Terkait dengan kedudukan pekerja, menurut joseph E. Stiglitz, Hukum kepailitan harus mengandung tiga prinsip yaitu :154

1) Peran utama kepailitan dalam ekonomi kapitalis modern adalah untuk menggalakkan reorganisasi perusahaan. Hukum kepailitan harus memberikan waktu cukup bagi perusahaan untuk melakukan pembenahan perusahaan.

2) Meskipun tidak dikenal Hukum kepailitan yang berlaku universal dan ketentuan kepailitan telah berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan keseimbangan politik diantara para pelaku, trsnformasi structural perekonomian dan perkembangan sejarah masyarakat namun setiap hukum kepailitan bertujuan menyeimbangkan beberapa tujuan termasuk melindungi hak-hak kreditur dan menghindari terjadinya likuidasi premature.

152Ibid hlm. 101.

153Ibid. 154


(44)

3) Hukum Kepailitan mestinya tidak hanya memperhatikan kreditur dan debitur, tetapi yang lebih penting lagi adalah memperhatikan kepentingan stakeholder yang dalam kaitan ini yang terpenting adalah pekerja.

e. Pembayaran utang

Jika sebelum Putusan pailit dijatuhkan, Debitur telah melakukan pembayaran utangnya kepada kreditur tertentu, maka pembayaran uang tersebut dapat dibatalkan apabila dapat dibuktikan penerima pembayaran mengetahui bahwa permohonan pernyataan pailit debitur sudah didaftarkan dan pembayaran tersebut merupakan persekongkolan antara Debitur dan Kreditur dengan maksud untuk menguntungkan bagi Kreditur tersebur melebihi Kreditur lainnya.155

f. Terhadap penjualan surat berharga

Pembayaran yang telah diterima oleh pemegang “surat pengganti’ atau “surat atas tunjuk”, yang karena hubungan hukum dengan pemegang terdahulu wajib menerima pembayaran, maka pembayaran tersebut tidak dapat diminta kembali.156

g. Pembayaran kepada debitur pailit akibat perikatan

Setiap orang yang sesudah Putusan pernyataan pailit diucapkan tetapi belum diumukan, membayar kepada Debitur pailit untuk memenuhi perikatan yang tertib sebelum putusan peryantaan pailit diucapkan,

155Ibid, hlm. 111.

156


(45)

dibebaskan terhadap harta pailit sejauh tidak dibuktikan bahwa yang bersangkutan mengetaui adanya putusan pernyataan pailit tersebut.157 h.Terhadap sekutu debitur pailit

Setiap orang yang dengan Debitur Pailit berada dalam suatu persekutuan yang karena atau selama kepailitan menjadi dibubarkan, berhak untuk mengurangi bagian dari keuntungan yang pada waktu pembagian diadakan jatuh kepada Debitur pailit, dengan keajiban Debitur pailit untuk membayar utang persekutuan.158

i. Terhadap hak retensi

Kreditur yang mempunyai hak untuk menahan benda milik Debitur, tidak kehilangan hak karena adanya ada Putusan pernyataan pailit. Demikian ditentukan oleh Pasal61Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Hak untuk menahan atas benda milik debitur tersebut,menurut Penjelasan Pasal 61 berlangsung sampai utangnya dilunasi.159

j. Terhadap pemegang hak tanggungan, hak gadai, hak retensi, dan hak ikatan penenan

Putusan pernyataan pailit oleh hakim tidak mempunyai pengaruh terhadap pemegang hak gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya dan hak retensi sesuai dengan Pasal 55 danPasal 61 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Pemegang hak tetap dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.

157

Ibid.

158Ibid, hlm. 103.

159Sutan Remy sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang Nomor37


(46)

Pemegang hak tanggungan dapat melaksanakan haknya sebagaimana ditetapkan pada Pasal 1178 KUHPerdata, yaitu menjual benda jaminan.160

C. Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat

Dari Kepailitan

Sebagaimna telah disebutkan sebelumnya Otoritas Jasa Keuangan merupakan otoritas tunggal di sektor jasa keuangan di Indonesia, yang dibentuk melalui undang-undang OJK. Mempunyai tujuan agar keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan dan akuntabel serta mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat.161

Untuk mencapai tujuan sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang, OJK memerlukan adanya jaminan sumber pembiayaan yang mampu mendukung efektifnya pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai salah satu unsur menjadikan OJK sebagai lembaga yang independen dalam pengaturan dan pengawasan sektor jasa keuangan.162

Angaran OJK bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Pungutan dari pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan. Pihak sebagaimana dimaksud tersebut wajib membayar Pungutan yang dikenakan OJK. Pungutan OJK digunakan untuk membiayai kegiatan operasional,

160

Ibid, hlm. 113.

161Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan , Penjelasan Umum.

162


(47)

administratif, pengadaan aset, serta kegiatan pendukung lainnya sesuai dengan Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (1) PP 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh OJK.163

Pihak yang tidak melakukan atau terlambat melakukan pembayaran Pungutan sebagaimana dimaksud dikenakan sanksi administratif berupa denda oleh OJK sebesar 2% (duapersen) per bulan dari jumlah Pungutan yang wajib dibayar dan paling banyak 48% (empat puluh delapan persen) dari jumlah Pungutan yang wajib dibayar dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan.164Pasal 20 ayat (2) menyebutkan Selain sanksi administratif OJK dapat menetapkan sanksi administratif tambahan atau tindakan tertentu. jenis sanksi administratif sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan di Sektor Jasa Keuangan antara lain berupa:

1. peringatan tertulis;

2. penurunan tingkat kesehatan;

3. pembatalan hasil uji kemampuan dan kepatutan; 4. pembatasan kegiatan usaha;

5. perintah penggantian manajemen;

6. pencantuman manajemen dalam daftar orang tercela; 7. pembatalan persetujuan, pendaftaran, dan pengesahan; 8. pembekuan kegiatan usaha; dan/atau

9. pencabutan izin usaha.

163

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Bab VIII, pasal 34 ayat(2).

164Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014, Bab VII, Pasal 20 ayat (1).


(48)

Hal ini berarti bahwa pihak tersebut wajib membayar pungutan yang dikenakan OJK. Apabila Pihak sebagai wajib bayar mengalami Kepailitan dan dinyatakan pailit melalui putusan pengadilan, kehilangan kewenanganya (onbevoegd) dan dianggap tidak cakap (onbekwaam) untuk mengurus dan menguasai hartanya tersebut. Pengurusan dan penguasaan atas harta debitur beralih kepada kurator.165Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Kepailitan dan PKPU yang menyebutkan sebagai berikut :

“Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaanya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.”

Sebagaimana telah di uraikan sebelumnya Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang Pengurusan dan Pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalamPasal 1 ayat (1)Undang-Undang Kepailitan dan PKPUyang dilakukan terhadap debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, akan dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya.166Sebagai akibat wajib bayar tersebut tidak mampu membayar utang-utangya kepada sebagian besar krediturnya (insolvent), dalam hal ini tidak mampu secara financial.167 Yang dimaksud dengan “kesulitan keuangan” meliputi :

165

Bagus Irawan, Op.Cit,, hlm. 28.

166Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Bab II, Pasal 2.

167


(49)

1. Kesulitan likuidasi yang tidak masuk dalam kategori sebagaimana ditetapkan Bank Indonesia dalam rangka menjalankan fungsi sebagai lender of the last

resort yang tidak didukung oleh jaminan memadai yang berpotensi

menggangu tingkat solvensi pada bank.

2. Kecendrungan insolvensi yang membahayakan kelangsungan usaha bank; 3. Kesulitan keuangan akibat meningkatnya risiko kredit, risiko operasional,

risiko pasar, dan risiko suku bunga.

4. Kesulitan keuangan untuk dapat memenuhi rasio kecukupan modal. Mengenai kriteria kesulitan keuangan dapat kita liat dalam table.I

Tabel. I

Kriteria Kesulitan Keuangan168

Nomor Pihak Kriteria

1. Bank Umum, Bank

Perkreditan Rakyat, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

a. Bank Dalam Pengawasan Khusus; b. Bank Dalam Likuidasi; atau c. Bank yang apabila dikenakan

Pungutan akan mengakibatkan

Capital Adequacy Ratio (CAR)

dibawah ketentuan. 2. Emiten dan Perusahaan

Publik (non sektor jasa keuangan)

Emiten dan Perusahaan Publik yang selama 3 tahun terakhir berturut-turut mempunyai modal kerja bersih negatif dan mempunyai kewajiban melebihi 80% dari aset perusahaan tersebut. 3. Penjamin Emisi Efek, dan

Perantara Pedagang Efek

a. Modal Kerja Bersih Disesuaikan (MKBD) kurang dari yang

dipersyaratkan oleh peraturan yang berlaku selama 3 bulan terakhir

168

Pungutan Terhadap Industri Jasa Keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan” (Medan: disampaikan pada seminar Pungutan Oleh OJK dalam mendukung Fungsi dan Tugas OJK secara Independen dan Profesional, April 2014), hlm.13.


(50)

berturut-turut;

b. Rugi bersih 3 tahun terakhir berturut-turut; atau

c. Ekuitas negatif 3 tahun terakhir berturut-turut.

4. Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan

Penyelesaian, Penyelenggara Perdagangan Surat Utang Negara , Biro Administrasi Efek, Bank Kustodian, Wali Amanat, Penasihat Investasi berbentuk perusahaan, Perusahaan Pemeringkat Efek, Lembaga Penilai Harga Efek, Agen Penjua Efek Reksa Dana

a. Rugi bersih 3 tahun terakhir berturut-turut; atau

b. Ekuitas negatif 3 tahun terakhir berturut-turut.

5. Asuransi Jiwa, Asuransi Umum, Reasuransi

a. Risk Based Capital (RBC) kurang

dari 100% pada tahun terakhir; atau b. Rasio Kecukupan Investasi kurang

dari 100% pada tahun terakhir. 6. Dana Pensiun Lembaga

Keuangan dan Dana Pensiun Pemberi Kerja

Program Pensiun Manfaat Pasti : a. Kualitas Pendanaan berada di

tingkat 3 pada tahun valuasi yang sama dengan laporan keuangan; dan b. Pendiri Dana Pensiun mengalami

Kerugian selama 3 tahun terakhir berturut-turut.

Program Pensiun Iuran Pasti : Dana Pensiun mengalami penurunan aset sebesar 5 % dari aset Dana

Pensiun tahun sebelumnya dikarenakan kondisi pasar yang tidak kondusif (krisis) yang berakibat pada penurunan nilai pasar dari investasi Dana Pensiun. Penurunan tersebut tidak berlaku apabila disebabkan oleh adanya penurunan jumlah peserta yang masuk ke Dana Pensiun atau karena kesalahan pengelolaan aset atau fraud.

7. Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura

a. Rugi 3 tahun terakhir berturut-turut; dan

b. Sedang dalam pengenaan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha.


(51)

8. Perusahaan Penjaminan a. Rasio Likuiditas dibawah 50%; b. Ekuitas negatif pada tahun berjalan;

dan

c. Sedang dalam pengenaan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha. 9. Perusahaan Pialang Asuransi,

Perusahaan Pialang Reasuransi

a. Rugi 3 tahun terakhir berturut-turut; dan

b. Sedang dalam pengenaan sanki Pembatasan Kegiatan Usaha. 10. Perusahaan Penilai Kerugian

Asuransi, Perusahaan Konsultan Aktuaria, dan Perusahaan Agen Asuransi

Sedang dalam pengenaan sanski Pembatasan Kegiatan Usaha.

11. Penasihat Investasi Orang Perseorangan

Dinyatakan pailit oleh pengadilan. 12. Profesi (Orang Perseorangan) Dinyatakan pailit oleh pengadilan.

Pihak yang sedang mengalami kesulitan keuangan dan dalam upaya penyehatan dan/atau dalampemberesan yang dalam hal ini adalah kepailitan, OJK dapat mengenakan Pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sampai dengan 0% (nol persen).169 Yang dimaksud dengan “pemberesan”menurut penjelasan Pasal 17 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan tentang Pungutan oleh OJK adalah pemberesan yang dilakukan oleh likuidator atau kurator.

Pengurangan Pungutan dilakukan dalam bentuk pengajuan permohonan penyesuaian kewajiban pembayaran Pungutan secara tertulis kepada OJK.Sesuai ketentuan Pasal 16 ayat (2) POJK Nomor 3 tahun 2014 tentang tata cara pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas jasa keuangan. Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling kurang memuat informasi sebagai berikut:

169Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bab VI, Pasal 17 ayat (1).


(52)

1. terpenuhinya kriteria kesulitan keuangan sebagaimana terdapat pada Pasal 15 ayat (2);

2. kemampuan keuangan Wajib Bayar yang mengajukan permohonan;

3. program kerja dalam rangka perbaikan kondisi perusahaan jika OJK menetapkan Pungutan lebih kecil dari besaran Pungutan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Pengurangan Pungutan dalam bentuk Permohonan penyesuaian kewajiban pembayaran Pungutan diterima OJK paling lambat 60 (enam puluh) hari sebelum batas akhir pembayaran Pungutan. Pengurangan Pungutan berupa Penyesuaian besaran Pungutan yang ditetapkan kepada Wajib Bayar berdasarkan hasil analisis yang dilakukan OJK, untuk menentukan wajib bayar dalam keadaaan kesulitan keuangan atau pemberesan yang dalam hal ini adalah Kepailitan dapat dilakukan tanpa pengajuan permohonan terlebih dahulu.170

Analisis yang dilakukan oleh OJK, antara lain dapat didasarkan pada kondisi yang terjadi pada Wajib Bayar yang wajib membayar pungutan sebagaimana diatur dalam ayat (16), sehingga OJK dapat menetapkan Wajib Bayar tersebut sedang mengalami kesulitan keuangan dan sedang dalam upaya penyehatan, misalnya:

1. OJK tidak dapat melakukan korespondensi terhadap Wajib Bayar tersebut selama 3 (tiga) tahun terakhir, termasuk tidak dilaksanakannya sanksi administratife yang ditetapkan OJK;

170Republik Indonesia, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 3 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bab V, Pasal 16 ayat (3) ayat (5) dan ayat (6).


(1)

ABSTRAK

ANALISIS YURIDIS TERHADAP PENGURANGAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI AKIBAT DARI KEPAILITAN

Antonio Romario H. Sidabutar *) Bismar Nasution **)

Windha ***)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengurangan pungutan terhadap wajib bayar yang mengalami kepailitan. Dalam hal ini, OJK melaksanakan pungutan terhadap lembaga keuangan yang diawasinya dalam pelaksanaan fungsi pengaturan dan pengawasannya sesuai dengan pasal 37 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Pungutan tersebut merupakan sumber penerimaan OJK dan sifatnya wajib. Ada pun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimanakah pengaturan dan pengawasan Otoritas Jasa Keuangan terhadap sektor jasa keuangan, bagaimanakah keberadaan sumber keuangan Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan fungsi Otoritas Jasa Keuangan sebagai pengawas lembaga keuangan, dan bagaimanakah pengurangan pungutan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai akibat dari kepailitan

Metode penelitian yang digunakan adalah metode yuridis normatif dengan dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data-data sekunder yang dibutuhkan, meliputi bahan hukum primer, sekunder, tersier yang terkait dengan permasalahan. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Hasil penelitian disajikan secara deskriptif guna memperoleh penjelasan dari masalah yang dibahas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengurangan pungutan terhadap wajib bayar yang mengalami kepailitan dilakukan dengan pengajuan permohonan kesulitan keuangan kepada OJK, dan OJK akan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan, terhadap analisi yang dilakukan OJK pengurangan Pungutan dapat dilakukan tanpa mengajukan permohonan terlebih dahulu. Pengurangan pungutan dimaksudkan untuk mengurangi kemungkinan semakin memburuknya kondisi keuangan wajib bayar dan untuk membantu proses penyehatan keuangan Wajib Bayar. Serta memberikan kesempatan untuk reorganisasi perusahaan yang sakit, tetapi masih potensial bila kepentingan para kreditor dan kebutuhan sosial dilayani dengan lebih baik.

Kata Kunci : Otoritas Jasa Keuangan, Pungutan, Kepailitan.

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan karunianya , sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan harapan penulis. Berbagai tantangan harus dihadapi Penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tentunya dengan dorongan dan bantuan dari berbagai pihak sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “Analisis Yuridis Terhadap Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuaangan Sebagai Akibat Dari Kepailitan”.

Secara khusus Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orangtua Penulis, Gulbahar Sidabutar dan Setiawan Evalina Purba, yang setia membawa Penulis ke dalam doanya, tiada hentinya memberikan perhatian, dukungan, nasihat, dan semangat serta kesabaran yang tidak ternilai harganya sehingga Penulis dapat menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S1) dengan baik dan kepada abang dan kakak penulis, Josimar P. Sidabutar, S.E dan Ny. Pasaribu br. Sidabutar, Amkeb, dan keponakan Penulis Samuel Alvaro N. Pasaribu yang selalu mendukung, memperhatikan dan menghibur Penulis selama pengerjaan skripsi ini. Skripsi ini Penulis persembahkan untuk mereka.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga Penulis haturkan kepada pihak-pihak berikut:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;


(3)

3. Bapak Syafruddin Hasibuan S.H., M.H., DFM. selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Bapak Dr. OK. Saidin S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Ibu Joiverdia Arifiyanto S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing Akademik; 6. Ibu Windha S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi; 7. Bapak Ramli Siregar S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum

Ekonomi;

8. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing I. Terima kasih atas waktu dan bimbingan yang Bapak berikan kepada Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi;

9. Ibu Windha S.H., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas waktu, saran, semangat dan bimbingan yang Ibu berikan kepada Penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;

10.Seluruh Dosen dan Pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11.Keluarga Besar yang selalu memberikan dukungan dan perhatian kepada Penulis;

12.Sahabat-sahabat GASTER, Coky desrian saragih, Tung Asido Malau, Arius Prima Lumbanbatu, Syahputra Sibagariang, Dani Sinaga, Devid Lubis, Vincent Nadeak, Leader Tirta Silalahi, Rio S.silalahi, Lambok Hutauruk, Timoty, Mazmur, Juanda Tampubolon, Ivan Halawa, Richard,


(4)

Guntur S Gultom, Philip, Maykel. Terimakasih buat kebersamaannya sejak awal kuliah;

13.Sahabat jumpa tengah, Agnestesia Risky Panjaitan (bermula dari Andaliman), Irryn Bukit, Restika, Fahmi Habibana S. Sinaga, ivan, vincent, endha (yang dulu di sebut BUMI sekarang jangan tanyak lagi), Jhon Perdana Purba, Togar Albertus Nainggolan (lagi nyarik kos yang parkirannya luas biar buat semua). Makasi buat semuanya teman, kalian luar biasaa;

14.Sahabat dari SMA Evy Situmorang, Juliana Alexander Dacosta, makasi buat bantuan dan dukungannya wak;

15.Endha Ancilla Sembiring, yang selalu menemani baik suka maupun duka; 16.Vina Naomiria Tarigan, makasi buat dukungan dan bantuannya nomnom;

Penulis sadar masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap pada semua pihak agar dapat memberikan kritik dan saran agar dapat menghasilkan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Medan, Juni 2015 Penulis


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI………………...i

KATA PENGANTAR………....ii

DAFTAR ISI………..……….v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………..………1

B. Perumusan Masalah………..…….6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……...6

D. Keaslian Penelitian………..……….7

E. Tinjauan Kepustakaan………...…8

F. Metode Penelitian………12

G. Sistematika Penulisan………..16

BAB II PENGATURAN DAN PENGAWASAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERHADAP SEKTOR JASA KEUANGAN A. Latar Belakang Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan…………..…19

B. Pengaturan dan Pengawasan Otoritas Jasa Keuangan Terhadap Sektor Jasa Keuangan………...………...27

C. Hubungan Otoritas Jasa Keuangan Dengan Lembaga Keuangan………...32


(6)

BAB III KEBERADAAN SUMBER KEUANGAN OTORITAS JASA KEUANGAN TERKAIT DENGAN FUNGSI OTORITAS JASA KEUANGAN SEBAGAI PENGAWAS LEMBAGA KEUANGAN

A. Bentuk Penerimaan sebagai Sumber Keuangan Otoritas Jasa Keuangan………...……….41 B. Mekanisme Pelaksanaan Pungutan oleh Otoritas Jasa

Keuangan………...…….50 C. Keberadaan Sumber Keuangan Otoritas Jasa Keuangan Terkait

dengan Fungsi Otoritas Jasa Keuangan sebagai Pengawas Lembaga Keuangan………...….57 BAB IV PENGURANGAN PUNGUTAN OLEH OTORITAS JASA

KEUANGAN SEBAGAI AKIBAT DARI KEPAILITAN

A. Kepailitan Lembaga Keuangan……….……..63

B. Akibat Hukum Kepailitan Terhadap Lembaga Keuangan………….74 C. Pengurangan Pungutan Oleh Otoritas Jasa Keuangan Sebagai Akibat

Dari Kepailitan ………...82 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………..…..100

B. Saran………..102

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN