Kebaikan: Tujuan Hidup Manusia

komunis dilihat sebagai ancaman terhadap kebaikan bersama Bangsa Indonesia. Itulah ide yang mendasari peristiwa berdarah yang tergores di dalam sejarah Indonesia. “Pemerintahan Orde Baru kerap menulisnya sebagai sebuah kemenangan Pancasila melawan Komunisme.” 3 Contoh lain pemberangusan kebebasan individu atas dalil kebaikan bersama adalah RUU anti porno dan penerapan hukum syariat di Indonesia. Kedua hal ini memiliki tujuan untuk kebaikan bersama masyarakat Indonesia, tetapi halnya sangat diskriminatif dan membelenggu kebebasan individu. Negara belum secara tajam membedakan antara moralitas publik yang termasuk wewenang negara dan moralitas pribadi yang tidak termasuk wewenang negara. Sehingga tentang baju apa yang hendak dipakai oleh perempuan atau batas waktu bagi perempuan keluar malam bukanlah urusan negara. Hal yang perlu diurus negara adalah segala urusan seksual dengan orang di bawah umur. Menjual, memiliki, gambar porno, apalagi terlibat dalam aktivitas yang menyangkut ketelanjangan, atau hubungan seks dengan anak harus dilarang dan dihukum keras oleh negara. Tulisan ini akan mencoba melihat bahwa pemberangusan kebebasan individu kerap disebabkan oleh dalil kebaikan bersama. Eksistensi individu kerap dilebur dengan eksistensi kolektif seperti masyarakat, kelompok, bangsa dan negara. Akan dipaparkan bahwa ada ketegangan antara kepentingan individu dan kepentingan publik societas. Di akhir tulisan ini akan dipaparkan pentingnya ruang publik dan diskursus politik sebagai jalan tengah terhadap ketegangan antara kepentingan inidivu dan publik bersama.

2. Kebaikan: Tujuan Hidup Manusia

Hidup manusia selalu mengejar kebaikan. Siapa pun yang hidup pasti mengejar hidup baik. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang menginginkan kehidupan yang tidak baik, penderitaan dan kekacauan. Dalam bukunya Nicomachean Ethic, Aristoteles menyatakan bahwa tujuan dari semua perbuatan manusia adalah kebaikan. “Every art and every inquiry, and similarly every action and choice, is thought to aim at some good; and for this reason the good has rightly been declared to be that at which all things aim.” 4 Dengan kata lain kebaikan adalah sesuatu yang kepadanya segala sesuatu tertuju. Kebaikan adalah itu yang selalu dikejar dan dirindukan oleh semua manusia. Keburukan tidak pernah menjadi objek kehendak manusia secara langsung. Ajaran Aristoteles ini penting, karena keburukan tidak pernah menjadi tujuan dari perbuatan manusia. Dengan akal budinya, manusia tidak pernah meletakkan sesuatu yang buruk dalam dirinya in se sebagai tujuan yang hendak dikejar. 5 Dari etika, Aristoteles mengurai filsafat politiknya. Kalau dalam etika setiap manusia dalam polis mengejar kebaikan, maka dalam filsafat politik, manusia dan komunitasnya mengejar kebaikan tertinggi. Dengan kebaikan tertinggi itu dimaksudkan bahwa manusia dari kodratnya ingin menata dirinya dan sosialitasnya secara baik dan teratur demi sebuah kebaikan bersama. Selanjutnya Aristoteles memperkenalkan suatu term penting yaitu telos, tujuan, yang diartikan sebagai sesuatu yang di dalamnya suatu tindakan atau aktivitas mencapai kepenuhannya. Halnya dimaksudkan sebagai sesuatu yang kepadanya tindakan berakhir atau 3 Armada Riyanto, “Gerakan-Gerakan Pencerahan: Panorama ‘Sembulan-Sembulan’ Sejarah Politik Indonesia”, dalam Studia Philosophica et Theologica, Vol. 9 No.1, Maret 2009. hlm. 29. 4 Aristotle, The Nicomachean Ethics, translated by David Ross, Revised with an Introduction and Notes by Lesley Brown, Oxford: Oxford University Pers, 2009, hlm.3. Dalam catatan kaki selanjutnya buku Nicomachean Ethic akan disingkat dengan NE dan dalam sistem pengutipan akan digunakan penomoran baris. NE 1094a 1-3. 5 Armada Riyanto, Menjadi-Mencintai, Berfilsafat Teologis Sehari-hari, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 44. 2 berhenti. Ajaran Aristoteles ini disebut Teleologi. 6 Baik buruk suatu tindakan atau perbuatan tergantung dari tujuannya. Logika berpikir ini sangatlah penting untuk menilai dan mengkritisi suatu perbuatan. Sehingga tidak dengan sendirinya perbuatan yang tampaknya baik adalah baik, dan perbuatan yang tampaknya buruk adalah buruk. Halnya demikian karena kita harus menyelidiki intensi atau tujuan dari perbuatan itu sendiri. Seorang calon pemimpin sering diekspos oleh media massa sendang memberi bantuan dan sumbangan kepada orang-orang miskin. Di sini kita tidak bisa terburu-buru menilai bahwa calon pemimpin tersebut adalah seorang dermawan. Ia bisa saja melakukannya karena demi kebaikan itu sendiri membantu orang miskin atau demi suatu pencitraan diri agar mendapat simpati rakyat. Namun pada umumya, kebanyakan dari mereka yang telah terpilih menjadi pemimpin lupa kepada mereka yang miskin dan kecil. Mereka sering melihat politik sebagai sarana untuk memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, tentu mereka juga ingin memperkaya diri mereka sendiri. Dari contoh kecil di atas konsep tujuan telos yang digagas oleh Aristoteles kiranya dapat dimengerti secara lebih jelas. Membantu orang miskin adalah baik, tapi halnya menjadi berbeda bila aktivitas membantu orang miskin hanya dilakukan hanya untuk suatu pencitraan diri. Aktivitas memberi belum menjadi keutamaan baginya, karena tujuannya hanya supaya dilihat masyarakat bahwa dirinya baik. Ia tidak melakukannya demi kebaikan itu sendiri. Berkaitan dengan tujuan suatu tindakan, Aristoteles membedakannya di dalam dua pengertian, yaitu tujuan sebagai aktivitas itu sendiri dan tujuan sebagai produk atau hasil dari suatu aktivitas sehingga tujuan terpisah dari aktivitas. “But a certain difference is found among ends; some are activities, others are products apart from the activities that produce them.” 7 Misalnya, berterima kasih kepada seseorang. Dalam contoh ini, tindakan berterima kasih sekaligus merupakan tujuan. Sedangkan dalam membuat patung, produk dalam bentuk patung merupakan tujuan dari tindakan. Dengan kata lain tindakan membuat patung bukan merupakan tujuan, tetapi patung sebagai sebuah produk adalah tujuan dari tindakan itu. Setelah menguraikan arti kebaikan dan memperlihatkan bahwa dalam kenyataan terdapat sekian banyak kebaikan yang menjadi arah dan tujuan dari setiap tindakan, Aristoteles meyakini bahwa pasti ada kebaikan yang paling tinggi. Menurut Aristoteles, kebaikan tertinggi adalah kebahagiaan. Tetapi kebahagiaan yang seperti apa? Menurutnya, eudaimonia adalah nama dari kebaikan tertinggi yang dapat dicapai oleh seseorang dan seseorang dikatakan bahagia apabila ia memiliki konsep yang tepat tentang kebaikan tersebut. 8 Bagi Aristoteles, arti kebahagiaan bukanlah sebuah deskripsi atau analisis tentang sebuah perasaan, tetap lebih mengacu pada suatu pola atau model hidup yang baik. Karena itu Aristoteles menunjukkan bahwa kebahagiaan sering kali disamakan dengan hidup baik dan melakukan yang baik. Kebahagiaan bukanlah suatu keadaan bahagia. Aristoteles mengatakan: “it is not a state; for if it were it might belong to someone who was asleep throughout his life.” 9 Kebahagiaan bukanlah hasil atau prestasi yang bisa dinikmati untuk selamanya. Kebahagiaan adalah suatu tindakan keuatamaan yang dilakukan berkali-kali. Keutamaan yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi habitus. Dengan kata lain kebahagiaan adalah aktivitas itu sendiri. Mengapa kebahagiaan menjadi kebaikan tertinggi? Aristoteles menjawab demikian: 6 Ibid. 7 NE 1094a 3-5. 8 Yosef Keladu Koten, Partisipasi Politik: Sebuah Analisis atas Etika Politik Aristoteles, Maumere: Penerbit Ledalero, 2010, hlm. 77. 9 NE 1176a 34. 3 Now we call which is in itself worthy of pursuit more final than that which is worthy of pursuit for the sake of something else, and that which is never desirable for the sake of something else more final than the things that are desirable both in themselves and for the sake of that other thing, and therefore we call final without qualification that which is always desirable in itself and never for the sake of something else. 10 Kebahagiaan merupakan tujuan dari semua tindakan manusia karena di dalam dirinya sendiri itu pantas untuk dikejar. Kebahagiaan dikejar demi kebahagiaan itu sendiri dan bukan demi sesuatu yang lain. Kebahagiaan merupakan tujuan tertinggi dan yang paling sempurna dalam dirinya sendiri. Kebahagiaan tidak membutuhkan sesuatu yang lain di luar dirinya untuk membuat dirinya layak untuk dikejar. Ia dikejar demi kebahagiaan itu sendiri, bukan demi sesuatu yang lain di luar dirinya. Selanjutnya, Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan menjadi kebaikan tertinggi karena di dalam dirinya terdapat prinsip self-sufficient. Artinya bahwa kebahagiaan itu cukup dalam dirinya sendiri. Self-Sufficiency tidak berarti bahwa kebahagiaan merupakan suatu kebaikan yang terpisah dari kebaikan-kebaikan lainnya, tetapi dia ada dalam semua kebaikan lain dan sekaligus berbeda dari kebaikan-kebaikan tersebut. Kebahagiaan bukan sekadar dilihat sebagai tujuan dominan hidup seseorang, tetapi juga suatu aktivitas. 11 Jadi Aristoteles menyatakan bahwa kebahagiaan menjadi kebaikan tertinggi karena kebahagian “is something final and self-sufficient, and is the end of action.” 12 Immanuel Kant melihat bahwa tidak adahal lain yang baik secara mutlak kecuali kehendak baik. Kehendak baik sebagai kehendak yang baik pada dirinya, tidak tergantung pada yang lain, tanpa pamrih, tanpa syarat. 13 Dengan meninggalkan pamrih-pamrihnya, kehendak baik di dunia akan terwujud dalam pelaksanaan kewajiban. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa bagi Kant, baik itu wajib. Sehingga ketika kita melihat orang yang kelaparan di pinggir jalan, kita wajib untuk memberinya makan. Kita memberinya makan bukan untuk menunjukkan kemurahan hati kita, tetapi karena halnya sebagai kewajiban. Selanjutnya Kant menggagas tentang imperatif kategoris. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan tertentu, melainkan karena perintah itu baik pada dirinya. Impertatif ini bersifat a priori. 14 Lalu pertanyaan yang muncul adalah apakah mungkin ada sebuah imperatif a priori murni, yang dilakukan tanpa tujuan tertentu. Bagi Kant, tujuan yang mendasari imperatif kategoris adalah manusia itu sendiri. Dengan demikian, manusia bukanlah sarana, melainkan tujuan an sich. Bila tindak kekerasan dilakukan dengan dalil demi mencapai kebaikan bersama, bagi Kant, halnya bukanlah kebaikan sebab tindakan itu membuat manusia sebagai sarana dan memberangus eksistensi manusia. Edward Moore mendefinisikan ‘baik’ sebagai itu yang tidak dapa didefinisikan. Baginya, ‘baik’ merupakan sifat primer, sehingga segala usaha untuk mendefiniskan kata ‘baik’ pasti gagal. 15 Karena ‘baik’ adalah sifat primer, maka ‘baik’ tidak terdiri atas bagian- bagian lagi, tidak dapat dianalisa, dan tidak dapat direduksi pada sesuatu yang lebih mendasar lagi. Oleh karen itu, usaha untuk mengidentifikasikan ‘baik’ dengan salah satu sifat, seperti ‘nikmat’ atau ‘yang diinginkan’ adalah sebuah distorsi. Bagi Edward Moore, ‘baik’ adalah ‘baik’. 10 NE 1097a 30-35. 11 J. L. Ackrill, Essays on Plato and Aristotle, Oxford: Oxford University Press, 1997, hlm. 182. 12 NE 1097b 20. 13 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, dari Machiavelli sampai Nietzsche, Jakarta: Gramedia, 2004, hlm. 145. 14 Ibid., hlm. 148, Kant merangkum imperatif kategorisnya sebagai berikut: “Bertindaklah seolah-olah maksim tindakan Anda melalui keinginan Anda sndiri dapat menjadi sebuah Hukum alam yang Universal.” 15 Franz Magnis-Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, Yogyakarta: Kanisius, 2006, hlm. 4. 4 Dari beberapa gagasan para filosof yang telah dipaparkan di atas, kiranya jelas bahwa kebaikan adalah itu selalu dikejar manusia dan ia tidak bisa direduksi atau disamakan dengan nilai-nilai lain. Baik adalah baik itu sendiri. Kebaikan juga selalu pro eksistensi manusia, bukan memberangusnya. Dengan demikian halnya menjadi absurd bila kebaikan bersama memberangus atau bahkan meniadakan eksistensi individu. Pada hakekatnya, kebaikan bersama juga seharusnya mengafirmasi kebaikan individu.

3. Individu dan Societas: Ketegangan Antara Yang Adil dan Yang Baik