Individu dan Societas: Ketegangan Antara Yang Adil dan Yang Baik

Dari beberapa gagasan para filosof yang telah dipaparkan di atas, kiranya jelas bahwa kebaikan adalah itu selalu dikejar manusia dan ia tidak bisa direduksi atau disamakan dengan nilai-nilai lain. Baik adalah baik itu sendiri. Kebaikan juga selalu pro eksistensi manusia, bukan memberangusnya. Dengan demikian halnya menjadi absurd bila kebaikan bersama memberangus atau bahkan meniadakan eksistensi individu. Pada hakekatnya, kebaikan bersama juga seharusnya mengafirmasi kebaikan individu.

3. Individu dan Societas: Ketegangan Antara Yang Adil dan Yang Baik

Dalam diskursus filsafat politik kontemporer terdapat dua kubu yang memiliki pendirian yang berbeda dan kerap saling bertentangan satu sama lalin. Kedua kubu tersebut adalah kaum liberal dan komunitarian. Kaum liberal membela hak-hak individu yang di dasarkan pada konsep ‘yang adil’. Sementara itu, kubu komunitarian membela hak-hak kolektif dengan mendasarkannya pada konsep ‘hidup yang baik’. Perdebatan dan pertentangan kedua kubu tersebut dapat dipahami sebagai berikut. Kaum liberal memiliki asumsi bahwa manusia memiliki martabat yang sama. Dengannya kaum liberal menuntut perlakuan politis dan hukum yang sama tanpa memandang perbedaan gender, ras, agama dan ideologi. 16 Dengan kata lain gagasan politik liberal didasarkan pada konsepsi ‘yang adil’. Mereka mengiginkan negara bersikap netral atas pelbagai konsep “hidup yang baik” yang diusung oleh komunitas-komunitas kultural dan religius yang berbeda. Netral berarti bahwa konsepsi hidup yang baik tidak boleh hanya merujuk pada konsep baik dari komunitas tertentu dan menerapkannya untuk tatanan hidup bersama. Sebuah tatanan politis yang berlaku bagi semua pihak tidaklah dapat dibangun atas dasar konsep-konsep partikular karena tidak akan dapat diterima oleh semua pihak. 17 Dengan kata lain, di dalam ‘kita’ yang berdaulat kebebasan individu tidak mendapat tempat. Bila konsep hidup baik yang diusung oleh kelompok tertentu diterapkan kepada semua kelompok, maka halnya tidak lain adalah monisme moral. Dalam konteks ini, monisme moral adalah semua bentuk upaya untuk menjadikan suatu konsep tunggal tentang hidup ‘yang baik’ sebagai universal. Bagi Berlin, monisme moral inilah yang menjadi akar dari totaliterisme. Sementara kaum komunitarian mengkritisi kaum liberal dari asumsi bahwa stabilitas suatu negara hanya dapat dicapai dengan berlandaskan pada konsep ‘hidup yang baik’. Mereka melihat bahwa kaum liberalis mengabaikan kenyataan bahwa konsep tentang ‘yang adil’ dapat menghasilkan integrasi politis hanya jika keadilan dimengerti oleh para anggota sebuah komunitas sebagai sesuatu ‘yang baik’. Bila konsep hidup ‘yang baik’ tidak mendapat tempat dalam tatanan hidup bersama, maka struktur politik akan berkembang otonom tanpa inentitas dan moralitas. 18 Selain itu kaum komunitarian juga mengkritisi kaum liberal yang melandaskan pandangan politik mereka pada martabat manusia yang universal. Halnya berarti bahwa kaum liberal melihat semua individu sama saja. Di titik inilah kaum komunitarian melihat ada bahaya bahwa individu atau kelompok tertentu kehilangan perbedaannya atau keunikannya. Oleh karena itu mereka menawarkan politik identitas yang berdasar budaya lokal, etnisitas, ras dan agama untuk sebagai tandingan terhadap liberalisme individualistis. 19 Inilah hal yang ingin dipertahankan dan dibela oleh kaum komunitarian. 16 Bdk. Otto Gusti Madung, Politik Diferensiasi Versus Politik Martabat Manusia?, Maumere: Penerbit Ledalero, 2011, hlm. 14. 17 Bdk. F. Budi Hardiman. Op. Cit., hlm. 175. 18 Bdk. Otto Gusti Madung, Op. Cit. hlm. 22. 19 Bdk. Ahamah Sahal, “Isaiah Berlin dan Liberalisme Tanpa Universalisme,” dalam Isaiah Berlin, Empat Esai Kebebasan, terj. A. Zaim Rofizi, Jakarta: LP3ES dan Freedom Institute. 2004, hlm. x. 5 Dari ketegangan antara kaum liberalis dan komunitarian, halnya menjadi jelas bahwa ada ketegangan kepentingan antara individu dan kolektif societas. Individualitas sering harus tunduk entitas kolektif. Hal ini secara jelas tampak dalam pemikiran Hegel dan Karl Marx. Keduanya menganggap bahwa manusia dan masyarakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu alam yang lebih luas. Bagi Hegel, sejarah adalah suatu perjuangan abadi dari berbagai kekuatan spiritual besar yang mengejawantah dalam bentuk institusi- intstitusi negara, ras, kerajajaan dll, atau dalam individu-individu istimewa. Bagi Marx, perjuangan sejarah mendapat bentuk konkretnya dalam pertarungan antara berbagai kelompok yang secara sosial telah terkondisikan, kaum borjuis dan kaum proletar. 20 Kedua tokoh ini percaya bahwa kekacauan maupun perang yang terjadi di dalam sejarah manusia adalah bagian dari sebuah perjuangan sejarah menuju suatu titik yang lebih baik. Bagi mereka, sejarah adalah suatu proses dialektis. Manusia adalah bagian kecil dari sejarah. Oleh karena itu individu pada dasarnya tidak pernah bebas. Ia hanyalah bagian dari entitas yang lebih besar, entitas kolektif, suatu bangunan keseluruhan.

4. Ruang Publik dan Diskursus Politik