Evalusi Pemilu 2004 Dan Akuntabilitas Perwakilan Politik

EVALUSI PEMILU 2004
DAN AKUNTABILITAS PERWAKILAN POLITIK

Subhilhar

Abstract: General election as a rule is considered in momentum for Nations
which is being experience of transition to democracy and really to enter phase
consolidation of democracy. Carried out general election freely with universal
suffrage is the source of legitimate for new governance of people choice to
terminate power and influence of authoritarian regime. Urgency general election
as "method" at the same time prima facie institute procedure for democracy
system, according to Samuel P. Huntington, have been told by since Joseph
Schumpeter through the masterpiece of Capitalism, Socialism, and Democracy
(1942) introducing approach of procedurals as part of growth of modern
democracy. The big expectation will take place him change of politics by society
which are enthusiasms vote in peace and expected general election can yield
credible parliamentarian and reply for constituent. This article tries to study some
analysis for concerning execution of General Election 2004 which bearing of with
improvement of accountabilities representative of politics in Indonesia.
Keywords: general election, political accountability, and democracy
PENDAHULUAN

Pemilihan umum (Pemilu) pascarezim
otoriter,
lazimnya
dianggap
sebagai
momentum bagi negara-negara yang tengah
mengalami transisi menuju demokrasi untuk
benar-benar memasuki tahap konsolidasi
demokrasi. Pemilu yang diselenggarakan
secara bebas dengan hak pilih universal
merupakan
sumber
legitimasi
bagi
pemerintahan baru pilihan rakyat untuk mengakhiri kekuasaan dan pengaruh rezim otoriter.
Urgensi pemilu sebagai “metode” sekaligus
prosedur kelembagaan yang utama bagi sistem
demokrasi, menurut Samuel P. Huntington,
telah dikemukakan sejak Joseph Schumpeter
melalui karyanya Capitalism, Socialism, and

Democracy (1942) memperkenalkan pendekatan prosedural sebagai bagian dari perkembangan demokrasi modern (Haris 1999).
Sehingga harapan besar akan berlangsungnya
perubahan politik secara signifikan itulah yang
mewarnai antusiasme masyarakat memberikan
suaranya secara damai dalam pemilu
multipartai pertama pasca-Orde Baru pada
1999 dan kedua Pemilu 2004 yang baru
berakhir.
Dalam perspektif demokrasi, pemilu
merupakan pemberian hak kepada rakyat untuk
menentukan bagaimana jalannya pemerintahan.
26
Subhilhar adalah Dosen FISIP USU

Robert A. Dhal mengemukakan, paling kurang
ada lima kriteria yang harus dipenuhi oleh
suatu negara-bangsa dalam proses demokrasi
sehingga terbentuk pemerintahan yang bisa dikategorikan sebagai demokrasi atau secara
spesifik disebut poliarki. Kelima kriteria
tersebut adalah persamaan hak pilih, partisipasi

efektif, pembeberan kebenaran, kontrol
terhadap agenda, dan pencakupan. Selanjutnya
Dahl mengatakan ada tujuh lembaga demokrasi
yang harus ada dalam rangka proses
demokrasi, yaitu (1) para pejabat yang dipilih,
(2) pemilu yang bebas dan adil, (3) hak untuk
memilih yang inklusif, (4) hak dipilih atau
dicalonkan dalam pemilu, (5) kebebasan menyatakan pendapat, (6) hak mendapatkan
informasi alternatif; dan (7) kebebasan berserikat (Dahl 1992).
Demokrasi memberikan kesempatan
juga kepada rakyat untuk mempengaruhi berbagai kebijakan dan keputusan yang diambil
pemerintah. Namun, perlu disadari pula bahwa
rakyat tidak mungkin diminta memberikan suaranya terhadap setiap keputusan yang akan diambil. Negara masa kini menggunakan sistem
”Demokrasi Perwakilan” untuk mewujudkan
aspirasi rakyatnya. Berdasarkan sistem ini,
rakyat Indonesia memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat di pusat maupun di daerah
untuk mewakilinya. Para wakil rakyat tersebut

Subhilhar, Evaluasi Pemilu 2004...


bertugas untuk memperjuangkan keinginan
rakyat agar tercermin dalam segala kebijakan
pemerintah.
Bulan April 2004 masyarakat pemilih
di Indonesia telah menunaikan amanah yang
tertuang dalam UU No. 12 Tahun 2003 untuk
memilih wakil-wakilnya di tiga tingkatan lembaga perwakilan rakyat, yaitu DPR-RI, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Dan masyarakat pemilih juga menuntaskan untuk memilih wakilnya di DPD dan terakhir memilih
presiden secara langsung. Pemilu 2004 dilaksanakan dengan dengan sistem baru di mana
rakyat memilih wakilnya berdasarkan daerahdaerah pemilihan model baru, prosedur, dan
mekanisme pencalonan, yang masuk dalam
salah satu pengertian sistem pemilihan. Namun
perlu disajikan ulasan kritis tentang daerah pemilihan dalam sistem pemilihan tersebut sehingga setidaknya kita bisa menelaah proses
demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia.
PEMBAHASAN
Daerah Pemilihan dalam Menjamin
Keterwakilan dan Akuntabilitas Politik
Daerah-daerah pemilihan adalah suatu
kesatuan wilayah. Para anggota lembaga perwakilan rakyat yang terpilih dari suatu daerah

pemilihan mewakili seluruh rakyat yang
tinggal di wilayah yang termasuk dalam daerah
pemilihan tersebut. Rakyat yang tinggal di
daerah pemilihan disebut ”konstituen” dari
para wakil rakyat yang terpilih mewakili
daerah pemilihan.
Menurut model daerah pemilihan
Indonesia terkini, daerah-daerah pemilihan
DPR-RI umumnya kabupaten/kota atau gabungannya, sama seperti daerah-daerah pemilihan
DPRD Provinsi. Yang berbeda adalah daerahdaerah pemilihan DPRD Kabupaten/Kota yang
merupakan kecamatan atau gabungannya.
Sebagai perbandingan, pada Pemilu 1999,
setiap provinsi menjadi daerah pemilihan untuk
baik DPR-RI maupun DPRD Provinsi. Lalu
setiap kabupaten/kota secara utuh menjadi
daerah
pemilihan
untuk
DPRD
Kabupaten/Kota. Pada masa itu, setiap partai

politik peserta Pemilu menyerahkan sebuah
daftar caleg yang sangat panjang karena jumlah
kursi yang diperebutkan dalam setiap daerah
pemilihan dengan sendirinya menjadi sangat
banyak. Pada Pemilu 2004, dari model daerah
pemilihan, terbentuklah 550 anggota DPR-RI
dipilih mewakili 69 daerah pemilihan yang

terbentang dari Sabang sampai Merauke.
Untuk para anggota di 32 DPRD Provinsi di
seluruh Indonesia, 211 daerah pemilihan
dibentuk. Lantas untuk para anggota DPRD
Kabupaten/Kota, 1745 daerah pemilihan telah
dibentuk di 440 Kabupaten dan Kota.
Tujuan dari sistem daerah pemilihan
model baru yang dipakai pada Pemilu 2004
adalah untuk menghasilkan sistem perwakilan
rakyat yang lebih kecil wilayahnya, yang
mengakibatkan jumlah daerah pemilihan
menjadi lebih banyak. Meskipun demikian,

setiap daerah pemilihan diwakili oleh wakil
rakyat yang lebih sedikit jumlahnya. Situasi ini
harusnya menguntungkan rakyat pemilih.
Rakyat hendaknya menganggap para wakil
rakyat itu bekerja untuk mereka. Rakyat
hendaknya mengharapkan wakil rakyat mereka
untuk mendengarkan keinginan mereka dan
memperjuangkan kepentingan masyarakat
yang tinggal di daerah pemilihan.
Pada Pemilu 2004, masyarakat pemilih
hanya dapat memilih satu kali, yakni memilih
partai politik yang mereka dukung, untuk
setiap lembaga perwakilan rakyat (meskipun
tidak wajib, satu orang caleg dari partai politik
yang didukung juga dapat dipilih). Namun,
sesungguhnya, secara bersama-sama, rakyat
yang tinggal di daerah pemilihan yang sama
diwakili oleh sekelompok wakil rakyat yang
terpilih untuk mewakili daerah pemilihan
tersebut.

Menurut aturan Pemilu 2004, rakyat di
setiap daerah pemilihan diwakili oleh tiga
hingga duabelas wakil rakyat. Mereka telah
dicalonkan oleh berbagai partai politik yang
ikut serta dalam pemilu. Semua wakil rakyat di
satu daerah pemilihan, dari semua partai
politik, mewakili semua rakyat yang tinggal di
daerah pemilihan tersebut secara bersama.
Metode ini seharusnya mendekatkan wakil
rakyat yang duduk di Dewan Perwakilan
Rakyat dengan rakyat pemilihnya. Akan tetapi
terjadi kelemahan di Pemilu 2004, pada saat
penentuan caleg oleh partai politik. Permainan
elite partai dan politik uang juga masih sangat
kental ketika proses penentuan caleg di internal
partai politik. Indikasinya adalah beredarnya
izajah palsu, kolusi di antara elite partai dalam
penentuan calon yang banyak mewarnai berita
media pada Pemilu 2004. Nomor urut masih
menentukan seorang calon untuk masuk di

gedung wakil rakyat. Sehingga tidak jarang
caleg yang diajukan oleh partai politik
menimbulkan
berbagai
persoalan
di
27

Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2

masyarakat begitu juga orang-orang yang
dicalonkan masih harus dipertanyakan
kapabilitasnya dalam melakukan analisis
pembangunan di daerah pemilihnya.
Sebagai anggota kelompok terpilih di
dalam masyarakat, para wakil dapat digolongkan sebagai elite dalam sistem politik.
Kekuatan politik, dukungan, formalitas, posisi
sosial, moralitas, dan segala atribut yang
melekat pada diri wakil akan merupakan
sumber kekuatan bagi wakil. Derajat

akumulatif sumber-sumber itu menentukan
tingkat kekuatan dan daya pengaruhnya di
dalam masyarakat. Namun demikian, secara
analitis perlu dibedakan wakil yang
berkapasitas kepemimpinan dengan wakil yang
hanya berkapasitas sebagai pemangku kewenangan. Karena tidak semua wakil memperoleh
legitimasi yang memadai diri terwakil maka
wakil seperti itu lebih banyak mengandalkan
formalitas dan kedudukannya selaku wakil untuk menunaikan tugasnya. Justru wakil-wakil
yang termasuk ke dalam tipe ini lebih dilihat
sebagai pemangku kekuasaan daripada
pemimpin rakyat.
Apa saja kewajiban wakil terhadap terwakil? Pada dasarnya wakil dituntut, pertama
harus memiliki akses terhadap daerah pemilihnya. Wakil mesti banyak meluangkan waktu di
dalam daerah pemilihannya, menjawab surat
dan telepon dari pemilihnya, dan menggunakan
stafnya untuk mempertahankan kontak, bila ia
tidak dapat melakukannya secara personal. Ia
harus mempublikasikan kemampuan akses
yang dimilikinya. Jika wakil tidak memiliki

akses terhadap pemilih, maka pemilih tak dapat
mengontak wakil-wakilnya dan tidak tahu
bagaimana caranya untuk menyampaikan
masalah yang dihadainya. Kedua, wakil harus
aktif mencari informasi sumber-sumber untuk
mengetahui kebutuhan dan pandanganpandangan pemilihnya, mendekati pemilih dan
mengakrabi masalah-masalah mereka, seperti
perbaikan jalan, perumahan yang tak layak,
pengangguran, ketegangan rasial, dan lain
sebagainya. Hal ini termasuk akrab dengan
kelompok-kelompok yang ada di daerahnya
dan pemimpin kelompok-kelompok tersebut,
menghadiri
pertemuan,
mengembangkan
komunikasi, dengan demikian wakil dapat
belajar dan mengevaluasi tuntutan-tuntutan
mereka. Ketiga, wakil diharapkan menjalankan
kepemimpinannya, mendidik, pemilih dan
menjelaskan aktivitasnya. Wakil menjelaskan
masalah-masalah dalam berhubungan dengan
28

negara dan distrik serta menjelaskan anggaran
yang digunakan. Ia menjelaskan tindakantindakannya dan pendapat-pendapatnya pada
masalah-masalah
tertentu.
Ia
menginformasikan
kepada
kelompokkelompok dan individu-individu mengenai
program-program yang bermanfaat bagi
mereka (Jewell 1982).
Indikator di atas merupakan jaminan
bekerjanya sistem keterwakilan sekaligus menentukan kadar akuntabilitas wakil rakyat tersebut. Pertanyaan kemudian adalah apakah di
daerah di mana kita tinggal dan memilih dalam
daerah pemilihan, setelah Pemilu usai, hal tersebut dilakukan oleh wakil kita? Jawabannya
bisa ya atau tidak, itu saja.
Sekelumit harapan tersebut sangat tergantung dari proses yang terjadi di partai politik. Karena mereka yang melakukan
rekrutmen, pengkaderan, dan sistem penilaian
sumber daya manusianya. Partai politik harus
lebih demokratis terutama dalam menentukan
kadernya untuk didudukkan dalam jabatan
publik tertentu. Partisipasi masyarakat harus
diluaskan, sistem penilaian harus diperketat
sehingga pertanggungjawaban kepada publik
semakin lebih konkrit. Untuk itu, perlu
dipertegas regulasi yang mengatur partai
politik agar menjamin prosedur keterwakilan
rakyat tersebut. Sehingga metode Daerah
Pemilihan dalam Pemilu di Indonesia tidak
akan pernah dapat menjamin keterwakilan
politik dan akuntabilitas wakil rakyat yang
baik, jika salah satu pilar demokrasi, yaitu
partai politik tidak melakukan prinsip-prinsip
yang demokratis.
Daerah Pemilihan dalam Prinsip Kesatuan
Wilayah & Kepentingan Ekonomi
Daerah pemilihan ini sarat dengan berbagai persoalan apabila terdapat persengketaan
batas wilayah antara provinsi atau antarkabupaten/kota. Pada Pemilu 2004 terdapat
sejumlah kasus persengkataan batas wilayah
seperti di Provinsi Papua antara Kabupaten
Yahukimo dengan Kabupaten Pegunungan
Bintang, di Sumatera Utara antara Kabupaten
Tapanuli Selatan dengan Padang Sidempuan,
antara Provinsi Sulawesi Selatan dengan
Sulawesi Utara, di Sulawesi Barat antara
Kabupaten Mamuju dengan Mamuju Utara, di
Provinsi Kalimantan Timur antara Kota
Bontang dengan Kutai Barat. Selain itu kriteria
de facto (mereka yang telah berdomisili
sekurang-kurangnya enam bulan sampai

Subhilhar, Evaluasi Pemilu 2004...

dengan masa pendaftaran yang dibuktikan dengan KTP atau surat keterangan lain) yang digunakan untuk menentukan siapa yang dapat
didaftar sebagai pemilih juga menimbulkan
persoalan di kota besar (Surabaya, Semarang,
Medan, dan sebagainya) baik mereka yang bekerja di sektor publik seperti pemerintah
daerah maupun sektor privat tetapi berdomisili
di luar kota tidak dapat memilih wakil mereka
untuk kota tersebut.
Pencalonan dan Penetapan Calon
Dari segi pencalonan, semua partai
politik dalam Pemilu 2004 memiliki
persyaratan tertentu untuk menomor-urutkan
kader atau bukan kader partainya dalam posisi
daftar pencalonan legislatif yang lalu.
Mekanisme yang dilakukan oleh partai dalam
penetapan calon pada Pemilu 2004 masih
bersifat internal, tidak satupun partai yang
bersedia melakukan seleksi eksternal partai
misalnya mengumumkan kepada publik atau
setidaknya di tingkat basis massanya dan
kemudian menerima masukan dari konstituennya.
Dalam perspektif demokrasi, institusi
politik seperti partai dan parlemen berfungsi
dan
bersifat
aspiratif,
melembagakan
demokrasi tidak hanya sebagai prosedur, tetapi
juga substansi perilaku, misalnya melalui
sistem pemilu yang dapat menjamin
keterwakilan dan partisipasi massa serta
kompetisi terbuka bagi para elite (Diamond
1999). Dalam catatan Pemilu 2004, dari
penetapan calon yang diajukan oleh partai
politik, hanya ada dua orang yang memenuhi
bilangan pembagi pemilih atau yang benarbenar dipilih oleh konstituennya. Selebihnya
hanya mengandalkan tersisanya hasil suara dan
nomor urut. Artinya, nomor urut dalam penetapan calon sangat menentukan besarnya kemungkinan untuk menjadi anggota dewan perwakilan rakyat. Gejala ini menunjukkan bahwa
sistem proporsional dengan daftar calon
terbuka masih membuka peluang elite partai
sangat mempunyai peran dalam menentukan
calon yang berpeluang sangat besar menjadi
anggota legislatif.
Kampanye
Kampanye dalam Pemilu 2004 masih
bersifat konvensional. Menawarkan programprogram yang kurang bisa diukur dan selalu
tampil dengan entertainment yang sangat berlebihan, misalnya menghadirkan selebriti atau

tokoh-tokoh simbol yang berada dalam imajinasi sebagian publik. Kampanye sebagian
besar masih didominasi oleh simbol-simbol
yang kurang terukur dan tidak jarang hanya
menampilkan figur-figur. Dalam perspektif
pendidikan politik model dan metode
kampanye tersebut tidak bisa terukur dengan
baik. Pemasaran politik melalui ide-ide yang
diramu
berdasarkan
kebutuhan
dan
kepentingan konstituen dari kontestan pemilu
sangat mendesak untuk dilakukan melalui
peraturan model dan metode kampanye. Peraturan itu bisa diusulkan melalui serangkaian
kajian-kajian berupa petunjuk pelaksana yang
digunakan sebagai pedoman bagi penyelenggara. Di dalam petunjuk pelaksana itu terdapat
sejumlah persyaratan yang dapat diukur dalam
kriteria-kriteria kampanye yang baik.
Beli Kucing dalam Karung atau Cerdas
Memilih
Sistem proporsional dalam pemilu
telah digunakan sejak merdeka. Hasilnya, jelas
seperti ini. Realitas carut-marutnya sistem
demokrasi saat ini merupakan bukti adanya
kelemahan menggunakan sistem itu. Rakyat
dipaksa memilih wakil-wakil yang tak pernah
mereka ketahui. Mereka ibarat membeli kucing
dalam karung, karena tak tahu siapa yang
menjadi wakilnya di legislatif. Mereka tidak
tahu, apakah yang dipilih merah, hitam, atau
bahkan blangtelon. Itulah kelemahan sistem
proporsional. Belum lagi perilaku partai-partai
peserta pemilu yang merugikan pelaksanaan
demokrasi.
Ternyata sistem proporsional dengan
sedikit modifikasi, masih dipergunakan pada
Pemilu 2004. Tentu kesan yang muncul, amat
tidak fair jika presiden dipilih langsung, tapi
wakil rakyat dipilih masih dengan kemiripan
metode nomor urut. Sejak merdeka pada tahun
1945, negeri ini baru sembilan kali melangsungkan Pemilu, yaitu pada 1955, 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, 1997, 1999, dan 2004. Dari
sekian kali pemilu, banyak pengamat menilai
yang paling demokratis hanya terjadi pada
1955 yang kala itu memilih anggota
Konstituante.
Pemilu 1955 disebut-sebut paling bergengsi dan demokratis, karena kebanyakan calon perseorangan, dan organisasi hanya ikut
pemilu di daerah pemilihan tempat mereka berdomisili atau di daerah asalnya. Tak heran jika
banyak yang menyatakan Pemilu 1955 merupakan pemilu paling bergengsi, karena dari
29

Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2

sekian banyak calon anggota DPR dari partai
besar adalah tokoh legendaris yang telah
berjuang pada masa kemerdekaan. Selain
Soekarno-Hatta yang menjadi presiden dan
wakil presiden yang sudah punya nama,
Pemilu 1955 juga menjadi ajang persaingan
para tokoh, seperti Mr.Sunarjo (NU),
Prof.Dr.Sumitro
Djojohadikusumo
(PSI),
Ignatius (Partai Buruh), Bung Tomo, Syafrudin
Prawiranegara, dan sejumlah tokoh beken lain.
Nama-nama besar itu punya hak sama dengan
tokoh desa dan mereka berkompetisi secara
sehat.
Ganti Sistem?
Berangkat dari pengalaman dan perbandingan sembilan kali pesta demokrasi itulah
kini muncul wacana mengganti sistem pemilu.
Banyak kalangan praktisi maupun pengamat
mendorong agar Pemilu 2004 menggunakan
sistem distrik.
Yang pasti, pertimbangan sistem
demokrasi perwakilan dengan memakai sistem
proporsional
ternyata
belum
pernah
memberikan kesempatan kepada rakyat
memilih wakilnya di parlemen. Yang duduk di
DPR/MPR jelas para wakil partai, bukan wakil
rakyat sesungguhnya. Kondisi ini tentu
menyebabkan terjadinya distorsi.
Indikasi adanya distorsi pilihan dalam
setiap pemilihan terjadi sejak 1955 hingga
2004 adalah bisa dilihat dari pemberian suara
secara sembarangan tanpa memahami suatu
partai atau karena rendahnya pemahaman atas
hakikat pemilu. Buktinya, banyak partai yang
tidak ikut pemilihan di satu daerah, ternyata
juga mendapat suara dari daerah itu.
Pemilu yang menjadi proses demokrasi
perwakilan (representative democracy) dalam
menyeleksi para wakil yang akan membawa
kemauan dan aspirasi rakyat berubah menjadi
permainan politik tanpa nilai dan menjadikan
pemilih sebagai legitimasi belaka.
Ada
yang
menyatakan
terjadi
kegagalan dalam penerapan pemilihan
perwakilan sepanjang sembilan kali pemilu
yang digelar sejak 1955. Padahal selama itu
juga telah diterapkan sistem proporsional. Pro
dan kontra sistem pemilu terus berlanjut,
demokrasi juga harus berani melakukan
percobaan
menuju
kesempurnaan.
Pertanyaannya, benarkah sistem distrik lebih
baik dari proporsional?
Jawabnya cukup jelas. Hasil selama
sembilan kali pemilu dengan sistem proporsio30

nal jelas seperti sekarang. Terjadi distorsi
antara rakyat dan para wakilnya di DPR/MPR.
Artinya, sistem itu telah gagal membangun
demokrasi perwakilan. Setidaknya untuk
Indonesia, sistem itu belum membuahkan hasil
dalam membangun sistem politik dan
demokrasi yang baik. Diakui di banyak negara
yang semula menggunakan sistem distrik,
sekarang beralih ke proporsional.
Sebut saja yang terjadi di negaranegara Eropa Timur. Ketika kekuasaan
komunis gulung tikar sekitar tahun 1990-1995
yang ditandai runtuhnya imperium Uni Sovyet,
tercatat sembilan dari 19 negara di kawasan itu
yang awalnya menggunakan sistem distrik,
ternyata belakangan enam di antaranya beralih
ke sistem proporsional. Hal itu diungkapkan
Presiden Komite Independen Pemantau Pemilu
Eropa, Pipit Kartawidjaya dalam satu diskusi
yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Dalam diskusi itu, President Representative of
Friedrich Naumann Stiftung (FNS), Rainer
Adam, mengurai plus dan minusnya sistem
distrik maupun proporsional.
Sistem distrik memiliki kelebihan, calon legislatif (caleg) langsung bertanggung jawab pada pemilih yang diterjemahkan dalam
hubungan pemilih-wakilnya yang lebih dekat.
Caleg lebih independen terhadap parpol dan
pimpinan parpol, sebab tidak bergantung pada
daftar partai yang akan memastikan posisinya
secara relatif.
Kelemahan sistem distrik, misalnya caleg yang memiliki status sosial, jaringan keluarga, bisnis besar, sumber daya finansial, atau
tokoh karismatik mempunyai peluang besar
untuk terpilih. Ada anekdot, para wakil rakyat
dari Jatim yang notabene pemilu lalu
dimenangkan PKB, akan banyak kiai yang
duduk di DPR/MPR.
Proporsional Terbuka
Tentang
sistem
proporsional
tampaknya masih akan dipertahankan para
''politisi Senayan''. Sistem ini memang
mempunyai keuntungan, karena kekuatan
sistem terdiri atas proporsionalitas yang tegas
atas hasil pemilu. Namun sistem proporsional
juga punya kelemahan.
Maswadi Rauf dan Jimly Asshidiqie,
dalam sebuah rapat dengar pendapat umum
dengan DPR, tak ada sistem pemilu yang sempurna. Kalau begitu, sistem pemilu apa yang
pas untuk Pemilu 2004 mendatang? UndangUndang Nomor 13 tahun 2003 tentang Pemilu

Subhilhar, Evaluasi Pemilu 2004...

menggunakan sistem kombinasi antara proporsional dan distrik atau dengan istilah proporsional terbuka. Untuk memilih anggota DPR,
DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
dilaksanakan dengan sistem proporsional daftar
terbuka dan sistem distrik untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah/DPD. Konsep
sistem pemilu proporsional daftar terbuka yang
dinilai akan lebih menjamin penyelenggaraan
pemilu yang berkualitas dibandingkan dengan
sistem proporsional daftar tertutup yang
digunakan selama ini.
Sistem proporsional daftar terbuka,
mengacu pada Ketetapan (Tap) MPR No
IV/1999 tentang GBHN 1999-2004 yang
mengamanatkan penyelenggaraan pemilu
secara lebih berkualitas dengan partisipasi
rakyat seluas-luasnya. Itu berbeda dari sistem
proporsional daftar tertutup yang mengandung
banyak kelemahan. Faktanya, ada anggota
legislatif di daerah pemilihannya yang kurang
dikenal para pemilih, sehingga tidak
mempunyai legitimasi dari konstituennya.
Bagi pemerintah, sistem proporsional
daftar tertutup cenderung mengandung
dominasi dan otoritas DPP partai dalam
menentukan
calon.
Sebaliknya,
jika
menggunakan sistem proporsional daftar

terbuka, akan menjamin kedaulatan anggota
partai dan pemilih dalam menentukan calon
anggota perwakilan.
KESIMPULAN
Penentuan caleg secara terbuka sangat
kompetitif. Hal ini juga memberi peluang langsung anggota masyarakat untuk memperjuangkan aspirasinya, karena bisa langsung melihat
daftar wakilnya kelak di legislatif. Caleg yang
diajukan partai peserta pemilu tidak didasarkan
atas nomor urut, sehingga terpilihnya
seseorang sepenuhnya bergantung pada
peringkat perolehan suara. Namun dalam
pelaksanaannya nomor urut masih menjadi
prioritas dalam pelimpahan suara.
Sistem proporsional daftar terbuka merupakan alternatif terbaik untuk Indonesia. Alasannya, dengan sistem itu partisipasi rakyat besar dan akuntabilitas dalam penentuan caleg
lebih terjamin. Proses politik yang demokratis
itu bisa berjalan jika penetapan calon tidak hanya dilakukan melalui proses seleksi internal
partai, yang sering menimbulkan bias, tetapi
harus juga dilakukan melalui proses eksternal
partai dan harus diatur secara tegas dalam undang-undang partai politik.

DAFTAR PUSTAKA

Dahl, Robert A. 1992. Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Jilid II. Yayasan Obor Indonesia.
Diamond, Larry. 1999. Developing Democracy: Toward Consolidation. Baltimore and London,
The Johns Hopkins University Press.
Haris, Syamsuddin. 1999. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru (ed). Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia.
Huntington, Samuel P. 1997. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Cetakan ke-2. Jakarta, Grafiti
Pers.
Jewell, Malcolm E. 1982. Representation in State Legislator. United States, The University Press
of Kentucky.

31