Metode Pengumpulan Data Metode Pengelolaan Data

Pada masa pemerintahan Soeharto Lembaga Perwakilan memang dikembalikan sesuai dengan fungsinya yang ada di dalam UUD 1945. Namun dalam hal ini fungsi tersebut ternyata dimanfaatkan bukan sesuai tujuannya yakni untuk mewakili kepentingan rakyat. Pada kasus MPR yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi dimanfaatkan untuk melindungi kedudukan dari Presiden Soeharto. Hal ini dilakukan dengan berbagai cara mulai dari pengangkatan Presiden Soeharto secara terus menerus, hingga pada sakralisasi amandemen UUD 1945. Dapat dipahami bahwa penyelenggaraan Lembaga Perwakilan yang demikian memang sesuai Konstitusi, namun secara konstitusionalisme bertentangan karena tidak dapat membatasi kekuasaan Presiden. Pada sisi lain desain UUD 1945 sebelum amandemen memang tidak mengatur mengenai mekanisme check and balance diantara lembaga negara, dan juga susunan anggota dari Lembaga Perwakilan dapat dengan mudah diisi sesuai dengan kehendak Presiden ketika itu. Pasca Reformasi agenda restrukturisasi Lembaga Perwakilan menjadi agenda wajib untuk penyelenggaraan negara yang berbasis pada Demokrasi. Namun dalam hal ini restrukturisasi dilakukan dalam porsi yang berbeda. MPR sebagai lembaga tertinggi statusnya dicabut, dan kewenangannya tidak lagi mengangkat Presiden dan menetapkan GBHN. Hal ini kemudian menjadi MPR seakan hanya menjalankan kewenangannya secara periodik, dan mengikuti momentum saja karena hanya berkenaan dengan pelantikan, pemberhentian, dan amandemen UUD saja. Pada sisi DPR dilakukan penegasan terhadap pemegang kekuasaan legislasi, dan juga berkenaan dengan check and balance terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Namun restrukturisasi bukan hanya pada kedua lembaga itu saja. Dewan Perwakilan Daerah menjadi lembaga yang lahir pasca reformasi, untuk mendampingi DPR dalam kamar bikameral. Restrukturisasi terhadap Lembaga Perwakilan ternyata masih belum optimal sesuai dengan tujuannya. MPR yang dilemahkan melalui amandemen, mencoba bangkit kembali dengan tugas dan kewenangannya yang diperluas melalui UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPD. MPR kemudian mulai diperbincangkan kembali sebagai lembaga dengan kewenangan tertinggi. DPR dalam hal ini memiliki dinamika tersendiri, salah satunya dikarenakan fungsi legislasi yang masih kurang optimal. Pada sisi lain DPR juga mengalami kendala kasus korupsi yang menimpa oknum anggotanya, dan pada akhirnya berujung pada krisis kepercayaan rakyat. Lain hanya dengan DPD, DPD selalu mengalami kendala bahwa kedudukannya tidak mampu mendukung desainnya yang dimaksudkan untuk bikameral. Dinamika yang terjadi terhadap Lembaga Perwakilan pada setiap masanya memiliki cerita tersendiri, dimana antara tujuan, praktik, dan pengaturan. Temuan yang muncul adalah seringkali adanya ketidaksesuaian antara tujuan, norma, dan praktik lembaga perwakilan yang ada di Indonesia. Ketidaksesuaian tersebut pada tiap masanya disebabkan oleh hal-hal yang berbeda. Pada masa sebelum kemerdekaan, ketidaksesuaian terjadi dikarenakan lembaga perwakilan yang dimaksud oleh pihak penjajah memang bukanlah lembaga perwakilan dalam arti sesungguhnya. Lembaga Perwakilan yang ada hanya menyediakan wadah partisipasi saja, dan bahkan lembaga-lembaga tersebut hanya dijadikan penasihat dari pihak penjajah saja. Pada masa pemerintahan Soekarno mulai dari awal kemerdekaan hingga masa Demokrasi Terpimpin,