Kelembagaan Penyelesaian Konflik Agraria dari Masa ke Masa (Pra dan Pasca Kemerdekaan)

(1)

ABSTRAK

KELEMBAGAAN PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA DARI MASA KE MASA (PRA DAN PASCA KEMERDEKAAN)

Oleh

AMINAH CAMILA

Konflik agraria merupakan salah satu masalah hukum yang sangat kompleks di Indonesia. Ratusan konflik agraria terjadi setiap tahun namun lembaga pengadilan yang ada belum mampu memberikan kepastian hukum pada para korban. Konflik agraria ini semakin meningkat dan meluas setiap tahunnya, sehingga muncul ide pembentukan pengadilan khusus agraria yang diwujudkan dengan perumusan RUU Pengadilan Agraria oleh DPD RI. Dengan demikian, perlu dilakukan sebuah penelitian untuk mendukung pembangunan lembaga pengadilan tersebut. Penelitian ini difokuskan pada sejarah kelembagaan yang melakukan peradilan (penyelesaian konflik secara hukum) terhadap perkara keagrariaan untuk melacak dan menemukan gambaran dan pembelajaran bagaimana konflik agraria ditangani selama ini. Penelitian ini menggunakan penelitian sejarah hukum melalui pendekatan sejarah (historical approach). Penelitian difokuskan pada perkembangan lembaga-lembaga pengadilan dan identifikasi terhadap perkembangan pembangunan hukum agrarianya. Berdasarkan kegiatan penelitian tersebut terlihat bahwa penyelesaian konflik agraria selama ini hanya diselesaikan melalui Peradilan Umum bidang perdata saja, dan terkadang diselesaikan melalui Peradilan Tata Usaha Negara. Memang sempat ada pengadilan yang khusus mengadili perkara pertanahan (sebagai salah satu objek utama agraria), namun keberadaannya tidak pernah bertahan lama. Pada akhirnya diperlukan rancangan bentuk lembaga pengadilan yang khusus menangani konflik agraria berdasarkan hukum agraria dan juga memperhatikan hukum adat dan hukum sektoral agraria yang berlaku di Indonesia.


(2)

ABSTRACT

AGRARIAN INSTITUTIONAL CONFLICT RESOLUTION FROM PAST TO THE FUTURE (PRE AND POST-INDEPENDENCE)

By

AMINAH CAMILA

Agrarian conflict is one of the most complex legal issues in Indonesia. Hundreds of agrarian conflicts occur every year, but courts there have not been able to provide legal certainty to the victims. Agrarian conflict is increasing and expanding every year, so it appears the idea of the establishment of special courts agrarian realized with the formulation of the Agrarian Court Bill by DPD. Thus, there should be a study to support the development of the institution of the court. This study focused on the institutional history of doing justice (resolution of conflicts by law) against agrarian cases to track and find an idea and learning how agrarian conflicts are handled over the years. This study uses research legal history through historical approach (historical approach). Research focused on the development of institutions of justice and the identification of development progress agrarian law. Based on research activities can be seen that the resolution of the agrarian conflict has been resolved only through the General Court civil field alone, and sometimes resolved through the State Administrative Court. Indeed, there was a special court to try cases of land (as one of the main objects of agrarian), but its existence has never lasted long. In the end, the necessary draft form special courts that deal with the agrarian conflict based on land law and also pay attention to customary law and applicable law agrarian sector in Indonesia.


(3)

(4)

KELEMBAGAAN PENYELESAIAN KONFLIK AGRARIA DARI MASA KE MASA(PRA DAN PASCA KEMERDEKAAN)

Oleh

AMINAH CAMILA 1112011031

Skripsi

Sebagai Salah SatuSyaratuntukMencapaiGelar SARJANA HUKUM

Pada

BagianHukum Tata Negara FakultasHukumUniversitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2015


(5)

Nama Mahasiswa

Nomor Pokok Mahasiswa Bagian

Fakultas

Rudy, S.H.,

NIP 19810

rrAsA

(PRA DAN PASCA r{ETTDRDDKAAN)

finlnahQomlla

1112011051

flukum Tata Negara Hukum

MEITYETUJUI

1. Komisi Pembimbing

Itlartha Klananda, S.ff.,

!I.ff.

NIP 19800510 200604 2 00L

.,

LL.D. 12 1 001

Rudy, S.H., LL. D.


(6)

1. Tim Penguji

Ketua : Kudy,

S.II.,

LL.II.,

LL.D.

Selretaris Anggota :

[Iartha

Riananda,

S.H., FI.II.

Penguji Utama :

Yulia

Neta,

S.[.,

!I.H.

s.[.,

pl.s.

109 198705 1 005


(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Dilahirkan di Bandung, Jawa Barat pada 6 Desember tahun 1993 dengan nama Aminah Camila, sebagai anak sulung dari 5 bersaudara dari pasangan Abdul Rahman Baraqbah, S.E. dan Luthfiah Mussawa. Menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Al-Muttaqin Tasikmalaya dari tahun 1999-2005, sekolah menengah pertama di SMP Al-Muttaqin dari tahun 2005-2008 Tasikmalaya, dan sekolah menengah atas di SMA Al-Muttaqin dari tahun 2008-2011 Tasikmalaya. Pendidikan kuliah Strata-1 penulis dilanjutkan pada Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) sejak Tahun 2011 dengan mengambil minat Hukum Tata Negara pada tahun 2013. Penulis pernah aktif berorganisasi dan bergabung dengan Barisan Intelektual Muda (BIM) FH Unila, Pusat Studi Bantuan Hukum (PSBH) FH Unila, Mahasiswa Pengkaji Masalah Hukum (Mahkamah) FH Unila, Komunitas Konstitusi (Komisi) FH Unila, dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Hukum Unila (KHU). Selain itu penulis pernah mengikuti dan menjadi peserta pelatihan “Young Agrarian Scholar” yang diselenggarakan Epistema Institute pada tahun November 2014. Saat ini penulis sedang turut aktif menjadi peneliti muda di PKKP-HAM Unila sejak tahun 2014.


(9)

PERSEMBAHAN

Untuk Orang Tua dan Adik-adikku Tercinta

Untuk Saudara dan Keluarga Besar Tersayang

Untuk Almamater Tercinta,

Fakultas Hukum Universitas Lampung


(10)

MOTO

Quality is not an act, it is a habit

Integrity is doing the right thing, even is nobody is watching

Happines is a state of mind, it’s just according to the way you look at things” (Walt Disney)

“Mencari ridho Allah, mencintai Rasulullah, membahagiakan orang tua, dan tetap pada kodrat sebagai seorang wanita dan hamba Allah”


(11)

SANWACANA

Assalamu‟alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Alhamdulillahirabbil‟alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Tuhan semesta alam yang telah memberikan nikmat yang tak terhingga pada dunia dan seluruh isinya. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan atas kekasih dan Rasul Allah, Nabi Muhammad SAW yang telah membawa dan menyampaikan rahmat Allah kepada seluruh umat manusia. Dengan mengikuti kitab Allah dan sunnah Rasulullah, penulis dapat menjalani setiap hari dengan penuh rahmat sehingga penulis dapat pula menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Dalam skripsi ini penulis membuka permasalahan dari lemahnya fungsi lembaga pengadilan dalam menyelesaikan konflik agraria sebagai salah satu masalah hukum yang sangat kompleks di Indonesia. Kekuasaan menyelenggarakan lembaga pengadilan merupakan salah satu kewenangan dan tugas penting pemerintah di negara hukum seperti Indonesia ini. Oleh karena itu, pembangunan lembaga pengadilan yang khusus menangani konflik agraria menjadi sangat penting untuk dikaji, yakni dalam rangka pembangunan institusi peradilan di Indonesia. Ide inilah yang coba penulis kaji dan teliti dalam skripsi ini, berupa penulisan tentang sejarah kelembagaan penyelesaian konflik agraria


(12)

untuk menemukan solusi terkait bentuk pengadilan khusus konflik agraria yang tepat untuk Indonesia.

Penulis menyadari bahwa di samping masih banyak kekurangan tapi skripsi ini dapat diselesaikan dengan cukup baik, dengan adanya dukungan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak baik secara moril maupun materil. Dengan demikian, pada kesempatan ini penulis inginn menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Rudy, S.H., LL.M., LL.D., selaku Ketua Bagian HTN dan Pembimbing 1, terima kasih telah sangat membantu dan banyak memberikan bimbingan maupun dukungan kepada penulis selama pengerjaan skripsi ini, serta memberikan pinjaman buku-buku, banyak ilmu yang sangat luas dan bermanfaat kepada penulis.

2. Bu Martha Riananda, S.H., M.H., selaku Pembimbing 2 dan Sekretaris Bagian HTN, terima kasih telah membantu penulis selama proses pengerjaan skripsi.

3. Bu Yulia Neta, S.H., M.H., selaku Pembahas 1, terima kasih telah memberikan masukan yang bermanfaat untuk skripsi ini.

4. Bapak Iwan Satriawan, S.H., M.H., selaku Pembahas 2, terima kasih telah memberikan masukan yang bermanfaat untuk skripsi ini dan selaku Ketua Pengurus Ruang Baca yang telah menyediakan penyelenggaraan fasilitas ruang baca yang sangat bermanfaat untuk membantu penulis memperoleh bahan-bahan untuk mengerjakan berbagai tugas kuliah terutama skripsi ini. 5. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S.. selaku Dekan Fakultas Hukum dan


(13)

6. Bapak Dr. H.S. Tisnanta, S.H., M.H., selaku Ketua PKKP-HAM Unila, terima kasih telah memberikan kesempatan dan ruang pada penulis untuk memperoleh ilmu yang berlimpah, pengalaman yang hebat, dan tempat berproses yang baik, serta memberikan banyak dukungan, bimbingan, dan bantuan secara moril maupun materil pada penulis untuk membantu meningkatkan kualitas diri penulis.

7. Bapak Dr. F.X. Sumardja, S.H., M.H., terima kasih telah membagikan ilmunya yang bermanfaat.

8. Bapak Fathoni, S.H., M.H., terima kasih telah membantu dan memberikan pembelajaran yang tidak didapat di kelas.

9. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Hukum Unila, khususnya bagian Hukum Tata Negara, Bapak Muhtadi, S.H., M.H., Bapak Armen Yasir, S.H., M.H., Bapak Zulkarnaen Ridwan, S.H., M.H., Bapak Yusdianto, S.H., M.H., Bapak Ahmad Saleh, S.H., M.H., Bapak Dr. Budiyono, S.H., M.H., Ibu Dr. Yunani Hasyim Zum, S.H., M.Hum., Bapak Ade Arief, S.H., M.H., terima kasih telah memberikan banyak pembelajaran dan wawasan kepada penulis.

10.Rekan-rekan HIMA HTN angkatan 2011, Herra, Elsha, Maryanto, Daniel, Virgi, Ferry, David, Agung, Yonathan, Ridho, terima kasih telah menjadi rekan belajar dan berbagi ilmu selama kurang dari 2 tahun ini.

11.Adik-adik HIMA HTN angkatan 2012, James Reinaldo, Dewi, Utia, Shabrina, Ratna, Pipin, Dwi Zein, Deka, Husein, Sumaindra, Anas, serta kakak-kakak HIMA HTN angkatan 2010, Sinta Septiana, S.H., Charlyna


(14)

Shinta, S.H., Aristo Evandy, S.H., Indah Maulidiyah, S.H., dll., terima kasih untuk semangat dan dukungan yang sangat baik untuk penulis

12.Rekan-rekan PKKP-HAM Unila, James Reinaldo, Dewi, Farid, Bonifa, Anggun, Desi, Rico, Ade, Edius, Dea, Cornelius, terima kasih untuk kebersamaan dalam berbagi ilmu, cerita, dan pengalaman selama 2 tahun ini, semoga kita segera menjadi anak-anak bangsa yang sukses, berhasil, berguna, dan membanggakan keluarga, teman-teman, dosen-dosen, dan bangsa, serta semoga silaturahim ini terus tersambung dan berjalan dengan baik.

13.Teman-teman terbaik, Andi Mekar Sari, Ayu Kumala Sari, Dewi Yuliandari, Herra Destriana, Iis Priyatun, Ika Ristia, Ines Septia, Citra Febria, terima kasih banyak kawan terbaik untuk waktu yang sudah dihabiskan bersama dan perhatian yang selalu diberikan pada penulis selama menempuh pendidikan di Unila, semoga pertemanan ini tetap terjalin dan terjaga dengan baik ke depannya, serta Andika, Dhaniko, Beni Prawira, Kresna, Indra Budi, Asa, terima kasih untuk bantuannya selama ini sebagai teman yang sangat baik selama penulis menempuh pendidikan di Unila.

14.Kanda, Yunda, teman-teman, dan Adinda di HMI Komisariat Hukum Unila.

15.Sahabat terbaik, Liyana Trie Hayati, Anida Yusrannita, Risma Hanifah, Silvy Nurfitri, Wilda Fajrin, Pipit Fitriani,

16.Keluarga tercinta, Luthfiah Mussawa (mama) dan Abdul Rahman Baraqbah (abah), Fachri, Fariz, Farhan, Faghih, yang telah menjadi


(15)

sumber inspirasi dan semangat terbesar penulis, terima kasih untuk setiap waktu dan tenaga yang dicurahkan untuk memberikan pendidikan dan pembelajaran hidup yang sangat berharga, serta perhatian, do‟a, dan kasih sayang luar biasa yang selalu ada mendampingi penulis selama ini sehingga penulis dapat melalui perjalanan hidup ini dengan baik dan akan terus menjadi lebih baik kedepannya.

17.Keluarga besar tersayang: Rafida, terima kasih untuk kebersamaan menjadi saudara perempuan terdekat penulis yang telah berbagi kamar, berbagi cerita, dan berbagi waktu yang tidak pernah penulis dapatkan sebelumnya selama 4 tahun ini; Bu Adah, dan Tante Nina; seperti pengganti keberadaan mama selama penulis tinggal di Lampung, terima kasih untuk perhatian, kasih sayang, doa, dan banyak pelajaran hidup yang telah dibagikan pada penulis selama 4 tahun ini; Ami Iyek, Ami Dillah, Nafila, Hania, Hasyim, terima kasih untuk kasih sayang dan kesempatan menghabiskan waktu bersama, serta dukungan dan bantuan selama penulis tinggal di Lampung.

Untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, penulis mengucapkan terima kasih atas doa dan dukungannya selama penulis menempuh perkuliahan sampai menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah SWT. memberikan balasan terbaik untuk semua pihak yang sudah sangat membantu penulis. Pada skripsi ini penulis memiliki harapan bahwa karya kecil yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat untuk pembelajaran kita semua. Amin.


(16)

DAFTAR ISI

Halaman

Abstract-Bahasa Inggris ... i

Abstrak ... ii

Lembar Persetujuan ... iii

Lembar Pengesahan ... iv

Lembar Pernyataan ... v

Riwayat Hidup ... vi

Moto ... vii

Persembahan ... viii

Sanwacana ... ix

Daftar Isi ... xiv

Daftar Tabel ... xvi

Daftar Gambar ... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Ruang Lingkup Penelitian ... 11

D. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian ... 12

1. Tujuan Penelitian ... 12

2. Kegunaan Penelitian... 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia ... 13

1. Pra Kemerdekaan ... 15

2. Pasca Kemerdekaan ... 23

3. Hukum Tanah dalam Hukum Agraria ... 31

B. Konflik Agraria ... 35


(17)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ... 61

B. Pendekatan Masalah ... 62

C. Sumber Data ... 62

D. Metode Pengumpulan Data ... 64

E. Metode Pengolahan Data ... 64

F. Analisis Data ... 65

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kelembagaan Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia ... 66

1. Periode Pra Kemerdekaan ... 66

a. Masa VOC ... 67

b. Masa Inggris ... 82

c. Masa Hindia Belanda ... 94

2. Periode Pasca Kemerdekaan ... 122

a. Masa Orde Lama ... 123

b. Masa Orde Baru ... 141

c. Masa Pasca Reformasi ... 150

3. Analisis Lembaga-Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria ... 159

B. Bentuk Lembaga Penyelesaian Konflik Agraria Berdasarkan Kajian RUU Pengadilan Agraria ... 167

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 179

B. Saran ... 180


(18)

Daftar Tabel

Halaman Tabel 1. Perubahan Pemilikan dan Pengelolaan Tanah Adat ... 111


(19)

DaftarGambar

Halaman Gambar 1.

Grafikpeningkatanjumlahkonflikagraria 2009-2014 ... 169 Gambar 2.

Grafikpeningkatanluasan areal konflikagraria 2009 – 2014 ... 169 Gambar 3.


(20)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum tata negara berdasarkan doktrin ilmu pengetahuan hukum, lazimnya dipahami sebagai bidang ilmu hukum tersendiri yang membahas mengenai struktur ketatanegaraan dalam arti statis, mekanisme hubungan antara kelembagaan negara, dan hubungan antara negara dengan warga negara.1Hukum tata negara dari berbagai definisi para ahli, terdapat kesamaan pendapat bahwa merupakan norma yang mengatur mengenai penataan dalam penyelenggaraan sebuah organisasi sosial yang disebut negara. Unsur pokok dalam hukum tata negara adalah konstitusi yang artinya, kalau kita akan mempelajari tentang hukum tata negara maka yang utama harus dipelajari adalah konstitusi atau hukum dasar.2

1 Menurut Logemann, hukum tata negara adalah hukum organisasi negara atau hukum

keorganisasian negara, atau dengan kata lain hukum mengenai organisasi (tata susunannya) egara, lihat dala Ni’ atul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia – Edisi Revisi, Jakrata : RajaGrafindo Persada, 2012, hlm. 3-8. Adapun Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa hukum tata negara dapat dirumuskan sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi dari pada negara, hubungan antar alat perlengkapan negara dalam garis vertikal atau horizontal, serta kedudukan warga negara dan hak asasinya. Paul Scholten pun mendefinisikan hukum tata negara tidak lain adalah het recht dat regelt de staatsorganisatie, atau hukum yang mengatur mengenai tata organisasi negara, lihat dalam Jimly Asshidiqie,

Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006, hlm. 25-33.

2

Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi), Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hlm. 71. Istilah hukum tata negara sendiri dapat dianggap identik dengan pengertian hukum konstitusi yang merupakan terjemahan langsung dari Constitutional Law


(21)

Konstitusi merupakan cikal bakal pengaturan sebuah ketatanegaraan sekaligus sumber hukum utama dalam hukum tata negara. Pada pembelajaran mengenai pengaturan penataan organisasi negara, konstitusi adalah hal pertama yang harus dikaji dan dipahami. Konstitusi memuat hal-hal pokok yang menjadi dasar dalam menata sebuah bangunan besar yang bernama negara. Konstitusi juga dapat dibilang memiliki persamaan makna dengan hukum tata negara, karena konstitusi pada dasarnya mengatur mengenai ketatanegaraan dan kehidupan bernegara.

Di negara-negara yang menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa nasional, dipakai istilah Constitution3 yang dalam Bahasa Indonesia disebut konstitusi.4 Dalam pengertian pertama, istilah konstitusi dipergunakan dalam pengertian yang sama dengan hukum tata negara, sedangkan dalam pengertian kedua, istilah konstitusi dipergunakan untuk menunjuk kepada sebuah dokumen yang memuat aturan dan ketentuan yang pokok-pokok saja mengenai

Op.Cit., hl . 17. Istilah, ko stitusi erasal dari Bahasa Pera is constituer ya g erarti

membentuk. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan ialah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara, Wirjono Projodikoro Asas-asas Hukum Tata Negara I do esia se agai a a dikutip oleh Dahla Thai , dkk., Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: RajaGrafindo Persada, cetakan ke-10 2012, hlm. 6. Secara istilah ia berarti peraturan dasar (awal) mengenai pembentukan negara. Dalam Bahasa Belanda disebut Grondwet, sedangkan di dalam bahasa Indonesia disebut konstitusi. Dengan ini maka konstitusi memuat aturan-aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi yang diperlukan untuk berdirinya negara, Ibid, hlm. 71

3 Menurut Ivo D. Duchacek,

constitutions mengidentifikasikan, sumber-sumber, tujuan-tujuan, penggunaan-penggunaan dan pembatasan-pembatasan kekuasaan umum. Dengan demikian, semua konstitusi selalu menjadikan kekuasaan sebagai pusat perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan dibatasi sebagaimana mestinya. Ivo D. Duchacek pada Blackwell s Encyclopedia of Political “cience dalam buku Jimly Asshidiqie,

Op.Cit., hlm. 116. Dalam konsep konstitusi tercakup pengertian peraturan tertulis, kebiasaan dan konvensi-konvensi kenegaraan (ketatanegaraan) yang menentukan susunan dan kedudukan organ-organ negara, mengatur hubungan antar organ-organ negara itu, dan mengatur hubungan organ-organ negara tersebut dengan warga negara, lihat dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta: Konstitusi Press, 2005, hlm. 19

4 “ri “oe a tri, “usu a Ketata egaraa e urut UUD 19 dala Ketata egaraa

Indonesia dalam Kehidupan Politik Indonesia dalam buku Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, dan Ni’ atul Huda, Op.Cit., hlm. 7


(22)

ketatanegaraannya suatu negara.5 Sebagaimana pengertian dalam berbagai bahasa, konsitusi pada hakikatnya adalah hukum dasar negara, yang di Indonesia dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar. Terdapat tiga hal yang ada dalam setiap konstitusi, yaitu bahwa konstitusi atau Undang-Undang Dasar harus:6

1. menjamin hak-hak asasi manusia atau warga negara;

2. memuat ketatanegaraan suatu negara yang bersifat mendasar; dan

3. mengatur tugas serta wewenang dalam negara yang juga bersifat mendasar.

Selain tiga muatan tersebut, Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi mempunyai fungsi yang khas, yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga negara akan lebih terlindungi.7 Motesquieu8membatasi kekuasaan pada negara dengan diadakan pemisahan

5

Joeniarto, Selayang Pandang tentang Sumber-Sumber Hukum Tatanegara di Indonesia, Yogyakarta: Fakultas Hukum UGM, 1974, hlm.

6 “ri “oe a tri Ko stitusi serta Arti ya U tuk Negara dala uku ya g dihi pu

Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 9

7

Dahlan Thaib, dkk., Op.Cit., hlm. 18. Negara itu merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, maka yang memegang serta menjalankan kekuasaan pemerintahan adalah seseorang atau sekelompok orang. Kekuasaan dalam negara itu dapat disalahgunakan oleh mereka yang memegang kekuasaan, lihat dalam Sri Soemantri dalam buku yang dihimpun Padmo Wahjono,

Lo.Cit., hlm. 9. Oleh karena itu, persoalan yang dianggap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintahan, lihat dalam Jimly Asshidiqie, Op.Cit., hlm. 116

8

Montesquieu adalah seorang hakim Pera is, dala uku ya L Esprit des Lois , ia mengimpikan pentingnya pemisahan kekuasaan yang ekstrem antara cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan terutama kekuasaan yudisial, Jimly Asshidiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: RajaGrafindo Persada, cetakan ke-4, 2012, hlm. 310. Nama lengkap Monstesquieu yang sebenarnya adalah Charles de Socondat Baron de Labriede et de Montesquieu (1689-1755), ia dapat dianggap paling berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan pembedaan fungsi-fungsi kekuasaan dengan teori trias politica-nya, yang lebih melihat pemisahan kekuasaan itudari segi hak asasi manusia setiap warga negara . Montesquieu menulis berdasarkan hasil penelitiannya terhadap sistem konstitusi Inggris, Jimly Asshidiqie,

Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006, hlm. 12


(23)

kekuasaan negara ke dalam organ-organ kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif.9

Soepomo menegaskan bahwa Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) tidak menganut doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan ala Montesquieu, melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan (division or distribution of power).10 Akan tetapi, dalam UUD 1945 (pasca amandemen), kedaulatan rakyat ditentukan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip check and balances.11

Dengan demikian, struktur kekuasaan dalam ketatanegaraan di Indonesia saat ini dibagi ke dalam tiga lembaga kekuasaan, yang masing-masing lembaga berkedudukan sederajat dalam tataran pemerintahan Indonesia, yakni dengan prinsip check and balances yang menjadi alur pengawasan dan pengendalian ketiga lembaga itu dalam menjalankan kekuasaannya.12 Lembaga yudikatif sebagai cabang kekuasaan tersendiri memiliki tugas dalam rangka tegaknya negara hukum (rechtstaat) yang menjadi konsep dasar negara ini. Sebagaimana

9

Legislatif sebagai kekuasaan membuat undang-undang, eksekutif, melakasanakan undang-undang dan yudikatif mengadili kalau terjadi pelanggaran atas undang-undang. Lihat dalam Moh. Mahfud MD, Op.Cit., hlm. 73

10

Jimly Asshidiqie, Pengantar ... Jilid II Op.Cit., hlm. 23

11

Jimly Asshidiqie, Konstitusi .... Op.Cit., hlm. 60

12

Kekuasaan legislatif sebagai lembaga negara pembuat undang-undang, memiliki peranan penting dalam menghasilkan produk hukum untuk mengatur kehidupan bermasyarakat dan kehidupan bernegara di Indonesia. Lalu pemegang kekuasaan eksekutif sebagai lembaga negara pelaksana undang-undang, memiliki tugas penting untuk melayani dan mengupayakan pencapaian kesejahteraan masyarakat sebagai tujuan negara berdasarkan peraturan yang sudah dibuat legislatif. Kedua lembaga tersebut akan sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan di Indonesia. Adapun kekuasaan yudikatif sebagai lembaga yang mempertahankan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, memiliki tanggung jawab besar dalam upaya mengadili pelanggaran-pelanggaran yang terjadi.


(24)

yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) Pasca Perubahan ke-3 pada UUD 1945, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum.

Di samping itu, ada prinsip lain yang erat dengan prinsip negara hukum yang juga dimuat dalam penjelasan bahwa “pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)”, prinsip ini mengandung makna bahwa ada pembagian kekuasaan negara dan pembatasan kekuasaan, maka negara berdasarkan atas hukum mempunyai sifat normatif dan bukan asas belaka13. Lembaga peradilan pun menjadi bagian dari kekuasaan negara yang juga membatasi kekuasaan negara dengan mewujudkan penegakan hukum bagi seluruh masyarakat Indonesia. Lembaga yudikatif ini merupakan poros penengah dalam hal terjadi perselisihan, persengketaan, maupun pelanggaran peraturan perundang-undangan. Secara sederhana, lembaga yudikatif ini dapat disebut sebagai lembaga peradilan.14

Sebelum perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman atau fungsi yudikatif (yudisial) hanya terdiri atas badan-badan pengadilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Lembaga Mahkamah Agung tersebut, sesuai dengan prinsip independent of judiciary diakui bersifat mandiri dalam arti tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah.15Pasca perubahan terakhir UUD 1945 (perubahan ke-4 tahun 2002), kekuasaan yudikatif atau biasa juga disebut lembaga peradilan ini dibagi dalam tiga lembaga, yakni Mahkamah Agung (Pasal 24A), Mahkamah Konstitusi (Pasal 24B), dan Komisi Yudisial (Pasal 24C).

13Ni’ atul Huda,

Op.Cit., hlm. 206

14

Lembaga peradilan termasuk dalam organ negara yang mengatur hubungan antar semua pihak, yakni sebagai lembaga penyeimbang yang memberikan kepastian hukum serta menjaga ketertiban dan mewujudkan keadilan bagi semua elemen dalam negara.

15


(25)

Kekuasaan yudikatif sebagai bagian dari Mahkamah Agung merupakan puncak perjuangan keadilan bagi setiap warga negara Indonesia. Mahkamah Agung ini dibagi dalam empat lingkungan peradilan yakni peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Hal ini dianggap penting dalam rangka perwujudan kekuasaan kehakiman yang menjamin tegaknya negara hukum yang didukung oleh sistem kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial.16 Namun saat ini, kompleksitas menuntut perubahan-perubahan yang sangat mendasar dalam cara negara menangani kasus-kasus pelanggaran sistem norma ideal, dan keharusan menyelesaikan beraneka konflik dan perselisihan yang timbul melalui pelembagaan infrastruktur baru dengan pendekatan-pendekatan yang tidak statis.17

Ide pembentukan pengadilan khusus kemudian mulai lahir, yakni berupa peradilan yang menangani kasus-kasus dengan kriteria tertentu. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang. Termasuk dalam Pengadilan Khusus menurut ketentuan tersebut, antara lain Pengadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hubungan Industrial, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berada di lingkungan Peradilan Umum, dan Pengadilan Pajak di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

16

Jimly Asshidiqie, Konstitusi .... Op.Cit., hlm. 197

17 Jimly Ashidiqie,

Pengadilan Khusus, catatan pengantar dalam buku dari Komisi Yudisial, diakses dari jimly.com


(26)

Saat ini sudah banyak pula ide, pendapat dan pemikiran-pemikiran yang mengusulkan untuk segera membentuk sebuah peradilan khusus baru yang menangani kasus-kasus agraria untuk menyikapi kompleksitas konflik agraria di Indonesia.18Berbagai masalah agraria pada hakekatnya merupakan perwujudan dari proses historis panjang yang berpusat pada kontestasi antara kekuasaan yang direpresentasi oleh elite yang berhadapan dengan kebutuhan masyarakat atas tanah sebagai representasi dari kebutuhan rakyat banyak.19Sementara itu, penyelesaian konflik agraria yang ada selama ini sangat jauh dari perwujudan keadilan bagi masyarakat karena proses penegakan hukum yang tidak tepat.

Plato telah memberikan rambu-rambu ketidak sempurnaan hukum, dimana Plato telah memprediksi kemungkinan munculnya praktik penegakan hukum yang sekalipun sejalan dengan suatu undang-undang, tetap bertentangan dengan hak asasi manusia atau bertentangan dengan rasa.20 Prediksi Plato itu sudah banyak terjadi saat ini, dimana penegakan hukum yang diselenggarakan melalui

18

Rekaman konflik tahun 2013 yang dilakukan KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan jumlah konflik, yaitu 369 konflik agraria dengan luasan mencapai 1.281.660.09 hektar dan melibatkan 139.874 Kepala Keluarga.Sementara itu, penyumbang konflik terbanyak ada sektor perkebunan sebanyak 180 konflik (48,78 persen), infrastruktur 105 konflik (28,46 persen), pertambangan 38 konflik (10,3 persen), kehutanan 31 konflik (8,4 persen), pesisir kelautan 9 konflik (2,44 persen), dan lain - lain 6 konflik (1,63 persen), Laporan Akhir Tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agaria (KPA). KPAadalah NGO yang menjadi organisasigerakanrakyatyang terbukadanindependen. KPAdimaksudkan untukmemperjuangkanterciptanyakeadilansistemagraria, danmenjamin kesetaraanalokasisumber-sumber agrariauntuk semua bangsaIndonesia; Jaminankepemilikan, kepemilikan dan penggunaansumber-sumber agrariauntukpetani, nelayandan masyarakat adat; dan jaminankesejahteraanbagi masyarakatmiskin. (http://www.kpa.or.id/)

19 Kata Pengantar dari Bambang Purwanto dalam Gunawan Wiradi,

Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria, dan Penelitian Agraria. Yogyakarta: STPN Press, 2009, hlm. xvii

20

Lihat dalam Jospeh Raz, The Concept of a Legal System, an Introduction to the theory of a Legal System, Oxford, 1978 sebagaimana dikutip pada Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2007, hlm. 46


(27)

pemikiran dan keputusan hakim memang sesuai dengan hukum namun berlawanan dengan keadilan, seperti dalam penyelesaian konflik keagrariaan.21

Beragam konflik agraria yang terjadi selama beberapa dekade ini,22 inti perkaranya adalah penguasaan dan penggunaan tanah – termasuk benda yang ada di atasnya dan terkandung di dalamnya – yang sangat erat hubungannya dengan kehidupan umat manusia. Saat ini penyelesaian konflik agraria yang dapat melalui peradilan umum maupun peradilan tata usaha negara tidak berjalan dengan baik karena ketidaksesuaian hukum materil dan hukum formil yang digunakan, sehingga hasil putusannya sering tidak sesuai dengan rasa keadilan bagi masyarakat. Terlihat dari ratusan konflik agraria yang masih belum selesai dan semakin menggunung, bahkan kalaupun diselesaikan melalui proses peradilan seringnya berakhir dengan ketidakadilan bagi masyarakat kalangan bawah akibat putusan pengadilan yang lebih memihak pada kepentingan masyarakat kalangan atas.23

21

Banyaknya korban merupakan kelompok masyarakat adat atau masyarakat pedesaan yang ditumbalkan oleh kepentingan pengusaha yang ingin menguasai tanah dan sumber daya alam yang ada, sehingga masyarakat itu tersisih dan dibuang dari hak-haknya sendiri.

22

Sebagaimana menurut data KPA (Konsorsium Pembaruan Agraria) selama tahun 1970 hingga 2001 terdapat 1.753 konflik agraria yang terindikasi adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia, dengan cakupan luas tanah yang dipersengketakan tidak kurang dari 10. 892,902 hektar dan mengakibatkan 1.198.482 keluarga menjadi korban. Dari 1755 orang, sebanyak 966 (55%) ada upaya penyelesaian tetapi 787 (45%) kasus lainnya tidak jelas penyelesaiannya, H.M. Samsul Hadi, Menanti Kelahiran Komisi Penengah Konflik Agraria, Harian Kompas, 25 Juni 2004, sebagaimana dikutip dalam jurnal Elfachri Budiman, Peradilan Agraria (Solusi Alrternatif Penuntasan Sengketa Agraria, Jurnal Hukum USU, Vol. 01, No. 1, 2005, hlm. 75.

23

Salah satu tindakan tidak profesional pengadilan menyikapi konflik agraria terjadi pada Petani Desa Wanakerta, Wanasari dan Margamulya Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang, Jawa Barat. Ketua PN Karawang sebelum-sebelumnya menyatakan putusan PK Nomor 160 PK/PDT/2011 yang memenangkan PT. SAMP tidak bisa ditindak lanjuti dengan eksekusi. Ini disebabkan oleh beberapa hal antara lain, adanya tumpang tindih putusan di atas tanah berperkara tersebut, tidak memiliki batas tanah serta terdapat tanah yang bersertifikat di atas tanah yang diklaim PT. SAMP. Namun saat PN Karawang dipimpin oleh Marsudin Nainggolan, dua pekan dia menjabat sudah mengeluarkan surat anmaning/teguran atau lebih tegasnya peringatan kepada pihak yang kalah bahwa akan segera dilaksanakan eksekusi dan para petani yang dikalahkan dalam peradilan hitam agar secara suka rela segera meninggalkan tanah kelahirannya dengan uang kerohiman sebesar Rp. 4000/meter. Marsudin Nainggolan berdalih bahwa dia


(28)

Melihat proses peradilan yang berliku-liku dan membutuhkan waktu lama membuat masyarakat enggan membawa penyelesaian masalah pertanahan (berkaitan agraria) ke pengadilan, di samping itu putusan pengadilan selalu berpihak kepada pengusaha dan jarang sekali yang berpihak kepada masyarakat.24 Oleh karena itu, penyelesaian masalah ini di Indonesia memerlukan lembaga pengadilan khusus agar dapat menghindari terjadinya putusan-putusan yang tumpang tindih dan saling kontradiksi sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum yang berdasarkan keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia.25 Peradilan agraria menjadi hal yang urgen untuk diwujudkan sebagai wadah terakhir yang memberikan perlindungan hukum bagi warga masyarakat yang tersangkut dengan masalah agraria.26 Pembentukan peradilan khusus agraria ini27 dimungkinkan sebagaimana keberadaan lembaga pengadilan khusus (ad hoc) lain yang telah dibentuk melalui undang-undang sendiri.28

Seiring ramainya ide-ide peradilan agraria tersebut, perdebatan tentang perlu tidaknya lembaga penyelesaian sengketa pertanahan pun sudah lama

hanya bertugas menjalankan putusan bukan pada kapasitas mengkaji putusan. Pernyataan Sikap KPA: Mengutuk Keras Perampasan Tanah dan Kekerasan Terhadap Petani Karawang, Jumat, 24 Juni 2014, http://www.kpa.or.id/?p=4239 (Diakses pada tanggal 16 September 2014 pukul 11.30 WIB)

24

Elfachri Budiman, Op.Cit., hlm. 75-76

25 Elza Syarief,

Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), Cetakan ke-2, 2014, hlm. 374

26

Elfachri Budiman, Op.Cit., hlm. 81

27

Me de gar atau e a a kali at Pe gadila Agraria , aka a ga -angan dan pikiran kita langsung tertuju pada suatu harapan akan lahirnya pengadilan khusus yang menangani sengketa, konflik, dan perkara agraria yang semakin hari terus bertambah banyak dan kompleks yang mana di beberapa daerah sampai menimbulkan jatuhnya korban jiwa. Pengadilan agraria tersebut diharapkan dapat menegakkan keadilan di bidang keagrariaan sehingga tujuan pengelolaan sumber daya agraria bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat dapat terwujud, Endi Purnomo, Makalah Catatan Terhadap ‘UU Tentang Pengadilan Agraria , hlm.1, disampaikan dalam Uji Sahih Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria, pada Hari Senin, 12 Mei 2014, di Ruang Sidang Rektorat Universitas Lampung, Kerjasama antara Dewan Perwakilan Daerah Republik Idnonesia (DPD-RI) dengan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

28 Sebagaimana DPD RI telah menyusun RUU Pengadilan Agraria dan melakukan Uji


(29)

mengemuka. Pada Mei 1995 Kompas memuat gagasan dibentuknya Arbitrase Pertanahan, yang kemudian diikuti beberapa komentar. Diskusi-diskusi bebas terus berlanjut, sampai tulisan-tulisan ilmiah pada jurnal yang mengkaji perlunya dibentuk peradilan agraria. Puncaknya pada tahun 2014, gagasan pembentukan peradilan agraria semakin mengkerucut, yang dikomandoi oleh DPD RI.29

Ketepatan peradilan agraria dalam mampu menjawab konflik agraria akan sangat dipengaruhi oleh bacaan historis-sosiologis terhadap konflik agraria dan peradilan itu sendiri. Hal itu sangat dibutuhkan terutama ketika peradilan agraria itu dibentuk dengan paradigma baru dengan argumentasi yang membenarkan dan perlunya respons yang bersifat extra ordinary, karena akan cukup banyak jebakan yang bisa menjerumuskan niat baik (political will) yang seharusnya menjadi roh dari pengembangan peradilan agraria. Untuk menghindari dari jebakan dan menghindari terjadinya peradilan agraria lahir prematur setidak-tidaknya ada dua hal yang penting untuk dikritisi, yakni proses pengembangan peradilan agraria dan substansi strategis yang direspon peradilan agraria.30

Dalam upaya pembangunan institusi peradilan sebagai lembaga pemegang kekuasaan mengadili di Indonesia, perlu dilakukan sebuah kajian untuk

29 FX Sumarja, Makalah Menguak Gagasan dan Upaya Insiasi ‘UU tenta

n gPengadilan

Keagrariaan , hlm. 1, disampaikan pada diskusi yang diselenggarakan oleh Anggota Komite I DPD RI dari Provinsi Lampung, Bandar Lampung, 12 Mei 2013. Panitia Khusus (Pansus) Agraria dan Sumberdaya Alam Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merekomendasikan pembentukan Komisi Nasional (Komnas) Ad Hoc Penyelesaian Konflik Agraria, penyelesaian kasus konflik agraria yang melibatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri), pembentukan pengadilan khusus agraria, serta pemfasilitasian penyelesaian konflik agraria oleh gubernur dan bupati/walikota. Mengenai pembentukan pengadilan khusus agraria, Pansus berpendapat, tujuannya ialah untuk mendapatkan kepastian hukum yang mengikat. Pembentukannya berlandaskan cita-cita untuk menuntaskan berbagai konflik agraria yang penyelesaiannya berkeadilan dengan menjunjung hak masyarakat. http://www.dpd.go.id/artikel- pansus-agraria-dan-sumberdaya-alam-dpd-merekomendasikan-pembentukan-komnas-ad-hoc-penyelesaian-konflik-agraria (diakses pada tanggal 17 September 2014, pukul 13.45 WIB)

30http://api.or.id/peradilan-agraria-antara-urgensi-dan-pemihakan1/ (diakses pada


(30)

mengamati sejarah kelembagaan penyelesaiain konflik agraria di Indonesia. Sementara akar hukum dan ketatanegaraan suatu bangsa yang diatur dalam konstitusi dapat dilacak dari sejarah bangsa itu sendiri.31 Dengan demikian, dalam rangka merevitalisasi fungsi lembaga yudikatif sebagai bagian ketatanegaraan Indonesia untuk menjadi alat penegakan hukum dalam penyelesaian konflik agraria, maka perlu dilakukan sebuah identifikasi perjalanan perkembangan kelembagaan peradilan itu sendiri. Hasil kajian tersebut akan menjadi pembanding yang baik dalam menentukan kebijakan yang akan diambil untuk menyelesaikan konflik agraria kedepannya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah kelembagaan penyelesaian konflik agraria di Indonesia pada masa pra dan pasca kemerdekaan Indonesia?

2. Bagaimana bentuk kelembagaan penyelesaian konflik agraria yang tepat?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian hukum tata negara pada umumnya yang membahas sejarah kelembagaan dalam penyelesaian konflik agraria di Indonesia pada masa pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Penelitian ini dilakukan dengan menginventarisir berbagai sumber kajian dari

31

Jimly Asshidiqie, Makalah tentang Konstitusi dan Hukum Negara Adat,disampaikan sebagai bahan Keynote Speech pada Seminar Nasional tentang Konstitusi Kesultanan-Kesultanan Islam di Jawa Barat dan Banten, UIN Gunung Djati, Bandung, 5 April 2008.


(31)

buku, jurnal, artikel, dan berbagai bentuk karya tulis lainnya yang kemudian menuju pada gambaran pembangunan institusi peradilan agraria di Indonesia.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah disusun, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Menggambarkan secara menyeluruh perkembangan kelembagaan penyelesaian konflik agraria di Indonesia pada masa pradan pasca kemerdekaan.

2. Memperoleh pengetahuan untuk merumuskan hal yang diperlukan dalam pembangunan institusi peradilan agraria di Indonesia.

2. Kegunaan Penelitian

Hasil dari kegiatan penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk:

a. Kegunaan Teoritis

Dapat dimanfaatkan bagi pengembangan ilmu hukum khususnya pembangunan lembaga peradilan dan hukum tata negara pada umumnya, serta dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya.

b. Kegunaan Praktis

Diharapkan kajian dari hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca mengenai sejarah peradilan agraria yang ada di Indonesia, serta dapat bermanfaat untuk memberikan rumusan dan gagasan pembaruan dalam pembangunan lembaga peradilan di Indonesia.


(32)

13 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sejarah Perkembangan Hukum Agraria di Indonesia

Kata agraria berasal dari bahasa latin “ager” yang berarti tanah atau sebidang tanah. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agraria berarti urusan pertanian atau tanah pertanian, juga urusan pemilikan tanah.Bahkan sebutan agrarian laws dalam Black’s Law Dictionary seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan-peraturan hukum yang bertujuan melakukan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.32 Adapun pengertian agraria menurut Andi Hamzah, Subekti, dan R. Tjitrosoedibio adalah masalah atau urusan tanah dan segala apa yang ada di dalam dan di atasnya.33

Sementara dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, biasa disebut UUPA, tidak memberikan penjelasan langsung mengenai agraria. Namun dapat dilihat pada Pasal 1 ayat (2) UUPA bahwa yang menjadi ruang lingkup agraria adalah bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Dari ketentuan tersebut terlihat

32

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1, Jakarta: Djambatan, cetakan ke-11 (edisi revisi), 2007, hlm. 5

33 Kamus Hukum yang dikutip dalam buku Urip Santoso,

Hukum Agraria Kajian Komperhensif, Jakarta: Kencana, 2012, hlm. 1


(33)

14 UUPA memiliki makna yang sama dengan maksud agraria pada kamus hukum.

Dengan pemakaian sebutan agraria dalam arti yang demikian luasnya, maka dalam pengertian UUPA hukum agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria meruapakan suatu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masing mengatur tentang hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk dalam pengertian agraria yang terdiri atas hukum tanah, hukum air, hukum pertambangan, hukum perikanan, serta hukum penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.34

Hukum agraria berkembang sesuai perjalanan sejarahnya.Sejarah merupakan bukti dari sebuah perkembangan karena yang terjadi pada masa kini merupakan hasil dari yang telah dilalui pada masa lalu. Begitupun dengan hukum agraria, pengaturan yang ada saat ini merupakan hasil dari sejarah perubahan-perubahan pengaturannya. Hampir semua unsur dalam kehidupan hukum negara ini merupakan hasil dari akulturasi budaya dan kebiasaan yang dibawa oleh bangsa-bangsa lain yang pernah masuk dan mendirikan pemerintahan di Indonesia. Pengaturan agraria sendiri telah melewati beberapa periode yang memberi pengaruh sangat besar pada ketentuan hukum agraria yang ada saat ini.

Dalam sejarahnya, pengaturan agraria yang sangat erat dengan urusan pertanahan ini mengalami perkembangan yang diawali dengan pengaturan buatan penjajah yang menguasai sebagian besar wilayah tanah Indonesia (pra

34


(34)

15 1. Pra Kemerdekaan

Perkembangan hukum agraria sudah dimulai sejak zaman kerajaan, di mana tanah bukanlah benda yang diperdagangkan karena masih melimpahnya tanah-tanah yang belum dimiliki.Masyarakat pada masa kerajaan menjalani kehidupannya berdasarkan ketentuan raja.Sebagai pemimpin tertinggi dalam sebuah wilayah, raja berdaulat penuh atas semua hal yang ada dalam wilayah yuridiksinya.Begitupun dalam pengurusan tanah, raja telah menentukan batas dan bagian masing-masing bagi rakyatnya.Pola pembagian wilayah yang menonjol pada masa awal-awal kerajaan di Jawa adalah berupa pembagian tanah ke dalam beragam penguasaan atau pengawasan, yang diberikan ke tangan pejabat- pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di istana (Paigeaud 1960, Moertono 1968)35.

Masa kejayaan kerajaan-kerajaan mulai terganggu oleh bangsa Belanda yang berdatangan ke Indonesia sekitar abad 17 dengan alasan untuk berdagang dan mengembangkan perusahaan dagangnya. Sejarah hukum agraria kolonial pun diawali oleh perkumpulan dagang yang disebut Veerenigde Ooost-Indische Compagnie (VOC) antara tahun 1602-1799 36, mereka diberikan hak untuk berdagang sendiri di Indonesia dari Pemerintah negeri Belanda (Staten General),

35 Gunawan Wiradi,

Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir, Diterbitkan bersama oleh: Konsorsium Pembaruan Agraria (Jaksel), Sajogyo Institute (Bogor), AKATIGA (Badnung), Edisi Baru, 2009, hlm. 66

36 Muchsin, Imam Koeswahyono, dan Soimin,

Hukum Agraria dalam Perspektif Sejarah, Bandung: Refika Aditama, 2007, hlm. 9


(35)

16 VOC mulai menaklukan raja-raja dari kerajaan-kerajaan kecil dengan cara mengharuskan menandatangani perjanjian (tractaat) bahwa mereka (raja dan rakyatnya) harus tunduk dan patuh kepada VOC dengan sistem perdagangan Verpelichte Leverantie dan Contingenten, yaitu menyerahkan hasil bumi dengan harga yang sudah dipatok atau ditentukan dan hasil bumi yang diserahkan dipandang sebagai pajak tanah.38Kemudian hukum perdata Belanda (Burgerlijk Wetboek) mulai diberlakukan untuk seluruh wilayah kekuasaan VOC, penekanan praktek penegakkannya adalah pada perolehan tanah untuk hubungan keagrariaan bagi pengumpulan hasil bumi untuk dijual di pasaran Eropa.39

Dengan hukum barat itu, maka hak-hak tanah yang dipegang oleh rakyat dan raja-raja Indonesia tidak dipedulikan.Namun rakyat Indonesia masih dibiarkan untuk hidup menurut hukum adat dan kebiasaannya.40 Seluruh lahan di daerah kerajaan yang berada di bawah kekuasaan VOC itu diklaim menjadi milik VOC sehingga bebas digunakannya, termasuk untuk dijual kepada pihak selain masyarakat Indonesia. Salah satu bentuk kegiatan penjualan tanah itu dilakukan melalui Lembaga Tanah Partikelir sejak tahun 1621, dengan dominasi pembeli dari pedagang kaya orang Arab dan Cina, namun tidak ada surat bukti jual beli

37

Supomo dan Djoksutono, Sedjarah Politik Hukum Adat 1609-1848, Jakarta: Djambatan, Cetakan ke-4, 1955, hlm. 1

38

Muchsin dkk.,Op.Cit., hlm. 10

39

Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, Yogyakarta: STPN Press, 2012, hlm. 37

40


(36)

17 Situasi tersebut berjalan cukup lama, sehingga membuat rakyat Indonesia kehilangan hak-haknya sendiri atas tanah dan semakin miskin karena eksploitasi yang dilakukan VOC tehadap hasil pertanian rakyat.Kemudian pada tahun 1799, VOC terpaksa dibubarkan karena kerap kali berperang, kas kosong dan banyak hutang, serta banyak pesaing dari Inggris dan Perancis. Setahun kemudian, daerah dan hutang-hutang VOC diserahkan kepada Bataafsche Republiek, serta Indonesia sebagai tanah jajahan dijadikan bagian dari wilayah Negeri Belanda dengan status sebagai negara jajahan (Nederlands Indie – Hindia Belanda).42

Setelah bangkrutnya VOC pada awal abad ke-19, kekuasaan pemerintah Belanda dipatahkan oleh balatentara Inggris dan pada tahun 1811 Belanda harus menyerahkan Pulau Jawa kepada Inggris.43 Di bawah pemerintahan Raffles dibentuklah sebuah panitia dengan tugas melakukan penyelidikan statistik mengenai keadaan agraria, dan atas hasil penyelidikan itu Raffles berkesimpulan bahwa semua tanah adalah milik raja atau pemerintah Inggris (teori Domein).44 Raffles mewujudkan pemikiran tentang pajak yang dikenal dengan namaLandrent (pajak tanah). Landrent tidak langsung dibebankan kepada para petani pemilik tanah, para kepala desa diberi kekuasaan untuk menetapkan jumlah sewa yang wajib dibayar oleh tiap petani.45Berdasarkan ketentuannya itu, penduduk pribumi

41

Herman Soesangobeng, Op.Cit., hlm. 69

42 Muchsin dkk.,

Op.Cit., hlm. 11

43

Mr R Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Jakarta: Pradnya Paramita, xxxx, hlm. 43

44 Gunawan Wiradi, ‘efor a ….Op.Cit., hlm. 70 45


(37)

18 Kemudian dengan dibentuknya perjanjian pada 13 Agustus 1814 antara Inggris dan Belanda, maka semua jajahan Belanda yang diwaktu peperangan terakhir diduduki oleh Inggris akan dikembalikan kepada Belanda.46 Memasuki masa pemerintahan Van den Bosch, pada tahun 1830 diterapkan sebuah sistem tanam paksa (Cultuurstelsel), yakni dengan pemiadaan pembayaran pajak dari para petani di desa namun digantikan dengan kewajiban menanami 1/5 tanahnya dengan tanaman seperti nila, kopi, tembakau, teh, tebu dan sebagainya untuk kemudian diserahkan kepada pemerintah (untuk di ekspor ke Eropa).47Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah Belanda secara cuma-cuma, tanpa ada imbalan apapun.Kondisi ini semakin mengerdilkan hak agraria rakyat Indonesia sebagai pemilik asli tanah Indonesia.

Rakyat Indonesia benar-benar dijadikan budak untuk memperkaya Belanda.Begitu banyak hasil kekayaan alam Indonesia dikeruk secara sia-sia karena para petani tidak mendapatkan imbalan atas hasil tanaman yang diberikannya pada Belanda. Sistem ini mendatangkan kritik habis-habisan, antara lain oleh Edouward Douwes Dekker (Multatuli), lalu akhirnya sebagai jawabannya dikeluarkan kebijakan Regerings Reglement yang dalam Pasal 64 dinyatakan bahwa Gubernur Jenderal dilarang menjual tanah kecuali tanah sempit bagi perluasan kota dan industri dan boleh menyewakan tanah berdasarkan Ordonnantie (peraturan) kecuali tanah hak ulayat.48

46

Supomo dan Djoksutono, Op.Cit., hlm. 83

47 Gunawan Wiradi, ‘efor a ….Op.Cit., hlm. 70-71 48


(38)

19 jajahan.49 Dalam Hukum Pertanahan Belanda di Indonesia, pelaksanaannya dimulai secara sah sejak tahun 1848 ketika diberlakukannya Undang-Undang Hukum Perdata Belanda (Nederlands Burgelijk Wetboek-BW) yang baru dan di Indonesia disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia (KUHPInd.).50Kodifikasi hukum berlangsung untuk pertama kali, BW berlaku khusus untuk golongan Eropa, kemudian berlaku juga untuk golongan Timur Asing (sejak tahun 1855), sedangkan untuk golongan Bumiputera berlaku hukum masing-masing (yakni hukum adat).51

Mengenai pengaturan hukum adat terkait urusan keagrariaan, Ter Haar dan para muridnya yang belajar di Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta (yang pada waktu itu bernama Rechtshogeschool te Batavia) mulai bekerja di lapangan untuk mencatat kaidah-kaidah sosial (adat) komunitas-komunitas dengan sanksi-sanksi.52 Van Vollenhoven telah menjelaskan sifat atau ciri khusus sebagai tanda-tanda pengenal Hukum Pertanahan dan Keagrariaan Adat Indonesia, yaitu:53

1. Masyarakat hukum dengan pimpinan dan warganya dapat dengan bebas menggunakan dan mengusahakan semua tanah hutan belukar yang belum dikuasai seseorang dalam lingkungan masyarakat hukum untuk

49

Soetandyo Wignjosoebroto, dalam monograf Untuk Apa Pluralisme Hukum ? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia, Jakarta: Epistema Institute, 2011, hlm. 29

50

Herman Soesangobeng, Op.Cit., hlm. 37

51

Elza Syarief, Op.Cit., hlm. 101

52 Soetandyo Wignjosoebroto,

Dari Hukum ... ,Op.Cit., hlm. 24-25

53


(39)

20 2. Orang asing hanya dapat melakukan hal-hal yang disebutkan sebelumnya setelah mendapatkan izin dari masyarakat hukum, karena setiap pelanggarannya dinyatakan sebagai suatu pelanggaran adat yang disebut „maling utan‟;

3. Setiap orang asing, tetapi kadang-kadang terhadap warga masyarakat hukum pun, diharuskan membayarkan uang pemasukan, untuk dapat memungut dan menikmati hasil tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat;

4. Masyarakat hukum adat bertanggung jawab atas setiap pelanggaran hukum yang terjadi dalam wilayah masyarakat hukum adat;

5. Masyarakat hukum adat tetap berhak menguasai dan mengawasi tanah-tanah pertanian dalam lingkungan masyarakat hukumnya; dan

6. Tanah masyarakat hukum adat tidak boleh dijual lepaskan kepada pihak lain untuk selama-lamanya.

Berkat perjuangan Van Vollenhoven dan Ter Haar serta para penerusnya, pada zaman Hindia Belanda itu hukum negara yang diterapkan (oleh badan-badan yudisial pemerintah kolonial) menjadi tidak – atau tidak banyak – menyimpang dari hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.54

Dalam praktiknya, pelanggaran demi pelanggaran hukum dilakukan oleh pemerintah Belanda.Pemerintah acapkali mencabut hak milik tanah seseorang tanpa didasarkan ketentuan hukum karena penduduk pribumi tidak ditentukan

54


(40)

21 dengan semakin berkembangnya dominan ide liberalisme di bidang hukum, lahirlah Regeelings Reglement (RR) pada tahun 1854 yang dimaksudkan untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan eksekutif yang berada di tangan para administrator kolonial.56

Menurut ayat (3) dari Pasal 62 RR menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut peraturan yang harus ditetapkan dengan peraturan umum. Dalam hal ini tidak termasuk tanah-tanah yang dibuka oleh orang-orang Bumiputera, atau yang termasuk lingkungan suatu desa, baik sebagai tempat penggembalaan umum, maupun dengan sifat lain. Tujuan gerakan kaum liberal dalam bidang agraria ini adalah agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom) untuk memungkinkan penjualan dan penyewaan, serta agar dengan asas domein pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan murah (erfpacht).57

Sebagai upaya untuk memperbesar keuntungan para pengusaha dan pedagang Belanda dari kekayaan alam Indonesia, akhirnya pada 9 April 1870 pemerintah Belanda meloloskan Undang-Undang Agraria yang selanjutnya dikenal sebagai Agrarische Wet yang diberlakukan untuk Jawa dan Madura serta untuk seluruh wilayah jajahan Hindia Belanda setelah lima tahun pembentukannya.58Agrarische Wet Staatsblad 1870 No. 55 berisi tiga pasal yang termaktub dalam Artikel 62 RR 1854 dan tambahan lima pasal baru. Selain itu,

55 Cornelis van Vollenhoven,

Orang Indonesia dan Tanahnya (De Indonesier en Zijn Ground), Yogyakarta: STPN Press, 2013, hlm. 16

56

Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum ...Op.Cit., hlm. 32

57 Gunawan Wiradi, ‘efor a ….Op.Ci

t., hlm. 71-72

58


(41)

22 Pada ayat (4) Agrarische Wet 1870 disebutkan bahwa Gubernur Jenderal akan memberikan hak erfpacht60 selama 75 tahun.Kemudian perihal ketentuan pelaksanaannya diatur dalam berbagai peraturan dan keputusan. Salah satu yang penting adalah Agararisch Besluit (keputusan agraria) yang hanya berlaku di Jawa dan Madura, yang diundangkan dalam Staatsblad 1870 No. 118, di mana dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa “….semua tanah yang tidak terbukti bahwa atas tanah itu ada hak milik mutlak (eigendom), adalah hak domein negara.” Domein negara artinya milik mutlak negara, biasa dikenal dengan Domein Verklaring.61

Rakyat Indonesia benar-benar berada pada masa ketidakadilan dengan terampas kemerdekaan dan haknya atas tanah mereka sendiri.Masa kolonial telah memperbudak rakyat sekaligus negara Indonesia untuk melayani kebutuhan orang-orang Belanda memperkaya diri dari hasil pertanian dan perkebunan Indonesia.Beberapa abad penjajahan kolonial itu telah menjadi bagian dari perjalanan hukum agraria yang sangat merugikan rakyat Indonesia.

Memasuki masa Perang Dunia II antara blok barat dan blok timur, kedudukan Belanda mulai tergeser dan Indonesia jatuh di bawah kekuasaan penjajahan Jepang. Sejak tahun 1942 Jepang mengambil alih seluruh kekuasaan pemerintahan kolonial.Pemerintahan jepang mengeluarkan kebijakan yang mentolerir dan mendorong rakyat untuk menggarap tanah-tanah perkebunan dan

59

Cornelis van Vollenhoven, Op.Cit., hlm. 168

60

Erfpacht merupakan hak kebendaan yang memberi kewenangan yang paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan pihak lain, dan bolehmenggunakan semua kewenangan yang terkandung dalam eigendom atas tanah. Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan ke-5, 2012, hlm. 48-49

61


(42)

23 Belanda.Namun tetap saja para petani penghasil padi dikenakan kewajiban menyerahkan hasil produksinya kepada pemerintah sebagai semacam pajak.62

2. Pasca Kemerdekaan

Dalam bidang keagrariaan selama masa penjajahan terdapat dualisme hukum agraria yang berlaku yakni berdasarkan hukum adat yang melahirkan tanah hak milik adat, tanah ulayat, tanah yayasan, tanah golongan dan sebagainya, serta berdasarkan hukum barat (kolonial) yang melahirkan tanah hak eigendom (hak milik), tanah hak opstal, tanah hak erfpacht, tanah hak gebruik (hak pakai), dan sebagainya.63Terlepas dari penjajahan Jepang (1945), Indonesia mendapatkan kemerdekaannya.Para pemimpin bangsa mulai memikirkan untuk melakukan pembangunan hukum baru yang terlepas dari ketidakadilan hukum kolonial termasuk hukum agraria kolonial.

Pengaturan hukum agraria menjadi salah satu hal yang difokuskan untuk diubah dalam upaya memperbaiki tatanan pengaturan hak agraria masyarakat Indonesia dari ketidakadilan hukum kolonial. Beberapa peraturan yang dihasilkan antara lain terdapat Undang-Undang No. 28 Tahun 1956 tentang Pengawasan Terhadap Pemindahan Hak Atas Tanah-Tanah Perkebunan, Undang-Undang No. 29 Tahun 1956 tentang Peraturan-Peraturan dan Tindakan-Tindakan Mengenai Tanah-Tanah Perkebunan, Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang

62

Gunawan Wiradi, ‘efor a ….Op.Cit., hlm.80

63 A. Ridwan Halim,

Hukum Agraria Dalam Tanya Jawab, Jakarta: Ghalia Indonesia, Cetakan ke-2 1988, hlm. 27


(43)

24 Pemerintah Indonesia pun membentuk panitia Agraria yang mengalami beberapa kali pergantian, yakni Panitia Yogya (1948), Panitia Agraria Jakarta (1951), Panitia Suwahyo (1955), Rancangan Soenarjo (1958), dan Rancangan Soedjarwo (1960)64. Pembentukan panitia tersebut diusung untuk menghasilkan sebuah hukum agraria yang berjiwa keindonesiaan. Setelah melalui proses selama 12 tahun, akhirnya terbitlah Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (biasa disebut UUPA) yang disahkan dan diundangkan sebagai induk dari hukum agraria Indonesia. Dengan berlakunya UUPA, berarti telah dicabut segala peraturan hukum agraria kolonial yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu:

1. "Agrarische Wet" (Staatsblad 1870 No. 55), sebagai yang termuat dalam pasal 51 "Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie" (Staatsblad 1925 No. 447) dan ketentuan dalam ayat-ayat lainnya dari pasal itu;

2. "Domienverklaring" tersebut dalam pasal 1 "Agrarisch Besluit " (Staatsblad 1870 No. 118); "Algemene Domienverklaring" tersebut dalam Staatsblad 1875 No. 119A; "Domienverklaring untuk Sumatera" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1874 No. 94f; "Domeinverklaring untuk keresidenan Menado" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1877 No. 55; "Domienverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo" tersebut dalam pasal 1 dari Staatsblad 1888 No.58;

64


(44)

25 117) dan peraturan pelaksanaannya;

4. Buku ke-II Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang mengenai bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai berlakunya undang-undang ini;

Salah satu dasar pertimbangan dalam merumuskan UUPA ini adalah bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong.

Sebagai implementasi dari ketentuan dalamPasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa negara sebagai penguasa bumi, air, dan kekayaan alam Indonesia, maka dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA telah ditentukan bahwa hak menguasai dari negara yang dimaksud adalah memberi wewenang untuk:

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;

b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan


(45)

26 dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Adapun tujuan dalam pembentukan UUPA ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (3), yakni bahwa wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur. Untuk menunjukkan kepemihakan terhadap rakyat dalam pengaturan UUPA ini, dapat dilihat dalam Pasal 11 dan 13. Dari berbagai ketentuan dasar tersebut, selanjutnya UUPA juga menentukan mengenai hak-hak masyarakat atas tanah yang dapat dibedakan menjadi:

a. Hak milik (Pasal 20-27) b. Hak guna usaha (Pasal 28-34) c. Hak guna bangunan (Pasal 35-40) d. Hak pakai (Pasal 41-43)

e. Hak sewa untuk bangunan (Pasal 44-45)

f. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan (Pasal 46)

g. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara (Pasal 53) yakni hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa tanah pertanian.

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara.


(46)

27 47) serta hak guna ruang angkasa (Pasal 48).Dengan pemberlakuan UUPA tersebut pemerintah mulai menata pembagian dan penguasaan struktur kepemilikan tanah Indonesia karena selama masa kolonial pola kepemilikan masyarakat atas tanah sangat tidak adil dan tidak teratur. Untuk menjalankan suatu redistribusi kepemilikan tanah, pemerintah membuat sebuah Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang disebut sebagai Undang-Undang Landreform Indonesia. Sejak program ini berjalan pemerintah berhasil mendistribusikan sekitar 800.000 hektar tanah kepada 850.000 kepala keluarga.65

Mengingat kekhususan dari perkara-perkara yang terkait dengan program tersebut, pemerintah Soekarno membentuk badan peradilan tersendiri yaitu Pengadilan Landreform dengan dasar pembentukan Undang-Undang No.21 Tahun 1964.66Namun kegiatan landreform ini tidak berlangsung lama seiring bergantinya pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto pada tahun 1965.Bahkan Pengadilan Landreform pun akhirnya dihapuskan dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1970 tentang Penghapusan Pengadilan Landreform. Pemerintah baru ini mempunyai kebijakan yang sama sekali lain, sehingga untuk jangka waktu yang cukup lama UUPA masuk peti es, sedangkan kebutuhan agraria di sektor lain mendesak, maka lahirlah pada masa awal orde baru berbagai undang-undang

65 Elza Syarief,

Op.Cit., hlm.121

66


(47)

28 Untuk menarik minat para investor, pemerintah mulai membuat beberapa regulasi untuk membuka peluang eksplorasi tanah dan sumber daya alam di Indonesia. Sebagai langkah awal untuk memikat investor asing, tahun 1967 Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) diberlakukan, selanjutnya lahir Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketnetuan Pokok Pertambangan serta berbagai undang-undang sektoral lain tentang minyak-gas dan pengairan.68

Kebijakan pemerintah orde baru ini lebih fokus hanya kepada pembangunan dengan penguasaan tanah secara besar-besaran oleh negara untuk dieksplorasi dan dieksploitasi oleh para investor yang bermodal besar,namun hak-hak dari masyarakat atas tanah jadi terlupakan. Ternyata undang-undang tersebut tidak menjadikan UUPA sebagai basisnya, regulasi-regulasi ini pun tumpang tindih dan inkonsisten satu sama lain.69 Dengan makin rumitnya masalah pertanahan dan makin besarnya keperluan akan ketertiban di dalam pengelolaan pertanahan, makin dirasakan keperluan akan adanya peraturan pelaksanaan UUPA yang menerapkan ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak atas tanah.

Sebagai hak atas tanah yang masa berlakunya terbatas untuk jangka waktu tertentu (hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai), hak-hak tersebut memerlukan kejelasan mengenai beberapa hal antara lain mengenai persyaratan perolehannya, kewenangan dan kewajiban pemegangnya, dan status tanah dan

67

Gunawan Wiradi, ‘efor a ….Op.Cit., hlm.86-87

68 Elza Syarief,

Op.Cit., hlm.123

69


(48)

29 pemegang hak, kepada pemerintah sebagai pelaksana UUPA, maupun kepada pihak ketiga.70

Beberapa peraturan pun mulai dibentuk untuk mengatur pelaksanaan perundang-undangan tentang pertnahan sebagai objek dasar agraria seperti Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, Peraturan Menteri Negara Agraria / BPN No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Peraturan Menteri Negara Agraria / BPN No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Perolehan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Peraturan BPN No. 2 Tahun 2013 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah, dan sebagainya. Perjalanan UUPA selanjutnya terus diiringi dengan penerbitan perundang-undangan yang merupakan perluasan dari urusan keagrariaan di Indonesia, antara lain:

1. Terkait pertanahan.

a. Undang-Undang No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya,

b. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,

70 Penjelasan umum Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha,


(49)

30 Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan,

d. Undang-Undang No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,

2. Terkait pertanian

a) Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,

3. Terkait perkebunan

a) Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, 4. Terkait perikanan

a) Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, b) Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, 5. Terkait pertambangan

a. Undang-Undang No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan,

b. Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi,

c. Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,

6. Terkait kehutanan

a. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, 7. Terkait pembangunan


(50)

31 Permukiman,

b. Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,

c. Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara

3. Hukum Tanah dalam Hukum Agraria

Begitu beragam hukum yang menjadi cakupan dari hukum agraria. Setiap pengaturan tersebut harus saling berkesinambungan karena pengaturan yang satu akan mempengaruhi pengaturan yang lainnya disebabkan kesamaan objek dasar pengaturan, yaitu tanah. Harus disadari bahwa bagaimanapun hukum merupakan suatu sistem, yang keseluruhannya tidak lepas dari nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Untuk itu, pengembangan suatu bidang hukum (yang dikatakan netral sekalipun) juga akan berpengaruh kepada bidang-bidang hukum lainnya. Misalnya, peraturan di bidang penanaman modal mempunyai keterkaitan dengan masalah hukum pertanahan, yang di Indonesia belum dapat disebut sebagai bidang yang netral.71

Meskipun hukum agraria tidak hanya membahas tanah, tapi umumnya perihal agraria ini lebih sering ditekankan pada unsur pertanahannya.Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak.72Tanah sebagai tempat berpijak di bumi ini menjadi kebutuhan dasar dalam kehidupan manusia sebagai makhluk hidup.Setiap kegiatan sehari-hari

71 Elza Syarief,

OpCit., hlm. 88-87

72


(51)

32 bermanfaat.

Pada kondisi tersebut, hukum agraria memiliki peran dalam pengaturan pelaksanaan norma-norma hukum pertanahan, tentang penggunaan dan pemanfaatan tanah sebagai benda tidak tetap yang melahirkan hak perorangan untuk menikmati hasil tanah baik oleh masyarakat maupun orang pribadi, maka haknya pun disebut hak agraria.73 Di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia yang bercorak agraris, tanah memberikan warna tersendiri bagi struktur masyarakatnya, seperti pernyataan seorang pakar: 74

“Bukan saja karena kehidupan mayoritas penduduknya ditopang oleh tanah, tetapi dengan tanah itu pula kesadaran mereka terwujudkan, baik dalam bentuk kerja produktif maupun bentuk-bentuk kesenian serta kebudayaan lainnya. Secara singkat, seluruh bangunan pandangan hidup yang memberi arah bagi proses kemasyarakatan, bertolak dari dialektika kesadaran manusiawi dengan tanahnya.” (McAuslan : 1986, 22)

Pembicaraan mengenai hukum agraria ini tidak dapat dilepaskan dari hubungannya dengan hukum tanah dan hukum terkait benda-benda lain yang melekat bersama tanah (air, sumber daya alam, dan ruang angkasa).Walaupun banyak unsur pertanahan dalam agraria, namun cakupan hukum agraria sendiri sangat luas jika dibatasi hanya pada pertanahan.Pengaturan hukum agraria ini harus selalu dilihat secara menyeluruh, yakni mencakup urusan kepemilikan, penggunaan, atau penguasaan atas tanah dan segala sesuatu yang berada di atas tanah maupun yang terkandung di dalamnya.

73

B. Ter Haar (Beginselen en stelsel van het adatrecht) sebagaimana dikutip dalam Herman Soesangobeng, Op.Cit., hlm. 6

74


(52)

33 dengan unsur tanah. Hukum tanah dan hukum agraria pun akan berjalan beriringan karena memiliki objek pengaturan yang sama (tanah), maka pengaturan hak-hak penguasaan atas tanah perlu menjadi perhatian besar dalam pengaturan hukum agraria. Tanah memiliki hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional, yaitu: 75

a. Hak bangsa Indonesia atas tanah; b. Hak menguasai dari negara atas tanah; c. Hak ulayat masyarakat hukum adat

d. Hak perseorangan atas tanah; meliputi hak-hak atas tanah, wakaf tanah hak milik, hak jaminan atas tanah (hak tanggungan).

Berdasarkan pembagian hak tersebut, diperlukan sebuah wujud pengaturan yang akan menjadi pedoman dalam menggunakan hak-hak penguasaan atas tanah. Lalu hadirlah hukum tanah yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan hukum, baik tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum dan hubungan-hubungan yang kongkrit dengan tanah.76

Sebagai bagian dari hukum agraria, pengaturan hukum tanah harus disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dari hukum agraria.Sebagaimana ketentuan-ketentuan hukum tanah yang tertulis bersumber pada UUPA dan peraturan pelaksanaannya yang secara khusus berkaitan dengan tanah sebagai

75

Urip Santoso, Op.Cit., hlm. 11

76 Effendi Perangin,

Hukum Agraria di Indonesia : Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994, hlm. 195


(53)

34 sebagai sumber hukum pelengkapnya.77

Hukum tanah yang dalam UUPA menganut konsep pemisahan hak atas tanah menggunakan asas hukum adat yaitu asas pemisahan horizontal, di mana tanah terpisah dari segala sesuatu yang melekat pada tanah, atau pemilik atas tanah terlepas dari benda yang terdapat di atas tanah, sehingga pemilik hak atas tanah berbeda dengan pemilik hak atas benda tersebut.78 Selanjutnya, Imam Sudyat menjelaskan asas pemisahan horizontal dalam hukum adat ini terlihat jelas dalam hak numpang yang menunjukkan bahwa dalam menumpang itu orang tidak ada sangkut pautnya dengan tanah tersebut, bahwa orang itu tinggal dalam rumah di atas tanah, terlepas dari tanah meskipun ia mempunyai rumah di situ, terlihat pula bahwa pohon-pohon dapat dijual dan digadaikan tersendiri terlepas dari tanahnya.79

Konsep hukum tanah tersebut akan menjadi induk bagi ketentuan lain dalam hukum agraria terkait hukum sumber daya alam (air, pertanian, perkebunan, pertambangan, perikanan, kehutanan). Pada hakikatnya hukum agraria mengatur tentang hak-hak penguasaan dari tanah, sumber daya alam, dan ruang angkasa.Namun pada dasarnya, hukum agraria secara sempit memiliki pengertian sebagai hukum tanah.Oleh karena itu, perkembangan hukum agraria ini perlu dilihat bersama dengan perkembangan hukum tanahnya.

77

Urip Santoso, Op.Cit., hlm. 11

78

http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/08/penerapan-asas-pemisahan-horisontal- berdasarkan-undang-undang-nomor-5-tahun-1960-tentang-peraturan-dasar-pokok-pokok-agraria-dalam-pemilikan-rumah-susun-berdasarkan-undang-undang-nomor-20-tahun/ (diakses pada tanggal 9 September 2014, 11.04 WIB)

79


(54)

35 berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 tapi tanpa merujuk UUPA. Menurut Maria, sudah banyak terbit peraturan pelaksana UUPA namun dua masalah mendasar masih tersisa, yakni belum tersedia cetak biru (blue print) kebijakan pertanahan yang komperhensif dan arah serta strategi penyempurnaan UUPA belum jelas.80Degradasi UUPA tersebut dapat terlihat dalam peraturan-peraturan tentang pertambangan, kehutanan, pertanian, pertanahan, dan lain sebagainya.

Hal itulah yang menjadi faktor pemacu timbulnya konflik agraria di masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perkembangan hukum agraria di Indonesia harus selalu diperhatikan dan diperbaiki untuk mencapai keadilan atas hak agraria bagi seluruh masyarakat Indonesia, sekaligus dalam rangka mewujudkan “reforma agraria”81

yang merupakan amanat dari TAP MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).Dengan demikian, kepastian hukum atas hak agraria setiap warga masyarakat Indonesia dapat diwujudkan dalam rangka menuju kesejahteraan rakyat Indonesia.

B. Konflik Agraria

Konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perselisihan, pertentangan, percekcokan.Konflik dapat terjadi antar individu, antar

80

Elza Syarief, Op.Cit., hlm. 123

81Reforma agraria adalah restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan,

penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria (khususnya tanah).Tujuannya untuk mengubah susunan masyarakat feodalisme dan kolonialisme, menjadi susunan masyarakat yang adil dan merata (Gunawan Wiradi, 2009).http://skpm.fema.ipb.ac.id/spd/?p=428 (diakses pada tanggal 15 September 2014 pukul 10.47 WIB)


(1)

Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda. 2012. Teori dan Hukum Konstitusi, Jakarta: RajaGrafindo Persada Cetakan ke-10.

Tresna, R. Xxxx. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad. Jakarta. Pradnya Paramita.

Vollenhoven, Cornelis van. 2013. Orang Indonesia dan Tanahnya (De Indonesier en Zijn Ground). Yogyakarta: STPN Press.

Wahjono, Padmo. 1984. Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Waluyo, Bambang. 2008. Penelitian Hukum dalam Praktik. Jakarta: Sinar Grafika, Cetakan ke-4.

Waluyo,Bambang. Cetakan ke-4 2008. Penelitian Hukum dalam Praktik. Jakarta : Sinar Grafika.

Wignjodipuro, Soerojo. Cetakan ke-14 1995. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta. PT. Toko Gunung Agung.

Wiradi, Gunawan. 2009. Reforma Agraria Perjalanan yang Belum Berakhir. Diterbitkan bersama oleh: Konsorsium Pembaruan Agraria (Jaksel), Sajogyo Institute (Bogor), AKATIGA (Bandung) Edisi Baru.

. 2009. Seluk Beluk Masalah Agraria, Reforma Agraria, dan Penelitian Agraria. Yogyakarta: STPN Press.

Wolhoff, G. J.. 1955. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta. Timun Mas.


(2)

Sumber Lain (jurnal, artikel, makalah, dll.)

Elfachri Budiman, Jurnal “Peradilan Agraria (Solusi Alrternatif Penuntasan Sengketa Agraria”, Jurnal Hukum USU, Vol. 01, No. 1, 2005

Endi Purnomo, Makalah “Catatan Terhadap RUU Tentang Pengadilan Agraria”, disampaikan dalam Uji Sahih Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria, pada Hari Senin, 12 Mei 2014, di Ruang Sidang Rektorat Universitas Lampung, Kerjasama antara Dewan Perwakilan Daerah Republik Idnonesia (DPD-RI) dengan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Erman Rajagukguk, Makalah “Indonesia : Hukum Tanah di ZamanPenjajahan”, Disampaikan pada Seminar Antarbangsa, “Tanah Keterhakisan Sosial dan Ekologi : Pengalaman Malaysia dan Indonesia”, Dewan Bahasa dan Pustaka Institut Alam dan Tamadun Melayu (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur, 4-5 Desember 2007.

FX Sumarja, Makalah “Menguak Gagasan dan Upaya Insiasi RUU tentang Pengadilan Keagrariaan”, disampaikan dalam Uji Sahih Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Agraria, pada Hari Senin, 12 Mei 2014, di Ruang Sidang Rektorat Universitas Lampung, Kerjasama antara Dewan Perwakilan Daerah Republik Idnonesia (DPD-RI) dengan Fakultas Hukum Universitas Lampung.

Hasil notulensi dari kegiatan Uji Sahih RUU Pengadilan Agraria di Rektorat Unila pada 12 Mei 2014.

Hedar Laudjeng, Hukum Kolonial di Negara Merdeka, paper yang diakses dari htttp://huma.or.id


(3)

Jimly Asshidiqie, Makalah “Konstitusi dan Hukum Negara Adat”,disampaikan sebagai bahan Keynote Speech pada Seminar Nasional tentang Konstitusi Kesultanan-Kesultanan Islam di Jawa Barat dan Banten, UIN Gunung Djati, Bandung, 5 April 2008.

Kerangka Acuan Uji Sahih RUU Pengadilan Agraria oleh DPD RI pada tahun 2014

Laporan Akhir Tahun 2012 Konsosrsium Performa Agraria (KPA) Laporan Akhir Tahun 2012 KPA

Laporan Akhir Tahun 2013 KPA Laporan Akhir Tahun 2014 KPA

Monograf. 2008. Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21. Yogyakarta. STPN.

Monograf. 2011. Untuk Apa Pluralisme Hukum ? Regulasi, Negosiasi, dan Perlawanan dalam Konflik Agraria di Indonesia. Jakarta : Epistema Institute, HuMa, Forest.

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Pengadilan Agraria oleh tim ahli DPD RI, 2014

Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Regerings Reglement 1854

Agrarisch Wet 1870


(4)

Burgerlijk Wetboek (BW)

Reglement op De Rechtelijke Organisatie (RO)

Algemene Bepalingen (AB)

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 21 Tahun 1964 tentang Pengadilan Landreform

Undang-Undang No. 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung

Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum

Undang-Undang No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum


(5)

Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah

Website

http://api.or.id/peradilan-agraria-antara-urgensi-dan-pemihakan1/

http://binadesa.co/merintis-kelembagaan-pelaksana-pembaruan-agraria-dan-penyelesaian-konflik-agraria-di-indonesia/

http://fh.unpad.ac.id/repo/2013/08/penerapan-asas-pemisahan-horisontal- berdasarkan-undang-undang-nomor-5-tahun-1960-tentang-peraturan- dasar-pokok-pokok-agraria-dalam-pemilikan-rumah-susun-berdasarkan-undang-undang-nomor-20-tahun/

http://huma.or.id/pembaruan-hukum-dan-resolusi-konflik/mesuji-cermin-konflik-agraria-yang-kronis-1.html

http://pn-yogyakarta.go.id/pnyk/info-peradilan/pengertian-peradilan.html http://skpm.fema.ipb.ac.id/spd/?p=428

http://tempo.co.id/ang/min/03/13/utama2.html

http://www.dpd.go.id/artikel-pansus-agraria-dan-sumberdaya-alam-dpd- merekomendasikan-pembentukan-komnas-ad-hoc-penyelesaian-konflik-agraria


(6)

http://www.ippatonline.com/artikel-4-konflik-agraria-dan-urgensi-pelaksanaan-reforma-agraria-di-indonesia.html http://pn-yogyakarta.go.id/pnyk/info-peradilan/pengertian-peradilan.html

http://www.kpa.or.id/

http://www.kpa.or.id/?p=4239

http://www.ptun-yogyakarta.go.id/index.php/berita/314-sistem-peradilan-di-indonesia

http://www.tribunnews.com/nasional/2013/12/26/tiap-hari-terjadi-konflik-agraria-di-indonesia-21-orang-tewas-selama-2013