Bagaimana danais bekerja?

 



Bagaimana membuat Danais Bekerja?i
David Efendi )*ii

Serangkaian pertanyaan dapat diajukan perihal pelaksanaan keistimewaan DI Yogyakarta antara
lain (1) bagaimana dana keistimewaan dapat dijadikan alat untuk melakukan intervensi terhadap
percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat Yogyakarta? (2) factor apa saja yang
menjadikan dana keistimewaan tak dapat bekerja dengan baik sebagai ‘kesempatan’ untuk
berpihak kepada kesejahteraan rakyat?; dan (3) pra kondisi seperti apa yang dipersyaratkan
agar dana keistimewaan tersebut dapat bekerja optimal untuk mereduksi beragam dampak
negative dari kemiskinan yang relative tinggi? Ketiga pertanyaan tersebut di atas hendak
didiskusikan dalam artikel ini.
Danais dan Impian Kesejahteraan
Dalam beragam kesempatan Gubernur DI Yogyakarta yang juga merupakan Raja kesultanan
Yogyakarta sering menyampaikan bagaimana konsepsi “tahta untuk kesejahteraan rakyat”
terhubung dengan ‘struktur’ keistimewaan atau dana keistimewaan DIY. Gagasan gubernur untuk
mengubah paradigm pembangunan dari among tani menjadi dagang layar dianggap sebagai visi
yang sangat berkemajuan. Ekpektasi kesejahteraan DIY pernah disampaikan oleh Sri Sultan HB X

Saat menerima naskah UU Keistimewaan DIY dari Direktur Jenderal Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan pada September 2012 begini:
“…pengesahan UU itu bukan tujuan akhir, melainkan awal proses Pemerintah DIY
meningkatkan
kesejahteraan,
pelayanan,
kejujuran,
transparan,
transparansi,
akuntabilitas, dan kesadaran untuk tak menyalahgunakan wewenang atau korupsi.. Mari
membangun kebersamaan seluruh pimpinan daerah, birokrat, dan masyarakat agar
siapapun tak korupsi. Dengan demikian, manfaat sebesar-besarnya UU jatuh kepada
masyarakat DIY.”iii
Walau demikian, capaian yang didapat lima tahun terakhir menunjukkan masih jauh panggang
dari api. Sektor ‘kemariritiman’ atau pemberdayaan sector laut masih sangat minimalis. Bukan
hanya capaian pada level outcome, benefit, atau dampak yang diharapkan tetapi bahkan dalam
;penyerapan anggaran tahun 2013 dan 2014 saja tidak begitu menggembirakan. Di saat yang
sama, masyarakat cukup banyak berharap agar dana keistimewaan ini memberikan kemanfaatan
sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.
Berbeda dengan keistimewaan propinsi Papua dan Aceh yang mempunyai periode tertentu

penerimaan dana khusus iv atau istimewa yaitu berturut-turut 25 dan 20 tahun, DIY ini
mendapatkan dana istimewa secara nominal lebih kecil setiap tahunnya tetapi tak dibatasi jangka
waktu tertentu sebagiamana Papua dan Aceh. Ini disebut dengan ‘check kosong’ yang dapat
menyebabkan berkah sekaligus bencana. Kasus DIY, ada fenomena masyarakat tidak terlalu
antusias untuk turut mengunakan dana keistimewaan tersebut terutama pada tahun 2015 dan
2014.
Pada tahun 2013, pemeritah DIY mengajukan dana keistimewaan kepada pemerintah pusat
sebesar Rp 1,2 triliun. Dengan dana ini, APBD DIY tahun 2013 yang hanya Rp 2,1
triliun bertambah menjadi 3 triliun. Namun setelah pemerintah pusat memverifikasi usulan itu,
muncullah nominal baru Rp 523 miliar. Karena usulan baru masuk sekitar Mei 2013, dana
keistimewaan yang dicairkan pusat menyusut menjadi Rp 231 miliar.v Meski menyusut, sampai
Oktober 2013 dana itu dan peraturan menteri keuangan (PMK) belum diterbitkan. Padahal, masa
anggaran tahun 2013 tinggal tersisa dua bulan. Akhirnya, pada tahun 2013 tersebut penggunaan
danais sangat kecil realisasinya. Persoalan tekhnis itu sering menjadi ‘kambing hitam’ dalam
urusan danais. Memang, danais berbasis kepada kinerja. Artinya, dana tahapan berikutnya hanya
dapat dicairkan setelah hasil dari tahap sebelumnya diverifikasi. Model ini mendapat apresiasi
positif dari BPK karena hasilnya lebih terukur dibanding Dana Otsus. Dalam satu tahun terdapat

 




tiga tahap penyaluran: 25%, 55% dan 20%. Dana tahap kedua hanya dapat dicairkan setelah
dana tahap pertama mencapai capaian kinerja 80%, begitu juga tahap ketiga. Pada 2013, dana
turun hanya satu termin. Pada 2014, Pemda DIY hanya mampu mencairkan dua termin dan
tahun ini, prosesnya masih berada di Kemendagri. Ini bukanlah hal yang tak ada jalan keluar.
Political opputunity atau struktur kesempatan pembangunan melalui dana keistimewaan tentu
saja mengundang kekhawatiran akan penyimpangan sehinga memang perlu melibatkan banyak
pihak untuk memastikan agar dana ini benar-benar sesuai peruntukannya, sesuai ekspekatasi
publik untuk menganulir beragam persoalan kemiskinan yang pelik di DI Yogyakarta. Di jalan
mailoboro tepatnya di samping kiri pintu masuk kantor gubernur di Kepatihan ada spanduk yang
sudah cukup lama dibentangkan bertuliskan, “Dana keistimewaan bukan untuk pejabat. Ini
menunjukkan ada ‘tanda tanya’ dari eleman masyarakat mengenai pengunaan dana ini. Terlebih
karena ada porsi besar sampai 90% (2013) danais untuk urusan kebudayaan yang dapat disebut
sebagai peruntukan sector ‘abstract”.
Ironisnya, justru keadaan internal politik Keraton Yogyakarta memanas di tengah komplleksitas
persoalan danais yaitu Sultan Hamengku Buwono X penganugerahan ini disebut-sebut sebagai
prosesi pengangkatan puteri sulungnya sebagai putera mahkota pada Selasa, 5 Mei 2015. Hal ini
kemudian diikuti pengeluarkan Sabda Raja mengenai penghapusan gelar sebagai pemimpin
agama (Khlaifatulah) dan pengubahan gelar nama Buwono menjadi Bawono. Sabda Raja itu

langsung mendapat penolakan dari kerabat keraton dan juga mengundang keprihatinan
masyarakat (Koran tempo, 5 Mei 2015)vi.
Banyak pihak khawatir ontran-ontran di Keraton Yogyakarta ini. berdampak pada status
keistimewaan yang diatur Undang-Undang Keistimewaan DIY Nomor 32 tahun 2012. Status
keistimewaan dalam UU itu bukan tak mungkin diamandemen lagi, dan bisa berdampak besar
termasuk pada nasib dana keistimewaan. Ada spekulasi bahwa Rp 500 miliar setahun berpotensi
dihapus dari paket UU Keistimewaan ketika kondisi internal keraton terbelah.
Untuk melihat bagaimana potensi dan praktik Dana keistimewaan bekerja untuk mereduksi
persoalan kesejahteraan di Yogyakarta dapat dianalisa, mengikuti tradisi Benedict Kerkvliet
(2009), bagaimana beberapa level politik bekerja untuknya yaitu level yang disebut official
politics, advocacy politics (LSM, media, CSO dll; ini disebut sebagai politik konvensional); dan
grassroot politics.vii Ketiga level ini akan diuraikan dalam pembahasan berikut.

Tiga level Politik: Official, Advokasi, dan Grassroot
Level 1: Politik Formal-Kantoran
Dalam hal ini yang dimaksud kelompok official adalah pihak atau lembaga yang memutuskan,
mengelola dan mengevaluasi danais. Sebagaimana kita ketahui pembangunan daerah dalam
rangka keistimewaan meliputi dari 5 (lima) urusan keistimewaan yaitu: Urusan Tata Cara
Pengisian Jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur; Kelembagaan; Kebudayaan; Pertanahan; dan
Tata Ruang sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang

Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemerintah setiap tahunnya mendapat alokasi
anggaran dana keistimewaan untuk membiayai pelaksanaan program/kegiatan keistimewaan
dalam rangka mewujudkan tujuan pengaturan kewenangan keistimewaan. Namun, sejak tahun
2013 sampai tahun 2015 implementasi kebijakan anggaran dana keistimewaan menuai banyak
kendala. Beberapa persoalan ini dialamatkan kepada elit pemerintahan untuk bisa
menyelesaikannya.
Saya tertarik dengan temuan penelitian yang dilakukan oleh Sakir (2015) yang mengerucutkan
pada lima aspek mendasar bagaimana danais melekat kelemahan managerial—aspek yang paling
penting dalam pandangan Peter F. Drucker (1997). Keempat masalah tersebut adalah Pertama,
Prioritas dana keistimewaan. Penempatan danais lebih dominan untuk urusan kebudayaan, yaitu
tahun 2013 alokasi danais urusan kebudayaan sebesar 91,86%, tahun 2014 sebesar 71,62% dan
tahun 2015 mendapat alokasi sebsar 76,87%. Selanjutnya Pemerintah DIY dalam merumuskan
target danais pada masing-masing urusan kewenangan keistimewaan belum melihat sejauhmana
kemampuannya dalam mencapai target tersebut. Sementara dalam menentukan alokasi danais
belum mencerminkan kebutuhan dari setiap program dan kegiatan pada masing-masing urusan

 




keistimewaan. Kedua, Kualitas belanja dana keistimewaan. Penyerapan dana keistimewaan
sejak tahun 2013 sampai tahun 2015 tidak maksimal. Pada tahun 2013 serapan anggaran
sebesar 23,58%, tahun 2014 sebesar 64,88% sedangkan tahun 2015 sebesar 20,06% pada
tahap 1. Ketiga, Kepentingan dana keistimewaan. Tujuan danais sangat mulia untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang merupakan cita-cita dari keistimewaan
Yogyakarta. Namun jika, dilihat dari aspek output dan outcome, pelaksanaan kewenangan
keistimewaan belum adanya identifikasi output dan outcome secara jelas.
Keempat, Pemangku kepentingan Dana Keistimewaan. Ada persoalan mendasar soal letak
otonomi daerah yang belum terpecahkan apakah di pemerintah daerah atau propinsi. Dampak
masalah ini banyak. Pemangku kepentingan dana keistimewaan yaitu Keraton dan Pakualaman
penataan mempunyai kepentingan koordinasi internal Kasultanan dan Pakualaman guna
menyamakan persepsi terhadap pelaksanaan UU Keistimewaan dan juga keharusan
mengkonsolidasi kekuatan yang ada seperti elit politik pusat dan daerah, pemodal, masyarakat
untuk memastikan danais bermanfaat. Pusat dan daerah harus solid tak lagi urus teknis
keterlambatan pencairan.viii Terakhir, Penerima manfaat dana keistimewaan. Penerima manfaat
adanya keistimewaan Yogyakarta adalah rakyat DIY secara keseluruhan. Namun, sejak tahun
2013 sampai tahun 2015 dampak adanyanya keistimewaan Yogyakarta belum signifikan.
Misalnya keistimewaan Yogyakarta belum dapat memberikan kontribusinya dalam akselerasi
kesejahteraan masyarakat. Karena tahun 2014 angka kemiskinan DIY paling tinggi di Jawa yaitu
14,55%.


Level 2: Politik Advokasi
Sebagaimana yang thesis yang pernah saya tulis. Perjuangan mendapatkan UUKY telah
mengundang beragam kekuatan organisasi, kekuatan kebudayaan, dan beragam actor terlibat
dengan beragam motivasi masing-masing. Ada kelompok NGO yang mendukung dan menolak,
ada kelompok Ormas yang menjadi proponent dan oponen terutama dalam isu subtansi UUKY:
penetapan gubernur dan wakil gubernur. Akhirnya, dengan banyaknya peran kelompok
masyarakat ini UUKY disayahkan akhir tahun 2012. Lalu apa? perebutan danais? Pembagian
kompensasi perjuangan seperti laiknya daerah-daerah lain seperti Papua dan Aceh pasca
helsingki? Kejadian mengarah ke sana ada tapi pertempuran sehari-hari dalam ruang interaksi
kelompok advokasi dan official sangat kuat. Kelompok pendukung keistimewaan tidak tunggal
dan kepentingannya sangat beragam seperti kelompok dukuh, lurah, sekber gamawan, dan
kelompok “milisi sipil”, untuk menyebut beberapa.
Fargamentasi dalam metode perjuangan, dan juga segregasi politik pasca kemenangan itu
inbadded dalam setiap kisah revolusi di banyak Negara di dunia. Keberadaan CSO atau NGO yang
terpisah dari akar rumput, atau menjadi ‘parasit’ dalam struktur kekuasaan formal adalah bagian
ekspresi gagalnya konsolidasi demokrasi di Indonesia. Demokrasi berkembang pesat secara
kelembagaan, tetapi secara subtansial terjadi situasi yang mengarah pada praktik oligarki dan
dinasti. Ini bukan hanya pada lembaga politik formal, tetapi juga mnenggejala dalam organisasi
seperti LSM. Kaum cendekiawan ini seharunya menjadi bagian dari solusi, tetapi justru terjabak

menjadi paksi persoalan.
Sedikit banyak, gagalnya pengelolaan danais ini juga disebabkan oleh kelompok CSO yang sibuk
dengan persoalannya dan lupa mengarahkan orientasi public untuk diperjuangkan. Pasca sabda
raja ada gejala, kelompok akademisi sedikit banyak menarik diri dari keterlibatan dalam politik
kekuasaan di daerah yang terus mengarah pada kebiasaan kompromis alias politics as business
as usual. Kemunduran ini akan banyak mendelegitimasi beragam rencana pembangunan dan
ujungnya akan mengarah pada delegitimasi atas dana keistimewaan yang semakin tidak istimewa
di mata kelompok CSO.
Level 3: Politik Akar Rumput
Salah satu point penting dalam rekomendasi penelitian tersebut di atas adalah mengenai urgensi
membuka ruang partisipasi seluas-luasnya kepada masyarakat untuk turut mengelola urusan
danais ini sehingga beragam kebijakan yang dilakukan akan didukung oleh evidence tentang apa
dan bagaimana masyarakat Yogyakarta membangun dirinya. Hal ini penting disadari dan juga
belajar bagaimana power citizen itu bekerja sebagaimana temuan Putnam (194) bahwa

 



…associationism, trust, and cooperation that facilitate good governance and economic

prosperity.” Jadi, kekuatan orang-orang biasa yang mempunyai tradisi ber-paguyuban-dengan
derajat ketiakawanan, kepercayaan antar sesame tinggi mampu memberikan dorongan pada
praktik tata kelola pemerintahan yang baik—pemerintahan yang bekerja keras untuk
memberikan pelayanan bagi masyarakat. Jika, masyarakat apatis terhadap rencana
pembangunan termasuk danais, maka itu bisa dipastikan program ini akan berakhir pada
kegagalan (walau sangat bagus di mata tekhnokrat).
Kebaradaan infrastruktur kebudayaan dan kearifan local seringkali hanya menjadi kajian atau
hanya berhenti pada eksplorasi tetapi miskin di level operasional. Kadang, aspek kesejahteraan
masyarakat hanya menjadi ilusi akibat tertutup oleh beragam statistik dan perengkingan.
Kepentingan akar rumput ditutup oleh capaian kelas masyarakat tertentu dalam skema
pembangunan ekonomi daerah. Kekalahan masyarakat dalam konsteasi ekonomi sehari-hari
tidak mendapatkan pembelaan dalam struktur kebijakan public termasuk danais. Dana
keistimewaan hanya menjadi ‘obat’ sesaat untuk melupakan pahitnya kehidupan dengan
menghadirkan beragam tontonan dibungkus kebudayaan lokal. Pun, kekuatan membangun yang
dimiliki orang orang biasa tak didorong untuk bekerjanya skema pembangunan pemerintah
bahkan tidak jarang ditinggalkan begitu saja. Manunggaling kawulo gusti bagus sebagai filosofi,
tetapi tidak pas dalam capaian suatu praktik pembangunan.
Keterlibatan atau active citizen ini menjadi tolok ukur sangat fundamental bagi kelangsungan
hidup good governenance. Tak ada tata kelola baik tanpa aktifnya masyarakat dengan daya
kreatif dan moral politic-ekonomi yang baik. Keberadaan masyarakat biasa yang jumlahnya

paling besar haruslah menjadi factor pembangkit dari terbangunnya struktur pembangunan yang
tangguh, bermanfaat, dan punya dimensi masa depan (futuristic), menjaga keseimbangan antara
ekonomi, kebudayaan, dan aspek keberlanjutan ekologis. Singkatnya, model partisipatif yang
luas nampaknya punya peluang menjadikan danais bekerja.

Urgensi Perencanaan dan Kesejahteraan

Persoalan tata ruang dan pertanahan sebanarnya paling akut dalam skema keistimewaan dan
danais. Kerusakan struktur ini sangat parah sehingga ada psimisme berlebihan di kalangan
masyarakat mengenai prospek danais khususnya. Kebijakan dalam level konseptual bertolak
belakang dengan apa yang terjadi di lapangan. Dominasi ekonomi pasar modern bukan hanya
meminggirkan kekuatan ekonomi lokal, merusak tata ruang, juga kebudayaan, juga humanism
warga kota. Inilah tantangan sangat serius dalam era UUKY. Juga ihwal agrarian yang masih tabu
dibicarakan di ruang terbuka. Ini juga pekerjaan yang mustinya segera berakhir.
Sebagaimana gagasan gubernur, upaya Renaisan Yogyakarta sebenarnya telah mendapatkan
pijakan filosofis, dukungan infrsatruktur local genious, kapasitas SDM tangguh di sector
pemerintahan dan perguruan tinggi serta kebradaan legitimasi politik yang stabil dengan posisi
gubernur sekaligus sebagai Raja /sultan. Kesimpulan ini pernah diungkap oleh Dardias (2014)
bahwa:
“Aristocracy is not declining but it is centered, monopolized and owned privately by the

sultan. Power is his monopoly and it is non-transferable to other aristocrats, including his
brothers and sons-in-law. People will obey his instructions but not necessarily those of
other aristocrats. The sultan’s charisma has been clearly shown in the direct elections for
local leaders in all five districts in Yogyakarta.”
Artinya, sebenarnya di era demokrasi electoral, desentralisais politik, dan keistimewaan DIY
dalam UUK no.13 Tahun 2012 justru kekuatan aristocrat terus mengalami konsolidasi (Hadiz,
2010). Namun demikian, beberapa aspek dari gubernur juga menunjukkan titik lemah ketika tak
berhasil mengkonsolidasikan kepentingan jamak dalam rezim tekhnokrasi dalam perencanaan
pembangunan. Ada kesan kuat, antar bappeda di wilayah DIY taka da sinergisitas, kerjasama,
dan kolobaroasi yang nyata justru terlihat jalan sendiri-sendiri. Hal ini berbeda dengan visi misi
gubernur yang memimpikan sinergisitas dalam pembangunan.ix

 



Dengan berkumpulnya sumber-sumber otoritas tradisional, karismatik, dna legal formal di
tangan sri Sultan, seharusnya ini menjadi kekuatan penetrasi politik kebudayaan untuk
memastikan bahwa pembangunan, danais, dan beragam skema planned development lainnya
betul-betul untuk kesejahteraan rakyat sebagaimana janji HB X dalam jumenenangannya yang
dimaksudkan untuk mengokohkan kehendak “tahta untuk Rakyat” dari HB IX, ayahnya. Kekuatan
kebudayaan yang tersentralisasi pada diri gubernur itu memungkinkan untuk saling
mengkonsolidasikan kekuatan di tiga level politik yang berbeda (official advocacy, dan grassroot
politics).
Keberadaan official politics yang smart dan terampil-terlatih akan dengan mudahnya melakukan
beragam ‘lobi’ kepada pusat dan atau kepada level politik official di daerah untuk memagari dan
mengedepankan kepentingan rakyat. Porsi kebduayaan terlalu besar itu secara pelan tapi pasti
diarahkan untuk sector-sektor strategis tanpa melawan regulasi. Ini butuh kecerdasan tingkat
tinggi dan political will yang tangguh plus sedikit kecerdikan. Di level politik lainnya, pada level
gerakan masyarakat yang dibranding dalam beragam organisasi formal seperti ormas dan
LSM/NGO, terus melalukan upaya pendampingan, kemitraan kritis kepada pemerintah untuk juga
memastikan pembangunan melalui danais dan skema dana lainnya benar-benar mengarah pada
zero corruption atau tanpa penyimpangan. Gerakan-gerakan teroirganisir ini dalam wilayah
kajian politik sebagai moderate actor, atau intermediacry actors yang dapat bergerak ke atas dan
ke bawah, untuk mengkonsolidasi kepentingan. Sayang sekali, jika kepenitngan yang
diperjuangkan untuk golongan. Kerap kali, kebudayaan hanya sebagai alat politik untuk merebut
sumber kesejahteraan kelompok.
Terakhir, level akar rumput atau level bawah (desa dan keluarga, individu) harus menjadi lebih
berdaya dengan derajat otonomi luas untuk menyampaikan suara-suara yang selama ini tak
didengar, untuk lebih terlibat dalam beragam pengambilan keputusan untuk kegiatan
pembangunan untuk kelompoknya. Kekuatan akar rumput ini sebenarnya menjadi tolok ukur
apakah danais mempunyai manfaat atau justru mudarat bagi kepentingan jangka panjang
masyarakat. Gubernur beberapa kali menyampaikan perlunya desa yang berdaulat dalam
pangan, ekologi, tapi masih minus kedaulatan politik dalam praktiknnya.x Musrembang di DIY
belum menjadi forum participatory budgeting sebagaimana yang pernah sukses di Porto Alegre.
Sesungguhnya, dengan warga berdaya dan pintar seperti di DIY kekuatan membangun
perencanaan yang inklusif dan non-diskriminatif akan lebih berpeluang mengarahkan danais
tepat pada sasarannya: kesejahteraan ekonomi, karakter kebudayaan, dan dalam politik yang
beradab.
Kesimpulan
Keberhasilan DIY merebut legitimasi status Keistimewaan dengan melakukan beragam politisasi
budaya, identitas ethnik, nationalisme peran kesejarahan menjadikan DIY harus berhutang besar
pada banyak entitas sosial yg turut andil saham perjuangan. xi Tanpa upaya merealisasikan
kesejahteraan, ini akan menjadi bom waktu. Sampai kini anggaran di sektor pendidikan Dan
kesehatan sangat rendah (indek governance Indonesia 2013).
Tingginya level kemiskinan di DIY mengisyaratkan tidak bekerjanya danais sebagai kekuatan
economi kebudayaan, Dan situasi ini menambah deretan kisah pahit bahwa daerah istimewa
menjadi pusat kemiskinan di daerah.
Tak salah kesimpulan William Liddle (2011) yang melihat kekuatan Keistimewaan Diy ada pada
sultan Dan partisipasi komunitas yang luas terutama kontribusi perguruan tingginya (opini
kompas,). Kekuatan ini perlu dikembangkan untuk mendorong bekerjanya sistem politik Dan
pemerintahan agar terus ada harapan yang diperjuangkan bersama-sama. Keberadaan entitas
grassroot politik harus semakin diperhitungkan. Selain itu, perlu diciptakan sitexii politik baru
yang dapat mengkonsolidasikan tiga level politik guna melakukan transformasi sosial.
Akhirulkata, kekuatan membangun DIY sangatlah besar apabila dijumlahkan walau pun ini tak
seperti matematika ada unsur filosofis-paradigmatik (kebudayaan) yang bisa diramu dengan
teknokrasi plus manusia kebanyakan (citizens) untuk mendatangkan kesejahteraan. Jika ini bisa
bekerja baik tentu danais itu adalah berkah. Jika tidak, akan datang musibah. Pekerjaan

 



sekarang adalah, yakinkan publik bahwa kita sedang menanam manfaat dari dana istimewa dan
kita tidak bekerja untuk melakukan bunuh diri massal atas nama pembangunanisme istimewa.

                                                        
i

Makalah ini dibuat untuk memantik diskusi Rbeoan di Rumah Baca Komunitas pada 16 Desember 2015 yaitu membedah
tesis S2 yang ditulis oleh Sakir, SIP, MIP di UMY. Judul ini diilihami oleh buku karya Robet D Putnam dkk tahun 1994 yang
diberikan judul Making Democracy Work:Civic Traditions in Modern Italy diterbitkan Princeton University Press. Ia
mempertanyakan mengapa Negara demokrasi tertentu berhasil membangun dan lainnya gagal dengan melihat beberapa
aspek keberhasilan seperti perumahan, kesehatan, dan pertanian.
ii
Dosen Ilmu Pemerintahan UMY, Pegiat Rumah Baca Komunitas sejak 2012.
iii
Opini Kompas, ‘Danais berkah dan ancaman dana keistimewaan’ edisi cetak pada 7 Nopember 2013.
iv
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Aceh menemukan penggunaan dana otsus sebesar 5,1 triliun tidak
terarah dan tidak fokus pada tujuan yang telah ditetapkan. Ini terjadi akibat buruknya perencanaan dan opengelolaan
dana (Kompas, 2 Oktober 2012). Dana otsus yang telah diterima Aceh 2008 hingga 2012 sebesar Rp 21,1 triliun. Di
Papua juga mengalami nasib yang sama, Sejak otsus diberlakukan tahun 2001, tidak kurang dari Rp 33 triliun dana otsus
digelontorkan. Dengan suntikan dana yang besar, semestinya masyarakat Papua kian sejahtera. Namun, sampai sekarang
sebanyak 37,5 persen warga Papua miskin. BPK menemukan penyimpangan Rp 4,28 triliun pada periode 2002-2010.
v
Pada 21 Feb 2014, Gub DIY mengusulkan anggaran sebesar 1,02 T rupiah untuk anggaran 2015, padahal sebulan
sebelumnya, dari alokasi 2013 sebesar 231 M, hanya mampu terealisasi 54 M atau 23,5 %. Setelah melalui sekian proses,
pada 15 Agustus 2014, anggaran Danais 2015 disepakati 547, 45 M. sumber: analisis kedaulatan rakyat oleh Bayu
dardias dapat diakses di http://bayudardias.staff.ugm.ac.id/2015/02/11/dana-istimewa/
vi
Sumber:
http://www.tempo.co/read/news/2015/05/06/058663879/Ontran-ontran-Yogya-dan-Nasib-DanaKeistimewaan;
baca
juga
opini
kompas
oleh
James
Luhulima
23
Mei
2015
dapat
diakses
di
http://budisansblog.blogspot.co.id/2015/05/keraton-yogyakarta.html
vii
Benedict Kerkbvliet dalam artikel Everyday politics in peasant societies (and ours). The Journal of Peasant Studies. Vol.
36, No. 1, January 2009, 227–243.
viii

hasil riset Bayu Dardias dalam kasus keterlambatan pencairan danais adalah akibat persoalan tekhnis baik di DIY
maupun pusat. Sumber: http://wikidpr.org/news/harian-kompas-bayu-dardias-pencairan-dana-keistimewaan-terhambatmasalah-teknis
ix
Hamengku Buwono X. 2012. Yogyakarta Menyongsong Peradaban Baru: Pemaparan visi misi dan Program calon
Gubernur DIY tahun 2012-2017. Diterbitkan Pemerintah DIY.
x
Ibid, Hamengkubuwono. demokrasi ekologi desa yakni pentingnya praktik ekonomi hijau dengan memanfaatkan lahan
sempit untuk pemenuhan kebutuhan makanan, sayur misalnya untuk jangka waktu panjang. Keberlanjutan dan
keselamatan ekologis menjadi indikator penting dalam ekonomi hijau ini (hal. 96-97).
xi
Baca juga tulisan saya di http://davidefendi.staff.umy.ac.id/2015/05/25/keistimewaan-kita/; buku Java Indonesia and
nationalism Mark Wood; buku Arwan TA berjudul Langka Raja Jawa Menuju Istana (Yogyakarta: galang press, 2009);
http://davidefendi.staff.umy.ac.id/2014/09/13/jogja-istimewa-demokrasi-nya/
xii
Site atau suatu kegiatan yang dapat mempertemukan beragam aktor di masyarakat di semua level untuk memberikan
peranan misalnya dalam hal kerja massal, event budaya, pemilu, partisipatory budgeting dan sebagainya.