Bagaimana Asal-Usul Tarekat Sufi?

Bagaimana Asal-Usul Tarekat Sufi?
Kamis, 18 April 2013
Asal-usul tarekat (al-tariqah) Sufi dapat dirunut pada abad ke-3 dan 4 H (abad ke-9 dan 10
M). Pada waktu itu tasawuf telah berkembang pesat di negeri-negeri seperti Arab, Persia,
Afghanistan dan Asia Tengah. Beberapa Sufi terkemuka memiliki banyak sekali murid dan
pengikut. Di antara murid dan pengikut para Sufi terkemuka itu aktif mengikuti pendidikan
formal di lembaga-lembaga pendidikan Sufi (ribbat, pesantren). Di antara Sufi yang
memiliki banyak murid di antaranya ialah Junaid al-Baghdadi dan Abu Said al-Khayr.
Dalam mengikuti pendidikan formal itu para murid mendapat bimbingan dan pelatihan
spiritual untuk mencapai peringkat kerohanian (maqam) tertentu dalam ilmu suluk. Di
samping itu beberapa di antara mereka mendapat pengajaran ilmu agama, khususnya fiqih,
ilmu kalam, falsafah dan tasawuf.
Pada masa itu ilmu Tasawuf sering pula disamakan dengan ilmu Tarekat dan teori
tentang maqam (peringkat kerohanian) dan hal (jamaknyaahwal, keadaan rohani). Di
antara maqam penting yang ingin dicapai oleh seorang penempuh jalan tasawuf
ialah mahabba atau `isyq (cinta),fana` (hapusnya diri/nafs yang rendah), baqa` (rasa hidup
kekal
dalam
Yang
Satu), ma`rifa (makrifat)
dan ittihad (persatuan

mistikal),
sertakasyf (tersingkapnya penglihatan hati).
Arti Tariqa /Tarekat
Kata al-tariqa berarti jalan, sinonim dengan kata suluk. Maksudnya ialah jalan kerohanian.
Tariqa/tarekat kemudian ditakrifkan sebagai ‘Jalan kerohanian yang muncul disebabkan
pelaksanaan syariat agama, karena kata syar (darimana kata syariat berasal) berarti jalan
utama, sedang cabangnya ialah tariq (darimana kata tariqa berasal).’ Pengertian di atas
menunjukkan bahwa jalan yang ditempuh dalam ilmu tasawuf, melalui bimbingan dan
latihan kerohanian dengan tertib tertentu, merupakan cabang daripada jalan yang lebih
besar, yaitu Syariat. Termasuk di dalamnya ialah kepatuhan dalam melaksanakan syariat
dan hukum Islam yang lain.
Para Sufi merujuk Hadis yang menyatakan, “Syariat ialah kata-kataku (aqwali), tarekat ialah
perbuatanku (a`mali) dan hakekat (haqiqa) ialah keadaan batinku (ahwali), Ketiganya
saling terkait dan tergantung. Kemunculan tarekat Sufi juga sering dirujuk pada Hadis yang
menyatakan, “Setiap orang mukmin itu ialah cermin bagi mukmin yang lain” (al-mu`min
mir`at al-mu`minin). Mereka, para Sufi, melihat dalam tingkat laku kerabat dan sahabat
dekat mereka tercermin perasaan dan perbuatan mereka sendiri. Apabila mereka melihat
kekeliruan dalam perbuatan tetangga mereka, maka mereka segera bercermin ke dalam
perbuatan mereka sendiri. Dengan cara demikian ‘cermin kalbu mereka menjadi lebih
jernih/terang’. Nampaklah bahwa introspeksi merupakan salah satu cermin paling penting

dalam jalan kerohanian Sufi.

Kebiasaan di atas mendorong munculnya salah satu aspek penting gerakan Tasawuf, yaitu
persaudaraan Sufi yang didasarkan atas Cinta dan saling bercermin pada diri sendiri.
Persaudaraan Sufi inilah yang kemudian disebut Tarekat Sufi.
Munculnya tarekat membuat tasawuf berbeda dari gerakan zuhud (asketiK) yang
merupakan cikal bakal tasawuf. Apabila gerakan zuhud mengutamakan ‘penyelamatan diri’
melalui cara menjauhkan diri dari kehidupan serba duniawi dan memperbanyak ibadah
serta amal saleh, maka tasawuf sebagai organisasi persaudaraan (tariqa) menekankan pada
‘keselamatan bersama’. Di antaranya dalam bentuk pemupukan kepentingan bersama dan
keselamatan bersama yang disebut ithar. Sufi yang konon pertama kali mempraktekkan
ithar ialah Hasan al-Nuri, sufi abad ke-9 M dari Baghdad. Tarekatnya merupakan salah satu
tarekat sufi awal dalam sejarah.
Yang disebut ithar ialah segala amalan dan perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan
kerabat dan sahabat dekat, termasuk soal-soal yang berhubungan dengan masalah
ekonomi, keagamaan, rumah tangga, perkawinan, pendidikan, dan lain sebagainya. Di
antara prakteknya yang berkembang menjadi budaya hingga sekarang, ialah melayani
kerabat atau tamu dengan penuh kegembiraan dan sebaliknya sang tamu menerima
layanan itu dengan penuh kegembiraan pula. Dalam suasana akrab pula terjadi saling tukar
informasi dan pikiran, dan sering pula dilanjutkan dengan kerjasama dalam perdagangan,

serta rancangan untuk saling menjodohkan anak-anak mereka.
Kanqah
Biasanya sebuah persaudaraan sufi lahir karena adanya seorang guru Sufi yang memiliki
banyak murid atau pengikut. Pada abad ke-11 M persaudaraan sufi banyak tumbuh di
negeri-negeri Islam. Mula-mula ia merupakan gerakan lapisan elit masyarakat Muslim,
tetapi lama kelamaan menarik perhatian masyarakat lapisan bawah. Pada abasd ke-12 M
banyak orang Islam memasuki tarekat-tarekat sufi. Pada waktu itu kegiatan mereka
berpusat di kanqah, yaitu sebuah pusat latihan Sufi yang banyak terdapat di Persia dan
wilayah sebelah timur Persia. Kanqah bukan hanya pusat para Sufi berkumpul, tetapi juga
di situlah mereka melakukan latihan dan kegiatan spiritual, serta pendidikan dan
pengajaran formal, termasuk dalam hal kepemimpinan.
Salah satu fungsi penting lain dari kanqah ialah sebagai pusat kebudayaan dan agama.
Sebagai pusat kebudayaan dan agama, lembaga kanqah mendapat subsidi dari pemerintah,
bangsawan kaya, saudagar dan organisasi/perusahaan dagang. Tempat lain berkumpulnya
para Sufi ialah zawiyah, arti harafiahnya sudut. Zawiyah ialah sebuah tempat yang lebih
kecil dari kanqah dan berfungsi sebagai tempat seorang Sufi menyepi. Di Jawa
disebut pesujudan, di Turki disebut tekke (dari kata takiyah, menyepi).
Tempat lain lagi berkumpulnya Sufi ialah ribat. Ribat punya kaitan dengan tempat tinggal
perajurit dan komandan perang, katakanlah sebagai tangsi atau barak militer. Pada masa
berkecamuknya peperangan yang menyebabkan orang mengungsi, dan juga berakibat

banyaknya tentara tidak aktif lagi dalam dinas militer, membuat ribat ditinggalkan tentara
dan dirubah menjadi tempat tinggal para Sufi dan pengungsi yang mengikuti perjalanan
mereka. Ribat biasanya adalah sebuah komplek bangunan yang terdiri dari madrasah,
masjid, pusat logistik dan tempat kegiatan lain termasuk asrama, dapur umum, klinik dan
perpustakaan. Dapur dibuat dalam ukuran besar, begitu pula ruang tamu dan kamar-kamar

asrama. Ini menunjukkan bahwa ribat setiap kali dikunjungi banyak orang, selain tempat
berkumpulnya banyak orang.
Pada abad ke-13 M ketika Baghdad ditaklukkan tentara Mongol, kanqah serta ribat dan
zawiyah berfungsi banyak. Karena itu tidak heran apabila di berbagai tempat organisasi
kanqah tidak sama. Ada kanqah yang menerima subsidi khusus dari kerajaan, ada yang
memperoleh dana dari sumber swasta yang berbeda-beda, termasuk dari sumbangan para
anggota tarekat. Kanqah yang mendapat dana dari anggota sendiri dan mandiri
disebut futuh (kesatria), dan mengembangkan etika futuwwa (semangat kesatria).
Salah satu contoh kanqah terkemuka ialah Kanqah Sa`id al-Su`ada yang didirikan pada
zaman Bani Mameluk oleh Sultan Salahudin al-Ayyubi pada tahun 1173 M di Mesir. Dalam
kanqah itu hidup tiga ratus darwish, ahli suluk, guru sufi dan pengikut mereka, serta
menjalankan banyak aktivitas sosial keagamaan. Organisasi kanqah dipimpin oleh seorang
guru yang terkemuka disebut amir majlis.
Peranan

Sebagai bentuk organisasi sufi, tarekat ialah sebuah perkumpulan yang menjalankan
kegiatan latihan rohani menggunakan metode tertentu. Biasanya metode itu disusun oleh
seorang guru tasawuf yang juga ahli psikologi. Tarekat kadang disebut madzab,
ri`aya dan suluk. Dalam tarekat seorang guru sufi (pir) membimbing seorang murid (talib)
dalam cara berpikir dan berzikir; merasakan pengalaman keagamaan dan berbuat di jalan
agama; serta bagaimana mencapai maqam (peringkat rohani) tertinggi seperti makrifat,
fana dan baqa`, serta faqir.
Pada mulanya tarekat berarti metode kontemplasi (muraqabah) dan penyucian diri atau
jiwa (tadzkiya al-nafs). Oleh karena semakin banyak orang yang ingin mendapat latihan
rohani tersebut, maka tarekat kemudian tumbuh menjadi organisasi yang kompleks.
Penerimaan dan pembai`atan murid pun harus melalui ujian tertentu yang cukup berat.
Pada abad ke-10 M tarekat dapat dibedakan dalam dua model:
1. Model Iraq, yang diasaskan oleh Syekh Junaid al-Baghdadi.
2. Model Khurasan, yang diasaskan oleh Bayazid al-Bhistami.
Perbedaan keduanya mula-mula disebabkan karena mengartikan tawakkul berbeda. Tetapi
perbedaan yang paling jelas antara keduanya terlihat pada ciri dan penekanan latihan
rohaniannya.
Tarekat
model
Khurasan

menekankan
pada ghalaba (ekstase)
dan sukr (kemabukan mistikal). Sedangkan model Iraq menekankan pada sahw (sobriety).
Perbedaan lain: di Arab biasanya para sufi berkumpul di ribat, yang pada mulanya
merupakan pos perhentian, rumah penginakan yang dahulunya ialah tangsi tentara.
Sedangkan di Khurasan para sufi biasa berkumpul di kanqah atau sebuah pesanggrahan
yang didirikan pengikut sufi yang kaya.Pesanggarahan berperanan sebagai rumah
pristirahatan dan pertemuan informal.
Tarekat-tarekat sufi yang besar dan memiliki banyak pengikut, yang tersebar di berbagai
negeri dan saling berhubungan satu dengan yang lain secara aktif, biasa mendirikan
organisasi sosial keagamaan atau organisasi dagang, yang disebut ta`ifa. Organisasi
semacam ini pada mulanya tumbuh di Damaskus pada akhir abad ke-13 setelah penaklukan
tentara Mongol. Organisasi ini segera tumbuh di berbagai negeri Islam. Di antara tarekattarekat besar yang aktif membina afilisasi dengan gilda-gilda yang banyak bermunculan
pada abad ke-13 – 16 M di seantero dunia Islam ialah Tarekat Qadiriyah, Tarekat Shadiliyah,

Tarekat Sattariyah, Tarekat Naqsabandiyah, Tarekat Sanusiyah, Tarekat Tijaniyah, dan lain
sebagainya.
Pada akhir abad ke-13 M, setelah penaklukan bangsa Mongol (Hulagu Khan) atas Baghdad
ahli-ahli tasawuf dan tarekat memainkan peranan penting dalam penyebaran agama Islam
di India dan kepulauan Nusantara. Ini disebabkan hancurnya perlembagaan Islam dan

terbunuhnya banyak ulama, cendekiawan, fuqafa, qadi, guru agama, filosof, ilmuwan, dan
lain-lain akibat penghancuran kota-kota kaum Muslimin oleh tentara Mongol dan juga
akibat Perang Salib yang berkepanjangan sejak abad ke-12 M. Hal ini dapat dimaklumi
karena pada umumnya para ulama, cendekiawan, fuqaha, dan lain-lain itu berada di pusatpusat kota dan sebagian besar bekerja di istana, sehingga ketika istana dan kota
dihancurkan mereka pun ikut terbunuh.
Sebaliknya, para sufi pada umumnya adalah orang yang mandiri dan suka mengembara ke
berbagai pelosok negeri untuk mencari ilmu atau menyebarkan agama. Mereka memiliki
banyak pos-pos perhentian di seantera negeri Islam dan murid-murid yang bertebaran di
berbagai tempat. Di antara pengikut mereka tidak sedikit pula para pedagang yang aktif
melakukan pelayaran ke berbagai negeri disertai rombongan pemimpin tarekat serta para
pengikutnya.
Di tempat tinggal mereka yang baru, para sufi itu aktif mendirikan lembaga-lembaga
pendidikan Islam, menyeru raja-raja Nusantara memeluk agama Islam, seraya mempelajari
sistem kepercayaan masyarakat setempat dan kebudayaannya. Tidak sedikit pula dari
mereka mempelopori lahir dan berkembangny tradisi intelektual dan keterpelajaran Islam,
termasuk penulisan kitab keagamaan dalam bahasa setempat dan kesusastraan. Bangkitnya
kesusastraan Islam di luar sastra Arab, seperti dalam bahasa Persia, Urdu, Turki Usmani,
Sindhi, Swahili, Melayu, dan lain-lain dalam kenyataan dimulai dengan munculnya
pengarang yang juga ahli tasawuf. Misalnya Hamzah Fansuri dan Bukhari al-Jauhari dalam
kesusastraan Melayu.

Tokoh-tokoh mereka yang terkemuka sebagai guru kerohanian tidak hanya menguasai ilmu
tasawuf, tetapi juga bidang ilmu agama lain seperti fiqih, hadis, syariah, tafsir al-Qur’an,
usuluddin, ilmu kalam, nahu, adab atau kesusastraan, tarikh (sejarah), dan lain sebagainya.
Bahkan juga tidak jarang yang menguasai ilmu ketabibab, ilmu hisab (arithmatika), mantiq
(logika), falsafah, ilmu falaq (astronomi), perkapalan, perdagangan, geografi, pelayaran, dan
lain sebagainya. Dalam berdakwah tidak jarang mereka menggunakan media kesenian dan
juga menggunakan budaya lokal. Dengan itu segera agama ini mempribumi dan berkat
kegiatan mereka pula, terutama di kepulauan Melayu, kebudayaan penduduk setempat
dengan mudah diintegrasikan ke dalam Islam.
(Sumber Rujukan: (1) Tirmingham, The Sufi Order in Islam, 1972; (2) Anthony H. John,
“Sufism as a Category in Indonesian Literature and History” JSAH 2, July 1961; (3) Seyyed
Hossein Nasr, Living Sufism, 1980; (4) Annemarie Schimmel, Mystical Dimensions of
Islam; (5) Abdul Hadi W. M., Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karyakarya Hamzah Fansuri, 2001; (6) S. A. Rizvi, A History of Sufism in India, 1978. AH WM)