BAGIANKU

(1)

BAB III PEMBAHASAN

Penatalaksanaan pasien STEMI sering kali diistilahkan dengan time is muscle, yang berarti bahwasanya setiap waktu yang terbuang atau delay dalam penanganan pasien dengan STEMI, maka akan semakin banyak otot jantung yang mengalami infark dan akan meningkatkan resiko cardiac arrest. Walaupun STEMI memiliki presentasi sekitar 20-45% dari keseluruhan pasien dengan penyakit dengan infark miokard (O’Gara, 2013), namun tetap saja jika penatalaksanaannya tidak maksimal akan meningkatkan resiko kematian dan kecacatan pada pasien. Dalam PERKI (2015) telah banyak disinggung bahwasanya hambatan utama pada penatalaksanaan hampir semua kasus dengan kegawatan jantung adalah karena faktor delay atau keterlambatan.

Bagan 3.1. Komponen delay dalam STEMI dan interval ideal untuk intervensi (PERKI, 2015)


(2)

Dari bagan diatas menunjukkan bahwa terapi reperfusi baik primary PCI ataupun fibrinolisis harus segera diberikan dalam interval tertentu dari waktu awitan (≤ 30 menit untuk fibrinolisis, ≤ 90 menit untuk terapi PCI). Menurut jurnal penelitian yang dibuat oleh Beig et al (2016) di India menyebutkan bahwa delay pada fase prehospital memegang peranan sebesar 83,8% dari seluruh delay penanganan pada pasien STEMI. Dari delay prehospital tersebut, keputusan pasien untuk segera menghubungi petugas kesehatan adalah delay prehospital dengan prosentase paling besar (59%), kemudian diikuti oleh delay transportasi (25%) dan terakhir adalah referral delay atau rujukan (16%). Dari data di atas maka menjadi sebuah poin penting bahwa delay pada setting pelayanan prehospital menjadi empasis dalam pembahasan ini.

3.1. Permasalahan Delay Pasien pada setting Pre-Hospital

Menurut O’Gara dalam ACC/AHA (2013) menyebutkan bahwasanya tindakan revaskularisasi atau yang biasanya kita sebut dengan reperfusi secara urgen adalah indikasi dari kondisi pasien dengan STEMI, yang secara umum didiagnosa dengan melihat tampilan pada pemeriksaan EKG. Pada penelitian Rawles (1997) menyebutkan bahwasanya diperkirakan setiap 30 menit keterlambatan terapi reperfusi, maka nyawa pasien akan berkurang 1 tahun. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Beig (2016) menyebutkan bahwa keputusan pasien untuk segera menghubungi petugas kesehatan adalah delay prehospital dengan prosentase paling besar (59%). Hal ini diperkuat oleh pernyataan dalam penelitian De Luca (2004) yang menyebutkan bahwasanya mayoritas pasien meninggal karena STEMI adalah kurang lebih 1-2 jam. Banyak sekali cara yang sudah diaplikasikan untuk mengidentifikasi gejala sekaligus menjadi strategi rekognisi awal terhadap kejadian STEMI termasuk kurangnya kemampuan pasien dalam mengidentifikasi bahwa mereka sebenarnya mengalami STEMI, mengira sebagai penyakit lain, atau penentuan keputusan pasien dalam mengontak petugas kesehatan. Dari fakta


(3)

penelitian yang disebutkan di atas akan muncul permasalahan yaitu ketidakmampuan pasien dalam mengenali gejala maupun menindaklanjuti terjadinya STEMI.

PERKI (2015) menyatakan bahwasanya masyarakat perlu diberikan sebuah pemahaman mengenai cara pengenalan gejala STEMI dan penyakit jantung lainnya. Selain itu penting untuk menanamkan budaya dan mindset untuk segera memanggil pertolongan darurat. Pasien dengan riwayat jantung koroner perlu mendapatkan edukasi untuk mengenali gejalanya dan langkah praktis jika terjadi serangan.

Solusi dalam mengurangi waktu awitan pasien-kontak dengan pelayanan kesehatan dapat dikaitkan dengan penelitian tentang pengaruh telemedicine dalam mengurangi delay pada pasien stemi pada setting prehospital. Secara spesifik WHO (2010) telah menyebutkan bahwasanya telemedicine telah dikembangkan sejak tahun 1970 an dan terus berkembang hingga saat ini. Yaitu metode untuk mengobati dan mengetahui kondisi pasien secara jarak jauh menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (ICTs). Pada abad 20an telah ditemukan cara bahwasanya dengan menggunakan sinyal kabel telepon yang dipancarkan melalui satelit dapat membantu pengiriman data EKG. Hal ini di buktikan oleh penelitian Brunetti (2015) menyebutkan bahwasanya dengan menggunakan telemedicine yang terhubung pada dokter kardiologi/perawat mengurangi door to baloon time selama kurang lebih >1 jam masa perjalanan. Pada penelitian ini menunjukkan bahwasanya evaluasi awal dan triase pasien dengan STEMI menggunakan teknologi telemedicine mengurangi interval waktu antara pasien kontak dengan petugas medis hingga mendapatkan tindakan PCI. Hal ini dipertegas oleh penelitian lanjutan yang dilakukan oleh Brunetti (2016) bahwasanya dengan menggunakan telemedicine pada area pre hospital mengurangi jangka waktu penatalaksanaan STEMI hingga 38-40%.


(4)

Sebuah solusi lain diajukan oleh pilot studi yang dilakukan oleh De Luca (2015) bahwasanya untuk meningkatkan rekognisi awal dalam rangka pencegahan dan kewaspadaan pasien, maka dikembangkan aplikasi smartphone EKG (AliveCorTM). Aplikasi ini dapat menunjukkan 12-lead EKG dengan akurasi 94-97%, dapat mengidentifikasi atrial fibrilasi dengan sensitifitas dari 87-100%,. Karena lebih dari separuh pengguna ponsel di amerika menggunakan smartphone maka dikembangkan aplikasi ini. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwasanya smartphone EKG ini sebuah terobosan baru dan unggul karena portable dan biayanya terjangkau. Dengan menggunakan hasil penelitian ini diharapkan pasien dapat lebih cepat mengenali gejala STEMI sehingga dapat mempercepat penanganan. Dari beberapa literatur dan penelitian di atas dapat disimpulkan bahwasanya telemedicine dan penggunaan teknologi lainnya dalam mengenali gejala dan mengurangi door to baloon time pada penatalaksanaan STEMI menjadi optimal.

3.2. Permasalahan Delay Sistem Pelayanan Kesehatan

Pada pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) adanya elevasi segmen ST pada EKG mengindikasikan adanya oklusi total pada arteri koroner. Kosowsky et al (2009) menyebutkan bahwa pada sistem pre-hospital, manajemen pasien dengan kecurigaan STEMI ditentukan oleh 3 tujuan utama, yaitu: (1) mengantarkan pasien ke fasilitas kesehatan yang tepat sesegera mungkin, (2) mencegah kematian mendadak dan mengontrol aritmia menggunakan protokol ACLS (acute cardiac life support) jika diperlukan, dan (3) menginisiasi atau melanjutkan manajemen pasien selama dalam tahap transportasi.


(5)

Sesuai dengan penelitian oleh Beig et al (2016), menyebutkan bahwasanya delay transportasi adalah peringkat ke 2 (25%) penyebab delay pada keseluruhan delay penatalaksanaan STEMI pada setting pre-hospital. Penyebab delay transportasi bisa bervariasi, entah dikarenakan jarak antara pasien dan rumah sakit yang jauh, berbeda regional (rural/urban), keterbatasan fasilitas, kepadatan populasi maupun kemacetan. Pada beberapa jurnal telah di bahas beberapa kali mengenai solusi penatalaksanaan delay transportasi. Yang paling mudah untuk diaplikasikan adalah meningkatkan sarana prasarana pada EMS, misalnya meningkatkan pengadaan EKG sehingga dapat memaksimalkan diagnosa awal STEMI, kemudian memaksimalkan sediaan fibrinolisis jika akses rumah sakit dengan PCI sangat jauh. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dalal et al (2013) di India di mana jumlah pasien mencapai > 32 juta, dengan persebaran pasien per populasi adalah 3-5% di desa (rural) dan 7-10% di perkotaan (urban). Pada penelitian ini membahas tentang betapa padat penduduk dan sulitnya transportasi, ditambah dengan kurangnya rumah sakit dengan fasilitas PCI. Penelitian ini mengkaji pentingnya terapi trombilitik selama perjalanan untuk meminimalisir resiko komplikasi pada pasien, hal ini dapat menjadi salah satu solusi untuk meminimalkan resiko pada setting transportasi preshospital. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Chopra (2015) menjelaskan bahwa pemerintah harus turut andil dalam menangani masalah transportasi di tengah kepadatan penduduk untuk meminimalisir prolong pada penanganan STEMI. Salah satu solusi yang diajukan pada penelitian ini adalah dengan memfasilitasi rumah sakit terdekat di setiap wilayah dengan fasilitas PCI. Pada penelitian ini secara spesifik membahas bahwa untuk menyelesaikan problematika STEMI yang muncul, perlu diadakan sebuah sistem penatalaksanaan STEMI terintegrasi atau integrated STEMI care system. Untuk membangun sistem yang baik maka pemerintah harus mengidentifikasi pusat penatalaksanaan STEMI di setiap kota, distrik, pedesaan dan mensertifikasikan setiap fasilitas tersebut. Kemudian pemerintah harus benar-benar memperhatikan jaminan kesehatan setiap penduduk karena menurutnya,


(6)

salah satu penyebab delay dari pasien adalah dikarenakan pasien ragu untuk pergi ke rumah sakit saat mereka tidak memiliki jaminan kesehatan.

3.2.2. Keperawatan

A. Solusi Pada Setting Pre-Hospital

Menurut European Society Cardiology (ESC) guidelines (2012) menjelaskan bahwasanya meminimalisir delay adalah hal yang sangat penting dalam penatalaksanaan pasien dengan STEMI dikarenakan 2 alasan, yaitu bahwasanya saat-saat paling kritis dari infark miokard akut berada pada fase awal, dan pada fase ini biasanya ditandai dengan pasien sering kali mengalami nyeri dada yang tidak tertahankan dan rentan mengalami gagal jantung. Tingkat keselamatan pasien dalam kebanyakan kasus dengan STEMI sangat berkaitan kecepatan petugas medis dalam mengenali gejala STEMI dengan melakukan pemeriksaan diagnostik dasar seperti EKG dan pemberian terapi fibrinolitik sesegera mungkin.

Pada beberapa sistem EMS, 12- lead EKG dapat dilakukan dan hasilnya dapat dikirimkan ke rumah sakit tujuan untuk dievaluasi bahkan sebelum ambulan datang, hal ini akan mempercepat persiapan penanganan pasien dan meningkatkan tingkat keberhasilan penanganan pasien. Penggunaan pre-hospital EKG ini telah tersebar di berbagai negara dan telah terbukti mengurangi waktu reperfusi dan kematian pasien dengan STEMI. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Meadow-pitt & Fields (2013) yang membandingkan door to baloon time (waktu yang diperlukan mulai pasien datang ke UGD sampai pelaksanaan kateter jantung dilakukan) antara pelaksanaan EKG pada saat pre-hospital dan pelaksanaan EKG saat pasien datang di UGD. Dari penelitian ini menunjukkan hasil bahwasanya pasien yang tidak dilakukan pemeriksaan EKG pada saat transportasi memiliki door to baloon time 2,5 kali lebih lama dibanding


(7)

pasien yang sudah dilakukan EKG di atas kendaraan transportasi. Hal ini menandakan bahwa dengan adanya penggunaan EKG lebih awal akan mempercepat tenaga medis dalam menentukan diagnosa awal sehingga tindakan berikutnya akan dapat segera dilaksanakan. Pada jurnal yang disusun oleh Ripa (2010) memperkuat teori bahwa tindakan mengukur EKG 12- lead pada ambulan adalah salah satu langkah untuk dapat mengoptimalkan perawatan pada pasien dengan nyeri dada, karena EKG adalah dasar dari penegakan diagnosis awal dan pemberian intervensi berkelanjutan maupun tes diagnostik lainnya. Segera setelah 12-lead EKG pada pasien mengindikasikan STEMI, kunci keputusan terapeutik adalah untuk menginisiasi tindakan terapi trombolitik intravena, atau pelaksanaan pPCI (primary percutaneous coronary intervention).

B. Solusi Pada Setting Intra-Hospital

Semua pasien dengan nyeri dada dengan tatalaksana ACS sudah harus dilaksanakan pemeriksaan EKG dalam rentang waktu kurang dari 10 menit mulai kedatangan di UGD dan mendapatkan evaluasi awal oleh klinisi UGD. Berbeda dengan beberapa kondisi medis lainnya, STEMI dapat didiagnosa dengan sebuah tes sebelum evaluasi selesai dilaksanakan. Kriteria penegakan diagnosis STEMI telah diajukan oleh ACC/AHA dan disepakati oleh European Society Cardiology (ESC). ACC/AHA (2013) dan ESC (2012) sepakat bahwasanya diagnosa STEMI dapat ditegakkan saat EKG pada pasien dengan nyeri dada menunjukkan: (1) ≥ 1-mm elevasi segmen ST paling tidak pada 2 lead anatomis (aVL – III, termasuk aVR), (2) ≥ 1-mm elevasi segmen ST pada prekordial lead V4 hingga V6, (3) ≥ 2-mm elevasi segmen ST pada V1 hingga V3, atau (4) adanya blocking baru pada LBB (left bundle branch). Menurut Pelter et al (2010) menyebutkan bahwasanya interpretasi 12 lead EKG yang tepat dan akurat dapat menjadi sebuah langkah awal dalam memandu pengembalian aliran darah ke miokardium dan untuk mengidentifikasi apakah terapi yang diberikan kepada pasien telah memberikan dampak positif atau tidak. Seorang perawat sebagai klinisi harus memiliki keterampilan yang baik dalam mengenali kondisi STEMI karena sering kali


(8)

menjadi garis depan dalam mendapatkan, menginterpretasikan, dan mengomunikasikan temuan pada 12- lead EKG.

Riwayat tentang pasien sudah harus di kaji selama pemeriksaan EKG dan terapi awal diberikan. Tanyakan kepada pasien apakah ia merasakan nyeri dada, kapan dimulai, bagaimana rasanya (ditusuk, diremas, ditekan), dan apakah nyeri menyebar hingga ke bagian tubuh tertentu. Nyeri dada adalah gejala paling umum dari infark miokard namun tidak selalu muncul, sehingga pastikan adanya nyeri pada dagu/bahu/leher/lengan, lemas, mual dan nafas pendek. Kemudian selain itu seorang klinisi haruslah mampu mengkaji faktor resiko mayor penyakit kardiovaskular yang ada pada pasien, misalnya hipertensi, riwayat penyakit arteri koroner sebelum, diabetes, hiperlipidemia, merokok, jenis kelamin pria, dan riwayat infark miokard atau kematian karena penyakit jantung pada keluarga kandung pasien sebelum usia 45 pada laki-laki dan usia 55 pada perempuan (Kosowsky et al, 2009).

Pada paparan literatur dari McAvoy (2017) menyebutkan bahwasanya intervensi keperawatan yang muncul di UGD sebelum dilakukannya PCI adalah terkait dengan administrasi pemberian oksigen, pemberian aspirin (jika pasien tidak memiliki riwayat alergi) dan heparin (dosis menyesuaikan dengan berat badan pasien). Pemberian aspirin dan heparin akan mengurangi agregasi platelet dan inflamasi pembuluh darah. Selain itu nitrogliserin dan morfin mungkin perlu diadministrasikan untuk mengurangi nyeri. Kemampuan perawat dalam menentukan prioritas diagnosa keperawatan akan sangat menentukan tindakan keperawatan yang akan diambil.

3.2.3. Sarana dan Prasarana A. Solusi Pada Pre-Hospital


(9)

Banyak sekali penelitian yang menyebutkan pentingnya pemeriksaan EKG di awal, atau pada setting prehospital untuk memaksimalkan tindakan dan meminimalisir door to baloon time pasien. Pada penelitian Meadow & Pitts (2013) dan Ripa (2010) telah dengan jelas menunjukkan hasil bahwasanya pemeriksaan EKG pada setting prehospital dapat mengurangi door to baloon time hingga separuh waktu perawatan. Sehingga EKG pada ambulan yang di dispatch harus ada.

Pada AHA guideline (2015) menyebutkan bahwa pemberian firbrinolisis pada pasien dengan STEMI di setting prehospital disebut sebagai tindakan terbaik jika rumah sakit yang dituju oleh ambulan tidak memiliki fasilitas PCI. Hal ini diperkuat dengan PERKI (2015) yang menyebutkan bahwasanya dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama yang harus diperhatikan adalah menentukan ada tidaknya Rumah sakit di sekitar yang memiliki fasilitas PCI, jika tidak ada, maka langsung dipilih terapi fibrinolisis. Bila ada, maka pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari 2 jam. Jika lebih dari 2 jam maka reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolisis diberikan, maka jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke rumah sakit dengan fasilitas PCI.

Pasien yang datang menggunakan kendaraan transportasi EMS (emergency medical services) seharusnya sudah mendapatkan beberapa tingkat perawatan. Kru BLS (Basic Life Support) didalam ambulan harus siap mengadministrasikan aspirin dan terapi oksigen, menggunakan AED (automated external defibrilation) saat terjadi henti jantung, dan mendapatkan riwayat terjadinya insiden di lokasi kejadian. Kru ambulan ALS (advance life support) yang di dispatch dapat memberikan terapi nitrogliserin dan protokol medikasi ACLS jika diperlukan.Dari paparan di atas maka solusi utama untuk terkait dengan sarana prasarana terkait dengan delay penanganan pasien STEMI di ranah prehospital adalah pengadaan EKG yang dapat digunakan untuk mendiagnosa pasien sehingga penatalaksanaan lanjutan akan semakin optimal dan mengurangi door to baloon time, berikutnya


(10)

adalah sediaan defibrilator pada setiap ambulan untuk meminimalisir adanya kasus arrest saat perjalanan, yang ketiga adalah memaksimalkan sediaan fibrinolisis dan obat-obatan lain yang mendukung penatalaksanaan pada pasien dengan STEMI jika rumah sakit yang dituju tidak memiliki fasilitas PCI.

B. Solusi Pada Intra Hospital

Begitu diagnosis STEMI telah tegak, maka keputusan yang harus segera dilakukan adalah apakah mereperfusi bagian miokardium yang infark dengan menggunakan medikasi fibrinolisis atau menggunakan PCI dengan balon angioplasti. Pada kondisi krusial seperti ini, seorang tenaga medis harus memiliki decision making yang baik dalam mengarahkan pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas PCI untuk segera dilakukan reperfusi. Dalam PERKI (2015) disebutkan bahwasanya secara ideal PCI dilakukan kepada pasien dalam rentang waktu ≤ 90 menit atau ≤ 60 menit apabila pasien datang dengan awitan < 120 menit. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh De Luca (2004), yang menyebutkan bahwa setiap menit pasien terlambat mendapat terapi PCI, maka tingkat mortalitasnya akan meningkat. Setiap 30 menit keterlambatan reperfusi, maka tingkat kematian pasien dalam 1 tahun akan meningkat sebanyak 7,5%.

Guidelines ACC/AHA merekomendasikan inisiasi terapi fibrinolitik diberikan dalam 30 menit sejak pasien kontak dengan EMS. Reperfusi menggunakan fibrinolisis memiliki tingkat kesuksesan 60-80%. Komplikasi utama dari pengunaan fibrinolitik adalah perdarahan, oleh karena itu, seorang tenaga kesehatan harus memahami kondisi pasien, disamping gejala mayor penyakit jantung juga harus diperhatikan adanya komplikasi dari pemberian fibrinolitik. Jika PCI dapat dilakukan, pilihan tindakan untuk melakukan PCI adalah yang paling utama dalam proses reperfusi. Pemilihan tindakan antara PCI dan fibrinolisis tergantung kepada pasien, tempat, dan waktunya. Pada beberapa penelitian Andersen et al (2003), Keeley et al (2003) dan Busk et al (2008) yang


(11)

membandingkan penggunaan fibrinolisis vs PCI menunjukkan bahwasanya dengan mempertimbangkan hasil jangka pendek maupun jangka panjang jika PCI dapat dilakukan memiliki tingkat reperfusi yang lebih tinggi daripada fibrinolisis. Oleh kerena itu di setting pelayanan rumah sakit, akses terhadap pelaksanaan tindakan PCI harus dibentuk untuk mengeliminasi gejala pada pasien.


(12)

Referensi

AHA. 2015. Highlights of the 2015 american heart association guidelines update for CPR and ECC

Andersen HR, Nielsen TT, Rasmussen K, et al. 2003. A comparison of coronary angioplasty with fibrinolytic therapy in acute myocardial infarction. Nursing england Journal Med (8): 733-742.

Antman et al. 2013. ACC/AHA guidelines for the management of patients with ST-Elevation Myocardial Infarction-executive summary: a report of the american college of cardiology/american heart association task force on practice guidelines. Journal Of The American Heart Association

A Maziar Zafari, MD, PhD; Chief Editor: Eric H Yang, MD. 2017. Myocardial Infarction Treatment & Management.

http://emedicine.medscape.com/article/155919-treatment#showall (diakses 27 Februari 2017 jam 19.00)

Busk M, Maeng M, Rasmussen K. 2008. The danish multycentre randomized study of fibrinolytic therapy vs primary angioplasty in acute myocardial infarction (the Danami-2 trial): outcome after 3 years follow-up. European Heart Journal 29(10): 1259-1266.

Carpenito, L. J. Dan Moyett. (2008). Diagnosa Keperawatan. Ed 10. EGC: Jakarta.

Canobbio, M.M. Cardiovaskular Disorders. Mosby Clinical Nursing Series, Toronta.

ESC Guidelines. (2012). ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal.


(13)

Doenges. 2010. Nursing Care Plan 8th edition. Phildelphia : Davis company Kosowsky. J.M, Yiadom. M. Y. 2009. An evidence-based approach: The

diagnosis and treatment of STEMI in the emergency department. Emergency Medicine Practice vol. 11 (6)

Meadow-Pitt. M, Fields. Willa. 2013. The impact of prehospital 12 lead EKG on door-to-baloon timein patient with ST-elevation myocardial infarction. Journal of Emergency Nursing

Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat Plus Contoh Askep Dengan Pendekatan Nanda, Nic, Noc. Nuha Medika: Yogyakarta

Nanda International. (2012). Diagnosa Keperawatan 2012-2014. EGC: Jakarta. Pelter. M.M., Carey. M.G., Stephens. K. E., Anderson. H., Yang.W. 2010.

Improving nurses’ ability to indentify anatomic location and leads on 12-lead electrocardiograms with ST elevation myocardial infarction. European Journal of Cardiovascular Nursing 9:218-225.

PERKI. 2015. Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut.

Ripa. M.S. 2010. The ECG as decision support in STEMI. Danish Medical Journal 54:1763-1769.

Robert Thomson. 2010. How to manage acute myocardial infarction with

primary percutaneous coronary intervention.

https://www.nursingtimes.net/clinical-archive/cardiology/how-to-manage-

acute-myocardial-infarction-with-primary-percutaneous-coronary-intervention/5020579.article (diakses 27 Februari 2017 jam 19.15)

Ruhyanudin, F. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan System Kardio Vaskuler. Malang: UUM Press

Taylor, M.C. (2010). Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan Keperawatan. Ed. 10. EGC: Jakarta


(1)

menjadi garis depan dalam mendapatkan, menginterpretasikan, dan mengomunikasikan temuan pada 12- lead EKG.

Riwayat tentang pasien sudah harus di kaji selama pemeriksaan EKG dan terapi awal diberikan. Tanyakan kepada pasien apakah ia merasakan nyeri dada, kapan dimulai, bagaimana rasanya (ditusuk, diremas, ditekan), dan apakah nyeri menyebar hingga ke bagian tubuh tertentu. Nyeri dada adalah gejala paling umum dari infark miokard namun tidak selalu muncul, sehingga pastikan adanya nyeri pada dagu/bahu/leher/lengan, lemas, mual dan nafas pendek. Kemudian selain itu seorang klinisi haruslah mampu mengkaji faktor resiko mayor penyakit kardiovaskular yang ada pada pasien, misalnya hipertensi, riwayat penyakit arteri koroner sebelum, diabetes, hiperlipidemia, merokok, jenis kelamin pria, dan riwayat infark miokard atau kematian karena penyakit jantung pada keluarga kandung pasien sebelum usia 45 pada laki-laki dan usia 55 pada perempuan (Kosowsky et al, 2009).

Pada paparan literatur dari McAvoy (2017) menyebutkan bahwasanya intervensi keperawatan yang muncul di UGD sebelum dilakukannya PCI adalah terkait dengan administrasi pemberian oksigen, pemberian aspirin (jika pasien tidak memiliki riwayat alergi) dan heparin (dosis menyesuaikan dengan berat badan pasien). Pemberian aspirin dan heparin akan mengurangi agregasi platelet dan inflamasi pembuluh darah. Selain itu nitrogliserin dan morfin mungkin perlu diadministrasikan untuk mengurangi nyeri. Kemampuan perawat dalam menentukan prioritas diagnosa keperawatan akan sangat menentukan tindakan keperawatan yang akan diambil.

3.2.3. Sarana dan Prasarana A. Solusi Pada Pre-Hospital


(2)

Banyak sekali penelitian yang menyebutkan pentingnya pemeriksaan EKG di awal, atau pada setting prehospital untuk memaksimalkan tindakan dan meminimalisir door to baloon time pasien. Pada penelitian Meadow & Pitts (2013) dan Ripa (2010) telah dengan jelas menunjukkan hasil bahwasanya pemeriksaan EKG pada setting prehospital dapat mengurangi door to baloon time hingga separuh waktu perawatan. Sehingga EKG pada ambulan yang di dispatch harus ada.

Pada AHA guideline (2015) menyebutkan bahwa pemberian firbrinolisis pada pasien dengan STEMI di setting prehospital disebut sebagai tindakan terbaik jika rumah sakit yang dituju oleh ambulan tidak memiliki fasilitas PCI. Hal ini diperkuat dengan PERKI (2015) yang menyebutkan bahwasanya dalam menentukan terapi reperfusi, tahap pertama yang harus diperhatikan adalah menentukan ada tidaknya Rumah sakit di sekitar yang memiliki fasilitas PCI, jika tidak ada, maka langsung dipilih terapi fibrinolisis. Bila ada, maka pastikan waktu tempuh dari tempat kejadian ke rumah sakit tersebut apakah kurang atau lebih dari 2 jam. Jika lebih dari 2 jam maka reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolisis diberikan, maka jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke rumah sakit dengan fasilitas PCI.

Pasien yang datang menggunakan kendaraan transportasi EMS (emergency medical services) seharusnya sudah mendapatkan beberapa tingkat perawatan. Kru BLS (Basic Life Support) didalam ambulan harus siap mengadministrasikan aspirin dan terapi oksigen, menggunakan AED (automated external defibrilation) saat terjadi henti jantung, dan mendapatkan riwayat terjadinya insiden di lokasi kejadian. Kru ambulan ALS (advance life support) yang di dispatch dapat memberikan terapi nitrogliserin dan protokol medikasi ACLS jika diperlukan.Dari paparan di atas maka solusi utama untuk terkait dengan sarana prasarana terkait dengan delay penanganan pasien STEMI di ranah prehospital adalah pengadaan EKG yang dapat digunakan untuk mendiagnosa pasien sehingga penatalaksanaan lanjutan akan semakin optimal dan mengurangi door to baloon time, berikutnya


(3)

adalah sediaan defibrilator pada setiap ambulan untuk meminimalisir adanya kasus arrest saat perjalanan, yang ketiga adalah memaksimalkan sediaan fibrinolisis dan obat-obatan lain yang mendukung penatalaksanaan pada pasien dengan STEMI jika rumah sakit yang dituju tidak memiliki fasilitas PCI.

B. Solusi Pada Intra Hospital

Begitu diagnosis STEMI telah tegak, maka keputusan yang harus segera dilakukan adalah apakah mereperfusi bagian miokardium yang infark dengan menggunakan medikasi fibrinolisis atau menggunakan PCI dengan balon angioplasti. Pada kondisi krusial seperti ini, seorang tenaga medis harus memiliki decision making yang baik dalam mengarahkan pasien ke rumah sakit yang memiliki fasilitas PCI untuk segera dilakukan reperfusi. Dalam PERKI (2015) disebutkan bahwasanya secara ideal PCI dilakukan kepada pasien dalam rentang waktu ≤ 90 menit atau ≤ 60 menit apabila pasien datang dengan awitan < 120 menit. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh De Luca (2004), yang menyebutkan bahwa setiap menit pasien terlambat mendapat terapi PCI, maka tingkat mortalitasnya akan meningkat. Setiap 30 menit keterlambatan reperfusi, maka tingkat kematian pasien dalam 1 tahun akan meningkat sebanyak 7,5%.

Guidelines ACC/AHA merekomendasikan inisiasi terapi fibrinolitik diberikan dalam 30 menit sejak pasien kontak dengan EMS. Reperfusi menggunakan fibrinolisis memiliki tingkat kesuksesan 60-80%. Komplikasi utama dari pengunaan fibrinolitik adalah perdarahan, oleh karena itu, seorang tenaga kesehatan harus memahami kondisi pasien, disamping gejala mayor penyakit jantung juga harus diperhatikan adanya komplikasi dari pemberian fibrinolitik. Jika PCI dapat dilakukan, pilihan tindakan untuk melakukan PCI adalah yang paling utama dalam proses reperfusi. Pemilihan tindakan antara PCI dan fibrinolisis tergantung kepada pasien, tempat, dan waktunya. Pada beberapa penelitian Andersen et al (2003), Keeley et al (2003) dan Busk et al (2008) yang


(4)

membandingkan penggunaan fibrinolisis vs PCI menunjukkan bahwasanya dengan mempertimbangkan hasil jangka pendek maupun jangka panjang jika PCI dapat dilakukan memiliki tingkat reperfusi yang lebih tinggi daripada fibrinolisis. Oleh kerena itu di setting pelayanan rumah sakit, akses terhadap pelaksanaan tindakan PCI harus dibentuk untuk mengeliminasi gejala pada pasien.


(5)

Referensi

AHA. 2015. Highlights of the 2015 american heart association guidelines update for CPR and ECC

Andersen HR, Nielsen TT, Rasmussen K, et al. 2003. A comparison of coronary angioplasty with fibrinolytic therapy in acute myocardial infarction. Nursing england Journal Med (8): 733-742.

Antman et al. 2013. ACC/AHA guidelines for the management of patients with ST-Elevation Myocardial Infarction-executive summary: a report of the american college of cardiology/american heart association task force on practice guidelines. Journal Of The American Heart Association

A Maziar Zafari, MD, PhD; Chief Editor: Eric H Yang, MD. 2017. Myocardial Infarction Treatment & Management.

http://emedicine.medscape.com/article/155919-treatment#showall (diakses 27 Februari 2017 jam 19.00)

Busk M, Maeng M, Rasmussen K. 2008. The danish multycentre randomized study of fibrinolytic therapy vs primary angioplasty in acute myocardial infarction (the Danami-2 trial): outcome after 3 years follow-up. European Heart Journal 29(10): 1259-1266.

Carpenito, L. J. Dan Moyett. (2008). Diagnosa Keperawatan. Ed 10. EGC: Jakarta.

Canobbio, M.M. Cardiovaskular Disorders. Mosby Clinical Nursing Series, Toronta.

ESC Guidelines. (2012). ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST-segment elevation. European Heart Journal.


(6)

Doenges. 2010. Nursing Care Plan 8th edition. Phildelphia : Davis company Kosowsky. J.M, Yiadom. M. Y. 2009. An evidence-based approach: The

diagnosis and treatment of STEMI in the emergency department. Emergency Medicine Practice vol. 11 (6)

Meadow-Pitt. M, Fields. Willa. 2013. The impact of prehospital 12 lead EKG on door-to-baloon timein patient with ST-elevation myocardial infarction. Journal of Emergency Nursing

Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat Plus Contoh Askep Dengan Pendekatan Nanda, Nic, Noc. Nuha Medika: Yogyakarta

Nanda International. (2012). Diagnosa Keperawatan 2012-2014. EGC: Jakarta. Pelter. M.M., Carey. M.G., Stephens. K. E., Anderson. H., Yang.W. 2010.

Improving nurses’ ability to indentify anatomic location and leads on 12-lead electrocardiograms with ST elevation myocardial infarction. European Journal of Cardiovascular Nursing 9:218-225.

PERKI. 2015. Pedoman tatalaksana sindrom koroner akut.

Ripa. M.S. 2010. The ECG as decision support in STEMI. Danish Medical Journal 54:1763-1769.

Robert Thomson. 2010. How to manage acute myocardial infarction with

primary percutaneous coronary intervention.

https://www.nursingtimes.net/clinical-archive/cardiology/how-to-manage-

acute-myocardial-infarction-with-primary-percutaneous-coronary-intervention/5020579.article (diakses 27 Februari 2017 jam 19.15)

Ruhyanudin, F. (2007). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan System Kardio Vaskuler. Malang: UUM Press

Taylor, M.C. (2010). Diagnosis Keperawatan Dengan Rencana Asuhan Keperawatan. Ed. 10. EGC: Jakarta