H ubungan D esa-K ota

14 cukup tinggi. Namun Salatiga, sekalipun tidak berada di lintasan jalan Deandels, tetapi dilintasi jalan raya propinsi dari Semarang ke Surakarta. Jalan Semarang- Surakarta ini, terdapat simpan g jalan Bawen- Ambarawa-Magelang, dan Salatiga-Getasan-Kopeng- Magelang. Jalan propinsi ini semuanya sudah diaspal, kecuali jalan Salatiga-Getasan-Kopeng-Magelang. Se- dangkan jalan yang dahulu milik Karesidenan, sejak tanggal 1 Januari 1930 diserahkan kepada kabupaten. Jalan-jalan ini pada umumnya belum diaspal. 18

2.2 H ubungan D esa-K ota

Guna mengetahui lebih mendalam tentang pe- nguasaan tanah dan ketenagakerjaan di Karesidenan Semarang, tidak bisa lepas dari desa. H al ini bukan saja disebabkan karena sebagian besar penduduknya ber- ada di pedesaan, tetapi jiga disebabkan karena seba- gian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani di desa. Desa yang dikenal sekarang, adalah desa yang dilihat dari sudut pandang hukum, yang biasanya me- musatkan perhatiannya kepada tata-aturan yang me- ngatur kehidupan manusianya dan oleh sebab itu, lebih menekankan kepada faktor-faktor wilayah, jumlah penduduk, dan tata-cara administrasi. Menurut Un- dang-undang No. 5 tahun 1979, ”desa” didefinisikan sebagai suatu kesatuan wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hu- kum, yang mempunyai organisasi pemerintahan teren- dah langsung di bawah Camat, dan berhak menye- 18 Memori Residen Semarang, Op. Cit., hlm. L. 15 lenggarakan rumahtangganya sendiri dalam ikatan Ne- gara Kesatuan Republik I ndonesia. 19 Pandangan atau pengertian ”desa” sekarang de- ngan pengertian ”desa” pada zaman kolonial, sudah barang tentu berbeda, hal ini bukan saja disebabkan oleh karena terjadi pergantian sistem dan bentuk pemerintahan, dari negara koloni menjadi negara mer- deka; tetapi juga disebabkan adanya perubahan masya- rakatnya. Dalam bukunya: Pembahasan Undang- Undang 1965 No. 19 tentang Desa Pr aja, The Liang Gie antara lain menyebutkan: ”... pengertian desa, sebagai daerah otonomis tingkat terbawah menurut Undang-Undang 1948 22, adalah lain dengan desa se- bagai I nlandsch Gemeente menurut I GO I GOB”. 20 I GO I nlandsch Gemeente Or donantie memberikan ke- mandirian kepada desa, tetapi disamping itu geraknya juga lebih dibatasi. Khususnya hal-hal yang mengenai kepemilikan tanah, diatur sampai mendetail dan me- liputi hampir 25 dari pada seluruh peraturan. 21 Maju mundurnya desa tergantung pada tiga un- sur Daerah, Penduduk dan Tata Kehidupan, yang da- lam kenyataan ditentukan oleh faktor usaha manusia human effor ts dan tata geografi geogr aphical set- ting. Suatu daerah dapat berarti bagi penduduk apa- bila ada ”human effor ts” umtuk memanfaatkan dae- rahnya. Tiap desa mempunyai ”geogr aphical setting” 19 Lihat C.S.T. Kansil, ‘Desa Kita dalam Peraturan Tata Pemerintahan Desa’, dalam: Gunawan Wiradi, “ Mengenal Desa dan Perkembangannya Secara Selayang Pandang”, Makalah, Yogyakarta: PAU Universitas Gadjah Mada Tanggal 10-11 Februari 1988, hlm.2. Bintarto, I nter aksi Desa-Kota, dan Per masalahannya, Jakarta: Ghalia I ndonesia, 1984, hlm. 13. Soedjoto Sosrodiharjo, Per ubahan Str uktur Masyar akat Jaw a: Suatu Analisa, Yogyakarta: Penerbit Karya, 1968, hlm. 83- 84. 16 dan ”human effor ts” yang berbeda, sehingga tingkat kemakmuran dan tingkat kemajuan penduduknya tidak sama. 22 Dalam hubungannya dengan kota, maka ada desa yang merupakan ”hinter land” atau daerah du- kung. Desa yang demikian berfungsi sebagai daerah pensuplai bahan makanan pokok seperti padi, jagung, ketela, disamping bahan makanan lain seperti kacang, kedelai, buah-buahan dan bahan makan lain ya ng berasal dari hewan. Ditinjau dari sudut potensi ekono- mi, desa berfungsi sebagai lumbung bahan mentah r aw mater ials dan tenaga kerja man pow er yang tidak kecil artinya. Sedangkan ditinjau dari segi ke- giatan kerja occupation desa dapat merupakan desa agraris, desa manufaktur, desa industri, desa nelayan dan sebagainya. 23 Kota yang biasa disebut sebagai rural dan desa dengan ”urban”, meskipun merupakan konsep yang bermanfaat, tetapi sebenarnya di antara kedua penger- tian itu tidak terdapat batas-batas yang tegas, nyata- nya, perkembangan kota sendiri mendorong sub- urbanisasi, yakni lahirnya daerah pinggiran kota, begi- tu juga kemajuan pedesaan menjadikannya mengalami urbanisasi pula. 24 Sehubungan dengan terjadinya kemajuan yang dicapai oleh desa maupun kota, maka mengakibatkan terjadinya perubahan mengenai jumlahnya. jumlah desa di Karesidenan Semarang dari tahun 1820-1845, adalah sebagai berikut: 22 Bintarto, Op. Cit, hlm. 14. 23 I bid, hlm. 15-16. 24 Daldjoeni, Seluk Beluk Masyar akat Kota, Bandung: Alumni, 1979, hlm. 128. 17 Tabel I Jumlah Desa di Karesidenan Semarang 1820- 1845 Tahun Jumlah Desa 1820 2904 1832 2442 1837 2671 1845 3330 Sumber: Djoko Suryo, Social and Economic Life in Rural Semarang Under Colonial Rule in the Later 19th Century, Tesis Doktor pada Mo- nash University, December 1982, hlm. 5. Jumlah desa dalam tabel di atas tidak ter- masuk desa-desa di Jepara. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah desa yang ada di karesidenan Semarang mengalami pasang surut, hal ini terjadi disebabkan karena ter- jadinya perubahan luas wilayah karesidenan. Terjadi- nya perubahan wilayah ini tidak terlepas dari kepen- tingan perkembangan pengembangan wilayah maupun administrasinya, yang sampai sekarang pun perubahan semacam ini masih juga terjadi. Dari segi geografi, studi tentang kota dan desa adalah penting dan menarik, karena dalam disiplin ini diperhatikan mengenai hal ihwal kota, kedudukan ko- ta, hubungan kota dengan daerah sekitarnya location, site and situation. Sistem zonning dan perubahan- perubahan yang timbul, perkembangan kota beserta masalah-masalah yang dihadapinya. 25 Kota Semarang sebagai satu-satunya kota ter- besar di Karesidenan Semarang, bahkan terbesar di Ja- 25 Bintarto, Op. Cit., hlm. 39-40. 18 wa tengah, juga mengalami perubahan, khususnya yang berkaitan dengan tata guna tanah. Di sebelah timur dan sebelah barat kota, pada abad ke-19 masih banyak diketemukan tambak-tambak ikan dan areal persawahan. Sehingga kota Semarang juga ada pen- duduk yang bermata pencaharian yang menurut Mc Gee disebut ”petani kota”. 26 Kota karesidenan dan kota kabupaten, merupakan kota yang memiliki gaya yang lebih khas. Kekhasan kota Semarang, seperti juga kota- kota setingkat lainnya, yakni sebagai kota karesidenan sedikit diwarnai dengan sifat Eropa karena adanya tempat tinggal Residen dan pejabat Belanda lainnya, sedangkan kabupaten lebih bersifat pribumi. Namun kota kabupaten memiliki gaya hidup sendiri, yaitu gaya hidup ”priyayi”. Gaya hidup priyayi ini terbawa dari penampilan gaya hidup para bupati yang pada waktu itu menempati kedudukan sebagai golongan pangereh praja, suatu kelompok pejabat pemerintah Belanda yang umumnya terpelajar dan masih diakui lambang- lambang status aristokratnya. 27 Semarang sebagai kota pusat perdagangan dan administrasi H india Belanda, telah tumbuh dan memiliki ciri baru, yaitu sebagai kota yang bercorak kolonial. 28 26 Chris Manning dan Tadjuddin Nor Efenfi Eds., Ur ba- nisasi, Penganggur an dan Sektor Infor mal di Kota, Jakarta: P.T. Gramedia, 1985, hlm. 2. 27 Djoko Suryo, ‘Kota-Kota di Jawa pada Abad 17-19’, dalam: Soedarsono, Djoko Soekiman dan Retno Astuti Eds., Pe- r anan Kebudayaan Daer ah dalam Pr oses Pembentukan Kebu- dayaan Nasional, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Javanologi, Dirjen Kebudayaan, Depdikbud, 1985, hlm. 36-37. 28 I bid., hlm. 32. 19

2.3 Penduduk dan Pem er intahan D esa