PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN SINDROM SYOK DENGUE (SSD) ANTARA ANAK DENGAN GIZI BAIK DAN GIZI LEBIH Perbedaan Angka Kejadian Sindrom Syok Dengue (SSD) Antara Anak Dengan Gizi Baik Dan Gizi Lebih.

(1)

i

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN SINDROM SYOK DENGUE (SSD) ANTARA ANAK DENGAN GIZI BAIK DAN GIZI LEBIH

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran

Oleh:

RISYA NUR FADILLAH SAPITRI J500130076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

1

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN SINDROM SYOK DENGUE (SSD) ANTARA ANAK DENGAN GIZI BAIK DAN GIZI LEBIH

Abstrak

Angka kejadian demam berdarah terus bertambah dari tahun ke tahun dengan angka mortalitas yang tetaptinggi dan akan meningkat bila berkembang menjadi Sindrom Syok Dengue (SSD). Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berlawanan tentang anak gizi lebih (gemuk dan obesitas) dengan infeksi DBD lebih berisiko untuk mengalami SSD dibandingkan dengan anak gizi baik. Tujuan penelitian untuk mengetahui perbedaan angka kejadian Sindrom Syok Dengue (SSD) antara anak gizi baik dan gizi lebih di RSUD Dr.Moewardi. penelitian ini bersifat observasional analitik, dengan pendekatan cross sectional. Selama periode penelitian, didapatkan 31 kasus demam berdarah dengue dan 31 kasus sindrom syok dengue menurut kriteria WHO serta di uji dengan uji chi-square, didapatkan hasil p=0,01 (<0,05) yang artinya bermakna secara statistik. Angka kejadian anak dengan gizi lebih, lebih besar dari pada anak gizi baik serta terdapat perbedaan proporsi yang bermakna antara anak dengan gizi baik dan gizi lebih pada kejadian Sindrom Syok Dengue (SSD) di RSUD Dr Moewardi Surakarta.

Kata kunci: Demam Berdarah Dengue, Sindrom Syok Dengue, Gizi Baik, Gizi

Lebih

Abstract

The incidence of dengue continues to grow from year to year with a mortality rate that remains high and will increase when developed into Dengue Shock Syndrome (SSD). Some research suggests the opposite result of child nutrition (overweight and obese) with dengue infection are more at risk for experiencing SSD compared to well-nourished children. The aim of research to determine differences in the incidence of Dengue Shock Syndrome (SSD) among children good nutrition and over nutrition in hospitals Dr.Moewardi. This study was an observational analytic with cross sectional approach. during the period research, found 31 cases of dengue fever and 31 cases of dengue shock syndrome, according to WHO criteria and tested by chi-square test, the result p = 0.01 (<0.05), which means statistically significant. The incidence of children with better nutrition, greater than well-nourished children and there is a significant difference between the proportion of children with good nutrition and nutrition in the incidence of Dengue Shock Syndrome (SSD) in the Hospital Dr Moewardi Surakarta.

Keyword : Dengue Hemorrhagic Fever, Dengue Shock Syndrome, Good


(6)

2 1. PENDAHULUAN

Dengue adalah virus penyakit yang menyebar paling cepat di dunia (WHO-TDR, 2009). Menurut Widoyono (2008) demam berdarah dengue merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue yang disebarkan melalui vektor nyamuk dari genus Aedes terutama Aedes aegypti

dan Aedes albopictus. Kosasih dan Alisjahbana (2016) berpendapat Infeksi virus dengue dapat mengakibatkan infeksi asimtomatik, demam berdarah (DB), atau bentuk yang lebih parah, demam berdarah dengue (DBD) dan sindrom syok dengue (SSD).

Sindrom syok dengue adalah sindrom penyakit infeksi virus dengue

yang menunjukan manifestasi klinis gangguan fungsi sirkulasi darah ditandai dengan nadi yang cepat, lemah sampai tidak teraba, jarak sistole dan diastole menjauh atau mendekat disertai tensi menurun sampai 0. Pada perabaan ujung tangan dan kaki teraba dingin sekali (Soegijanto, 2012).

Di dunia 50 juta infeksi dengue terjadi setiap tahunnya, serta 2,5 miliar orang hidup di negara-negara endemik dengue (WHO-TDR, 2009). Di Indonesia, pada tahun 2015 Angka kesakitan 50,75%, kematian akibat DBD dikategorikan tinggi jika CFR >1%. Penyakit DBD masih merupakan permasalahan serius di Provinsi Jawa Tengah, terbukti di Jawa Tengah urutan kedua kematian tertinggi (255 kematian) (KEMENKES, 2015).

Penyakit DBD mempunyai kemungkinan 5% menyebabkan kematian tapi jika berkembang menjadi sindrom syok dengue (SSD), angka kematian meningkat menjadi 40%-50%. Kejadian syok akibat DBD di berbagai rumah sakit di Indonesia bervariasi antara 11,2%-42% (Saniathy et al., 2009). Kan dan Rampengan (2012) melaporan bahwa prevalensi DBD dengan syok di indonesia hampir semua rumah sakit di indonesia adalah 16-40% dengan angka kematian antara 5,7% dan 50%.

Angka kematian DBD tahun 2012 sebesar 1,52% lebih tinggi dibanding tahun 2011 (0.93%), tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan target nasional (<1%). Angka kematian tertinggi adalah di Kabupaten Wonogiri sebesar 23,08% (Depkes, 2012). Angka kematian SSD dengan syok


(7)

3

berkepanjangan, syok berulang, perdarahan masif di RS Dr Kariadi Semarang selama 4 tahun sampai tahun 2000 adalah dari 5,7% menjadi 50% (Setiati et al., 2005).

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya syok yaitu serotipe virus

dengue, umur, jenis kelamin, ras, genetik, daya tahan tubuh, infeksi primer atau sekunder, penyakit lain yang menyertai, serta status nutrisi. Status nutrisi mempengaruhi derajat berat ringannya penyakit berdasarkan teori imunologi yaitu gizi baik meningkatkan respon antibody (Saniathy et al., 2009).

Secara global prevalensi overweight meningkat jumlahnya pada anak-anak. Prevalensi overweight telah meningkat antara tahun 1990-2014 dari 4,8% menjadi 6,1% (UNICEF, WHO, World Bank Group, 2015). Menurut Riskesdas (2013) secara nasional masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8%, terdiri dari gemuk 10,8% dan obesitas 8,8%. Prevalensi kurus (menurut IMT/U) pada anak umur 5-12 tahun adaah 11,2%, terdiri dari 4,0% sangat kurus dan 7,2% kurus.

Mayoritas DBD 65-67% memiliki status gizi normal, sementara 9%-11% memiliki status gizi sedang sampai parah dan 23%-24% kelebihan berat badan (Peta et al., 2015). Sindrom syok dengue lebih sering terjadi pada anak imunokompeten dan status gizi baik. Status gizi baik berhubungan dengan respon imun yang baik yang dapat menimbulkan DBD berat. Pasien dengan status gizi normal dan obesitas memiliki perbedaan dalam jumlah kasus SSD (Raihan et al., 2010). Menurut Tantracheewathorn (2007) mengatakan hasil yang berlawanan status gizi tidak memiliki perbedaan secara statistik terhadap faktor risiko yang menyebabkan terjadinya sindrom syok dengue. Status gizi lebih (overweight dan obesitas) tidak memiliki hubungan pada kejadian SSD (Kalayanarooj & Nimmannitya, 2005)

Status gizi mempengaruhi derajat berat ringannya penyakit berdasarkan teori imunologi yaitu gizi baik dapat meningkatkan respon antibodi (Peta et al., 2015). Anak dengan obesitas, aktivitas sistem imun berlangsung dengan baik sehingga meningkatkan proliferasi virus dan


(8)

4

manifestasi klinis yang lebih berat. Reaksi antigen dan antibodi yang berlebihan menyebabkan infeksi dengue lebih berat (Raihan et al., 2010).

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, penelitian ini ditulis untuk mengetahui perbedaan angka kejadian sindrom syok dengue (SSD) antara anak dengan gizi baik dan anak dengan gizi lebih.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui perbedaan angka kejadian sindrom syok dengue (SSD) antara anak dengan gizi baik dan anak dengan gizi lebih. Penelitian dilakukan di RSUD Dr. Moewardi pada bulan Desember 2016. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan purposive sampling, yaitu sampel diambil berdasarkan kriteria restriksi. Kriteria inklusi: Semua pasien anak yang didiagnosis DBD dan SSD yang dirawat di instalasi rawat RSUD Dr. Moewardi, dan pasien usia 1-15 tahun serta anak dengan gizi baik dan lebih. Kriteria Ekslusi: Data pasien yang tercatat di rekam medik tidak lengkap, Pasien SSD dengan penyakit berat (sepsis, DIC, hemofilia). Data yang diperoleh dari hasil penelitian diolah dengan program SPSS 23.0 dengan perhitungan statistik data dengan Uji Chi-Square yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan antar kedua variabel.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di RSUD Dr. Moewardi pada bulan Desember 2016. Karakteristik sampel pada penelitian ini disajikan pada tabel sebagai berikut :

Tabel 1. Distrbusi Karakteristik Berdasarkan Jenis Kelamin

Variabel DBD SSD

n % n % Jumlah

Jenis Kelamin

- Laki-laki 16 51,6% 18 58,1% 34

- Perempuan 15 48,4% 13 41,9% 28


(9)

5

Tabel 2. Distrbusi Karakteristik Berdasarkan Usia

Variabel DBD SSD

n % n % Jumlah

Usia

- 1-5 tahun 10 32,3% 7 22,6% 17

- 6-10 tahun 8 25,8% 14 45,2% 22

- 11-15 tahun 13 41,9% 10 32,3% 23

Total 31 100% 31 100% 62

Tabel 3. Perbedaan Status Gizi terhadap Kejadian DBD dan SSD

Variabel DBD SSD

n % n % Jumlah p

Status Gizi

- Gizi Baik 23 74,2% 13 42,9% 36 0,01

- Gizi Lebih 8 25,8% 18 58,1% 28

Total 31 100% 31 100% 62

Pada penelitian ini, memiliki tujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan angka kejadian sindrom syok dengue antara anak gizi baik dan gizi lebih di RSUD Dr. Moewardi. Maka hasil penelitian dapat dijelaskan sebagai berikut:

Berdasarkan tabel 3 menunjukkan proporsi kejadian DBD banyak pada anak gizi baik sebanyak 23 orang (74,2%) dan pada proporsi kejadian SSD lebih besar pada anak dengan gizi lebih (overweight dan obesitas) sebanyak 18 orang (58,1%) dan hasil analisis menggunakan chi-square hasilnya 0,01. Dari hasil tersebut maka hipotesis diterima karena p-value kurang dari 0,05 menunjukkan adanya perbedaan bermakna angka kejadian Sindrom Syok Dengue (SSD) antara anak dengan gizi baik dan gizi lebih (overweight dan obesitas), serta terdapat angka kejadian Sindrom Syok Dengue (SSD) pada anak gizi lebih, lebih besar daripada anak dengan gizi baik di RSUD Dr. Moewardi sesuai dengan hipotesis pada peneitian ini.


(10)

6

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Saniathy dkk (2009) menunjukkan 78,9% pasien obesitas mengalami SSD, sedangkan SSD pada pasien non-obese 42,4% (p= 0,005) memiliki risiko 4,9 kali lebih besar menderita SSD dibandingkan anak yang tidak obesitas. Anak dengan gizi lebih memiliki risiko besar mendapatkan infeksi lebih berat dibandingkan anak malnutrisi. Perbedaan bermakna dengan rasio odds 1,96 (p=0,000) (Kalayanarooj & Nimmannitya, 2005). Pasien dengan gizi lebih (overweight

dan obesitas) memiliki risiko besar untuk menderita DBD berat dengan rasio

odds 2,77 dibanding gizi normal (Pichainarong et al., 2006)

Proporsi kejadian DBD lebih banyak terjadi pada anak dengan gizi baik 23 orang (74,2%). Penelitian ini sesuai dengan Peta dkk (2015) dimana anak DBD dengan gizi baik sebanyak 22 orang (59,5%) dan penelitian yang dilakukan Permatari (2015) menunjukkan anak DBD status gizi baik lebih (overweight dan obesitas) banyak yaitu sebanyak 38 orang (65,5%).

Hal ini menunjukkan status nutrisi mempengaruhi derajat berat ringannya suatu penyakit berdasarkan teori imunologi yang mana gizi baik dapat meningkatkan respon antibodi. Terjadinya reaksi antigen dan antibodi yang berlebihan dapat menyebabkan infeksi dengue lebih berat (Saniathy et al., 2009). Anak dengan gizi lebih (overweight dan obesitas) memiliki respon imun yang lebih kuat dari anak gizi normal, sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami infeksi dengue (Kalayanarooj & Nimmannitya, 2005). Menurut Peta (2015) pada anak dengan obesitas terjadi penumpukan jaringan lemak karena peningkatan jumlah dan besar dari sel adiposit. Pada jaringan lemak yang ada, jaringan lemak putih yang mensekresikan dan melepaskan sitokin pro-inflamasi TNFα dan beberapa inteleukin seperti IL-1β, IL-6 dan IL-8. Peningkatan CD4/CD8 dan produksi yang berlebihan dari sitokin pada infeksi dengue kan mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah.

Dilihat dari komposisi tubuhnya, anak dengan status gizi lebih (overweight dan obesitas) cadangan lemak lebih banyak. Lemak memiliki kandungan air yang lebih sedikit, yaitu sebanyak 10%. Kurangnya kandungan air pada orang berstatus gizi lebih (overweight dan obesitas) menyebabkan


(11)

7

apabila terjadinya perdarahan maka tubuh akan cepat mengalami syok (Lauralee ,2001). Menurut Kalayanarooj dan Nimmannitya (2005) anak dengan obesitas memiliki respon imun yang lebih kuat dari anak yang gizi normal, sehingga berisiko menjadi SSD dan anak dengan obesitas memiliki tingkat komplikasi lebih tinggi untuk kelebihan cairan. Menurut Setiawati (2011) Status gizi yang baik dapat menyebabkan keterlambatan membawa anak kerumah sakit karena asumsi keluarga melihat anak status gizinya baik.

Berdasarkan data pada penelitian ini didapatkan pasien DBD dan SSD dengan jenis kelamin laki-laki terbanyak pada rawat inap di RSUD Dr. Moewardi. Berdasarkan tabel 1. karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin pada pasien DBD diperoleh laki-laki sebanyak 16 orang (51,6%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 15 orang (48,4%). Hasil penelitian ini dapat memperkuat hasil penelitian Kan dan Rampengan (2004) menjelaskan bahwa penderita DBD lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki 27 orang (63%) dan anak perempuan 16 orang (37%). Pada pasien SSD pada penelitian ini didapatkan pasien laki-laki sebanyak 18 orang (58,1%) dan pasien perempuan sebanyak 13 orang (41,9%). Berdasarkan data tersebut, maka pasien SSD lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Debarati dan Barbara (2005) menyatakan bahwa tiga studi independen di India dan Singapura menemukan bahwa pasien laki-laki hampur dua kali lebih besar mengalami SSD. Distribusi pasien DBD dan SSD menurut jenis kelamin pada penelitian ini menunjukkan lebih banyak ditemukan pada pasien berjenis kelamin laki-laki.

Hal ini dapat disebabkan pada umumnya anak laki-laki lebih rentan terhadap infeksi dibandingkan anak perempuan, karena pada anak perempuan produksi immunoglobulin dan antibodi secara genetika dan hormonal lebih efisien memproduksi immunoglobulin dibanding anak laki-laki (Setiawati, 2011). Menurut Kan dan Rampengan (2004) anak laki-laki lebih rentan disebabkan karena anak laki-laki lebih sering pergi ketempat umum dibanding anak perempuan, sehingga kesempatan untuk terinfeksi oleh virus dengue menjadi lebih tinggi.


(12)

8

Berdasarkan tabel 2 hasil penelitian ini diperoleh kejadian DBD terbanyak ditemukan pada rentang usia 11-15 tahun dan pada kejadian SSD rentang usia terbanyak pada usia 6-10 tahun. Berdasarkan tabel 4.2 pada DBD terbanyak pada rentang usia 11-15 tahun sebanyak 13 orang (41,9%). Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kan dan Rampengan (2004) yang menemukan bahwa anak berusia 5-9 tahun lebih sensitif terhadap infeksi virus dengue. Pada awal era DBD transmisi umumnya terjadi dirumah, tetapi pada saat ini transmisi beralih ke fasilitas publik seperti sekolah, tempat bermain anak-anak masjid, dan gereja. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Soegijanto (2012) menemukan 72% pasien yang dirawat dirumah sakit adalah anak sekolah dan hanya 28% yang memiliki usia dibawah 5 tahun.

Pada pasien SSD kejadian terbanyak pada rentang usia 6-10 tahun sebanyak 14 orang (45,2%). Penelitian ini sesuai dengan penelitian Kan dan Rampengan (2004) menunjukkan anak SSD terdapat pada usia 5-9 tahun sebanyak 24 orang (57%). Hal ini dapat dihubungkan dengan keterlambatan pengobatan penyakit DBD yang memiliki ciri khas demam seperti “pelana kuda” diawali demam tinggi dan hari keempat suhu turun yang terkadang diasumkan orang tua anak sudah sembuh. Sehingga pengobatan mungkin terabaikan dan anak masuk dalam kondisi fasi kritis serta syok (Setiawati, 2011).

Hal ini berhubungan dengan kemampuan dokter yang menangani serta mendiagnosis pasien DBD karena gejala awal DBD menyerupai demam pada penyakit lain seperti: flu, thypoid atau campak. Kesalahan atau keterlambatan dalam mendiagnosis dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan sehingga menyebabkan DBD menjadi syok (Setiawati, 2011). Pasien DBD yang tidak mengalami syok cenderung datang berobat lebih awal (Harisnal, 2012).

Hal ini dapat berhubungan dengan teori secondary heterolog infection

bahwa penyakit akan muncul apabila jika seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kalinya dan kemudian mendapatkan infeksi kedua dengan virus serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan hingga 5 tahun (Saniathy et al.,


(13)

9

2009). Menurut Soegijanto (2012) jika seorang anak mendapatkan infeksi virus dengue dari salah satu serotipe maka akan terjadi kekebalan terhadap virus seumur hidup terhadap virus tersebut, tetapi jika mendapatkan infeksi sekunder oleh serotive virus yang berbeda akan memperparah terjadi risiko berat mengalami SSD.

Pada anak yang lebih muda endotel pembuluh darah kapiler lebih rentan terjadi pelepasan sitokin sehingga mudah terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Anak yang memiliki usia lebih muda memiliki fakor daya tahan tubuh yang belum sempurna jika dibandingkan pada orang dewasa sehingga anak berisiko terkena penyakit lebih besar termasuk infeksi dengue. Pada umumnya pasien yang menderita DBD dibawah 15 tahun, kejadian terbanyak pada kelompok usia dibawah 10 tahun, serta memiliki derajat keparahan yang tinggi. Semakin muda usia pasien semakin tinggi mortalitasnya (Raihan et al., 2010).

4. PENUTUP

Penelitian perbedaan angka kejadian Sindrom Syok Dengue (SSD) antara anak dengan gizi baik dan gizi lebih dapat diambil kesimpulan terdapat angka kejadian Sindrom Syok Dengue (SSD) pada anak dengan gizi lebih, lebih banyak daripada gizi baik dan nilai p kurang dari 0,05 menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,01) antara angka kejadian sindrom syok dengue antara anak dengan gizi baik dan gizi lebih.

Penelitian selanjutnya dapat menggunakan data primer dan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga dapat menggambarkan dapat melakukan penghitungan antropometri secara langsung pada berat badan dan tinggi badan pasien dan selanjutnya penelitian dapat lebih valid. Serta meneliti berbagai faktor perancu yang dapat menyebabkan terjadinya syok.

PERSANTUNAN

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada direktur utama RSUD Dr. Moewardi yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian ini sehingga dapat berjalan dengan lancar dan baik. Kepada


(14)

10

Prof.DR.Dr.Bambang Subagyo, Sp.A.(K.), Dr. M. Shoim Dasuki, M.Kes, dan Dr. Mohammad Wildan, Sp.A yang telah membimbing, memberikan saran dan kritik dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, 2012. Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.

Harisnal, 2012. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Dengue Shock Syndrome Pada Pasien Demam Berdarah Dengue di RSUD Ulin dan RSUD Ansari Saleh Kota Banjarmaasin Tahun 2010-2012. Thesis. Depok: FKM UI.

Kalayanarooj, S. & Nimmannitya, S., 2005. Is Dengue Severity Related to Nutrition Status? Southesth Asian J Trop Med Public Health, 36, pp.378-84.

Kan, E.F. & Rampengan, T., 2004. Factor Associated with Shock in Children with Dengue Hemorrhagic fever. Paeditrica Indonesia, 44, pp.171-74.

KEMENKES, 2015. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kosasih, H. et al., 2016. The Epidemiology, Virology and Clinical Findings of Dengue Virus Infections In a Cohort of Indonesian Adults in Western Java. PLOS Neglected Tropical Deseases, pp.1-18.

Maria, I., Ishak, H. & Selomo, M., 2013. Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Makassar Tahun 2013. 1, pp.1-11.

Notoatmodjo, S., 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Peta, M.L., Zulmansyah & Hikmawati, D., 2015. Hubungan Status Gizi dan Sindrom Syok Dengue pada Anak di RSUD Subang. Prosiding Penelitian Sivitas Akademika Unisba (Kesehatan), pp.29-34.

Pichainarong, Mongkalangoon, Katayanarooj & Chaveepojnkamjorn, 2006. Relation Between Body Size and Saverity of Dengue Haemorrhagic Fever Among Children Aged 0-14 Years. Southlast Asian J Trop Med Public Health, p.283.

Raihan, Hadinegoro, S.R.S. & Tumbelaka, A.R., 2010. Faktor Prognosis Terjadinya Syok pada Demam Berdarah Dengue. Sari Pediatri, 12, pp.47-59.

Riskesdas, 2013. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia : Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. [Online] Jakarta: Departemen Kesehatan RI Available


(15)

11

at:

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202 013.pdf [Accessed 6 Maret 2016].

Saniathy, E., BNP Arhana, I.S. & Sidiartha, I., 2009. Obesitas sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue. Sari Pediatri, 11, pp.238-43.

Sapir, D.G. & Schimmer, B., 2005. Dengue Fever: New Paradigms for a Changing Epidemiology. BioMed Central, pp.1-10.

Setiati, T.E., Retnaningsih, A., Supriatna, M. & Soemantri, A., 2005. Skor Kebocoran Vaskuler sebagai Prediktor Awal Syok pada Demam Berdarah Dengue. Jurnal Kedokteran Brawijaya, XXI, pp.16-22.

Setiawati, S., 2011. Analisis Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Dengue Syok Sindrome (DSS) pada anak dengan demam berdarah dengue (DBD) Di RSUP Persahabatan dan RSUD Budhi Asih Jakarta. Thesis.

Soegijanto, S., 2012. Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue. In Demam Berdarah Dengue. Surabaya: Airlangga University Press. pp.85-117.

Soegijanto, S., 2012. Patofisiologi dan Perubahan Patofisiologi pada Infeksi Virus Dengue. In Demam Berdarah Dengue. kedua ed. Surabaya: Airlangga University Press. pp.61-79.

Soegijanto, S., 2012. Tata Laksana Sindrom Syok Dengue Di Era Tahun 2005. In Demam Berdarah Dengue. Surabaya: Airlangga University Press. pp.169-200.

Soegijanto, S., Sustini, F. & Wirahjanto, A., 2012. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. In Demam Berdarah Dengue. Surabaya: Airlangga University Press. pp.1-10.

UNICEF, WHO, World Bank Group, 2015. Levels and Trend in Child Malnutrition. UNICEF, WHO and World Bank Group.

WHO-TDR, 2009. Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New Edition ed. France: WHO Library Cataloguing-in-Publication Data.

Widoyono, 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, pencegahan & Pemberantasan. Jakarta: Erlangga.


(1)

6

Penelitian ini sesuai dengan penelitian Saniathy dkk (2009) menunjukkan 78,9% pasien obesitas mengalami SSD, sedangkan SSD pada pasien non-obese 42,4% (p= 0,005) memiliki risiko 4,9 kali lebih besar menderita SSD dibandingkan anak yang tidak obesitas. Anak dengan gizi lebih memiliki risiko besar mendapatkan infeksi lebih berat dibandingkan anak malnutrisi. Perbedaan bermakna dengan rasio odds 1,96 (p=0,000) (Kalayanarooj & Nimmannitya, 2005). Pasien dengan gizi lebih (overweight dan obesitas) memiliki risiko besar untuk menderita DBD berat dengan rasio odds 2,77 dibanding gizi normal (Pichainarong et al., 2006)

Proporsi kejadian DBD lebih banyak terjadi pada anak dengan gizi baik 23 orang (74,2%). Penelitian ini sesuai dengan Peta dkk (2015) dimana anak DBD dengan gizi baik sebanyak 22 orang (59,5%) dan penelitian yang dilakukan Permatari (2015) menunjukkan anak DBD status gizi baik lebih (overweight dan obesitas) banyak yaitu sebanyak 38 orang (65,5%).

Hal ini menunjukkan status nutrisi mempengaruhi derajat berat ringannya suatu penyakit berdasarkan teori imunologi yang mana gizi baik dapat meningkatkan respon antibodi. Terjadinya reaksi antigen dan antibodi yang berlebihan dapat menyebabkan infeksi dengue lebih berat (Saniathy et al., 2009). Anak dengan gizi lebih (overweight dan obesitas) memiliki respon imun yang lebih kuat dari anak gizi normal, sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami infeksi dengue (Kalayanarooj & Nimmannitya, 2005). Menurut Peta (2015) pada anak dengan obesitas terjadi penumpukan jaringan lemak karena peningkatan jumlah dan besar dari sel adiposit. Pada jaringan lemak yang ada, jaringan lemak putih yang mensekresikan dan melepaskan sitokin pro-inflamasi TNFα dan beberapa inteleukin seperti IL-1β, IL-6 dan IL-8. Peningkatan CD4/CD8 dan produksi yang berlebihan dari sitokin pada infeksi dengue kan mempengaruhi permeabilitas pembuluh darah.

Dilihat dari komposisi tubuhnya, anak dengan status gizi lebih (overweight dan obesitas) cadangan lemak lebih banyak. Lemak memiliki kandungan air yang lebih sedikit, yaitu sebanyak 10%. Kurangnya kandungan air pada orang berstatus gizi lebih (overweight dan obesitas) menyebabkan


(2)

7

apabila terjadinya perdarahan maka tubuh akan cepat mengalami syok (Lauralee ,2001). Menurut Kalayanarooj dan Nimmannitya (2005) anak dengan obesitas memiliki respon imun yang lebih kuat dari anak yang gizi normal, sehingga berisiko menjadi SSD dan anak dengan obesitas memiliki tingkat komplikasi lebih tinggi untuk kelebihan cairan. Menurut Setiawati (2011) Status gizi yang baik dapat menyebabkan keterlambatan membawa anak kerumah sakit karena asumsi keluarga melihat anak status gizinya baik.

Berdasarkan data pada penelitian ini didapatkan pasien DBD dan SSD dengan jenis kelamin laki-laki terbanyak pada rawat inap di RSUD Dr. Moewardi. Berdasarkan tabel 1. karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin pada pasien DBD diperoleh laki-laki sebanyak 16 orang (51,6%) dan jenis kelamin perempuan sebanyak 15 orang (48,4%). Hasil penelitian ini dapat memperkuat hasil penelitian Kan dan Rampengan (2004) menjelaskan bahwa penderita DBD lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki 27 orang (63%) dan anak perempuan 16 orang (37%). Pada pasien SSD pada penelitian ini didapatkan pasien laki-laki sebanyak 18 orang (58,1%) dan pasien perempuan sebanyak 13 orang (41,9%). Berdasarkan data tersebut, maka pasien SSD lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Debarati dan Barbara (2005) menyatakan bahwa tiga studi independen di India dan Singapura menemukan bahwa pasien laki-laki hampur dua kali lebih besar mengalami SSD. Distribusi pasien DBD dan SSD menurut jenis kelamin pada penelitian ini menunjukkan lebih banyak ditemukan pada pasien berjenis kelamin laki-laki.

Hal ini dapat disebabkan pada umumnya anak laki-laki lebih rentan terhadap infeksi dibandingkan anak perempuan, karena pada anak perempuan produksi immunoglobulin dan antibodi secara genetika dan hormonal lebih efisien memproduksi immunoglobulin dibanding anak laki-laki (Setiawati, 2011). Menurut Kan dan Rampengan (2004) anak laki-laki lebih rentan disebabkan karena anak laki-laki lebih sering pergi ketempat umum dibanding anak perempuan, sehingga kesempatan untuk terinfeksi oleh virus dengue menjadi lebih tinggi.


(3)

8

Berdasarkan tabel 2 hasil penelitian ini diperoleh kejadian DBD terbanyak ditemukan pada rentang usia 11-15 tahun dan pada kejadian SSD rentang usia terbanyak pada usia 6-10 tahun. Berdasarkan tabel 4.2 pada DBD terbanyak pada rentang usia 11-15 tahun sebanyak 13 orang (41,9%). Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Kan dan Rampengan (2004) yang menemukan bahwa anak berusia 5-9 tahun lebih sensitif terhadap infeksi virus dengue. Pada awal era DBD transmisi umumnya terjadi dirumah, tetapi pada saat ini transmisi beralih ke fasilitas publik seperti sekolah, tempat bermain anak-anak masjid, dan gereja. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Soegijanto (2012) menemukan 72% pasien yang dirawat dirumah sakit adalah anak sekolah dan hanya 28% yang memiliki usia dibawah 5 tahun.

Pada pasien SSD kejadian terbanyak pada rentang usia 6-10 tahun sebanyak 14 orang (45,2%). Penelitian ini sesuai dengan penelitian Kan dan Rampengan (2004) menunjukkan anak SSD terdapat pada usia 5-9 tahun sebanyak 24 orang (57%). Hal ini dapat dihubungkan dengan keterlambatan pengobatan penyakit DBD yang memiliki ciri khas demam seperti “pelana kuda” diawali demam tinggi dan hari keempat suhu turun yang terkadang diasumkan orang tua anak sudah sembuh. Sehingga pengobatan mungkin terabaikan dan anak masuk dalam kondisi fasi kritis serta syok (Setiawati, 2011).

Hal ini berhubungan dengan kemampuan dokter yang menangani serta mendiagnosis pasien DBD karena gejala awal DBD menyerupai demam pada penyakit lain seperti: flu, thypoid atau campak. Kesalahan atau keterlambatan dalam mendiagnosis dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan sehingga menyebabkan DBD menjadi syok (Setiawati, 2011). Pasien DBD yang tidak mengalami syok cenderung datang berobat lebih awal (Harisnal, 2012).

Hal ini dapat berhubungan dengan teori secondary heterolog infection bahwa penyakit akan muncul apabila jika seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kalinya dan kemudian mendapatkan infeksi kedua dengan virus serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan hingga 5 tahun (Saniathy et al.,


(4)

9

2009). Menurut Soegijanto (2012) jika seorang anak mendapatkan infeksi virus dengue dari salah satu serotipe maka akan terjadi kekebalan terhadap virus seumur hidup terhadap virus tersebut, tetapi jika mendapatkan infeksi sekunder oleh serotive virus yang berbeda akan memperparah terjadi risiko berat mengalami SSD.

Pada anak yang lebih muda endotel pembuluh darah kapiler lebih rentan terjadi pelepasan sitokin sehingga mudah terjadi peningkatan permeabilitas kapiler. Anak yang memiliki usia lebih muda memiliki fakor daya tahan tubuh yang belum sempurna jika dibandingkan pada orang dewasa sehingga anak berisiko terkena penyakit lebih besar termasuk infeksi dengue. Pada umumnya pasien yang menderita DBD dibawah 15 tahun, kejadian terbanyak pada kelompok usia dibawah 10 tahun, serta memiliki derajat keparahan yang tinggi. Semakin muda usia pasien semakin tinggi mortalitasnya (Raihan et al., 2010).

4. PENUTUP

Penelitian perbedaan angka kejadian Sindrom Syok Dengue (SSD) antara anak dengan gizi baik dan gizi lebih dapat diambil kesimpulan terdapat angka kejadian Sindrom Syok Dengue (SSD) pada anak dengan gizi lebih, lebih banyak daripada gizi baik dan nilai p kurang dari 0,05 menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna secara statistik (p=0,01) antara angka kejadian sindrom syok dengue antara anak dengan gizi baik dan gizi lebih.

Penelitian selanjutnya dapat menggunakan data primer dan jumlah sampel yang lebih banyak sehingga dapat menggambarkan dapat melakukan penghitungan antropometri secara langsung pada berat badan dan tinggi badan pasien dan selanjutnya penelitian dapat lebih valid. Serta meneliti berbagai faktor perancu yang dapat menyebabkan terjadinya syok.

PERSANTUNAN

Ucapan terima kasih penulis haturkan kepada direktur utama RSUD Dr. Moewardi yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian ini sehingga dapat berjalan dengan lancar dan baik. Kepada


(5)

10

Prof.DR.Dr.Bambang Subagyo, Sp.A.(K.), Dr. M. Shoim Dasuki, M.Kes, dan Dr. Mohammad Wildan, Sp.A yang telah membimbing, memberikan saran dan kritik dalam penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Depkes, 2012. Buku Profil Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. Semarang: Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah.

Harisnal, 2012. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Dengue Shock Syndrome Pada Pasien Demam Berdarah Dengue di RSUD Ulin dan RSUD Ansari Saleh Kota Banjarmaasin Tahun 2010-2012. Thesis. Depok: FKM UI.

Kalayanarooj, S. & Nimmannitya, S., 2005. Is Dengue Severity Related to Nutrition Status? Southesth Asian J Trop Med Public Health, 36, pp.378-84.

Kan, E.F. & Rampengan, T., 2004. Factor Associated with Shock in Children with Dengue Hemorrhagic fever. Paeditrica Indonesia, 44, pp.171-74.

KEMENKES, 2015. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.

Kosasih, H. et al., 2016. The Epidemiology, Virology and Clinical Findings of Dengue Virus Infections In a Cohort of Indonesian Adults in Western Java. PLOS Neglected Tropical Deseases, pp.1-18.

Maria, I., Ishak, H. & Selomo, M., 2013. Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue di Kota Makassar Tahun 2013. 1, pp.1-11.

Notoatmodjo, S., 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Peta, M.L., Zulmansyah & Hikmawati, D., 2015. Hubungan Status Gizi dan Sindrom Syok Dengue pada Anak di RSUD Subang. Prosiding Penelitian Sivitas Akademika Unisba (Kesehatan), pp.29-34.

Pichainarong, Mongkalangoon, Katayanarooj & Chaveepojnkamjorn, 2006. Relation Between Body Size and Saverity of Dengue Haemorrhagic Fever Among Children Aged 0-14 Years. Southlast Asian J Trop Med Public Health, p.283.

Raihan, Hadinegoro, S.R.S. & Tumbelaka, A.R., 2010. Faktor Prognosis Terjadinya Syok pada Demam Berdarah Dengue. Sari Pediatri, 12, pp.47-59.

Riskesdas, 2013. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia : Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. [Online] Jakarta: Departemen Kesehatan RI Available


(6)

11 at:

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%202 013.pdf [Accessed 6 Maret 2016].

Saniathy, E., BNP Arhana, I.S. & Sidiartha, I., 2009. Obesitas sebagai Faktor Risiko Sindrom Syok Dengue. Sari Pediatri, 11, pp.238-43.

Sapir, D.G. & Schimmer, B., 2005. Dengue Fever: New Paradigms for a Changing Epidemiology. BioMed Central, pp.1-10.

Setiati, T.E., Retnaningsih, A., Supriatna, M. & Soemantri, A., 2005. Skor Kebocoran Vaskuler sebagai Prediktor Awal Syok pada Demam Berdarah Dengue. Jurnal Kedokteran Brawijaya, XXI, pp.16-22.

Setiawati, S., 2011. Analisis Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Dengue Syok Sindrome (DSS) pada anak dengan demam berdarah dengue (DBD) Di RSUP Persahabatan dan RSUD Budhi Asih Jakarta. Thesis.

Soegijanto, S., 2012. Manifestasi Klinis Demam Berdarah Dengue. In Demam Berdarah Dengue. Surabaya: Airlangga University Press. pp.85-117. Soegijanto, S., 2012. Patofisiologi dan Perubahan Patofisiologi pada Infeksi Virus

Dengue. In Demam Berdarah Dengue. kedua ed. Surabaya: Airlangga University Press. pp.61-79.

Soegijanto, S., 2012. Tata Laksana Sindrom Syok Dengue Di Era Tahun 2005. In Demam Berdarah Dengue. Surabaya: Airlangga University Press. pp.169-200.

Soegijanto, S., Sustini, F. & Wirahjanto, A., 2012. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue. In Demam Berdarah Dengue. Surabaya: Airlangga University Press. pp.1-10.

UNICEF, WHO, World Bank Group, 2015. Levels and Trend in Child Malnutrition. UNICEF, WHO and World Bank Group.

WHO-TDR, 2009. Dengue Guideline for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New Edition ed. France: WHO Library Cataloguing-in-Publication Data.

Widoyono, 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, pencegahan & Pemberantasan. Jakarta: Erlangga.


Dokumen yang terkait

Hubungan Perilaku Konsumsi Makanan dengan Status Gizi PNS BAPPEDA Kabupaten Langkat Tahun 2015

2 60 126

Hubungan Status Gizi dengan Kejadian Premenstrual Syndrome (PMS) pada Remaja Puteri di SMP Negeri 3 Berastagi

12 85 66

Hubungan Tingkat Keaktifan ke Posyandu Dengan Status Gizi Batita di Posyandu Gelatik Kelurahan Tegal Rejo Kecamatan Medan Perjuangan Kotamadya Medan Tahun 2000

2 38 85

Status Gizi Bayi Ditinjau Dari Pemberian Asi Eksklusif, Pemberian MP-Asi Dan kelengkapan Imunisasi Di Kecamatan Medan Selayang Tahun 2008

1 43 77

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN ANTARA ANAK STATUS GIZI BAIK DAN STATUS GIZI KURANG DENGAN KEJADIAN DEMAM Perbedaan Angka Kejadian Antara Anak Status Gizi Baik dan Gizi Kurang dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di RSUD Kota Surakarta.

0 3 15

PERBEDAAN ANGKA KEJADIAN ANTARA ANAK STATUS GIZI BAIK DAN STATUS GIZI KURANG DENGAN KEJADIAN DEMAM Perbedaan Angka Kejadian Antara Anak Status Gizi Baik dan Gizi Kurang dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di RSUD Kota Surakarta.

0 2 14

PENDAHULUAN Perbedaan Angka Kejadian Antara Anak Status Gizi Baik dan Gizi Kurang dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di RSUD Kota Surakarta.

0 3 4

ANTARA ANAK DENGAN GIZI BAIK DAN GIZI LEBIH Perbedaan Angka Kejadian Sindrom Syok Dengue (SSD) Antara Anak Dengan Gizi Baik Dan Gizi Lebih.

0 8 14

PENDAHULUAN Perbedaan Angka Kejadian Sindrom Syok Dengue (SSD) Antara Anak Dengan Gizi Baik Dan Gizi Lebih.

0 7 4

PERBEDAAN KADAR FERITIN PADA ANAK DENGAN SINDROM SYOK DENGUE DIBANDINGKAN DEMAM DENGUE DAN DEMAM BERDARAH DENGUE - UNS Institutional Repository

0 0 11