ANALISIS TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KAWASAN BUDIDAYA PERTANIAN KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2016 Analisis Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya Pertanian Kabupaten Sleman Tahun 2016.

(1)

ANALISIS TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KAWASAN

BUDIDAYA PERTANIAN KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2016

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata I

pada Jurusan Geografi Fakultas Geografi

Oleh:

DESSY IKA WIJAYANTI E100160007

PROGRAM STUDI GEOGRAFI

FAKULTAS GEOGRAFI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2017


(2)

(3)

(4)

(5)

ANALISIS TINGKAT KEKRITISAN LAHAN KAWASAN BUDIDAYA PERTANIAN KABUPATEN SLEMAN TAHUN 2016

Abstrak

Penelitian ini mengenai analisis tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian di Kabupaten Sleman. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui agihan tingkat kekritisan lahan yang ada pada lahan kritis lahan kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman serta mengetahui alternatif pengelolaam yang tepat diterapkan . Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Penelitian ini menggunakan metode analisis Sistem Informasi Geografis dengan pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang dan analisis deskiptif. Pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang digunakan untuk mengolah parameter tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian sehingga tingkat kekritisan lahan dapat ditentukan. Parameter yang digunakan dalam pennetuan tingkat kekritisan lahan antara lain, manajemen lahan, produktivitas pertanian, kemiringan lereng, tingkat erosi, dan agihan batuan. Analisis deskriptif digunakan untuk mengetahui alternative pengelolaan lahan kritis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman terdiri dari lahan tidak kritis dengan luas 671,88 Ha (20,82%), potensial kritis 19.250,85 Ha (64,88%), agak kritis 3.490,85 Ha (11.76%), kritis 687.02 Ha (2.32%), dan sangat kritis 65.32 Ha (0.22%). (2) Alternatif pengelolaan lahan kawasan budidaya pertanian dilakukan berdasarkan tingkat kekeritisan. Untuk lahan tidak kritis diperlukan upaya untuk mempertahankan lahan tersebut, salah satunya dengan membuat batasan lahan LP2B. Lahan potensial kritis memerlukan konservasi tanah agar lahan tersebut menjadi lebih produktif dan tidak menjadi lahan kritis. Lahan yang telah mengalami kekritisan membutuhkan konservasi dan rehabilitasi agar lahan tersebut dapat dipergunakan kembali.

Kata Kunci: Lahan, Kekritisan Lahan, Kawasan Budidaya Pertanian, Sistem Informasi Geografis.

Abstracts

This study analyzes the degree of criticality of the land on the farm area in Sleman district. The purpose of this study was to determine the critical level Shareable existing land on degraded land farm area of Sleman Regency as well as knowing the right alternative applied land management. The method used in this study is a survey method. This study uses Geographic Information System analysis with weighted tiered quantitative approach and analysis descriptively. The weighted tiered quantitative approach used to process parameters critical level of agricultural land cultivated area so that land can be determined critical level. Parameters used in pennetuan critical level land, among others, land management, agricultural productivity, slope, erosion, and Shareable rocks. Descriptive analysis is used to determine the critical alternative land management. The results showed that: (1) The level of criticality land farm ar ea consists of Sleman district not critical land with an area of 671.88 ha (20.82%), the critical potential 19250.85 ha (64.88%), somewhat critically 3490 , 85 ha (11.76%), the critical 687.02 Ha (2:32%), and very critical 65.32 Ha (12:22%). (2) Alternative land management farm area is based on the level of criticality. To land not critical efforts are needed to maintain the land, one with a boundary LP2B land. Critical potential land requires soil conservation in order to become more productive land and not be


(6)

degraded lands. Land that has experienced the critical need of conservation and rehabilitation so that the land can be used again.

Keywords: Land, Land Criticality, Region Agriculture, Geographic Information Systems.

1. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Ketergantungan manusia terhadap lahan sangat tinggi. FAO dalam Arsyad (1989) mengemukakan bahwa lahan diartikan sebagai lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan, termasuk di dalamnya hasil kegiatan manusia di masa lalu dan sekarang seperti hasil reklamasi laut, pembersihan vegetasi, dan juga hasil merugikan seperti yang tersalinasi. Kabupaten Sleman mempunyai wilayah yang cukup subur dan mempunyai sumberdaya air yang mecukupi akibat pengaruh keberadaan Gunung Merapi. Lahan di Kabuapten Sleman berorientasi pada aktivitas Gunung Merapi dan ekosistemnya sehingga banyak terdapat pertanian lahan basah maupun lahan kering. Hal tersebut membuat Kabupaten Sleman mempunyai luasan lahan sawah terbanyak diantara daerah lain di Provinsi DIY sehingga mempunyai kawasan budidaya pertanian paling luas.

Pertambahan jumlah penduduk di Kabupaten Sleman dari tahun ke tahun menyebabkan kebutuhan sarana dan prasarana semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk berbanding lurus dengan meningkatnya kebutuhan akan lahan peruntukan permukiman bagi tempat tinggal manusia, industri, maupun lahan pertanian pangan sebagai sarana pemenuhan kebutuhan pangan manusia. Perubahan penggunaan lahan terjadi dari waktu ke waktu akibat kebutuhan lahan yang semakin meningkat. Perubahan penggunaan lahan untuk kepentingan manusia tidak jarang melalaikan karakteristik atau kemampuan dari lahan tersebut. Penggunaan lahan yang mengabaikan faktor fisik lahan tanpa melihat kemampuan lahan dan kesesuaian lahan dapat mendorong timbulnya lahan kritis. Perubahan penggunaan lahan yang sering terjadi yaitu konversi lahan sawah menjadi permukiman maupun kawasan perdagangan. Perubahan tersebut mempengaruhi luasan lahan sawah di Sleman yang semakin tahun menurun.

Menurut Poerwowidodo (1990), lahan kritis dapat menyebabkan produktivitas suatu lahan menjadi rendah karena keadaan lahan terbuka akibat adanya erosi seperti yang dikemukakan

bahwa : “Lahan kritis adalah suatu keadaan lahan yang terbuka atau tertutupi semak belukar,


(7)

akibat tererosi berat dan produktivitas rendah”. Lahan kritis merupakan tanah yang sudah tidak produktif ditinjau dari segi pertanian, karena pengelolaan dan penggunaan yang kurang memperhatinkan syarat-syarat pengolahan tanah maupun kaidah konversi tanah. Kerusakan lahan dapat berupa kerusakan fisik, kimia, maupun biologi yang dapat mengakibatkan terancamnya fungsi produksi. Luasan lahan kritis yang ada di Sleman semakin meluas dari tahun ke tahun. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis melakukan penelitian dengan judul Analisis Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya Pertanian Kabupaten Sleman Tahun 2016.

1.2Tujuan Penelitian

Berdasarkan dari latar belakang permasalahan yang telah dirumuskan di atas maka penelitian ini diharapkan mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana agihan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman?

2. Bagaimana alternatif pengelolaan lahan yang diterapkan di area lahan kritis kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman?

1.3Telaah Pustaka 1.3.1 Lahan

Lahan menjadi satu hal yang tidak lepas dari kehidupan manusia. Manusia membutuhkan lahan untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Penggunaan lahan menujukkan adanya campur tangan manusia terhadap lahan. Lahan akan mempengaruhi penggunaan lahan manusia. FAO dalam Sitorus (2004) mengemukakan bahwa lahan adalah suatu daerah di permukaan bumi dengan dengan sifat-sifat tertentu yang meliputi biosfer, atmosfer, tanah, lapisan geologi, hidrologi, populasi tanaman dan hewan serta hasil kegiatan manusia masa lalu dan sekarang, sampai pada tingkat tertentu dengan sifat-sifat tersebut mempunyai pengaruh yang berarti terhadap fungsi lahan oleh manusia pada masa sekarang dan masa yang akan datang.

1.3.2 Lahan Kritis

Penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan kemampuan lahannya dan tanpa adanya pengelolaan tanaman yang kurang tepat akan mengakibatkan berkurangnya kemampuan lahan tersebut dalam memproduksi hasil pertanian dan dan mendorong timbulnya lahan kritis. Kuswanto dalam Hanafiah (2005) menjelaskan; “Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisik, kimia, atau biologi yang akhirnya dapat membahayakan fungsi hidrologi, orologi, produksi pertanian, permukiman, dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungan pengaruhnya”.


(8)

1.3.3 Kawasan Budidaya Pertanian

Kawasan mengandung penekanan fungsional suatu unit wilayah, yakni adanya karakteristik hubungan dari fungsi-fungsi dan komponen-komponen di dalam suatu unit wilayah, sehingga batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional. Menurut Undang-undang nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang, kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya.

Kawasan budidaya yang telah ditetapkan dalam RTRW Kabupaten/Kota harus dikelola dalam rangka optimalisasi implementasi rencana. Di dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 disebutkan bahwa yang termasuk dalam kawasan budidaya adalah kawasan peruntukan hutan produksi, kawasan peruntukan hutan rakyat, kawasan peruntukan pertanian, kawasan peruntukan perikanan, kawasan peruntukan pertambangan, kawasan peruntukan permukiman, kawasan peruntukan industri, kawasan peruntukan pariwisata, kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, dan kawasan pertahanan keamanan. Salah satu peruntukan kawasan adalah pertanian. Pertanian dalam arti lain atau dalam arti yang sempit merupakan segala aspek biofisik yang berkaitan dengan usaha penyempurnaan budidaya tanaman untuk memperoleh produksi fisik yang maksimum (Sumantri, 1980). Dari beberapa pengertian di atas dapat diketahui bahwa kawasan budidaya pertanian merupakan kawasan yang mempunyai fungsi untuk budidaya atau usaha peruntukan pertanian tanaman pangan maupun peruntukan tanaman pertanian holtikultura.

1.3.4 Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografi (SIG) menawarkan banyak manfaat bagi sistem pengolah citra, tidak hanya dalam tampilan kartografis ataupun dalam memanfaatkan keluaran produk pengolah citra sebagai masukan dalam memanfaatkan keluaran produk pengolah citra sebagai masukan dalam proses analisis lebih lanjut, melainkan juga dalam membantu meningkatkan kinerja proses klasifikasi (Danoedoro, 2012). Pada SIG, data harus dirujukkan dengan kejadian yang akan memberikan perbaikan, analisis dan tayangan pada kriteria spasial (Tomlison, 1972). SIG paling tidak terdiri dari subsistem pemrosesan, subsistem analisis, dan subsitem yang memakai informasi (Lo, C.P., 1996).

2. METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan metode survei dan metode analisis data sekunder. Metode survei dilakukan untuk mengetahui parameter kemiringan lereng dan manajemen lahan yang merupakan parameter tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya


(9)

pertanian. Metode analisis data sekunder berupa pengumpulan data sekunder yang kemudian diolah dan dianalisis, sehingga menghasilkan parameter tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian seperti produktivitas pertanian, tingkat erosi, serta batuan. Metode analisis dalam penelitian ini terdiri atas metode analisis SIG dengan pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang dan analisis deskriptif. Analisis SIG berfungsi untuk mengetahui agihan kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian parameter/ indikator kekritisan lahan yang digunakan, sedangkan analisis deskriptif digunakan untuk mentukan alternatif pengelolaan lahan kritis.

2.1Objek Penelitian

Objek penelitian analisis tingkat keketitisan lahan kawasan budidaya pertanian adalah lahan yang termasuk dalam kawasan peruntukan budidaya pertanian menurut Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Sleman. Unit analisis dari penelitian ini adalah satuan lahan pada lahan peruntukan budidaya pertanian.

2.2Teknik Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan sampel untuk analisis kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian menggunakan metode purposive sampling. Pengambilan sampel dilakukan pada satuan lahan. Satuan lahan terdiri dari data kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan jenis tanah. Pengambilan sampel pada satuan lahan bertujuan untuk melakukan validasi dari data primer hasil pengolahan menggunakan data penginderaan jauh. Titik sampel dibuat menyebar berdasarkan permasalahan dalam penelitian untuk mengetahui tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian, serta ditentukan juga berdasarkan kemampuan peneliti. Pemilihan titik sampel dilakukan berdasarkan satuan lahan yang dapat mewakili anggota populasi atas dasar karaketer strata. Koreksi dilakukan pada titik sampel hasil survei yang tidak sesuai dengan peta.

2.3Metode Pengolahan Data 2.3.1 Pengolahan Data Parameter A. Manajemen Lahan

Penilaian parameter manajemen lahan untuk tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian berdasarkan ada tidaknya penerapan konservasi tanah dan pemeliharaan. Klasifikasi penilaian manajemen lahan terbagi menjadi tiga kategori, yaitu baik, sedang, dan buruk. Manajemen lahan mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam penentuan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian sehingga mempunyai bobot 30. Kelas manajemen lahan baik mempunyai harkat 5, kelas sedang 4, sedangkan kelas buruk mendapatkan harkat 3. Peta


(10)

manajemen lahan diturunkan dari peta penggunaan lahan yang diperoleh dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh yang sudah tervalidasi melalui cek lapangan.

B. Produktivitas Pertanian

Parameter produktivitas pertanian mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan tingkat kekritisan lahan. Sama halnya dengan manajemen lahan, produktivitas pertanian juga mempunyai bobot 30. Klasifikasi penilaian produktivitas pertanian terbagi menjadi lima kelas, yaitu sangat rendah, rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Produktivitas pertanian sangat dipengaruhi luas dan banyaknya hasil panen.

C. Kemiringan Lereng

Kemiringan lereng mempunyai bobot 20 dalam penenentuan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian. Data kemiringan lereng diperoleh dari pengolahan data SRTM melalui software ArcGIS. Data hasil pengolahan tersebut digunakan sebagai acuan titik sampel survei.

D. Tingkat Erosi

Tingkat erosi mempunyai bobot 15 dalam penenentuan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian. Data tingkat erosi yang digunakan dalam penelitian analisis kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian Kabupeten Sleman adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sleman.

E. Agihan Batuan

Data spasial agihan batuan yang digunakan dalam penelitian analisis tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian tahun 2016 merupakan data sekunder dari Badan Perencanaan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Sleman. Agihan batuan sedikit berarti terdapat 10% batuan yang terlihat atau berada di permukaan tanah, sedang 10-30%, lalu banyak >30%. Parameter agihan batuan mempunyai bobot 5 dalam penentuan tingkat kekritisan lahan di kawasan budidaya pertanian.

Tabel 1 Skor Parameter Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya Pertanian

No Kriteria (% Bobot) Kelas Harkat

1 Manajemen Lahan (30)

Baik 5

Sedang 3

Buruk 1

2 Produktivitas Pertanian (30)

Sangat Tinggi 5

Tinggi 4

Sedang 3

Rendah 2


(11)

Skor = (30*HM) + (30*HP) + (20*HKL) + (15*HE) + (5*HA) 2.3.2 Analisis Spasial

Salah satu fasilitas yang ada pada software ArcGIS 10.1 adalah analisis spasial. Analisis spasial yang digunakan untuk pemetaan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian yaitu dengan menggunakan fasilitas Overlay. Kelima peta yang menjadi parameter kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian ditumpang susunkan menjadi satu dengan fasilitas

Intersect pada software ArcGIS. Informasi attribute table hasil Intersect akan menghasilkan informasi attribute table gabungan dari Peta Manajemen Lahan, Peta Produktivitas Pertanian, Peta Kemiringan Lereng, Peta Tingkat Erosi, dan Peta Agihan Batuan.

2.3.3 Analisis Pemodelan Spasial

Analisis pemodelan spasial melalui metode kuantitatif yaitu dengan menghitung skor kekritisan lahan terhadap peta hasil overlay. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks ketahanan pangan, yaitu sebagai berikut:

Keterangan:

HM : Harkat Manajemen Lahan HP : Harkat Produktivitas Pertanian HKL : Harkat Kemiringan Lereng HE : Harkat Erosi

HA : Harkat Agihan Batuan

Hasil perhitungan skor kekritisan lahan, selanjutnya dikelaskan menjadi lima kelas dengan mengunakan klasifikasi menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor.

P.32/Menhut-3 Kemiringan Lereng (20)

0-8% 5

8-15% 4

15-25% 3

25-40% 2

>40% 1

4 Tingkat Erosi (15)

Ringan 5

Sedang 4

Berat 3

Sangat Berat 2

5 Agihan Batuan (5)

<10% 5

10-30% 3

>30% 1


(12)

II/2009 tentang petunjuk teknis penyusunan data spasial lahan kritis. Range kelas, kategori dan tingkat ketahanan pangan dapat dijabarkan pada tabel 1.2 berikut ini.

Tabel 2 Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya Pertanian

No Tingkat Kekritisan Lahan

Besaran Nilai

1 Sangat Kritis 115-200

2 Kritis 201-275

3 Agak Kritis 276-350

4 Potensi Kritis 351-425

5 Tidak Kritis 426-500

2.4Metode Analisis Data

Analisis data untuk penelitian tingkat kektitisan lahan kawasan budidaya pertanian dilakukan dengan menggunakan metode analisis SIG. Metode analisis SIG yang digunakan adalah metode pendekatan kuantitatif berjenjang tertimbang dengan melakukan overlay atau tumpang susun parameter-parameter kekritisan lahan. Tumpang susun atau overlay merupakan suatu data grafis adalah menggabungkan antara dua atau lebih data grafis untuk dapat diperoleh data grafis baru yang mempunyai satuan pemetaan (unit pemetaan) gabungan dari beberapa data grafis tersebut.

3. HASILDANPEMBAHASAN

3.1 Agihan Tingkat Kekritisan Lahan Kawasan Budidaya Pertanian Kabupaten Sleman Lahan kritis merupakan lahan yang telah mengalami kerusakan sehingga berkurang fungsinya. Penentuan tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian dipengaruhi oleh manajemen lahan, produktivitas pertanian, kemiringan lereng, erosi, dan agihan batuan. Tingkat kekritisan lahan pada kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman mempunyai lima kelas, yaitu sangat kritis, kritis, agak kritis, potensial kritis, dan tidak kritis. Lahan pada kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman dengan kategori sangat kritis mempunyai luas 65.32 Ha. Lahan kategori sangat kritis di kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman hanya 0,22%. Lahan tersebut berada di wilayah Kecamatan Prambanan dan Pakem. Lahan kategori kritis mempunyai luas 687,02 Ha (2,23%). Lahan pada kategori agak kritis berada pada wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan, Cangkringan,


(13)

Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan. Lahan dengan kategori agak kritis mempunyai luas 3.490 Ha (11,76%). Lahan tersebut ada pada wilayah Pakem, Prambanan, Kalasan, Minggir, Seyegan, Gamping, Moyudan, dan Kalasan. Lahan dengan kategori potensial kritis mempunyai luas 19.250,85 Ha (64,88%). Lahan kategori potensial kritis berada pada sebagian besar wilayah kawasan budidaya pertanian yang meliputi Kecamatan Tempel, Turi, Cangkringan, Minggir, Seyegan, Sleman, Mlati, Gamping, Berbah, Prambanan, Kalasan, dan Cangkringan. Lahan kateogri tidak kritis mempunyai luas 6.178,88 Ha (20,82%). Lahan tidak kritis berada pada wilayah Kecamatan Ngaglik, Ngemplak, Moyudan, dan Godean.

Kelas lahan tidak kritis terdapat pada lahan yang didominasi lereng 0%-8% (datar), serta penggunaan lahan didominasi oleh penggunaan lahan pertanian, seperti sawah, ladang, dan perkebunan campuran. Kemiringan lereng 0%-8% (datar) mempunyai tingak erosi ringan, karena area yang

dimiliki cenderung datar sehingga energi angkut air rendah sehingga proses terangkutnya bagian-bagian tanah sangat kecil terjadi. Kemiringan lereng yang datar juga mempengaruhi agihan batuan karena lereng data cenderung mempunyai agihan batuna yang lebih sedikit daripada lereng curam. Kondisi erosi dan agihan batuan yang sedemikian rupa membuat lahan berlereng datar cocok untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.

Lahan yang termasuk dalam potensial kritis mempunyai kemiringan lereng 0-8%, 8-15%, dan 15-25%. Lahan potensial kritis dengan lereng 0-8% didominasi oleh penggunaan lahan bukan pertanian seperti permukiman, semak dan belukar, serta lahan terbuka, akan tetapi terdapat lahan pertanian seperti kebun campuran, sawah, dan ladang dengan lereng 0-8% pada kelas potensial kritis. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena produktivitas pada wilayah tersebut kurang optimal akibat pengaruh penggunaan lahan lain di sekitarnya. Lahan pertanian dengan kelas potensial kritis juga terdapat pada kemirinngan lereng 8-15% dan 15-25%. Penggunaan lahan jenis pertanian seperti sawah, ladang, dan perkebunan campuran, dan


(14)

perkebunan kurang optimal pada lereng tersebut karena tingkat erosi pada lereng tersebut sudah mulai bertambah.

Lahan kelas agak kritis didominasi dengan lahan yang mempunyai kemiringan lereng 15-25% dan 25-40%. Penggunaan lahan bersifat pertanian pada kelas kemiringan lereng tersebut akan menghasilkan hasil produksi yang kurang optimal. Lahan pada kemiringan lereng 15-25% dan 25-40% mempunyai lereng yang agak curam – curam sehingga erosi permukaan mulai sampai dengan erosi alur yang tergolong erosi berat mulai terjadi. Adanya erosi tersebut menganggu kesuburan tanah karena bagian-bagian tanah akan terkikis. Lahan pada lereng 15-25% dan 25-40% juga cenderung mempunyai agihan batuan dengan kelas sedang mengingat semakin tinggi lereng maka semakin banyak agihan batuan. Lahan pada kategori agak kritis berada pada wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan, Cangkringan, Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan.

Lahan kategori kritis kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman didominasi dengan lahan yang mempunyai kemiringan lereng 25-40% dan >40%, penggunaan lahan berupa semak belukar dan permukiman, serta jenis tanah regosol. Kondisi lereng curam memberikan daya erosivitas pada hujan yang semakin besar sehingga berbagai material kesuburan tanah akan terpengaruh dengan dengan pelepasan yang terjadi di permukaan. Lereng yang curam mempunyai tingkat erosi yang tinggi. Penggunaan lahan semak belukar dan permukiman menandai lahan tersebut kurang produktif. Penggunaan lahan juga dapat mempengaruhi erosi. Penggunaan lahan yang mengadung vegetasi dapat menghambat aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi sehingga proses erosi dapat terkurangi. Penggunaan lahan seperti semak belukar dan permukiman tidak dapat mengurangi proses erosi. Tanah regosol merupakan tanah yang muda sehingga kandungan bahan organik pada tanah tersebut sedikit dan kurang subur. Lahan kritis berada pada wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan, Cangkringan, Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan.

Lahan yang mendominasi pada kelas sangat kritis mempunyai kemiringan lereng > 40%, penggunaan lahan non pertanian seperti permukiman,semak belukar, dan lahan terbuka, serta tanah latosol dan regosol. Lereng dengan kemiringan sangat curam mempunyai erosi yang sangat berat yang akan berpengaruh terhadap produktivitas pertanian. Penggunaan lahan dengan cover vegetasi rendah seperti permukiman, semak belukar, dan lahan terbuka merupakan penggunaan lahan yang kurang dapat menghalangi proses erosi, sehingga erosi berjalan terus-menerus. Lahan sangat kritis terdapat pada wilayah Kecamatan Pakem dan Prambanan. Wilayah Pakem mempunyai jenis tanah regosol sedangkan wilayah Prambanan didominasi oleh jenis tanah latosol. Tanah regosol mempunyai kandungan bahan organik yang


(15)

sedikit karena merupakan tanah muda yang terdapat pada horizon A marginal sehingga tanah kurang subur. Jenis tanah latosol yang mendominasi wilayah Prambanan mempunyai kandungan lempung yang tinggi sehingga kemampuan menyerap air mudah, akan tetapi susah untuk meloloskan air sehingga jenis tanah tersebut agak peka terhadap erosi.

Tabel 3 Luas Agihan Kekritisan Lahan

No Kelas Kekritisan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Sangat Kritis 65,32 0,22

2 Kritis 687,02 2,32

3 Agak Kritis 3490,03 11,76

4 Potensial Kritis 19.250,85 64,88 5 Tidak Kritis 6.178,88 20,82

Jumlah 29.672,11 100

3.2 Alternatif Pengelolaan Lahan yang Diterapkan di Area Lahan Kritis Budidaya Pertanian Kabupaten Sleman

Tingkat kekritisan lahan pada kawasanbudidaya pertanian Kabupaten Sleman mempunyai lima kelas, yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Secara garis besar lahan di pada kawasanbudidaya pertanian Kabupaten Sleman terbagi menjadi dua, yaitu lahan yang belum mengalami kekritisan yang terdiri dari lahan tidak kritis dan potensial kritis serta lahan yang telah mengalami kekritisan yang terdiri lahan agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Lahan yang belum mengalami kekritisan dengan lahan yang sudah mengalami kekritisan memerlukan cara pengelolaan yang berbeda.

Lahan dengan kelas tidak kritis terdapat pada lahan dengan kemiringan lereng yang datar, jenis penggunaan lahan pertanian, serta dominasi jenis tanah kambisol yang terdapat pada sekitar wilayah Godean. Lahan tersebut mempuyai produktivitas tinggi karena lahan pertanian dalam kondisi baik sehingga menghasilkan hasil produksi optimal. Lahan seperti ini perlu dilindungi agar terhindar dari konversi lahan mengingat kebutuhan lahan semakin meningkat seiring berjalannya waktu terutama konversi dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Perlindungan terhadap lahan tidak kritis untuk pertanian tersebut perlu melibatkan pihak pemerintah dan warga. Pemerintah perlu membuat dan menetapkan regulasi mengenai LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan). Lahan yang masuk dalam zona LP2B tidak


(16)

boleh mengalami konversi lahan dan harus menerapkan konservasi lahan sesuai anjuran pemerintah.

Lahan dengan kelas potensial merupakan kelas lahan yang mendominasi dengan persentase 64,88%. Lahan potensial kritis belum mengalami kekritisan akan tetapi lahan tersebut menunjukkan indikasi kekritisan lahan, sehingga apabila penggunaan lahan kurang memperhatikan kelestariannya maka lahan tersebut akan menjadi lahan kritis. Lahan potensial kritis tidak dapat dipandang sebelah mata karena luas lahan potensial kritis lebih besar daripada luas lahan tidak kritis, sehingga jika tidak dilakukan konservasi akan membuat lahan kritis meluas. Lahan potensial kritis pada kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman didominasi oleh lahan dengan kemiringan landai dan agak curam serta penggunaan lahan pertanian seperti sawah, ladang, perkebunan campuran, serta perkebunan. Lahan tersebut cenderung kurang produktif karena terletak pada lereng yang kurang sesuai untuk penggunaan lahan pertanian. Erosi dengan tingkat sedang mulai terjadi pada lahan kelas potensial kritis ini. Konservasi tanah perlu dilakukan pada lahan tersebut. Konservasi tanah yang harus dilakukan yaitu memperlambat aliran permukaan, melakukan pergiliran penanaman, serta mulsa. Proses memperlambat aliran permukaan dengan melakukan perbaikan drainase dan irigasi. Pergiliran tanaman bertujuan untuk menjaga tanah agar tetap terdapat vegetasi. Vegetasi pada tanah mempunyai fungsi untuk melindungi tanah terhadap daya perusak aliran alir di atas permukaan dan memperbaiki penyerapan air oleh tanaman. Mulsa dilakukan agar kesuburan tanah yang mulai hilang akibat terjadinya erosi tetap terjaga.

Lahan yang telah mengalami kekritisan pada kawasan budidaya pertanian di Kabupaten Sleman termasuk dalam kelas agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Lahan kelas agak kritis, kritis, dan sangat kritis mempunyai lereng curam sampai dengan sangat curam. Penggunaan lahan pada wilayah lahan kritis berupa penggunaan lahan non pertanian seperti semak dan belukar, permukiman, serta lahan terbuka. Lahan kritis merupakan lahan yang mengalami kerusakan akibat bagian-bagian tanahnya terkena erosi sehingga mempunyai produktivitas yang cenderung rendah. Lahan yang tergolong kritis terebut memerlukan konservasi maupun rehabilitasi agar dapat memperbaiki kerusakan yang terjadi. Konservasi lahan pada kawasan kritis dapat dilakukan dengan menampung dan menyalurkan aliran permukaan mengingat lahan pada kemiringan lereng curam mempunyai tingkat erosi berat. Pembuatan dam dapat menampung aliran permukaan serta perbaikan saluran drainase akan membuat aliran permukaan mengalir pada saluran tersebut sehingga akan mengurangi timbulnya erosi. Adanya penampung air juga membuat penyediaan air bagi tanaman aman ketika musim kemarau. Mulsa pada lahan kritis bertujuan untuk memperbaiki kesuburan tanah yang hilang


(17)

akibat erosi yang berat. Rehabilitasi lahan kritis dilkukan dengan cara reboisasi. Reboisasi dilakukan pada penggunaan lahan kurang produktif seperti lahan terbuka serta semak dan belukar. Lahan terbuka dapat ditanami dengan tanaman seperti tanaman bambu sedangkan wilayah pada penggunaan lahan semak dan belukar dapat ditanami tanaman dengan akar yang kuat seperti pohon sengon dan jati.

4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Pembuatan peta agihan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman didapatkan tingkat kekritisan yang terdiri dari lima kelas, yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis.

a) Lahan dengan kelas tidak ktitis mempunyai luas 671,88 Ha atau 20,82% dari luas keseluruhan, lahan tidak kritis sebagian besar berada pada lahan dengan kemiringan lereng datar yang berada pada wilayah Kecamatan Ngaglik, Ngemplak, Moyudan, dan Godean.

b) Kelas potensial kritis mendominasi dengan luas 671,88 Ha atau 64,88% dari total luas keseluruhan, yang meliputi Kecamatan Tempel, Turi, Cangkringan, Minggir, Seyegan, Sleman, Mlati, Gamping, Berbah, Prambanan, Kalasan, dan Cangkringan.

c) Kelas lahan agak kritis 3.490,85 Ha atau seluas 11,76%, meliputi wilayah Pakem, Prambanan, Kalasan, Minggir, Seyegan, Gamping, Moyudan, dan Kalasan.

d) Kelas lahan kritis 687,02 Ha atau 2,32% berada pada kemiringan lereng yan curam yang meliputi sebagian kecil wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan, Cangkringan, Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan.

e) Lahan sangat kritis 65,32 Ha atau mencakup 0,22% dari luas keseluruhan, dan berada pada di wilayah Kecamatan Prambanan dan Pakem.

2. Alternatif pengelolaan lahan kawasan budidaya pertanian dilakukan berdasarkan tingkat kekeritisan. Untuk lahan tidak kritis diperlukan upaya untuk mempertahankan lahan tersebut, salah satunya dengan membuat batasan lahan LP2B. Lahan potensial kritis memerlukan konservasi tanah agar lahan tersebut menjadi lebih produktif dan tidak menjadi lahan kritis. Lahan yang telah mengalami kekritisan membutuhkan konservasi dan rehabilitasi agar lahan tersebut dapat dipergunakan kembali.


(18)

4.2 Saran

1. Survei lapangan dilakukan pada saat bukan musim penghujan sehingga lahan kritis yang ada pada lahan dengan penggunaan lahan semak belukar lebih terlihat.

2. Data citra penginderaan jauh yang digunakan sebaiknya citra yang tidak mempunyai tutupan awan sehingga interpretasi lebih teliti.

PERSANTUNAN

Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penelitian ini baik dalam penyediaan data maupun pengerjaan data terutama untuk :

1) Program Studi Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) sebagai instansi yang telah menaungi penelitian ini, dan memberikan izin penelitian.

2) BAPPEDA Kabupaten Sleman

DAFTAR PUSTAKA

Arsad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Yogyakarta: UGM Press.

Badan Lingkungan Hidup. 2011. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.

Badan Lingkungan Hidup. 2012. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.

Badan Lingkungan Hidup. 2013. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.

Badan Lingkungan Hidup. 2014. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.

Badan Lingkungan Hidup. 2015. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.

Danoedoro, Projo. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: CV. Andi Offset.

Darmawijaya, Isa.1980. Klasifikasi Tanah Dasar Penelitian Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia. Bandung: IPB.

Departemen Kehutanan, 2004. Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta.

Dulbahri. 1986. Penggunaan Teknik Penginderaan Jauh Dalam Identifikasi dan Inventarisasi Lahan Kritis. Yogyakarta: Fakultas Geografi - Universitas Gadjah Mada.

Elachi, C., Jakob van Zyl. 2006. Introduction to the Physics and Techniques of Remote Sensing. New Jersey: John Wiley & Sons Inc.

FAO. 1979. Assesing Soil Degradation. FAO Soil Bull. No. 34.

FAO-UN (Food and Agriculture Organization). 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin 32. FAO, Rome.

Hall, F. G., Strebel, D. E., Nickeson, J. E., & Geoets, S. J. (1991). Radiometric Rectification: Toward A Common Radiometric Response Among Multidate, Multisensor Images.


(19)

Hanafiah, Kemas Ali. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo. Hardjowigeno, Sarwono. 1995. Imu Tanah. Jakarta: Akademika Presindo. Hudson, Norman. 1973. Soil Conservation. London: B.T. Batsford Ttd.

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.778 /Menhutbun-V/1998. Reboisasi dan Lahan Kritis. Jakarta: Kementerian Kehutanan

Lo, CP. 1996. Penginderaan JauhTerapan. Jakarta: UI Press.

Mosher, A.T. 1966. Getting Agriculture Moving. New York: The Agricultural Development Council Inc.

Nurcahyo, Sidik. 2008. Analisis Lahan Kritis Di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali.

Skripsi. Surakarta: Program Studi Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.32/Menhut-II/2009. Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta: Kementrian Kehutanan.

Poerwowidodo. 1990. Telaah Kesuburan Tanah. Bamdung: Angkasa.

Prasetya, Rahmadi Nur dan Totok Gunawan. (2012). Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Lahan Kritis di Daerah Kokap dan Pengasih Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Geografi Indonesia, 79, 281–290.

Rahmatika, Rosita. 2014. Analisis Spasial Agihan Lahan Kritis Di Kabupaten Sragen Provinsi Jawa TengahSkripsi. Surakarta: Program Studi Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Rayes, M. Luthfi. (2007). Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Yogyakarta: Andi. Sumantri.1980. Pengantar Agronomi. Jakarta: PT. Gramedia.

Taryono. 1997. Erosi dan Konservasi Tanah. Diktat Kuliah. Surakarta: UMS.

Tomlinson, R.F. (ed). 1972. Geographical Data Handling. Ottawa: I.G.U. Commission on Geographical Data Sensing and Processing.

Wati, Fitri Anggoro. 2015. Kajian Lahan Kritis Di Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Yogyakarta.


(1)

perkebunan kurang optimal pada lereng tersebut karena tingkat erosi pada lereng tersebut sudah mulai bertambah.

Lahan kelas agak kritis didominasi dengan lahan yang mempunyai kemiringan lereng 15-25% dan 25-40%. Penggunaan lahan bersifat pertanian pada kelas kemiringan lereng tersebut akan menghasilkan hasil produksi yang kurang optimal. Lahan pada kemiringan lereng 15-25% dan 25-40% mempunyai lereng yang agak curam – curam sehingga erosi permukaan mulai sampai dengan erosi alur yang tergolong erosi berat mulai terjadi. Adanya erosi tersebut menganggu kesuburan tanah karena bagian-bagian tanah akan terkikis. Lahan pada lereng 15-25% dan 25-40% juga cenderung mempunyai agihan batuan dengan kelas sedang mengingat semakin tinggi lereng maka semakin banyak agihan batuan. Lahan pada kategori agak kritis berada pada wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan, Cangkringan, Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan.

Lahan kategori kritis kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman didominasi dengan lahan yang mempunyai kemiringan lereng 25-40% dan >40%, penggunaan lahan berupa semak belukar dan permukiman, serta jenis tanah regosol. Kondisi lereng curam memberikan daya erosivitas pada hujan yang semakin besar sehingga berbagai material kesuburan tanah akan terpengaruh dengan dengan pelepasan yang terjadi di permukaan. Lereng yang curam mempunyai tingkat erosi yang tinggi. Penggunaan lahan semak belukar dan permukiman menandai lahan tersebut kurang produktif. Penggunaan lahan juga dapat mempengaruhi erosi. Penggunaan lahan yang mengadung vegetasi dapat menghambat aliran permukaan dan memperbesar infiltrasi sehingga proses erosi dapat terkurangi. Penggunaan lahan seperti semak belukar dan permukiman tidak dapat mengurangi proses erosi. Tanah regosol merupakan tanah yang muda sehingga kandungan bahan organik pada tanah tersebut sedikit dan kurang subur. Lahan kritis berada pada wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan, Cangkringan, Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan.

Lahan yang mendominasi pada kelas sangat kritis mempunyai kemiringan lereng > 40%, penggunaan lahan non pertanian seperti permukiman,semak belukar, dan lahan terbuka, serta tanah latosol dan regosol. Lereng dengan kemiringan sangat curam mempunyai erosi yang sangat berat yang akan berpengaruh terhadap produktivitas pertanian. Penggunaan lahan dengan cover vegetasi rendah seperti permukiman, semak belukar, dan lahan terbuka merupakan penggunaan lahan yang kurang dapat menghalangi proses erosi, sehingga erosi berjalan terus-menerus. Lahan sangat kritis terdapat pada wilayah Kecamatan Pakem dan Prambanan. Wilayah Pakem mempunyai jenis tanah regosol sedangkan wilayah Prambanan didominasi oleh jenis tanah latosol. Tanah regosol mempunyai kandungan bahan organik yang


(2)

sedikit karena merupakan tanah muda yang terdapat pada horizon A marginal sehingga tanah kurang subur. Jenis tanah latosol yang mendominasi wilayah Prambanan mempunyai kandungan lempung yang tinggi sehingga kemampuan menyerap air mudah, akan tetapi susah untuk meloloskan air sehingga jenis tanah tersebut agak peka terhadap erosi.

Tabel 3 Luas Agihan Kekritisan Lahan

No Kelas Kekritisan Luas (Ha) Persentase (%)

1 Sangat Kritis 65,32 0,22

2 Kritis 687,02 2,32

3 Agak Kritis 3490,03 11,76

4 Potensial Kritis 19.250,85 64,88

5 Tidak Kritis 6.178,88 20,82

Jumlah 29.672,11 100

3.2 Alternatif Pengelolaan Lahan yang Diterapkan di Area Lahan Kritis Budidaya Pertanian Kabupaten Sleman

Tingkat kekritisan lahan pada kawasanbudidaya pertanian Kabupaten Sleman mempunyai lima kelas, yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Secara garis besar lahan di pada kawasanbudidaya pertanian Kabupaten Sleman terbagi menjadi dua, yaitu lahan yang belum mengalami kekritisan yang terdiri dari lahan tidak kritis dan potensial kritis serta lahan yang telah mengalami kekritisan yang terdiri lahan agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Lahan yang belum mengalami kekritisan dengan lahan yang sudah mengalami kekritisan memerlukan cara pengelolaan yang berbeda.

Lahan dengan kelas tidak kritis terdapat pada lahan dengan kemiringan lereng yang datar, jenis penggunaan lahan pertanian, serta dominasi jenis tanah kambisol yang terdapat pada sekitar wilayah Godean. Lahan tersebut mempuyai produktivitas tinggi karena lahan pertanian dalam kondisi baik sehingga menghasilkan hasil produksi optimal. Lahan seperti ini perlu dilindungi agar terhindar dari konversi lahan mengingat kebutuhan lahan semakin meningkat seiring berjalannya waktu terutama konversi dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Perlindungan terhadap lahan tidak kritis untuk pertanian tersebut perlu melibatkan pihak pemerintah dan warga. Pemerintah perlu membuat dan menetapkan regulasi mengenai LP2B (Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan). Lahan yang masuk dalam zona LP2B tidak


(3)

boleh mengalami konversi lahan dan harus menerapkan konservasi lahan sesuai anjuran pemerintah.

Lahan dengan kelas potensial merupakan kelas lahan yang mendominasi dengan persentase 64,88%. Lahan potensial kritis belum mengalami kekritisan akan tetapi lahan tersebut menunjukkan indikasi kekritisan lahan, sehingga apabila penggunaan lahan kurang memperhatikan kelestariannya maka lahan tersebut akan menjadi lahan kritis. Lahan potensial kritis tidak dapat dipandang sebelah mata karena luas lahan potensial kritis lebih besar daripada luas lahan tidak kritis, sehingga jika tidak dilakukan konservasi akan membuat lahan kritis meluas. Lahan potensial kritis pada kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman didominasi oleh lahan dengan kemiringan landai dan agak curam serta penggunaan lahan pertanian seperti sawah, ladang, perkebunan campuran, serta perkebunan. Lahan tersebut cenderung kurang produktif karena terletak pada lereng yang kurang sesuai untuk penggunaan lahan pertanian. Erosi dengan tingkat sedang mulai terjadi pada lahan kelas potensial kritis ini. Konservasi tanah perlu dilakukan pada lahan tersebut. Konservasi tanah yang harus dilakukan yaitu memperlambat aliran permukaan, melakukan pergiliran penanaman, serta mulsa. Proses memperlambat aliran permukaan dengan melakukan perbaikan drainase dan irigasi. Pergiliran tanaman bertujuan untuk menjaga tanah agar tetap terdapat vegetasi. Vegetasi pada tanah mempunyai fungsi untuk melindungi tanah terhadap daya perusak aliran alir di atas permukaan dan memperbaiki penyerapan air oleh tanaman. Mulsa dilakukan agar kesuburan tanah yang mulai hilang akibat terjadinya erosi tetap terjaga.

Lahan yang telah mengalami kekritisan pada kawasan budidaya pertanian di Kabupaten Sleman termasuk dalam kelas agak kritis, kritis, dan sangat kritis. Lahan kelas agak kritis, kritis, dan sangat kritis mempunyai lereng curam sampai dengan sangat curam. Penggunaan lahan pada wilayah lahan kritis berupa penggunaan lahan non pertanian seperti semak dan belukar, permukiman, serta lahan terbuka. Lahan kritis merupakan lahan yang mengalami kerusakan akibat bagian-bagian tanahnya terkena erosi sehingga mempunyai produktivitas yang cenderung rendah. Lahan yang tergolong kritis terebut memerlukan konservasi maupun rehabilitasi agar dapat memperbaiki kerusakan yang terjadi. Konservasi lahan pada kawasan kritis dapat dilakukan dengan menampung dan menyalurkan aliran permukaan mengingat lahan pada kemiringan lereng curam mempunyai tingkat erosi berat. Pembuatan dam dapat menampung aliran permukaan serta perbaikan saluran drainase akan membuat aliran permukaan mengalir pada saluran tersebut sehingga akan mengurangi timbulnya erosi. Adanya penampung air juga membuat penyediaan air bagi tanaman aman ketika musim kemarau. Mulsa pada lahan kritis bertujuan untuk memperbaiki kesuburan tanah yang hilang


(4)

akibat erosi yang berat. Rehabilitasi lahan kritis dilkukan dengan cara reboisasi. Reboisasi dilakukan pada penggunaan lahan kurang produktif seperti lahan terbuka serta semak dan belukar. Lahan terbuka dapat ditanami dengan tanaman seperti tanaman bambu sedangkan wilayah pada penggunaan lahan semak dan belukar dapat ditanami tanaman dengan akar yang kuat seperti pohon sengon dan jati.

4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Pembuatan peta agihan tingkat kekritisan lahan kawasan budidaya pertanian Kabupaten Sleman didapatkan tingkat kekritisan yang terdiri dari lima kelas, yaitu tidak kritis, potensial kritis, agak kritis, kritis, dan sangat kritis.

a) Lahan dengan kelas tidak ktitis mempunyai luas 671,88 Ha atau 20,82% dari luas keseluruhan, lahan tidak kritis sebagian besar berada pada lahan dengan kemiringan lereng datar yang berada pada wilayah Kecamatan Ngaglik, Ngemplak, Moyudan, dan Godean.

b) Kelas potensial kritis mendominasi dengan luas 671,88 Ha atau 64,88% dari total luas keseluruhan, yang meliputi Kecamatan Tempel, Turi, Cangkringan, Minggir, Seyegan, Sleman, Mlati, Gamping, Berbah, Prambanan, Kalasan, dan Cangkringan.

c) Kelas lahan agak kritis 3.490,85 Ha atau seluas 11,76%, meliputi wilayah Pakem, Prambanan, Kalasan, Minggir, Seyegan, Gamping, Moyudan, dan Kalasan.

d) Kelas lahan kritis 687,02 Ha atau 2,32% berada pada kemiringan lereng yan curam yang meliputi sebagian kecil wilayah Prambanan, Pakem, serta sedikit area yang ada pada Kalasan, Cangkringan, Kalasan, Seyegan, Cangkringan, dan Moyudan.

e) Lahan sangat kritis 65,32 Ha atau mencakup 0,22% dari luas keseluruhan, dan berada pada di wilayah Kecamatan Prambanan dan Pakem.

2. Alternatif pengelolaan lahan kawasan budidaya pertanian dilakukan berdasarkan tingkat kekeritisan. Untuk lahan tidak kritis diperlukan upaya untuk mempertahankan lahan tersebut, salah satunya dengan membuat batasan lahan LP2B. Lahan potensial kritis memerlukan konservasi tanah agar lahan tersebut menjadi lebih produktif dan tidak menjadi lahan kritis. Lahan yang telah mengalami kekritisan membutuhkan konservasi dan rehabilitasi agar lahan tersebut dapat dipergunakan kembali.


(5)

4.2 Saran

1. Survei lapangan dilakukan pada saat bukan musim penghujan sehingga lahan kritis yang ada pada lahan dengan penggunaan lahan semak belukar lebih terlihat.

2. Data citra penginderaan jauh yang digunakan sebaiknya citra yang tidak mempunyai tutupan awan sehingga interpretasi lebih teliti.

PERSANTUNAN

Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu penelitian ini baik dalam penyediaan data maupun pengerjaan data terutama untuk :

1) Program Studi Geografi, Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) sebagai instansi yang telah menaungi penelitian ini, dan memberikan izin penelitian.

2) BAPPEDA Kabupaten Sleman

DAFTAR PUSTAKA

Arsad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.

Asdak, Chay. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Yogyakarta: UGM Press.

Badan Lingkungan Hidup. 2011. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.

Badan Lingkungan Hidup. 2012. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.

Badan Lingkungan Hidup. 2013. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.

Badan Lingkungan Hidup. 2014. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.

Badan Lingkungan Hidup. 2015. Buku Status Lingkungan Hidup Daerah Istmewa Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Provinsi DIY.

Danoedoro, Projo. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: CV. Andi Offset.

Darmawijaya, Isa.1980. Klasifikasi Tanah Dasar Penelitian Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksana Pertanian di Indonesia. Bandung: IPB.

Departemen Kehutanan, 2004. Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta.

Dulbahri. 1986. Penggunaan Teknik Penginderaan Jauh Dalam Identifikasi dan Inventarisasi Lahan Kritis. Yogyakarta: Fakultas Geografi - Universitas Gadjah Mada.

Elachi, C., Jakob van Zyl. 2006. Introduction to the Physics and Techniques of Remote Sensing. New Jersey: John Wiley & Sons Inc.

FAO. 1979. Assesing Soil Degradation. FAO Soil Bull. No. 34.

FAO-UN (Food and Agriculture Organization). 1976. A Framework for Land Evaluation. FAO Soils Bulletin 32. FAO, Rome.

Hall, F. G., Strebel, D. E., Nickeson, J. E., & Geoets, S. J. (1991). Radiometric Rectification: Toward A Common Radiometric Response Among Multidate, Multisensor Images.


(6)

Hanafiah, Kemas Ali. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Jakarta: Raja Grafindo. Hardjowigeno, Sarwono. 1995. Imu Tanah. Jakarta: Akademika Presindo. Hudson, Norman. 1973. Soil Conservation. London: B.T. Batsford Ttd.

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.778 /Menhutbun-V/1998. Reboisasi dan Lahan Kritis. Jakarta: Kementerian Kehutanan

Lo, CP. 1996. Penginderaan JauhTerapan. Jakarta: UI Press.

Mosher, A.T. 1966. Getting Agriculture Moving. New York: The Agricultural Development Council Inc.

Nurcahyo, Sidik. 2008. Analisis Lahan Kritis Di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali.

Skripsi. Surakarta: Program Studi Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Peraturan Menteri Kehutanan Nomor. P.32/Menhut-II/2009. Petunjuk Teknis Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis. Jakarta: Kementrian Kehutanan.

Poerwowidodo. 1990. Telaah Kesuburan Tanah. Bamdung: Angkasa.

Prasetya, Rahmadi Nur dan Totok Gunawan. (2012). Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk Pemetaan Lahan Kritis di Daerah Kokap dan Pengasih Kabupaten Kulon Progo. Jurnal Geografi Indonesia, 79, 281–290.

Rahmatika, Rosita. 2014. Analisis Spasial Agihan Lahan Kritis Di Kabupaten Sragen Provinsi Jawa TengahSkripsi. Surakarta: Program Studi Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Rayes, M. Luthfi. (2007). Metode Inventarisasi Sumber Daya Lahan. Yogyakarta: Andi. Sumantri.1980. Pengantar Agronomi. Jakarta: PT. Gramedia.

Taryono. 1997. Erosi dan Konservasi Tanah. Diktat Kuliah. Surakarta: UMS.

Tomlinson, R.F. (ed). 1972. Geographical Data Handling. Ottawa: I.G.U. Commission on Geographical Data Sensing and Processing.

Wati, Fitri Anggoro. 2015. Kajian Lahan Kritis Di Kecamatan Pakem Kabupaten Sleman dengan Menggunakan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Geografi, Universitas Negeri Yogyakarta.