KEBIJAKAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA ADAT DALAM

5 beda. Disini perlu ada standar tentang pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. Terkait dengan hal itu disadari bahwa ada semacam kekosongan hukum terkait hukum pelaksanaan pidana yang harus segera dipertimbangkan untuk diformulasikan mengingat hukum pelaksanaan pidana juga merupakan salahsatu bagian dari pembaharuan hukum pidana substansial selain pembaharuan terhadap hukum pidana materiel KUHP dan pembaharuan terhadap hukum pidana formal KUHAP. Khusus dalam hal ini kekosongan juga terjadi terhadap pelaksanaan pidana pemenuhan kewajiban adat. B. PEMBAHASAN

1. KEBIJAKAN PENGGUNAAN HUKUM PIDANA ADAT DALAM

RANGKA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Sebagaimana telah diketahui, pembaharuan hukum pidana merupakan suatu upaya yang dilakukan bangsa Indonesia untuk memiliki sistem hukum pidana nasional yang sesuai dengan nilai sosio-filosofis, sosio-ideologis, dan sosio-politis masyarakat Indonesia. Adanya hukum pidana nasional yang lebih sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Indonesia diharapkan akan dapat memberikan kesejahteraan kemanfaatan yang pada akhirnya akan memberikan keadilan dan kepastian. Banyak dijumpai perkembangan-perkembangan baru dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional. Salah satunya adalah perluasan sumber hukum pidana di masa yang akan datang. Perluasan sumber hukum ini sejatinya merupakan kehendak dari seluruh masyarakat Indonesia. Ini terekam dalam hasil- hasil seminar-seminar hukum nasional yang menghendaki penggalian terhadap hukum yang tidak tertulis hukum yang hidup seperti misalnya : 1. Hasil Seminar Hukum Nasional I Tahun 1963 Bidang “Asas-Asas Tata Hukum Nasional dalam Bidang Hukum Pidana” : 6 - Angka 4 yang menyebutkan “yang dipandang sebagai perbuatan jahat tadi, adalah perbuatan-perbuatan yang dirumuskan unsur- unsurnya dalam KUHP ini maupun dalam perundang-undangan lainnya. Hal ini tidak menutup pintu bagi larangan perbuatan menurut hukum adat yang hidup dan tidak menghambat pembentukan masyarakat yang dicita-citakan tadi, dengan sanksi adat yang masih dapat sesuai dengan martabat bangsa. - Angka 8 yag menghendaki agar hukum agama dan hukum adat dijalankan dalam KUHP 2. Hasil Seminar Hukum Nasional III Tahun 1974 dalam kesimpulan angka 1 disebutkan bahwa pembinaan huum nasional harus memperhatikan hukum ada yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat the living law. 3. Hasil Seminar Hukum Nasional VI Tahun 1994 : - Sub B mengenai Materi Hukum angka 1 tentang Hukum Tertulis menyebutkan bahwa hukum tertulis dan hukum tidak tertulis hendaknya bersifat “komplementer”. - Sub B mengenai Materi Hukum angka 3 tentang Hukum Kebiasaan huruf a mengatakan bahwa hukum kebiasaan mengandung dua pemahaman : 1 Dalam arti : identik dengan hukum adat yang berlaku dalam masyarakat etnis dan lingkungan hukum adat. 2 Dalam arti kebiasaan yang diakui masyarakat dan pengambil keputusan decision maker, sehingga lambat laun menjadi hukum gewonte recht, customary law. Hukum kebiasaan ini bersifat nasional dimulai sejak proklamasi kemerdekaan, terutama dalam bidang hukum tatanegara, hukum kontrak, hukum ekonomi dan lain sebagainya. 5 Hasil-hasil Seminar Hukum Nasional yang dilaksanakan Indonesia tersebut menunjukkan bahwa ada pengakuan dan penerimaan terhadap hukum yang tidak tertulis. Menunjukkan pula adanya kehendak untuk menjadikan hukum tidak tertulis sebagai bagian dari hukum nasional di masa yang akan datang. Konseptual selanjutnya tentang sumber hukum ini dapat dijumpai dalam ketentuan Tap MPR- 5 Barda Nawawi Arief, 2008, Kumpulan Hasil Seminar Hukum Nasional ke I sd VIII dan Konvensi Hukum Nasional 2008, Penerbit Pustaka Magister, Semarang 7 RI Nomor IIIMPR2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang- undangan yang menentukan : 1Sumber hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk penyusunan peraturan perundang-undangan. 2Sumber hukum terdiri atas sumber hukum tertulis dan tidak tertulis. 3…….. Menurut Barda Nawawi Arief, dilihat dari perspektif kajian perbandingan dan kajian keilmuan, pengakuan terhadap eksistensi hukum yang hidup atau hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum bukanlah sesuatu hal yang asing. Terangnya, dari kajian keilmuan adanya teoridoktrinajaran “SMH sifat melawan hukum Materiel, teori “perbuatan fungsional” atau pengertian perbuatan dari sudut ilmiah, adanya doktrin “tiada pidana tanpa kesalahan”, dan diakuinya “pendapat ahlipakar” atau “ilmu pengetahuan” dalam praktek penegakan hukum, pada dasarnya mengandung arti bahwa yang dapat menjadi sumber hukum “sumber kepastian” tidak hanya kepastian formal menurut UU hukum tertulis, tetapi juga “kepastian yang bersifat materielsubstansial” berdasarkan hukum yang hidup tidak tertulis dan berdasarkan “ilmu hukumkajian ilmiahilmu pengetahuan lainnya misalnya di bidang medis, teknik dsb”. Jadi tidak hanya ada “certainty of lawwritten law” atau “formal certainty”, tetapi juga ada “certainty of byin unwritten law” atau “substantivemateriel certainty”, bahkan ada pula “scientific certainty”. 6 Terkait dengan pandangan Barda Nawawi Arief tersebut di atas dipahami bahwa persoalan perluasan sumber hukum merupakan hal yang biasa terjadi. Hanya karena pemahaman hukum di Indonesia bersifat legalistis formalistis maka perluasan hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum menjadi hal yang tidak biasa. Di lain sisi, perkembangan dunia internasional menghendaki adanya fungsionalisasi terhadap extra legal system dalam upaya penanggulangan kejahatan. Dengan adanya fungsionalisasi terhadap hal-hal diluar sistem hukum positif seperti misalnya lembaga hukum adat akan dapat membantu terwujudnya 6 Barda Nawawi Arief, 2008, OpCit., hal. 23-24 8 pencegahan dan penanggulangan kejahatan. Terkait dengan ini, penggunaan hukum tidak tertulis bersama-sama dengan hukum tertulis sebagai sarana atau alat dalam penanggulangan kejahatan nampak sejalan dengan pendapat Eugene Ehrlich yang membedakan antara positive law dan living law bahwa : “ the positive law can be effective only when it corresponds to the living law; that is, when legal codes are based on underlying social norms or real life. In other words, law is to be understood as part of the social order “. 7 terjemahan bebasnya : hukum positif hanya akan efektif apabila berkesesuaian dengan hukum yang hidup; artinya, ketika aturan hukum berdasarkan pada norma sosial yang berlaku atau dalam kehidupan nyata. Dalam kata lain, hukum akan lebih dipahami sebagai bagian dari tatanan sosial. Di Indonesia, sumber hukum tidak tertulis dapat dijumpai dalam hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia bisa meliputi hukum agama dan hukum adat. Sebagai hukum yang hidup, hukum agama dan hukum adat khususnya pidana adat mengandung nilai-nilai hukum masyarakat yang umumnya ditaati dan dipatuhi sebagai aturan berperilaku, Dalam konteks ini kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang hidup boleh dikatakan cukup tinggi terutamanya pada masyarakat yang masih memegang teguh hukum adatnya. Dengan demikian penggunaan hukum tidak tertulis khususnya hukum adat bersama-sama dengan hukum tertulis nantinya akan bermuara pada persoalan tujuan pemidanaan yang hendak dicapai. Jembatan yuridis yang dapat dipergunakan saat ini untuk mengaktualisasi hukum tidak tertulis khususnya hukum pidana adat ke dalam kerangka hukum pidana nasional terdapat dalam Pasal 5 ayat 3 b UU No. 1 Drt Tahun 1951 dan Pasal 5 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentnag Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 50 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Sedangkan jembatan teoritisnya adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif maupun negative. 7 Eugene Ehrlich dalam Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi Hukum Pidana Adat Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 120 9 Sehubungan dengan itu Muladi mengatakan bahwa penggunaan hukum pidana adat dapat mencakup pada hal-hal berikut : 1. Menjadi sumber hukum positif 2. Menjadi sumber hukum yang negative dalam arti bisa menjadi alasan pembenar, bisa menjadi alasan peringan pidana atau bisa menjadi alasan pemberat pidana. 8 Muladi mengingatkan bahwa secara sistemik hukum pidana adat janganlah ditempatkan dalam kelompok “instrumental input” tetapi merupakan bagian dari “environmental input”. Yang masuk instrumental input hendaknya segala hukum positif yang memuat doktrin-doktrin dasar Pancasila, UUD 1945, GBHN, KUHP dll. Sedangkan yang masuk environmental input adalah aspirasi hukum yang berasal dari lingkungan strategis baik nasional, regional maupun internasional. 9 Ini berarti bahwa ada pembatasan-pembatasan terhadap berlakunya hukum tidak tertulis hukum pidana adat. Dengan kata lain, keberadaan hukum tidak tertulis hukum pidana adat dalam ius constituendum hanya sebagai pelengkap dan pendamping bagi hukum tertulis. Mensinergikan bekerjanya kedua sumber hukum ini di masa yang akan datang dapat saja dilakukan secara bersama-sama dengan mendasarkan pemikiran pada upaya untuk memberikan kemanfaatan, keadilan dan kepastian pada masyarakat. Dalam konteks ini tujuan pemidanaan haruslah berorientasi pada tujuan nasional yaitu mencapai kesejahateraan bersama. Di masa yang akan datang, hukum pidana adat sebagai sumber hukum tidak tertulis akan menjadi bahan pertimbangan untuk menerapkan hukum yang sesuai. Hukum pidana adat akan membantu memberikan gambaran mengenai nilai dalam masyarakat berkaitan dengan patuttidak patutnya atau benartidak benarnya suatu perbuatan. 8 Muladi, 1994, Hukum Pidana dalam Kontemplasi Tentang Asas Legalitas, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional “Relevansi Hukum Pidana Adat dan Implementasinya dalam Hukum Pidana Nasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal. 1 9 Ibid., hal. 4 10 Sebagaimana termaktub dalam salah satu laporan simposium pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang yang menyatakan sebagai berikut : “masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas satu perbuatan haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut di hukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.” 10

2. PEMIDANAAN TERHADAP DELIK ADAT