10
Sebagaimana  termaktub  dalam  salah  satu  laporan  simposium  pembaharuan Hukum Pidana Nasional pada bulan Agustus 1980 di Semarang yang menyatakan
sebagai berikut : “masalah  kriminalisasi  dan  dekriminalisasi  atas  satu  perbuatan  haruslah
sesuai  dengan  politik  kriminal  yang  dianut  oleh  bangsa  Indonesia,  yaitu sejauh  mana  perbuatan  tersebut  bertentangan  atau  tidak  bertentangan
dengan  nilai-nilai  fundamental  yang  berlaku  dalam  masyarakat  dan  oleh masyarakat  dianggap  patut  atau  tidak  patut  di  hukum  dalam  rangka
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat.”
10
2. PEMIDANAAN TERHADAP DELIK ADAT
Tidak  dapat  dipungkiri  bahwa  aspirasi  untuk  memasukkan  sumber  hukum tidak  tertulis  dalam  RKUHP  di  masa  yang  akan  datang  merupakan  suatu  usaha
yang  positif  dalam  rangka  memberikan  kepastian  dan  keadilan  bagi  masyarakat khususnya  masyarakat  adat  yang  memerlukan  perbaikan  terhadap  keseimbangan
makro  dan  mikro  kosmos-nya  sebagai  akibat  adanya  perbuatan  yang  melanggar ketentuan  adat.  Hal  ini  juga  menunjukkan  adanya  bentuk  penghormatan  para
pembentuk  RKUHP  pada  sistem  hukum  asli  yang  sudah  ada  jauh  sebelum masuknya sistem hukum Civil Law ke Indonesia.
Sehubungan  dengan  masuknya  pidana  pemenuhan  kewajiban  adat  dalam stelsel pidana di masa yang akan datang, perlu dipahami mengenai konsep-konsep
pemidanaan dalam hukum adat. Sebagaimana  diketahui,  hukum  adat  tidak  mengenal  pembidangan  hukum
layaknya  dalam  pembidangan  hukum  dalam  ilmu  pengetahuan  hukum  pidana. Sekalipun tidak terdapat pembidangan hukum namun faktanya dalam hukum adat
tetap dikenal ada ranah-ranah peristiwa yang dapat diidentifikasi selayakna ranah- ranah  dalam  hukum.  Seperti  misalnya  hukum  adat  tidak  mengenal  pembedaan
antara  hukum  perdata  dan  hukum  pidana  namun  dalam  hukum  adat  dijumpai
10
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, OpCit., hal. 115
11
adanya  pemikiran  tentang  penjatuhan  sanksi  adat  reaksi  adat  terhadap  suatu perbuatan  yang  dianggap  telah  melanggar  ketentuan  adat.  Perbuatan  sedemikian
dikenal sebagai pelanggaran adat. Apabila diseksamai maka pelanggaran adat dan reaksi  adat  identik  dengan  tindak  pidana  dan  sanksi  dalam  hukum  pidana.  Oleh
karena  itu  walau  tidak  terdapat  pembidangan  hukum  seperti  dalam  ilmu pengetahuan  hukum  pidana  secara  implisit  terlihat  bahwa  di  dalam  hukum  adat
terdapat anatomi pelanggaran adat yang dapat diberikan reaksi adat. Reaksi  adat  atau  sanksi adat  ini  menyerupai  hukuman  dalam  hukum  pidana.
Reaksi  adat  atau  sanksi  adat  dijatuhkan  kepada  seseorang  yang  melakukan perbuatan  yang  menurut  ketentuan adat tidak  dapat  dibenarkan.  Jenis  reaksi  adat
dalam  hukum  pidana  adat  juga  bermacam-macam  dan  dijatuhkan  sesuai berdasarkan  berat  ringannya  akibat  yang  ditimbulkan  oleh  perbuatan  melanggar
ketentuan adat. Jadi semakin berat akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku tersebut  maka  semakin  berat  juga  reaksi  yang  akan  diberikan.  Selain  itu  ada
kekhususan dari penjatuhan reaksi adat yaitu reaksi adat selalu diterapkan secara luas. Artinya reaksi adat tersebut tidak hanya dijatuhkan kepada pelaku kejahatan
saja tetapi juga termasuk kepada korban dan masyarakat. Model  penjatuhan  reaksi  adat  demikian  dilatarbelakangi  oleh  pemikiran
masyarakat  tradisional  Indonesia  yang  cenderung  komunal,  bahwa  segala sesuatunya  saling  berkait  satu  sama  lain.  Perbuatan  melanggar  ketentuan  hukum
adat  tersebut  dipandang  timbul  sebagai  adanya  kegagalan  bersama  masyarakat dalam upaya menjaga alam makro dan mikro tetap dalam keadaan seimbang. Oleh
karena  itu  penjeraan  harus  diberikan  kepada  seluruh  aspek  yang  termasuk  dalam lingkup alam makro dan mikro kosmos. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
pemikiran  masyarakat  tradisional  Indonesia  sangat  holistik  dalam  memandang dirinya  sendiri.  Hal  ini  memberikan  gambaran  bahwa  nilai-nilai  yang  dianut
masyarakat  tradisional  sudah  jelas  berbeda  dengan  nilai-nilai  yang  dianut  oleh hukum positif yang cenderung legalis, individualis dan formalistis.
12
Terkait dengan itu disadari bahwa upaya pemidanaan terhadap delik adat saat ini sangat sulit untuk dilakukan. KUHP yang saat ini berlaku tidak mengenal delik
adat  dan  juga  sanksi  adat.  Kondisi  ini  juga  yang  mengakibatkan  pemidanaan terhadap  delik  yang  mengandung  unsur  adat  seringkali  tidak  memuaskan  bagi
masyarakat adat karena pemidanaan didasarkan pada tindak pidana yang terdapat di  dalam  KUHP.  Contohnya  ketika  terjadi  tindak  pidana  pencurian  pretima
beberapa  waktu  yang  lalu  dan  juga  tindak  pidana  penadahan  pretima  oleh  orang asing  di  Bali.  Pidana  yang  dijatuhkan  oleh  hakim  disesuaikan  dengan  pencurian
biasa  padahal  pretima  yang  merupakan  benda  suci  tersebut  bagi  masyarakat  Bali sama  sekali  tidak  bisa  dinilai  hanya  dengan  dijatuhkannya  pidana  pokok  berupa
penjara  kepada  pelaku.  Hal  ini  sempat  menimbulkan  ketidakpuasan  dalam masyarakat adat Bali sehingga timbul wacana-wana pro-kontra dalam memandang
delik  adat  dan  reaksi  adat  serta  penjatuhan  pidana  oleh  hakim.  Bahkan  sempat muncul  wacana  untuk  melahirkan  kembali  pengadilan  adat  sebagai  bentuk
keresahan dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum nasional. Kondisi ini tentu  memprihatinkan  mengingat  pentingnya  hukum  sebagai  alat  kontrol  sosial
yang  bertugas  untuk  memberikan  perlindungan  kepada  masyarakat  tanpa memandang  latar  belakang  masyarakat  bersangkutan.  Bangsa  Indonesia  adalah
bangsa yang kaya akan filosofi tentang kehidupan, alam serta hubungan manusia dengan manusia lain. Namun sangat disayangkan kekayaan akan filosofi demikian
nampaknya  tidak  dapat  diakomodir  oleh  undang-undang  bahkan  oleh  orang Indonesia sendiri.
Sehubungan  dengan  itu,  diketahui  bahwa  pemidanaan  delik  adat  sejatinya dapat diakomodir oleh penegak hukum dengan menggunakan dasar ketentuan UU
Drt No. 1 Tahun 1951 Pasal 5a ayat 3 sub b yang pada intinya mengatakan bahwa “suatu  perbuatan  yang  menurut  hukum  yang  hidup  harus  dianggap  sebagai
perbuatan  pidana,  akan  tetapi  tiada  bandingannya  dalam  KUHP  Sipil  maka dianggap  diancam  dengan  hukum  yang  tidak  lebih  dari  tiga  bulan  penjara
danatau denda Rp. 500,00 lima ratus rupiah kala itu, yaitu sebagai hukuman pengganti  bilamana  hukum  adat  yang  dijatuhkan  tidak  diikuti  oleh  yang
13
terhukum ”.  Selanjutnya  dalam  ketentuan  pasal  yang  sama  juga  dikemukakan
bahwa  “suatu  perbuatan  yang  menurut  hukum  yang  hidup  harus  dianggap perbuatan  pidana  dan  yanga  ada  bandingan  dalam  KUHP  maka  dianggap
diancam  dengan  hukuman  yang  sama  dengan  hukuman  bandingannya  yang paling  mirip  kepada  perbuatan  pidana  itu
”.  Jika  diseksamai  maka  ketentuan- ketentuan ini pada dasarnya memberikan peluang bagi hakim untuk menjatuhkan
pidana  kepada  pelaku  tindak  pidana  adat  dengan  ancaman  pidana  3  tiga  bulan penjara atau denda sebagai hukuman pengganti bilamana hukuman dalam hukum
adat  tidak  dilaksanakan.  Sebetulnya  ini  juga  memberi  peluang  kepada  hakim untuk menambah berat pidana. Sayangnya dalam fakta beracara di lapangan pasal
ini  kurang  sering  dimanfaatkan  oleh  hakim  untuk  memberikan  pidana  tambahan kepada pelaku tindak pidana yang mengandung unsur adat sehingga pidana yang
dijatuhi  umumnya  mengikuti  bandingannya  dalam  KUHP  yang  paling  mirip. Seperti  misalnya  pencurian  pretima  yang  kepada  pelakunya  dijatuhkan  pidana
penjara sama seperti pencurian biasa. Pada  dasarnya  pemidanaan  terhadap  tindak  pidana  yang  mengandung  unsur-
unsur  adat  dapat  dijatuhkan  oleh  hakim  berdasarkan  ketentuan  dalam  KUHP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 5a ayat 3 sub b dari UU Drt No. 1 Tahun
1951.  Akan  tetapi  penjatuhan  pidana  yang  hanya  didasarkan  pada  ketentuan KUHP  pada  faktanya  tidak  memberikan  rasa  keadilan  pada  masyarakat  adat.
Sebab  esensi  utama  penjatuhan  pidana  dalam  hukum  adat  bukanlah  penjeraan fisik  seperti  pidana  penjara,  pidana  kurungan  dan  lain-lain  melainkan  lebih
merupakan  kepada  penjeraan  batin  dan  moral  dari  pelaku.  Oleh  karena  itu sangatlah  penting  bagi  hakim  disamping  menjatuhkan  pidana  pokok  berdasarkan
KUHP  juga  melakukan penggalian  terhadap  nilai-nilai  hukum  yang  hidup  dalam masyarakat agar hakim dalam menjatuhkan pidana mampu memberikan keadilan,
kepastian sekaligus kemanfaatan.
3. KEBIJAKAN  FORMULASI  HUKUM  PELAKSANAAN  PIDANA