Pengaruh perlakuan temperatur pengeringan terhadap kualitas umbi bibit,pertumbuhan dan produksi dua kultivar bawang merah

PENGARUH PERLAKUAN TEMPERATUR PENGERINGAN
TERHADAP KUALITAS UMBI BIBIT, PERTUMBUHAN DAN
PRODUKSI DUA KULTIVAR BAWANG MERAH
(Allium cepa L. group Aggregatum)

Oleh
Devi Efriany Nurul Huda
A34402063

PROGRAM STUDI
PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

PENGARUH PERLAKUAN TEMPERATUR PENGERINGAN
TERHADAP KUALITAS UMBI BIBIT, PERTUMBUHAN DAN
PRODUKSI DUA KULTIVAR BAWANG MERAH
(Allium cepa L. group Aggregatum)

Skripsi sebagai salah satu syarat

Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian
pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :
Devi Efriany Nurul Huda
A34402063

PROGRAM STUDI
PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2007

RINGKASAN
DEVI E. NURUL HUDA Pengaruh Perlakuan Temperatur Pengeringan
terhadap Kualitas Umbi Bibit, Pertumbuhan dan Produksi Dua Kultivar
Bawang Merah (Allium cepa L. group Aggregatum). (Dibimbing oleh
MEMEN SURAHMAN DAN PRASODJO SOEDOMO).
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan
temperatur pengeringan terhadap kualitas umbi bibit, pertumbuhan dan produksi

dua kultivar bawang merah (Allium cepa L. group Aggregatum).
Percobaan dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang,
Bandung yang berada pada ketinggian 1250 m dpl. Percobaan dilaksanakan pada
bulan Juli 2006 sampai Oktober 2006.
Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design)
dengan dua faktor dan tiga ulangan. Sebagai petak utama adalah kultivar bawang
merah yaitu kultivar Lampung Tembaga dan kultivar Batu, sedangkan sebagai
anak petak adalah perlakuan temperatur pengeringan, yaitu tanpa dioven,
pengeringan dengan sinar matahari selama 7 hari, pengeringan oven selama 4 jam
pada suhu 300 C, pengeringan oven selama 4 jam pada suhu 350 C, pengeringan
oven selama 4 jam pada suhu 400 C dan pengeringan selama 4 jam pada suhu
450 C. Total perlakuan 10 dengan 3 ulangan.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan temperatur pengeringan
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase daya tumbuh pada
pengamatan 30 HST, tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot umbi basah, bobot
umbi kering kotor, bobot umbi kering bersih per tanaman dan per petak, kecuali
penyusutan bobot umbi bawang merah setelah perlakuan temperatur pengeringan
dan persentase daya tumbuh pada pengamatan 10 HST. Kultivar memberikan
pengaruh nyata terhadap penyusutan bobot umbi bawang merah, persentase daya
tumbuh pada 30 HST, tinggi tanaman, jumlah anakan dan bobot kering bersih per

petak.
Rata-rata penyusutan bobot umbi setelah perlakuan temperatur
pengeringan untuk kultivar Lampung Tembaga sebesar 12.04 %, sedangkan untuk
kultivar Batu sebesar 5.34 %. Rata-rata persentase daya tumbuh tanaman pada
pengamatan 10 HST untuk perlakuan temperatur pengeringan 45 0C menghasilkan
nilai persentase daya tumbuh yang paling tinggi sebesar 82.86 % dibandingkan
dengan keempat perlakuan lainnya, Perlakuan temperatur pengeringan 30 0C,
menunjukkan persentase daya tumbuh yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan
temperatur pengeringan 45 0C, yaitu sebesar 80.94 %. Hingga akhir pengamatan
pertanaman, rata-rata tinggi tanaman bawang merah kultivar Lampung Tembaga
sebesar 48.67 cm, dan kultivar Batu 68.34 cm.
Untuk jumlah anakan yang dihasilkan, kultivar Lampung Tembaga
memiliki rata-rata anakan sebesar 9.26 dan kultivar Batu sebesar 2.88. Produksi
umbi bawang merah yang dihasilkan pada percobaan untuk kultivar Lampung
Tembaga adalah 5.0752 ton/ha, sedangkan untuk kultivar Batu sebesar 11.74
ton/ha.

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Devi Efriany Nurul Huda, dilahirkan di Lebak,

Banten pada 18 April 1984. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara
dari pasangan Bapak Usman Sunarya dan Ibu Imas Yulianah.
Jenjang pendidikan formal dimulai pada tahun 1990 di Sekolah Dasar
Swasta Aneka Tambang PEPEC Cikotok, Banten dan lulus pada tahun 1996.
Penulis melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 8 Bandung dan
lulus tahun 1999. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan di
SMUN 1 Bandung. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2002
melalui jalur SPMB dan terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pemuliaan
Tanaman dan Teknologi Benih Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian.
Selain kegiatan perkuliahan, Penulis pernah melakukan kegiatan Magang
di Balai Teknologi Pembenihan Kehutanan di Bogor pada tahun 2004, Program
Kreativitas Mahasiswa ’Agriculture for Kids” tahun 2005, dan’Agriculture for
Youth’ tahun 2006 dan melakukan penelitian di Balai Penelitian Sayuran Tanaman
(Balitsa) Lembang, Bandung pada tahun 2006.

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu wata’ala atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi

dengan judul ”Pengaruh Perlakuan Temperatur Pengeringan terhadap
Kualitas Umbi Bibit, Pertumbuhan dan Produksi Dua Kultivar Bawang
Merah (Allium cepa L. group Aggregatum)” ini sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Pemuliaan Tanaman dan
Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Dr.Ir. Memen Surahman, MSc sebagai pembimbing skripsi atas bimbingan
dan pengarahan selama penelitian dan penulisan skripsi.
2. Drs. Rd. Prasodjo Soedomo, APU sebagai pembimbing skripsi dari Balitsa
yang telah bekerjasama dan membantu selama penelitian dan penulisan
skripsi.
3. Dr. Ir. Yudiwanti W.E.K, MS, sebagai dosen penguji, atas semua saran
dan nasehatnya yang berarti.
4. Ir.Baran Wirawan, MSc sebagai dosen pembimbing akademik penulis
selama kuliah di IPB.
5. Bapak, Mama, Ceuceu dan Henu tercinta, terimakasih atas semua cinta
yang tercurah.
6. Para Dosen dan staf Program Studi Pemuliaan Tanaman dan Teknologi
Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, IPB.

7. Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang, Bandung.
8. Tim Balitsa.Terimakasih atas kebersamaan suka dan duka 6 bulan
di Lembang. Nuni, Yayu, Miftah ’bobi’ dan Hasyim.
9. Teman seperjuangan: Venty, Heny, Retno, Anti, Susi, Sulis, Nunung,
Nana, Andriyani, Nining, Rury, Khotim, Mika, Dame, Atin, Misnen,
Yogo, Panji, Ade, Sahala, Rofik, isnaini, M chotim, cici, Dees.
10. Mute ’39. Terimakasih atas semua pengalaman dan pelajaran hidup yang
nyata.

11. Asrama A1 tahun 2002, Kamar 018, Iin, Dewi dan Ajeng atas semua
waktu yang telah kita lewati bersama. It was fun.
12. Rumah keduaku dan penghuninya yang membuatku betah : Wisma FM, T
Iam, T Yani, T Irma, M Deasy, M Chacha, M Penti, M Imay, M Gita,
Inggit, M Kapsah. Serta warga Arsida 4 atas kebersamaannya, Nove,
Retno, Siska, Kismi, Wage, Peni, M Nong, Niken, M Tita, M Ainun, Bella
Dewi.
13. Tim PKM AFK dan AFY, Terimakasih atas kesabaran dan pengalaman ke
Malang yang menyenangkan. Retno, Anti, Nidya dan Ray Tiran.
14. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis tulis satu persatu
Demikianlah, semoga skripsi ini bermanfaat.


Bogor, Mei 2007

Penulis

DAFTAR ISI

Hal.
PENDAHULUAN
Latar Belakang ................................................................................................. 1
Tujuan ............................................................................................................... 2
Hipotesis ........................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Bawang Merah ......................................................................................
Botani Bawang Merah (Allium cepa L. group Aggregatum )............................
Bibit Bawang Merah .........................................................................................
Pengeringan........................................................................................................

3
4

6
7

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat ............................................................................................
Bahan dan Alat...................................................................................................
Metode Penelitian ..............................................................................................
Pelaksanaan Penelitian.......................................................................................

9
9
9
10

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum...................................................................................................
Penyusutan Bobot Umbi Bawang Merah...........................................................
Persentase Daya Tumbuh Tanaman...................................................................
Tinggi Tanaman .................................................................................................
Jumlah Anakan...................................................................................................

Bobot Basah .......................................................................................................
Bobot Kering Kotor ...........................................................................................
Bobot Kering Bersih ..........................................................................................

14
16
17
21
22
23
25
26

KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................ 29
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 30
LAMPIRAN...................................................................................................... 32

DAFTAR TABEL
Nomor


Halaman
Teks

1. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Bawang Merah di Indonesia....

1

2. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Kultivar (A), Perlakuan
Temperatur (B), dan Interaksinya (A*B) ................................................. 15
3. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap
Penyusutan Bobot Umbi Bawang Merah.................................................. 16
4. Pengaruh Perlakuan Temperatur terhadap Peubah Persentase Daya
Tumbuh Tanaman pada Pengamatan 10 HST ......................................... 19
5. Pengaruh Kultivar terhadap Tinggi Tanaman .......................................... 21
6. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Jumlah Anakan... 22
7. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Bobot Basah
Bawang Merah ......................................................................................... 24
8. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Bobot Kering
Kotor Bawang Merah .............................................................................. 25
9. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Bobot Kering

Bersih Bawang Merah Per Tanaman ........................................................ 26
10. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap Bobot Kering
Bersih Bawang Merah Per Petak .............................................................. 27
Lampiran
1. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap
Penyusutan Bobot Umbi Bawang Merah.................................................. 33
2. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap
Persentase Daya Tumbuh Tanaman ......................................................... 33
3. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap
Tinggi Tanaman ....................................................................................... 34
4. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap
Jumlah Anakan ......................................................................................... 35
5. Analisis Keragaman Kultivar dan Perlakuan Temperatur terhadap
Bobot Umbi Bawang Merah ..................................................................... 35
6. Data Cuaca di Kebun Percobaan Lembang dari Bulan Juli-Oktober ........ 37

DAFTAR GAMBAR

Nomor

Halaman

1. Bawang Merah Kultivar Lampung Tembaga dan Batu ........................ 20

Lampiran
1. Kondisi Pertanaman di Lapangan ......................................................... 38
2. Hasil Umbi Kultivar Lampung Tembaga Berbagai Perlakuan ............. 39
3. Hasil Umbi Kultivar Batu Berbagai Perlakuan..................................... 40

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bawang merah (Allium cepa L. group Aggregatum) merupakan salah satu
sayuran yang digunakan sebagai bumbu dapur untuk melezatkan masakan.
Penggunaannya yang sedikit namun kontinyu, membuat bawang merah sebagai
kebutuhan yang tidak dapat dihindari oleh konsumen rumah tangga sebagai
pelengkap bumbu masak. Selain manfaatnya dalam hal bumbu masak, bawang
merah mempunyai kegunaan lain, yaitu sebagai obat tradisional masyarakat.
Tanaman bawang merah ini banyak ditanam di daerah dataran rendah dengan
ketinggian antara 10 sampai 250 m dpl, tetapi tanaman bawang merah ini dapat
pula diusahakan di daerah dataran tinggi (Sunaryono et al., 1984).
Banyaknya manfaat yang terdapat pada bawang merah mengakibatkan
kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Namun permintaan tidak selalu
diimbangi dengan produksi dan produktivitas yang ada. Produktivitas bawang
merah umumnya masih rendah. Penyediaan umbi bibit berkualitas yang tahan
hama penyakit, berdaya hasil tinggi, dan murah merupakan masalah utama dalam
produksi bawang merah (Sumarni et al., 2005). Selain itu, kurang tersedianya pula
teknologi produksi benih berkualitas (Sumiati et al., 2004).
Tabel 1. Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas Bawang Merah di Indonesia
Tahun
Produksi (ton)

2001
861.150

2002
766.572

2003
762.795

2004
757.399

2005
762.795

Luas Panen (ha)
Produktivitas
(ton/ha)

82.147

79.867

88.029

88.707

83.614

10.5

9.6

8.7

8.5

8.7

Sumber: BPS, 2007

Bawang merah termasuk tanaman semusim dan umumnya ditanam
serentak bila musim tanam tiba, sehingga ketersediaanya melimpah pada musim
panen dan kurang bila musim panen lewat. Tidak mantapnya ketersediaan
sepanjang tahun dapat menyebabkan terjadinya perubahan harga bawang merah
dengan fluktuasi yang menyolok. Menurut Rosliani et al., (2005), penggunaan
umbi bibit bawang merah untuk perbanyakan, memakan biaya sekitar 40 % dari
biaya produksi dalam penyediaan bibit.

Permasalahan di atas dapat diatasi dengan berbagai cara, salah satunya
adalah dengan sistem penyimpanan yang memadai, didukung penanganan pasca
panen yang baik. Karena pada umumnya, petani bawang merah menyimpan hasil
panen yang diperoleh, dengan tujuan tertentu. Selain untuk menekan harga,
penyimpanan umbi bertujuan untuk menyediakan umbi bibit untuk pertanaman
selanjutnya. Sehingga umbi bibit yang akan digunakan telah mengalami
penyimpanan yang bertujuan menghentikan masa dormansinya (Soedomo, 1992).
Namun ketersediaan umbi bibit mengalami kendala. Hal ini terjadi karena
penyimpanan umbi bibit bawang merah akan menyebabkan kenaikan harga umbi
bibit melonjak hingga empat kali lipat harga umbi untuk konsumsi pada saat
musim tanam. Di lain pihak, pada umumnya untuk penggunaan umbi bibit
diperlukan masa istirahat (dormansi) umbi optimal selama 3 bulan. Perlakuan
300C atau 350C yang diaplikasikan pada umbi yang dipanen setelah 3 minggu,
mempercepat pertunasan saat penyimpanan dengan suhu 150C. Temperatur tinggi
demikian biasa diberikan untuk perawatan umbi segar yang baru dipanen
(Brewster, 1994).
TUJUAN
Tujuan

penelitian

adalah

untuk

mengetahui

pengaruh

perlakuan

temperatur pengeringan terhadap kualitas umbi bibit, pertumbuhan dan produksi
dua kultivar bawang merah (Allium cepa L. group Aggregatum).
HIPOTESIS
1. Salah satu kultivar memberikan respon baik terhadap perlakuan temperatur
pengeringan terhadap kualitas umbi bibit bawang merah (Allium cepa L.
group Aggregatum).
2. Terdapat perlakuan temperatur pengeringan guna meningkatkan kualitas umbi
bibit terhadap pertumbuhan dan produksi dua kultivar bawang merah (Allium
cepa L. group Aggregatum).
3. Terdapat interaksi antara kultivar dengan perlakuan temperatur pengeringan
terhadap kualitas umbi bibit, pertumbuhan dan produksi dua kultivar bawang
merah (Allium cepa L. group Aggregatum).

TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Bawang Merah
Tanaman bawang merah diduga berasal dari Asia Tengah, yaitu di sekitar
India, Pakistan sampai Palestina. Sekitar abad ke VIII tanaman bawang merah
mulai disebarluaskan ke wilayah Eropa Barat, Eropa Timur dan Spanyol. Dari
belahan benua inilah bawang merah menyebar luas ke daratan Amerika, Asia
Timur dan Asia Tenggara. Pada abad ke XIX bawang merah telah menjadi
tanaman komersil di berbagai negara di dunia. Negara-negara produsen bawang
merah antara lain Jepang, Amerika Serikat, Rumania, Italia, dan Meksiko. Di
Indonesia, daerah yang merupakan sentra produksi bawang merah yang terkenal
ialah Cirebon, Brebes, Tegal, Kuningan, Wates (Yogyakarta), Lombok Timur dan
Samosir (Medan) (Ameriana et al.,, 1996).
Klasifikasi bawang merah berdasarkan taksonominya adalah sebagai
berikut (Hanelt 1990 dalam Rabinowitch dan Brewster, 1990) :
Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Angiospermae

Klas

: Monocotyledonae

Ordo

: Asparagales (Lilliiflorae)

Famili

: Alliacea (Amaryllidaceae)

Genus

: Allium

Species

: Allium cepa L. group Aggregatum

Ciri-ciri utama pada Allium adalah karakteristik aroma dan rasanya.
Daunnya muncul dari batang bawah tanah dan seringnya memiliki pelepah/daun
bawah yang dapat menentukan penampakan batang seperti halnya tipe pada
bawang daun (leek). Hal ini disebut sebagai batang semu atau pseudostem
(Brewster, 1994). Umbinya mempunyai kulit yang ’membranous’, serta memiliki
variasi dalam bentuk, ukuran dan warna. Bunganya berwarna putih, berbentuk
seperti bintang dengan tepal yang menyebar (Hanelt, 1990 dalam Rabinowitch
dan Brewster, 1990).

Botani Bawang Merah (Allium cepa L. group Aggregatum )
Spesies Allium cepa terbagi ke dalam dua kelompok yaitu Common Onion
(termasuk di dalamnya : Allium cepa var. cepa; Allium cepa L. ssp. cepa dan ssp.
australe Trofim) dan Aggregatum Group (termasuk di dalamnya Allium
ascalonicum auct non Strand; Allium cepa ssp. orientale Kazak; Allium cepa var.
ascalonicum Baker) (Brewster, 1994). Bawang merah dinamakan Allium cepa
var. aggregatum group yang berada dalam spesies yang sama dengan bawang
bombay karena kemampuannya untuk disilangkan dengan bawang bombay dan
menghasilkan anakan yang fertil (Brewster, 1994; Rabinowitch dan Kamenetsky,
2002). Umbi dari Aggregatum lebih kecil dibandingkan dari Common Onion
karena umbinya terbagi dengan cepat dan membentuk cabang/lateral, kemudian
membentuk kelompok umbi. Grup Aggregatum biasanya diperbanyak secara
vegetatif (Brewster, 1994).
Bawang merah merupakan tanaman terna rendah yang tumbuh tegak
dengan tinggi dapat mencapai 15-50 cm, membentuk rumpun dan termasuk
tanaman semusim. Perakarannya berupa akar serabut yang tidak panjang dan tidak
terlalu dalam tertanam di tanah. Seperti halnya bawang putih, tanaman ini
termasuk tidak tahan kekeringan (Wibowo, 1999). Bawang merah termasuk
tanaman semusim yang berdaun silindris seperti pipa memiliki batang sejati atau
“diskus” yang bentuknya seperti cakram tipis dan pendek sebagai tempat
melekatnya perakaran dan mata tunas (titik tumbuh). Pangkal daun bersatu
membentuk batang semu. Batang semu yang berada di dalam tanah akan berubah
bentuk dan fungsinya menjadi umbi lapis atau bulbus (Sumarni dan Sumiati,
1997).
Umbi bawang merah terutama disukai karena aroma sedapnya yang
harum. Aroma utama bawang disebabkan oleh aktivitas enzim allinase yang
mengubah senyawa yang mengandung belerang (S-alkyl sistein sulfoksida) jika
jaringan tanaman rusak atau tergerus. Bawang merah juga mengandung flavonol,
kuersetin dan kuersetin glikosida. Semua senyawa ini bersifat antibakteri dan anti
cendawan dan juga menunjukan aktivitas anti kanker dan sifat anti koagulan
(Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Pada setiap 100 gram, bawang merah
mengandung air 88 g, protein 1.5 g, lemak 0.3 g, karbohidat 9 g, serat 0.7 g,

Ca 36 mg, P 40 mg, Fe 0.8 mg, vitamin A 5 IU, vitamin B1 0.03 mg, dan
vitamin C 2 mg. Nilai energi yang dikandung adalah 160 kJ/100 g (Permadi dan
Meer, 1994).
Menurut Rabinowitch dan Kamenetsky (2002), pembentukan umbi pada
tanaman bawang merah terjadi sebagai akibat dari respon terhadap lamanya
fotoperiodisme, temperatur yang relatif tinggi, dan perbedaan kultivar yang dapat
dibedakan dari panjang hari minimal yang dibutuhkan untuk menginduksi setiap
kultivar dalam membentuk umbi. Pembentukan umbi dapat terjadi bergantung
pada fotoperiodisme atau suhu. Pembentukan umbi dapat tejadi karena suhu yang
tinggi, fotoperiodisme yang berlangsung lama dan rasio cahaya Red (R) : Far Red
(FR) yang rendah. Namun, bila berada pada kondisi sebaliknya, pertumbuhan
daun yang akan terjadi (Brewster, 1994).
Proses pembentukan umbi pada bawang merah berlangsung serupa seperti
yang terjadi pada bawang bombay. Namun pada bawang merah, bagian basal
plate akan menghasilkan tunas lateral yang akan menjadi individu umbi yang
baru. Brewster (1994), menggambarkan proses pembentukan umbi pada bawang
bombay yang dimulai dari penebalan pada leher tanaman dan pembengkakan pada
daun pelepah pertama. Penebalan ini terjadi karena ada perluasan sel dan tidak
melibatkan pembelahan sel. Ketika daun pelepah mulai gugur, daun pipa
mengalami senesen sementara daun-daun baru mulai bermunculan hingga
akhirnya mengering dan digantikan daun pelepah dan daun pipa yang baru.
Umbi mulai membengkak ketika bobot maksimum tanaman tercapai. Pada
tahap ini, saat umbi mulai membengkak dan daun-daun mengering dalam waktu
yang cepat, kulit terluar yang kering pada umbi mulai terbentuk. Pematangan
umbi tercapai setelah jaringan leher tanaman mulai melunak dan kehilangan
turgiditasnya, akibatnya tanaman rebah dan umbi mencapai ukuran maksimal
(Brewster, 1994).

Ekologi Bawang Merah
Tanaman bawang merah memiliki daya adaptasi luas karena dapat ditanam
mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi (1000 m diatas permukaan laut)
dan baik diusahakan pada lahan bekas sawah maupun di tanah darat atau lahan

kering seperti tegalan, kebun dan pekarangan (Suwandi dan Hilman, 1997).
Tanaman bawang merah dapat tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian
800 m dpl. Namun demikian tanaman akan berumur lebih panjang dan hasil
umbinya lebih rendah daripada di dataran rendah. Tanaman bawang merah
termasuk tanaman hari panjang, menyukai tempat yang terbuka dan cukup
mendapat sinar matahari (70%) terutama bila lamanya penyinaran lebih dari 12
jam (Sumarni dan Rosliani, 1997). Untuk dapat tumbuh dengan baik, tanaman
bawang merah memerlukan kondisi lingkungan yang cocok untuk pertumbuhan
dan perkembangannya. Menurut Grubben (1990) dalam Rosliani et al., (2005),
suhu udara yang cocok untuk pertumbuhan bawang merah yaitu antara 20-30 0C
dengan curah hujan 100-200 mm/bulan.

Bibit Bawang Merah
Untuk menunjang produksi hasil-hasil pertanian, benih dan bibit
merupakan salah satu sarana yang harus selalu tersedia dalam jumlah yang cukup
dan kualitas yang bermutu. Benih dan bibit yang diinginkan adalah yang mampu
memberi hasil maksimal sesuai potensi hasilnya apabila ditanam dalam
lingkungan yang optimal. Faktor bibit memegang peranan penting untuk
menunjang keberhasilan produksi tanaman bawang merah. Pada umumnya
perbanyakan umbi dilakukan dengan menanam umbi secara utuh atau dengan
memotong bagian atas umbi (Sunarjono dan Soedomo, 1989). Beberapa kelebihan
umbi bibit bawang merah yang dipakai sebagai bahan tanam adalah pertanaman
yang relatif seragam, populasi tanaman memiliki susunan genetik yang sama,
serta mudah ditangkarkan sendiri.
Umbi bibit yang baik adalah yang tidak mengandung penyakit, tidak cacat
dan tidak terlalu lama disimpan (4 bulan) dalam gudang. Faktor yang cukup
menentukan kualitas umbi bibit bawang merah adalah ukuran umbi (Suwandi,
1989). Diameter umbi bibit yang besar cenderung dapat menyediakan cadangan
makanan yang banyak diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya di lapangan. Menurut Wibowo (1999), syarat umbi bawang merah
yang digunakan sebagai bibit adalah umbi yang diperoleh dari tanaman yang sehat

dan dipanen cukup tua sekitar umur 70-90 hari, tergantung varietas, tempat
penanaman dan kondisi tanaman itu sendiri.

Pengeringan
Proses pengeringan telah dikenal manusia sejak lama. Melalui proses
pengeringan berbagai hasil pertanian, perkebunan, kehutanan dan hasil laut dapat
disimpan lama sehingga kehilangan pascapanen yang merugikan petani dan
nelayan dapat dihindari. Proses pengeringan secara mekanis mempunyai beberapa
keunggulan dibandingkan dengan cara pengeringan tradisional, antara lain dalam
hal volume bahan yang dikeringkan, keseragaman hasil dan mutu (Mujumdar,
2001). Usaha untuk memperpanjang daya simpan dan meningkatkan mutu
bawang merah sangat diperlukan, antara lain dengan teknologi pengeringan yang
tepat.
Menurut Mujumdar (2001), pengeringan adalah operasi rumit yang
meliputi perpindahan panas dan massa secara transien serta beberapa laju proses,
seperti transformasi fisika atau kimia, yang pada gilirannya dapat menyebabkan
perubahan mutu hasil. Prinsip pengeringan adalah terjadinya penguapan air dari
bahan/material ke udara karena perbedaan kandungan air antara udara dengan
bahan yang dikeringkan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kadar air bahan
sampai batas dimana perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzimatis
dapat menyebabkan terhambat atau terhentinya kebusukan (Musaddad et al.,
1996). Pada benih, diperlukan adanya proses pengeringan, yang bertujuan untuk
menurunkan kadar air benih sehingga benih tidak atau sedikit mengalami
kerusakan pada tahap pengolahan selanjutnya. Pengeringan pada bawang merah
merupakan salah satu upaya alternatif untuk meningkatkan ketegaran bawang,
selain cara perbaikan lain yang digunakan, yaitu penyimpanannya. Selama ini
pengeringan yang dilakukan oleh petani bergantung pada cuaca.
Parameter – parameter yang mempengaruhi waktu pengeringan adalah :
(1) suhu, (2) kelembaban, (3) laju alir udara, (4) kadar air awal dan (5) kadar air
akhir. Makin tinggi kadar air awal, makin tinggi panas yang diperlukan untuk
mengeringkan hasil pertanian dan semakin lama waktu yang dibutuhkan unuk
mengeringkan bahan tersebut. Suhu berperan sangat penting, karena apabila suhu

terlalu rendah maka pengeringan akan memakan waktu lama serta dapat
menurunkan mutu bahan yang dikeringkan (Balitsa, 1996).
Cara pengeringan yang dilakukan petani bawang merah umumnya dimulai
dengan proses pelayuan selama 2-3 hari. Kemudian dilanjutkan dengan proses
penjemuran di bawah sinar matahari selama 7-10 hari. Cara pengeringan yang
dapat dilakukan untuk mengatasi masalah cuaca adalah pengeringan secara
mekanik. Proses pengeringan mekanik dapat digunakan dengan menggunakan
beberapa alat pengering seperti Cabinet Dryer, kipas, ruang pengering
berventilasi tanpa sumber panas buatan dan ruang berpembangkit Vorteks.
Pengeringan berpengaruh terhadap mutu dan daya simpan umbi bawang merah.
Dengan pengeringan buatan, bahan yang dikeringkan akan lebih seragam
mutunya, prosesnya cepat serta terhindar dari bahan asing yang tidak diinginkan
(Histifarina et al., 1998).

BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu penelitian
Penelitian dilakukan dari bulan Juli hingga Oktober 2006 di Kebun
Percobaan Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang, Bandung (1.250 m dpl)
dengan jenis tanah Andosol.
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah umbi bibit bawang
merah yang baru dipanen sekitar satu minggu. Dua kultivar umbi bibit yang
digunakan adalah Lampung Tembaga dan Batu. Untuk penanaman diperlukan
pupuk kandang (kotoran kuda) 10 ton/ha, pupuk NPK dengan dosis 135 kg N, 135
kg P2O5 dan 100 kg K2O serta fungisida. Alat yang digunakan adalah oven,
timbangan, alat tanam, alat ukur, tampah, karung net, dan tali rafia.

Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Petak Terbagi
(Split Plot) yang terdiri dari dua faktor. Sebagai petak utama adalah kultivar
bawang merah (A) yaitu Lampung Tembaga (A1) dan Batu (A2). Sebagai anak
petak adalah perlakuan temperatur pengeringan, yaitu tanpa dioven, pengeringan
dengan sinar matahari selama 7 hari (kontrol) (B0), pengeringan oven selama 4
jam pada suhu 30 0C (B1), pengeringan oven selama 4 jam pada suhu 35 0C (B2),
pengeringan oven selama 4 jam pada suhu 400 C (B3) dan pengeringan selama 4
jam pada suhu 45 0C (B4). Sehingga, terdapat 10 kombinasi perlakuan sebagai
berikut : A1B0, A1B1, A1B2, A1B3, A1B4, A2B0, A2B1, A2B2, A2B3, A2B4,
yang diulang sebanyak 3 kali sehingga terdapat 30 satuan percobaan dan setiap
satuan percobaan terdiri atas 1 plot perlakuan.

Model linier untuk tiap pengamatan adalah :
Yijk = μ + Kk + Ai + jk + Bj + (AB)ij + ijk
i = 1, 2
j = 0, 1, 2, 3, 4,
k = 1, 2, 3

Keterangan : ke-j dari perlakuan temperatur pada kelompok ke-k
Yijk

= Nilai pengamatan (respon) pada taraf ke-i dari faktor kultivar dan taraf
ke-j dari perlakuan temperatur pengeringan pada kelompok ke-k

μ

= Nilai rata-rata yang sesungguhnya

Kk

= Pengaruh aditif dari kelompok ke-k

Ai

= Pengaruh aditif dari taraf ke-i faktor kultivar

jk

= Pengaruh galat yang muncul pada taraf ke-i dari faktor kultivar
dalam kelompok ke-k (galat petak utama/galat a)

Bj

= Pengaruh aditif dari taraf ke-j perlakuan temperatur pengeringan

(AB)ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor kultivar dan taraf ke-j faktor
perlakuan temperatur pengeringan
ijk

= Pengaruh galat pada kelompok ke-k yang memperoleh taraf ke-i faktor
kultivar dan taraf ke-j faktor perlakuan temperatur pengeringan
(galat anak petak/galat b)
Data yang diperoleh dianalisis dengan uji F. Jika hasil uji F berpengaruh

nyata, maka akan dilakukan uji lanjutan menggunakan uji Duncan Multiple Range
Test (DMRT).

Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan yaitu :
perlakuan, pengolahan lahan, penanaman, pemeliharaan, panen dan pengamatan.

Perlakuan
Perlakuan dilaksanakan setelah mendapat umbi bibit bawang merah yang
berasal dari Bulakamba Brebes untuk bawang merah kultivar Lampung Tembaga
dan daerah Tuwel Tegal untuk bawang merah kultivar Batu. Umbi bibit bawang
merah yang sehat dipilih untuk perlakuan. Bawang merah yang digunakan untuk
percobaan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: warna kulit umbi merah muda, bobot
1.7- 4.2 g/umbi (rata-rata 2.9 g/umbi), diameter 1.7-1.8 cm, tinggi 1.7-2.6 cm
untuk kultivar Lampung Tembaga, sedangkan untuk kultivar Batu warna kulit
umbi merah kekuningan, bobot 18.5-31.6 g/umbi (rata-rata 26.2 g/umbi), diameter
3.08-3.72 cm dan tinggi 3.7-4.2 cm. Perlakuan dilakukan dengan cara pemberian

temperatur pengeringan dengan menggunakan oven. Pengeringan dilakukan pada
beberapa temperatur sesuai perlakuan yaitu 30 0C, 35 0C, 40 0C, 45 0C, selama 4
jam dan kontrol, yaitu dengan menjemur di bawah sinar matahari selama 7 hari.
Umbi bibit bawang merah diletakkan pada wadah yang terbuat dari kertas
sebelum dimasukkan ke dalam oven. Selanjutnya umbi dikeringkan sesuai
perlakuan. Setelah umbi bibit dikeringkan, ujung tunasnya dipotong setebal/
setinggi/sebanyak setengahnya dari panjang umbi.

Pengolahan Lahan
Lahan diolah dengan cara dicangkul, kemudian dihaluskan dengan dirotor.
Tanah yang telah diolah dibiarkan sampai kering dan kemudian diolah lagi sampai
halus sebelum dilakukan perbaikan bedengan dengan rapih. Selanjutnya plot
perlakuan dibuat dengan ukuran 1,2 m x 1,1 m = 1,32 m2. Plot-plot tersebut diberi
pupuk kandang yang berasal dari kotoran kuda 10 ton/ha, pupuk NPK dengan
dosis 135 kg N, 135 kg P2O5 dan 100 kg K2O. Umbi bibit yang telah diperlakukan
ditanam dengan jarak tanam 20 x 15 cm sehingga populasi per plotnya adalah 42
umbi.
Penanaman
Penanaman umbi bibit bawang merah dilakukan pada lahan yang telah
diberi pupuk kandang. Umbi bibit bawang merah ditanam dengan cara,
membenamkan seluruh bagian umbi sebatas ujung tunas yang telah dipotong
terlebih dahulu. Setelah selesai penanaman, penyiraman dilakukan kembali untuk
menjaga kelembaban tanah. Untuk penyulaman, dilakukan penanaman umbi bibit
sebagai cadangan pada tiap-tiap perlakuan.

Pemeliharaan
Pemeliharaan terdiri dari beberapa kegiatan yaitu penyiraman, pemupukan
pengendalian gulma dan pengendalian hama dan penyakit tanaman. Penyiraman
dilakukan setiap hari pada fase awal pertumbuhan tanaman. Setelah mencapai
umur 50 hari, penyiraman dilakukan 2 kali dalam seminggu. Pemupukan susulan
dilakukan pada umur 10-15 hari dan 30-35 hari setelah tanam. Jenis dan dosis
pupuk yang diberikan adalah pupuk NPK dengan dosis 135 kg N, 135 kg P2O5

dan 100 kg K2O. Pupuk diaduk rata dalam tong yang berisi air yang kemudian
disiramkan langsung ke tanaman. Pengendalian gulma dilakukan dengan cara
menyiangi lahan tanaman secara manual sebanyak 4 kali selama masa tanam.
Pengendalian hama penyakit disesuaikan dengan serangan pada tanaman bawang.
Selama masa tanam, hama yang menyerang antara lain hama ulat grayak
(Spodoptera exigua). Serangan hama ini ditandai dengan adanya bercak putih
transparan pada daun. Serangan hama ulat bawang mulai terjadi seiring dengan
bertambahnya jumlah daun pada tanaman bawang. Pengendalian yang dilakukan
adalah mengambil dan memusnahkan telur maupun ulat dewasa yang terdapat
pada tanaman bawang merah selama masa tanam. Seiring dengan bertambahnya
serangan, maka pengendalian dilakukan dengan cara menyemprot tanaman
dengan Dhitane M45 dan Antracol.

Panen
Umumnya indeks panen yang digunakan untuk bawang merah adalah
jumlah hari setelah tanam. Panen bawang merah yang telah cukup tua biasanya
dilakukan pada umur 60-70 hari di dataran rendah dan 80-100 hari di dataran
tinggi. Menurut Musaddad et al., (1994), tanaman bawang merah dipanen setelah
menampilkan tanda-tanda panen seperti pangkal daun bila dipegang sudah lemah,
70-80 % daun berwarna kuning, umbi lapis terlihat penuh berisi, sebagian umbi
tersembul di atas permukaan tanah, timbul bau bawang merah yang khas,
timbulnya warna merah tua atau keunguan pada umbi, daun bagian atas mulai
rebah dan sebagainya.
Pemungutan hasil sebaiknya dilaksanakan dalam keadaan kering dan
cuaca cerah. Seluruh tanaman dicabut menggunakan tangan dengan hati-hati,
kemudian setiap satu kepal (± 1 kg) diikat pada 1/3 daun bagian atas untuk
mempermudah penanganan berikutnya. Selain itu, hal yang perlu diperhatikan
saat panen adalah luka yang dapat ditimbulkan akibat gesekan dengan tanah dan
umbi yang tertinggal dalam tanah. Kondisi ini dapat terjadi bila tanah dalam
keadaan kering. Karena itu, penyiraman tanaman dapat dilakukan 1-2 hari
sebelum panen.

Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan terdiri dari beberapa peubah yaitu :
1. Kandungan air yang menguap atau susut bobot (%), yaitu dengan cara
menimbang bobot bawang sebelum dan sesudah perlakuan pengeringan.
Rumus penyusutan : bobot basah – bobot setelah perlakuan X 100 %
bobot basah
2. Persentase daya tumbuh tanaman pada umur 10 dan 30 HST, dihitung dengan

P

= (a - b) x 100 %
a

a= populasi tanaman per
plot yang ditanam
b= tanaman belum
tumbuh/mati
P= % tanaman hidup

3. Tinggi tanaman pada umur 15, 30, 45, 60 hari dan 75 HST, dengan cara
mengukur yang dimulai dari pangkal batang yang langsung berhubungan
dengan umbi (permukaan tanah) sampai dengan daun yang tertinggi.
4. Jumlah anakan per tanaman, perhitungan dilakukan terhadap semua
banyaknya anakan yang tumbuh selama pertumbuhan tanaman.
5. Bobot basah kotor, tanaman yang baru dipanen ditimbang beserta daunnya.
6. Bobot kering kotor, tanaman yang telah dikeringkan dibawah sinar matahari
ditimbang beserta daunnya yang telah mengering.
7. Bobot kering bersih per tanaman, umbi bawang yang telah dibersihkan dari
kotoran serta daun kering yang melekat.
8. Bobot kering bersih per petak, umbi bawang kering dan bersih per petak yang
ditimbang.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum
Percobaan dilaksanakan pada bulan Juli 2006 sampai dengan Oktober
2006 pada ketinggian 1250 m dpl dengan rata-rata suhu bulanan 23.8 0C, serta
kelembaban udara 86.75 %.
Lahan yang digunakan untuk percobaan adalah lahan bekas pertanaman
tanaman sayuran caisim. Pada awal pertumbuhan, secara visual pertumbuhan
tanaman bawang merah terlihat cukup baik. Kematian umbi pada awal
pertanaman disebabkan oleh penyakit busuk umbi (Botrytis alli). Penyakit ini
menyebabkan umbi membusuk pada bagian pangkal dan ujung, sehingga umbi
yang terserang tidak dapat tumbuh. Penyakit lain yang teramati adalah penyakit
moler (twisting desease). Penyakit ini disebabkan oleh cendawan Fusarium sp.
Penyakit moler tergolong penyakit yang terbawa umbi (seed born) dan terbawa
tanah (soil born). Ciri yang terlihat pada tanaman bawang merah adalah daun
yang menguning serta akan yang mudah ditarik bila dicabut karena pertumbuhan
akar yang tidak sempurna dan daun membusuk. Tanaman yang terserang daunnya
akan mengalami kematian dari ujung dengan cepat. Untuk tanaman yang mati,
dilakukan penyulaman sampai 10 HST. Untuk mengendalikan penyakit digunakan
fungisida sistemik Dhitane M45 80 WP dan fungisida Antracol 70 WP yang
digunakan secara bergantian.
Gulma yang terdapat pada petak percobaan adalah Mimosa pudica,
rumput, dan ciplukan, yang dikendalikan secara manual sebanyak 4 kali selama
percobaan. Hama yang menyerang antara lain adalah ulat grayak (Spodoptera
exigua). Hama ulat grayak mulai menyerang bawang merah pada ± 17 HST
dengan indikasi serangan yaitu adanya lubang pada daun, terdapatnya telur ulat
dan ulat pada batang daun, daun terserang menjadi transparan serta akan terlihat
bercak-bercak putih, hingga akhirnya daun menjadi terkulai.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan temperatur pengeringan
tidak memberikan pengaruh nyata terhadap persentase daya tumbuh pada
pengamatan 30 HST, tinggi tanaman, jumlah anakan, bobot basah, bobot kering
kotor, dan bobot kering bersih per tanaman maupun per petak, kecuali penyusutan

bobot umbi bawang merah setelah perlakuan temperatur pengeringan dan
persentase daya tumbuh pada pengamatan 10 HST.
Kultivar memberikan pengaruh nyata terhadap penyusutan bobot umbi
bawang merah, persentase daya tumbuh pada 30 HST, tinggi tanaman, jumlah
anakan dan bobot kering bersih per petak. Rekapitulasi sidik ragam pengaruh
perlakuan temperatur pengeringan, kultivar bawang merah, dan interaksi antara
keduanya terhadap peubah yang diamati disajikan pada Tabel 2 yang dirangkum
dari Tabel Lampiran 1 sampai dengan Tabel Lampiran 5.

Tabel 2. Rekapitulasi Hasil Analisis Ragam Pengaruh Kultivar (A), Temperatur
Pengeringan (B), dan Interaksinya (A*B)
Umur
(HST)

Peubah
Penyusutan Bobot
Umbi

Kultivar (A)

Temperatur
Pengeringan (B)

A*B

0.0080**

0.0001**

0.0016**

Persentase Daya
Tumbuh

10
30

0.0585tn
0.0102*

0.0001*
0.3554tn

0.5750tn
0.3768tn

Tinggi Tanaman

15
30
45
60
75

0.0001**
0.0078**
0.0166*
0.0067**
0.0210*

0.0597tn
0.3182tn
0.3087tn
0.2217tn
0.5662tn

0.5632tn
0.1547tn
0.9105tn
0.3070tn
0.2373tn

0.0105*

0.3196tn

0.7137tn

0.1445tn

0.7352tn

0.8146tn

0.1556tn

0.2345tn

0.6991tn

Bobot Kering Bersih
per Tanaman

0.1736tn

0.6276tn

0.3181tn

Bobot Kering Bersih
per Petak

0.0307*

0.3134tn

0.8664tn

Jumlah Anakan

Bobot Basah
Bobot Kering Kotor

Keterangan

:

tn
*

: tidak nyata
** : berbeda nyata pada α= 1 %
: berbeda nyata pada α= 5 %

Penyusutan Bobot Umbi Bawang Merah
Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa perlakuan temperatur pengeringan
memberikan pengaruh yang nyata terhadap penyusutan bobot umbi bawang
merah setelah dikeringkan. Pengeringan dengan cara dijemur di bawah sinar
matahari langsung, memberikan hasil penyusutan paling tinggi pada kedua
kultivar dibandingkan dengan perlakuan temperatur pengeringan lainnya.
Tabel 3. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur Pengeringan terhadap
Penyusutan Bobot Umbi Bawang Merah
Perlakuan Temperatur
Pengeringan

Kultivar
Lampung Tembaga
Batu
----------------%----------------

Jemur Matahari (kontrol)

11.88(19.95a)

2.12(8.09cde)

30 0C

3.69(11.03bc)

0.69(4.60ef)

35 0C

3.08(9.98bcd)

0.13(1.17f)

40 0C

4.92(12.80b)

1.02(5.47e)

45 0C

1.27(6.42de)

1.50(6.83de)

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut
DMRT 5 %. Angka dalam kurung adalah hasil transformasi ArcSin √%

Penyusutan bobot umbi hasil pengeringan jemur matahari (kontrol) untuk
kultivar Lampung Tembaga sebesar 19.95 %, sedangkan pada kultivar Batu
sebesar 8.09 %. Pada kultivar Lampung Tembaga, perlakuan temperatur
pengeringan 45 °C memberikan penyusutan paling tinggi dibandingkan dengan
perlakuan temperatur pengeringan lainnya. Hal ini diduga pengaruh perlakuan
temperatur pengeringan tinggi yang diberikan secara langsung, berdampak pada
adanya pengerasan pada kulit bawang dan memberikan perlindungan terhadap
penyusutan air yang terkandung. Pada kultivar Batu, perlakuan temperatur
pengeringan 45 °C memberikan hasil penyusutan yang paling tinggi dibandingkan
perlakuan temperatur pengeringan dengan menggunakan oven (perlakuan
temperatur pengeringan selain perlakuan jemur matahari). Hal ini dipengaruhi

oleh sifat genetik, kandungan air maupun sifat morfologi yang dimiliki tiap
kultivar adalah berbeda.
Hasil penelitian Musaddad et al., (1994), bahwa perlakuan penyimpanan
bawang

pada suhu 30 0C menghasilkan

tingkat kekerasan tertinggi setelah

disimpan selama 4 minggu dibandingkan dengan suhu rendah (0 0C) yang
memberikan hasil tingkat kekerasan terendah. Terdapat kecenderungan semakin
tinggi suhu penyimpanan semakin tinggi pula tingkat kekerasan bawang merah.
Hal ini dapat menyebabkan adanya perlindungan yang kuat dari kulit bawang
selama proses pengeringan. Sehingga penyusutan bobot umbinya bernilai kecil.
Kualitas kulit bawang adalah salah satu faktor yang menentukan daya simpan dan
mempunyai peran penting dalam menjaga dormansi (Fustos, 1997 dalam
Rabinowitch, 2002).
Umbi bibit bawang merah yang telah mengalami perlakuan temperatur
pengeringan berupa pengeringan selama empat jam, mengalami penyusutan
bobot. Kultivar, perlakuan temperatur pengeringan maupun interaksi kultivar dan
perlakuan temperatur pengeringan memberikan pengaruh nyata terhadap
penyusutan umbi bibit bawang merah. Suhu merupakan faktor utama yang
mempengaruhi laju semua proses fisiologi dan biokimia (Pantastico, 1986 dalam
Musaddad et al., 1994). Suhu tinggi akan menyebabkan meningkatnya laju
respirasi dan transpirasi lewat daun.
Pengeringan bawang merah yang dilakukan dengan cara dijemur di bawah
sinar matahari memiliki kelemahan yaitu bawang banyak tercecer, bawang dapat
terbakar panas matahari yang mengakibatkan terjadi perubahan warna, lunak,
berair dan kehilangan kadar air berlebih yang menyebabkan tingginya susut bobot
(Asgar et al., 1992). Menurut Musaddad et al., (1996), sengatan matahari
langsung dapat mengakibatkan terjadinya keriput dan rusaknya jaringan pelindung
pada umbi sehingga dapat menyebabkan pemudaran warna kulit umbi.

Persentase Daya Tumbuh Tanaman
Hasil pengujian yang terdapat direkapitulasi hasil pada Tabel 2,
menunjukkan bahwa persentase daya tumbuh tanaman pada 10 HST dipengaruhi
oleh perlakuan temperatur pengeringan, sedangkan pada pengamatan 30 HST

hanya dipengaruhi oleh kultivar dan tidak dipengaruhi oleh perlakuan temperatur
pengeringan. Analisis ragam persentase daya tumbuh tanaman ditampilkan pada
Tabel Lampiran 2. Persentase daya tumbuh tanaman pada 10 HST adalah sebesar
64.73 % untuk kultivar Lampung Tembaga dan 81.90 % untuk kultivar Batu. Pada
pengamatan 30 HST, terjadi peningkatan persentase daya tumbuh tanaman.
Persentase daya tumbuh tanaman untuk kultivar Lampung Tembaga sebesar
73.32 % dan 98.40 % untuk kultivar Batu.
Penyulaman bibit bawang dilakukan setelah 10 HST, sehingga pada 30
HST terdapat peningkatan persentase tanaman yang tumbuh. Pada pengamatan 10
HST, daya tumbuh tidak dipengaruhi oleh kultivar, sedangkan pada pengamatan
30 HST kultivar memberikan pengaruh terhadap persentase daya tumbuh bawang.
Hal ini karena kedua kultivar memberikan respon terhadap penyusutan bobot
umbi setelah perlakuan temperatur pengeringan dan respon terhadap persentase
daya tumbuh pada 10 HST berupa mulai tumbuhnya tunas bawang. Pada 30 HST,
umbi bibit kedua kultivar menunjukkan perbedaan respon pertumbuhan, akibat
adanya perbedaan sifat masing-masing kultivar. Reaksi dari umbi bawang
kemungkinan berkaitan kepada sifatnya.
Pertunasan yang terjadi pada umbi bawang merah dipengaruhi oleh
kandungan air dari bawang merah. Perlakuan temperatur pengeringan yang
dilakukan menyebabkan penyusutan bobot umbi bibit bawang merah. Umbi
bawang merah setelah pemberian perlakuan temperatur pengeringan mengalami
penyusutan rata-rata sebesar 12.04 % untuk kultivar Lampung Tembaga dan
5.34 % untuk kultivar Batu. Pengeringan menyebabkan umbi bibit kehilangan air
pada saat proses pengovenan maupun pada saat konservasi sebelum umbi
ditanam.

Rabinowitch

(2002)

melaporkan

meningkatnya

penghambat

pertumbuhan dan giberelin yang menurun selama pengeringan pada bawang
cv.’Sochaczewska’. Pada biji, salah satu efek gibberelin adalah mendorong
pemanjangan sel, sehingga radikula dapat mendongkrak endosperma kulit biji,
atau kulit buah yang membatasi pertumbuhannya (Salisbury dan Ross, 1995).
Percobaan dilakukan pada masa musim kemarau, kondisi ini berpengaruh
terhadap irigasi bawang merah, sehingga pemeliharaan tanaman dalam bentuk
penyiraman dilakukan hanya satu kali sehari (pagi hari atau sore hari).

Daerah Lembang yang terletak pada dataran tinggi mempunyai kelembaban tinggi
yang ditunjukkan oleh sering adanya kabut pada pagi hari. Menurut Sumarni et
al., (1995), daerah yang sering berkabut akan mengurangi intensitas cahaya selain
dapat menimbulkan bencana penyakit.
Tabel 4. Pengaruh Kultivar dan Perlakuan Temperatur Pengeringan terhadap
Persentase Daya Tumbuh Tanaman pada Pengamatan 10 HST
Kultivar
Perlakuan Temperatur
Pengeringan

Lampung
Batu
Tembaga
--------------%--------------

Rata-rata

46.02

68.25

57.13c

30 0C

76.18

85.71

80.94ab

35 0C

65.87

80.94

73.40b

40 0C

61.90

82.53

72.20b

45 0C
Rata-rata

73.67

92.05

82.86a

64.72

81.89

Jemur Matahari (kontrol)

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji lanjut
DMRT 5 %

Pada pengamatan 10 HST, perlakuan temperatur pengeringan memberikan
pengaruh terhadap persentase daya tumbuh tanaman. Perlakuan temperatur
pengeringan 45 0C memberikan nilai persentase daya tumbuh tanaman paling
tinggi dibandingkan dengan keempat perlakuan temperatur pengeringan lainnya.
Berdasarkan uji lanjut, perlakuan 300 C dan 45 0C tidak berbeda nyata terhadap
persentase daya tumbuh bawang.
Perlakuan jemur matahari memiliki nilai penyusutan bobot umbi paling
tinggi dibandingkan dengan perlakuan temperatur pengeringan lainnya. Perlakuan
kontrol, (jemur matahari) memberikan nilai persentase daya tumbuh yang paling
kecil untuk semua perlakuan temperatur pengeringan. Hal ini diduga karena
penyusutan yang terjadi, melebihi batas ambang kandungan air yang seharusnya
dimiliki oleh bawang. Penyusutan umbi bawang pada perlakuan jemur matahari,

terjadi secara bertahap selama 7 hari sehingga menyebabkan tingginya penyusutan
bobot umbi. Dari Tabel 4, dapat dilihat bahwa perlakuan temperatur pengeringan
terendah (30 °C) menghasilkan persentase daya tumbuh yang tidak berbeda nyata
dengan perlakuan temperatur pengeringan yang paling tinggi (45 °C).
Menurut Brewster (1994), bahwa temperatur tinggi yang diaplikasikan
segera setelah panen dapat meningkatkan kecepatan berkecambah dibandingkan
dengan temperatur yang lebih sejuk. Perlakuan suhu 300 atau 350C yang
diaplikasikan pada umbi yang dipanen setelah tiga minggu, mempercepat
pertunasan saat penyimpanan kering pada suhu 150C.
Perlakuan
penyusutan bobot

temperatur

pengeringan

yang

dilakukan

menyebabkan

umbi bibit bawang merah. Setelah perlakuan temperatur

pengeringan diberikan, kedua kultivar mengalami penurunan bobot umbi bibit.
Pengeringan menyebabkan transpirasi, pada saat proses pengovenan maupun pada
saat konservasi sebelum umbi ditanam, sehingga umbi bibit kehilangan air. Kedua
kultivar yang digunakan untuk percobaan memiliki karakter berbeda dan memiliki
kandungan biokimia yang berbeda pula. Berikut gambar kedua kultivar :

a

b

Gambar 1. Bawang Merah Kultivar (a) Lampung Tembaga dan (b) Batu
Kultivar Lampung Tembaga memiliki ukuran yang lebih kecil dengan
berat rata-rata 2.9 gram per umbi, dibandingkan dengan kultivar batu yang
memiliki ukuran lebih besar dengan berat rata-rata 26.2 gram per umbi. Bose dan
Srivasta (1961); De Miniac (1970) dalam Sumiati et al., (2004) menyatakan
bahwa karbohidrat merupakan bahan kimia yang dominan mengisi umbi bawang
merah seperti halnya juga pada bawang bombay. Karbohidrat merupakan bahan
baku untuk pertumbuhan dan perkembangan umbi bibit pada periode tumbuh

generasi selanjutnya. Semakin besar ukuran umbi, diasumsikan semakin banyak
kandungan karbohidratnya. Sehingga umbi yang memiliki ukuran yang lebih
besar untuk persentase tanaman tumbuh akan memberikan hasil yang lebih tinggi.
Hal ini disebabkan karena proses perkecambahan atau munculnya daun–daun
pertama pada umbi yang lebih besar akan lebih cepat dibandingkan dengan umbi
yang memiliki ukuran yang lebih kecil.

Tinggi Tanaman
Pada

umumnya

penanaman

bawang

merah

dilakukan

dengan

menggunakan umbi yang ditanam secara utuh sebagai bahan perbanyakan.
Teknologi perbanyakan umbi bawang merah secara konvensional, yaitu dengan
menggunakan umbi, masih disukai petani karena caranya yang relatif lebih mudah
(Sumiati et al., 2004).
Tinggi tanaman bawang merah meningkat seiring dengan bertambahnya
umur tanaman. Pengamatan tinggi tanaman dilakukan pada 15, 30, 45, 60, dan 75
HST, dengan cara mengukur tanaman bawang merah dari permukaan tanah
sampai ujung daun yang terpanjang. Berdasarkan rekapitulasi sidik ragam
(Tabel 2), kultivar memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman
bawang merah.
Tabel 5. Pengaruh Kultivar terhadap Peubah Tinggi Tanaman
Kultivar

Umur

Lampung Tembaga

Batu

------------- cm ------------15 HST

12.13b

20.61a

30 HST

20.91b

38.65a

45 HST

24.13b

51.56a

60 HST

37.95b

66.18a

75 HST

48.64b

68.64a

Keterangan : An