Kekerasan dalam rumah tangga dalam sorotan agama
KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA
DALAM SOROTAN AGAMA1
Faizah Ali Syibromalisi
Email. [email protected]
Dosen tetap Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta
Pendahuluan
Lembaga perkawinan saat ini menghadapi berbagai tantangan yang
mengakibatkan angka perceraian terus meningkat. Salah satu tantangan itu adalah
kekerasan dalam rumah tangga, yang disingkat menjadi KDRT. Catatan Tahunan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
selama 2012 mencatat kekerasan di ranah personal sebagai kekerasan yang paling
banyak terjadi.yaitu sebanyak 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan yang
dilaporkan
Angka yang disodorkan oleh Komnas Perempuan seperti disebutkan
diatas tentu jauh lebih kecil dari kenyataan yang ada di masyarakat, karena
sebagian besar perempuan yang mengalami KDRT lebih memilih bungkam dari
pada mengadukan nasibnya kepada orang lain karena takut, demi menjaga
keutuhan keluarga. Alasan tidak dilaporkannya KDRT karena masih adanya
anggapan bahwa tindakan pelaporan justru dianggap sebagai tindakan
penyerangan atas integritas keluarga. Intervensi dari pihak luar dianggap sebagai
bentuk gangguan terhadap kekuasaan suami terhadap istri.
Akibat pandangan seperti itu hingga kini temuan-temuan kasus KDRT sangat
tersembunyi. Hampir tidak ada data nasional yang seragam tentang KDRT,
kecuali yang memang dilaporkan. Contohnya catatan Komisi Nasional Perempuan
seperti tersebut diatas ternyata berbeda dengan catatan Pengadilan agama .
Kekerasan yang terjadi di ranah personal yang ditangani pengadilan agama,
tercatat 203.507 kasus, seluruhnya dicatat dalam kekerasan yang terjadi di ranah
personal atau yang terjadi terhadap istri. Sementara dari 12.649 kasus yang
masuk dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah
personal tercatat 66 persen atau 8.315 kasus.
Melihat kenyataan tingginya angka KDRT di Indonesia, tentu
membutuhkan perhatian dari berbagai fihak, karena tindak kekerasan pada
perempuan sudah merupakan kezoliman yang tidak bisa ditoleransi lagi. Tulisan
singkat ini berusaha menyoroti masalah KDRT di Indonesia. dari sisi agama,
sebagai usaha menemukan solusi yang diharapkan minimal bisa mengurangi
angka tingginya angka KDRT. Mengingat keterbatasan waktu, penulis hanya
1
Makalah ini disampaikan dalam acara Seminar Sehari MUI DKI Jakarta, pada hari
Jumat, 10 Oktober 2014
1
memfokuskan pembahasan pada KDRT terhadap istri, meskipun KDRT
mencakup juga kekerasan terhadap suami dan anak. Diharapkan makalah ini bisa
membuka mata semua fihak khususnya perempuan bahwa KDRT harus dianggap
sebagai hal yang bertentangan dengan tujuan penciptaan dan tujuan perkawinan
dalam Islam.
Definisi Menikah dan Berkeluarga
Menikah dan membangun keluarga atau rumah tangga adalah naluri dasar
manusia. Sebagai mahluk, manusia ditakdirkan memiliki pasangan atau
berpasangan. Sejak muda naluri untuk berpasangan tumbuh dan mendorong
pelakunya berupaya bertemu dengan pasangannya. Itulah ketetapan Ilahi:” Segala
ssesuatu telah kami ciptakan berpasang pasangan supaya kamu mengingat (
kebesaran Allah)” ( QS adz –Dzariat [51]:49.
Dalam al-Qur‟an kata nikah berarti “berhimpun”. Menurut istilah
menikah adalah melangsungakan perkawinan yang dilaksanakan berdasar syarat
dan rukun tertentu menurut syariat islam. Kata lain dalam al-Qur‟an yang
memiliki makna pernikahan adalah kata zawwaja dari akar kata zauj yang berarti
berpasangan. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan.
Menikah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bisa bermakna perjanjian
antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri(dengan resmi) dan
membentuk keluarga.
Kata keluarga dalam bahasa Arab dikenal dengan kata al- Usroh yang
berarti ikatan. Berdasarkan pengertian ini maka dapat difahami bahwa keluarga
terbentuk atas dasar ikatan yang bersifat ihktiyari (pilihan). Sedangkan hidup
berkeluarga adalah kehidupan bersama dua orang lawan jenis yang bukan
muhrimnya yang telah mengikatkan diri dengan tali perkawinan, bersama anak
keturunannyan yang dihasilkan sebagai akibat dari perkawinan tersebut. Hidup
berkeluarga, dengan demikian berarti sebuah kehidupan yang mempunyai cit-cita,
harapan dan tujuan, bukan sekedar kebersamaan. Cita-Cita berkeluarga adalah
membentuk keluarga bahagia dan kekal serta mendapatkan anak keturunan yang
salih dan salihah.
Tujuan Menikah
Motivasi dan tujuan menikah tentu berbeda-beda pada setiap orang, namun
secara umum tujuan pernikahan adalah : pertama, melaksanakan perintah Allah
swt. Anjuran untuk menikah tertulis dalam surah an –Nur [24]: 32 yang artinya :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui”. Kedua, Menikah adalah
2
mengikuti sunnah rasul saw. “Barang siapa yang mampu menikah, tetapi tidak
menikah maka ia bukanlah termasuk golonganku.” (HR. Thabrani dan Baihaqi).
Hadist Nabi SAW : “Siapa yang menikah, maka ia telah menyempurnakan
separuh imannya, maka hendaklah ia memelihara diri pada setengah sisanya.( HR.
Thabarani).Ketiga, memiliki keturunan demi memperbanyak umat. Hadist Nabi
saw: “Menikahlah kamu beranak dan berketurunan, Sungguh Aku bangga dengan
banyaknya kamu sebagai umatku di hari Qiamat nanti. (HR Baihaqi). Keempat,
menjaga kesucian diri (iffah). Hadist Rasul SAW mengatakan: “Pernikahan itu
dapat lebih memelihara pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang
siapa belum mampu menikah ,maka hendklah ia berpuasa, karena sesungguhnya
berpuasa itu dapat menjadi tameng mengalahkan hawa nafsu.( HR Bukhari
Muslim) .Kelima, Membentuk Keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah,
yang bisa menumbuhkan ketenangan jiwa. QS Ar-Rum[30] ; 21 yang artinya :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”.
Pengertian Kekerasan, Klasifikasi dan Penyebabnya
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Ratna Batara Munti
menyebutkan definisi kekerasan yaitu : “Sebuah tindakan bisa disebut sebagai
kekerasan manakala perbuatan itu telah menimbulkan kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, kesengsaraan seksual, psikologis dan atau penelantaran
rumah tangga, termasuk juga ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan serta melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. (Republika 21-1-2005).
Ada empat bentuk kekerasan dalam rumah tangga, antara lain: pertama
Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat. Kedua kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilang percaya diri, hilang kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya
dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Ketiga kekerasan seksual yakni
perbuatan berupa pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil
atau tujuan tertentu. keempat Kekerasan dalam bentuk penelantaran rumah tangga
berupa keengganan suami memberi nafkah keluarga .
Penyebab dari begitu besarnya jumlah korban KDRT, menurut kriminolog
asal Universitas Indonesia, Dra Purnianti, diakibatkan oleh paradigma yang salah.
Menurutnya sampai saat ini masih ada anggapan yang berkembang di masyarakat
bahwa KDRT bukanlah sebuah kejahatan. KDRT sering dimaafkan oleh
3
kebiasaan social dan ditempatkan sebagai bagian dari kehidupan perkawinan
ketimbang sebuah tindak kejahatan. Padahal segala bentuk kekerasan termasuk
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) harus dianggap sebagai tindak kejahatan
yang bisa diajukan ke pengadilan.
Prof Dr Muhamad Hakimi guru besar FK UGM bmengatakan dalam
seminar bertema Gerakan Pencegahan Kekerasan pada Perempuan dan Anak di
RS Dr. SarjitoYogyakarta (Kamis 28/4 2005) mengungkapkan ada beberapa hal
mengapa seorang suami tega melakukan kekerasan pada perempuan yang
dikawini pertama citra diri yang buruk. kedua pandangan terhadap perempuan
yang stereotipik yaitu perempuan pasif dan dapat dikendalikan. Seorang pria bisa
melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya jika memiliki pengalaman masa
kecil yang buruk, bisa berupa anak tersebut yang mengalami sendiri atau ia
menyaksikan kekerasan yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya. Selain itu
kehawatiran terhadap perubahan –perubahan yang dihadapi seperti pemutusan
hubungan kerja, pindah rumah, hamil, pekerjaan baru, juga bisa menjadi pemicu
kekerasan. Suami yang tidak mempunyai ketrampilan berkomunikasi yang
memadai, tidak bisa mendiskusikan masalahnya dengan melakukan dialog yang
baik dengan pasangan, ia cenderung menggunakan kekerasan daripada
musyawarah.
Dampak KDRT bagi Perempuan
Segala jenis kekerasan kepada siapapun pasti akan membawa dampak
yang sangat buruk. Khususnya pada perempuan , tindak kekerasan yang dialami
membuat jiwa mereka terganggu. Berdasarkan data Mitra Perempuan, sembilan
dari sepuluh perempuan terganggu mentalnya akibat tindak kekerasan yang
mereka alami. Mereka bukan hanya menderita gangguan jiwa, tak sedikit
diantaranya yang berupaya melakukan aksi bunuh diri. Aksi bunuh diri ini
dilakukan kaum perempuan akibat ketidak mampuan menanggung beban.
Menurut catatan Mitra Perempuan di tahun 2006 jumlah perempuan yang yang
mencoba menghabisi nyawanya mencapai angka 18 orang dari total 336 kasus
kekerasan. Dari angka tersebut, sebanyak 85,42 persennya merupakan kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Angka ini jauh lebih kecil dibanding
kasus sejenis di tahun 2005, dimana jumlah perempuan yang mencoba melakukan
aksi serupa mencapai angka 26 orang dari 455 kasus. (Dialog “Catatan kekerasan
terhadap perempuan dan statistic KDRT tahun 2006 di Jakarta 25 desember,
2007).
Dampak lain dari KDRT yang lebih memprihatinkan, adalah sering terjadi
seorang istri yang mengalami KDRT, ia yang menjadi korban KDRT, tetapi
sekaligus ia akan menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya
4
Pandangan Agama Terhadap KDRT
Tidak dapat dibantah, kaum perempuan saat ini punya peran majemuk.
Perempuan tak hanya ibu bagi anak-anaknya maupun istri dari suaminya. Tapi,
perempuan juga punya peran dan peluang berkecimpung di bidang lain, tanpa
terkecuali. Di lingkup pemerintahan, akademik, maupun bisnis. Sejarah
menunjukkan, perempuan tidak hanya menopang ekonomi keluarga, tapi juga
menebar banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Hal ini sudah berlaku sejak
zaman Rasulullah,” Siti Khadijah RA, istri Rasulullah, menjadi contoh rujukan.
Tak hanya menjadi pengusaha besar pada zamnanya, Khadijah juga adalah
sandaran para anak yatim dan dhuafa. Keberhasilan perjuangan Rasulullah tak
bisa dilepaskan dari peran Khadijah.
Hal ini terjadi karena agama Islam sangat memulyakan perempuan.
Mengangkat derajatnya dengan cara memberikan Kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan dalam hak dan kewajibannya . misalnya Lelaki dan perempuan
keduanya adalah manusia yang sama, karena keduanya bersumber dari ayah dan
ibu yang sama. Allah SWT berfirman dalam Qsan-Nisa 4/1 yang artinya:
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan istrinya”. (QS. al A”raf/7: 189 ).
Ayat ini pada sisi lain menunjukkan bahwa pada dasarnya hukum-hukum
yang berlaku antara laki-laki dan perempuan itu sama. Prinsip umum kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan dijelaskan rasul dengan sabdanya : “PerempuanPerempuan itu tak lain adalah (bagai) saudara kandung laki-laki”. Berdasarkan
pada kesamaan persaudaraan ini, maka pada dasarnya apapun yang ditetapkan
sebagai hukum bagi laki-laki, juga berlaku sepenuhnya bagi perempuan, kecuali
jika ada keterangan dari nash atau syariat yang menerangkan tentang
kekhususannya, maka teks-teks itulah yang menjadi pengecualian dari kaidah
umum tadi.
Berikut ini kesetaraan hak-hak perempuan dengan laki-laki, karena secara
umum ada beberapa kesamaan , selain kesamaan dalam asal penciptaan,
diantaranya adalah:
1. Kesamaan dalam amal perbuatan dan ganjarannya.
Prinsip Islam menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam amal
perbuatan dan pahalanya di akhirat, tanpa diskriminasi apapun. Misalnya QS. Ali
Imran 195 menjelaskan bahwa :Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian
kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”
2. Kesamaan dalam mematuhi taklif syar‟i
Secara prinsip Islam menyamakan antara laki-lak- dan perempuan
dihadapan taklif syar‟i sperti Firman Allah SWT pada QS. Al-Ahzab ayat
5
36
Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah
dia Telah sesat, sesat yang nyata”.
3. Kesamaan dalam hukuman dan sanksi syariah.
Kesamaan antara dua jenis kelamin itu dihadapan hukum dapat dibaca
pada QS. An-Nur ayat 2 :Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman”.
4. Kesamaan dalam memiliki hak menggunakan harta miliknya.
Islam mempersamakan antara laki-laki dan perempuan dalam
menggunakan dan memanfaatkan hak miliknya dalam masalah-masalah harta
benda. Setiap lelaki dan perempuan yang telah dewasa dan berakal memiliki hak
secara hukum untuk menggunakan apa yang dia miliki secara bebas. Seperti
dalam hal menjual, hibah, wasiat, sewa menyewa, mewakilkan urusannya pada
orang lain, menggadaikan, membeli dan lain-lain yang berhubungan dengan harta
miliknya. Firman Allah QS An-Nisa 4/32:. dan janganlah kamu iri hati terhadap
apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa
yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan,
5. Kesamaan dalam memiliki identitas diri
Perempuan setelah menikah berhak untuk menggunakan nama
keluarganya sendiri dibelakang namanya. Seorang suami tidak boleh mengubah
identitas diri istrinya. Sebagai contoh „Aisyah ra setelah menikah dengan
Rasulullah tetap menggunakan nama belakang atau nama famili Abu Bakar AshShiddiq, bukan nama suaminya Muhammad Rasulullah saw.
Antipasi Agama Terhadap KDRT
1. Perlakuann Suami yang Baik terhadap Istri (Mu‟sharah bi al Ma‟ruf” )
Allah berfirman yang artinya:“dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” QS. an-Nisa‟ 4/19:
Contoh mu‟asyarah bil ma‟ruf yang nyata kita dapatkan dalam pergaulan
Rasulullah kepada istri-istrinya yaitu Ia senantiasa mempergauli mereka dengan
6
sangat baik, selalu menampakkan muka manis dan berseri-seri, bersenda gurau
dan bercanda dengan mesra, memberi nafkah dan mempercayakan seluas-luasnya
tentang pengelolaan keuangan keluarga kepada istri bahkan bermain dengan istri,
mengajaknya lomba lari, tidur bersama dalam satu selimut, dan menyempatkan
diri berhubungan sebelum tidur
Perintah untuk mempergauli istri dengan ma‟ruf bukan hanya ditujukan
kepada istri yang dicintai tapi juga kepada istri yang tidak dicintai. Hal ini
dikatakan oleh Sya‟rawi dalam tapsirnya dimana ia membedakan antara
mawaddah yang seharusnya menghiasi hubungan suami istri, dengan sikap ma‟ruf
yang diperintahkan. Mawaddah pasti disertai dengan rasa cinta sementara ma‟ruf
tidak harus demikian.
Ayat diatas cukup jelas memberi indikasi bahwa ma‟ruf berbeda dengan
cinta. Oleh karena itu mawaddah atau cinta bukan sesuatu yang diperintahkan,
tetapi kondisi psikologis yang harus diupayakan. Sementara mempergauli atau
memperlakukan dengan baik adalah diperintahkan meskipun ia belum atau bahkan
tidak berhasil menghiasi hubungan suami–istri tersebut dengan mawaddah. Rasa
cinta boleh hilang, tetapi ia tetap diperintahkan untuk berlaku ma‟ruf. Mu‟asyarah
bil ma‟ruf bukan sekedar mempergauli istri dengan segala bentuk kebaikan yang
bersifat fisik atau material saja, tetapi juga psikologis. Adanya perintah
memperlakukan istri dengan baik membuat Nabi mencela para suami yang
melakukan tindak kekerasan terhadap istri-istri mereka. Nabi Muhammad saw.
bersabda:” ‟janganlah salah seorang diantaramu memukul istrinya seperti kuda.
Pagi hari dipukulnya kemudian dinaiki malam harinya.”
2. Suami sebagai Penanggung Jawab Utama Nafkah Keluarga
Suami memiliki tanggung jawab atau kewajiban memberikan nafaqah
kepada anak istrinya. Firman Allah: QS. al-Baqarah 2/233: “Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Faktor ekonomi ikut memiliki peran besar bagi kelangsungan rumah
tangga yang harmonis. Hak nafaqah adalah hak mutlak suami yang harus
diberikan kepada isteri baik sandang, pangan ataupun papan. Lalai tidak
memberikan nafaqah memberikan pengaruh hukum bagi keduanya. Artinya, isteri
boleh menggugat suami untuk bercerai dan mengakhiri mengakhiri ikatan
perkawinannya.
Hadist Rasul saw menyatakan: “Dinar terbaik yang diinfakkan oleh
tanggungannya”. (HR. Muslim). Menurut hadist ini infak yang paling bagus
adalah infak yang dikeluarkan seorang suami untuk keperluan anak istrinya,
karena kehidupan dan kesejahteraan mereka menjadi tanggung jawabnya. Nafaqah
harus bi al-ma‟ruf dengan pengertian tidak berlebihan, boros tapi juga tidak pelit.
7
3. Pemenuhan hak batin (kebutuhan Seksual).
Para ulama berbeda pendapat mengenai hubungan seksual antara suami
dan istri. apakah nafkah batin merupakan kewajiban suami atau hak suami. kalau
ditelaah hadist-hadist yang membahas tentang perkawinan seperti hadist “apabila
suami mengajak istrinya ketempat tidur ( untuk berhubungan seksual ), tetapi ia
menolaknya, dengan keras (tanpa alasan), sehingga suaminya marah, maka ia
akan dilaknat oleh para malaikat sampai subuh. (HR. Bukhai dan Muslim dari
Abu Hurairah) hadist ini menunjukkan bahwa hubungan seksual adalah hak
suami. hadist lain menyebutkan “Rasulullah melarang suami melakukan „azl
(mengeluarkan sperma diluar vagina ketika bersenggama), kecuali dengan izin
istri. (HR. Ahmad dan Ibn Majah dari Umar). Hadist ini menunjukkan bahwa
hubungan seksual adalah hak istri dan demi kesenangan istri.
Di samping dua hadist tadi ada firman allah QS al-Baqarah 2/223:. Isteriisterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah
tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira
orang-orang yang beriman Qs al-Baqarah 2/223: Ayat ini menegaskan bahwa
bahwa hubungan seksual adalah kepentingan berdua dan kesenangan bersama.
Bukan hanya istri yang melayani atau suami yang melayani. Dengan demikian
hubungan sek bagi istri bukan hanya berfungsi reproduksi tapi juga unsur
kesenangan. Maka lalai dalam arti tidak memberikan nafaqah batin juga
memberikan pengaruh hukum bagi keduanya. Artinya, isteri boleh menggugat
suami untuk bercerai dan mengakhiri ikatan perkawinannya.
Penutup
Dengan paparan seputar pesan-pesan agama dalam menyikapi KDRT
diatas, jelas nampak bagi kita bahwa agama tidak memotivasi umatnya untuk
melakukan KDRT terhadap perempuan, apalagi membenarkannya. Untuk
menanggulangi KDRT atau paling tidak mengurangi angka korban KDRT, perlu
langkah-langkah berikut:
1. mensosialisasikan nilai-nilai agama seputar relasi antara perempuan dan lakilaki, dan mengajarkan akhlakul karimah baik dirumah maupun disekolah
dimana orang tua dan guru harus menjadi suri tauladan dan panutannya.
2. perlindungan hukum terhadap perempuan. Meskipun Pemerintah telah
mengesahkan Undang-Undang No. 23 Th. 2004 tentang Penghapusan KDRT)
namun hukumnya masih bersifat normative. Persidangan menuntut adanya
saksi dan bukti, padahal seringkali kasus KDRT tidak ada saksi dan fakta
kekerasannya. Hukuman yang sangat ringan bagi pelakunya, dikhawatirkan
tidak bisa memberi efek jera bagi pelakunya
8
3. meningkatkatkan taraf pendidikan perempuan. Hak mendapatkan pendidikan
sama dengan laki-laki sangat penting bagi perempuan karena perempuan juga
berkewajiban mendidik anak sehingga ia harus dibekali dengan pendidikan
yang cukup agar bisa melahirkan generasi yang lebih baik dan unggul,
disamping memiliki posisi tawar dihadapan suaminya.
9
DALAM SOROTAN AGAMA1
Faizah Ali Syibromalisi
Email. [email protected]
Dosen tetap Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta
Pendahuluan
Lembaga perkawinan saat ini menghadapi berbagai tantangan yang
mengakibatkan angka perceraian terus meningkat. Salah satu tantangan itu adalah
kekerasan dalam rumah tangga, yang disingkat menjadi KDRT. Catatan Tahunan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan)
selama 2012 mencatat kekerasan di ranah personal sebagai kekerasan yang paling
banyak terjadi.yaitu sebanyak 216.156 kasus kekerasan terhadap perempuan yang
dilaporkan
Angka yang disodorkan oleh Komnas Perempuan seperti disebutkan
diatas tentu jauh lebih kecil dari kenyataan yang ada di masyarakat, karena
sebagian besar perempuan yang mengalami KDRT lebih memilih bungkam dari
pada mengadukan nasibnya kepada orang lain karena takut, demi menjaga
keutuhan keluarga. Alasan tidak dilaporkannya KDRT karena masih adanya
anggapan bahwa tindakan pelaporan justru dianggap sebagai tindakan
penyerangan atas integritas keluarga. Intervensi dari pihak luar dianggap sebagai
bentuk gangguan terhadap kekuasaan suami terhadap istri.
Akibat pandangan seperti itu hingga kini temuan-temuan kasus KDRT sangat
tersembunyi. Hampir tidak ada data nasional yang seragam tentang KDRT,
kecuali yang memang dilaporkan. Contohnya catatan Komisi Nasional Perempuan
seperti tersebut diatas ternyata berbeda dengan catatan Pengadilan agama .
Kekerasan yang terjadi di ranah personal yang ditangani pengadilan agama,
tercatat 203.507 kasus, seluruhnya dicatat dalam kekerasan yang terjadi di ranah
personal atau yang terjadi terhadap istri. Sementara dari 12.649 kasus yang
masuk dari lembaga mitra pengada layanan, kekerasan yang terjadi di ranah
personal tercatat 66 persen atau 8.315 kasus.
Melihat kenyataan tingginya angka KDRT di Indonesia, tentu
membutuhkan perhatian dari berbagai fihak, karena tindak kekerasan pada
perempuan sudah merupakan kezoliman yang tidak bisa ditoleransi lagi. Tulisan
singkat ini berusaha menyoroti masalah KDRT di Indonesia. dari sisi agama,
sebagai usaha menemukan solusi yang diharapkan minimal bisa mengurangi
angka tingginya angka KDRT. Mengingat keterbatasan waktu, penulis hanya
1
Makalah ini disampaikan dalam acara Seminar Sehari MUI DKI Jakarta, pada hari
Jumat, 10 Oktober 2014
1
memfokuskan pembahasan pada KDRT terhadap istri, meskipun KDRT
mencakup juga kekerasan terhadap suami dan anak. Diharapkan makalah ini bisa
membuka mata semua fihak khususnya perempuan bahwa KDRT harus dianggap
sebagai hal yang bertentangan dengan tujuan penciptaan dan tujuan perkawinan
dalam Islam.
Definisi Menikah dan Berkeluarga
Menikah dan membangun keluarga atau rumah tangga adalah naluri dasar
manusia. Sebagai mahluk, manusia ditakdirkan memiliki pasangan atau
berpasangan. Sejak muda naluri untuk berpasangan tumbuh dan mendorong
pelakunya berupaya bertemu dengan pasangannya. Itulah ketetapan Ilahi:” Segala
ssesuatu telah kami ciptakan berpasang pasangan supaya kamu mengingat (
kebesaran Allah)” ( QS adz –Dzariat [51]:49.
Dalam al-Qur‟an kata nikah berarti “berhimpun”. Menurut istilah
menikah adalah melangsungakan perkawinan yang dilaksanakan berdasar syarat
dan rukun tertentu menurut syariat islam. Kata lain dalam al-Qur‟an yang
memiliki makna pernikahan adalah kata zawwaja dari akar kata zauj yang berarti
berpasangan. Ini karena pernikahan menjadikan seseorang memiliki pasangan.
Menikah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bisa bermakna perjanjian
antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri(dengan resmi) dan
membentuk keluarga.
Kata keluarga dalam bahasa Arab dikenal dengan kata al- Usroh yang
berarti ikatan. Berdasarkan pengertian ini maka dapat difahami bahwa keluarga
terbentuk atas dasar ikatan yang bersifat ihktiyari (pilihan). Sedangkan hidup
berkeluarga adalah kehidupan bersama dua orang lawan jenis yang bukan
muhrimnya yang telah mengikatkan diri dengan tali perkawinan, bersama anak
keturunannyan yang dihasilkan sebagai akibat dari perkawinan tersebut. Hidup
berkeluarga, dengan demikian berarti sebuah kehidupan yang mempunyai cit-cita,
harapan dan tujuan, bukan sekedar kebersamaan. Cita-Cita berkeluarga adalah
membentuk keluarga bahagia dan kekal serta mendapatkan anak keturunan yang
salih dan salihah.
Tujuan Menikah
Motivasi dan tujuan menikah tentu berbeda-beda pada setiap orang, namun
secara umum tujuan pernikahan adalah : pertama, melaksanakan perintah Allah
swt. Anjuran untuk menikah tertulis dalam surah an –Nur [24]: 32 yang artinya :
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang
yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Maha Luas (pemberiannya) lagi Maha Mengetahui”. Kedua, Menikah adalah
2
mengikuti sunnah rasul saw. “Barang siapa yang mampu menikah, tetapi tidak
menikah maka ia bukanlah termasuk golonganku.” (HR. Thabrani dan Baihaqi).
Hadist Nabi SAW : “Siapa yang menikah, maka ia telah menyempurnakan
separuh imannya, maka hendaklah ia memelihara diri pada setengah sisanya.( HR.
Thabarani).Ketiga, memiliki keturunan demi memperbanyak umat. Hadist Nabi
saw: “Menikahlah kamu beranak dan berketurunan, Sungguh Aku bangga dengan
banyaknya kamu sebagai umatku di hari Qiamat nanti. (HR Baihaqi). Keempat,
menjaga kesucian diri (iffah). Hadist Rasul SAW mengatakan: “Pernikahan itu
dapat lebih memelihara pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Dan barang
siapa belum mampu menikah ,maka hendklah ia berpuasa, karena sesungguhnya
berpuasa itu dapat menjadi tameng mengalahkan hawa nafsu.( HR Bukhari
Muslim) .Kelima, Membentuk Keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah,
yang bisa menumbuhkan ketenangan jiwa. QS Ar-Rum[30] ; 21 yang artinya :
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir”.
Pengertian Kekerasan, Klasifikasi dan Penyebabnya
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Ratna Batara Munti
menyebutkan definisi kekerasan yaitu : “Sebuah tindakan bisa disebut sebagai
kekerasan manakala perbuatan itu telah menimbulkan kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, kesengsaraan seksual, psikologis dan atau penelantaran
rumah tangga, termasuk juga ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan serta melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga. (Republika 21-1-2005).
Ada empat bentuk kekerasan dalam rumah tangga, antara lain: pertama
Kekerasan fisik yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat. Kedua kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilang percaya diri, hilang kemampuan bertindak, rasa tidak berdaya
dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Ketiga kekerasan seksual yakni
perbuatan berupa pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak wajar atau tidak
disukai, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersil
atau tujuan tertentu. keempat Kekerasan dalam bentuk penelantaran rumah tangga
berupa keengganan suami memberi nafkah keluarga .
Penyebab dari begitu besarnya jumlah korban KDRT, menurut kriminolog
asal Universitas Indonesia, Dra Purnianti, diakibatkan oleh paradigma yang salah.
Menurutnya sampai saat ini masih ada anggapan yang berkembang di masyarakat
bahwa KDRT bukanlah sebuah kejahatan. KDRT sering dimaafkan oleh
3
kebiasaan social dan ditempatkan sebagai bagian dari kehidupan perkawinan
ketimbang sebuah tindak kejahatan. Padahal segala bentuk kekerasan termasuk
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) harus dianggap sebagai tindak kejahatan
yang bisa diajukan ke pengadilan.
Prof Dr Muhamad Hakimi guru besar FK UGM bmengatakan dalam
seminar bertema Gerakan Pencegahan Kekerasan pada Perempuan dan Anak di
RS Dr. SarjitoYogyakarta (Kamis 28/4 2005) mengungkapkan ada beberapa hal
mengapa seorang suami tega melakukan kekerasan pada perempuan yang
dikawini pertama citra diri yang buruk. kedua pandangan terhadap perempuan
yang stereotipik yaitu perempuan pasif dan dapat dikendalikan. Seorang pria bisa
melakukan kekerasan fisik terhadap pasangannya jika memiliki pengalaman masa
kecil yang buruk, bisa berupa anak tersebut yang mengalami sendiri atau ia
menyaksikan kekerasan yang dilakukan ayahnya terhadap ibunya. Selain itu
kehawatiran terhadap perubahan –perubahan yang dihadapi seperti pemutusan
hubungan kerja, pindah rumah, hamil, pekerjaan baru, juga bisa menjadi pemicu
kekerasan. Suami yang tidak mempunyai ketrampilan berkomunikasi yang
memadai, tidak bisa mendiskusikan masalahnya dengan melakukan dialog yang
baik dengan pasangan, ia cenderung menggunakan kekerasan daripada
musyawarah.
Dampak KDRT bagi Perempuan
Segala jenis kekerasan kepada siapapun pasti akan membawa dampak
yang sangat buruk. Khususnya pada perempuan , tindak kekerasan yang dialami
membuat jiwa mereka terganggu. Berdasarkan data Mitra Perempuan, sembilan
dari sepuluh perempuan terganggu mentalnya akibat tindak kekerasan yang
mereka alami. Mereka bukan hanya menderita gangguan jiwa, tak sedikit
diantaranya yang berupaya melakukan aksi bunuh diri. Aksi bunuh diri ini
dilakukan kaum perempuan akibat ketidak mampuan menanggung beban.
Menurut catatan Mitra Perempuan di tahun 2006 jumlah perempuan yang yang
mencoba menghabisi nyawanya mencapai angka 18 orang dari total 336 kasus
kekerasan. Dari angka tersebut, sebanyak 85,42 persennya merupakan kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Angka ini jauh lebih kecil dibanding
kasus sejenis di tahun 2005, dimana jumlah perempuan yang mencoba melakukan
aksi serupa mencapai angka 26 orang dari 455 kasus. (Dialog “Catatan kekerasan
terhadap perempuan dan statistic KDRT tahun 2006 di Jakarta 25 desember,
2007).
Dampak lain dari KDRT yang lebih memprihatinkan, adalah sering terjadi
seorang istri yang mengalami KDRT, ia yang menjadi korban KDRT, tetapi
sekaligus ia akan menjadi pelaku kekerasan terhadap anaknya
4
Pandangan Agama Terhadap KDRT
Tidak dapat dibantah, kaum perempuan saat ini punya peran majemuk.
Perempuan tak hanya ibu bagi anak-anaknya maupun istri dari suaminya. Tapi,
perempuan juga punya peran dan peluang berkecimpung di bidang lain, tanpa
terkecuali. Di lingkup pemerintahan, akademik, maupun bisnis. Sejarah
menunjukkan, perempuan tidak hanya menopang ekonomi keluarga, tapi juga
menebar banyak manfaat bagi masyarakat sekitar. Hal ini sudah berlaku sejak
zaman Rasulullah,” Siti Khadijah RA, istri Rasulullah, menjadi contoh rujukan.
Tak hanya menjadi pengusaha besar pada zamnanya, Khadijah juga adalah
sandaran para anak yatim dan dhuafa. Keberhasilan perjuangan Rasulullah tak
bisa dilepaskan dari peran Khadijah.
Hal ini terjadi karena agama Islam sangat memulyakan perempuan.
Mengangkat derajatnya dengan cara memberikan Kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan dalam hak dan kewajibannya . misalnya Lelaki dan perempuan
keduanya adalah manusia yang sama, karena keduanya bersumber dari ayah dan
ibu yang sama. Allah SWT berfirman dalam Qsan-Nisa 4/1 yang artinya:
“Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia
menciptakan istrinya”. (QS. al A”raf/7: 189 ).
Ayat ini pada sisi lain menunjukkan bahwa pada dasarnya hukum-hukum
yang berlaku antara laki-laki dan perempuan itu sama. Prinsip umum kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan dijelaskan rasul dengan sabdanya : “PerempuanPerempuan itu tak lain adalah (bagai) saudara kandung laki-laki”. Berdasarkan
pada kesamaan persaudaraan ini, maka pada dasarnya apapun yang ditetapkan
sebagai hukum bagi laki-laki, juga berlaku sepenuhnya bagi perempuan, kecuali
jika ada keterangan dari nash atau syariat yang menerangkan tentang
kekhususannya, maka teks-teks itulah yang menjadi pengecualian dari kaidah
umum tadi.
Berikut ini kesetaraan hak-hak perempuan dengan laki-laki, karena secara
umum ada beberapa kesamaan , selain kesamaan dalam asal penciptaan,
diantaranya adalah:
1. Kesamaan dalam amal perbuatan dan ganjarannya.
Prinsip Islam menyamakan antara laki-laki dan perempuan dalam amal
perbuatan dan pahalanya di akhirat, tanpa diskriminasi apapun. Misalnya QS. Ali
Imran 195 menjelaskan bahwa :Tuhan mereka memperkenankan permohonannya
(dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang
yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian
kamu adalah turunan dari sebagian yang lain.”
2. Kesamaan dalam mematuhi taklif syar‟i
Secara prinsip Islam menyamakan antara laki-lak- dan perempuan
dihadapan taklif syar‟i sperti Firman Allah SWT pada QS. Al-Ahzab ayat
5
36
Artinya : “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula)
bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah
dia Telah sesat, sesat yang nyata”.
3. Kesamaan dalam hukuman dan sanksi syariah.
Kesamaan antara dua jenis kelamin itu dihadapan hukum dapat dibaca
pada QS. An-Nur ayat 2 :Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang
berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang
beriman”.
4. Kesamaan dalam memiliki hak menggunakan harta miliknya.
Islam mempersamakan antara laki-laki dan perempuan dalam
menggunakan dan memanfaatkan hak miliknya dalam masalah-masalah harta
benda. Setiap lelaki dan perempuan yang telah dewasa dan berakal memiliki hak
secara hukum untuk menggunakan apa yang dia miliki secara bebas. Seperti
dalam hal menjual, hibah, wasiat, sewa menyewa, mewakilkan urusannya pada
orang lain, menggadaikan, membeli dan lain-lain yang berhubungan dengan harta
miliknya. Firman Allah QS An-Nisa 4/32:. dan janganlah kamu iri hati terhadap
apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari
sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa
yang mereka usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang
mereka usahakan,
5. Kesamaan dalam memiliki identitas diri
Perempuan setelah menikah berhak untuk menggunakan nama
keluarganya sendiri dibelakang namanya. Seorang suami tidak boleh mengubah
identitas diri istrinya. Sebagai contoh „Aisyah ra setelah menikah dengan
Rasulullah tetap menggunakan nama belakang atau nama famili Abu Bakar AshShiddiq, bukan nama suaminya Muhammad Rasulullah saw.
Antipasi Agama Terhadap KDRT
1. Perlakuann Suami yang Baik terhadap Istri (Mu‟sharah bi al Ma‟ruf” )
Allah berfirman yang artinya:“dan bergaullah dengan mereka secara
patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) Karena
mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya
kebaikan yang banyak.” QS. an-Nisa‟ 4/19:
Contoh mu‟asyarah bil ma‟ruf yang nyata kita dapatkan dalam pergaulan
Rasulullah kepada istri-istrinya yaitu Ia senantiasa mempergauli mereka dengan
6
sangat baik, selalu menampakkan muka manis dan berseri-seri, bersenda gurau
dan bercanda dengan mesra, memberi nafkah dan mempercayakan seluas-luasnya
tentang pengelolaan keuangan keluarga kepada istri bahkan bermain dengan istri,
mengajaknya lomba lari, tidur bersama dalam satu selimut, dan menyempatkan
diri berhubungan sebelum tidur
Perintah untuk mempergauli istri dengan ma‟ruf bukan hanya ditujukan
kepada istri yang dicintai tapi juga kepada istri yang tidak dicintai. Hal ini
dikatakan oleh Sya‟rawi dalam tapsirnya dimana ia membedakan antara
mawaddah yang seharusnya menghiasi hubungan suami istri, dengan sikap ma‟ruf
yang diperintahkan. Mawaddah pasti disertai dengan rasa cinta sementara ma‟ruf
tidak harus demikian.
Ayat diatas cukup jelas memberi indikasi bahwa ma‟ruf berbeda dengan
cinta. Oleh karena itu mawaddah atau cinta bukan sesuatu yang diperintahkan,
tetapi kondisi psikologis yang harus diupayakan. Sementara mempergauli atau
memperlakukan dengan baik adalah diperintahkan meskipun ia belum atau bahkan
tidak berhasil menghiasi hubungan suami–istri tersebut dengan mawaddah. Rasa
cinta boleh hilang, tetapi ia tetap diperintahkan untuk berlaku ma‟ruf. Mu‟asyarah
bil ma‟ruf bukan sekedar mempergauli istri dengan segala bentuk kebaikan yang
bersifat fisik atau material saja, tetapi juga psikologis. Adanya perintah
memperlakukan istri dengan baik membuat Nabi mencela para suami yang
melakukan tindak kekerasan terhadap istri-istri mereka. Nabi Muhammad saw.
bersabda:” ‟janganlah salah seorang diantaramu memukul istrinya seperti kuda.
Pagi hari dipukulnya kemudian dinaiki malam harinya.”
2. Suami sebagai Penanggung Jawab Utama Nafkah Keluarga
Suami memiliki tanggung jawab atau kewajiban memberikan nafaqah
kepada anak istrinya. Firman Allah: QS. al-Baqarah 2/233: “Para ibu hendaklah
menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. dan kewajiban ayah memberi makan dan Pakaian
kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Faktor ekonomi ikut memiliki peran besar bagi kelangsungan rumah
tangga yang harmonis. Hak nafaqah adalah hak mutlak suami yang harus
diberikan kepada isteri baik sandang, pangan ataupun papan. Lalai tidak
memberikan nafaqah memberikan pengaruh hukum bagi keduanya. Artinya, isteri
boleh menggugat suami untuk bercerai dan mengakhiri mengakhiri ikatan
perkawinannya.
Hadist Rasul saw menyatakan: “Dinar terbaik yang diinfakkan oleh
tanggungannya”. (HR. Muslim). Menurut hadist ini infak yang paling bagus
adalah infak yang dikeluarkan seorang suami untuk keperluan anak istrinya,
karena kehidupan dan kesejahteraan mereka menjadi tanggung jawabnya. Nafaqah
harus bi al-ma‟ruf dengan pengertian tidak berlebihan, boros tapi juga tidak pelit.
7
3. Pemenuhan hak batin (kebutuhan Seksual).
Para ulama berbeda pendapat mengenai hubungan seksual antara suami
dan istri. apakah nafkah batin merupakan kewajiban suami atau hak suami. kalau
ditelaah hadist-hadist yang membahas tentang perkawinan seperti hadist “apabila
suami mengajak istrinya ketempat tidur ( untuk berhubungan seksual ), tetapi ia
menolaknya, dengan keras (tanpa alasan), sehingga suaminya marah, maka ia
akan dilaknat oleh para malaikat sampai subuh. (HR. Bukhai dan Muslim dari
Abu Hurairah) hadist ini menunjukkan bahwa hubungan seksual adalah hak
suami. hadist lain menyebutkan “Rasulullah melarang suami melakukan „azl
(mengeluarkan sperma diluar vagina ketika bersenggama), kecuali dengan izin
istri. (HR. Ahmad dan Ibn Majah dari Umar). Hadist ini menunjukkan bahwa
hubungan seksual adalah hak istri dan demi kesenangan istri.
Di samping dua hadist tadi ada firman allah QS al-Baqarah 2/223:. Isteriisterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah
tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan
kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira
orang-orang yang beriman Qs al-Baqarah 2/223: Ayat ini menegaskan bahwa
bahwa hubungan seksual adalah kepentingan berdua dan kesenangan bersama.
Bukan hanya istri yang melayani atau suami yang melayani. Dengan demikian
hubungan sek bagi istri bukan hanya berfungsi reproduksi tapi juga unsur
kesenangan. Maka lalai dalam arti tidak memberikan nafaqah batin juga
memberikan pengaruh hukum bagi keduanya. Artinya, isteri boleh menggugat
suami untuk bercerai dan mengakhiri ikatan perkawinannya.
Penutup
Dengan paparan seputar pesan-pesan agama dalam menyikapi KDRT
diatas, jelas nampak bagi kita bahwa agama tidak memotivasi umatnya untuk
melakukan KDRT terhadap perempuan, apalagi membenarkannya. Untuk
menanggulangi KDRT atau paling tidak mengurangi angka korban KDRT, perlu
langkah-langkah berikut:
1. mensosialisasikan nilai-nilai agama seputar relasi antara perempuan dan lakilaki, dan mengajarkan akhlakul karimah baik dirumah maupun disekolah
dimana orang tua dan guru harus menjadi suri tauladan dan panutannya.
2. perlindungan hukum terhadap perempuan. Meskipun Pemerintah telah
mengesahkan Undang-Undang No. 23 Th. 2004 tentang Penghapusan KDRT)
namun hukumnya masih bersifat normative. Persidangan menuntut adanya
saksi dan bukti, padahal seringkali kasus KDRT tidak ada saksi dan fakta
kekerasannya. Hukuman yang sangat ringan bagi pelakunya, dikhawatirkan
tidak bisa memberi efek jera bagi pelakunya
8
3. meningkatkatkan taraf pendidikan perempuan. Hak mendapatkan pendidikan
sama dengan laki-laki sangat penting bagi perempuan karena perempuan juga
berkewajiban mendidik anak sehingga ia harus dibekali dengan pendidikan
yang cukup agar bisa melahirkan generasi yang lebih baik dan unggul,
disamping memiliki posisi tawar dihadapan suaminya.
9