Tahapan Forgiveness Pada Istri Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

(1)

TAHAPAN FORGIVENESS PADA ISTRI KORBAN

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

(KDRT)

Proposal Skripsi

Guna Memenuhi Persyaratan Sidang Skripsi

Oleh :

JAYANTI THEODORA 031301088

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan belas kasihan-Nyalah sehingga skripsi ini dapat terselesaikan tepat waktu dan membuahkan hasil yang memuaskan meskipun sangat jauh dari sempurna.

Ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya saya sampaikan kepada kedua orang tua dan adik-adik saya termasuk seluruh keluarga besar yang selalu mendukung, mendoakan dan memberikan semangat baru sehingga saya terpacu untuk selalu berusaha mengerjakan yang terbaik.

Teimakasih juga saya sampaikan untuk segenap jajaran dekan, dosen, pegawai di Fakultas Psikologi USU. Terkhusus untuk pembimbing saya Bu Josetta MRT, M.Si yang senantiasa memberikan masukan, dorongan, saran dan kritikan bagi kemajuan skripsi ini dan pengembangan diri saya. Terimakasih juga untuk dosen-dosen penguji Bu Raras S, M.Si dan Bu Rodiatul H, M.Si yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan-masukan atas skripsi ini.

Terimaksih juga untuk semua teman-teman di Psikologi yang selalu memberi saya dukungan dan semangat untuk tetap maju baik itu teman satu bimbingan (Devi & Nina), teman-teman stambuk 03, teman-teman diluar stambuk 03, teman-teman kelompok kecil, teman-teman PS Gloria, dan teman-teman lainnya.

Terima kasih juga untuk PKPA yang telah memberi saya kesempatan belajar dan menambah pengalaman selama ini, mulai dari direktur executive, para


(3)

staff, adik-adik dampingan, khususnya untuk semua anak Puspa yang selalu menjadi teman jika sedang stress. Saya juga mengucapkan terima kasih untuk semua yang telah mendukung saya selama ini baik susah maupun senang yang tidak dapat saya tuliskan satu persatu.

Terlepas dari itu semua saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh sempurna. Oleh karena itu, peneliti sangat berharap ada masukan dan kritikan yang membangun demi kemajuan bersama dikemudian hari.

Terima kasih

Medan, Juni 2008


(4)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Sebagai unit terkecil dalam masyarakat, keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang mengemudikan perjalanan hidup keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak merupakan suatu kesatuan yang kuat apabila terdapat hubungan baik antara ayah-ibu, ayah-anak dan ibu-anak. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua pribadi dalam keluarga. Interaksi antar pribadi yang terjadi dalam keluarga ini ternyata berpengaruh terhadap keadaan bahagia (harmonis) atau tidak bahagia (disharmonis) pada salah seorang atau beberapa anggota keluarga lainnya (Gunarsa, 1995).

Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan puas terhadap seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi atau aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental, emosi dan sosial seluruh anggota keluarga. Sebaliknya, keluarga disebut disharmonis apabila ada seorang atau beberapa orang anggota keluarga yang kehidupannya diliputi konflik, ketegangan, kekecewaan dan tidak pernah merasa puas dan bahagia terhadap keadaan serta


(5)

keberadaan dirinya. Keadaan ini berhubungan dengan kegagalan atau ketidakmampuan dalam penyesuaian diri terhadap orang lain atau terhadap lingkungan sosialnya (Gunarsa, 1995).

Ketegangan maupun konflik dengan pasangan atau antara suami dan istri merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Apabila konflik dapat diselesaikan secara sehat maka masing-masing pasangan (suami-istri) akan mendapatkan pelajaran yang berharga, menyadari dan mengerti perasaan, kepribadian, gaya hidup dan pengendalian emosi pasangannya sehingga dapat mewujudkan kebahagiaan keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila masing-masing pihak baik suami atau istri tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan melalui komunikasi dan kebersamaan. Disisi lain, apabila konflik diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dan semakin membahayakan bagi keluarga khususnya suami dan istri yang terlibat konflik. Penyelesaian konflik seperti ini terjadi bila setiap pihak tidak mampu bekerjasama untuk menciptakan suatu hubungan yang selaras. Mereka hanya mementingkan kepentingan pribadi daripada kepentingan bersama. Penyelesaian bisa dilakukan dengan kemarahan yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian berupa kata-kata kotor maupun ekspresi wajah merah padam menyeramkan yang dilakukan oleh suami maupun istri (Bachtiar, 2004). Seringkali pula muncul pola-pola perilaku yang bersifat


(6)

menyerang, memaksa, menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan (suami-istri). Pola-pola perilaku seperti ini menjurus pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang secara lebih luas diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu anggota keluarga kepada anggota keluarga lain dengan melanggar hak individu (Poerwandari, 2000).

Kekerasan dalam rumah tangga, selanjutnya disingkat KDRT, sebenarnya bisa menimpa siapa saja termasuk ibu, ayah, istri, suami, anak atau pembantu rumah tangga. Namun secara umum pengertian KDRT lebih dipersempit sebagai penganiayaan istri oleh suami. Hal ini dikarenakan terminologi kejahatan KDRT sesungguhnya berhubungan dengan ibu rumah tangga atau istri sebagai korban (Martha, 2003). Seperti yang dialami oleh Andri (29), seorang perempuan alumnus PTS terkenal yang mempunyai dua orang anak dan telah menjadi korban pemukulan suaminya selama empat tahun berumah tangga :

“Hampir seminggu saya dipukuli. Teman-teman sekantor semuanya tahu, kalau kekantor wajah saya sering biru dan kepala benjol karena pukulan mas Anto (31, suami Andri)” (Rusmaladewi, 2002).

KDRT juga dialami oleh Bu Aida, seorang dosen dari salah satu perguruan tinggi negeri ternama yang mengaku:

“Suami saya seringkali memukul saya, bahkan didepan anak-anak. Saya dilarang memakai hiasan atau kosmetik apapun kalau kekampus. Makian itu jadi makanan sehari-hari yang saya terima, kadang tanpa sebab yang jelas. Uang kuliah anak-anak juga tetap saya yang harus membayarnya. Saya tidak tahu uang gajinya dikemanakan. Kalo ngomong sama keluarga bisa bahaya” (Anshoriyah, 2007).

Data statistik lengkap mengenai kasus KDRT di Indonesia memang belum tersedia secara lengkap namun sejumlah informasi dan studi yang dilakukan


(7)

berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) perempuan, telah cukup menunjukkan fakta bahwa jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sangat memprihatinkan. Kementrian Pemberdayaan Perempuan (KPP) mencatat, sedikitnya 11,4 persen atau 24 juta perempuan dari 217 penduduk Indonesia mengaku pernah mengalami KDRT. Sebagian besar kasus kekerasan domestik itu, terjadi dipedesaan yang bisa juga dianalogikan dialami oleh kaum perempuan dengan tingkat pendidikan dan ekonomi rendah. Catatan yang diberikan LSM dan organisasi perempuan seperti Women’s Crisis Center (WCC) selama periode 1997 hingga 2000, telah menerima 879 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga hanya untuk daerah Jakarta. Tingginya jumlah kasus KDRT ini belum menggambarkan jumlah kasus secara menyeluruh karena masih banyak korban KDRT yang tidak mau melaporkan kasusnya kepihak yang berwajib atau LSM perempuan (Dian, 2004).

Berangkat dari banyaknya kasus-kasus KDRT yang terjadi terdapat banyak pula bentuk-bentuk kekerasan yang dilakukan pelaku terhadap korban. KDRT tidak hanya perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain, yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan fisik tetapi juga termasuk kesengsaraan atau penderitaan seksual, psikologis, ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang atau penekanan secara ekonomis, yang terjadi dalam lingkup rumah tangga (Kolibonso, 2000). Salah satunya yaitu penekanan secara ekonomis dialami oleh Maryati seorang ibu rumah tangga, yang mengatakan:

“Saya nggak cuma disiksa fisik, Pak! Tapi juga tak pernah diberi nafkah lahir” (Dian, 2004).


(8)

Bentuk kekerasan yang lainnya dialami oleh Juwarnik (36) warga Desa Cluring, Kecamatan Kalitengah yang menyatakan selain penyiksaan fisik, dia juga sering mendapat siksaan batin. Selama berumah tangga, suaminya secara terang-terangan beberapa kali pulang membawa wanita untuk diajak tidur dikamarnya. Juwarnik juga mengaku pernah melihat langsung suaminya bersama pekerja seks komersial (PSK) di sebuah warung lokalisasi saat mengambil motor orang lain yang dibawanya (Setyawan, 2007).

Banyak pihak yang tidak menyadari kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga tersebut terjadi terus menerus atau berulang-ulang dan setiap peristiwa menjadi lebih keras atau kejam (Johnson, 2007). Kekerasan yang berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki kedekatan hubungan dengan korban akan menimbulkan dampak fisik dan psikologis bagi korban. Poerwandari (2004) menyatakan bahwa praktek-praktek kekerasan merupakan pemaksaan tubuh terhadap jiwa. Jiwa, diri, ide dan kehendak harus tergantung, takluk pada kemampuan tubuh untuk menahan sakit dan penderitaan. Tubuh yang mengalami praktek kekerasan perlahan-lahan mengharuskan pikiran dan hati tunduk dan menyerah.

Dampak fisik menyangkut kesehatan non reproduksi seperti cedera, gangguan fungsional, keluhan fisik dan cacat permanen sedangkan yang menyangkut kesehatan reproduksi seperti hamil tidak diinginkan, penyakit menular seksual serta abortus (Dian, 2004). Dampak psikologis dapat berupa jatuhnya harga diri dan konsep diri. Korban akan melihat diri negatif, banyak menyalahkan diri, menganggap diri menjadi penanggungjawab tindak kekerasan


(9)

yang dialaminya. Korban juga dapat mengalami trauma, depresi dan bentuk-bentuk gangguan lain sebagai akibat dari bertumpuknya tekanan, kekecewaan, ketakutan dan kemarahan yang tidak dapat diungkap secara terbuka (Poerwandari, 2000). Hal tersebut terjadi pada Andri (29) yang mengaku mengalami trauma dan ketakutan dalam menjalani aktivitas sehari-hari setelah kasus penganiayaan oleh suaminya diajukan ke meja hijau. Selama beberapa bulan dia tidak berani berangkat ke kantor sendiri. Dia selalu minta diantar adik atau ayahnya (Rusmaladewi, 2002).

Worthington & Wade (1999) menyatakan bahwa pengalaman emosi ”dingin” yang meliputi kemarahan, kepahitan, bahkan kebencian atau disebut sebagai unforgiveness merupakan pengalaman yang sering dirasakan seseorang setelah mengalami peristiwa yang menyakitkan. Setelah mengalami unforgiveness seseorang perlu mempertimbangkan forgiveneness sebagai usaha untuk melepaskan unforgiveness dan berdamai dengan orang yang telah menyakitinya. Oleh karena itu, salah satu yang efektif untuk mengatasi perasaan menyesal, rasa bersalah, kemarahan, kecemasan dan takut, seperti yang dialami oleh korban KDRT adalah dengan memaafkan orang yang telah melakukan hal-hal menyakitkan (forgiveness). Hal ini dikarenakan adanya perasaan dendam dan sakit hati bisa mengganggu hubungan intim atau berhubungan dekat dengan orang lain,. Melepaskan rasa tidak senang dan usaha untuk forgiveness pada orang lain merupakan suatu hal penting untuk mempertahankan kedekatan dan hubungan intim dengan orang lain (Corey & Corey 2006).


(10)

Forgiveness merupakan sesuatu yang penting tapi juga merupakan hal

yang sulit untuk dilakukan bahakan terkadang sangat menyakitkan bagi seseorang.

Forgiveness tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat tapi membutuhkan waktu

yang lama dan setiap individu akan mengalami proses yang berbeda-beda satu dengan lainnya (Enright, 2001). Hal ini sesuai dengan pengakuan Juwarnik (36) yang mengaku menutup pintu maaf untuk suaminya. Sampai kapanpun, dia tidak akan mengampuni suaminya (Setyawan, 2007).

Denton & Martin’s (1998 dalam Konstam, Marx, Schurer, Harrington, Lombardo & Deveney, 2000) menjelaskan bahwa forgiveness itu sendiri melibatkan dua orang, yang salah satunya adalah sebagai penerima luka yang dalam sebagai akibat dari peristiwa yang menyakitkan baik secara psikologis, emosional, fisik atau moral. Forgiveness merupakan proses dari dalam diri dimana orang yang terluka melepaskan dirinya dari rasa marah, benci dan takut yang dirasakan dan tidak ingin balas dendam.

Pada umumnya forgiveness ini melibatkan pemberian maaf pada seseorang dimana pemberi maaf berinteraksi secara terus menerus dengan orang tersebut (pasangan, anak, anggota keluarga lainnya, rekan kerja, teman dan kenalan) (Worthington & Wade, 1999). Seseorang yang forgive atau mampu melepaskan diri dari rasa marah, kecewa dan tidak ingin balas dendam bisa saja tetap mengingat peristiwa menyakitkan tersebut tetapi dia cenderung untuk mengingat peristiwa traumatis itu dalam keadaan forgiving, seseorang dapat saja mengingatnya dengan cara yang berbeda, tidak terus menerus dengan rasa marah yang mendalam (Baskin & Enright, 2004).


(11)

Konstam, Marx, Schurer, Harrington, Lombardo & Deveney (2000) menjelaskan bahwa forgiveness merupakan modalitas yang secara signifikan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan (well-being) dan memperbaiki hubungan interpersonal (interpersonal relationship). Walaupun literatur ilmiah tentang hal ini masih sedikit, tapi studi-studi awal setuju bahwa forgiveness efektif dalam mengatasi rasa penyesalan yang dalam, rasa bersalah, ketakutan, kecemasan dan kemarahan. Keuntungan ini dapat ditemukan lebih banyak pada korban-korban incest, penyalahgunaan narkoba dan penderita kanker.

Hubungan forgiveness dengan kesehatan dan kesejahteraan manusia dapat diperoleh melalui dua mekanisme. Pertama, forgiving orang yang telah menyakiti diri dapat membangun kembali, memelihara dukungan dan menjaga hubungan antara korban dan pelaku. Kedua, selalu berusaha untuk memberi forgiveness dapat mengontrol rasa bermusuhan dalam diri seseorang (McCullough & Snyder, 2000).

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa forgiveness dapat meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan psikologis seseorang serta memperbaiki hubungan interpersonal khususnya antara korban (orang yang disakiti) dan pelaku (orang yang melakukan hal menyakitkan) setelah terjadinya peristiwa yang menyakitkan dan menimbulkan dampak traumatis. Terkait dengan fenomena diatas maka istri sebagai korban KDRT memerlukan forgiveness untuk melepaskan rasa marah, benci, dendam dan sakit hati setelah mengalami peristiwa mengakitkan yang mendalam untuk waktu yang lama. Kemampuan istri untuk memaafkan suami dapat menentukan peningkatan kesehatan dan kesejahteraan


(12)

psikologis serta membangun kembali hubungannya dengan suami di masa yang akan datang. Melalui forgiveness diharapkan hubungan masing-masing individu dalam keluarga akan semakin harmonis dan bahagia. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melihat tahapan forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

I.B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana tahapan forgiveness yang dilalui oleh istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

I.C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tahapan forgiveness pada istri korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

I.D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain berupa manfaat teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

I.D.1. Manfaat teoritis

a. Untuk memperkaya kajian ilmu psikologi klinis khususnya yang berhubungan dengan istri sebagai korban KDRT.


(13)

I.D.2. Manfaat praktis

a. Sebagai wacana bagi setiap keluarga mengenai perilaku kekerasan dalam rumah tangga dan dampak yang ditimbulkan terhadap kelangsungan keluarga dan korban jika KDRT terus terjadi.

b. Sebagai masukan bagi istri sebagai korban KDRT terkait dengan masalah forgiveness terhadap pasangan sebagai pelaku KDRT.

c. Sebagai bahan pertimbangan bagi pihak-pihak yang berhubungan dengan kasus-kasus KDRT yang banyak terjadi.

I.E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan berisikan inti sari dari : BAB I : Pendahuluan

Berisi tentang latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II : Landasan Teori

Berisi tinjuan teoritis yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini yaitu teori mengenai forgiveness (definisi, faktor-faktor yang mempengaruhi, proses dan dimensi), teori kekerasan dalam rumah tangga (definisi, bentuk-bentuk, penyebab, dan dampak psikologis) dan paradigma berpikir.


(14)

BAB III : Metode Penelitian

Berisi tentang pendekatan kualitatif yang digunakan, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, partisipan dan prosedur penelitian.

BAB IV : Hasil dan Analisis Hasil Penelitian

Berisi mengenai data hasil dan analisis masing-masing partisipan yang meliputi data observasi, latar belakang kehidupan, data observasi dan analisis data masing-masing partisipan, serta rangkuman hasil analisis antar partisipan.

BAB V : Kesimpulan, Diskusi dan Saran

Berisi tentang kesimpulan yang diperoleh berdasarkan data yang telah dianalisis, diskusi dan saran-saran yang dapat diberikan sesuai hasil penelitian.


(15)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Forgiveness

II.A.1. Definisi Forgiveness

Worthington & Wade (1999) membedakan antara unforgiveness dan

forgiveness. Unforgiveness merupakan suatu keadaan emosi “dingin” yang

meliputi kemarahan, kegetiran bahkan kebencian, ada motivasi menghindar atau membalas dendam terhadap pelaku, sebaliknya forgiveness adalah pilihan internal orang yang disakiti (baik sengaja atau tidak sengaja) untuk melepaskan

unforgiveness dan untuk mencari rekonsiliasi terhadap pelaku jika hal tersebut

dirasa aman, bijaksana dan mungkin untuk dilakukan.

Denton dan Martin’s (1998 dalam Konstam, Marx, Schurer, Harrington, Lombardo & Deveney, 2000) menyatakan bahwa forgiveness melibatkan dua orang, dimana salah satunya menerima luka yang dalam untuk waktu yang panjang baik secara psikologis, emosional, fisik maupun moral. Forgiveness merupakan proses yang terjadi didalam diri seseorang dimana orang yang telah disakiti mampu melepaskan dirinya dari rasa marah, benci dan takut yang dirasakan dan tidak ingin balas dendam.

Proses forgiveness juga melibatkan pilihan atau keputusan sukarela oleh orang yang telah disakiti untuk tidak marah, tidak menolak atau merasa tidak adil dalam merespon perilaku yang menyakitkan. Forgiveness lebih kepada pilihan


(16)

aktif daripada sekedar pengurangan pasif pada rasa marah atau rasa dendam sepanjang waktu (Kaminer, Skin, Mbanga & Dirwayi, 2000).

Forgiveness merupakan bagian dari suatu proses yang perlahan, sedikit

demi sedikit. Proses ini dimulai dari seseorang menuturkan rasa sakit setelah terjadi peristiwa menyakitkan, lalu berkembang sampai menjalani pengalaman-pengalaman korektif yang membangun kembali kepercayaan dan keintiman. Hal ini dilakukan dengan sukarela secara bertahap, hari demi hari (Spring dan Spring 2006).

Gartner (1988 dalam Spring & Spring, 2006) menyatakan bahwa

forgiveness yang matang tidak berarti menghapuskan perasaan-perasaan negatif

terhadap orang lain (atau diri sendiri). Rasa marah terhadap seseorang yang telah menyebabkan luka harus diimbangi dengan penghargaan atas komitmen, kualitas dan motivasi yang baik, atau paling tidak, empati pada segala kekurangan yang mendorongnya berperilaku destruktif. Hal itu akan melahirkan pandangan yang lebih seimbang dan realistis mengenai orang lain (dan diri sendiri), ketulusan hubungan yang memperkaya pengalaman batin, dan kemampuan lebih besar untuk secara konstruktif menanggapi seseorang dan situasi yang membuat frustrasi.

Definisi lain dikemukakan oleh Enright dan The Human Development

Studi Group (2001) yang menjelaskan bahwa:

“Forgiveness is the overcoming of negative affect and judgment toward

the offender, not by denying ourselves the right to such affect and judgment,but by endeavoring to view the offender with benevolence, compassion, and even loved, while recognizing that he or she has abandoned the right to them. The important parts of this definition are as follow; a) one who forgives has suffered a deep hurt, thus showing


(17)

resentment; b) the offended person has a moral right to resentment but overcomes it nonetheless; c) a new response to the other accrues, including compassion and love; d) this loving response accurs despite the realization that there is no obligation to love offender ”.

(Subkoviak, et al., 1992, p.3 dalam Wilson, 1994)

Definisi diatas mengelaborasikan afektif, kognitif dan sistem perilaku dalam menjelaskan forgiveness, yaitu bagaimana seseorang memaafkan perasaan, pemikiran dan perilaku orang lain terhadap dirinya. Respon psikologis dalam

forgiveness meliputi tidak adanya afeksi, penilaian dan perilaku negatif terhadap

orang lain (orang yang melakukan hal-hal menyakitkan) melainkan adanya afeksi, penilaian dan perilaku positif terhadap orang tersebut.

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa forgiveness adalah proses yang terjadi perlahan-lahan sebagai pilihan internal seseorang yang mengalami rasa sakit yang dalam, untuk waktu yang lama, berusaha untuk mengatasi perasaan dan penilaian negatif terhadap orang yang melakukan hal-hal menyakitkan dirinya. Forgiveness melibatkan perubahan sikap yang sebelumnya ingin membalas dendam dan menjauhi pelaku, menjadi ingin berdamai dengan pelaku, dimana perilaku forgiveness ini akan muncul baik pikiran, perasaan dan tingkah laku orang yang telah disakiti.

II.A.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Forgiveness

Keinginan seseorang untuk memaafkan tidak muncul begitu saja tetapi dipengaruhi oleh banyak hal. Forgiveness dipengaruhi oleh penilaian korban terhadap pelaku, penilaian korban terhadap kejadian, keparahan kejadian dan keinginan untuk menjauhi pelaku. McCullough, Sandage, Brown, Rachal,


(18)

Worthington & Enright (1998 dalam Pertiwi, 2004) menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi forgiveness. Keempat faktor tersebut adalah : 1. Variabel sosial-kognitif

Menurut McCullough (2000), permintaan maaf (apology) dengan tulus atau menunjukkan penyesalan yang dalam dapat menjadi faktor yang berpotensi mempengaruhi korban untuk memaafkan. Selain itu, McCullough (2000) juga mengatakan rumination dan suppression, yaitu kecenderungan korban untuk terus menerus mengingat kejadian yang dapat menimbulkan kemarahan dapat menghalangi dirinya untuk memaafkan. Orang yang mengingat kejadian-kejadian menyakitkan membuat semakin meningkatnya motivasi menghindar dan balas dendam terhadap pelaku. Enright, Santos dan Al-Mabuk; Enright & The Human Development Study (Reza, 2004) mempelajari penilaian seseorang mengenai kondisi yang dapat mempermudah forgiveness yaitu :

a. Revengeful forgiveness

Forgiveness hanya diberikan korban pada pelaku atau pihak yang telah

menyakitinya apabila korban dapat menghukum pelaku setimpal dengan penderitaan yang telah dialaminya.

b. Conditional or restitution forgiveness

Forgiveness diberikan apabila korban dapat memperoleh kembali

sesuatu yang hilang akibat peristiwa pahit yang dialaminya. Selain itu,


(19)

memaafkan sehingga forgiveness diberikan untuk menghilangkan perasaan bersalah korban.

c. Expectational forgiveness

Forgiveness diberikan ketika adanya tekanan dari pihak luar untuk

melakukannya atau karena menurut korban orang lain mengharapkan dirinya melakukan hal tersebut.

d. Lawful expectational forgiveness

Forgiveness diberikan oleh korban karena adanya faktor agama atau

institusi yang serupa, seperti: negara, kelompok suku yang menuntut dirinya untuk memaafkan. Worthington dan Wade (1999) menyatakan bahwa agama yang dimiliki oleh seseorang juga mempengaruhi

forgiveness terhadap orang yang telah menyakitinya.

e. Forgiveness as a social harmony

Korban menyadari bahwa dengan memaafkan pelaku atau pihak yang telah menyakitinya akan menciptakan hubungan yang baik dan harmonis dalam masyarakat. Ketegangan dan konflik dapat diminimalisasi dengan

forgiveness. Hal ini merupakan cara untuk mempertahankan hubungan

yang damai antar individu atau kelompok.

f. Forgiveness as a love

Forgiveness diberikan karena forgiveness itu sendiri memiliki arti cinta

kasih kepada sesama. Pengalaman menyakitkan yang dialami korban tidak mempengaruhi ekspresi cinta kasih kepada orang lain termasuk


(20)

pelaku atau pihak yang telah menyakitinya. Hubungan ini memungkinkan terjadinya rekonsiliasi dan tidak ada balas dendam.

2. Karakteristik serangan

Faktor ini berkaitan dengan persepsi dari kadar penderitaan yang dialami oleh orang yang disakiti serta konsekuensi yang menyertainya. Seseorang akan lebih sulit untuk memaafkan kejadian-kejadian yang dianggap penting dan bermakna dalam hidupnya. Zechmeister, Garcia, Romero & Vas (2004) menyatakan bahwa seberapa besar kadar penderitaan yang dialami akan menentukan tingkat hukuman bagi pelaku, harga ganti rugi bahkan memutuskan untuk tidak memaafkan. Selain itu, kadar penderitaan ini juga mempengaruhi korban dalam menginterpretasikan permintaan maaf. Permintaan maaf yang disertai dengan perilaku sangat menyakitkan tidak terlalu mengurangi penilaian negatif korban terhadap pelaku.

3. Kualitas hubungan interpersonal

Faktor lain yang sangat mempengaruhi forgiveness adalah kedekatan atau hubungan antara orang yang disakiti dengan pelaku. Menurut McCullough (2000) seseorang akan sangat memungkinkan untuk memaafkan dalam hubungan yang dicirikan dengan closeness, commitment, dan satisfaction. Pasangan-pasangan yang memiliki kualitas hubungan seperti ini akan lebih siap untuk memaafkan satu sama lain jika terjadi serangan interpersonal.


(21)

Menurut Rusbult, et al., & Van Lange, et al., (dalam Pertiwi, 2004) terdapat empat hal yang mempengaruhi forgiveness terhadap pasangan. Pertama, pasangan akan memaafkan kesalahan yang dilakukan oleh pasangannya dikarenakan adanya keinginan untuk tetap menjaga dan memelihara hubungan perkawinan. Kedua, pasangan yang memiliki komitmen kuat dalam perkawinan akan memilki orientasi jangka panjang yang jelas dan yang ingin dicapai, sehingga kesalahan pasangan akan dinilai sebagai sesuatu yang harus dimaafkan untuk dapat mempertahankan hubungan dan komitmen tersebut. Ketiga, pada pasangan yang memiliki komitmen kuat dalam perkawinan, kesalahan pasangan justru menyebabkan hubungan satu sama lainnya semakin erat dan kokoh. Keempat, adanya kepentingan bersama antara pasangan, sehingga kesalahan pasangan akan dapat dimaafkan oleh pasangannya.

4. Faktor kepribadian

Menurut Worthington dan Wade (1999) menyebutkan beberapa faktor kepribadian yang mempengaruhi forgiveness, antara lain adalah faktor

agreebleness dalam The Big Five dan kecerdasan emosi (yaitu kemampuan

untuk memahami keadaan emosi diri sendiri dan orang lain, mampu mengontrol emosi, memanfaatkan emosi dalam membuat keputusan, perencanaan dan memberikan motivasi), empati (menurut McCullough (2000) adalah kemampuan untuk memahami atau melihat sudut pandang orang lain yang berbeda dari sudut pandang diri sendiri dan mencoba untuk mengerti faktor apa yang melatarbelakangi perilaku seseorang), narcissism


(22)

(berhubungan negatif dengan forgiveness), pride (orang yang bangga akan diri sendiri akan sulit memaafkan), rasa bersalah dan malu, serta faktor agama.

II.A.3. Tahapan Forgiveness

Enright dan Coyle (1998) mengembangkan suatu model tahapan

forgiveness. Model ini meliputi aspek kognitif, afektif dan perilaku yang terjadi

dalam proses forgiveness. Tahapan tersebut dibagi kedalam empat fase yaitu :

uncovering phase, decision phase, work phase dan outcome/deepening phase.

Orcutt, Pickett & Pope (2005) menjelaskan masing-masing fase sebagai berikut:

1. Uncovering phase : proses forgiveness melibatkan rasa disakiti secara

tidak adil pada individu yang dipenuhi dengan pengalaman emosi negatif dan rasa sakit yang diasosiasikan dengan luka. Emosi negatif (unforgiveness) harus dikonfrontasikan dan secara mendalam dipahami sebelum proses penyembuhan dimulai.

2. Decision phase : individu menyadari bahwa memfokuskan diri secara terus

menerus pada luka dan pelaku hanya dapat menghasilkan penderitaan yang berlanjut. Kemungkinan memaafkan dilakukan sebagai strategi untuk penyembuhan dan individu membuat komitmen untuk memaafkan pelaku. Berdasarkan komitmen ini, kerja forgiveness diawali dan pada fase ini pikiran, perasaan dan perhatian untuk membalas dendam terhadap pelaku dilepaskan.


(23)

3. Work phase : kerja forgiveness diawali. Tahapan forgiveness seringkali

melibatkan perubahan persepsi terhadap pelaku, mungkin dengan menempatkan kejadian dalam konteks kehidupan pelaku, dalam suatu usaha yang bukan atas alasan tanggungjawab pelaku tapi lebih kepada menerima pelaku sebagai anggota komunitas manusia. Orang yang disakiti memilih untuk menawarkan beberapa bentuk perbuatan baik (pribadi dan/atau umum) terhadap pelaku.

4. Outcome/Deepening phase : memaafkan individu menjadikan seseorang

sadar akan keuntungan emosional positif yang akan diterimanya dari proses forgiveness. Secara umum, individu menemukan makna dalam penyembuhan yang dialaminya sehingga pada fase terakhir ini individu mengalami paradox of forgiveness, sebagai salah satu sikap terhadap rasa sakit yang tidak adil dan memberikan kemurahan hati pada orang lain, orang yang telah disembuhkan.

Menurut Enright dan The Human Development Study Group (Enright & Coyle, 1998) secara rinci masing-masing fase ini terdiri dari beberapa guideposts seperti yang terlihat pada tabel berikut ini:

Tabel II.1. Tahapan Forgiveness

(Enright dan The Human Development Study Group)

Phase Guideposts

1. Uncovering phase a. Pemeriksaan mekanisme pertahanan psikologis

b. Mengkonfrontasikan kemarahan bukan menyembunyikan kemarahan


(24)

d. Korban menyadari tentang banyaknya energi yang dikeluarkan akibat dari peristiwa menyakitkan itu e. Menyadari adanya pemikiran yang berulang-ulang

terhadap kejadian yang menyakitkan f. Muncul pemikiran bahwa korban dapat

membandingkan dirinya dengan pelaku g. Merealisasikan bahwa korban mengalami

perubahan yang menetap oleh karena kejadian yang menyakitkan

h. Korban menyadari bahwa pandangannya tentang keadilan telah berubah

2. Decision phase a. Perubahan hati, pemahaman baru bahwa strategi

solusi lama tidak dapat mambawa hasil yang diharapkan

b. Keinginan mempertimbangkan forgiveness sebagai suatu pilihan

c. Komitmen untuk memaafkan pelaku

3. Work phase a. Penyusunan kembali, pemaknaan kembali terhadap

peristiwa menyakitkan yang dialami melalui pengambilan peran pelaku dengan memandang konteksnya

b. Empati terhadap pelaku

c. Kesadaran bahwa forgiveness membutuhkan penerimaan terhadap luka yang dialami

d. Forgiveness diberikan sebagai suatu hadiah moral

bagi pelaku

4. Outcome/Deepening

phase

a. Menemukan makna bagi diri sendiri dan orang lain dalam penderitaan dan selama proses forgiveness b. Menyatakan bahwa diri sendiri membutuhkan


(25)

c. Muncul pemikiran bahwa korban merasa dirinya tidak sendirian (universal dan dukungan)

d. Memperoleh tujuan baru dalam hidup dikarenakan oleh penderitaannya

e. Kesadaran bahwa perasaaan negatif yang dimiliki digantikan dengan perasaan positif, perasaan positif tersebut membebaskan, menguntungkan bagi korban

Sumber: Enright & Coyle (1998)

Model ini bukanlah suatu fase yang berlangsung secara kaku, sesuai urutannya melainkan suatu set yang fleksibel. Seseorang yang berada pada

guideposts tertentu dapat saja berupa putaran maju dan mundur disertai dengan

transformasi sikap. Masing-masing individu mempunyai pengalaman yang unik sehingga tahapan forgiveness masing-masing individu juga terjadi secara unik (Enright, 2001).

II.A.4. Dimensi Forgiveness

Menurut Baumeister, Exline & Sommer (1998), forgiveness harus dipahami sebagai sesuatu yang terjadi didalam diri orang yang telah disakiti atau korban dan diantara korban dan pelaku. Keadaan ini menggambarkan bahwa

forgiveness dapat terjadi dalam dua dimensi, yaitu intrapsychic dan interpersonal.

Dimensi intrapsikis melibatkan keadaan dan proses yang terjadi didalam diri orang yang disakiti secara emosional, pikiran dan perilaku yang menyertainya.

Forgiveness juga memiliki dimensi interpersonal karena forgiveness merupakan


(26)

Dimensi forgiveness tersebut saling berinteraksi menghasilkan beberapa

kombinasi forgiveness (Baumeister, Exline & Sommer (1998), antara lain sebagai berikut:

Tabel II.2. Dimensi Forgiveness

Interpersonal Act + No Intrapsychic State Hollow Forgiveness

Intrapsychic State + No interpersonal Act Silent Forgiveness

Intrapsychic State + Interpersonal Act Total Forgiveness

No Intrapsychic State + No Interpersonal Act No Forgiveness

Sumber: Baumeister, Exline & Sommer (1998)

1. Hollow Forgiveness

Kombinasi ini terjadi saat korban dapat mengekspresikan forgiveness secara konkret melalui perilaku namun koban belum dapat merasakan dan menghayati adanya forgiveness didalam dirinya. Korban masih menyimpan rasa dendam dan kebencian meskipun ia telah mengatakan kepada pelaku: “saya memaafkan kamu”. Enright dan The Human Development Study Group; Al-Mabuk, Enright & Cardis (dalam Baumeister, Exline & Sommer, 1998) menyatakan bahwa dimulainya proses intrapsikis forgiveness ditandai dengan adanya komitmen dari korban untuk memaafkan. Saat komitmen telah dimiliki, korban dapat mengekspresikannya dengan baik kepada pelaku.

2. Silent Forgiveness

Kombinasi yang kedua ini berkebalikan dengan kombinasi pertama. Dalam kombinasi ini, intrapsikis forgiveness dirasakan namun tidak diekspresikan


(27)

melalui perbuatan dalam hubungan interpersonal. Korban tidak lagi menyimpan perasaaan marah, dendam, benci kepada pelaku namun tidak mengekspresikannya. Korban membiarkan pelaku terus merasa bersalah dan terus bertindak seolah-olah pelaku tetap bersalah.

Menurut Baumeister, Exline & Sommer (1998), silent forgiveness tampaknya mengandung unsur manipulatif dam munafik. Silent forgiveness bermanfaat terutama dari sudut pandang korban, keuntungannya yaitu hilangnya perasaan-perasaan negatif yang mengganggu korban selama ini dan menghindari kerugian yang dialami setelah memaafkan, yaitu hilangnya ganti rugi yang diperoleh dari pelaku. Pada beberapa situasi, interpersonal forgiveness menjadi sesuatu yang sulit karena dapat membahayakan pelaku.

3. Total Forgiveness

Kombinasi ini terjadi dimana orang yang disakiti atau korban menghilangkan perasaan kecewa, benci atau marah terhadap pelaku, dan pelaku dibebaskan dari perasaan bersalah dan kewajibannya, kemudian hubungan antara korban dengan pelaku kembali secara total seperti keadaan sebelum peristiwa menyakitkan terjadi (Baumeister, Exline & Sommer, 1998).

4. No Forgiveness

Pada kombinasi ini, intrapsychic dan interpersonal forgiveness tidak terjadi pada korban. Baumeister, Exline & Sommer (1998) menyebut kondisi ini sebagai total grudge combination. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu :


(28)

a) Claims on reward and benefits

Forgiveness tidak diberikan karena dapat memberikan keuntungan praktis

dan material bagi korban. Pelaku memiliki “hutang” kepada korban akibat dari perbuatan menyakitkan yang dilakukannya sehingga seringkali

forgiveness diberikan pada saat pelaku menampilkan tindakan yang

memberikan keuntungan bagi korban. Reward yang diperoleh tidak hanya bersifat material tapi dapat juga non material.

b) To prevent reccurence

Forgiveness dianggap dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya

pelanggaran atau peristiwa menyakitkan yang dialami korban dimasa yang akan datang. Apabila tidak memberikan pemaafan pada pelaku maka korban dapat terus mengingatkan pelaku untuk tidak mengulangi perbuatannya.

c) Continued suffering

Korban tidak memaafkan pelaku karena perasaan menderita dari pengalaman menyakitkan di masa lalu yang terus berlanjut. Saat konsekuensi dari kejadian menyakitkan yang dialami korban di masa lalu mempengaruhi hubungannya dengan pelaku di masa depan maka

forgiveness merupakan sesuatu yang sulit dilakukan.

d) Pride and revenge

Pengalaman menyakitkan yang dialami korban berpengaruh terhadap harga diri korban. Apabila forgiveness diberikan pada pelaku maka korban merasa bahwa perbuatan tersebut akan mempermalukan dirinya bahkan


(29)

menunjukkan rendahnya harga diri korban. Saat korban secara intrapsikis memaafkan pelaku, korban dapat menyesali apa yang dilakukannya karena faktanya korban tidak memperjuangkan sesuatu yang menjadi haknya dan mempersepsikan dirinya sebagai orang yang bodoh.

e) Principal refusal

Forgiveness tidak dilakukan oleh korban karena hal ini dianggap

mengabaikan prinsip yang telah baku dan standar hukum yang ada.

Forgiveness diidentikkan dengan memberikan pengampunan hukum

terhadap pelaku yang dinyatakan bersalah melalui sistem peradilan yang ada sehingga memaafkan pelaku adalah perbuatan yang keliru.

II.A.5. Dampak Forgiveness Terhadap Kesehatan, Kesejahteraan Psikologis dan Hubungan Interpersonal

Forgiveness ternyata secara signifikan dapat berhubungan dengan

kesehatan (Lawler, Younger, Piferi, Jobe, Edmondson & Jones (2005), kesejateraan psikologis (McCullough, 2000; Orcutt, Pickett & Pope, 2005; Konstam, Marx, Schurer, Harrington, Lombardo & Deveney, 2000; Karemans, Lange, Ouwerkerk & Kluwer, 2003) dan memperbaiki hubungan interpersonal (McCullough, 2000; Worthington & Wade, 1999; Tsang, McCullough & Fincham, 2006; Hall & Fincham, 2006).

Forgiveness dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan psikologis karena

dengan memaafkan, seseorang dapat melepaskan perasaan marah, mengubah pemikiran desruktif menjadi pemikiran yang lebih baik terhadap orang yang telah


(30)

menyakitinya (Enright, 2001). Hal ini didukung oleh hasil penelitian Lawler, Younger, Piferi, Jobe, Edmondson & Jones (2005) yang menunjukkan bahwa

forgiveness berhubungan dengan kesehatan yang meliputi simtom-simtom fisik,

penggunaan obat-obatan, kualitas tidur, kelelahan dan keluhan somatik. Secara psikologis penelitian Reed & Enright (2006) menunjukkan bahwa terapi

forgiveness secara signifikan lebih baik untuk mengatasi depresi, kecemasan, posttraumatic stress symptom, self-esteeem yang dilakukan terhadap wanita yang

mengalami kekerasan emosional sebagai akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh pasangannya dalam waktu yang lama. Forgiveness juga dapat berhubungan dengan pemulihan hubungan kedekatan dan komitmen setelah terjadi peristiwa yang menyakitkan (Tsang, McCullough & Fincham, 2006). Jika orang yang disakiti memaafkan pelaku maka hubungan dengan pelaku dapat di pulihkan untuk waktu kedepan tetapi jika orang yang disakiti tidak memaafkan pelaku maka hubungan ini bisa saja terputus.

II.B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

II.B.1. Definisi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Istilah kekerasan dalam rumah tangga dalam literatur barat umumnya dipergunakan secara bervariasi, misalnya domestic violence, familiy violence atau

wife abused. Gelles (1990 dalam Martha, 2003) mendefinisikan kekerasan dalam

keluarga (family violence) sebagai seseorang yang melakukan tindakan pemukulan, menampar, menyiksa, menganiaya ataupun pelemparan benda-benda kepada orang lain yang menyangkut kekerasan dalam keluarga. Adapun


(31)

Fredmann (1985 dalam Martha, 2003) menggunakan istilah kekerasan dalam rumah tangga ini pada bentuk kekerasan yang berhubungan antara suami dan istri yang salah satu diantaranya bisa menjadi pelaku atau korban, tetapi pada kenyataannya secara umum perempuan lebih cenderung menjadi korban.

Poerwandari (2000) menjelaskan bahwa kekerasan dalam rumah tangga menyangkut berbagai bentuk kekerasan yang pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluarga atau hubungan kedekatan lain. Kekerasan terhadap perempuan dalam hubungan intim (KDRT) mencakup usaha-usaha dari pasangan untuk mengintimidasi, baik dengan ancaman atau melalui penggunaan kekuatan fisik pada tubuh perempuan atau barang-barang miliknya. Tujuan dari serangan tersebut adalah untuk mengendalikan tingkah laku korban atau untuk memunculkan ketakutan.

Selanjutnya, definisi kekerasan dalam rumah tangga menurut UU RI No. 23 Thn 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga pasal 1 ayat 1, adalah:

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Berdasarkan definisi-definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap bentuk kekerasan dimana pelaku dan korbannya memiliki hubungan keluarga atau hubungan kedekatan lain yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,


(32)

dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan dengan tujuan adalah untuk mengendalikan tingkah laku korban atau untuk memunculkan ketakutan.

II.B.2. Bentuk-bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Menurut Poerwandari (2000) secara umum bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut :

a. Kekerasan fisik

Mencakup perilaku memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh korban, menginjak, melukai dengan tangan kosong atau alat/senjata bahkan membunuh.

b. Kekerasan psikologis

Mencakup perilaku berteriak-teriak, menyumpah, mengancam, merendahkan, mengatur, melecehkan, menguntit dan memata-matai, serta tindakan-tindakan lain yang menimbulkan rasa takut (termasuk yang diarahkan kepada orang-orang dekat korban, misalnya keluarga, anak suami, teman dekat dan lain-lain).

c. Kekerasan seksual

Mencakup melakukan tindakan yang mengarah ke ajakan atau desakan seksual seperti menyentuh, meraba, meraba, mencium, dan/atau melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak dikehendaki korban, memaksa korban menonton produk pornografi, gurauan-gurauan seksual yang tidak dikehendaki korban, ucapan-ucapan yang merendahkan dan


(33)

melecehkan dengan mengarah pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa berhubungan seks tanpa persetujuan korban, dengan kekerasan fisik maupun tidak, memaksa melakukan aktivitas-aktivitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban.

d. Kekerasan finansial

Mengambil uang korban, menahan atau tidak memberikan pemenuhan kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya, semuanya dengan maksud untuk dapat mengendalikan tindakan korban.

e. Kekerasan spiritual

Merendahkan keyakinan dan kepercayaan korban, memaksa korban untuk meyakini hal-hal yang tidak diyakininya, memaksa korban mempraktikkan ritual dan keyakinan tertentu.

II.B.3. Penyebab Terjadinya KDRT

Penyebab terjadinya KDRT merupakan hal yang kompleks. Secara umum diketahui bahwa kekerasan terhadap anak mupun orang dewasa ditentukan oleh faktor yang saling berhubungan antara lain faktor individual, sistem keluarga dan sistem sosial (Ammerman & Hersen, 1992).

O’Leary & Murphy (1992) memberikan beberapa pandangan yang dapat menjelaskan terjadinya KDRT khususnya kekerasan terhadap pasangan, yaitu :


(34)

1. Pandangan sosiohistoris

Menurut pandangan ini, kekerasan terjadi karena adanya masalah-masalah seperti laki-laki lebih dominan daripada perempuan, adanya budaya patriarkal dan institusi yang mengontrol dan menekan kedudukan perempuan. Kekerasan terhadap perempuan merupakan produk struktur sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan menomorsatukan kepentingan dan perspektif laki-laki, sekaligus menganggap perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dan kurang bernilai dibandingkan laki-laki (Poerwandari, 2000).

2. Pandangan sistem keluarga

Menurut pandangan ini, kekerasan terjadi karena adanya masalah dalam sistem keluarga seperti dinamika komunikasi yang keliru, perubahan-perubahan dalam keluarga atau penyelesaian konflik yang tidak tepat. Perasaan marah, tidak dapat menemukan solusi masalah dan miskomunikasi dengan pasangan dapat menimbulkan kekerasan. Berdasarkan pandangan ini, tanggungjawab untuk mengontrol konflik sepenuhnya diserahkan kepada kedua pasangan (suami dan istri) secara bersama-sama (O’Leary & Murphy, 1992).

3. Pandangan psikopatologis

Menurut pandangan ini, kekerasan dapat terjadi karena psikopatologis yang dialami oleh pelaku kekerasan, yaitu menyangkut masalah harga diri, cemburu, gangguan kepribadian, agresif, impulsif, dan/atau kepribadian eksplosif serta masalah-masalah lain seperti pengguna narkoba dan alkohol atau sebelumnya pernah mengalami kekerasan dan dianiaya (biasanya pada masa kanak-kanak) (O’Leary & Murphy, 1992).


(35)

Hal-hal yang dapat menyebabkan KDRT ini bisa memunculkan masalah yang kompleks. Kekerasan yang terjadi bisa berlangsung dalam waktu yang lama dan terus menerus. Komnas Perempuan mengistilahkan kondisi ini sebagai suatu pola yang menunjukkan siklus kekerasan. Siklus ini terdiri dari tiga tahapan atau tiga fase utama, yaitu fase ketegangan, fase penganiayaan dan fase bulan madu (Tamtiari, 2005).

Fase munculnya ketegangan disebabkan percekcokan terus-menerus, tidak saling memperhatikan atau kombinasi keduanya dan kadang-kadang disertai dengan kekerasan kecil. Namun, semua ini dianggap biasa saja dan wajar dalam rumah tangga. Kemudian pada fase kedua, kekerasan mulai muncul berupa meninju, menendang, menampar, mendorong, mencekik atau bahkan menyerang dengan senjata. Kekerasan ini dapat berhenti jika korban pergi dari rumah, pelaku sadar apa yang dia lakukan atau salah seorang perlu dibawa kerumah sakit. Pada fase bulan madu pelaku biasanya menyesali tindakannya. Penyesalan biasanya berupa rayuan dan berjanji tidak akan melakukannya lagi. Bahkan tidak jarang pelaku sepenuhnya menunjukkan sikap mesra dan menghadiahkan sesuatu. Korban biasanya akan luluh dan berharap hal tersebut tidak akan terjadi lagi. Itulah sebabnya korban kekerasan tetap memilih bertahan meski menjadi korban dan pada fase ini korban merasakan cinta yang paling penuh. Namun, kemudian tahap ini pudar dan ketegangan muncul lagi, terjadi lagi fase kedua selanjutnya fase bulan madu (Saraswati, 2006).


(36)

Skema II.1 Siklus kekerasan

Fase ketegangan

Tekanan Agama Tekanan Adat

Fase Fase

Bulan madu Penganiayaan

Tekanan Keluarga Tekanan Ekonomi

II.B.4. Dampak Psikologis Korban KDRT

Poerwandari (2000) menjelaskan bahwa rasa takut adalah perasaan yang paling mendominasi korban KDRT. Rasa takut tersebut mengendalikan perilaku dan mewarnai segala tindakannya. Bahkan, ketakutan dapat mengganggu pola tidurnya, memunculkan insomnia dan mimpi buruk. Gangguan tidur dapat memunculkan ketergantungan pada obat tidur dan obat penenang. Dominasi perasaan takut ini meunculkan respon psikologis pada korban KDRT, antara lain: 1. Meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami, karena beberapa alasan:

a. Ketakutannya bahwa membicarakan kekerasan tersebut akan membuatnya berada dalam situasi yang lebih buruk,

Korban: - Menyabarkan diri Penganiayaan: - Merasa was-was - Menyalahkan pasangan - Merasa sudah - seringkali cemburu selayaknya ia - Menggunakan teror, diperlakukan seperti itu penganiayaan untuk - Merasa wajib untuk mengontrol pasangan penyelamatan rumah tangga

Penganiayaan: Penganiayaan: - merasa bersalah dan sedih - kemarahan yang meledak - mungkin menangis - bermaksud memberi pelajaran

dan memohon maaf kepada pasangan - berjanji untuk mengubah - kemungkinan untuk ”lupa” kelakuan akan ledakan

keamarahannya - menunjukkan rasa sayang

Korban: - merasa ketakutan

Korban: - melepaskan rasa marahnya - merasa bahagia dan dengan jalan melawan

mempunyai harapan - sesudahnya merasa tak - memberikan pengertian berdaya dan depresi terhadap pasangan


(37)

b. Kurangnya informasi akurat mengenai apa yang sesungguhnya terjadi, siapa sesungguhnya yang bermasalah dan menjadi korban,

c. Kebutuhannya untuk meyakini itu tidak seberat yang dibayangkan adalah cara beradaptasi terhadap kekerasan yang dialami, sampai ia siap menghadapi realitas dan mampu mengambil tindakan-tindakan pengamanan,

d. Perasaaan malu dan kebingungan menghadapi kekerasan,

e. Keyakinannya bahwa ia bertanggung jawab atas kejadian tersebut.

2. Terisolasi. Perempuan korban kekerasan memiliki akses sangat sedikit akan jaringan dan dukungan personal. Rasa malu dan kebingungannya menghadapi pemukulan-pemukulan membuatnya menjaga jarak dari orang lain. Jika ia berupaya berhubungan dengan orang lain, pasangannya akan menghentikan usahanya dengan mengendalikan aktivitasnya dan membatasi kontaknya dengan orang-orang diluar perkawinan bahkan bersikap kasar.

3. Perasaan tidak berdaya. Perempuan korban kekerasan belajar bahwa upaya-upaya mereka untuk mengendalikan, menghindari atau melarikan diri dari situasinya ternyata tidak berhasil. Akhirnya, muncul perasaan tidak berdaya, tidak tertolong, kesedihan yang mendalam dan keyakinan bahwa tidak ada satu pun dapat dilakukannya untuk mengubah keadaan.

4. Menyalahkan diri sendiri. Perempuan korban kekerasan sering mempercayai mitos-mitos tentang KDRT. Ia berpikir bahwa kekerasan tersebut terjadi karena kesalahan diri sendiri dan kekerasan tidak akan terjadi jika ia mau mengikuti apa yang diperintahkan pelaku.


(38)

5. Ambivalensi. Pasangan yang melakukan kekerasan tidak setiap saat melakukan kekerasan, kadangkala ada saat bahwa ia merasa pasangannya sangat baik dan mencintainya. Inilah yang menjadi ambivalensi dan kebingungan korban. Ia ingin kekerasan itu berakhir tetapi tidak memutuskan perkawinannya. Ia sangat berharap pasangannya akan berubah dan menepati janji-janjinya. Korban sangat takut membayangkan hidup sendiri dan takut akan perpisahan.

6. Harga diri rendah. Akhir dari kekerasan yang berulang adalah rusaknya harga diri yang meliputi perasaan berharga dan keyakinan diri serta kepercayaan terhadap kemampuan diri. Kekerasan dari orang yang dipilih menjadi pasangan, orang yang seharusnya menyayangi, menghormati dan menyenangkannya merupakan pukulan yang paling parah serta pengkhianatan paling besar. Semakin parah kekerasan yang dialami dan semakin lama berlangung maka semakin buruklah citra diri yang dimiliki korban.

7. Harapan. Perempuan yang menjadi korban selalu berharap suaminya akan berubah dan menjadi pasangan seperti yang diimpikannnya.

Berdasarkan penjelasan diatas maka diperoleh kesimpulan bahwa KDRT membawa dampak yang besar pada diri korban. Perasaan takut yang mendominasi perasaan dan perilaku korban KDRT dapat memunculkan respon dan pengalaman psikologis yaitu selalu berusaha meminimalkan kejadian kekerasan yang dialami, terisolasi dari orang-orang sekitar, perasaan tidak berdaya, menyalahkan diri sendiri, mengalami ambivalensi, harga diri yang rendah, dan masih mempunyai harapan bahwa pasangannya akan berubah menjadi lebih baik.


(39)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan untuk melihat pengalaman-pengalaman subjektif individu dalam memaafkan orang lain. Hal ini dikarenakan pendekatan kualitatif memungkinkan individu memfokuskan perhatian pada apa yang dialaminya dan mengungkapkan pengalaman yang dijalaninya. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif diharapkan dapat memperoleh pemahaman yang menyeluruh dan utuh mengenai suatu fenomena yang diteliti. Pendekatan holistik mengasumsikan bahwa keseluruhan fenomena perlu dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks, dan hal ini akan lebih bermakna daripada penjumlahan bagian-bagian kecil (Patton dalam Poerwandari, 2001).

III.B. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian dan sifat objek yang diteliti. Metode-metode yang dapat digunakan antara lain wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus, analisis terhadap karya, analisis dokumen, analisis catatan pribadi, studi kasus, dan studi riwayat hidup (Poerwandari, 2001).

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dibantu dengan observasi karena topik penelitian ini merupakan topik


(40)

yang bersifat pribadi, individual dan rahasia. Hasil wawancara ini nantinya merupakan suatu laporan subjektif tentang sikap seseorang terhadap lingkungan dan terhadap dirinya sedangkan hasil observasi digunakan sebagai pelengkap data wawancara (Rahayu & Ardani, 2004).

Wawancara dilakukan untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam terhadap peristiwa yang dialami dan dirasakan oleh responden penelitian. Wawancara dapat memberikan kesempatan yang maksimal untuk menggali latar belakang hidup seseorang sehingga peneliti mendapatkan gambaran dan dinamika yang hendak diteliti. Hal ini merupakan keunggulan pendekatan kualitatif (Banister dkk dalam Poerwandari, 2001).

III.C. Alat Bantu Pengumpulan Data

Alat bantu yang digunakan dalam pengumpulan data adalah :

III.C.1. Alat Perekam

Menurut Poerwandari (2001), sedapat mungkin suatu wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya sesuai verbatim (kata demi kata). Oleh karena itu, peneliti menggunakan alat perekam agar tidak perlu terlalu sibuk mencatat dan dapat memfokuskan perhatian pada topik pembicaraan dan observasi. Dengan demikian diharapkan jalannya wawancara dapat berlangsung lebih lancar dalam konteks alami.

III.C.2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara disusun berdasarkan teori-teori dalam BAB II sehingga peneliti mempunyai kerangka pikiran tentang hal-hal yang ingin


(41)

ditanyakan. Tema-tema yang dapat menjadi pedoman wawancara adalah tentang kehidupan partisipan sebelum mengalami KDRT (latar belakang pernikahan, hubungan dengan suami dan keluarga), selama mengalami KDRT (bentuk-bentuk KDRT yang dialami, penyebab terjadinya KDRT dan pengalaman psikologis yang dialami partisipan), setelah mengalami KDRT (pandangan responden terhadap kejadian dan pelaku, rasa sakit yang dialami, harapan-harapan responden tentang masa depan), dan adanya kemungkinan akan forgiveness (faktor-faktor apa yang mempengaruhi, dimensi forgiveness yang terbentuk dan tahapan forgiveness yang dilalui oleh partisipan).

Pada pelaksanaannya, pedoman wawancara ini tidak digunakan secara kaku. Tidak tertutup juga kemungkinan untuk menanyakan hal lain yang masih berhubungan dengan topik penelitian supaya hasil wawancara lebih lengkap dan bervariasi mengenai responden.

III.D. Partisipan

III.D.1. Prosedur Pengambilan Partisipan

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian adalah teknik pengambilan sampel ekstrim atau menyimpang. Pendekatan ini memfokuskan pada kasus yang kaya dengan informasi, justru karena mereka berbeda atau menampilkan karakteristik khusus dalam aspek-aspek tertentu (Poerwandari, 2001). Oleh karena itu, teknik pengambilan sampel ini sangat cocok digunakan untuk kasus korban-korban kekerasan khususnya KDRT.


(42)

III.D.2. Jumlah dan Karakteristik Partisipan

Penelitian ini mengambil partisipan sebanyak 3 orang dengan karakteristik adalah istri yang pernah menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya. Selanjutnya, untuk lebih memudahkan peneliti dalam pengambilan data maka karakteristik partisipan juga harus berdomisili di Medan.

III.E. Prosedur Penelitian III.E.1. Tahap Persiapan

a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat terkhusus yang berhubungan dengan KDRT, melalui orang-orang disekitar, teman-teman, dosen, artikel, televisi dan internet untuk meyakinkan peneliti mengenai aspek-aspek psikologis yang terjadi pada korban KDRT. Setelah itu, peneliti merumuskan masalah yang ingin diteliti sesuai dengan fenomena yang telah diperoleh.

b. Mempersiapkan acuan teoritis yang digunakan yaitu mengenai forgiveness dan kekerasan dalam rumah tangga.

c. Menetapkan metode penelitian yang akan digunakan dalam pelaksanaan penelitian.

d. Mempersiapkan hal-hal lain yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian seperti menyusun pedoman wawancara, mempersiapkan alat perekam, dan sebagainya.


(43)

III.E.2. Tahap Pelaksanaan

a. Menghubungi lembaga LSM yang menangani kasus-kasus perempuan untuk memperoleh informasi mengenai wanita korban KDRT sesuai dengan karakteristik partisipan.

b. Mengikuti pelatihan khusus bagi perempuan korban tindak kekerasan dan pekerja migran di salah satu LSM dengan tujuan untuk mencari partisipan yang sesuai sekaligus mengadakan pendekatan melalui kegiatan pelatihan tersebut.

c. Setelah pelatíhan, peneliti meminta persetujuan partisipan untuk dijadikan partisipan dalam penelitian. Setelah itu, peneliti membuat janji pertemuan dan mulai melakukan wawancara.

d. Wawancara awal dilakukan hanya berkisar pada topik perbincangan sehari-hari sedangkan untuk wawancara berikutnya dilakukan sesuai dengan topik penelitian yang dibutuhkan oleh peneliti. Proses wawancara ini direkam menggunakan alat yang telah dipersiapkan.

e. Selama wawancara peneliti juga mencatat hasil observasi terhadap diri responden sebagai data tambahan untuk melengkapi data wawancara.

f. Mengumpulkan hasil wawancara dan hasil observasi untuk dilakukan analisa dan interpretasi data terhadap masing-masing partisipan.

III.E.3. Tahap Analisa dan Interpretasi Data

Setelah memperoleh data-data yang diperlukan maka peneliti selanjutnya melakukan analisa dan interpretasi data yang dilakukan sebagai berikut :


(44)

a. Organisasi data

Peneliti mengorganisasikan data yang sangat beragam dan banyak menjadi lebih rapi, sistematis dan selengkap mungkin. Higlen dan Finley (1996 dalam Poerwandari, 2001) menyatakan organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk: a)memperoleh kualitas data yang baik; b)mendokumentasikan analisis yang dilakukan, serta c)menyimpan data dan analisis yang berkaitan dengan penyelesaian penelitian.

b. Koding dan analisis

Poerwandari (2001) menyatakan koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasi dan mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail. Analisis data dilakukan menggunakan analisis teknik tematik. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema, atau hal-hal yang diantara/gabungan dari yang telah disebutkan c. Tahapan interpretasi

Kvale (1996 dalam Poerwandari, 2001) menyatakan interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Peneliti memiliki perspektif mengenai apa yang sedang diteliti dan menginterpretasi data melalui perspektif tersebut. Proses interpretasi memerlukan distansi (upaya mengambil jarak) dari data, melalui langkah-langkah metodis dan teoritis yang jelas serta memasukkan data ke dalam konteks konseptual yang khusus.


(45)

BAB IV

HASIL DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

Penelitian ini melibatkan 3 orang partisipan dimana ketiganya adalah wanita dengan status sebagai istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suaminya. Perilaku kekerasan yang mereka alami berbeda-beda sesuai dengan kisah hidup masing-masing. Gambaran umum masing-masing partisipan dapat dilihat dalam tabel berikut :

Tabel 1

Gambaran Umum Partisipan Penelitian

Partisipan 1 Partisipan 2 Partisipan 3

Nama samaran Mira Nina Sari

Jenis kelamin Wanita Wanita Wanita

Usia 35 tahun 33 tahun 38 tahun

Pendidikan SD Kelas 2 SLTA Kelas 2 SLTP

Suku bangsa Jawa Batak Banjar

Agama Islam Protestan Islam

Status perkawinan Masih tinggal bersama suami

Berpisah sejak 2 tahun lalu

Masih tinggal bersama suami Lama menikah 15 tahun 7 tahun 10 tahun

Jumlah anak 3 orang 1 orang 7 orang

Pekerjaan - Suami - Istri - Bertani - Bertani - Pengangguran - Bertani

- Pekerja honorer - Tukang cuci, pengasuh bayi Kekerasan yang dialami Kekerasan fisik, psikologis, seksual, finansial Kekerasan fisik, psikologis, finansial Kekerasan fisik, psikologis, seksual, finansial Pelaku kekerasan Suami Suami Suami II

Kondisi saat ini Perilaku kekerasan sudah jarang terjadi Jarang bertemu dan komunikasi dengan suami Masih sering mengalami kekerasan Harapan dimasa depan Keluarga semakin harmonis dan bahagia Menyekolahkan anak setinggi mungkin meskipun seorang diri Ingin pergi meninggalkan suaminya ketika anak dewasa


(46)

IV.A. Analisis Partisipan 1 (Mira) IV.A.1. Data Observasi

Pertemuan dengan Mira berlangsung selama 17 kali pertemuan. Pertemuan 1-10 terjadi selama Mira mengikuti sebuah kegiatan pelatihan yang khusus diadakan bagi perempuan korban tindak kekerasan dan pekerja migran. Sepuluh kali pertemuan ini dimanfaatkan untuk saling mengenal dan membangun kedekatan antara peneliti dengan Mira. Selain itu, peneliti juga berusaha mengetahui gambaran umum pengalaman kekerasan yang dialami oleh Mira. Selesai kegiatan tersebut peneliti selanjutnya melakukan pendekatan dengan keluarga, tetangga dan lingkungan sekitar Mira. Pendekatan tersebut lebih kepada kunjungan untuk meminta kesediaan Mira sebagai partisipan, kunjungan untuk wawancara, kunjungan lebaran atau kunjungan hanya beramah-tamah dengan tujuan tetap menjalin komunikasi dengan Mira.

Berdasarkan observasi selama 17 kali pertemuan ini diperoleh bahwa Mira adalah seorang wanita berusia 35 tahun mempunyai tinggi badan sekitar 158 cm dan berat badan 55 kg. Rambut Mira pendek seperti rambut laki-laki pada umumnya berwarna hitam dan warna kulit sawo matang. Tidak ada ciri-ciri fisik khusus yang melekat pada Mira. Akan tetapi, pada saat berbicara atau sedang memperhatikan orang berbicara Mira sering mengangkat dagunya sedikit keatas.

Mira bersama suami dan ketiga anaknya tinggal di sebuah kompleks perumahan yang sebagian besar masyarakatnya tergolong kelas ekonomi menengah ke bawah. Rumah Mira masih semi permanen sebagian dari batu bata dan sebagian lagi masih berupa papan. Ukuran rumah sekitar 8x6 m2 dengan


(47)

sebuah ruang tamu, tiga kamar tidur dan dapur sedangkan kamar mandi berada diluar rumah. Kondisi rumah cukup sederhana dengan fasilitas listrik memadai dan fasilitas air diperoleh dari air sumur. Kondisi barang-barang didalam rumah tidak tersusun rapi. Sekitar rumah Mira terdapat lahan yang cukup luas ditanami dengan sayur mayur dan beberapa pohon buah-buahan. Bagian belakang rumah terdapat kandang kambing dengan beberapa ekor kambing didalamnya. Sehari-hari Mira bekerja diladang bersama suami dan anak-anaknya. Hasil ladang yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari, dijual dipasar dan sisanya dibagi-bagikan kepada tetangga.

Pada pertemuan 12 dilakukan wawancara I terhadap Mira. Saat itu, Mira menggunakan baju kaos putih bercorak bunga-bunga dan celana pendek selutut. Penampilan Mira biasa saja lazimnya orang yang baru selesai bekerja diladang, wajah berkilat karena keringat, tangan dan kaki agak kotor. Ketika berbicara, Mira tidak banyak menggunakan gerakan tangan dan kaki tetapi lebih banyak menggunakan mimik wajah dan intonasi suara. Gerakan mata membesar dan mengecil, otot pipi sesekali menegang, ada kontak mata dan sesekali mengarahkan pandangan kerumah untuk melihat apakah suaminya datang. Intonasi suara (tinggi-rendah) sesuai dengan topik yang dibicarakan sehingga wawancara terjadi secara alami dan mengalir tanpa hambatan yang berarti.

Mira awalnya terlihat merasa bingung dan berusaha untuk menutupi diri. Selain itu, Mira juga tampak terganggu oleh kedatangan tetangganya sehingga Mira merasa malu. Tapi setelah tetangganya pergi Mira mampu memberikan informasi secara terbuka dan mendetail. Keadaan ini membuat peneliti tidak perlu


(48)

menanyakan secara panjang dan berulang-ulang justru Mira langsung mengerti dan menjelaskan dengan lancar. Wawancara berakhir ketika tetangga datang kembali, saat itu Mira berusaha mengalihkan pembicaraan dan segera mengakhiri wawancara.

Pada pertemuan berikutnya yaitu wawancara II, Mira memakai baju kaos lengan pendek berwarna biru muda yang sobek pada bagian ketiak dan celana pendek mencapai betis berwarna biru muda juga, memakai topi berwarna biru muda dan memakai sandal jepit. Selama wawancara, Mira duduk bersandar pada tiang gubuk (tempat istirahat di ladang) tempat dilakukan wawancara dan sesekali memutar-mutar badannya kearah peneliti untuk mencari posisi nyaman. Pandangan banyak diarahkan kesekeliling, ada intonsi suara, mimik wajah (menggeleng-gelengkan kepala, mengerutkan kening, otot wajah menegang dan tersenyum) dan gerakan tangan banyak digunakan untuk bercerita. Dari awal sampai akhir wawancara, tidak ada kesulitan yang berarti, semuanya berjalan lancar, meskipun pada pertengahan wawancara datang seorang kakek tua menghampiri Mira dan berbincang-bincang dengan Mira dalam bahasa Jawa. Wawancara terputus selama kurang lebih 15 menit dan setelah itu wawancara tetap dilanjutkan.

Pertemuan selanjutnya dilakukan untuk wawancara III, Mira memakai baju warna putih dengan motif boneka yang sudah memudar bahkan dibeberapa tempat tampak bekas jahitan karena sudah sobek. Dia juga memakai celana pendek diatas lutut dan sesekali tampak terbuka dibagian paha. Tak berapa lama kemudian dia mengganti celananya dengan celana warna hijau lumut yang lebih


(49)

panjang (sampai betis). Selama wawancara, perhatiannya terbagi ke pekerjaan rumah karena wawancara dilakukan sehari sebelum hari Lebaran sehingga Mira perlu menyiapkan kebutuhan esok hari. Mira hanya menjawab seperlunya dan menanyakan apakah masih banyak yang perlu ditanyakan. Sikap Mira yang tergesa-gesa membuat peneliti juga tergesa-gesa dan akhirnya menutup wawancara singkat tersebut. Meskipun demikian pertanyaan-pertanyaan peneliti masih bisa ditanggapi dengan baik.

Secara keseluruhan, tidak ada masalah serius yang menghambat peneliti untuk memperoleh data. Setiap gangguan yang muncul di lapangan dapat segera ditangani sehingga wawancara bisa berjalan sebagaimana mestinya.

IV.A.2. Latar Belakang Kehidupan Mira

Mira berasal dari keluarga kurang mampu sehingga Mira tidak bisa menyelesaikan pendidikannya dan harus bekerja sejak kecil untuk membantu kedua orang tua dan adik-adiknya. Menginjak remaja, Mira pacaran dengan seorang pria yang telah berjanji akan menikahinya tetapi pria itu justru telah menikah dengan gadis lain. Mira yang saat itu merasa sangat kecewa, sakit hati, putus asa dan marah memutuskan untuk mencari pria lain sebagai pelampiasan dan bukti bahwa Mira bisa mendapatkan pria lain.

Hanya beberapa bulan pacaran dengan pacar barunya yang berpenampilan seperti orang kaya, ternyata Mira hamil diluar nikah. Kondisi ini memaksa Mira dan pacar barunya untuk menikah. Setelah menikah, Mira ditinggal oleh suami tanpa pernah sekalipun suaminya tahu bagaimana kondisi Mira dan anak


(50)

pertamanya. Kemudian Mira dan anaknya pergi mencari suami. Akhirnya, Mira bertemu dengan suaminya dan hidup bersama dengan kondisi yang berkecukupan. Kebersamaan Mira dan keluarganya ini diusik oleh pihak ketiga yang berusaha memfitnah Mira telah selingkuh dengan pria lain. Suami Mira langsung percaya fitnah dan memaksa Mira untuk mengaku. Mira yang sungguh-sungguh tidak selingkuh tetap mempertahankan pendiriannya. Kondisi memicu pertengkaran antara Mira dan suami. Pertengkaran ini terjadi setiap hari disertai dengan tindak kekerasan secara fisik, psikologis, seksual dan finansial. Akibat kekerasan tersebut Mira mengalami cedera fisik seperti tubuh lebam-lebam, beberapa gigi tanggal, mata merah, takut terhadap suami, takut melihat sandal bertumit tinggi, merasa dirinya lebih rendah dari suami dan sebagainya. Meskipun demikian, Mira juga tidak segan-segan memarahi pihak ketiga, suami dan orang tua pihak ketiga atas apa yang telah terjadi antara suami Mira dengan pihak ketiga. Selain melakukan kekerasan fisik terhadap Mira, suaminya juga melakukan hal-hal menyimpang seperti selingkuh dengan pihak ketiga, mabuk-mabukan setiap malam, berjudi setiap hari dan tidak menafkahi Mira.

Perilaku suami ini berujung pada hutang sebesar 17 juta rupiah. Melihat kondisi ini, Mira berinisiatif untuk memperbaiki kondisi keluarganya demi masa depan anak-anaknya. Mira lalu membayar semua hutang-hutang suami, membuat rumah baru yang lebih sederhana dan membeli ladang sebagai mata pencaharian Mira. Mira juga mengajak suami dan mengajari suami apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki kondisi rumah tangga mereka.


(51)

Salah satunya, Mira selalu menasihatkan suami untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Saat ini, perilaku buruk suami sudah berkurang walaupun belum sepenuhnya. Mira bercita-cita agar kelak anak-anaknya bisa hidup berkeluarga yang lebih baik khususnya anak perempuannya. Mira ingin pengalamannya dengan suami tidak terjadi lagi atas diri anaknya. Mira berharap anaknya mendapat suami yang penuh sayang dan cinta.

IV.A.3. Data Wawancara

Mira menikah dengan pacar keduanya (saat ini menjadi suami) meskipun belum mengenal sosok pacar yang sesungguhnya. Motivasi Mira menikah saat itu hanya sebagai pelampiasan rasa sakit hati terhadap pacar pertama. Setelah menikah, Mira ditinggal oleh suami sampai anak pertama lahir dengan alasan mencari pekerjaan. Akan tetapi, selama suami pergi Mira tidak pernah diberikan nafkah sebagai hasil dari pekerjaan suami apalagi menjenguk keadaan istri dan anaknya. Lama kelamaan Mira merasa dirinya menjadi beban bagi kedua orang tua. Oleh karena itu, Mira harus bekerja meskipun sedang hamil demi memenuhi kebutuhan persalinan dan persiapan perlengkapan bayi sedangkan suami pergi tanpa kabar yang jelas tentang keberadaannya.

”Sama orang tua. Orang tua saya sendiri, orang tua saya ini susah, ya itulah kerjanya jualan, kadang ngusuk-ngusuk juga, mamakku pandai ngusuk, tukang kusuk. Masaknya…pokoknya kapan dapat duit… masaklah kalo gak satu hari sekali masaknya, awak lagi hamil pula… bapaknya gak pulang-pulang…bebanlah itu sama orang tua ya kan? Nanti ada Mir…besok bantuin nanam padi ya!”

(P1.W1/k.153-159/hal.5)

“Belilah ember, ember waktu itu masih dua ribu…eh…dua ribu lima ratus, kasihlah waktu 30.000 yakan 3 hari, dibelanja’inlah beli ember, beli


(52)

keranjang, beli popok, abis itu ya kan…lahirlah si IR ini ya kan, lahir si IR ini…”

(P1.W1/k.176-180/hal.6)

Kondisi ditinggalkan oleh suami tanpa kabar yang jelas membuat Mira merasa sangat sedih dan iri jika melihat pasangan suami istri lainnya yang lewat depan rumah. Mira sering duduk, melamun dan dan menghayal dan menangis seraya meratapi nasib yang dialaminya.

“Haa…kalo sedihnya itu, kalo sore itu, nampakkan, rumahku kan dekat, sini rumahku sana tanah lapang besar gitu ya kan, kalo sore kan orang itu kan pada boncengan naik sepeda... orang itukan jalan-jalan sama lakinya, boncengan gitu ya kan, kutengok ih…seandainya ada lakiku, akupun kayak gitulah sayang-sayangan. Terbengong… gitu ya kan nengo’in…abis itu awak sedih, pulanglah, duduk kerumah… ngayal…gitu kan, nangis jugalah, kok gini nasibku gitu”

(P1.W1/k.212-224/hal.7-8)

Setelah anak pertama lahir, suaminya juga tidak kunjung datang menemui Mira. Kondisi ana yang sakit memotivasi Mira untuk pergi mencari suaminya. Mira pergi seorang diri sambil menggendong anak pertamanya. Akhirnya, Mira bertemu dengan suaminya kembali. Mira tinggal bersama suami dan mertuanya dalam kondisi keluarga yang lebih baik. Mereka sekeluarga merasakan kehidupan yang cukup lumayan karena Mira dan suami sama-sama bekerja sebagai petani sehingga keperluan hidup sehari-hari dapat terpenuhi. Akan tetapi, keadaan yang cukup lumayan ini hanya berlangsung beberapa tahun saja.

”...Udah baguslah kami semua ini kan, bapak si AJ ini juga udah bagus, dah itu kami berladang kalo siang itu sama-sama masak, makan sama gitu ya kan, abis itu istirahat bentar gitu ya kan, kalo sempat sore keladang” (P1.W1/k.241-245/hal.8)

”... Kami kalo dulu memang udah agak lumayanlah, ada kereta, pokoknya udah agak lumayanlah gitu”


(53)

“Iya…udah agak lumayanlah, udah agak…utang pun udah gak banyak di kede gitu kan”

(P1.W1/k.305-306/hal.10)

”Waktu dapat proyek ini perumahan AS ini, bangun-bangun rumah ini…disitu agak lumayanlah kami aku juga hari itu sempat punya gelang satu sama kalungku ada dua, tapi…itu cuma sebentar aja, ya…sebentar aja amannya, banyakan susahnya”

(P1.W3/k.105-111/hal.4)

Suatu saat suaminya mendapatkan borongan proyek pembangunan perumahan AS yang sekarang menjadi tempat tinggal mereka. Seiring dengan adanya proyek ini maka ekonomi keluarga pun semakin membaik. Akan tetapi, keadaan yang lumayan ini memicu hadirnya pihak ketiga (ND) untuk memanfaatkan suami Mira. Pihak ketiga ini menyebarkan fitnah bahwa Mira berselingkuh dengan pria lain yang kebetulan pria lain tersebut memang menyukai Mira tapi Mira menolaknya.

”Abis itu ya kan berapa tahun lagi, abis itu…dapatlah objek ini, perumahan AS ini”

(P1.W1/k.255-257/hal.8)

”...Nampaklah ini…diperumahan ini kan, orang kan dibilang o…si ini banyak duit, kek gini, kek gini kan bilang orang, abis itu adalah si ini si ND...kebetulan orang yang mandah ke perumahan ini dari TK ada memang suka sama ibu, kubilang sama orang itu kau nyari makan untuk binimu aja jauh-jauh dari TK ke sini kau pula mau ganggu-ganggu aku, kau pun disini aku yang ngasih makan, kubilang gitu ya kan. Datang pihak ketiga disampekan ke lakiku kalo aku ini berselingkuh sama orang lain katanya”

(P1.W1/k.275-285/hal.9)

Fitnah perselingkuhan Mira dengan pria lain ini membuat suami Mira marah-marah. Suaminya percaya fitnah dan memaksa Mira untuk mengakui perselingkuhannya. Disisi lain, pihak ketiga punya maksud tersendiri atas fitnah


(54)

tersebut. Pihak ketiga berusaha mendekati dan memanfaatkan penghasilan suami Mira. Hubungan pihak ketiga dan suaminya berujung pada perselingkuhan.

”Hem…fitnah pihak ketiga ini kan karena pihak ketiga ini suka sama lakiku, haa…gitu, jadi digosok-gosoknya, dihasut-hasutnya lah gitu ya kan, lama-lama, dia ini…lakiku ini orangnya gak tabah, jadi tergoda juga, dipukuli aku Jay!! Disuruh ngaku, pernah diapai kau sama…”

(P1.W1/k.287-291/hal.9)

”diapai aja kau katanya gitu, karena dia, pihak ketiga ini, katanya aku udah disetubuhi, dipeluk, dicium, katanya dihasutnya, kubilang… dihajarnyalah aku Jay!! habis-habisan Jay!! sampe ini…badanku ini…ini mata sampe biru, muka ini pake itu…dia malam kalo mukuli aku, tengah malam di apa…kalo aku bilang di…pake…dia kan merokok, di gini’in-nya”

(P1.W1/k.293-299/hal.9-10)

Mira yang memang tidak berselingkuh dengan siapa pun tidak mau mengakui fitnah tersebut. Mira dengan tegas mengatakan bahwa dia tidak pernah selingkuh dengan bersumpah bahwa dia tidak pernah melakukan hal-hal seperti yang disampaikan oleh pihak ketiga. Ini adalah usaha Mira untuk mengekspresikan kemarahanya atas ketidakadilan yang dialami.

”Udah dibawa pulang, dirumah aku disuruh ngaku, diapa-apain itu tadi. Ya gak!!! Sampe mati pun kupertahankan”

(P1.W2/k.310-313/hal.10-11)

”...Aku pun mau disiksa mati, sampe mati, didalam kubur pun aku gak bilang iya, orang memang gak!!! kupertahankanlah sampe mati itulah” (P1.W2/k.319-322/hal.11)

”Kau ngaku ajalah kau kalo kau ada digauli sama dia, gini-gini, dipeluknya katanya. Memang bang aku pernah dipegang sama dia, ku akui gitu ya kan tapi kubilang kau kayak ginian mau ngapain aku, kau jangan kurang ajar. Kubilang sama dia bang aku kalo selamat panjang umur sama abang kubilang gitu ya kan, gak usah selamatlah aku sama anakku melahirkan kalo memang aku ada berhubungan sama dia tak bilang gitu ya kan, abis itu adalah si AJ ini, ternyata Jay…kubilang bang kalo aku bisa buktikan kalo abang, gak kan! Belum dipanggil dokternya, belum sampe dokternya itu kerumah sudah melahirkan”


(1)

banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga sehingga tidak akan bertambah lagi korban-korban kekerasan baru.

 Bagi lembaga-lembaga sosial khusus perempuan baik pemerintah dan non pemerintah supaya lebih memperhatikan dan memberdayakan kaum perempuan sehingga tidak selalu bergantung pada orang lain.

 Bagi keluarga supaya lebih bisa menjalin hubungan yang lebih komukatif dan mendukung bagi perkembangan pribadi dan sosial masing-masing anggota keluarga.

2. Saran penelitian

 Mengadakan penelitian yang lebih mendalam seperti studi kasus sehingga lebih memahami konteks individu secara mendetail.

 Pengambilan partisipan sebaiknya dilakukan lebih bervariasi misalnya dalam hal tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, pekerjaan, latar belakang keluarga dan sebagainya sehingga diperoleh hasil penelitian yang lebih beragam.

 Teknik pengambilan data dilakukan dengan lebih banyak cara misalnya observasi atau diskusi kelompok supaya data yang diperoleh semakin kuat.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Ammerman, R.T., & Hersen, M. (1992). Current issues in the assesment of family violence. Dalam Ammerman, R.T., & Hersen, M. (Eds.). Assesment of family violence (Hal. 3-10). USA: John Wiley & Sons, Inc.

Anshoriyah, S. (2007). Maulid nabi dan realitas kekerasan terhadap perempuan. Akses 3 Maret 2007 dari : http://www.rahima.or.id/SR/18-06/Akhwatuna.htm

Bachtiar, A. (2004). Menikahlah, maka engkau akan bahagia. Yogyakarta : Saujana Jogjakarta.

Baskin, T.W., & Enright, R.D. (2004). Intervention studies on forgiveness: A meta-analysis. Journal of counseling and development : JCD. Vol.82, Iss. 1; pg. 79, 12 pgs.

Akses 7 Maret 2007 dari :

http://proquest.umi.com/pqdweb?index=34&did=569870521&SrchMode= 1&sid=3&Fmt=4&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQ D&TS=1173253033&clientId=63928

Baumeister, R.T., Exline, J.J., & Sommer, K.L. (1998). The victim role, grudge theory, and two dimensions of forgiveness. Dalam Worthington, E.L. (Ed). Dimensions of forgiveness. Hal. 79-104. USA: Templeton Foundation Press.

Calhoun & Acocella. (1990). Psikologi tentang penyesuaian dan hubungan kemanusiaan. Semarang. IKIP Semarang Press.

Corey & Corey. (2006). I never knew I had a choice: Explanations in personal growth. 8th ed. USA: Thomson Brooks/Cole.

Dian, W. (2004). Perempuan dan KDRT fenomena memprihatinkan. Akses 3 Maret 2007 dari : http://pikas.bkkbn.go.id/article_detail.php?aid=230 Enright, R.D. (2001). Forgiveness is a choice ; A step by step process for

resolving and restoring hope. Washington DC: American Psychology Association.

Enright, R.D., & Coyle, C.T. (1998). Researching the process model of forgiveness within psychological interventions. Dalam Worthington, E.L. (Ed). Dimensions of forgiveness. Hal. 139-161. USA: Templeton Foundation Press.


(3)

Gunarsa & Gunarsa. (1995). Psikologi praktis: Anak, remaja, dan keluarga. Jakarta: Gunung Mulia.

Hall, J.H., & Fincham, F.D. (2006). Relationship dissolution following infidelity: The roles of attributions and forgiveness. Journal of social and clinical psychology. Vol. 25, Iss. 5; pg. 508, 15 pgs. Akses … dari …

Johnson, J. (2007). The cycle of abuse. Listen. Vol.60, Iss. 7; pg. 18, 2 pgs. Akses 8 Maret 2007 dari :

http://proquest.umi.com/pqdweb?index=5&did=1222013121&SrchMode= 1&sid=8&Fmt=3&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQ D&TS=1173326681&clientId=63928

Kaminer, D., Stein, D.J., Mbanga, I., & Dirwayi, N.Z. (2000). Forgiveness: Toward an integration of theoretical models. Psychiatry. Vol. 63(4). Pg. 344-357.

Karremans, J.C., Lange, P.A.M., Ouwerkerk, J.W., & Kluwer, E.S. (2003). When forgiving enhances psychological well-being: The role of interpersonal commitment. Journal of personality and social psychology. Vol. 84. Iss. 5; pg. 1011.

Kolibonso, R.S. (2000). Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Dalam Luhulima, A.S. (Ed). Pemahaman bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan alternatif pemecahannya. (Hal. 99-112). Jakarta: penerbit PT Alumni. Konstam, V., Marx, F., Schurer, J., Harrington, A., Lombardo, N.E., & Deveney,

S. (2000). Forgiving: What mental health counselors are telling us. Journal of mental health counseling. Vol. 22.253-267.

Lawler, K.A., Younger, J.W., Piferi. R.L., Jobe, R.L., Edmondson, K.A., & Jones, W.H. (2005). The unique effects of forgiveness on health: An exploration of pathways. Journal of behavioral medicine. Vol. 28, no. 2, 157-167. Martha, A E. (2003). Perempuan, kekerasan dan hukum. Yogyakarta: UII Press. McCollough, M.E. (2000). Forgiveness as human strength: Theory, measurement,

and links to well-being. Journal of social and clinical psychology. Vol.19, Iss. 1; pg. 43-55, 13 pgs.

McCullough, M.E., & Snyder, C.R. (2000). Classical sources of human strength: Revisiting an old home and building a new one. Journal of social and clinical psychology. Vol.19, Iss. 1; pg.1, 10 pgs.


(4)

&sid=2&Fmt=3&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQ D&TS=1172803019&clientId=63928

Orcutt, H.K., Pickett, S.M., & Pope, E.B. (2005) Experiential avoidance and forgiveness as mediators in the relation between traumatic interpersonal events and posttraumatic stress disorder symptoms. Journal of Social and Clinical Psychology. Vol.24, Iss. 7; pg. 1003, 27 pgs.

Akses 2 Maret 2007 dari :

http://proquest.umi.com/pqdweb?index=6&did=944624271&SrchMode=1 &sid=2&Fmt=4&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQ D&TS=1172800434&clientId=63928

O’Leary, K.D., & Murphy, C. (1992). Clinical issues in the assesment of spouse abuse. Dalam Ammerman, R.T., & Hersen, M. (Eds.). Assesment of family violence (Hal. 26-46). USA: John Wiley & Sons, Inc.

Pertiwi, A.F. (2004). Memaafkan orang lain: Kajian tentang tindakan memaafkan pada subjek dengan pengalaman beberapa kali memaafkan orang lain. Tesis. F.Psi. UI: Depok.

Poerwandari, E.K. (2000). Kekerasan terhadap perempuan: Tinjauan psikologi feministik. Dalam Luhulima, A.S. (Ed). Pemahaman bentuk-bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan dan alternatif pemecahannya. (Hal 11-50). Jakarta: Penerbit PT Alumni.

,(2001). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta: Pendidikan Psikologi (PSP3) UI.

,(2004). Mengungkap selubung kekerasan: Telaah filsafat manusia. Bandung: Kepustakaan Eja Insani.

Rahayu & Ardani. (2004). Observasi dan wawancara. Malang: Bayumedia Publishing.

Reed, E.L., & Enright, R.D. (2006). The effects of forgiveness therapy on depression, anxiety and posttraumatic stress for women after spousal emotional abuse. Journal of consulting ang clinical psychology. Vol. 74, Iss. 5; pg. 920.

Reza, M.Z. (2004). Pengembangan inventori memaafkan. Tesis F.Psi.UI: Depok. Rusmaladewi, A.A. (2002). Kesetaraan gender bukan lagi momok pria.

Akses 3 Maret 2007 dari :


(5)

Sarafino, Edward P. (2006). Health psychology. John Wiley & Sons Inc. United States of America.

Saraswati, Rika. (2006). Perempuan dan penyelesaian kekerasan dalam rumah tangga. Bandung. Penerbit PT Citra Aditya Bakti.

Setyawan, D. (2007). Kisah juwarnik, korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Akses 3 Maret 2007 dari :

http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_radar&id=152127&c=87 Spring dan Spring. (2006). After the affair. Jakarta: Trans Media.

Subkaviak, Enright, Wu, Gassin, Fredman, Olson, et al. (1992). Dalam Wilson, H.P. (1994). Forgiveness and childhood sexual abuse: relationships among forgiveness of the perpetrator, spiritual well-being, depression and anxiety. Akses 17 April 2007 dari :

http://www.forgivenessweb.com/RdgRm/definitionpsychological_.htm Tamtiari, Wini. (2005). Awig-awig: Melindungi Perempuan Dari Kekerasan

Dalam Rumah Tangga?. Yogyakarta. Kerjasama Ford Foundation Dengan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada.

Tsang, J.A., McCullough, M.E., & Fincham, F.D. (2006). The longitudinal association between forgiveness and relationship closeness and commitment. Journal of social and clinical Psychology. Vol. 25, Iss. 4; pg 448, 25 pgs.

Akses 2 Maret 2007 dari :

http://proquest.umi.com/pqdweb?index=5&did=1033193121&SrchMode= 1&sid=2&Fmt=4&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQ D&TS=1172800434&clientId=63928

Worthington, E.L., & Wade, N.G. (1999). The Psychology of Unforgiveness and Forgiveness and Implications for Clinical Practice. Journal of Social and Clinical Psychology. Vol.18, Iss. 4; pg. 385, 34 pgs.

Akses 2 Maret 2007 dari :

http://proquest.umi.com/pqdweb?index=26&did=49278312&SrchMode=1 &sid=2&Fmt=4&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQ D&TS=1172803019&clientId=63928

Zechmeister, J.S., Garcia, S., Romero, C., & Vas, S.N. (2004). Don’t apologize unless you mean it: A laboratory investigation of forgiveness and retaliation. Journal of social ang clinical psychology. Vol. 23, Iss. 4; pg 532, 33pgs.

Akses 2 Maret 2007 dari :


(6)

1&sid=2&Fmt=4&VInst=PROD&VType=PQD&RQT=309&VName=PQ D&TS=1172802113&clientId=63928