Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan Budaya Hukum (Suatu Tinjauan Antropologis)

Nita Savitri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)...

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) DAN BUDAYA HUKUM
(Suatu Tinjauan Antropologis)

Nita Savitri
Abstract: This article is asking about law as tool of social engineering could be realized
to respons the regulation about household violence eliminated. The problem is come
when law as tool of social engineering was not sincron even touched with patriarchi
culture wich is rooted in society and other institutions include law institution. This is not
easy think of course. Social observes particularly that concern about household violence
always exciting this is in order that we need consistance culture movement and it’s
continue to change sociaty mind that this household violence must stopped. This
awareness is starting in men and women in their household then respect each other. With
this awareness will be the main pillar to realized human rights.
Keywords: gender, household, law culture
PENDAHULUAN
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
adalah fenomena sosial yang cukup rumit.
Berbagai faktor sosial dan budaya (sejarah,
norma, dan nilai) terhadap perempuan ikut

memberikan sumbangan penyebab terjadinya
kekerasan dalam rumah tangga. Sumbangan itu
antara lain, daya terima masyarakat terhadap
kekerasan, penghargaan terhadap perempuan, dan
penerimaan masyarakat bahwa suami berhak
memukul istri (Whelehan, 1996).
Sampai pada abad ke 19, tingkah laku
atau tindakan memukul istri masih dapat ditolerir
bahkan didukung dengan alasan hak suami dalam
rangka mendidik istri. Bahkan Inggris masa itu,
suami diberikan hak memukul istri secara fisik
dengan tongkat sebesar jempol tangan sehingga
disebut “Rule of Thumb”. Budaya seperti ini
bahkan masih bertahan hingga zaman modern.
Implikasinya adalah banyak laki-laki (suami)
beranggapan bahwa mereka mempunyai hak-hak
tertentu terhadap istri dan anggota lain dalam
rumah tangga (Marten, 1997).
PEMBAHASAN
Masalah perempuan baru diangkat pada

bidang penelitian dari berbagai ilmu dalam tiga
dekade
belakangan.
Bersamaan
dengan
munculnya gerakan wanita (Women Liberation)
pada tahun 70 an, muncul pula penelitian tentang
perempuan, termasuk kajian tentang perempuan
yang mengalami kekerasan. Dua buah buku
karangan Murray Strauss dan Richart Gelles yang
berjudul “The Violent Home” dan buku karangan

Dels Marten berjudul “Battered Women”
menarik perhatian masyarakat Amerika di mana
penelitian ini dilakukan. Masyarakat Amerika
menyadari kekerasan dalam rumah tangga,
khususnya terhadap istri menunjukkan persentase
angka yang cukup tinggi. Sejak saat itu,
penelitian mengenai kekerasan dalam rumah
tangga oleh peneliti dan professional di publisir

secara luas. Bahkan isu kekerasan terhadap
perempuan saat ini telah menjadi perhatian di
berbagai negara hingga menjadi perhatian
Majelis Umum PBB ke 85 dengan menetapkan
Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,
tanggal 20 Desember 1993.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Defenisi tentang kekerasan sangat
beragam dari berbagai ilmuwan bahkan negaranegara yang telah ikut meratifikasi UU tentang
kekerasan. Indonesia sebagai negara yang ikut
meratifikasi UU tentang Kekerasan, pemerintah
telah mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1984
Tentang
Penghapusan
Segala
Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita. Puncak perhatian
pemerintah dengan disahkannya UU No. 23
tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan.

Menurut UU No. 23 tahun 2004, yang
dimaksud dengan KDRT adalah setiap perbuatan
yang dilakukan seseorang secara sendiri atau
bersama-sama orang lain terhadap seorang
perempuan atau pihak lain yang ada dalam
lingkup rumah tangga yang mengakibatkan
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan

Nita Savitri adalah Dosen Departemen Antropologi FISIP USU Medan
24

Universitas Sumatera Utara

Nita Savitri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)...

perbuatan,
pemaksaan
dan

perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga.
Defenisi ini mengacu pada Deklarasi
PBB tahun 1993 tentang Penghapusan Kekerasan
Terhadap Perempuan. Selanjutnya, dalam UU
No. 23 Tahun 2004, pasal rincian lebih detil
(pasal 6, 7, 8, dan 9) kekerasan itu dapat dibagi
atas tiga, yaitu:
1. Kekerasan
fisik
(perbuatan
yang
emngakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau
luka berat).
2. Kekerasan
psikis
(perbuatan
yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa

percaya diri, hilangnya kemampuan untuk
bertindak, rasa tidak berdaya dan penyakit
psikis lainnya).
3. Kekerasan seksual (pemaksaan hubungan
seksual dengan orang yang berada dalam
lingkup rumah tangganya tsb, atau
pemaksaan hubungan dengan orang lain
dengan tujuan komersil/tujuan tertentu.
4. Penelantaran rumah tangga (ekonomi), setiap
orang dilarang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya sesuai dnegan
perjanjian dimana ia wajib memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan
kepada orang tersebut. Juga berlaku bagi
setiap
orang
yang
mengakibatkan
ketergantungan secara ekonomi dengan cara
membatasi dan melarang untuk bekerja yang

layak di dalam atau di luar rumah sehingga
korban berada dalam kendali orang tersebut.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh
Komnas HAM tahun 2002, laporan LSM Mitra
Perempuan tahun 2006, dan penelitian-penelitian
di Perguruan tinggi, diketahui bahwa di Indonesia
kekerasan yang dialami perempuan bertumpuktumpuk. Artinya, perempuan mengalami lebih
dari satu bentuk kekerasan, mulai dari kekerasan
secara fisik, seksual, psikis, maupun ekonomi.
Statistik yang dilaporkan LSM Mitra Perempuan
yang menangani KDRT melaporkan bahwa tahun
2001 menerima pengaduan sebanyak 270 kasus,
dimana 95,56% atau sebanyak 258 kasus adalah
kekerasan terhadap perempuan dalam rumah
tangga. Tahun 2006, Mitra Perempuan
melaporkan pengaduan yang mereka terima
berjumlah 336 kasus di mana 85,23% atau 260
kasus adalah kekerasan dalam rumah tangga.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa sekitar
70% pelaku adakah suami dari korban.


Data ini tidak berbeda jauh dengan data
yang menunjukkan bahwa perempuan diseluruh
dunia menghadapi resiko kekerasan lebih besar di
dalam rumah dibandingkan di luar rumah. Bagi
sebagian masyarakat, tindakan orang yang saling
mengenal secara intim (antar anggota rumah
tangga)
dianggap
kurang
berbahaya
dibandingkan dengan kekerasan di jalanan. Akan
tetapi, dalam kenyataan terbukti bahwa serangan
yang dilakukan anggota keluarga lebih berbahaya
dibandingkan dengan serangan yang dilakukan
orang asing (Coomaraswamy, 1995).
Dalam hal ini, Harikrisnowo (2004)
mengemukakan bahwa 42% perempuan Kenya,
38% perempuan Korea, 35% di Mesir, dan 28%
di Amerika melaporkan bahwa mereka telah

dianiaya oleh suami atau pasangan mereka. Dari
pengaduan yang masuk, diketahui bahwa ratarata kekerasan telah berlangsung lama,
perempuan tidak mempunyai keberanian dalam
mengambil tindakan lebih jauh menyelamatkan
dirinya dari berbagai tindakan kekerasan yang
dilakukan suaminya. Mengapa hal itu terjadi?
Tinjauan psikologis mengungkapkan bahwa
perempuan korban kekerasan mempunyai harga
diri yang rendah, sehingga ia menunjukkan
kepasifan tertentu dengan mengikuti kemauan
suami tanpa perlawanan dan sering menyalahkan
diri sendiri atas pemukulan tersebut.
Walker (1992) menyatakan meskipun
pemukulan terjadi berulang-ulang dalam jangka
waktu bulanan bahkan tahunan, perempuan tetap
bertahan dan tidak dapat meninggalkan pelaku
kekerasan (suami) tersebut. Menurut Hyden
(1994) ada beberapa alasan mengapa istri
bertahan, antara lain:
1. Image negatif terhadap diri sendiri.

Mempunyai kepercayaan diri yang rendah
adanya perasaan tidak berdaya dan tidak
mampu melihat alternatif lain.
2. Ajaran keluarga dan ditopang luas oleh
sistem sosial budaya dan ajaran agama bahwa
perempuan adalah hak suami yang harus
patuh kepadanya.
3. Percaya suami akan berubah dan percaya
pada dasarnya suami adalah baik.
4. Kesulitan ekonomi, perempuan yang tidak
bekerja dan mempunyai keterampilan dalam
mencari nafkah dan tidak melihat jalan lain
untuk “survive” secara ekonomi tanpa
suaminya.
5. Ragu bahwa mereka dapat bertahan sendiri di
dalam dunia yang kejam. Ada asumsi dari

25
Universitas Sumatera Utara


Jurnal Harmoni Sosial, September 2007, Volume II, No. 1

perempuan korban kekerasan, suaminya yang
dicintai mau memukul apalagi orang lain
yang tidak dikenal.
Merujuk pada alasan di atas, seorang istri
dikatakan tetap bertahan dalam hubungan
tersebut, hal ini dikarenakan adanya rasa takut
jika suaminya akan mendendam dan melakukan
tindakan kekerasan yang lebih parah lagi jika ia
meninggalkannya. Teori tersebut dikemukakan
oleh Walker dengan menggunakan Model Social
Learning Theory, di mana manusia belajar dari
situasi yang dihadapinya. Perempuan korban
kekerasan sebenarnya sudah “belajar” tentang
bagaimana reaksi yang timbul dan merubah
reaksi tersebut. Pertama kali dapat mengurangi
derajat, tetapi hubungan yang berdekatan dalam
satu rumah tangga mengakibatkan kekerasan itu
tidak dapat dikendalikan lagi. Pemukulan yang
berulang-ulang
mengakibatkan
respons
perempuan korban kekerasan menjadi pasif,
apapun yang dialami, ia akan tetap bertahan di
dalam rumah. Korban belajar banyak tentang
ketakutan, kecemasan, kehilangan percaya diri
bahkan memercayai bahwa tindakan apapun yang
dilakukannya adalah sia-sia.
Teori kebutuhan dari Maslow (1970)
dapat memahami lebih lanjut tentang tingkat
kebutuhan dasar manusia, antara lain; kebutuhan
psikologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan
akan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan,
dan kebutuhan aktualisasi diri. Manusia, dalam
konteks ini perempuan, yang mengharapkan
kebutuhan dasar tersebut dapat dipenuhi oleh
lingkungan terdekat yaitu suaminya sebagai
pasangan hidup, ternyata menyiksa dirinya.
Korban berasumsi suami yang mencintainya saja
melakukan tindakan kekerasan, apalagi jika ia
melarikan diri. Ia beranggapan bahwa orang lain
yang belum dikenalnya akan memperlakukannya
lebih parah lagi. Apabila kebutuhan dasar ini
tidak dipenuhi, manusia (perempuan), lama
kelamaan akan menunjukkan gejala stress, yakni
mudah terserang krisis emosi (Gelles,1993 dan
Regisher, 1993).
Bagamana dengan perempuan yang
berada dalam posisi teraniaya atau mengalami
kekerasan dalam rumah tangganya? Menurut
Mary Roth Walsh (1987) penanganan yang
diberikan terhadap perempuan korban kekerasan
meliputi;
perlindungan
terhadap
korban,
penyuluhan terhadap korban dan lingkungan
terdekat korban, jaringan perlindungan dan

26

transportasi, serta advokasi media massa dan
bantuan dibidang hukum.
KDRT dan Budaya Hukum
Khusus bantuan hukum Sulystyowati
Irianto (2004) menyatakan bahwa meskipun
pemerintah telah mengeluarkan UU dan berbagai
Peraturan Pemerintah lainnya untuk mendukung
instrumen hukum, KDRT tidak akan mudah surut
jika budaya hukum tidak dibenahi. Meminjam
teori yang dikemukakan Friedman, Irianto
menulis perlunya menganalisis hukum sebagai
suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen,
yakni; subsistem hukum, struktur hukum, dan
budaya hukum.
Terkait dengan instrumen hukum, UU
KDRT yang bertujuan memberi bantuan keadilan
terhadap perempuan korban KDRT, ternyata
berbenturan dengan pernyataan kedudukan
perempuan di berbagai peraturan perundangundangan dan kebijaksanaan lain. Seringkali
interpretasi agama dan adat yang meneguhkan
posisi subordinat perempuan diakomodasi dalam
substansi peraturan perundang-undangan. Dalam
struktur hukum, penegak hukum di lapangan
tidak mempunyai sensitifitas terhadap gender.
Hal ini disebabkan bukan hanya ketidakpahaman
penegak hukum, tetapi juga tuntutan struktur dan
prosedur yang ketat dalam proses hukum yang
relatif bias gender.
Dalam budaya hukum, yang memuat
budaya hukum dalam masyarakat adalah
kekuatan-kekuatan sosial berupa ide-ide,
gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan
adat kebiasaan yang potensial menempatkan
perempuan sebagai subordinat, baik dalam
keluarga maupun masyarakat. Dari ketiga
komponen ini, budaya hukum mempunyai
pengaruh dominan terhadap substansi hukum
maupun struktur hukum.
Ketiga komponen penting dalam sistem
hukum juga diteliti oleh Irawati Harsono (2005)
pada Lembaga Kepolisian, sebagai struktur
hukum yang menegakkan hukum di lapangan.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
rendahnya apresiasi Polri terhadap masalah
Indonesia masih bersifat patrimonial dan feodal
serta budaya organisasi khas kepolisian yang
patron oriented dan maskulin.
Tidak dapat disangkal bahwa hukum
sangat erat kaitannya dengan budaya, dimana
hukum merumuskan substansi budaya yang
dianut
suatu
masyarakat.
Nursyahbani

Universitas Sumatera Utara

Nita Savitri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)...

Katjasungkana (2000) menyatakan jangan heran
jika budaya yang diakomodasi dalam rumusanrumusan adalah hukum budaya patriarkis, hukum
yang ada menempatkan perempuan dan laki-laki
dalam hubungan yang timpang.
Lebih lanjut, Bart dan Pauline (2001)
menegaskan pendekatan hukum tidak selalu
melihat kepentingan dari sudut perempuan, tetapi
penganiayaan terhadap perempuan berfokus pada
kontrol sosial dan ekonomi perempuan yang
melingkupinya. Kekerasan terhadap perempuan
(istri) tidak sekedar persoalan dalam rumah
tangga, tetapi telah berakar dari struktur
masyarakat, dimana keluarga berada dalam
norma-norma kultural dan institusi yang bias
gender. Angka yang dilaporkan disinyalir lebih
tinggi karena banyak korban kekerasan yang
tidak melapor karena adanya “budaya malu” jika
persoalan rumah tangga diketahui publik.
Sebagian data yang ada lebih memfokuskan pada
jenis kekerasan yang “serius”, misalnya
pembunuhan dan penganiayaan berat (Ubbe,
1991: 7-20).
Masih kuatnya budaya budaya malu
mengakar dalam masyarakat membuat korban
kekerasan enggan melapor, sehingga persentase
pelaporan pengaduan hukum masih rendah. Data
tahun 2001 dari 258 kasus KDRT yang dilakukan
suami, hanya 21,11% menempuh proses hukum,
sedangkan tahun 2006 dari 336 kasus hanya
14,88% yang memilih penyelesaian melalui
hukum. Keengganan korban menempuh proses
hukum juga dipengaruhi oleh penanganan aparat
hukum dan lemahnya infrastruktur pelayanan
terhadap korban (perempuan). Aparat yang
kurang memahami sering beranggapan persoalan
rumah tangga seharusnya diurus sendiri. Belum
lagi ketika pembuatan Berita Acara Pemeriksaan
(BAP), penegak hukum atau polisi sering
mengajukan pertanyaan yang menyudutkan,
bahkan seringkali menyalahkan korban (blaming
victim). Pada saat ini, Polri telah mempunyai 260
Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dengan awak
Polwan untuk menerima dan melayani
pemeriksaan pelaku dan korban kekerasan,
namun RPK hingga saat ini belum masuk dalam
struktur anggaran organisasi.
Berbagai
masalah
dalam
ketiga
komponen (substansi, struktur, dan budaya
hukum) yang saling mempengaruhi dalam
penegakan hukum belum memberikan rasa aman,

keadilan, dan perlindungan terhadap korban
kekerasan, termasuk dalam menerapkan UU
penghapusan KDRT secara maksimal. Akan
sangat bagus apabila suatu substansi hukum,
tidak “bekerja” sendirian sepanjang struktur
hukum dan terlebih lagi apabila budaya hukum
tidak mendukung. Budaya hukum yang
merupakan kekuatan sosial dalam masyarakat
akan sangat menentukan apakah instrumen
hukum, UU Penghapusan KDRT itu dapat
mewujudkan kesetaraan dan keadilan bagi korban
KDRT atau tidak (Irianto, 2004).
Patut direnungkan ketika seorang
sosiolog menganjurkan adanya gerakan budaya
yang konsisten dan terus menerus untuk
mengubah pola pikir masyarakat yang
berhubungan dengan budaya yang menganggap
bahwa KDRT adalah hal yang lazim justru harus
dihentikan.
PENUTUP
Setelah 2 tahun UU No. 23 tahun 2004
berjalan, UU ini masih tetap menjadi sorotan
berbagai pihak yang mempunyai perhatian
terhadap hak-hak asasi manusia khususnya
perempuan korban KDRT. Dapatkah hukum
sebagai alat rekayasa sosial berfungsi membackup terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik
ketika penerapannya di lapangan dan bersentuhan
dengan keadilan perempuan? Analisis persoalan
harus dicermati dengan hati karena dapat
menimbulkan konflik-konflik kepentingan.
Kuatnya budaya Patriarkhis yang
diakomodasi dalam sbstansi hukum, serta
ketidakpastian struktur hukum dalam hal ini
penegak hukum di lapangan, dan terlebih lagi
budaya hukum masyarakat yang tidak
mendukung, menyebabkan upaya keadilan
gender termasuk penghapusan KDRT menjadi
tidak mudah.
Perlu kiranya gerakan budaya dengan
motivator agen-agen perubahan yang terdiri dari
individu-individu, pemuka agama, akademisi,
organisasi pemuda, LSM, media massa dan
masyarakat luas membentuk jaringan kerja yang
solid untuk mensosialisasikan instrumeninstrumen hukum termasuk KDRT, ke berbagai
kelompok sasaran sebagai upaya penghapusan
KDRT di Indonesia.

27
Universitas Sumatera Utara

Jurnal Harmoni Sosial, September 2007, Volume II, No. 1

DAFTAR PUSTAKA
Coomarasway, Radika. 1995. Some Reflections on Violonce Against Women. Canadian Women
Studies (XV) (2 dan 3): 19-23.
Gelles, Richard. J (Eds.). 1993. Current Controversies on Families Violens. New York Park-LondonNew Delhi. Sage Publication.
Harkrisnowo, Harkristuti. 2004. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Tinjauan dari
Perspektif Hukum)”. Makalah disajikan dalam Seminar dan Lokakarya Sosialisasi UU No. 23
Tahun 2004, Jakarta, 15 Desember 2004.
Harsono, Irawati. 2005. Strategi Mengembangkan Budaya Baru dalam Birokrasi: Kasus Lembaga
Kepolisian. Makalah disajikan dalam Seminar Capacity Building: Mitra dalam Membangun
Indonesia, Pusat Kajian Wanita - UI, Jakarta, 9 Desember 2005.
Hyden, Margaretha. 2005. Women Battering as Marital Atc, The Construction of Violent Marriage.
Oslo: Scandinavian University Press.
Irianto, Sulystyowanti. 2000. Pendekatan Hukum Berpspektif Perempuan. Dalam Ihromi T. O (eds.),
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung: Alumni.
Irianto, Sulystyowanti. 2000. Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga: Tinjauan dari
Perspektif Budaya. Seminar dan Lokakarya Sosialisasi UU No. 23 Tahun 2004, Jakarta, 15
Desember 2004.
Katjasungkana, Nursyahbani. 2000. Hukum dan Perempuan di Indonesia. Dalam Ihromi T. O. (eds.),
Penghapusan Diskriminasi Terhadap Wanita. Bandung: Alumni.
Laporan Tahunan, LSM Mitra Perempuan: Catatan Kekerasan terhadap Perempuan dan Statistik
KDRT, Jakarta 28 Desember 2006.
Publikasi Komnas Perempuan. 2001. Kekerasan Dalam Pengalaman Perempuan Indonesia. Jakarta:
Komnas Perempuan.
Register, Elizabeth. 1993. Feminist and Recovening from Battering: Working with The Individual
Women. Dalam Marsali Hansen (Eds.), Battering and Family Therapy, Newbury ParkLondon-New-Delhi: Sage Publications.
Ubbe, Ahmad SH. 1991. Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Sebab dan Akibatnya”. Dalam
Departemen Kehakiman RI Badan Pembinaan Hukum Nasional.
UU No. 23, 2004. Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Kementrian Pemberdayaan
Perempuan Republik Indonesia.
Walker, Lenore. 1991. Tindakan Kekerasan Suami terhadap Istri Perbuatan Kriminal Tersembunyi.
Antar Widya, I (3): ...

28

Universitas Sumatera Utara

Nita Savitri, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)...

Walsh, Mary Roth, The Psychology of Women: Ongoing Debates. New Haven: Yale University Press.
Whelehan, Imelda. 1996. Maritel Rape: Feminist Though. London: Roudledge.

29
Universitas Sumatera Utara