Advokasi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Yayasan Pusaka Indonesia

(1)

ADVOKASI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA OLEH YAYASAN PUSAKA INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Disusun oleh : WENNY MARLINDA

100902017

DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan oleh: Nama : Wenny Marlinda

NIM : 100902017

Judul : Advokasi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Yayasan Pusaka Indonesia

Medan, Juni 2014 PEMBIMBING

NIP. 19630319 199303 1 001 (Drs. Matias Siagian, M.Si, Ph.D)

KETUA DEPARTEMEN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL

NIP. 19710927 199801 2 001 (Hairani Siregar, S.Sos, M.Sp)

DEKAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

NIP. 19680525 199203 1 002 (Prof. Dr. Badaruddin, M.Si)


(3)

ABSTRAK

Advokasi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Yayasan Pusaka Indonesia

Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi saat ini merupakan masalah yang banyak menimpa kehidupan rumah tangga di masyarakat saat ini. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga kenyataannya cukup sering terjadi, tetapi jarang mengemuka karena masyarakat berpendapat bahwa campur tangan pihak lain yang bukan anggota rumah tangga dianggap tidak lazim. Tidak dapat dipungkiri masalah kekerasan dalam rumah tangga belum menjadi perhatian masyarakat, dapat dilihat dari segi enggannya masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak yang berwajib, karena dianggap akan membuka aib keluarga yang bersangkutan. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan, apalagi akibat yang ditimbulkan kekerasan dalam rumah tangga sangat menimbulkan penderitaan baik fisik maupun psikis pada korban.

Masalah yang ingin diangkat adalah “Bagaimana Hasil Advokasi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Yayasan Pusaka Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil advokasi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian dilakukan di Yayasan Pusaka Indonesia Provinsi Sumatera Utara serta areal lingkungan sekitar korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi ke lapangan. Data yang didapat kemudian dinarasikan secara deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Data- data mengenai perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam penelitian ini disamarkan demi kepentingan perlindungan perempuan. Berdasarkan data- data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pada bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami, tetapi sama-sama dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi yang lemah, sehingga terjadi perpecahan rumah tangga yang memberi peluang bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban.


(4)

ABSTRACT

Advocacy Domestic Violence Victims By Indonesian Heritage Foundation

The problem of domestic violence is happening now is that many problems afflict domestic life in today's society. Forms of domestic violence that includes physical, psychological, sexual, and neglect the fact households are fairly common, but rarely arise because society believes that the intervention of other parties who are not household members considered unusual. It is inevitable issue of domestic violence has not been a concern of society, can be seen in terms of the reluctance of the public to report cases of domestic violence to the authorities, because they will open a disgrace the family concerned. This situation is very worrying, especially the impact of domestic violence very well lead to physical or psychological suffering on the victim.

A problem to be raised is "What results Advocacy Domestic Violence Victims By Indonesian Heritage Foundation". This study aims to determine the outcome of advocacy Victims of Domestic Violence (domestic violence), accompanied by the Indonesian Heritage Foundation. Methods This study uses descriptive method with a case study approach. he study was conducted in the Indonesian Heritage Foundation of North Sumatra Province and surrounding area victims of Domestic Violence. Data was collected by in-depth interviews and observations in the field. Data retrieved later descriptively narrated using a qualitative approach.

The data on women victims of domestic violence in this study suppressed for the sake of the protection of women. Based on the data that has been collected and analyzed can be concluded that there is a difference in the form of domestic violence is experienced, but equally motivated by economic factors are weak, resulting in split households that provide opportunities for perpetrators of domestic violence to commit domestic violence against the victim.


(5)

KATA PENGANTAR

Pertama sekali penulis ingin mengucapkan syukur Alhamdulillah kepada Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan banyak inspirasi dalam penulisan Skripsi ini, sehingga dapat diselesaikan oleh penulis hingga selesai. Sholawat beriring salam juga saya hanturkan kepada Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW yang telah membawa kita semua dari zaman kebodohan menuju zaman yang penuh dengan perkembangan ilmu pengetahuan ini. Kiranya safaat beliau turut serta dalam mengiringi kita pada akhirnya.

Amin...

1. Bapak Prof. Badaruddin Rangkuti, selaku dekan FISIP USU

Sesungguhnya banyak sekali do’a dan bantuan yang mengiringi penulis di dalam pengerjaan Skripsi. Dalam kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak- pihak yang telah membantu penyelesaian penulisan Skripsi ini, yaitu :

2. Ibu Hairani Siregar, S.Sos, M.Sp selaku Ketua Depatemen Ilmu Kesejahteraan Sosial

3. Bapak Drs. Matias Siagian, M.Si, Ph.D selaku Dosen Pembimbing penulis yang telah banyak memberikan perhatian dan waktu melalui bimbingan teori dan pemikiran serta semangat dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Fatwa Fadilla selaku Ketua Badan Pengurus Yayasan Pusaka Indonesia.

5. Paling utama dan terkhusus buat kedua orangtuaku tersayang, terimakasih untuk semua semangat dan dukungan yang telah diberikan. Buat ayahku, Eddy Yusuf, terimakasih sudah membesarkan anakmu yang sangat keras kepala ini, ayah sudah banyak berkorban untuk menjaga, melindungi, menyayangiku, dan terimah kasih untuk ibu Endang Zuwita, terimah kasih buk, udah mau membesarkanku padahal aku bukan anak kandungmu. Buat mamaku, Muan Handaya, terimah kasih mah sundah melahirkan anakmu, walaupun tidak banyak waktu yang kita miliki untuk bersama- sama, karena waktu dan keadaan yang ada, serta terimakasih buat suami mamaku, Amin Munte, terimah kasih pah, sudah mau menjadi suami yang baik buat mamaku


(6)

6. Untuk abangku, Abdul Gapur dan Istrinya, Wiranti Anastasya. Terimah kasih bang sudah memberikan banyak inspirasi dan pikiran tentang berbagai informasi yang ada, walaupun terkadang setiap pembicaraan kita hanya sebuah lelucon. Buat Adekku, Hamid Ibrahim Gani, terimah kasih dek untuk semua bantuan yang dirimu berikan, walaupun terkadang suka gangguin kakakmu ini, jangan pacaran aja ya.

7. Seluruh Dosen Ilmu Kesejahteraan Sosial, seluruh Dosen FISIP dan staf-staf administrasi lainnya yang telah memberikan pengalaman serta ilmu selama perkuliahan penulis.

8. Buat Divisi Anak dan Perempuan Yayasan Pusaka Indonesia, terutama kepada Bang Mitra Lubis, SH selaku Koordinator Divisi Anak dan buat Bu Elisabeth Juniarti, SH terimakasih banyak atas kerja sama dan bimbingannya selama ini. Serta seluruh staf-staf yang ada di Yayasan Pusaka Indonesia, kak un- un, pak joko, bang bodo, pak ade, bang ucok, kak ami, kak tina, buk tina, kak ginting, bang osin dan semua staf lainnya yang mungkin terlupakan untuk disebutkan terima kasih banyak atas kesempatan yang diberikan kepada saya untuk belajar lebih di Yayasan Pusaka Indonesia.

9. Untuk informan yang telah banyak membantu dalam penelitian ini, tetap semangat ibu-ibu yang kuat dan penuh semangat yakinlah dengan usaha dan harapan maka semua akan menjadi lebih baik.

10. Buat temanku, Yunda Anisa Tiara yang telah memberikan banyak inspirasi ditengah kejenuhan dalam berpikir dan juga menjadi teman curhat yang dapat dipercaya, selamat atas kelahiran anakmu, semoga ia menjadi anak yang lebih sholeh dan anak yang berbakti sama orangtua. Dan terimah kasih untuk mamak dari Yunda yaitu Wak Anin yang udah aku anggap seperti mamakku sendiri, dan juga terimakasih atas semua bantuannya, tanpa Wak, aku mungkin gak akan bisa mencapai semua ini.

11. Terimahkasih untuk semua anak Bidik Misi yang terus memberikan informasi tanpa henti. Dan juga untuk semua staf bagian kemahasiswaan di direktorat USU.

12. Buat Bintang, Bang Budi, Kak Ika, Kak Rini, Bang Ruli, Tami dan Eka serta untuk kedua keponakanku yang sangat lucu, imut, gemasin, jengkelin, biang ribut yaitu Alia, wawong, sammy, andre, yang selalu bisa bikin ketawa dan


(7)

bikin pusing. Terimakasih buat kalian semua yang telah memberikan pembelajaran dan kehangatan keluarga yang luar biasa.

13. Terimakasih untuk Bulek Usi, Palek gudel, nek ji’ek, kakek saman, kakak Yanti, bang Iyos, Lia, Dimas, Putri, Dias yang sudah banyak sekali membantu dan menolong, mungkin rasa terimakasih tidak akan pernah cukup untuk membalas semua kebaikan kalian, aku sudah banyak sekali merepotkan dan menyusahkan kalian. Terimakasih saudara- saudaraku, kalian adalah rumah kedua bagiku.

14. Buat sahabat-sahabatku yang sepenanggungan dan seperjalanan, yaitu Maya Jelita, Ayu Lestari dan Rizky Yulijar, terimah kasih sudah menemaniku dan memberikan banyak pengalaman selama ini. Kita sudah bersama-sama selama 4 tahun ini, tidak terasa kita akan berpisah dan saling memasuki dunia nyata. Semoga persahabatan kita tidak pernah putus, walau terpisah jarak dan waktu.

15. Untuk semua teman-teman Kessos ’10. Terimakasih banyak atas kebersamaan yang telah dilalui selama menjalani studi di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial.

16. Untuk semua pihak yang pernah bersentuhan pemikiran dengan penulis, sedikit banyaknya skripsi ini adalah kristalisasi pemikiran yang selama ini ada. Terimakasih semuanya.

Akhirnya, saya berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Namun demikian, skripsi ini tentunya jauh dari sempurna untuk itu dengan segala kerendahan hati saya mohon maaf atas ketidaksempurnaan tersebut.

Medan, Juni 2014


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN HALAMAN PENGESAHAN ABSTRAK

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah …………...……..……...………...…….. 1

1.2 Perumusan Masalah ………...……..……...……… 7

1.3 Tujuandan Manfaat Penelitian ………….………..…...….……. 8

1.4 Sistematika Penulisan …...……….……….………...…. 8

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga …...………..…....10

2.2 Advokasi dalam Rangka Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga……...………...19

2.3 Upaya yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia………... 33

2.4 Peran Pekerja Sosial Terhadap Masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga... 36

2.5 Kerangka Pemikiran …...………...……….….….. 38

2.6 Defenisi Konsep ………...………..……… 43

BAB III : METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ………...……….…... 45

3.2 Lokasi Penelitian ………...………..… 45


(9)

3.4 Teknik Pengumpulan Data ……….…...………...… 47

3.5 Teknik Analisis Data ……….…………...….. 48

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI 4.1 Sejarah Lembaga ……….…………...…..50

4.2 Visi dan Misi Yayasan Pusaka Indonesia ……….……51

4.3 Program Yayasan Pusaka Indonesia ……….………..…..52

4.4 Sumber Dana Yayasan Pusaka Indonesia ……….…58

4.5 Struktur Lembaga ……….………...……..61

4.6 Devisi Kelembagaan ……….………...62

4.7 Jaringan Kerja Lembaga ……….………...73

BAB V : ANALISA DATA 5.1 Pengantar ……..………... 78

5.2 Informan Pangkal ………...…..…. 79

5.3 Informan I ………... 83

5.4 Informan II ... 108

5.5 Informan III ... 128

5.6 Analisa Kasus Secara Umum ………...… 147

BAB VI : PENUTUP 6.1 Kesimpulan ……….…...….. 157

6.2 Saran ……….……...…… 158 DAFTAR PUSTAKA


(10)

ABSTRAK

Advokasi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Yayasan Pusaka Indonesia

Masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi saat ini merupakan masalah yang banyak menimpa kehidupan rumah tangga di masyarakat saat ini. Bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran rumah tangga kenyataannya cukup sering terjadi, tetapi jarang mengemuka karena masyarakat berpendapat bahwa campur tangan pihak lain yang bukan anggota rumah tangga dianggap tidak lazim. Tidak dapat dipungkiri masalah kekerasan dalam rumah tangga belum menjadi perhatian masyarakat, dapat dilihat dari segi enggannya masyarakat untuk melaporkan kasus kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak yang berwajib, karena dianggap akan membuka aib keluarga yang bersangkutan. Keadaan ini sangat mengkhawatirkan, apalagi akibat yang ditimbulkan kekerasan dalam rumah tangga sangat menimbulkan penderitaan baik fisik maupun psikis pada korban.

Masalah yang ingin diangkat adalah “Bagaimana Hasil Advokasi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oleh Yayasan Pusaka Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil advokasi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan studi kasus. Penelitian dilakukan di Yayasan Pusaka Indonesia Provinsi Sumatera Utara serta areal lingkungan sekitar korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi ke lapangan. Data yang didapat kemudian dinarasikan secara deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif.

Data- data mengenai perempuan korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam penelitian ini disamarkan demi kepentingan perlindungan perempuan. Berdasarkan data- data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan pada bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami, tetapi sama-sama dilatarbelakangi oleh faktor ekonomi yang lemah, sehingga terjadi perpecahan rumah tangga yang memberi peluang bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban.


(11)

ABSTRACT

Advocacy Domestic Violence Victims By Indonesian Heritage Foundation

The problem of domestic violence is happening now is that many problems afflict domestic life in today's society. Forms of domestic violence that includes physical, psychological, sexual, and neglect the fact households are fairly common, but rarely arise because society believes that the intervention of other parties who are not household members considered unusual. It is inevitable issue of domestic violence has not been a concern of society, can be seen in terms of the reluctance of the public to report cases of domestic violence to the authorities, because they will open a disgrace the family concerned. This situation is very worrying, especially the impact of domestic violence very well lead to physical or psychological suffering on the victim.

A problem to be raised is "What results Advocacy Domestic Violence Victims By Indonesian Heritage Foundation". This study aims to determine the outcome of advocacy Victims of Domestic Violence (domestic violence), accompanied by the Indonesian Heritage Foundation. Methods This study uses descriptive method with a case study approach. he study was conducted in the Indonesian Heritage Foundation of North Sumatra Province and surrounding area victims of Domestic Violence. Data was collected by in-depth interviews and observations in the field. Data retrieved later descriptively narrated using a qualitative approach.

The data on women victims of domestic violence in this study suppressed for the sake of the protection of women. Based on the data that has been collected and analyzed can be concluded that there is a difference in the form of domestic violence is experienced, but equally motivated by economic factors are weak, resulting in split households that provide opportunities for perpetrators of domestic violence to commit domestic violence against the victim.


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Perempuan Indonesia merupakan kelompok penduduk mayoritas dalam jumlah, namun dalam berbagai bidang kehidupan masih tetap menduduki posisi minoritas. Keadaan apapun perempuan selalu menjadi pihak yang paling rentan menjadi korban kekerasan. Hal ini disebabkan oleh faktor ketidakberdayaan perempuan termasuk anak-anak dalam beberapa aspek seperti fisik, ekonomi, psikis dan keberanian mempertahankan hak dan lain-lain (Relawati, 2011: 95).

Salah satu hal penting yang telah menjadi perhatian serius oleh pemerintah pada era reformasi adalah diangkatnya masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), diantaranya kekerasan yang dilakukan oleh suami-isteri atau kekerasan oleh orang tua terhadap anak, untuk diatur dengan suatu undang-undang. Hal ini mengingat bahwa KDRT adalah suatu bentuk pelanggaran hak-hak asasi manusia dan kejahatan terhadap kemanusiaan, juga merupakan tindakan diskriminasi (Mahendra, 2006: 45).

Kekerasan dalam Rumah Tangga telah menjadi isu global dan merupakan pelanggaran Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, 1993 yang berbunyi: "Setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi" ( YLBHI, 2007: 23).


(13)

Seorang pembantu yang bekerja selama 25 tahun, sebut saja namanya Butet. Ia mengalami penyiksaan sebagai pembantu rumah tangga. Ia adalah anak transmigran yang dirawat oleh keluarga tersebut sejak kira-kira berusia 5 tahun. Butet hingga kini tak bisa membaca dan menulis, hingga tak bisa dengan pasti menyebutkan berapa umurnya.

Butet mengaku tak pernah mendapat upah. Tak hanya itu, warga Jalan Brigjen Katamso Gang Datuk, Medan ini pun mengaku kerap mendapat perlakukan kasar, hingga penganiayaan. Akses interaksi Butet pun ditutup total, layaknya hidup di penjara. Identitas Butet bahkan diubah oleh pihak majikan. Hal ini dibuktikan dengan sebuah kartu keluarga yang dibuat oleh sang majikan, hingga akhirnya Butet melarikan diri dari tempat kerjanya dan segera melaporkan ke kantor polisi (Kompas, 2012: 1-2).

Data dari hasil Survei Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tahun 2010 oleh BPS dan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, khususnya mengenai Tindak Kekerasan dalam rumah tangga terhadap Perempuan menurut Pelaku, menunjukkan bahwa: sebanyak 51,1% (pelaku: suami); 11,7% (pelaku: orang tua/mertua, anak/cucu, dan famili); 19,6%(pelaku: tetangga); 2,5%(pelaku: atasan/majikan); 2,9 (pelaku: rekan kerja); 0,2% (pelaku: guru); dan 8,0% (pelaku: lainnya) (

Gambaran data tersebut sangat jelas bahwa bentuk kekerasan dalam rumah tangga sangat mendominasi, yakni dengan pelaku adalah suami (tertinggi), kemudian pelaku kekerasan adalah orang tua/mertua, anak/cucu dan famili, dan menyusul pelaku adalah atasan/majikan. Hal ini tentu saja cukup memprihatinkan.

Badan Pusat Statistik dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan, 2010: 23).


(14)

Pada awalnya, terutama sebelum diterbitkannya undang-undang bahwa seseorang korban KDRT sangat kesulitan mencari keadilan atau mendapatkan perlindungan atas kejadian yang menimpa dirinya. Hal ini terjadi, bukan saja pada saat itu belum ada payung hukumnya, namun di sisi lain juga adanya pandangan masyarakat bahwa mengungkap hal yang terjadi dalam rumah tangga adalah suatu hal yang tabu, aib, dan sangat privat, yang tidak perlu intervensi dari pihak luar, termasuk jika masalah rumah tangga itu sebetulnya sudah merupakan bentuk kekerasan.

Hampir tidak pernah ada kejadian/kasus KDRT dilaporkan kepada pihak yang berwajib, bahkan mungkin diutarakan kepada pihak kerabat terdekat pun hampir tidak terlakukan, karena kuatnya keyakinan sebagai suatu aib atau tabu dan akhirnya KDRT menjadi hal yang sangat tertutup atau ditutup-tutupi. Korban pun hanya diam seribu bahasa meratapi kesedihan dan kesendiriannya dalam memendam perasaan sakit, baik secara fisik maupun psikis atau perasaan-perasaan lain yang pada dasarnya suatu hal yang sangat tidak adil terhadap hak-hak asasi dirinya dan sangat membutuhkan bukan saja perlindungan sosial tetapi juga perlindungan hukum.

Berbagai macam bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dialami perempuan terkait erat dengan adanya akar budaya patriarkhi yang muncul dalam banyak wajah. Budaya patriarkhi ini telah menempatkan laki-laki dalam posisi sosial yang lebih tinggi dari perempuan. Perempuan dengan berbagai alasan, terpaksa menerima situasi yang serba tidak menguntungkan dalam relasinya dengan laki-laki (Silawati, 2001: 12).

Dalam konsep domestic violence, cakupan atas tindakan yang dikategorikan sebagai bentuk kekerasan, lebih pada suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh


(15)

orang-orang terdekat dalam hubungan interpersonal, yang bisa dilakukan oleh teman dekat, bisa pacar, atasan dengan bawahan, pasangan hidupnya atau antar anggota keluarga baik yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah maupun di luar perkawinan. Kelompok yang dianggap rentan menjadi korban kekerasan adalah perempuan dan anak, dan kekerasan tersebut dapat terjadi di tempat umum, di tempat kerja, di sekolah, bahkan di lingkungan keluarga atau yang kita kenal di Indonesia sebagai Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (sumber : Pukul 10.43 WIB).

Kekerasan dalam Rumah Tangga yang banyak terjadi adalah kekerasan fisik, intimidasi, deprivasi, ekonomi dan hubungan seksual. Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga lebih dipicu oleh kondisi latar belakang sosial ekonomi dalam keluarga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang paling parah adalah terjadinya konflik rumah tangga yang berujung pada perceraian ( Relawati, 2011: 95).

Dalam hal ada suatu pelaporan atau pengaduan atas KDRT, hal ini praktis mengalami kebuntuan dalam penanganan proses hukumnya, karena belum ada payung hukum. Sementara hukum yang ada (KUHP) hanya mengenal istilah penganiayaan (kekerasan fisik), sehingga seringkali mengalami kesulitan terutama untuk pembuktian atas kekerasan non fisik, dalam hal ini kekerasan psikis atau bentuk lain

Pemerintah merumuskan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT), yang diharapkan dapat dijadikan sebagai perangkat hukum yang memadai, yang didalamnya antara


(16)

terhadap pelaku KDRT, dengan tetap menjaga keutuhan demi keharmonisan keluarga.

Hal ikhwal KDRT bukan lagi menjadi sesuatu yang dianggap privat tetapi sudah menjadi isu publik, maka dalam penanganannya pun diharapkan dapat dilakukan secara proporsional sebagaimana upaya perlindungan terhadap korban dan penanganan terhadap pelaku. Hal ini pun sudah dijamin perlindungannya dalam konstitusi kita, yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, namun Undang-Undang PKDRT juga tidak mampu membuat pelaku-pelaku KDRT jera, ditambah lagi faktor budaya, ekonomi yang seakan akan kurang berpihak kepada anak dan perempuan yang menjadi korban kekerasan (Sumber: Pukul 10.43 WIB).

Sepanjang tahun 2009, berdasarkan hasil pemantauan Perkumpulan Sada Ahmo terhadap berbagai berita dari media lokal (Medan) tentang isu Kekerasan dalam Rumah Tangga, tercatat ada 81 orang atau 42 persen perempuan mengalami kekerasan seksual, sementara 17 orang mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT). selama tahun 2009, dari 100 kasus yang ditangani, sebanyak 61 kasus atau 61 persen kasus yang muncul adalah kekerasan dalam rumah tangga. Sementara kasus pelecehan seksual berjumlah 20 kasus atau 20 persen (Sumber:

Permasalahan bukan saja terletak pada langkanya aturan hukum, namun pandangan masyarakat bahwa KDRT adalah suatu aib atau hal yang sangat pribadi juga melingkupi cara pandang para penegak hukum, yang perspekifnya praktis sama yakni sangat patrarkhis. Kepekaan terhadap permasalahan KDRT termasuk kepekaan


(17)

gender terhadap diri korban masih belum dihayati secara proporsional. Sehingga, harapan besar korban menjadi pupus dan harus menanggung kekecewaan yang cukup berat manakala kasus yang dilaporkannya tidak mendapatkan kepastian hukum dalam prosesnya, hanya karena aparat penegak hukum meyakini bahwa persoalan KDRT adalah bukan permasalahan publik melainkan sebagai permasalahan internal keluarga (Silawati, 2001: 12).

Demikian halnya bahwa belum tersedianya mekanisme untuk penanganan korban, karena memang tidak/belum tersedia, sehingga korban KDRT seringkali tidak mendapatkan perlindungan yang memadai. Hal ini sungguh merupakan bencana bagi siapa pun yang mengalami sebagai korban KDRT, terlebih jika korban adalah perempuan atau anak

Di kota Medan terdapat banyak Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam upaya perlindungan terhadap anak dan perempuan korban kekerasan, salah satunya adalah Yayasan Pusaka Indonesia. Sejak awal pendirinya telah melakukan berbagai aktivitas mendukung pencapaian visi dan misi dalam mendorong terjadinya/ lahirnya kebijakan publik yang signifikan dalam mendukung penegakan, serta perlindungan hak anak dan perempuan dengan melakukan serangkaian kegiatan advokasi, kampanye dan sosialisai. Sepanjang tahun 2010 ada 21 kasus yang ditangani Yayasan Pusaka Indonesia dan 4 di antaranya adalah kasus KDRT, 2011 sebanyak 22 kasus dan 3 kasus KDRT, 2012 sebanyak 21 kasus dan 6 kasus KDRT, serta 2013 sebanyak 25 kasus dan 6 kasus KDRT. Dimana setiap tahun mengalami peningkatan kasus ( Profil Yayasan Pusaka Indonesia, 2008: 11).

(Mahendra, 2006: 48).

Yayasan Pusaka Indonesia dalam pemecahan masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak, dengan berkoalisi dan berjejaring untuk melakukan kegiatan


(18)

lainnya, pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/ kotamadya, kecamatan, kelurahan/desa) dan pihak swasta. Prinsip tersebut didasarkan atassebuah kesadaran bahwa perubahan sosial hanya bisa dicapai jika mampu membangun satu pemahaman utuh di tataran komunitas dan pemerintah akan pentingnya kolaborasi untuk tujuan bersama.

Yayasan Pusaka Indonesia juga menerapkan prinsip keterbukaan dan kesadaran keterbatasan yang dimiliki. Kondisi tersebutlah yang membuat Yayasan Pusaka indonesia selalu merujuk kepada lembaga lain untuk penanganan selanjutnya jika tidak ada kapasitas di lembaga.

Adapun beberapa kegiatan yang telah dilakukan sepanjang tahun 2013 diantaranya Penanganan Kasus anak dan perempuan, Sosialisasi Isu KDRT, Trafiking, Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di lingkungan Sekolah, Ibu PKK di Kota Medan, Advokasi Perda KTR Kota Medan, Advokasi Kebijakan Penanganan Anak Berhadapan Dengan Hukum Dalam Mencapai Keadilan Restoratif Berdasarkan UU Sistem Peradilan Pidana Anak, Advokasi Penanganan Anak Pemakai dan Pengguna Narkotika dalam proses hukum.

Berdasarkan alasan-alasan tersebutlah, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Advokasi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh Yayasan Pusaka Indonesia.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka masalah yang dapat dirumuskan oleh penulis dalam penelitian ini adalah “Bagaimana hasil advokasi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia?”.


(19)

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil advokasi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam rangka:

a. Pengembangan konsep dan teori-teori yang berkenaan dengan permasalahan Kekerasan dalam Rumah Tangga

b. Pengembangan kebijakan dan model pelayanan pihak yang terkait.

1.4. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisikan uraian dan teori-teori yang berkaitan dengan masalah dan objek yang akan di teliti, kerangka penelitian, defenisi konsep dan defenisi operasional.

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisikan tipe penelitian, lokasi penelitian, populasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data.


(20)

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisikan sejarah singkat dan gambaran umum lokasi penelitian yang berhubungan dengan masalah objek yang akan diteliti.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini berisikan tentang uraian data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisisnya.

BAB IV : PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran penulis yang penulis berikan sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan.


(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kekerasan dalam Rumah Tangga

2.1.1 Pengertian Kekerasan dalam Rumah Tangga

Menurut Pasal 1 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berkaitan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sedangkan rumah tangga menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan keluarga dalam rumah. Sehingga dapat dinyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu perlakuan yang dialami oleh sebuah keluarga sehingga menimbulkan potensi korban tidak berkembang.

Menurut Hasbianto bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk penganiayaan secara fisik maupun emosional atau psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga (Sugihastuti, 2007:173).

Menurut Pasal 1 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.


(22)

Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang RI No. 23 tahun 2004 meliputi:

1. Suami, istri, dan anak,

2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud, karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga,

3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Dimana orang yang bekerja sebagaimana dimaksud dalam kalimat sebelumnya adalah dipandang sebagai anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan (Sinar Grafika, 2009 : 3).

Kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence) merupakan sebuah rumusan yang kemudian disinonimkan dengan penyiksaan terhadap istri, sehingga pada akhirnya banyak sekali penelitian yang kemudian difokuskan pada kekerasan terhadap istri. Kekerasan terhadap istri bukanlah isu kekerasan biasa, melainkan sebuah gambaran mengenai relasi kekuasaan yang tidak seimbang dengan sebuah hubungan. Laki-laki mempertahankan otoritas didalam mengontrol, mendominasi, dan upaya lainnya sama seperti bagaimana laki-laki melakukannya dalam lingkup masyarakat ( Shinta & Bramanti, 2007: 35).

Kekerasan dalam rumah tangga pada umumnya berhubungan dengan kekerasan berbasis gender (gender based violence). Bentuk kejahatan ini merupakan bentuk diskriminasi yang menghalangi perempuan untuk mendapatkan hak-hak kebebasannya yang setara dengan laki-laki, tindak kekerasan ini dapat berupa kekerasan domestik dan kejahatan yang berdalih kehormatan. Kekerasan kategori ini muncul akibat pemposisian perempuan sebagai pihak yang menjadi tanggungan dan


(23)

mendapat perlindungan dari seseorang pelindung laki-laki, pertama ayahnya kemudian suaminya (Relawati, 2011: 95).

Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk sekaligus dilembagakan secara sosial. Hal ini, membuat masyarakat menentukan batas-batas kepantasan dan melabelkan peran-peran streotip bagi laki-laki dan perempuan. Apa yang ditentukan oleh masyarakat ini sudah berjalan berabad-abad lamanya, dan di anggap kodrat yang tidak bisa berubah, oleh sebab itu seseorang hanya bisa eksis dan dianggap benar apabila mengikuti batas-batas dan label-label sosial yang berlaku. Sebaliknya, seseorang akan merasa bersalah dan dipersalahkan apabila keluar dari batas-batas dan label-label sosial tersebut (Luhulima, 2000 : 8).

Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan persoalan besar yang ditandai oleh sikap diam dan tidak ada penyelesaian masalah. Hal ini terkait dengan nilai-nilai budaya yang melekat dalam konsep keluarga, bias bersumber dari ajaran agama, budaya dan mitos-mitos yang berkembang dalam masyarakat. Falsafah dalam suatu budaya Indonesia yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga dan menutup rapat aib keluarga seringkali menjadi alasan sebuah keluarga untuk tidak membuka persoalan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga (Relawati, 2011: 14).

2.1.2 Bentuk- Bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Ada 4 bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu: 1. Kekerasan Fisik

Menurut Pasal 6 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan fisik adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.


(24)

Adapun klasifikasi lain dari kekerasan fisik yaitu; A. Kekerasan fisik berat

1. Cedera berat

2. Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari 3. Pingsan

4. Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati

5. Kehilangan salah satu panca indera. 6. Mendapat cacat.

7. Menderita sakit lumpuh.

8. Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih 9. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan 10. Kematian korban.

B. Kekerasan fisik ringan, berupa perbuatan lainnya yang mengakibatkan:

1. Cedera ringan

2. Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat

3. Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.

2. Kekerasan Psikis

Menurut Pasal 7 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan psikis adalah sebagai perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.


(25)

Adapun klasifikasi lain dari kekerasan Psikis yaitu;

A. Kekerasan psikis berat, berupa tindakan pengendalian kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:

1. Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.

2. Gangguan

3. Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)

pasca trauma.

4.

5. Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya

berat atau destruksi diri

6. Bunuh diri

B. Kekerasan psikis ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, penguntitan, ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis, yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal berikut ini:


(26)

2. Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak

3. Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual

4. Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)

5.

3. Kekerasan Seksual

atau depresi temporer

Kekerasan seksual dalam rumah tangga (marital rape) seringkali terjadi tetapi dianggap tidak mungkin sehingga selalu diabaikan. Menurut Pasal 8 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan seksual yaitu:

a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut;

b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Adapun klasifikasi lain dari Kekerasan Seksual yaitu;

A. Kekerasan seksual berat, berupa:

1. Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan. 2. Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat

korban tidak menghendaki.

3. Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.


(27)

4. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.

5. Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.

6. Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.

B. Kekerasan seksual ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.

C. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

4. Kekerasan Ekonomi

Kekerasan ekonomi mencakup penelantaran dalam rumah tangga dan juga mengakomodasi pelarangan bekerja yang menyebabkan ketergantungan ekonomi. Menurut Pasal 9 dari Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT), kekerasan ekonomi meliputi:

a. Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

b. Penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk


(28)

bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut .

Adapun klasifikasi lain dari Kekerasan Ekonomi yaitu;

A. Kekerasan ekonomi berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:

1. Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran. 2. Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.

3. Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.

B. Kekerasan ekonomi ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya (Shinta & Bramanti, 2007: 12-16).

2.1.3 Faktor- Faktor Penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga 1. Secara Teoritis.

Faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara teoritis maksudnya adalah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam lingkup rumah tangga yang dikategorikan berdasarkan pada suatu teori para ahli.

Beberapa ahli mendefenisikan kekerasan dalam rumah tangga sebagai pola perilaku yang bersifat menyerang atau memaksa, yang menciptakan ancaman atau mencederai secara fisik yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangannya, secara khusus Neil Alan dan kawan-kawan. membatasi ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga kepada Child Abuse (kekerasan kepada anak) dan wife abuse (kekerasan kepada isteri) sebagai korban, namun secara umum pola tindak kekerasan terhadap anak maupun isteri sesungguhnya sama. Penyebab tinggi angka kekerasan dalam rumah tangga masih belum diketahui secara pasti karena kompleksnya


(29)

permasalahan, tapi beberapa ahli sudah melakukan penelitian untuk menemukan apa sebenarnya menjadi faktor penyebab tindak kekerasan dalam rumah tangga.

2. Secara Empiris

Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga secara empiris maksudnya adalah faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan percobaan atau pengamatan yang telah dilakukan. Masalah kekerasan dalam rumah tangga bukanlah merupakan masalah yang baru, tetapi tetap aktual dalam peredaran waktu dan tidak kunjung reda, malahan memperlihatkan kecenderungan peningkatan untuk mengungkap kasus kekerasan dalam rumah tangga ini ternyata tidak segampang membalikkan tangan. Masih banyak kasus yang sengaja ditutupi hanya karena takut menjadi aib keluarga. Padahal tindak kekerasan yang dilakukan sudah tergolong tindak pidana. Malu mengungkapkan kasus kekerasan dalam rumah tangga karena aib keluarga, atau persoalan anak dan perasaan masih cinta merupakan hal yang kerap dirasakan korban kekerasan dalam rumah tangga di negara kita (Shinta & Bramanti, 2007: 19-20).

Setiap bentuk kekerasan mempunyai faktor penyebab yang dapat sama namun dapat pula berbeda. Kekerasan dalam Rumah Tangga secara umum terjadi karena ada faktor stress (tekanan) yang menyebabkan seseorang melakukan kekerasan pada orang lain. Stress banyak terjadi karena faktor ekonomi, psikologis, pola asuh semasa anak-anak dan lain-lain. Adapula penyebab terjadinya kekerasan justru karena adanya anggapan bahwa korban adalah pihak yang seharusnya boleh diperlakukan seperti kemauannya.

Adapula faktor lain yang menyebabkan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yaitu; 1. Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara


(30)

2. Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-aki harus kuat, berani serta tanpa ampun

3. KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri

4. Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan

Penyebab yang khas dari Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah anggapan- anggapan gender, telah menjadi akibat yang khas pula terhadap korbannya. Para perempuan yang menjadi korban cendrung menyalahkan diri, merasa sebagai pihak yang telah lalai menjalankan kewajiban, merasa kotor dan tak berdaya. Pihak korban benar-benar menginternalisasi keyakinan-keyakinan umum bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan sehingga kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi. Korban menganggap bahwa pengalaman yang dialami bukan kekerasan, dan karenanya tidak pernah berusaha mengungkapkannya (Relawati, 2011: 14).

2.2 Advokasi dalam Rangka Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga 2.2.1 Pengertian Advokasi

Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial), Advokasi adalah upaya memberikan pendampingan, perlindungan dan pembelaan terhadap seseorang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya. Advokasi (LBH Malang, 2008:7) adalah usaha sistimatis secara bertahap (inkremental) dan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi profesi untuk menyuarakan aspirasi anggota, serta usaha mempengaruhi pembuat kebijakan publik untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada kelompok tersebut, sekaligus mengawal penerapan kebijakan agar berjalan efektif.


(31)

Advokasi juga merupakan langkah untuk merekomendasikan gagasan kepada orang lain atau menyampaikan suatu issu penting untuk dapat diperhatikan masyarakat serta mengarahkan perhatian para pembuat kebijakan untuk mencari penyelesaiannya serta membangun dukungan terhadap permasalahan yang diperkenalkan dan mengusulkan bagaimana cara penyelesaian masalah tersebut (sumber: pada tanggal 28 februari 2014, pukul 14.30 WIB).

Sasaran advokasi dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu: a. Advokasi Kasus (case advocacy)

Merupakan kegiatan yang dilakukan lembaga sosial untuk membantu klien agar mampu menjangkau sumber atau pelayanan social yang telah menjadi haknya. Alasannya terjadi diskriminasi atau ketidakadilan yang dilakukan oleh lembaga, dunia bisnis atau kelompok professional terhadap klien dan klien sendiri tidak mampu merepon situasi tersebut dengan baik. Lembaga sosial berbicara, berargumen, dan bernegosiasi atas nama klien individual. Karenanya advokasi ini sering disebut dengan advokasi klien (client advokasi).

Ada beberapa hal yang perlu dipahami sebelum melakukan advokasi klien, yaitu: 1.

2.

Yakinkan bahwa klien anda menginginkan anda menjadi advokatnya. Jangan terlibat dalam advokasi, jika anda tidak memiliki persetujuan secara eksplisit (tertulis) dengan klien anda dan klien anda memahami baik potensi manfaatnya maupun resikonya. Sedapat mungkin, libatkan klien dalam semua keputusan yang berkenaan dengan tindakan-tindakan yang akan anda ambil. Sadarilah bahwa advokasi anda dapat merusak hubungan anda atau hubungan lembaga anda dengan lembaga atau profesional lainnya, dan rusaknya hubungan ini dapat menimbulkan masalah pada masa mendatang ketika anda


(32)

membutuhkan kerja sama mereka untuk melayani klien lainnya. Jangan menggunakan advokasi jika anda belum mencoba pendekatan dengan resiko yang lebih kecil atau kurang kemungkinannya untuk mempolarisasikan pihak-pihak yang terpengaruh.

3.

4.

Keputusan anda untuk memainkan peran sebagai advokat klien harus muncul sebagai keinginan tulus untuk memberikan pelayanan kepada klien anda dan bukan dari keinginan untuk menghukum atau memalukan lembaga atau keinginan untuk memperbesar diri.

5.

Sebelum anda memilih taktik konfrontasi ini, yakinkan anda memahami fakta yag terjadi. Jangan keputusan anda didasarkan pada deskripsi sepihak tentang apa dan mengapa sesuatu terjadi. Sadarilah bahwa klien kadang-kadang dapat saja memiliki pemahaman atau interpretasi yang salah terhadap penjelasan yang diberikan oleh profesional dan perwakilan lembaga. Jangan mendasarkan rencana advokasi anda pada asumsi bahwa anda memahami kebijakan, prosedur, atau kriteria elektabilitas yang lain. Dapatkan faktanya sebelum anda memutuskan bagaimana untuk memulai atau meneruskan. Bila anda memutuskan bahwa sebuah taktik advokasi diperlukan, aturlah sebuah pertemuan dengan lembaga atau perwakilan program yang tepat. Pertemuan wawan muka hampir selalu lebih efektif daripada telepon dan surat. Akan tetapi, sebuah surat yang menggambarkan situasi klien anda dan kepedulian anda mungkin diperlukan sebelum pertemuan wawan muka. Hormatilah rantai komando (misal, jangan meminta berbicara dengan supervisor sebelum anda berbicara dengan pekerja sosial lapangan yang sudah kontak dengan klien anda, jangan meminta berbicara dengan


(33)

administrator sebelum anda berbicara dengan supervisor untuk pekerja sosial lapangan).

6.

7.

Sebelum anda berbicara dengan wakil lembaga, tulislah (catat) dengan pasti apa yang akan anda katakan dan pertanyaan-pertanyaan yang akan anda tanyakan. Mulailah percakapan anda dengan meminta penjelasan secara santun, mengapa klien anda ditolak untuk mendapatkan pelayanan atau penyembuhan dengan cara seperti itu. Komunikasikan kepedulian atau kepentingan anda secara faktual dan jangan kasar, tetapi berbicaralah dengan nada yang menunjukkan perasaan yang kuat pada masalah tersebut. Buatlah rekaman tertulis tentang kepada siapa anda berbicara, posisi mereka dan respons mereka, serta waktu, tanggal dan tempat berkomunikasi.

8.

Informasi yang anda kumpulkan menunjukkan bahwa lembaga berkeinginan untuk memberikan pelayanan yang diminta oleh klien anda, tetapi tidak bisa karena persoalan teknis atau prosedural yang tidak masuk akal atau karena persyaratan kebijakan, mintalah informasi bagaimana keputusan tersebut dapat dipertimbangkan kembali dan kepada siapa anda dan klien anda harus berbicara. Tanyakanlah apakah administrator, anggota dewan pengurus, atau komisi legislatif mengetahui kesulitan yang dihadapi oleh klien anda atau mungkin konsultasikan bagaimana masalah ini dapat dipecahkan.

Informasi yang anda kumpulkan menunjukkan bahwa lembaga atau program pada faktanya mengancam klien anda dengan cara yang tidak adil dan tidak tepat, jelaskanlah bahwa jika masalah tersebut tidak dapat dipecahkan dan diperbaiki, anda akan membawa kepentingan anda tersebut pada mereka yang berada di rantai komando yang lebih tinggi atau membuat komplein formal.


(34)

Pertimbangkanlah untuk menggunakan ekspresi marah yang terukur untuk mendemonstrasikan pemecahan anda.

9.

b. Advokasi kelas (class advocacy)

Jika tindakan lanjutan diperlukan, anda akan memerlukan nasihat hukum sebelum melanjutkan. Sebagai persiapan untuk naik banding atau komplain formal, anda akan memerlukan dokumentasi secara rinci tentang apa yang terjadi dan apa yang sudah dicoba, tahap demi tahap, untuk memecahkan masalah tersebut. Anda akan memerlukan nama, tanggal dan isi semua komunikasi dan salinan semua surat yang dikirimkan dan yang diterima.

Menunjuk pada kegiatan – kegiatan atas nama kelas atau kelompok untuk menjamin terpenuhinya hak – hak warga dalam menjangkau sumber atau memperoleh kesempatan – kesempatan. Focus advokasi kelas adalah mempengaruhi atau melakukan perubahan – perubahan hukum dan kebijakan public pada tingkat lokal maupun nasional. Advokasi kelas melibatkan proses – proses politik yang ditujukan untuk mempengaruhi keputusan – keputusan pemerintah yang berkuasa. Pekerja social biasanya bertindak sebagai perwakilan sebuah organisasi, bukan sebagai praktisi mandiri. Advokasi kelas umumnya dilakukan melalui koalisi dengan kelompok dan organisasi lain yang memiliki agenda sejalan.

Beberapa hal yang perlu dipahami sebelum melakukan advokasi kelas, yaitu: 1.

2.

Sadarilah bahwa advokasi dapat membantu dalam menciptakan perubahan-perubahan yang diperlukan dalam hukum dan perundang-undangan, kebijakan dan program. Membuat perubahan adalah sulit, tetapi tidak mustahil.

Ingatlah bahwa anda tidak dapat melakukannya sendiri. Pekerja-pekerja sosial individual akan membutuhkan bekerja sama dengan yang lain. Sebuah


(35)

kelompok memiliki lebih banyak kekuatan daripada individual, dan beberapa organisasi yang bekerja sama memiliki lebih banyak kekuatan daripada satu organisasi yang bekerja sendiri. Bekerja dengan organisasi yang lain akan berarti bahwa organisasi anda sendiri harus membagi beberapa sumberdaya, membuat beberapa kompromi, dan mungkin melakukan sesuatu secara berbeda. Akan tetapi dalam jangka waktu panjang, organisasi anda akan mengerjakan lebih banyak sebagai bagian dari koalisi daripada bekerja sendiri.

3.

4.

Perbaikan-perbaikan banyak diperlukan dalam sistem pelayanan kemanusiaan kita. Jika anda tidak dapat mengerjakan segala sesuatu yang diperlukan, anda harus memutuskan yang mana yang harus diprioritaskan. Pilihlah perkara anda secara hati-hati. Jika anda atau organisasi anda mengambil beberapa perkara pada satu waktu, anda mungkin akan membaginya menjadi terlalu kecil. Lebih baik membuat perolehan yang nyata hanya dalam satu area daripada memperoleh secara minimal atau beberapa hal mengalami kegagalan sama sekali.

5.

Juga penting untuk memilih sebuah perkara dimana kemungkinan untuk berhasilnya besar. Realistislah! Jangan buang-buang waktu dan enerji organisasi anda untuk perkara yang hilang. Pengalaman keberhasilan menimbulkan harapan dan perasaan kemungkinan adanya keberhasilan yang lain. Jika anggota-anggota sebuah organisasi dapat melihat bahkan keberhasilan sekecil apapun, mereka akan lebih menginginkan untuk menginvestasikan dirinya dalam upaya advokasi di masa mendatang.

Advokasi yang berhasil dibangun di atas fondasi analisis dan perencanaan yang hati-hati. Adalah penting untuk mendefinisikan apa yang anda lihat


(36)

sebagai suatu masalah dan kajian masalah secara cermat, sebelum anda memutuskan apa yang dilakukan untuk hal tersebut. Jangan memulai suatu usaha mengubah sesuatu sebelum anda mengetahui dengan pasti apa yang harus dirubah, mengapa harus dirubah, dan apa yang akan menyertai perubahan tersebut.

6.

7.

Sebelum anda bertindak, lakukan penilaian yang cermat tentang apa yang akan diperlukan berkenaan dengan waktu, enerji, uang, dan sumberdaya lainnya untuk mencapai tujuan anda. Apakah anda memiliki sumberdaya? Jika tidak, alangkah baiknya untuk menurunkan skala tujuan anda atau menunggu sampai anda terorganisasi secara lebih baik dan lebih mampu untuk mencapai tujuan anda.

8.

Cobalah untuk memahami siapa yang menjadi oposan bagi anda. Akan selalu terdapat penolakan terhadap perubahan, dan analisis terhadap situasi akan mencakup pemahaman tentang mengapa ada penolakan. Advokat perlu kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam sepatu oponen (misalnya memiliki empati). Orang selalu memiliki alasan untuk menentang perubahan. Anda mungkin tidak setuju dengan alasannya, tetapi anda harus membuat mereka memahami bahwa anda sedang menggambarkan suatu cara untuk menanggulangi penolakan dengan berhasil.

Advokasi yang berhasil memerlukan kedisiplinan diri. Salah satu dari banyak kesalahan yang paling serius dilakukan seseorang dalam advokasi adalah bertindak impulsif. Jika itu terjadi, organisasi yang lain dalam koalisi kemungkinan akan menarik diri atau menjadi enggan untuk bekerja sama sebab mereka takut kesembronoan anda akan menyebabkan kerusakan atau mengganggu organisasi mereka atau terhadap koalisi. Demikian juga, jika


(37)

anda bertindak impulsif, mereka yang menentang anda dapat lebih mudah mendiskreditkan organisasi anda.

9. Advokasi merupakan penggunaan kekuatan (power). Anda mungkin tidak memiliki kekuatan sebanyak yang anda inginkan, tetapi jangan mengabaikan/ meremehkan kekuatan yang anda miliki. Pada hakekatnya, kekuatan (power) merupakan kemampuan untuk membuat orang lain berperilaku dengan cara yang seperti anda inginkan. Berpikirlah bahwa kekuatan merupakan sumber daya yang dapat digunakan atau dihabiskan untuk tujuan tertentu (sumber:

diakses

pada tanggal 28 februari 2014, pukul 14.30 WIB). Adapun yang menjadi tujuan advokasi yaitu :

a. Perlindungan terhadap korban KDRT (korban langsung maupun korban tidak langsung)

b. Penindakan hukum terhadap pelaku KDRT c. Mencari penyelesaian alternatif kasus KDRT.

d. Peran pemerintah dan masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap korban KDRT.

2.2.2 Jenis – Jenis Advokasi

Scheneider mengemukakan 4 jenis advokasi yaitu : 1. Advokasi klien ( client advocacy).

Tujuan akhirnya adalah untuk membantu klien tentang bagaiman klien berjuang memenangkan pertarungan terhadap hak – haknya di lembaga lain dan system pelayanan social yang ada.


(38)

2. Advokasi masyarakat (cause advocacy).

Advokasi lembaga social selalu membantu klien individu, dan keluarga dalam memperoleh pelayanan. Jika terdapat masalaha yang mempengaruhi kelompok yang lebih besar maka advokasi ini yang paling sesuai digunakan.

3. Advokasi Legislatif (Legislative Advocacy),

Advokasi jenis ini biasanya dilakukan untuk mempengaruhi proses pembuatan suatu undang – undang.

4. Advokasi Administrasi (Administrative advocacy).

Advokasi jenis ini bertujuan untuk memperbaiki atau mengoreksi keluhan – keluhan administrative dan mengatasi masalah – masalah administrative (sumber: diakses pada tanggal 28 februari 2014, pukul 14.30 WIB).

Yayasan Pusaka Indonesia dalam memberikan advokasi terhadap korban Kekerasan dalam Rumah tangga bertujuan untuk mendampingi dan melindungi hak- hak korban kekerasan yang termarjinalkan. Paling tidak dari cita- cita ataupun tujuan yang hendak dicapai adalah melakukan upaya- upaya mendorong peningkatan perhatian dan tanggung jawab baik itu kepada pemerintah, masyarakat dan keluarga korban.

2.2.3 Pentingnya Advokasi Kebijakan

Webster’s New Collegiate Dictionary mengartikan advokasi sebagai tindakan atau proses untuk membela atau memberi dukungan. Advokasi dapat pula diterjemahkan sebagai tindakan mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang (Wadong, 2000: 64).

Advokasi pada hakekatnya suatu pembelaan terhadap hak dan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, sebab yang diperjuangkan dalam advokasi


(39)

tersebut adalah hak dan kepentingan kelompok masyarakat (public interest) dalam hal ini permasalahan sosial (Wadong, 2000: 64).

Dalam kedudukannya sebagai organisasi atau lembaga, maka yang dimaksud adalah advokasi kebijakan publik, yaitu tindakan-tindakan yang dirancang untuk merubah kebijakan-kebijakan publik tertentu, meliputi yaitu:

a. Hukum dan perundang-undangan b. Peraturan

c. Putusan pengadilan

d. Keputusan dan Peraturan Presiden e. Platform Partai Politik

f. Kebijakan-kebijakan institusional lainnya (Wadong, 2000: 65).

Advokasi merupakan upaya untuk mengingatkan dan mendesak negara serta pemerintah untuk selalu konsisten dan bertanggung jawab melindungi dan mensejahterakan seluruh warganya. Ini berarti sebuah tanggung jawab para pelaksana advokasi untuk ikut berperanserta dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan negar Pada Pukul 20.15 WIB).

Untuk mencapai tujuan yang diinginkan berbagai bentuk kegiatan advokasi dilakukan sebagai upaya memperkuat posisi tawar (bargaining position) asosiasi atau organisasi masyarakat. Bentuk-bentuk kegiatan advokasi antara lain pendidikan dan penyadaran serta pengorganisasian kelompok-kelompok lembaga, pemberian bantuan hukum yang mengedepankan pembelaan hak-hak dan kepentingan organisasi masyarakat, serta kegiatan me-lobby ke pusat-pusat pengambilan keputusa Pada Pukul 20.15 WIB).


(40)

Advokasi kebijakan publik termasuk pula menyuarakan kepentingan dan mencari dukungan terhadap posisi tertentu berkenaan dengan kebijakan publik tertentu. Posisi ini dapat berupa persetujuan, penghapusan, penolakan ataupun perubahan kebijakan yang ada. Oleh karenanya, advokasi kebijakan publik dapat berupa tindakan penentangan terhadap posisi pemerintah dalam isu-isu tertentu, sehingga dapat memperbaiki kebijakan publik yang perlu dirubah

2.2.4 Pengertian Korban

Korban menurut Arief Gosita (dalam Mansur & Gultom, 2006: 46) adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencarai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

Pengerian lain, Menurut Muladi (dalam Mansur & Gultom, 2006: 47) korban (victims) adalah orang- orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak- haknya yang melanggar hukum pidana di masing- masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.

Adapun menurut undang- undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (dalam Mansur & Gultom, 2006: 47) korban adalah orang yang mengalami kekerasan dan/ atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

Dengan mengacu pada pengertian- pengertian korban tersebut, dapat dilihat bahwa korban pada dasarnya tidak hanya orang perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan- perbuatan yang menimbulkan kerugian/ penderitaaan bagi diri/ kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di


(41)

dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban dan orang- orang yang mengalami kerugian ketika membantu korban mengatasi penderitaannya.

Mengenai kerugian korban, Separovic mengatakan bahwa kerugian korban yang harus diperhitungkan tidak harus selalu berasal dari kerugian karena menjadi korban kekerasan, tetapi kerugian atas terjadinya pelanggaran atau kerugian yang ditimbulkan karena tidak dilakukannya suatu pekerjaan. Tetapi pihak yang dirugikan tetap saja termasuk dalam kategori korban karena ia mengalami kerugian baik secara materiil maupun secara mental (Mansur & Gultom, 2006: 48-49).

2.2.5 Perlindungan dan Hak- Hak Korban

Setiap hari masyarakat banyak memperoleh informasi tentang berbagai peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik yang diperoleh dari berbagai media massa, cetak maupun elektronik. Peristiwa- peristiwa KDRT tersebut tidak sedikit menimbulkan berbagai penderitaan/ kerugian bagi korban dan juga keluarganya. Guna memberikan rasa aman dan nyaman bagi masyarakat dalam beraktivitas, tentunya KDRT ini perlu ditanggulangi baik melalui pendekatan yang sifatnya preventif maupun represif, dan semuanya harus ditangani secara profesional serta oleh suatu lembaga yang berkompeten.

Berkaitan dengan korban KDRT, perlu dibentuk suatu lembaga khusus yang menanganinya. Namun, pertama- tamaperlu disampaikan terlebih dahulu suatu informasi yang memadai mengenai hak- hak apa saja yang dimiliki oleh korban dan keluarganya, apabila dikemudian hari mengalami kerugian atau penderitaan sebagai akibat dari korban KDRT yang menimpa dirinya.

Hak merupakan suatu yang bersifat pilihan (optional), artinya bisa diterima oleh pelaku bisa juga tidak, tergantung kondisi yang mempengaruhi korban baik


(42)

Berdasarkan Pasal 10 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), korban berhak mendapatkan:

a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokasi, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan

b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis

c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban

d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan e. Pelayanan bimbingan rohani (Mansur & Gultom, 2006: 53-54).

2.2.6 Kewajiban Korban

Sekalipun hak- hak korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) telah tersedia secara memadai, mulai dari hak atas bantuan keuangan (finansial) hingga hak atas pelayanan medis dan bantuan hukum, tidak berarti kewajiban dari korban KDRT diabaikan eksistensinya karena melalui peran korban dan keluarganya diharapkan penanggulangan kekerasan dapat dicapai secara signifikan.

Untuk itu, ada beberapa kewajiban umum dari korban KDRT, antara lain : a. Kewajiban untuk mengupayakan pencegahan dari kemungkinan terulangnya

tindak pidana

b. Kewajiban untuk memeberikan informasi yang memadai mengenai terjadinya KDRT kepada pihak yang berwenang

c. Kewajiban untuk menjadi saksi atas suatu kekerasan yang menimpa dirinya, sepanjang tidak membahayakan bagi korban dan keluarganya


(43)

d. Kewajiban untuk membantu berbagai pihak yang berkepentingan dalam upaya penanggulangan KDRT

e. Kewajiban untuk bersedia dibina dan membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi (Mansur & Gultom, 2006: 54-55).

2.2.7 Peran dari Berbagai Stakeholders

1. Polisi, Advokat, Pekerja Sosial, Tenaga Kesehatan, dan Relawan Pendamping Korban :

a. Memberikan perlindungan sejak menerima/ mengetahuilaporan KDRT dan memintakan surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan

b. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan kekerasan yang diterima

c. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban

d. Menginformasikan kepada korban akan haknya untuk mendapatkan seorang atau beberapa orang pendamping

e. Memberikan dengan aktif penguatan secara psikologis dan fisik kepada korban

f. Memberikan konsultasi hukum yang mencakup informasi mengenai hak- hak korban dan proses peradilan

2. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan KDRT, perlindungan dan pelayanan terhadap korban. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, berkewajiban:

a. Penyediaan ruang pelayanan khusus di Kantor Kepolisian, Aparat, Tenaga Kesehatan, Pekerja Sosial dan Pembimbing Rohani


(44)

b. Pembuatan dan pengembalian sistem serta mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses oleh korban

c. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban

d. Untuk menyelenggarakan upaya pelayanan terhadap korban tersebut, pemerintah dapat melakukan kerjasama dengan masyarakat atau lembaga sosial lainnya.

3. Masyarakat

Setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya KDRT wajib melakukan upaya- upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk:

a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana b. Memberikan perlindungan kepada korban c. Memberikan pertolongan darurat

d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan (Shinta & Bramanti, 2007: 19).

2.3 Upaya yang Dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia

Yayasan Pusaka Indonesia yang bergerak dalam proses advokasi terhadap anak dan perempuan yang menjadi korban tindakan kejahatan, dalam proses advokasi biasanya dilakukan dengan 2 (dua) cara:

1. Mendatangi Calon Klien

Dari banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (anak dan perempuan sebagai korban) telah di dampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia, namun semakin terasa banyak kasus yang tidak bisa di dampingi karena semata- mata berbagai macam proses terkait. Tidak jarang Yayasan Pusaka Indonesia harus menjemput sebuah


(45)

kasus ke tempat kejadian, khususnya ketika suatu dianggap sangat mendesak dan harus segera di dampingi.

Pemberian advokasi yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia kepada korban KDRT dengan cara mendatangi baik secara langsung pada korban tersebut atau melalui koran (media massa) atau mitra- mitra Yayasan Pusaka Indonesia dalam hal ini seperti kepolisian, kejaksaan bahkan hakim dan lembaga- lembaga swadaya lain yang mengetahui peran dan kedudukan Yayasan Pusaka Indonesia (SPO Penangan Kasus Yayasan Pusaka Indonesia, 2010: 12).

2. Menunggu Calon Klien

Prosedur pemberian advokasi dalam hal menunggu calon klien (korban KDRT) yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia dapat dikatakan prosedur yang sederhana di dahului dengan permohonan yang dilakukan keluarga, korban dan Yayasan Pusaka Indonesiaakan merespon dengan cepat menyangkut penanganan kasus tersebut.

Upaya yang selanjutnya dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia dalam mendampingi klien, yaitu;

1. Investigasi

adalah serangkain tindakan untuk mengumpulkan fakta- fakta dalam mencari kebenaran informasi tentang keberadaan korban/ pelaku. Investigasi dapat dilakukan berdasarkan penerimaan laporan langsung (berasal dari keluarga/ korban), penerimaan laporan tidak langsung (berasal dari LSM lain/ media massa/ rujuakan polisi), meliputi :

a. Kunjungan kerumah korban; untuk mengetahui tempat tinggal korban dan kondisi sosial serta ekonomi keluarga.


(46)

b. Meminta korban/ keluarga untuk melakuka kunjungan ke Yayasan Pusaka Indonesia, apabila investigasi yang dilakukan berdasarkan pengadaan tidak langsung; untuk mengetahui posisi kasus yang dialami korban (kronologi kasus).

2. Penempatan Korban/ Penjemputan Korban

adalah tindakan yang dilakukan untuk memindahkan korban dari lokasi kejahatan/ pelaku dan memberi rasa aman kepada korban, meliputi :

a. Melakukan koordinasi dengan pihak kepolisian; untuk mendapatkan bantuan/ perlindungan hukum

b. Menempatkan korban di rumah aman sementara (shelter) untuk menjauhkan korban dari pelaku.

3. Pemeriksaan Kondisi Kesehatan

adalah melakukan langkah- langkah medis yang dipandang perlu untuk korban, misalnya Visum et Repertum, rekan medik ( bagi korban kekerasan fisik dan seksual), meliputi :

a. Membawa korban ke Rumah Sakit (RS), dengan merujuk ke Pusat Layanan Terpadu di RS polda; untuk mengetahui kondisi kesehatan korban; adapun pendampingan saat pemeriksaan kesehatan dengan tujuan agar korban serasa terlindungi.

4. Konseling/ pemberian bimbingan psikologis

adalah tindakan yang dilakukan sebagai upaya penguatan psikologis korban, meliputi :

a. Melakukan wawancara terhadap korban, berkaitan dengan latar belakang masalah, kejadian kasus, sampai harapan- harapan korban ke depannya.


(47)

5. Pendampingan dalam proses hukum (Litigasi)

adalah langkah hukum berupa pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), apabila pihak keluarga korban menginginkan kasusnya dilanjutkan, meliputi :

a. Proses hukum mulai dari polisi, jaksa sampai pengadilan; untuk memperoleh bantuan/ perlindungan hukum.

6. Proses Perlindungan

adalah langkah kepada korban yang kasusnya telah selesai ditangani, meliputi: a. Rehabilitasi: untuk pemulihan kondisi korban (penguatan secara psikologis,

apabila diperlukan oleh korban)

b. Reintegrasi : untuk mengembalikan korban kepada lingkungan keluarga, masyarakat dan pendidikan

7. Monitoring

adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui perkembangan kondisi ( fisik, psikologis, sosial, ekonomi) dari korban, meliputi:

a. Melakukan kunjungan ke rumah korban, atau melalui telepon; untuk mengetahui kondisi korban selanjutnya, memantau perkembangan dari modal usaha yang telah diberikan

b. Mengikutsertakan korban dalam kegiatan- kegiatan yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia (Yayasan Pusaka Indonesia, 2010: 44).

2.4 Peran Pekerja Sosial terhadap Masalah Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Charles Zastrow (dalam Sukoco, 2001: 7) Pekerjaan sosial merupakan kegiatan profesional untuk membantu individu-individu, kelompok-kelompok dan masyarakat guna meningkatkan atau memperbaiki kemampuan mereka dalam berfungsi sosial serta menciptakan kondisi masyarakat yang


(48)

Beberapa peranan Pekerja Sosial yang saling berkaitan, menunjang dan melengkapi dalam penyelesaian masalah kekerasan dalam rumah tangga tercakup dalam aspek-aspek sebagai berikut:

a. Informasi, yaitu menghimpun, mengembangkan, memanfaatkan serta menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan penanganan masalah kekerasan dalam rumah tangga.

b. Partisipasi, yaitu mengambil langkah-langkah aktif asilitas, proaktif dalam penyediaan sumber yang dibutuhkan oleh sasaran serta pengembangan pendekatan penanggulangan masalah dan peningkatan kesejahteraan sasaran. c. Pemberdayaan, yaitu meningkatkan pengertian, kesadaran, tanggungjawab,

komitmen, partisipasi dan kemampuan semua pihak yang terkait dengan penanganan masalah kekerasan dalam rumah tangga.

d. Fasilitas, yaitu memberikan kemudahan berupa sumber dan peluang bagi organisasi dan lembaga penyedia pelayanan sosial dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga.

e. Asistensi, yaitu menyediakan bantuan, baik material maupun konsultasi, bagi organisasi dan lembaga penyedia pelayanan sosial dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga.

f. Mediasi, yaitu menjalurkan kepentingan berbagai pihak, baik kepentingan antar organisasi atau lembaga penyedia peayanan maupun antara pihak yang membutuhkan dengan pihak pemilik sumber, sehingga tercipta suatu sistem yang baik untuk penanganan kekerasan dalam rumah tangga.

g. Kemitraan, yaitu menjalin hubungna dengan pemilik sumber serta menyalurkan hubungan yang saling menguntungkan antara organisasi atau lembaga penyedia pelayanan dengan pemilik sumber.


(49)

h. Mobilisasi, yaitu menghimpun, mendayagunakan, mengembangkan dan mempertanggung jawabkan sumber-sumber yang dibutuhkan dalam penanganan kekerasan dalam rumah tangga (Solekhah, 2009 : 8).

Adapun Berdasarkan Pasal 22 dari Undang- Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), dalam memberikan pelayanan terhadap korban, pekerja sosial harus :

1. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi korban. 2. Memberikan informasi mengenai hak- hak korban untuk mendapatkan

perlindungan dari kepolisian dan penempatan perintah perlindungan dari pengadilan

3. Mengantar korban ke rumah aman atau tempat tinggal alternatif

4. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial, yang dibutuhkan korban 5. Seluruh pelayanan ini dilakukandi rumah aman milik pemerintah, pemerintah

daerah atau masyarakat.

2.5 Kerangka Pemikiran

Advokasi yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia secara khusus adalah pada tataran pendampingan dan pemberian bantuan hukum. Sebagai lembaga yang mempunyai keterbatasan terhadap pendampingan korban KDRT serta kasus-kasus lainnya.

Rumah tangga merupakan suatu wadah yang di dalamnya terdiri dari keluarga yang umumnya memiliki pertalian darah antar anggotanya. Setiap anggotanya memiliki peran dan fungsi masing-masing, seperti ayah umumnya adalah seorang yang menjadi tulang punggung perekonomian bagi keluarga dan paling


(50)

keuangan rumah tangga dan melayani suami serta merawat anak-anaknya, sedangkan anak sebagai anggota keluarga yang mendapatkan proses sosialisasi segala tindak-tanduk dari orang lain disekelilingnya sebagai pembentukan tingkah laku anak tersebut.

Secara umum, keluarga merupakan suatu lembaga yang berfungsi sebagai sarana pendidikan, perlindungan, sosialisasi, religius, rekreasi, ekonomi dan fungsi-fungsi lainnya. Fungsi-fungsi-fungsi tersebut merupakan suatu hal yang harus di dapatkan setiap anggotanya, sehingga keharmonisan di dalam sebuah keluarga akan terwujud. Namun, apabila fungsi-fungsi tersebut tidak dapat di jalankan dengan baik, maka kemungkinan terjadinya penyimpangan di dalam sebuah keluarga sangatlah besar. Salah satu contoh adalah apabila seorang ayah menyalahgunakan peran dan fungsinya sebagai pemimpin, tetapi lebih menganggap dirinya adalah penguasa yang harus ditakuti dan dituruti setiap kehendaknya oleh setiap anggota keluarga lainnya. Hal tersebut dapat mengakibatkan potensi yang ada dalam diri anggota keluarga lainnya tidak berkembang.

Dalam upaya melakukan perlindungan dan pendampingan, Yayasan Pusaka Indonesia selalu melakukan investigasi terhadap korban dan pelaku KDRT, memberikan perlindungan secara hukum dan psikogis. Dimana Yayasan Pusaka Indonesia berperan penting dalam perlindungan korban baik anak dan perempuan. Selain itu, Yayasan Pusaka Indonesia juga bekerja sama dengan pihak yang terkait untuk membantu korban yang mengalami KDRT.

Pemberian konseling dan pelayanan medis selayaknya menjadi suatu yang penting, karena hal tersebut dapat membantu korban kekerasan dalam menjalankan fungsi sosialnya ditengah- tengah masyarakat. Bukan hanya itu tetapi juga dukungan


(51)

dari keluarga korban menjadi satu paket yang tidak dapat dipisahkan dalam pemberian kepercayaan diri korban.

Perempuan dan anak yang selalu menjadi korban kekerasan fisik, psikis, seksual dan ekonomi ( penelantaran rumah tangga) dimana pelakunya adalah ayah atau suami korban. Anak dan perempuan yang menjadi korban yang sangat dirugikan baik materil maupun inmateril, mereka sangat memerlukan pelayanan yang maksimal dan meyeluruh, mudah diakses dan berjangka panjang. Dimana korban yang mengalami kekerasan yang sangat parah atau memperihatinkan selayaknya harus berada di rumah aman, agar mereka merasa terlindungi dari pihak- pihak yang ingin menyakitinya, berusaha mengintervensi, menghilangkan rasa trauma dan tekanan mental serta mengembalikan rasa percaya diri korban.

Program- program pemulihan dan perlindungan sangat dibutuhkan dalam mengembalikan martabat korban kekerasan, kesehatan jasmani dan rohaninya. Selain itu, program ini harus bertujuan membawa perbaikan bagi lingkungan korban, agar tidak ada lagi korban KDRT. Perbaikan tersebut bisa melalui kesejahteraan lahiriah, peningkatan harga diri, dan peningkatan kemampuan untuk melindungi diri.

Rasa ketergantungan korban terhadap pelaku, terutama dari segi ekonomi, menunjukkan bahwa anak terutama perempuan adalah makhluk yang sangat rentan mengalami kekerasan. Pelaku merasa dirinya yang paling berkuasa, sehingga bisa sesukanya melakukan kekerasan terhadap anak dan perempuan. Sebelum korban kembali ke lingkungannya atau memulangkan korban ke kampung halamnannya, korban seharusnya sudah siap untuk mandiri dalam ekonomi. Monitoring yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia bertujuan untuk mengetahui suksesnya proses pemberian konseling dan motivasi diri agar dapat mengembangkan potensi diri yang dimiliki oleh korban.


(52)

Perlunya pencapaian tujuan dalam menghapus kekerasan dalam rumah tangga, dimana peran semua lapisan masyarakat dan pembentukan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah, agar tidak terjadi lagi kekerasan dalam rumah tangga.

Tabel 1 Bagan Alur Pikir

Advokasi

Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

Upaya Yayasan a. Investigasi

b. Penempatan Korban/ Penjemputan Korban

c. Pemeriksaan Kondisi Kesehatan d. Konseling/ pemberian bimbingan

psikologis

e. Pendampingan dalam proses hukum (Litigasi)

f. Proses Perlindungan g. Monitoring

Tujuan dari advokasi

a. Perlindungan terhadap korban KDRT (korban langsung maupun korban tidak langsung) b. Penindakan hukum terhadap

pelaku KDRT

c. Mencari penyelesaian alternatif kasus KDRT.

d. Peran pemerintah dan masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap korban


(53)

2.7 Definisi Konsep

Woodruf (Sugiyono, 2011

Untuk menghindari salah pengertian atas makna konsep- konsep yang dijadikan objek penelitian, maka seorang peneliti harus menegaskan dan membatasi makna konsep- konsep yang diteliti. Proses dan upaya penegasan dan pembatasan makna konsep dalam suatu penelitian disebut dengan definisi konsep. Secara sederhana definisi ini diartikan sebagai “batasan arti”. Dalam hal ini, perumusan definisi konsep dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa peneliti ingin mencegah salah pengertian atas konsep yang diteliti. Dengan kata lain, peneliti berupaya menggiring para pembaca hasil penelitian itu untuk memaknai konsep itu sesuai dengan yang diinginkan dan dimaksudkan oleh si peneliti. Definisi konsep adalah pengertian yang terbatas dari suatu konsep yang dianut dalam suatu penelitian (siagian, 2011: 138).

: 54) mendefinisikan konsep sebagai adalah suatu gagasan/ ide yang relatif sempurna dan bermakna, suatu pengertian tentang suatu objek, produk subjektif yang berasal dari cara seseorang membuat pengertian terhadap objek-objek atau benda-benda melalui pengalamannya (setelah melakukan persepsi terhadap objek/benda). Pada tingkat konkrit, konsep merupakan suatu gambaran mental dari beberapa objek atau kejadian yang sesungguhnya. Pada tingkat abstrak dan komplek, konsep merupakan sintesis sejumlah kesimpulan yang telah ditarik dari pengalaman dengan objek atau kejadian tertentu.

Adapun yang menjadi batasan konsep dalam penelitian ini adalah:

a. Advokasi adalah usaha sistimatis secara bertahap (inkremental) dan terorganisir yang dilakukan oleh kelompok atau organisasi profesi untuk menyuarakan aspirasi anggota, serta usaha mempengaruhi pembuat kebijakan publik untuk membuat kebijakan yang berpihak kepada kelompok tersebut, sekaligus


(54)

b. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencarai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

c. kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berkaitan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/ atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

d. Rumah Tangga adalah sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan keluarga dalam rumah. Sehingga dapat dinyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu perlakuan yang dialami oleh sebuah keluarga sehingga menimbulkan potensi korban tidak berkembang.

e. kekerasan dalam rumah tangga adalah suatu bentuk penganiayaan secara fisik maupun emosional atau psikologis, yang merupakan suatu cara pengontrolan terhadap pasangan dalam kehidupan rumah tangga.


(55)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Tipe penelitian ini tergolong tipe penelitian deskriptif dengan sebuah model studi kasus. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan dengan tujuan menggambarkan atau mendeskripsikan objek dan fenomena yang diteliti. Termasuk di dalamnya bagaimana unsur- unsur yang ada dalam variabel penelitian ituberinteraksi satu sama lain dan apa pula produk interaksi yang berlangsung (Siagian, 2011: 52).

Pada penelitian kualitatif, penelitian dilakukan pada objek yang alamiah maksudnya, objek yang berkembang apa adanya, tidak dimanipulasi oleh peneliti dan kehadiran peneliti tidak begitu mempengaruhi dinamika pada objek tersebut

Studi kasus adalah strategi penelitian yang terfokus pada pemahaman terhadap sesuatu yang dinamis dan melibatkan satu kasus atau lebih dengan tingkat analisis yang berbeda- beda dan dapat memberikan gambaran terhadap suatu masalah. Ketika menggunakan model studi kasus, masalah yang diteliti adala suatu realitas sosialyang benar- benar terjadi dimasyarkat sehingga masalah tersebut dapat dideskripsikan secara mendalam.

Karena itu penelitian ini di darapkan mampu menggambarkan secara jelas dan mendalam mengenai bagaimana Advokasi Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga oleh Yayasan Pusaka Indonesia

3.2 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Yayasan Pusaka Indonesia Provinsi Sumatera Utara yang beralamat di Jalan Kenangan Sari nomor 20, Kecamatan Medan


(1)

4.Apakah dengan mengikuti koseling/bimbingan psikologis anda terbantu dalam menyelesaikan permasalahan anda?

5. Apakah anda mendapatkan manfaat saat konseling/bimbingan psikologis?

6.Upaya apa yang anda harapkan atau butuhkan selama proses konseling/bimbingan psikologis?

B.5 Layanan Pendampingan dalam proses hukum (Litigasi)

1. Seperti apa langkah hukum yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

2. Apakah selama proses hukum di kepolisian, anda didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

3. Apakah selama proses hukum di kejaksaan, anda didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

4. Apakah selama proses hukum di pengadilan, anda didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

5. Selama proses hukum di kepolisian, siapa saja yang melakukan monitoring?

6. Selama proses hukum di kejaksaan, siapa saja yang melakukan monitoring?

7. Selama proses hukum di pengadilan, siapa saja yang melakukan monitoring?

8. Apakah anda merasa puas dengan layanan hukum yang diberikan oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

B.6 Proses Perlindungan yang didapatkan korban

1. Apakah anda mendapatkan rehabilitasi dalam rangka penguatan secara psikologis?


(2)

2. Jika anda mendapatkan rehabilitasi, berapa lama anda direhabilitasi untuk pemulihan secara psikologi?

3. Upaya reintegrasi apa yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

4. Apakah anda mendapatkan manfaat selama proses rehabilitasi?

5. Apakah anda mendapatkan manfaat selama proses reintegrasi?

6. Upaya apa yang anda harapkan/butuhkan selama proses rehabilitassi dan reintegrasi?

B.7 Monitoring yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia

1. Apakah Yayasan Pusaka Indonesia melakukan kunjungan kerumah anda?

2. Apa yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia ketika datang kerumah anda?

3. Apakah anda pernah diminta untuk datang ke Yayasan Pusaka Indonesia dalam rangka perkembangan kondisi/pasca selesai kasus kekerasan yang anda alami?

4. Apakah anda pernah diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

B. INFORMAN BIASA

Profil Informan

a. Nama : b. Jenis kelamin : c. Umur :


(3)

d. Agama : e. Pekerjaan : f. Status :

g. Hubungan dengan Korban :

C.1 Investigasi oleh Yayasan Pusaka Indonesia

1. Dari mana korban tahu tentang Yayasan Pusaka Indonesia?

2. Apasaja bentuk kekerasan yang korban alami selama peristiwa KDRT?

3. Apakah ada dampak fisik, psikis, dan ekonomi yang korban rasakan selama peristiwa KDRT?

4. Apa dampak yang korban rasakan dari kekerasan tersebut?

5. Apakah korban sampai masuk rumah sakit, atau menjalani perawatan dirumah sakit atau sampai di obname?

6. Jika ya, berapa lama korban dirawat di Rumah Sakit?

7. Jika tidak, Bagaimana korban menyembuhkannya?

8. Setau anda, Adakah peran Yayasan Pusaka Indonesia dalam proses penyembuhan/ pemulihan tersebut?

9. Apa saja perannya?

10. Apakah Yayasan Pusaka Indonesia pernah bertanya tentang perkembangan kondisi (fisik, psikologis, sosial, ekonomi) kepada korban?

C.2 Layanan Penempatan Korban/Penjemputan Korban oleh Yayasan Pusaka Indonesia


(4)

1. Apakah korban pernah ditempatkan di rumah aman sementara (shelter)?

2. Jika ya, dimanakah rumah aman sementara (shelter) nya?

3. Jika tidak, dimana korban tinggal selama proses pendampingan yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia?

4. Berapa lama korban ditempatkan di rumah aman sementara (shelter)?

C.3 Layanan Pemeriksaan Kondisi Kesehatan

1. Apakah korban pernah dirujuk kerumah sakit untuk melakukan visum/kondisi kesehatan oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

2. Setau anda, Selama melakukan visum/kondisi kesehatan, apakah korban didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

3. Seperti apa pengalaman korban selama visum?

C.4 Layanan Konseling/pemberian bimbingan psikologis

1. Apakah Yayasan Pusaka Indonesia pernah memberikan konseling/bimbingan psikologis?

2. Jika ya, berapa kali korban menjalani konseling/bimbingan psikologis?

3. Jika tidak, apa cara yang korban lakukan dalam penguatan psikologis?

4.Apakah dengan mengikuti koseling/bimbingan psikologis korban terbantu dalam menyelesaikan permasalahannya?


(5)

6.Setau anda, Upaya apa yang korban harapkan dan butuhkan selama proses konseling/bimbingan psikologis?

C.5 Layanan Pendampingan dalam proses hukum (Litigasi)

1. Seperti apa langkah hukum yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

2. Apakah selama proses hukum di kepolisian, korban didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

3. Apakah selama proses hukum di kejaksaan, korban didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

4. Apakah selama proses hukum di pengadilan, korban didampingi oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

5. Setau anda, Selama proses hukum di kepolisian, siapa saja yang melakukan monitoring?

6. Selama proses hukum di kejaksaan, siapa saja yang melakukan monitoring?

7. Selama proses hukum di pengadilan, siapa saja yang melakukan monitoring?

8. Apakah korban merasa puas dengan layanan hukum yang diberikan oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

C.6 Proses Perlindungan yang didapatkan korban

1. Apakah korban mendapatkan rehabilitasi dalam rangka penguatan secara psikologis?

2. Jika korban mendapatkan rehabilitasi, berapa lama anda direhabilitasi untuk pemulihan secara psikologi?


(6)

3. Upaya reintegrasi apa yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia?

4. Setau anda, Apakah korban mendapatkan manfaat selama proses rehabilitasi?

5. Apakah korban mendapatkan manfaat selama proses reintegrasi?

6. Upaya apa yang korban harapkan/butuhkan selama proses rehabilitasi dan reintegrasi?

C.7 Monitoring yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia

1. Setau anda, Apakah Yayasan Pusaka Indonesia melakukan kunjungan kerumah korban?

2. Apa yang dilakukan Yayasan Pusaka Indonesia ketika datang kerumah korban?

3. Apakah korban pernah diminta untuk datang ke Yayasan Pusaka Indonesia dalam rangka perkembangan kondisi/ pasca selesai kasus kekerasan yang korban alami?

4. Apakah korban pernah diikutsertakan dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan Pusaka Indonesia?