HUBUNGAN KETIDAKCUKUPAN SERAT TERHADAP KEJADIAN APENDISITIS DI BANDAR LAMPUNG

(1)

ABSTRACT

THE CORRELATION BETWEEN FIBRE INSUFFICIENCY TO THE CASE OF APPENDICITIS IN BANDAR LAMPUNG

By Ranti Humaera

1218011122

Appendicitis is an inflammation of appendix vermiformis. Appendicitis, known as the cause of the most frequently found acuteabdominal pain, needs immediate major surgery in order to prevent generally dangerous complication.The case of occurred appendicitis cannot be separated to unhealthy habitual diet with insufficient amount of fibre that leads to an appendiceal functional blockage and increases the germ growth, in which results inflammation of the appendix.

This research was an observational analytical research with cross sectional approach to 41 samples of appendicitis respondent and 41 non-appendicitis respondents taken by consecutive sampling technique. The research was conducted in Abdoel Moeloek Regional Public Hospital, Health Department of Army Bandar Lampung Hospital, Pertamina Bintang Amin Hospital, and Dr. A. Dadi Tjokrodipo Regional Public Hospital. The result of the research was analyzed by chi square with α= 0,05. It was shown from the result that most of appendicitis respondents were insufficient in fibre (32%) and 18% of the appendicitis respondent were sufficient in fibre. Furthermore, 21% of non-appendicitis respondent were found insufficient in fibre and 29% of the respondents were sufficient in fibre where the chi square test resulted 0.047. In conclusion, there was a correlation between fibre insufficiency to the case of appendicitis in Bandar Lampung. Key words: appendicitis, fibre insufficiency


(2)

ABSTRAK

HUBUNGAN KETIDAKCUKUPAN SERAT TERHADAP KEJADIAN APENDISITIS DI BANDAR LAMPUNG

Oleh Ranti Humaera

1218011122

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis.Apendisitis dikenal sebagai penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering ditemukan dan memerlukan tindakan bedah mayor segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. Kejadian apendisitis yang terjadi tidak lepas karena kebiasaan pola makan yang tidak cukup dalam mengkonsumsi serat. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan dapat meningkatkan pertumbuhan kuman, sehingga terjadi peradangan pada apendiks.

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 41 responden apendisitis dan 41 responden non apendisitis yang diambil dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Abdul Moeloek, Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara Bandar lampung, Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. A. Dadi Tjokrodipo

Data penelitian dianalisis melalui chi square dengan α= 0,05. Dari hasil penelitian didapatkan sebagain besar responden apendisitis tidak cukup serat (32%) dan pasien apendisitis yang cukup serat sebanyak (18%) sedangkan pada pasien non apendisitis didapatkan responden yang tidak cukup serat sebanyak (21%) dan responden yang cukup serat sebanyak (29%) dan dalam uji chi squre di dapatkan hasil 0,047 dimana dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan kecukupan serat terhadap kejadian apedisitis di Bandar Lampung.


(3)

HUBUNGAN KETIDAKCUKUPAN SERAT TERHADAP KEJADIAN APENDISITIS

DI BANDAR LAMPUNG

Oleh :

RANTI HUMAERA Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEDOKTERAN

Pada

Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016


(4)

HUBUNGAN KETIDAKCUKUPAN SERAT TERHADAP KEJADIAN APENDISITIS

DI BANDAR LAMPUNG (Skripsi)

Oleh : Ranti Humaera

1218011122

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2016


(5)

i

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Anatomi Apendisitis ... 7

Gambar 2.2 Kerangka Teori ... 27

Gambar 2.3 Kerangka Konsep ... 28


(6)

i DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Rumusan Masalah ... 3

1.3.Tujuan Penelitian ... 3

1.4.Manfaat Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Apendisitis ... 5

2.1.1. Definisi ... 5

2.1.2. Anatomi Apendisitis... 5

2.1.3. Fisiologi Apendisitis ... 7

2.1.4. Epidemiologi ... 8

2.1.5. Klasifikasi ... 8

2.1.6. Patofisiologi Apendisitis.... ... 11

2.1.7. Etiologi Apendisitis ... 12

2.1.8. Diagnosis ... 13

2.1.9. Pemeriksaan Penunjang ... 16

2.1.10.Diagnosis Banding ... 17

2.1.11.Penatalaksanaan Apendisitis ... 18

2.1.12.Prognosis ... 19

2.2 Diet Cukup Serat ... 20


(7)

ii

2.2.2 Penghitungan Serat Makanan dengan Food Frequncy Semi

Kuantitatif ... 21

2.2.3 Jenis dan Sumber serat pangan ... 22

2.2.4 Hubungan Serat Terhadap Kejadian Apendisitis ... 23

2.2.5 Pemilihan Metode Kecukupan Serat ... 25

2.3 Kerangka Teori ... 27

2.4 Kerangka Konsep ... 28

2.5 Hipotesis ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.Jenis Penelitian ... 29

3.2.Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

3.3.Populasi dan Sampel Penelitian ... 29

3.4.Kriteria Inklusi dan Ekslusi ... 31

3.5.Variabel Penelitian ... 31

3.6.Definisi Operasional ... 32

3.7.Prosedur Penelitian ... 34

3.8.Pengolahan dan Analisis Data ... 34

3.9. Etika Penelitian ... 36

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil dan Pembahasan ... 37

4.1.1 Gambaran Umum Penelitian ... 37

4.1.2 Karakteristik Responden ... 38

4.1.3 Analisis Univariat ... 39

4.1.4 Analisis Bivariat... 40

4.2 Pembahasan ... 42

4.2.1 Analisis Univariat ... 42

4.2.2 Analisis Bivariat... 43


(8)

iii BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 49 5.2 Saran ... 49 DAFTAR PUSTAKA


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Gambaran klinis apendisitis akut berdasarkan skor alvarado ... 15

Tabel 2.2 Komponen Serat Pangan dalam Berbagai Bahan Pangan ... 23

Tabel 2.3 Kandungan Serat per 100 gram Makanan ... 24

Tabel 3.1 Definisi Operasional ... 32

Tabel 4.1 Distribusi Usia Responden ... 38

Tabel 4.2 Distribusi Jenis Kelamin Responden ... 38

Tabel 4.3 Analisis Univariat Variabel Bebas ... 39

Tabel 4.4 Hubungan Jenis Kelamin Terhadap Kejadian Apendisitis ... 40


(10)

(11)

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 20 Juli 1994 sebagai anak kedua dari Bapak dr. Tri Murti Djamil, Spb dan ibu dr. Rika Hidayati

Penulis menempuh pendidikan taman kanak-kanak (TK) di TK Padang dan selesai pada tahun 2000, sekolah dasar di SD Muhammadiyah 5 Jakarta dan Sd Al-Kautsar Bandar Lampung dan selesai pada tahun 2006. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Al Kautsar Bandar Lampung yang diselesaikan pada tahun 2009, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 10 Bandar Lampung dan selesai pada tahun 2012.

Tahun 2012, Penulis diterima dan terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Selama mejadi mahasiswa penulis pernah aktif di organisasi Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran (BEM-FK) Universitas Lampung sebagai ketua divisi eksternal dan aktif di UKM U ESO UNILA.


(13)

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan)

yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”

(QS. Al-Insyirah ayat 5-8)

Kupersembahkan Skripsi Ini

Untuk


(14)

SANWACANA

Puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Skripsi dengan judul “Hubungan Ketidakcukupan Serat Terhadap Kejadian Apendisitis di Bandar Lampung” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapat motivasi, masukan, bantuan, saran, bimbingan, dan kritik dari berbagai pihak. Maka dengan segenap kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin selaku Rektor Universitas Lampung;

2. Dr. dr. Muhartono, S.Ked., M.Kes, Sp.PA selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;

3. dr. Ahmad Fauzi M.epid., Sp.OT selaku Pembimbing Utama atas kesediannya untuk memberikan motivasi, dukungan, bimbingan, kritik dan saran dalam proses penyelesaian skripsi ini;


(15)

4. dr. Oktadoni Saputra M Med Ed selaku Pembimbing Kedua atas kesediannya untuk memberikan motivasi, dukungan, bimbingan, kritik dan saran dalam proses penyelesaian skripsi ini;

5. dr. Tri Umiana Soleha,M Kes selaku Penguji utama pada Ujian Skripsi atas motivasi, waktu, ilmu, dan saran-saran yang telah diberikan;

6. dr. Novita Carolia, M. Sc selaku pembimbing akademik terimakasih atas bimbingan, pesan dan nasehat yang telah diberikan selama ini;

7. Ayah (dr. Tri Murti Djamil, SpB) dan Bunda (dr. Rika Hidayati) yang selalu mendoakan setiap waktu, menguatkan dan memberikan motivasi yang luar biasa. Terimakasih untuk kesabaran, keikhlasannya, kasih sayang, dan segala sesuatu yang telah diberikan kepadaku hingga saat ini. 8. Kakak (Natia Humairah) dan adik (Gayitri Humaera) yang selalu

mendoakan, memberi semangat dan dukungan yang tiada henti hingga saat ini.

9. Seluruh Keluarga Besarku, terima kasih atas bantuan, doa dan semangat yang telah diberikan;

10.Seluruh dokter, staf, dan karyawan puskesmas kedaton yang sangat membantu dalam pelaksanaaan penelitian;

11.Bapak-bapak dan ibu-ibu adik-adik dan kakak-kakak yang sudah bersedia menjadi subjek penelitian ini. Terima kasih, tanpa bapak-bapak, ibu-ibu, adik-adik dan kakak-kakak semua skripsi ini takkan bisa terwujud;

12.Seluruh staf Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Lampung atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai cita-cita;


(16)

13. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung; 14.Sahabat-sahabat terbaikku Ajeng Defriyanti Pusparini, Hanna Insani

Vedy, Dika Yunisa, Zaraz Obella, Fetiara Nur Annisa, Istighfariza Shaqina, Rizky Indria Lestari, Hera Julia Garamina, Nurul Sahana dan Sofia Latifah Rici yang sudah banyak membantu, memberikan semangat, berbagi canda dan tawa. Terimakasih atas kebersamaannya selama menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran ini.

15.Sahabat terbaikku Anissa Wulansari, Dahlia Paramita dan Deffa Trisetya Julian yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, dan selalu berbagi cerita.

16.Sahabat terbaiku Lutfi Aditama dan Andika Mahatidanar yang selalu memberikan semangat, doa, dukungan, dan selalu berbagi cerita.

17.Sahabat-sahabat SMA “Gforce” yang selalu memberikan semangat, doa, bertukar cerita dan pengalaman walaupun dari jauh. Terimakasih atas dukungan dan doanya selama ini.

18.Teman-teman KKN Desa Pekonmon Pesisir Barat yang telah berbagi pengalaman mengisi hari-hari selama 40 hari dan saling bekerjasama dalam menjalankan program kerja KKN. Terimakasih atas motivasi dan doanya selama ini.

19.Teman-teman angkatan 2012 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih telah memberikan makna atas kebersamaan yang terjalin dan memberikan motivasi.


(17)

Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Akan tetapi, sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, Januari 2016 Penulis


(18)

(19)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis. Apendiks vermiformis merupakan saluran kecil dengan diameter kurang lebih sebesar pensil dengan panjang 2 – 6 inci di daerah iliaka kanan, di bawah titik Mc Burney (Jamil, 2009). Penanganan apendisitis yang dilakukan secara baik selama ini membuat angka kematian akibat apendisitis dalam 20 tahun terakhir menurun tajam. Walaupun angka kematian telah menurun tetapi angka kesakitan masih cukup tinggi (Triatmodjo, 2008).

Apendisitis juga dikenal sebagai penyebab nyeri abdomen akut yang paling sering ditemukan dan memerlukan tindakan bedah mayor segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya (Sandy, 2010). Penyakit ini dapat dijumpai di semua usia, namun paling sering pada usia antara 20 sampai 30 tahun (Silent, 2005). Kejadian apendisitis 1,4 kali lebih tinggi pada pria dibandingkan dengan wanita dan risiko terkena apendisitis sebanyak 8,6% pada pria dan 6,7% pada wanita (Sandy, 2010).

Angka kejadian apendisitis di dunia cukup tinggi yaitu 321 juta kasus tiap tahun. Data yang dirilis oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 2008 jumlah penderita apendisitis di Indonesia mencapai 591.819 orang dan


(20)

2

meningkat pada tahun 2009 sebesar 596.132 orang. Tahun 2009, tercatat 2.159 orang di Jakarta yang dirawat di rumah sakit akibat apendisitis (Ummualya, 2008). Melihat data tersebut dan kenyataan bahwa masih banyak kasus apendisitis yang tidak terlaporkan, Departemen Kesehatan menganggap apendisitis merupakan isu prioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional karena mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2008).

Insiden apendisitis di Bandar Lampung terbilang cukup tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh didapatkan bahwa pasien apendisitis tercatat sebanyak 495 orang. Pasien tersebut terdiri dari pasien rawat jalan sebanyak 306 orang dan yang di rawat inap sebanyak 189 orang pada tahun 2010 (Julian, 2013). Banyak hal yang dapat menjadi faktor pencetus apendisitis. Beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian apendisitis antara lain konstipasi, kebiasaan mengonsumsi makanan rendah serat, usia dan jenis kelamin (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Adamidis (2000) yang dilakukan pada 203 penderita apendisitis dan 1922 kontrol didapatkan 70% dari kasus apendisitis disebabkan oleh kurangnya asupan serat. Adanya riwayat konstipasi dapat menaikkan tekanan intrasekal yang akan berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Sedangkan, kebiasaan mengonsumsi makanan rendah serat dapat menyulitkan defekasi dan menyebabkan fekalit yang dapat menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).


(21)

3

Dari uraian di atas telah diketahui bahwa kurangnya konsumsi serat merupakan faktor risiko yang cukup berperan terhadap kejadian apendisitis namun belum pernah dilakukan penelitian mengenai hal tersebut di Bandar Lampung, sehingga penulis tertarik melakukan penelitian mengenai “Hubungan Ketidakcukupan Serat Terhadap Kejadian Apendisitis di Bandar Lampung”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah “apakah ketidakcukupan serat berhubungan terhadap kejadian apendisitis di Bandar lampung?”

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan tujuan, sebagai berikut : 1. Tujuan Umum

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ketidakcukupan serat berhubungan terhadap kejadian apendisitis di Bandar Lampung.


(22)

4

1.4Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang terkait, antara lain:

1. Bagi Peneliti.

Dapat menambah pengetahuan, wawasan dan sebagai bahan untuk menerapkan ilmu yang telah didapat selama kuliah serta menambah pengalaman dalam penelitian.

2. Bagi lnstitusi Pendidikan Kedokteran.

Dapat menjadi bahan bacaan dan referensi untuk menambah wawasan serta masukan dalam rangka penelitian lebih lanjut.

3. Bagi Objek Penelitian

Dapat menjadi data masukan untuk mengetahui apakah konsumsi serat berpengaruh terhadap kejadian apendisitis di Rumah Sakit Abdul Moeloek, Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara Bandar lampung, Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. A. Dadi Tjokrodipo.


(23)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Apendisitis

2.1.1 Definisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30 tahun (Mansjoer, 2010). Apendisitis adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran kanan bawah rongga abdomen dan penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat (Smeltzer, 2005). Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut (Price, 2005).

2.1.2 Anatomi Apendiks

Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insidens


(24)

6

apendisitis pada usia itu (Departemen Bedah UGM, 2010). Persarafan parasimpatis berasal dari cabang nervus vagus yang mengikuti arteri mesenterika superior dan arteri apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari nervus torakalis 10. Oleh karena itu, nyeri viseral pada apendisitis bermula di sekitar umbilikus (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004). Pendarahan apendiks berasal dari arteri apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Persarafan sekum dan apendiks vermiformis berasal dari saraf simpatis dan parasimpatis dari plekxus mesenterica superior. Serabut saraf simpatis berasal dari medula spinalis torakal bagian kaudal, dan serabut parasimpatis berasal dari kedua nervus vagus. Serabut saraf aferen dari apendiks vermiformis mengiringi saraf simpatis ke segmen medula spinalis thorakal 10 (Moore, 2006). Posisi apendiks terbanyak adalah retrocaecal (65%), pelvical (30%), patileal (5%), paracaecal (2%), anteileal (2%) dan preleal (1%) (R.Putz dan R.Pabst, 2006). Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal, yang memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks (Schwartz, 2000). Anatomi apendiks dapat dilihat pada gambar 2.1


(25)

7

Gambar 2.1 Anatomi Apendiks (Indonesia Children, 2009)

2.1.3 Fisiologi Apendiks

Secara fisiologis apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir tersebut normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA, imunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalam sistem imun sekretorik di saluran pencernaan, namun pengangkatan apendiks tidak menimbulkan defek fungsi sistem imun yang jelas (Schwartz, 2000).


(26)

8

2.1.4 Epidemiologi

Insiden apendisitis di negara maju lebih tinggi dari pada di negara berkembang. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang terjadi. Insiden tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada pria dengan perbandingan 1,4 lebih banyak dari pada wanita (Sandy, 2010).

2.1.5 Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi dua yaitu, apendisitis akut dan apendisitis kronik (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

1. Apendisitis akut

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritonieum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus. Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc.Burney. Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatik setempat.

Apendisitis akut dibagi menjadi : a. Apendisitis Akut Sederhana

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen


(27)

9

appendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, malaise dan demam ringan (Rukmono, 2011).

b. Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Appendicitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc. Burney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum (Rukmono, 2011).

c. Apendisitis Akut Gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau


(28)

10

keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen (Rukmono, 2011).

d. Apendisitis Infiltrat

Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya (Rukmono, 2011).

e. Apendisitis Abses

Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal dan pelvikal (Rukmono, 2011).

f. Apendisitis Perforasi

Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik (Rukmono, 2011).

2. Apendisitis kronik

Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding


(29)

11

apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik. Insiden apendisitis kronik antara 1-5%. Apendisitis kronik kadang-kadang dapat menjadi akut lagi dan disebut apendisitis kronik dengan eksaserbasi akut yang tampak jelas sudah adanya pembentukan jaringan ikat (Rukmono, 2011).

2.1.6 Patofisiologi Apendisitis

Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi apendistis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Price, 2005). Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah, keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut. Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding


(30)

12

apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi (Mansjoer, 2010).

2.1.7 Etiologi Apendisitis

Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks yang biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras (fekalit), hiperplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, tumor primer pada dinding apendiks dan striktur. Penelitian terakhir menemukan bahwa ulserasi mukosa akibat parasit seperti E Hystolitica, merupakan langkah awal terjadinya apendisitis pada lebih dari separuh kasus, bahkan lebih sering dari sumbatan lumen. Beberapa penelitian juga menunjukkan peran kebiasaan makan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya apendisitis akut ditinjau dari teori Blum dibedakan menjadi empat faktor, yaitu faktor biologi, faktor lingkungan, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor perilaku. Faktor biologi antara lain usia, jenis kelamin, ras sedangkan untuk faktor lingkungan terjadi akibat obstruksi lumen akibat infeksi bakteri, virus, parasit, cacing dan benda asing dan sanitasi lingkungan yang kurang baik. Faktor pelayanan kesehatan juga menjadi resiko apendisitis baik dilihat dari pelayan keshatan yang diberikan oleh


(31)

13

layanan kesehatan baik dari fasilitas maupun non-fasilitas, selain itu faktor resiko lain adalah faktor perilaku seperti asupan rendah serat yang dapat mempengaruhi defekasi dan fekalit yang menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki risiko apendisitis yang lebih tinggi (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

2.1.8 Diagnosis

Pada anamnesis penderita akan mengeluhkan nyeri atau sakit perut. Ini terjadi karena hiperperistaltik untuk mengatasi obstruksi dan terjadi pada seluruh saluran cerna, sehingga nyeri viseral dirasakan pada seluruh perut. Muntah atau rangsangan viseral akibat aktivasi nervus vagus. Obstipasi karena penderita takut untuk mengejan. Panas akibat infeksi akut jika timbul komplikasi. Gejala lain adalah demam yang tidak terlalu tinggi, antara 37,5-38,5 C tetapi jika suhu lebih tinggi, diduga sudah terjadi perforasi (Departemen Bedah UGM, 2010). Pada pemeriksaan fisik yaitu pada inspeksi di dapat penderita berjalan membungkuk sambil memegangi perutnya yang sakit, kembung bila terjadi perforasi, dan penonjolan perut bagian kanan bawah terlihat pada apendikuler abses (Departemen Bedah UGM, 2010). Pada palpasi, abdomen biasanya tampak datar atau sedikit kembung. Palpasi dinding abdomen dengan ringan dan hati-hati dengan sedikit tekanan, dimulai dari tempat yang jauh dari lokasi nyeri.


(32)

14

Status lokalis abdomen kuadran kanan bawah adalah :

1. Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

2. Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di titik Mc. Burney. 3. Defence muscular adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen

yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.

4. Rovsing sign (+) adalah nyeri abdomen di kuadran kanan bawah apabila dilakukan penekanan pada abdomen bagian kiri bawah, hal ini diakibatkan oleh adanya nyeri lepas yang dijalarkan karena iritasi peritoneal pada sisi yang berlawanan.

5. Psoas sign (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks.

6. Obturator sign (+) adalah rasa nyeri yang terjadi bila panggul dan lutut difleksikan kemudian dirotasikan ke arah dalam dan luar secara pasif, hal tersebut menunjukkan peradangan apendiks terletak pada daerah hipogastrium (Departemen Bedah UGM, 2010).

Pada perkusi akan terdapat nyeri ketok pada auskultasi akan terdapat peristaltik normal, peristaltik tidak ada pada illeus paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata. Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi


(33)

15

kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik usus. Pada pemeriksaan colok dubur (Rectal Toucher) akan terdapat nyeri pada jam 9-12 (Departemen Bedah UGM, 2010).

Apendisitis dapat didiagnosis menggunakan skor alvarado yang dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Gambaran klinis apendisitis akut berdasarkan skor alvarado

Tabel Skor Alvarado Skor

Gejala Klinis

Nyeri perut yang berpindah ke kanan bawah 1

Nafsu makan menurun 1

Mual dan atau muntah 1

Tanda Klinis

Nyeri lepas Mc. Burney 1

Nyeri tekan pada titik Mc. Burney 2

Demam (suhu > 37,2° C) 1

Pemeriksaan Laboratoris

Leukositosis (leukosit > l 0.000/ml) 2

Shift to the left (neutrofil > 75%) 1

TOTAL 10

Sumber : www.alvarado score for appendicitis.co.id Interpretasi:

Skor 7-10 = apendisitis akut, Skor 5-6 = curiga apendisitis akut, Skor l-4 = bukan apendisitis akut.


(34)

16

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium

a. Hitung jenis leukosit dengan hasil leukositosis.

b. Pemeriksaan urin dengan hasil sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika. Pemeriksaan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi leukositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urin rutin penting untuk melihat apakah terdapat infeksi pada ginjal.

2. Pemeriksaan Radiologi a. Apendikogram

Apendikogram dilakukan dengan cara pemberian kontras BaS04

serbuk halus yang diencerkan dengan perbandingan 1:3 secara peroral dan diminum sebelum pemeriksaan kurang lebih 8-10 jam untuk anak-anak atau 10-12 jam untuk dewasa, hasil apendikogram dibaca oleh dokter spesialis radiologi.

b. Ultrasonografi (USG)

USG dapat membantu mendeteksi adanya kantong nanah. Abses subdiafragma harus dibedakan dengan abses hati, pneumonia basal, atau efusi pleura (Penfold, 2008)


(35)

17

2.1.10 Diagnosis Banding

Banyak masalah yang dihadapi saat menegakkan diagnosis apendisitis karena penyakit lain yang memberikan gambaran klinis yang hampir sama dengan apendisitis, diantaranya :

1. Gastroenteritis, ditandai dengan terjadi mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan, panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan, apendisitis akut.

2. Limfadenitis Mesenterika, biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan nyeri perut kanan disertai dengan perasaan mual dan nyeri tekan perut.

3. Demam dengue, dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis dan diperoleh hasil positif untuk Rumple Leede, trombositopeni, dan hematokrit yang meningkat.

4. Infeksi Panggul dan salpingitis akut kanan sulit dibedakan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi dari pada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin.

5. Gangguan alat reproduksi wanita, folikel ovarium yang pecah dapat memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklusmenstruasi. Tidak ada tanda radang dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam.

6. Kehamilan ektopik, hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak jelas seperti ruptur tuba dan abortus. Kehamilan


(36)

18

di luar rahim disertai pendarahan menimbulkan nyeri mendadak difus di pelvik dan bisa terjadi syok hipovolemik.

7. Divertikulosis Meckel, gambaran klinisnya hampir sama dengan apendisitis akut dan sering dihubungkan dengan komplikasi yang mirip pada apendisitis akut sehingga diperlukan pengobatan serta tindakan bedah yang sama.

8. Ulkus peptikum perforasi, sangat mirip dengan apendisitis jika isi gastroduodenum mengendap turun ke daerah usus bagian kanan sekum.

9. Batu ureter, jika diperkirakan mengendap dekat appendiks dan menyerupai apendisitis retrosekal. Nyeri menjalar ke labia, skrotum, penis, hematuria dan terjadi demam atau leukositosis.

2.1.11 Penatalaksanaan apendisitis

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi penanggulangan konservatif dan operatif.

1. Penanggulangan konservatif

Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik (Oswari, 2000).


(37)

19

2. Operatif

Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan yang dilakukan adalah operasi membuang appendiks. Penundaan appendektomi dengan pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Pada abses apendiks dilakukan drainase (Oswari, 2000).

2.1.12 Prognosis

Angka kematian dipengaruhi oleh usia pasien, keadekuatan persiapan prabedah, serta stadium penyakit pada waktu intervensi bedah. Apendisitis tak berkomplikasi membawa mortalitas kurang dari 0,1%, gambaran yang mencerminkan perawatan prabedah, bedah dan pascabedah yang tersedia saat ini. Angka kematian pada apendisitis berkomplikasi telah berkurang dramatis menjadi 2 sampai 5 persen, tetapi tetap tinggi dan tak dapat diterima (10-15%) pada anak kecil dan orang tua. Pengurangan mortalitas lebih lanjut harus dicapai dengan intervensi bedah lebih dini (Grace, 2006).


(38)

20

2.2 Diet Cukup Serat

2.2.1 Definisi

Serat makanan, dikenal juga sebagai serat diet atau dietary fiber, merupakan bagian dari tumbuhan yang dapat dikonsumsi dan tersusun dari karbohidrat yang memiliki sifat resisten terhadap proses pencernaan dan penyerapan di usus halus manusia serta mengalami fermentasi sebagian atau keseluruhan di usus besar (Muchtadi, 2001). Berdasarkan kelarutannya serat pangan terbagi menjadi dua yaitu serat pangan yang terlarut dan tidak terlarut. Didasarkan pada fungsinya di dalam tanaman, serat dibagi menjadi 3 fraksi utama, yaitu (a) polisakarida struktural yang terdapat pada dinding sel, yaitu selulosa, hemiselulosa dan substansi pektat; (b) non-polisakarida struktural yang sebagian besar terdiri dari lignin; dan (c) polisakarida non-struktural, yaitu gum dan agar-agar (Kusnandar, 2010). Diet cukup serat adalah dimana kebutuhan serat yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG) dapat tecukupi. Untuk nilai serat yang harus dipenuhi seseorang orang dewasa usia 19-29 tahun adalah 38 g/hari untuk laki-laki dan 32 g/hari untuk perempuan.

Untuk wanita angka kecukupan tersebut dapat dicukupkan setara dengan mengkonsumsi beras ladang 300 gram (dalam 3 kali makan) yang memiliki nilai serat 17,7 gram dengan paduan lauk tempe gembus jogja 2 potong yang setara dengan 4,2 gram serat dan ditambah sayuran bayam 300 gram yang memiliki serat 3,6 gram serat, untuk kudapan


(39)

21

dapat menkonsumsi ubi dengan nilai serat 4,2 gram dan tambahan buah jeruk ukuran sedang (100 gram) dengan nilai 5,4 gram serat sehingga asupan konsumsi serat sebanyak 33,5 gram serat dalam satu hari.

2.2.2 Penghitungan Serat Makanan dengan Food Frequency Semi Quantitatif.

Serat makanan memiliki kemampuan mengikat air di dalam kolon yang dapat membuat volume feses menjadi lebih besar dan akan merangsang saraf pada rektum sehingga menimbulkan keinginan untuk defekasi. Dengan demikian feses lebih mudah dieliminir. Pengaruh nyata yang telah dibuktikan adalah bertambahnya volume feses, melunakkan konsistensi feses dan memperpendek waktu transit di usus (Kusharto, 2006). Kebutuhan serat yang dianjurkan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi untuk orang dewasa adalah 38 g/hari untuk laki-laki dan 32 g/hari untuk perempuan (WNPG, 2012).

Metode secara kuantitatif dimaksudkan untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM) atau daftar lain yang diperlukan seperti Daftar Ukuran Rumah Tangga (URT), dan Daftar Konversi Mentah-Masak (DKMM). Penghitungan ini dinilai konsumsi makanan responden dalam 30 hari, setelah didapatkan data asupan makanan responden selama 30 hari maka akan dinilai asupan makanan responden selama satu hari.


(40)

22

2.2.3 Jenis dan sumber serat pangan

Komposisi kimia serat pangan bervariasi tergantung dari komposisi dinding sel tanaman penghasilnya. Pada dasarnya komponen-komponen dinding sel tanaman terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin, mucilage yang kesemuanya termasuk dalam serat pangan. Serat pangan terbagi menjadi dua kelompok, yaitu serat pangan larut (soluble dietary fiber) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber).

Yang termasuk dalam serat pangan larut adalah pektin dan gum yang merupakan bagian dalam dari sel pangan nabati. Serat ini banyak terdapat pada buah dan sayur. Serat tidak larut (insoluble dietary fiber) adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin, serat ini banyak ditemukan pada seralia, kacang-kacangan dan sayuran. Secara skematis komponen serat pangan dalam berbagai bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 2.2 Sayuran dan buah-buahan adalah merupakan sumber serat pangan yang paling mudah dijumpai dalam menu masyarakat. Sebagai sumber serat sayuran dapat dikonsumsi dalam bentuk mentah atau telah diproses melalui perebusan. Sumber serat pangan selain dari sayuran dan buah-buahan, penelitian Robert E. Kowalski dalam Anik Herminingsih (2010), juga dapat berasal dari dedak padi yang telah distabilisasi ditemukan mengandung serat pangan 33,0 – 40,0%.


(41)

23

Tabel 2.2 Komponen Serat Pangan dalam Berbagai Bahan Pangan Jenis Bahan Pangan Jenis Jaringan Komponen Serat Pangan

yang Terkandung Buah-buahan dan

Sayuran

Terutama Jaringan Parenkim

Selulosa, substansi pektat, hemiselulosa dan beberapa glikoprotein

Beberapa jaringan terlignifikasi

Selulosa, lignin, hemiselulosa dan beberapa jenis

glikoprotein Serealia dan Hasil

Olahannya

Jaringan Parenkim emiselulosa, selulosa, ester – ester fenolik dan glikoprotein Jaringan

terlignifikasi

Selulosa, hemiselulosa, substansi pektat dan glikoprotein. Biji - bijian selain

serealia

Jaringan Parenkim Selulosa, hemiselulosa, substansi pektat dan glikoprotein. Jaringan dengan penebalan dinding Endosperma Galaktomanan, sejumlah sesulosa

Aditif pangan gum arabik, gum alginat,

karagenan, gum xanthan, selulosa

termodifikasi, pati termodifikasi, dll

2.2.4 Hubungan Serat Terhadap Kejadian Apendisisitis

Kejadian apendisitis yang terjadi disebabkan kebiasaan pola makan yang tidak cukup dalam mengkonsumsi serat yang dapat berakibat timbulnya sumbatan fungsional pada apendiks hal ini dapat mengakibatkan peningkatan pertumbuhan kuman, sehingga terjadi peradangan pada apendiks. Peranan kebiasaan mengonsumsi makanan tidak cukup serat bepengaruh terhadap konstipasi, tinja yang keras dapat menimbulkan terjadinya konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan flora normal kolon. Hal ini akan mempermudah timbulnya apendisitis.


(42)

24

Diet berperan dalam pembentukan sifat feses, yang mana penting dalam pembentukan fekalit. Pada penelitian yang dilakukan oleh Fitriana (2013) responden dengan kategori jenis makanan yang tidak cukup serat lebih banyak terdiagnosis apendiditis akut. Apendisitis lebih cenderung disebabkan oleh jenis makanan yang kurang serat. Oleh karena itu, untuk memenuhi beberapa fungsi tersebut dan mencegah terjadinya apendisitis dapat dilakukan dengan makan makanan yang bergizi dan berserat tinggi. Makanan yang bergizi yaitu makanan yang mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh.

Beberapa contoh makanan yang memiliki nilai serat dapat dilihat pada tabel 2.3

Tabel 2.3. Kandungan Serat per 100 gram Makanan Jenis makanan Kandungan serat (g) Kacang Kedelai Kacang Tanah Kacang Hijau Jagung Kedelai Bubuk Tahu Susu Kedelai Taoge 4,9 2 4,1 2,9 2,5 0,1 0,1 0,7 Alpukat Anggur Apel Belimbing Jambu Biji Jeruk Bali Mangga Melon Nanas Pepaya Pisang Semangka Sirsak 1,4 1,7 0,7 0,9 5,6 0,4 0,4 0,3 0,4 0,7 0,6 0,5 2


(43)

25

2.2.5 Pemilihan Metode Kecukupan Serat

Penilaian konsumsi makanan dilakukan dengan cara survei, survei konsumsi makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi seseorang yang bertujuan untuk mengetahui kebiasaan makan dan gambaran tingkat kecukupan bahan makanan dan zat gizi serta faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konsumsi makanan tersebut. Hal terpenting dalam survei konsumsi makanan adalah metode pengumpulan data yang bertujuan untuk mendapatkan data sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Pemilihan metode pengumpulan data yang tepat sangat penting untuk mendapatkan data yang benar sehingga kesimpulan yang ditarik dapat sempurna (Supariasa, 2002).

Survei diet atau penilaian konsumsi makanan adalah salah satu metode yang digunakan dalam penentuan status gizi perorangan atau kelompok secara tidak langsung. Pada awal tahun empat puluhan survei konsumsi, terutama metode recall 24 jam banyak digunakan dalam penelitian kesehatan dan gizi. Di Amerika serikat survei konsumsi makanan digunakan sebagai salah satu cara dalam penentuan status gizi (Willet, 1998). Di Indonesia, survei konsumsi sudah sering digunakan dalam penelitian di bidang gizi (Supariasa, 2002). Pengaruh variasi asupan makanan dapat di ukur dan dibandingkan. Berdasarkan penelitian Shahril dkk (2008) di Malaysia terhadap 79 wanita berumur antara 30 – 60 thn, menunjukkan bahwa metode semi-quantitative food frecuency


(44)

26

questionnaire dan recall 24 jam menunjukkan hasil yang hampir sama, namun semi-quantitative food frecuency questionnaire dianggap merupakan metode yang baik dalam penilaian asupan makanan terutama dalam kajian epidemiologi kaitannya dengan penyakit. Hal ini serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Loy et al (2011) terhadap 177 wanita hamil di Malaysia, dan hasilnya menunjukkan metode semi-quantitative food frecuency questionnaire lebih dapat diterima menjadi metode yang digunakan untuk menilai asupan makanan.

Menurut Supariasa (2001), semi-quantitative food frecuency

questionnaire mempunyai beberapa kelebihan, antara lain: 1. Relatif murah dan sederhana

2. Dapat dilakukan sendiri oleh responden

3. Tidak membutuhkan latihan khusus

4. Dapat membantu untuk menjelaskan hubungan antara penyakit dan kebiasaan makan.

Pada penelitian asmawati dan Rahayu (2013) di dapatkan hasil pengukuran rata-rata asupan zat gizi makro yang dihasilkan oleh metode semi-quantitative food frecuency questionnaire lebih tinggi dibandingkan metode food recall 24 jam. Dari hasil korelasi pada penelitian tersebut di dapatkan bahwa metode Semi-Quantitative Food Frequency Questionnaire merupakan alat yang valid untuk mengukur asupan energi, lemak, serat dan karbohidrat.


(45)

27

2.3 Kerangka Teori

Gambar 2.2 Kerangka Teori Sjamsuhidajat,De Jong,2004; Masjoer, 2010; Jehan, 2003; Fitriana, 2013)

Faktor yang mempengaruhi apendisitis

Tidak Cukup Serat

Riwayat konstipasi

Peningkatan tekanan intrasekal Sulit defekasi

dan fekalit

Peningkatan perkembangan bakteri Jenis Kelamin Usia

Hiperplasia jaringan

limfoid

Obstruksi lumen

Apendisitis

Peningkatan tekanan intraluminal


(46)

28

2.4 Kerangka Konsep

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang dilakukan (Notoatmodjo, 2010).

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

2.5Hipotesis

Hipotesis penelitian adalah jawaban sementara peneliti, patokan duga, atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam penelitian tersebut. Setelah melalui pembuktian dari hasil penelitian maka hipotesisi ini dapat benar dan salah, dapat diterima atau ditolak. Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

H0 = Tidak terdapat hubungan ketidakcukupan serat terhadap kejadian apendisitis di Bandar Lampung

H1 = Terdapat hubungan ketidakcukupan serat terhadap kejadian apendisitis di Bandar Lampung

Tidak cukup serat

Riwayat Konstipasi, Usia, Jenis kelamin


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional dimana data antara variabel independen dan dependen diambil dalam waktu yang bersamaan

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Rumah Sakit Abdul Moeloek, Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara Bandar lampung, Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. A. Dadi Tjokrodipo pada bulan Oktober 2015.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi penelitian adalah semua pasien apendisitis di Rumah Sakit Abdul Moeloek, Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara Bandar lampung, Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. A. Dadi Tjokrodipo. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik consecutive sampling. Consecutive sampling ini merupakan jenis nonprobability sampling yang paling baik, dan sering


(48)

30

merupakan cara termudah. Sebagian besar penelitian klinis (termasuk uji klinis) menggunakan teknik ini untuk pemilihan subjeknya. (Sastroasmoro, 2008). Dengan menggunakan teknik tersebut, maka populasi memiliki kesempatan yang sama untuk dilakukan penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dijadikan sebagai sampel penelitian. Penentuan jumlah sampel dapat dilakukan dengan cara penghitungan statistik yaitu dengan menggunakan rumus slovin.

Adapun estimasi besar sampel dengan menggunakan rumus Slovin:

Keterangan

n = Ukuran sample

N = Ukuran populasi rata-rata pasien apendisitis Rumah Sakit d = Nilai presisi yang diambil berdasarkan ketentuan yaitu

0,05

Pasien apendisitis di Rumah sakit Abdul Moloek dengan N = 11 maka berdasarkan hasil pengitungan tersebut didapatkan estimasi besar sampel


(49)

31

sebanyak 11. Untuk pasien apendisitis di Rumah Sakit Dinas Kesehatan Tentara dengan N= 10 didapatkan estimasi besar sampel sebanyak 10 untuk Rumah Sakit Pertamina Bintang Amin dan Rumah Sakit Umum Daerah Dr. A. Dadi Tjokrodipo dengan N= 10 didapatkan estimasi besar sampel sebanyak 10 per Rumah Sakit berdasarkan rumus yang sama. Jadi, sampel yang dibutuhkan sebanyak 41 orang.

3.4 Kriteria Inklusi dan Ekslusi

1. Kriteria inklusi :

a. Pasien terdiagnosis apendisitis b. Bersedia menjadi responden c. Mengisi informed consent 2. Kriteria eksklusi :

a. Responden tidak kooperatif

3.5 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Adapun variabel bebas dalam penelitian ini adalah Hubungan Ketidakcukupan serat . Adapun variabel terikat berupa kejadian apendisitis.


(50)

32

3.6 Definisi Operasional

Tabe1 3.1.Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

1 Apendisitis Pesien yang mengalami peradangan pada apendiks vermiformis yang telah ditegakan diagnosis. Rekam medik

Observasi 0= menderita apendisitis 1= tidak menderita apendisitis Nominal

2 Serat Asupan serat yang

dikonsumsi oleh penderita apendisitis

Kuesioner Wawancara 0= serat tidak tercukupi (<38 g/hari untuk laki-laki dan <32 g/hari untuk perempuan) 1= serat tercukupi (≥38 g/hari untuk laki-laki dan ≥32 g/hari untuk perempuan)


(51)

33

Tabel 3.2 Contoh penghitungan serat menggunakan food frequency semi quantitatif Ny. N

Jenis makanan Kandungan serat/100 gram

(sumber : DKBM)

Frekuensi Ukuran rumah tangga

Kandungan serat dalam

sehari hari minggu bulan

Nasi putih 5,9 2 x 14 x 60 x 1 piring sedang (100gram)

5,9 x 60 : 30 = 11,8

Tempe 4,2 - 3 x (satu

kali makan 2

potong)

12 x 2 potong (100 gram)

12 x 2 : 2 x 4,2 : 30 = 1,68

Tumis kangkung

0 - 2 x 6 x 1 mangkok

(100 gram)

8 x 0 : 30 = 0

Bayam bening 1,1 - 3 x 12 x 1 mangkok

(100 gram)

12 x 1,1 : 30 = 0,44

Ubi 4,2 - 2 x (satu

kali makan 2

potong ubi)

8 x 2 potong ubi (100 gram)

8 x 2: 2 x 4,2 : 30 = 1,12

Jeruk 3,14 1 x 7 x 30 x 1 jeruk

ukuran sedang (100 gram)

30 x 3,14 : 30 = 3,14

Total 18,18

gram/serat

Total asupan serat Ny.N dalam 1 hari adalah 11,8 + 1,68 + 0 + 0,44 + 1,22 + 3,14 = 18,18 ( termasuk kategori tidak cukup serat)


(52)

34

3.7 Prosedur dan Alur Penelitian

Gambar 3.1.Alur Penelitian 3.8 Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan Data

Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data akan diubah ke dalam bentuk tabel, kemudian data diolah menggunakan program statistik pada komputer.

Proses pengolahan data menggunakan program komputer ini terdiri beberapa langkah :

a. Coding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang

dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.

1. Tahap Persiapan Pembuatan proposal,

perijinan,

2. Tahap Pelaksanaan Koordinasi dengan bagian poli bedah rumah sakit

Penyebaran Kuesioner

3. Tahap Pengolahan Data

Melakukan input data


(53)

35

b. Data entry, memasukkan data kedalam komputer.

c. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan kedalam komputer.

d. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh computer kemudian dicetak.

2. Analisis Data

Analisis statistika untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan program computer dimana akan dilakukan 2 macam analisa data, yaitu analisa univariat dan analisa bivariat.

a. Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi variabel bebas dan variabel terkait.

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variable bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statistik uji Chi Square. Dengan uji altenatif uji Fisher. Uji Chi Square hanya digunakan pada data diskrit (data frekuensi atau data kategori) atau data kontinu yang telah dikelompokkan menjadi kategorik. Dasar pengambilan keputusan adalah terbukti yang kemudian diolah dan dianalisis menggunakan komputer.


(54)

36

3.9Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti memberikan surat ijin permohonan penelitian kepada pihak rumah sakit dengan memperhatikan etika penelitian, yang meliputi :

1. Informed consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuannya adalah supaya subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian. Jika subjek bersedia, maka responden harus menandatangani lembar persetujuan, jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak responden.

2. Anonimity (tanpa nama)

Dalam penggunaan subjek penelitian dilakukan dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar kuesioner dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Peneliti memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan responden. Hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.


(55)

52

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan ketidakcukupan serat terhadap kejadian apendisitis di Bandar Lampung.

5.2 Saran

1. Bagi Masyarakat, diharapkan dapat membiasakan konsumsi makanan cukup sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit apendisitis.

2. Bagi Dinas Kesehatan/Instansi Terkait, diharapkan memberikan pelayanan kesehatan seperti konseling atau penyuluhan menganai asupan serat yang bauk sehingga dapat mengurangi penyakit apendisitis.

3. Bagi peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat menyebabkan kejadian apendiditis dengan menggunakan metode lain secara tepat agar hasil lebih akurat dan baik lagi.


(56)

DAFTAR PUSTAKA

Adamidis D, Giannikou, Karamolegou K, Tselalidou E, Constantopoulos. 2000. Fiber Intake And Childhood Appendicitis. Int J Food Sel Nutr. Greece: Departement of Paediatrics of Athens University; 20(2), hal 224- 239 Agrawal, C.S. 2008. Role of Serum C Reactive Protein and Leukocyte Count in

the Diagnosis of Acute Appendicitis in Nepalese Population. Med Coll J Nepal : Departemen of surgery

Cairg, S. 2010. Acute Appendicitis.Med Coll J. [Diakses Tanggal : 21 September 2015]; tersedia dari: Http://Emedicine.Medcape.Com/Article/773895-Overview

Departemen Bedah Universitas Gadjah Mada. 2010, Apendik. Sama ka[Diakses Tanggal 20 September 2015. Tersedia Dari: Http://Www.Badahugm.Net/Tag/Appendix.

Departemen Kesehatan RI, 2005, Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM), Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Jakarta.

Djojoningrat D. 2006. Dispepsia Fungsional. Dalam Sudoyo Aw. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Fitriana S, Yusran H, Darwis, 2013. Faktor Risiko Kejadian Apendisitis di Rumah Sakit Umum Daerah Kab. Pangkep. STIKESNH. Makassar : STIKES Nani Hasanuddin; 2(1), hal. 2302-1721.

Grace P dan Borley N. 2006. At A Glance, Ilmu Bedah. Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Herminingsih A. 2010. Manfaat Serat Dalam Menumakanan. Jakarta : Universitas Mercu Busana.

Jamil M. 2009. Sensitivitas Antibiotik Pada Kuman Penderita Peritonotis di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. The Indonesian Journal Of Medical Science. Makassar : Medical Faculty Hassanuddin University. [Diunduh Tanggal 5 September 2015]; Tersedia Dari : Http://www.Med.Unhes.Ac.Id/Jurnal


(57)

Julian R. 2013. Apendisitis Akut Epidemiologi Pravalesi Di Indonesia. Bandar Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati [Skripsi].

Kusharto C. 2006. Serat Makanan Dan Peranannya Bagi Kesehatan. Jurnal Gizi Dan Pangan. 1(2), hal. 45-54.

Kusnandar F. 2010. Mengenal Serat Pangan. [diakses tanggal : 2 September 2015] tersedia dari : http://Itp.Faleta.Ipb.Ac.Id

Masjoer A. 2010. Kepita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.

Mekay R dan Shepherd J. 2007. The Use Of The Clinical Scoring System By Alvarado I The Decision To Perform Computed Tomography For Acute Appencitis In The Wd. Am J Emerg Med. USA : Saint Vincent Health Center.

Moore K1 dan Agur A. 2006. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates

Muchtadi D. 2001. Sayuran Sebagai Sumber Serat Pangan Untuk Mencegah Timbulnya Penyakit Degeneratif. Teknologi dan Industri Pangan. Bogor : Institut Pertanian Bogor; 6(1), hal 61-71.

Notoadmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan Cetakan VI. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Nainggolan O dan Adimuca C. 2005. Diet Sehat Dengan Serat. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Oswari E. 2000. Bedah Dan Keperawatannya. Jakarta : PT Gramedia.

Penfold, Deena J, Benedict C dan Kelly J. 2008. Geographic Disparities In The Risk Of Perforated Appendicitis Among Children In Ohio. International Journal Of Health Geographics. Columbus: Biomed Central,56(7), Http://Www.Ik-Healtgeograhics.com

Price SA, Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC.

Putz R dan Pabst R. 2010. Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 2, Edisi 22. Jakarta : EGC.

Rukmono. 2008. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Shahril D. 2008. Semi-Quantitative Food Frequency Questionnaire For Assessment Of Energy, Total Fat, Fatty Acids, And Vitamin A, C And E Intake Among Malaysian Women : Comparison With Three Days 24 –


(58)

Hour Diet Recalls. Jurnal Sains Kesihatan Malaysia. Malaysia : The National University Of Malaysia;6(2), hal. 75-91.

Sastroasmoro S. 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta : CV. Sagung Seto.

Schwartz. 2010. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC. Silalahi J dan Hutagalung N. 2010. Komponen-Komponen Bioaktif Dalam

Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan. Medan : Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara [Skripsi].

Silent W. Acute Appendicitis And Peritonitis, In: Kasper D1, Fauci As, Longo D1, Braunwald E, Hauser S1, Jameson Jl, 2005. Harrison’s Prinsiple Of Internal Medicine. 16th Ed. New York : The Mc Graw-Hill Companies. Sjamsuhidayat R dan Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3 Jakarta : EGC. Smeltzer, Suzzane C, Brenda GB. 2005. Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8.

Jakarta : EGC.

Supariasa dan I Nyoman. 2001. Penelitian Status Gizi. Jakarta : EGC.

Triatmodjo. 2008. Kesehatan Anak Di Daerah Tropis. Jakarta : Bumi Aksara. Ummualya. 2008. Angka Kejadian Appendisitis. [Diakses dari : Pada Tanggal 2

September 2015]; tersedia dari :

http://www.digilib.unimus.ac.id/files/disk1/136/jtptunimus-gdl-trimuflikh-6753-1-babi.pdf

Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi Viii Jakarta 17-19 Mei 2004. Ketahanan Pangan Dan Gizi Di Era Otonomi Daerah Dan Globalisasi. Jakarta : Lipi. Willet, W. 1998. Nutrition Through The Life Cycle. Kota : The Mcgraw Hill Book


(1)

35

b. Data entry, memasukkan data kedalam komputer.

c. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan kedalam komputer.

d. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh computer kemudian dicetak.

2. Analisis Data

Analisis statistika untuk mengolah data yang diperoleh akan menggunakan program computer dimana akan dilakukan 2 macam analisa data, yaitu analisa univariat dan analisa bivariat.

a. Analisa Univariat

Analisa ini digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi variabel bebas dan variabel terkait.

b. Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variable bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statistik uji Chi Square. Dengan uji altenatif uji Fisher. Uji Chi Square hanya digunakan pada data diskrit (data frekuensi atau data kategori) atau data kontinu yang telah dikelompokkan menjadi kategorik. Dasar pengambilan keputusan adalah terbukti yang kemudian diolah dan dianalisis menggunakan komputer.


(2)

36

3.9Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti memberikan surat ijin permohonan penelitian kepada pihak rumah sakit dengan memperhatikan etika penelitian, yang meliputi :

1. Informed consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan. Informed consent tersebut diberikan sebelum penelitian dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuannya adalah supaya subjek mengerti maksud dan tujuan penelitian. Jika subjek bersedia, maka responden harus menandatangani lembar persetujuan, jika responden tidak bersedia, maka peneliti harus menghormati hak responden.

2. Anonimity (tanpa nama)

Dalam penggunaan subjek penelitian dilakukan dengan cara tidak memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar kuesioner dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang akan disajikan.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Peneliti memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-masalah lainnya yang berhubungan dengan responden. Hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.


(3)

52

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Terdapat hubungan ketidakcukupan serat terhadap kejadian apendisitis di Bandar Lampung.

5.2 Saran

1. Bagi Masyarakat, diharapkan dapat membiasakan konsumsi makanan cukup sebagai salah satu upaya pencegahan penyakit apendisitis.

2. Bagi Dinas Kesehatan/Instansi Terkait, diharapkan memberikan pelayanan kesehatan seperti konseling atau penyuluhan menganai asupan serat yang bauk sehingga dapat mengurangi penyakit apendisitis.

3. Bagi peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat menyebabkan kejadian apendiditis dengan menggunakan metode lain secara tepat agar hasil lebih akurat dan baik lagi.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adamidis D, Giannikou, Karamolegou K, Tselalidou E, Constantopoulos. 2000. Fiber Intake And Childhood Appendicitis. Int J Food Sel Nutr. Greece: Departement of Paediatrics of Athens University; 20(2), hal 224- 239 Agrawal, C.S. 2008. Role of Serum C Reactive Protein and Leukocyte Count in

the Diagnosis of Acute Appendicitis in Nepalese Population. Med Coll J Nepal : Departemen of surgery

Cairg, S. 2010. Acute Appendicitis.Med Coll J. [Diakses Tanggal : 21 September 2015]; tersedia dari: Http://Emedicine.Medcape.Com/Article/773895-Overview

Departemen Bedah Universitas Gadjah Mada. 2010, Apendik. Sama ka[Diakses Tanggal 20 September 2015. Tersedia Dari: Http://Www.Badahugm.Net/Tag/Appendix.

Departemen Kesehatan RI, 2005, Daftar Komposisi Bahan Makanan (DKBM), Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi, Jakarta.

Djojoningrat D. 2006. Dispepsia Fungsional. Dalam Sudoyo Aw. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Fitriana S, Yusran H, Darwis, 2013. Faktor Risiko Kejadian Apendisitis di Rumah Sakit Umum Daerah Kab. Pangkep. STIKESNH. Makassar : STIKES Nani Hasanuddin; 2(1), hal. 2302-1721.

Grace P dan Borley N. 2006. At A Glance, Ilmu Bedah. Edisi Ketiga. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Herminingsih A. 2010. Manfaat Serat Dalam Menumakanan. Jakarta : Universitas Mercu Busana.

Jamil M. 2009. Sensitivitas Antibiotik Pada Kuman Penderita Peritonotis di Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. The Indonesian Journal Of Medical Science. Makassar : Medical Faculty Hassanuddin University. [Diunduh Tanggal 5 September 2015]; Tersedia Dari : Http://www.Med.Unhes.Ac.Id/Jurnal


(5)

Julian R. 2013. Apendisitis Akut Epidemiologi Pravalesi Di Indonesia. Bandar Lampung : Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati [Skripsi].

Kusharto C. 2006. Serat Makanan Dan Peranannya Bagi Kesehatan. Jurnal Gizi Dan Pangan. 1(2), hal. 45-54.

Kusnandar F. 2010. Mengenal Serat Pangan. [diakses tanggal : 2 September 2015] tersedia dari : http://Itp.Faleta.Ipb.Ac.Id

Masjoer A. 2010. Kepita Selekta Kedokteran Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius.

Mekay R dan Shepherd J. 2007. The Use Of The Clinical Scoring System By Alvarado I The Decision To Perform Computed Tomography For Acute Appencitis In The Wd. Am J Emerg Med. USA : Saint Vincent Health Center.

Moore K1 dan Agur A. 2006. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta : Hipokrates

Muchtadi D. 2001. Sayuran Sebagai Sumber Serat Pangan Untuk Mencegah Timbulnya Penyakit Degeneratif. Teknologi dan Industri Pangan. Bogor : Institut Pertanian Bogor; 6(1), hal 61-71.

Notoadmodjo S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan Cetakan VI. Jakarta : PT. Rineka Cipta.

Nainggolan O dan Adimuca C. 2005. Diet Sehat Dengan Serat. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.

Oswari E. 2000. Bedah Dan Keperawatannya. Jakarta : PT Gramedia.

Penfold, Deena J, Benedict C dan Kelly J. 2008. Geographic Disparities In The Risk Of Perforated Appendicitis Among Children In Ohio. International Journal Of Health Geographics. Columbus: Biomed Central,56(7), Http://Www.Ik-Healtgeograhics.com

Price SA, Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta : EGC.

Putz R dan Pabst R. 2010. Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 2, Edisi 22. Jakarta : EGC.

Rukmono. 2008. Kumpulan Kuliah Patologi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Shahril D. 2008. Semi-Quantitative Food Frequency Questionnaire For Assessment Of Energy, Total Fat, Fatty Acids, And Vitamin A, C And E Intake Among Malaysian Women : Comparison With Three Days 24 –


(6)

Hour Diet Recalls. Jurnal Sains Kesihatan Malaysia. Malaysia : The National University Of Malaysia;6(2), hal. 75-91.

Sastroasmoro S. 2008. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta : CV. Sagung Seto.

Schwartz. 2010. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta : EGC. Silalahi J dan Hutagalung N. 2010. Komponen-Komponen Bioaktif Dalam

Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan. Medan : Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara [Skripsi].

Silent W. Acute Appendicitis And Peritonitis, In: Kasper D1, Fauci As, Longo D1, Braunwald E, Hauser S1, Jameson Jl, 2005. Harrison’s Prinsiple Of Internal Medicine. 16th Ed. New York : The Mc Graw-Hill Companies. Sjamsuhidayat R dan Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3 Jakarta : EGC. Smeltzer, Suzzane C, Brenda GB. 2005. Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8.

Jakarta : EGC.

Supariasa dan I Nyoman. 2001. Penelitian Status Gizi. Jakarta : EGC.

Triatmodjo. 2008. Kesehatan Anak Di Daerah Tropis. Jakarta : Bumi Aksara. Ummualya. 2008. Angka Kejadian Appendisitis. [Diakses dari : Pada Tanggal 2

September 2015]; tersedia dari :

http://www.digilib.unimus.ac.id/files/disk1/136/jtptunimus-gdl-trimuflikh-6753-1-babi.pdf

Widyakarya Nasional Pangan Dan Gizi Viii Jakarta 17-19 Mei 2004. Ketahanan Pangan Dan Gizi Di Era Otonomi Daerah Dan Globalisasi. Jakarta : Lipi. Willet, W. 1998. Nutrition Through The Life Cycle. Kota : The Mcgraw Hill Book