Economic Analysis of Law

(1)

1

EKONOMIC ANALYSIS OF LAW

Oleh :

Chairul Lutfi, S.HI., SH

Praktisi Hukum Ekonomi Syariah / Staf Ahli Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI)

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Bidang Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal sebagai “Economic Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui pemikiran utilitarian-isme Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik bagaimana orang bertindak berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan mengevaluasi hasil-hasilnya menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare). Pemikiran utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar dalam tulisan-tulisannya berupa analisis atas hukum pidana dan penegakannya, analisis mengenai hak milik (hukum kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas proses-proses hukum. Namun pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai tahun 1960-an, dan baru berkembang pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh pemikiran-pemikiran dari Ronald Coasei (1960), dengan artikelnya yang membahas permasalahan eksternalitas dan tanggung jawab hukum; Becker (1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan dan penegakan hukum; Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai hukum kecelakaan; dan Posner (1972), dengan buku teksnya yang berjudul “Economic Analysis of Law” dan penerbitan “Journal of Legal Studies”.1

Dalam perkembangannya Economic Analysis of Law mengalami perkembangan yang luas terhadap berbagai permasalahan baik di bidang hukum maupun kebijakan publik. Dalam praktiknya di Indonesia, orientasi ekonomi menjadi dominan dalam pembentukan perundang-undangan mapun dalam konteks penentuan kebijkan pemerintah. Sehingga unsur ekonomi masuk kategori

1

Sumanto, S.H. Analisis Pengembangan Ekonomi atas Hukum di Indonesia Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 8 No. 2, Agustus 2008, h. 87


(2)

2

yang substansial mempengaruhi beberapa undang-undang dari produk politik hukum di Indonesia.

Salah satu produk undang-undang yang erat kaitannya dengan Economic Analysis of Law di Indonesia adalah tentang penyelesaian sengketa bisnis. Pada tanggal 12 Agustus 1999 telah diundangkan dan sekaligus diberlakukan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam undang-undang tersebut membahas bagaimana prosedur penyelesaian sengketa bisnis melalui pengadilan (litigasi) maupun jalur di luar pengadilan (non litigasi) yang biasa disebut dengan ADR

(Alternative Dispute Resolution)2

Selanjutnya aplikasi Economic Analysis of Law di Indonesia pada bidang perdata kepailitan dan PKPU yang Pada tahun 1998 diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 1998 tentang Kepailitan, selanjutnya ditetapkan dengan UU Nomor 4 Tahun 1998 dan telah diperbaharui dengan UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.3

Economic Analysis of Law meluas juga dalam pembahasan undang-undang ekonomi lainnya, serta mempengaruhi dalam penerapan putusan-putusan pengadilan yan banyak dipengaruhi oleh pemikiran Prof. Richard A Posner utamanya dalam perundang-undangan, penegakan hukum dan putusan hakim di Indonesia.

B.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagaimana berikut :

1. Bagaimana Economic Analysis of Law Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Ekonomi Syariah?

2

ADR (Alternative Dispute Resolution) Model ini cukup popular di Amerika Serikat dan Eropa dalam penyelesaian sengketa bisnis dan ekonomi

3

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(3)

3

2. Bagaimana Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap Dalam Perkara Kepailitan ?

3. Bagaimana Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi (Insentive v. Sanksi) ?

4. Bagaimana Pembahasan Putusan-Putusan Pengadilan ?

C.Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka penulisan makalah ini bertujuan sebagaimana berikut :

1. Untuk mengetahui Economic Analysis of Law Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Ekonomi Syariah

2. Untuk mengetahui Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap Dalam Perkara Kepailitan

3. Untuk mengetahui Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi (Insentive v. Sanksi)


(4)

4

PEMBAHASAN

A.

Pengertian Economic Analysis of Law

Perkembangannya sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum meluas pada setiap penggunaan prinsip-prinsip ekonomi terhadap permasalahan-permasalahan hukum dan kebijakan publik. Hal ini dapat dilihat dari pengertian Economic Analysis of Law yang diberikan oleh William and Mary School of Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut4:

“Suatu studi tentang banyak aplikasi pada pemikiran ekonomi tentang

kebijakan hukum dan publik termasuk paeraturan di bidang ekonomi bisnis, pemaksaan anti trust, dan hal-hal lain yang menadasar seperti hak properti, cacat hukum dalam hukum kontrak dan perbaikannya, prosedur sipil dan kriminal. Tidak ada latar belakang, ekonomi istimewa yang diperlukan: konsep ekonomi

yang relevan akan dikembangkan dengan analisis berbagai aplikasi hukum”

Posner menjadi motor penggerak Hukum dan Ekonomi sejak buku Economic Analysis of Law yang kali pertama dipublikasikan pada tahun 1973. Tidak jauh berbeda dengan para pakar Hukum dan Ekonomi lainnya, ia mengembangkan ajaran-ajaran pasca-Coasian dan ilmu ekonomi. Salah satu hal yang menarik di dalam karya-karyanya, Posner tidak pernah lepas untuk mengembangkan analisisnya secara normatif dan empiris. Bobot pengkajian hukum di dalam Economic Analysis of Law nya lebih menonjol dibandingkan dengan analisis predeterminasi ekonomi. Selain memang pada hakikatnya Economic Analysis of Law merupakan analisis hukum yang menggunakan bantuan ilmu ekonomi dalam memperluas dimensi hukum, Posner tidak pernah secara formal mendapatkan pendidikan di ilmu ekonomi. Sejak 1983, ia menjabat sebagai dosen senior di University of Chicago Law School dan sebagai hakim di US Court of Appeals, Seventh Circuit.5

“... economics is the science of rational choice in a our world-in which resources are limited world-in relation to human wants. The task of economics is to explore the implications of assuming that man is a

4

Sumanto, S.H., h. 88

5

Fajar Sugianto, Butir-Butir Pemikiran Dalam Sejarah Intelektuil Dan Perkembangan Akademik Hukum Dan Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum Pebruari 2014, Vol. 10, No. 19, H.16


(5)

5 rational maximizer of his ends in life, his satisfactions-what we shall

call his “self interest. Law is basically a set of rules and sanctions

which are attended for the regulation of the bevaviour of persons whose primary insticnt is to maximize the extent of their satisfactions, as measured in economic terms. Law is, therefore, created and applied primarily for the purpose of maximizing overall social

utility”.6

Posner menambahkan bahwa konsepsi Economic Analysis of Law dapat dijadikan suatu pendekatan untuk menjawab permasalahan hukum dengan mengutarakan definisi berbeda dan asumsi-asumsi hukum yang berbeda pula untuk mendapatkan gambaran tentang kepuasan (satifaction) dan peningkatan kebahagiaan (maximization of happiness). Pendekatan ini erat kaintannya dengan keadilan di dalam hukum. Untuk melakukannya, maka hukum dijadikan economic tools untuk mencapai maximization of happiness.7 Pendekatan dan penggunaan analisa ini harus disusun dengan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dengan tidak menghi-langkan unsur keadilan, sehingga keadilan dapat menjadi economic standard yang didasari oleh tiga elemen dasar, yaitu nilai (value), kegunaan

(utility), dan efisiensi (efficiency) yang didasari oleh rasionalitas manusia. Berdasarkan konsep dasar ini, konsepsi yang dikembangkan oleh Posner kemudian dikenal dengan the economic conception of justice, artinya hukum diciptakan dan diaplikasikan untuk tujuan utama meningkatkan kepentingan umum seluas (maximizing overall social utility)8

Kontribusi Posner lebih fokus ke arah efisiensi ekonomi untuk menjelaskan hukum (common law). Sehingga menurutnya, jika hukum itu lebih diketahui maka akan lebih mudah mengkaji implikasi perkembangannya. Untuk mempertahankan inti pendiriannya, Posner mengembangkan Hukum dan Ekonomi melalui bukunya The Economics Justice (1981). Posner mendefinisikan efisiensi sebagai “exploiting economic resources in such a way than human

satisfaction as measured by aggregate consumer willingness to pay for goods and

6

Posner, R.A., Economic Analysis of Law, 7 th ed., Aspern Publishers, New York, U.S.A., h. 3, 249-256 dalam Fajar Sugianto, h.16

7

Bushan J. Komadar, Journal: The Raise and Fall of a Major Financial Instrument, University of Westminster, 2007, h.1 dalam Fajar Sugianto, h.17

8


(6)

6

services is maximized”. Usaha efisiensi yang seperti ini dikatakannya sebagai usaha peningkatan kesejahteraan (wealth maximization). Walaupun definisi ini dikatakan sempit, Posner hingga sekarang terus membangun analisisnya (bahkan memperluas konsep utilitas).9

Posner bukan orang pertama yang melahirkan ide tentang economy analysis of law. Teori ini sebetulnya sudah muncul dan dikembangkan oleh kalangan utilitarianisme seperti Jeremy Bentham dan John Stuarth Mill. Teori utilitas ini mengutamakan asas kebergunaan sesuatu/tool. Jadi sesuatu/esse harus memberikan manfaat/nilai utilities bagi esse yang lain (social welfare).10

Guna memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum, terutama implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia, maka mengkritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan prinsip efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi ini berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka. Yang menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan kemungkinan munculnya ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan maupun enforcement

dari peraturan perundang-undangan.11

Diantaranya, Economic Analysis of Law dalam penyelesaian sengketa bisnis, Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap Dalam Perkara Kepailitan, Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi, dan Pembahasan Putusan-Putusan Pengadilan.

9

utilitas adalah jumlah dari kesenangan atau kepuasan relatif (gratifikasi) yang dicapai. Dengan jumlah ini, seseorang bisa menentukan meningkat atau menurunnya utilitas, dan kemudian menjelaskan kebiasaan ekonomis dalam koridor dari usaha untuk meningkatkan kepuasan seseorang. Unit teoritikal untuk penjumlahan utilitas adalah util. Doktrin dari utilitarianisme ,elihat maksimalisasi dari utilitas sebagai kriteria moral untuk organisasi dalam masyarakat. Menurut para utilitarian, seperti Jeremy Bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1876), masyarakat harus bertujuan untuk memaksimalisasikan jumlah utilitas dari individual, bertujuan untuk "kebahagiaan terbesar untuk jumlah terbesar"

10

Bdk. Erman Radjagukguk, dalam Artikel Drs. H.Adnan Qohar, SH.MH. Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia. h. 2

11


(7)

7 B.Economic Analysis of Law Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis Ekonomi

Syariah

Kegiatan bisnis di era globalisasi dan modernisasi dewasa ini semakin meningkat dengan banyaknya terjadi ransaksi-transaksi yang terus mengikuti, kemudian tidak mungkin dihindari pasti akan terjadi sengketa (dispute/difference)

antara para pihak yang terlibat didalamnya. Setiap jenis sengketa yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang cepat dan tepat untuk mendapatkan sebuah solusi yang berkeadilan selain juga memiliki biaya yang mudah dijangkau/murah (quick and lower in time and money to the parties.)12

Dalam suatu hubungan dunia bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan atau dengan kata lain transaksi bisnis berpotensi timbulnya masalah yaitu silang sengketa. Silang sengketa yang perlu diantisipasi dalam hubungan dunia bisnis atau perjanjian; mengenai bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian, apa isi perjanjian atau pun disebabkan hal-hal lainnya di luar dugaan karena keadaan memaksa (overmacht; force majeur). Untuk itu sangat diperlukan mencari jalan keluarnya (problem solving) untuk menyelesaikan sengketa, biasanya ada beberapa alternatif atau opsi dalam rangka penyelesaian sengketa yang bisa ditempuh, seperti melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa, dapat dengan cara; konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.13

Secara rinci sengketa bisnis dapat berupa sengketa sebagai berikut: 1. Sengketa perniagaan

2. Sengketa perbankan 3. Sengketa Keuangan

4. Sengketa Penanaman Modal 5. Sengketa Perindustrian 6. Sengketa HKI

7. Sengketa Konsumen 8. Sengketa Kontrak

12

Pihak yang bersengketa akan cenderung memilh penyelesaian yang bisa diselesaikan dengan cepat dan biaya murah, lihat Ramdlon Naning, Artikel, h. 27

13


(8)

8

9. Sengketa pekerjaan 10. Sengketa perburuhan 11. Sengketa perusahaan 12. Sengketa hak

13. Sengketa property

Secara konvensional penyelesaian sengketa biasanya dilakukan melalui prosedur litigasi atau penyelesaian dimuka pengadilan dalam posisi yang demikian para pihak yang bersengketa dengan antagonistis. Penyelesaian menurut jalur hukum seperti ini biasanya kurang popular dikalangan dunia bisnis sehingga model ini tidak direkomendasikan jikapun akhirnya terpaksa ditempuh penyelesaian itu semata-mata hanya sebagai pilihan terakhir (ultimum remidium)

setelah alternative lain tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Penyelesaian sengketa selain menggunakan system peradilan (ordinary court) juga dapat diselesaikan dengan Alternatif Dispute Resolution (ADR) sebagai salah satu alternatif penyelesaian non-litigasi diluar pengadilan.14 Penyelesaian melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) antara lain adalah :

a. Nogosiasi (negosiation);

b. Mediasi (mediation);

c. Konsiliasi (conciliation);

d. Arbitrase (arbitration)15

Penyelesaian Sengketa Bisnis Ekonomi Syariah Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS)16

Terjadinya sengketa dalam dunia bisnis dipaparkan oleh Gery Goodpaster, menurutnya dalam hal terjadinya sengketa bermacam-macam, baik dalam hal isinya yang spesifik, pihak-pihak yang bersengketa maupun persoalan

14

Ramdlon Naning, Artikel, h. 27

15

Ramdlon Naning, Artikel, h. 27-28

16

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa disebutkan: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang

bersengketa.” Pada dasarnya para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri cara dan proses pemeriksaan sengeketa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan oleh arbiter yang telah ditunjuk atau diangkat tersebut. Penentuan tersebut harus dilakukan secara jelas dan tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.


(9)

9

yang disengketakan.17 Kemudian dalam proses selanjutnya, penyelesaian sengketa tersebut memiliki opsi untuk diselesaikan melalui jalur pengadilan (litigation)

maupun di luar pengadilan (out of court).

Alternatif penyelesaian sengketa dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa diatur dalam Bab II pada Pasal 6. Dari pengertian yang dimuat dalam Pasal 1 angka 10

“Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau

beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau

penilaian ahli” dan rumusan Pasal 6 ayat (1) “Sengketa atau beda pendapat

perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan

penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri”.18

Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam undang-undang haruslah terdapat klausul arbitrase (arbitration clause) maupun perjanjian arbitrase (submission agreement atau acte compromise). Dari kedua bentuk perjanjian tersebut, yang sering digunakan dalam praktik adalah klausul arbitrase sebagaimana dikatakan oleh A.C. Foutoucos.19

Penyelesaian sengketa melalui Arbitrase di Indonesia di bawah kewenangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).20 Para pihak harus bersepakat memilih salah satu forum hukum dalam penyelesaian sengketa bilamana para pihak tidak ingin menyelesaikan sengketanya melalui Peradilan, karena akad (perjanjian) merupakan Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya sebagaimana ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata (asas pacta sunt servanda), namun suatu akad tidak boleh bertentangan dengan Undang- Undang,

17

Garr Goodpaster, Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, dalam Arbitrasi Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995, h.3

18

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

19

A.C. Faoutoucos, Conditions Requiresd for the Validity of An Arbitration Agreement, Journal of International Arbitration, 1988, h.115

20

Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) memiliki klausul sebagaimana berikut

“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini akan diselesaikan dalam tingkat pertama dan terakhir menurut peraturan prosedur Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) oleh


(10)

10

terlebih lagi Undang-Undang yang telah menetapkan adanya kekuasaan mutlak bagi suatu badan peradilan yang mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Oleh sebab itu kejelasan dalam penyusunan perjanjian merupakan suatu keharusan penyelesaian sengketa (settlement dispute option), termasuk menyelesaikan sengketanya melalui Badan Arbitrase yang putusannya bersifat

final dan binding.

Kompetensi absolut dari lembaga arbitrase ditentukan oleh ada tidaknya perjanjian yang memuat klausula arbitrase baik berupa pactum de compromittendo. ataupun akta kompromis. Dalam pasal 11 UU No. 30 Tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa menyatakan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya kepengadilan Negeri. Oleh karena itu, berdasarkan aturan hukum yang berlaku kewenangan absolute seluruh badan-badan peradilan negara, termasuk dalam hal ini lingkungan peradilan agama tidak dapat menjangkau sengketa atau perkara yang timbul dari perjanjian yang didalamnya terdapat klausula arbitrase.21

Lembaga arbitrase dalam melaksanakan kompetensinya berdasarkan perjanjian arbitrase terealisasikan berupa pemberian pendapat hukum yang mengikat (legal binding opinion) dan pemberian putusan arbitrase karena adanya suatu sengketa tertentu. Bahwa tanpa adanya suatu sengketa, lembaga arbitrase dapat menerima permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian untuk memberikan suatu pendapat hukum yang mengikat mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.

Legitimasi penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini adalah bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya dan bahwa hukum perjanjian menganut sistem terbuka (open system). Oleh karena itu, terdapat kebebasan dari para pihak dalam menentukan materi / isi perjanjian,

21

Cik Basir, “Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah: Di Pengadilan Agama & Mahkamah


(11)

11

pelaksanaan perjanjian, dan cara menyelesaikan sengketa.22 Sehingga secara tegas dikatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian sengketa diluar pengadilan umum yang didasarkan pada suatu perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian yang dibuat sebelum terjadinya sengketa (pactum de compromittendo) maupun sesudah terjadi sengketa (akta kompromis).

Berdasarkan pasal 5 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 terdapat persyaratan terhadap sengketa yang diselesaikan melalui mekanisme arbitrase, yang berbunyi:

1) sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikusai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 2)

sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dengan tidak dapat diadakan perdamain.23

Namun, dalam praktiknya terdapat badan-badan arbitrase secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan sengketa tertentu oleh pihak tertentu. Salah satunya adalah BASYARNAS yang secara khusus mempunyai kewenangan menyelesaikan sengketa sengketa muamalah yang dihadapi oleh umat Islam.

Setelah diundangkannya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan pertama dari Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, terjadi perubahan besar bagi kewenangan Peradilan Agama. Kewenangan Peradilan Agama diperluas dengan memasukkan bidang ekonomi syariah sebagai salah satu bidang kompetensinya yang tercantum dalam pasal 49. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ini menegaskan secara eksplisit

22

Abdul Ghofur Anshori, “Penyelesaian Sengketa Perbanka Syariah: Analisis Konsep dan UU

No.21 Tahun 2008”, cet. Ke-1 (Yogyakarta: UGM Press, 2010), h.. 68.

23


(12)

12

bahwa masalah ekonomi syariah telah menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama.24

Kemudian secara yuridis Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama terkait kewenangan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah bertentangan dengan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 yang mengandung ketidakjelasan hukum.25

Kesimpulannya, dengan dinyatakannya penjelasan pasal Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka konsekunsi logisnya adalah: seluruh sengketa perbankan

syari’ah (dalam jalur litigasi) harus diselesaikan di Pengadilan Agama,26

sesuai ketentuan pasal 55 Ayat 1 Undang-undang a quo, yang berbunyi, “Penyelesaian

sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Agama.”27

24

undang No. 53 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan pertama dari Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang kemudian diUndang-undangkan kembali dengan lahirnya Undang-Undang No. 50 Tahun 2009

25

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

26 M. Yahya Harahap, “

Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,

Pembuktian dan Putusan Pengadilan”, cet. Ke-10, (Sinar Grafika: Jakarta, 2010) h.. 181.

27

Jo. Pasal 49 beserta penjelasanya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-undang nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang berbunyi,

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah. Penjelasan: Yang imaksud dengan "ekonomi syari'ah" adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah, antara lain meliputi: a. bank syari'ah; b. lembaga keuangan mikro syari'ah. c. asuransi syari'ah; d. reasuransi syari'ah; e. reksa dana syari'ah; f. obligasi syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah; g. sekuritas syari'ah; h. pembiayaan syari'ah; i. pegadaian syari'ah; j. dana pensiun lembaga keuangan syari'ah; dan k. bisnis syari'ah.


(13)

13 Kelebihan dan Kekurangan Penyelesaian Sengketa Bisnis Ekonomi Syariah Melalui BASYARNAS

Arbitrase memiliki kelebihan dengan juga kekurangan berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dijelaskan bahwa antara kelebihan arbitrase adalah: a) kerahasiaan para pihak dijamin; b) dapat menghindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif; c) pihak-pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup untuk mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil, d) pihak-pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e) putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara atau prosedur yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan.28

Kelebihan utama arbitrase disbanding dengan pengadilan adalah sifat kerahasiaannya, karena keputusan arbitrase tidak dipublikasikan. Hal inilah yang sangat penting bagi para pebisnis, sebab masyarakat umum tidak mengetahui adanya sengketa dalam perusahaan tertentu. Seseorang pebisnis biasanya merasa terganggu bermitra dengan pebisnis lain yang sedang bermasalah ke pengadilan dalam menyelesaikan sengketa bisnisnya; atas dasar itu, arbitrase merupakan faktor yang mendukung reputasi pebisnis di dunia usaha pada umumnya.29

Arti penting arbitrase dalam menyelesaikan sengketa adalah sifat fleksibelitasnya dan kecenderungan tidak formal. Hal ini berdampak pada sikap para pihak yang bersengketa sehingga tidak terlalu bersitegang dalam menyelesaikan perkara. Iklim seperti ini sangat kondusif dan lebih mendorong

28Siswono Yudohusodo, “Arbitrase Penyelesaian Sengketa dalam Dunia Usaha” dalam

Djarab, dkk (ed.), Prospek dan Pelaksanaan, h. 139; dan Ais Chatamarrasjid, “Penyelesaian

Konflik: Arbitrase dan Pengadilan” (Jakarta: t.pn. 1999), h. 3-4. Dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 74-75

29

Chatamarrasjid, Penyelesaian Konflik, h. 3-4 dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah –Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 75.


(14)

14

semangat kerjasama para pihak sehingga mempercepat proses penyelesaiaan perkara.30

Arbitrase bagi dunia usaha merupakan pilihan yang cocok dengan semangat menumbuhkan etika bisnis. Hal ini penting sekali guna mengurangi kebiasaan kolusi dan penggunaan kekerasaan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa bisnis, dengan demikian akan tumbuh budaya hukum di kalangan pebisnis. 31

Sedangkan diantara kelemahan arbitrase adalah: a) hanya tersedia dengan baik bagi perusahaan-perusahaan yang bonafide; b) due process kurang terpenuhi; c) kurangnya unsure finality;d) kurangnya kekuatan untuk menggiring para pihak ke penyelesaiaan; e) kurangnya kekuatan untuk menghadirkan barang bukti, saksi dan lain-lain; f) kurangnya kekuatan dalam hal law enforcement dan eksekusi keputusan; g) tidak dapat menghasilkan solusi yang bersifat preventif; h) kemungkinan timbulnya keputusan yang saling bertentangan satu sama lain karena tidak ada system preseden terhadap keputusan sebelumnya, dan juga karena unsur fleksibelitas dari arbitrer. Oleh karena itu, keputusan arbitrase tidak

predictable; i) kualitas keputusannya sangat bergantung pada kualitas para arbiter itu sendiri, tanpa ada norma yang cukup untuk menjaga standard mutu keputusan arbitrase. Oleh karena itu sering, sering dikatakan , “an arbitration is as good as arbitrators”; j) berakibat kurangnya upaya untuk mengubah system pengadilan yang ada; dan k) berakibat semakin tinggi rasa kurang senang terhadap pengadilan.32

30Adolf, “Arbitrase Komersial”.h. 14 dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 75.

31

Yudohusodo, “Arbitrase Penyelesaian” h. 139. Mediasi atau Arbitrase telah berkembang di berbagai Negara seperti antara lain dijelaskan oleh Atja Sanjaja. Lihat Atja

Sandjaja, “Perkembangan Mediasi di Berbagai Negara”, hand out disampaikan pada acara pelatihan Mediasi bagi Hakim yang diselenggarakan Pusdiklat Teknis Mahkamah Agung RI tanggal 26 Maret 2009, h. 1-12 dalam Jaih Mubarok, Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 75

32

Fuady, Arbitrase Nasional, h. 95 dalam dalam Jaih Mubarok, “Hukum Ekonomi Syariah –Akad Mudharabah” (Bandung: Fokus Media, Agustus 2013) h. 76


(15)

15 C.Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap Dalam Perkara

Kepailitan

Kata pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” yang berarti kemacaetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failliet”. Sedang dalam hukum Anglo America, Undang-Undangnya dikenal dengan Bankcruptcy Act.33

Secara tata bahasa, kepailitan berarti segala hal yang berhubungan dengan pailit. Berhubung pernyataan pailit terhadap debitor itu harus melalui proses pengadilan (melalui fase-fase pemeriksaan) maka segala sesuatu yang menyangkut tentang peristiwa pailit itu disebut kepailitan.34

Pengertian pailit menurut Black’s Law Dictionary dihubungkan dengan suatu kondisi ketidakmampuan untuk membayar dari seseorang (debitor) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitor), suatu permohonan pailit ke pengadilan. Maksud dari pengajuan permohonan tersebut adalah sebagai suatu bentuk pemenuhan asas publisitas dari keadaan tidak mampu membayar dari seorang debitor. Tanpa adanya permohonan tersebut kepengadilan, maka pihak ketiga yang berkepentingan tidak akan pernah tahu keadaan tidak mampu membayar dari debitor. Keadaan ini kemudian akan diperkuat dengan suatu putusan pernyataan oleh hakim pengadilan, baik itu yang merupakan putusan yang mengabulkan ataupun menolak permohoan kepailitan yang diajukan.35

Pengertian lain dari kepailitan yaitu eksekusi massal yang ditetapkan dengan putusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan sitaan umum atas semua harta kekayaan orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung,

33

Rahayu Hartini,. 2012. Hukum Kepailitan (Edisi Revisi) Cet. 3. Malang: UMM Press h.6

34

Zainal Asikin, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, h.. 25.

35

Annalisa Y, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Alternatif Penyelesaian Utang Piutang), Cetakan I, Penerbit Unsri, Palembang, 2007, h.. 37-38.


(16)

16

untuk kepentingan semua kreditor, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib.36

Dalam pasal 1 angka 1 Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang37, kepailitan didefinisikan sebagaimana berikut; Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang undang ini. Sita umum mencakup seluruh kekayaan debitur untuk kepentingan semua kriditur. Tujuan kepailitan adalah pembagian kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kriditur dengan memperhatikan hak masing-masing kreditur secara adil.38

Jika pengertian kepailitan tersebut dikaitkan dengan pasal 2 UU No. 37 tahun 2004 tersebut, pernyataan pailit merupakan suatu putusan pengadilan niaga, berarti sebelum adanya pernyataan pailit seorang debitur tidak dapat dinyatakan pailit. Dengan adanya putusan pernyataan pailit berlaku pula ketentuan pasal 1131 Kitab Undang Undang Hukum Perdata atas seluruh harta kekayaan debitur pailit yang berlaku umum bagi semua kreditur konkuren dalam kepailitan.Pernyataan pailit oleh Pengadilan Niaga haruslah adanya permohonan dengan persyaratan yang telah diatur di dalam Undang-Undang.

Ada dua cara yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang39 agar debitor terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika debitor telah

36

Retno Wulan Sutantio, Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia Yustisia, 1996, h.. 85.

37

Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Cet. II. 2007. (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing for law and justice reform) h. 4

38

R. Anton Suyatno,S.H.,M,H. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kencana Prenada Media Group. Jakarta 2012 hal45.

39

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) merupakan revisi terhadap peraturan yang lama yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998 yang kemudian diundangkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (UUK). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 1998 merupakan

“revisi” atas Peraturan Kepailitan (Faillissementsverordening) yang telah ada yaitu Staatsblad


(17)

17

atau akan berada dalam keadaan insolven dalam rangka merestrukturisasi utangutangnya sehingga debitor berkemungkinan untuk melanjutkan usahanya serta dapat memberi suatu jaminan bagi pelunasan utang-utang debitor kepada seluruh kreditor.

Salah satunya adalah dengan mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang disingkat PKPU (atau Surseance van Betaling menurut istilah Faillissementsverordening atau Suspension of Payment menurut istilah dalam bahasa Inggris). PKPU diatur dalam Bab ketiga Pasal 222 sampai dengan Pasal 294 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Tujuan pengajuan PKPU menurut Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor. Menurut Penjelasan Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang dimaksud dengan kreditor adalah baik kreditor konkuren maupun kreditor yang didahulukan. Cara yang kedua yang dapat ditempuh oleh debitor agar harta kekayaannya terhindar dari likuidasi adalah mengadakan perdamaian antara debitor dengan para kreditornya setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan.40

Adapun mengenai syarat bagi debitor untuk dapat mengajukan PKPU menurut Pasal 222 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yaitu:

(1) Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang diajukan oleh Debitor yang mempunyai lebih dari 1 (satu) Kreditor atau oleh Kreditor.

(2) Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.

40

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Ctk. Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009, h. 328.


(18)

18

Dasar pemikiran PKPU adalah pemberian kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Jika hal tersebut dapat terlaksana dengan baik, pada akhirnya debitor dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya dan meneruskan usahanya.41

Dalam proses PKPU, sebelum pengadilan memutuskan untuk mengadakan pemberian PKPU tetap, baik debitor maupun kreditor dapat mengajukan untuk diberikan putusan PKPU sementara.Dalam hal permohonan diajukan oleh debitor, pengadilan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) hari sejak tanggal didaftarkannya permohonan harus mengabulkan penundaan kewajiban pembayaran utang sementara dan harus menunjuk seorang hakim pengawas dari hakim pengadilan serta mengangkat 1 (satu) atau lebih pengurus yang bersama dengan debitor mengurus harta debitor. Tugas hakim pengawas dalam penundaan kewajiban pembayaran utang mirip dengan tugas hakim pengawas dalam kepailitan.

Pengurus yang diangkat harus independen dan tidak memiliki benturan kepentingan dengan debitor atau kreditor. Sejak diangkatnya seorang atau lebih pengurus, maka serta-merta kekayaan debitor berada di bawah pengawasan pengurus. Jangka waktu PKPU tetap yang diputuskan oleh pengadilan niaga berikut perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari terhitung sejak putusan PKPU sementara diucapkan. Pihak yang berhak untuk menentukan apakah kepada debitor akan diberikan PKPU tetap adalah kreditor konkuren, sedangkan pengadilan hanya berwenang menetapkannya berdasarkan persetujuan kreditor konkuren. Pada umumnya permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang yang diajukan oleh debitor selalu diikuti dengan rencana perdamaian yang diajukan oleh debitor sendiri. Rencana perdamaian tersebut adalah suatu tahap final dan sangat penting dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang, sebab apabila rencana perdamaian tersebut tidak selesai dan

41

Rudy A. Lontoh, Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001, h. 173.


(19)

19

dapat diterima oleh para kreditor, maka perusahaan debitor yang mengajukan rencana perdamaian tersebut menjadi pailit.42

D.Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi (Insentive v. Sanksi)

Permasalahan yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan misalnya adanya ketentuan hukum yang menyimpang dari prinsip pokok pengembangan lembaga non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan untuk menolak perkara dimana para pihak sendiri telah memilih penyelesaian secara non-litigasi. Ketentuan tersebut tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang mengatur sebagai berikut:

“Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar

pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”

Pasal seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya bila upaya penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak gugatannya. Ketentuan Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.

Contoh lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang- undangan yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen perusahaan. Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang dengan mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan dokumen perusahaan yang tadinya 30 (tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh)

42

Darminto Hartono, Economic Analysis of Law Atas Putusan PKPU Tetap, Ctk. Pertama, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009, h. 67.


(20)

20

tahun. Namun berhadapan dengan ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan jangka waktu tersebut menjadi tidak berarti. Sehingga pilihan untuk memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan biaya dalam pemeliharaan dokumen dengan kemungkinan memusnahkannya setelah lewat waktu 10 tahun, berhadapan dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar yang akan timbul dari proses pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut ditambah dengan kekakuan pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa bukti-bukti tertulis saja, sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk paperless media yang juga dimungkinkan berda-sarkan Pasal 12 Undang-undang Dokumen Perusahaan akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi.43

E.Pembahasan Putusan-Putusan Pengadilan

Sebagai salah satu unsur dalam sistem peradilan hakim memiliki posisi dan peran penting, apalagi dengan segala kewenangan yang dimiliki. sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 32 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman: “Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.” Melalui

putusannya seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenangwenang pemerintah terhadap masyarakat, hingga memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang, dan lain-lain. Oleh karena itu tugas dan wewenang yang dimiliki hakim harus dilaksanakan dalam kerangka penegakan hukum, kebenaran dan keadilan sesuai peraturan perundang-undangan maupun kode etik dengan memperhatikan prinsip equality before the law. Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggung jawab yang tinggi, sehingga

putusan pengadilan yang dibuka dengan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” bermakna bahwa kewajiban menegakkan kebenaran

dan keadilan harus dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua

43


(21)

21

manusia dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.44

Penguatan sistem hukum tidak saja soal prinsip formil hukum (rules) tetapi juga peran kinerja penegak hukum. Beberapa waktu terakhir, hukum Indonesia bergejolak, pasalnya salah satu hakim agung, yakni Yamani diduga memalsukan putusan peninjauan kembali seorang terpidana Narkoba45. Selain itu,

tantangan untuk memberikan putusan yang “adil” terutama menghadirkan

efisiensi mendapat tantangan di dalam draft RUU MA Pasal 97. Pasal 97 menyatakan bahwa: Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi dilarang (a) membuat putusan yang melanggar UU. Pasal ini menunjukkan sangat kuat dipengaruhi oleh pemikiran legal positive. Untuk mencapai efisiensi, hakim agung harus bisa berpikir lebih jauh dari UU sebab produk UU adalah produk baku yang terjadi berdasarkan situasi tertentu dengan analisis kemungkinan tertentu pada masa yang akan datang. Karena itu, jika hal ini tidak dipangkas, efisiensi yang diutamakan untuk mencapai keadilan sosial akan sulit dicapai.46

Kemudian kasus putusan hakim selanjutnya terjadi pada Peninjauan Kembali Kasus Hukuman Mati Hillary K Chimezie.47 Hillary adalah warga negara Nigeria yang bekerja sebagai pebisnis sepatu. Hillary didakwa sebagai salah satu pengedar narkoba dengan jenis heroin dan termasuk dalam jenis

44

Chatamarrasjid Ais, Pola Rekrutmen dan Pembinaan Karier Aparat Penegak Hukum yang Mendukung Penegakan Hukum, makalah disampaikan dalam seminar tentang Reformasi Sistem Peradilan dalam Penegakan Hukum di Indonesia, diselenggarakan oleh BPHN bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dan Kantor Wilayah Dephukham Provinsi Sumatra Selatan, di Palembang 3 – 4 April 2007, h. 1-2. Dalam laporan penelitian Putusan Pengadilan Negeri 2008 oleh Komisi Yudisial RI

45

Dalam penjelasan kutipan Drs. H.Adnan Qohar, SH.MH. Artikel. Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia : Juru bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko mengatakan hakim agung Ahmad Yamani sempat memalsukan putusan Peninjauan Kembali atas terpidana narkoba, Hengky Gunawan. Menurut Djoko, dalam putusan PK bernomor 39 PK/Pid.Sus/2011 ini, Yamani membuat tulisan dengan tangan yang menyatakan vonis bos pabrik narkoba itu 12 tahun penjara. Padahal, kata dia, majelis hakim dalam persidangan PK kasus Hengky ini memutuskan hukuman 15 tahun penjara, lihat “Hakim

Yamani Palsukan Vonis PK Bos Narkoba Hengky”,

http://www.tempo.co/read/news/2012/11/17/063442373/Hakim- Yamani-Palsukan-Vonis-PK-Bos-Narkoba-Hengky, tanggal akses 14 Desember 2012.

46

Drs. H.Adnan Qohar, SH.MH. Artikel. Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia. h. 2

47

https://yanthojehadu.wordpress.com/2013/01/06/tiga-putusan-mahkamah-agung-yang-kontroversial-dalam-kacamata-filsafat-hukum/ diakses pada tanggal 13 November 2015


(22)

22

narkotika golongan I. Oleh karena itu, terdakwa dinyatakan telah melanggar Pasal 6 Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1997 tentang produksi dan pengedaran Narkotika dan obat-obtan terlarang. Dengan demikian, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Tangerang No.1083/Pid .B/2002 /PN.Tng. dan No.1084/p id .B/ 2002 /PN.Tng tanggal 4 Februari 2002, terdakwa kemudian dijatuhi hukuman mati.

Melihat desakan tersebut, terdakwa pernah melakukan banding pada tingkat kasasi pada tahun 2004, namun Mahkamah Agung RI melalui putusan bernomor 643/K/Pid /2004 tanggal 19 Juli 2004 menolak kasasi terdakwa. Terdakwa kemudian mengajukan peninjauan kembali dalam masa-masa menanti pelaksanaan eksekusi mati, pihak pemohon pun mengajukan novum baru untuk meyakinkan hakim agung. Akhirnya, MA RI melalui putusan No. 45 PK/Pid.Sus/2009 mengurangi hukuman terdakwa menjadi 12 tahun.

Adapun alasan yang diajukan para pemohon terhadap PK tersebut antara lain: 1. Ditemukannya novum baru yang meringankan keterkaitan Hilary dengan

gembong narkoba lain, yakni Marlena, Izuchukwu Okoloaja dan Kholisan Nkomo. Pada saat kasasi, Marlena dan Okoloaja telah meninggal dalam masa penjara. Bahkan pemohon PK menuduh bahwa kematian kedua terpidana itu karena pihak penyidik melakukan intimidasi agar memberikan keterangan palsu terhadap pemohon PK. Lagi pula, oknum Okoloaja yang dianggap pihak kepolisian sebagai nama lain (alias) dari Kholisan Nkomo ternyata tidak benar. Kepolisian Nigeria menyebutkan bahwa Nkomo yang adalah pengedar narkoba masih hidup di Nigeria dan tercatat sedang mengalami masalah kriminal dengan kepolisian RI. Dengan demikian, BAP yang dibuat Okoloaja alias Nkomo (dalam pikiran Penyidik) tidak dapat dibenarkan karena subjek hukum ternyata bukan satu orang melainkan dua orang, sehingga kemungkinan akan adanya rekayasa BAP akan semakin besar.

2. Mengingat banyak negara Eropa yang memikirkan ulang tentang hukuman mati, pihak pemohon pun mengajukan hal tersebut sebagai salah satu pertimbang untuk meringankan vonis hukumannya. Pemohon bersihkukuh


(23)

23

kalau hukuman mati melanggar hakikat HAM yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan.

3. Bahwa mengenai pemidanaan Pemohon penin jauan Kembali/Terpidana oleh Majelis Hakim dijatuhi pidana mati adalah dalam lingkup kebebasan Hakim untuk menjatuhkan pidana (“Judicial discreation in sentencing”) adalah berdasarkan pemikiran modern dalam ilmu kriminology yang dipengaruhi oleh ilmu Psikology dan ilmu sosial lainnya, yang menekankan bahwa dalam menjatuhkan pidana, Hakim haruslah mempergunakan asas “individualis” sesuai dengan tindak pidana pelakunya dan ini berarti bahwa Hakim harus membedakan Terdakwa yang satu dengan Terdakwa lainnya, kemudian menentukan pidana yang paling tepat sesuai dengan data-data tentang fakta untuk persidangan tersebut

Selanjutkan putusan hakim pada Kasus Narkoba Liong-Liong dengan Kepolisian RI c.q Kepolisian Daerah Banjarmasin Putusan No. 417 K/Pid.Sus/2011. Naga Sariawan Cipto Rimba alias Liong-Liong adalah seorang wiraswasta yang bertempat tinggal di Banjarmasin. Terdakwa ditahan oleh kepolisian Banjarmasi sejak tanggal 29 Desember 2009 saat ia tertangkap tangan memperoleh kiriman yang berisi lebih dari 5 kilogram jenis shabu-shabu dan heroin di tempatnya, di alamat Putra Jaya Motor kabupaten Banjar. Ia dituntut telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 114 Ayat (2) Undang- Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sehingga pada tanggal 24 September 2010, jaksa penuntut umum (JPU) meminta majelis hakim mengganjar hukuman penjara 20 tahun. Padu 29 September 2010, tuntutan ini dikabulkan majelis hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin dengan hukuman 17 tahun penjara. Putusan ini lalu dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi (PT) Banjarmasin pada 13 Desember 2010. Namun, ketika ia melakukan banding pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung RI mengabulkan seluruh permohonan terdakwa bahkan langsung memberikan pembebasan terhadap Liong-Liong.


(24)

24

Adapun alasan terdakwa yang menjadi pertimbangan hakim agung adalah:

1. Kiriman yang diperoleh oleh Liong-Liong diperoleh dari Jakarta tanpa nama pengirim dan ditujukan kepada A Liong dengan alamatnya. Bahkan daftar alamat penerima juga tidak tepat.

2. Mencurigai adanya kiriman yang aneh, pihak bea cukai yang juga termasuk staf BNN Banjarmasin langsung menghubungi sesama tim penyidik untuk melakukan penggeledahan, termasuk pembongkaran terhadap kiriman terdakwa. Pihak penyidik kemudian menyamar sebagai petugas pengirim barang, sampai kemudian mereka menangkap Liong-Liong. Polisi diduga telah melakukan rekayasa. Pembukaan barang kiriman adalah kecerobohan pihak penyidik.

3. Di tempat Liong-Liong maupun rumahnya, tidak ditemukan barang bukti sejenis narkotika dan psikotropika. Bahkan setelah dilakukan pemeriksaan, Liong tidak teridentifikasi sebagai pengguna narkoba.

4. Aadanya surat perintah penyelidikan yang dilakukan beberapa hari sebelum kasus itu terjadi. Padahal, penyelidikan dibuat jika sudah ada kasus yang terkuak.

5. Liong merasa dirinya menjadi korban rekayasa pihak kepolisian yang berusaha mengalihkan kasus karena sudah terlanjur salah. Selain itu, ada iming-iming kenaikan pangkat, membuat polisi dan penyidik berusaha sedemikian rupa terdakwa mengakui tindakannya.


(25)

25

PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka kesimpulan penulisan makalah ini adalah sebagaimana berikut :

1. Sengketa bisnis ekonomu syariah dapat berupa sengketa sebagai berikut: Sengketa perniagaan Sengketa perbankan syariah, Sengketa Keuangan,

Sengketa Penanaman Modal, Sengketa Perindustrian, Sengketa HKI,

Sengketa Konsumen, Sengketa Kontrak, Sengketa pekerjaan, Sengketa perburuhan, Sengketa perusahaan, Sengketa hak, Sengketa property. Kemudian untuk menelesaikan sengketa bisnis ekonomi syariah melalui jalur pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Badan Syariah Nasional Nasional (BASYARNAS). Economic Analysis of Law Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis dibutuhkan dalam rangka mencapai efisiensi, baik melalui prosedur litigasi maupun non litigasi. Salah satu contoh penyelesaian sengketa bisa melalui pengadilan Niaga (litigasi) dan/atau melalui arbitrase apabila terdapat klausul arbitrase jika terjadi sengketa bisnis dari kesepakatan/perjanjian sebelumnya.

2. Kaitannya dengan Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap Dalam Perkara Kepailitan, Ada dua cara yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, agar debitor terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika debitor telah atau akan berada dalam keadaan insolven dalam rangka merestrukturisasi utangutangnya sehingga debitor berkemungkinan untuk melanjutkan usahanya serta dapat memberi suatu jaminan bagi pelunasan utang-utang debitor kepada seluruh kreditor, Salah satunya adalah dengan mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang disingkat PKPU. Dasar pemikiran PKPU adalah pemberian kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Jika hal tersebut dapat terlaksana dengan


(26)

26

baik, pada akhirnya debitor dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya dan meneruskan usahanya.

3. Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi khususnya pada beberapa undang-undang yaitu: Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Permasalahan yang terjadi yaitu ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Ini menyebabkan inefisiensi, oleh karena itu dalam konteks perundang-undangan harus memenuhi efisiensi untuk memenuhi kepastian hukum yang efektif dan efisien.

4. Kewenangan Hakim diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim memiliki peran penting dalam penyelesaian sengketa maupun kasus baik pidana maupun perdata. Kaitannya dengan putusan hakim yang kontroversial terjadi dikarenakan beberapa sebab, baik motivasi untuk melakukan KKN maupun faktor laiinya. Contohnya adalah terjadi pada hakim agung, yakni Yamani diduga memalsukan putusan peninjauan kembali seorang terpidana Narkoba. Kemudian kasus putusan hakim selanjutnya terjadi pada Peninjauan Kembali Kasus Hukuman Mati Hillary K Chimezie. Selanjutkan putusan hakim pada Kasus Narkoba Liong-Liong dengan Kepolisian RI c.q Kepolisian Daerah Banjarmasin Putusan No. 417 K/Pid.Sus/2011.


(27)

27

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku

Annalisa Y, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Alternatif Penyelesaian Utang Piutang), Cetakan I, Penerbit Unsri, Palembang, 2007.

Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.

Bushan J. Komadar, Journal: The Raise and Fall of a Major Financial Instrument, University of Westminster, 2007

Chatamarrasjid, Ais. “Penyelesaian Konflik: Arbitrase dan Pengadilan”.Jakarta: t.pn. 1999.

Faoutoucos, A.C. Conditions Requiresd for the Validity of An Arbitration Agreement, Journal of International Arbitration, 1988.

Goodpaster, Garr. Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, dalam Arbitrasi Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995

Hartini,Rahayu.Hukum Kepailitan (Edisi Revisi) Cet. 3. Malang: UMM Press, 2012.

Hartono, Darminto. Economic Analysis of Law Atas Putusan PKPU Tetap, Ctk. Pertama, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

Lontoh, Rudy A. Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.

Mubarok, Jaih. Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah. Bandung: Fokus Media, Agustus 2013.

Mubarok, Jaih. Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah. Bandung: Fokus Media, Agustus 2013

Posner, R.A., Economic Analysis of Law, 7 th ed., Aspern Publishers, New York, U.S.A.,

Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Ctk. Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009.

Sutantio, Retno Wulan. Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia Yustisia, 1996.

Suyatno,R. Anton. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kencana Prenada Media Group. Jakarta 2012.

Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Cet. II. Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing for law and justice reform. 2007.


(28)

28 B.Laporan Penelitian, Artikel, dan Jurnal

Fajar Sugianto, Butir-Butir Pemikiran Dalam Sejarah Intelektuil Dan Perkembangan Akademik Hukum Dan Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum Pebruari 2014, Vol. 10, No. 19, H.16

Laporan Penelitian Putusan Pengadilan Negeri 2008 oleh Komisi Yudisial RI Rahmani Timorita Yulianti, Jurnal Al-Mawarid Edisi XVII Tahun 2007

Qohar, Adnan. Artikel, Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia

Sumanto, S.H. Analisis Pengembangan Ekonomi atas Hukum di Indonesia Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 8 No. 2, Agustus 2008

Hadjon, Phillipus M. Tentang Wewenang. Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember 1997

Majalah Sharing: Inspirator ekonomi dan bisnis syariah “Cara Islam Selesaikan

Sengketa Ekonomi”, edisi 53 Thn V Mei 2011, h. 20.

Mimbar Hukum Edisi 73 Tahun 2011, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), h. 20 – 35.

C.Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 53 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan Pertama dari Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Acara Pengucapan Putusan (Jakarta: Kamis 29 Agustus 2013) Pengujian UU NO. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah [Pasal 55 Ayat (2) dan Ayat (3)] Terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(29)

29 D.Internet

https://yanthojehadu.wordpress.com/2013/01/06/tiga-putusan-mahkamah-agung-yang-kontroversial-dalam-kacamata-filsafat-hukum/ diakses pada tanggal 13 November 2015

Fitri, Ali. Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Eksistensinya.

http://www.badilag.net/datadiakses pada tanggal 13 November 2015

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id diakses pada tanggal 13 November 2015 Iqbal, Muhammad. Implikasi Hukum Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 93/PUU-X/2012 http://www.ptamakassarkota.go.id diakses pada tanggal 13 November 2015


(1)

24 Adapun alasan terdakwa yang menjadi pertimbangan hakim agung adalah:

1. Kiriman yang diperoleh oleh Liong-Liong diperoleh dari Jakarta tanpa nama pengirim dan ditujukan kepada A Liong dengan alamatnya. Bahkan daftar alamat penerima juga tidak tepat.

2. Mencurigai adanya kiriman yang aneh, pihak bea cukai yang juga termasuk staf BNN Banjarmasin langsung menghubungi sesama tim penyidik untuk melakukan penggeledahan, termasuk pembongkaran terhadap kiriman terdakwa. Pihak penyidik kemudian menyamar sebagai petugas pengirim barang, sampai kemudian mereka menangkap Liong-Liong. Polisi diduga telah melakukan rekayasa. Pembukaan barang kiriman adalah kecerobohan pihak penyidik.

3. Di tempat Liong-Liong maupun rumahnya, tidak ditemukan barang bukti sejenis narkotika dan psikotropika. Bahkan setelah dilakukan pemeriksaan, Liong tidak teridentifikasi sebagai pengguna narkoba.

4. Aadanya surat perintah penyelidikan yang dilakukan beberapa hari sebelum kasus itu terjadi. Padahal, penyelidikan dibuat jika sudah ada kasus yang terkuak.

5. Liong merasa dirinya menjadi korban rekayasa pihak kepolisian yang berusaha mengalihkan kasus karena sudah terlanjur salah. Selain itu, ada iming-iming kenaikan pangkat, membuat polisi dan penyidik berusaha sedemikian rupa terdakwa mengakui tindakannya.


(2)

25

PENUTUP

A.Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, maka kesimpulan penulisan makalah ini adalah sebagaimana berikut :

1. Sengketa bisnis ekonomu syariah dapat berupa sengketa sebagai berikut: Sengketa perniagaan Sengketa perbankan syariah, Sengketa Keuangan, Sengketa Penanaman Modal, Sengketa Perindustrian, Sengketa HKI, Sengketa Konsumen, Sengketa Kontrak, Sengketa pekerjaan, Sengketa perburuhan, Sengketa perusahaan, Sengketa hak, Sengketa property. Kemudian untuk menelesaikan sengketa bisnis ekonomi syariah melalui jalur pengadilan (litigasi) maupun di luar pengadilan (non litigasi). Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui Badan Syariah Nasional Nasional (BASYARNAS). Economic Analysis of Law Dalam Penyelesaian Sengketa Bisnis dibutuhkan dalam rangka mencapai efisiensi, baik melalui prosedur litigasi maupun non litigasi. Salah satu contoh penyelesaian sengketa bisa melalui pengadilan Niaga (litigasi) dan/atau melalui arbitrase apabila terdapat klausul arbitrase jika terjadi sengketa bisnis dari kesepakatan/perjanjian sebelumnya.

2. Kaitannya dengan Economic Analysis of Law Pada Pemberian PKPU Tetap Dalam Perkara Kepailitan, Ada dua cara yang disediakan oleh Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, agar debitor terhindar dari ancaman harta kekayaannya dilikuidasi ketika debitor telah atau akan berada dalam keadaan insolven dalam rangka merestrukturisasi utangutangnya sehingga debitor berkemungkinan untuk melanjutkan usahanya serta dapat memberi suatu jaminan bagi pelunasan utang-utang debitor kepada seluruh kreditor, Salah satunya adalah dengan mengajukan penundaan kewajiban pembayaran utang disingkat PKPU. Dasar pemikiran PKPU adalah pemberian kesempatan kepada debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditor konkuren. Jika hal tersebut dapat terlaksana dengan


(3)

26 baik, pada akhirnya debitor dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya dan meneruskan usahanya.

3. Economic Analysis of Law Dalam Perundang-Undangan Ekonomi

khususnya pada beberapa undang-undang yaitu: Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan. Permasalahan yang terjadi yaitu ketidakharmonisan antara satu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Ini menyebabkan inefisiensi, oleh karena itu dalam konteks perundang-undangan harus memenuhi efisiensi untuk memenuhi kepastian hukum yang efektif dan efisien.

4. Kewenangan Hakim diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hakim memiliki peran penting dalam penyelesaian sengketa maupun kasus baik pidana maupun perdata. Kaitannya dengan putusan hakim yang kontroversial terjadi dikarenakan beberapa sebab, baik motivasi untuk melakukan KKN maupun faktor laiinya. Contohnya adalah terjadi pada hakim agung, yakni Yamani diduga memalsukan putusan peninjauan kembali seorang terpidana Narkoba. Kemudian kasus putusan hakim selanjutnya terjadi pada Peninjauan Kembali Kasus Hukuman Mati Hillary K Chimezie. Selanjutkan putusan hakim pada Kasus Narkoba Liong-Liong dengan Kepolisian RI c.q Kepolisian Daerah Banjarmasin Putusan No. 417 K/Pid.Sus/2011.


(4)

27

DAFTAR PUSTAKA

A.Buku

Annalisa Y, Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Alternatif Penyelesaian Utang Piutang), Cetakan I, Penerbit Unsri, Palembang, 2007.

Asikin, Zainal. Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, Rajawali Pers, Jakarta, 1991.

Bushan J. Komadar, Journal: The Raise and Fall of a Major Financial Instrument, University of Westminster, 2007

Chatamarrasjid, Ais. “Penyelesaian Konflik: Arbitrase dan Pengadilan”.Jakarta: t.pn. 1999.

Faoutoucos, A.C. Conditions Requiresd for the Validity of An Arbitration Agreement, Journal of International Arbitration, 1988.

Goodpaster, Garr. Tinjauan Terhadap Penyelesaian Sengketa, dalam Arbitrasi Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995

Hartini,Rahayu.Hukum Kepailitan (Edisi Revisi) Cet. 3. Malang: UMM Press, 2012.

Hartono, Darminto. Economic Analysis of Law Atas Putusan PKPU Tetap, Ctk. Pertama, Lembaga Studi Hukum dan Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.

Lontoh, Rudy A. Penyelesaian Utang Piutang melalui Pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.

Mubarok, Jaih. Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah. Bandung: Fokus Media, Agustus 2013.

Mubarok, Jaih. Hukum Ekonomi Syariah – Akad Mudharabah. Bandung: Fokus Media, Agustus 2013

Posner, R.A., Economic Analysis of Law, 7 th ed., Aspern Publishers, New York, U.S.A.,

Sjahdeini, Sutan Remy. Hukum Kepailitan: Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, Ctk. Ketiga, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009.

Sutantio, Retno Wulan. Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia Yustisia, 1996.

Suyatno,R. Anton. Pemanfaatan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kencana Prenada Media Group. Jakarta 2012.

Undang-Undang RI No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Cet. II. Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing for law and justice reform. 2007.


(5)

28 B.Laporan Penelitian, Artikel, dan Jurnal

Fajar Sugianto, Butir-Butir Pemikiran Dalam Sejarah Intelektuil Dan Perkembangan Akademik Hukum Dan Ekonomi, Jurnal Ilmu Hukum Pebruari 2014, Vol. 10, No. 19, H.16

Laporan Penelitian Putusan Pengadilan Negeri 2008 oleh Komisi Yudisial RI Rahmani Timorita Yulianti, Jurnal Al-Mawarid Edisi XVII Tahun 2007

Qohar, Adnan. Artikel, Teori Hukum Richard A Posner Dan Pengaruhnya Bagi Penegakan Hukum Di Indonesia

Sumanto, S.H. Analisis Pengembangan Ekonomi atas Hukum di Indonesia Ragam Jurnal Pengembangan Humaniora Vol. 8 No. 2, Agustus 2008

Hadjon, Phillipus M. Tentang Wewenang. Yuridika, No. 5 & 6 Tahun XII, September-Desember 1997

Majalah Sharing: Inspirator ekonomi dan bisnis syariah “Cara Islam Selesaikan Sengketa Ekonomi”, edisi 53 Thn V Mei 2011, h. 20.

Mimbar Hukum Edisi 73 Tahun 2011, Pusat Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani (PPHIMM), h. 20 – 35.

C.Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Undang-Undang No. 53 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama perubahan Pertama dari Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

Penyelesaian Sengketa

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Risalah Sidang Mahkamah Konstitusi, Acara Pengucapan Putusan (Jakarta: Kamis 29 Agustus 2013) Pengujian UU NO. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah [Pasal 55 Ayat (2) dan Ayat (3)] Terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang


(6)

29 D.Internet

https://yanthojehadu.wordpress.com/2013/01/06/tiga-putusan-mahkamah-agung-yang-kontroversial-dalam-kacamata-filsafat-hukum/ diakses pada tanggal

13 November 2015

Fitri, Ali. Badan Arbitrase Syariah Nasional dan Eksistensinya.

http://www.badilag.net/datadiakses pada tanggal 13 November 2015

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id diakses pada tanggal 13 November 2015

Iqbal, Muhammad. Implikasi Hukum Terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 http://www.ptamakassarkota.go.id diakses pada tanggal 13 November 2015