PRINSIP KERJA SAMA TUTURAN ANTARTOKOH DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DI SMA

(1)

PRINSIP KERJA SAMA TUTURAN ANTARTOKOH DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DI SMA

Oleh

UMI JANURWATI

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSILAS LAMPUNG

BANDARLAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

PRINSIP KERJA SAMA TUTURAN ANTARTOKOH DALAM NOVEL RANAH 3 WARNA KARYA AHMAD FUADI DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DI SMA

Oleh Umi Janurwati

Masalah dalam penelitian ini adalah penggunaan prinsip kerja sama tuturan antartokoh dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa di SMA. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsi-kan prinsip kerja sama antartokoh dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa di SMA.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskripsi kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, tebal novel 473 halaman, cetakan ketiga Januari 2011, diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan prinsip kerja sama pada novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi meliputi penaatan dan pelanggaran maksim. Maksim-maksim tersebut, yaitu maksim kuantitas, kualitas, relasi, dan maksim cara. Berdasarkan 496 data yang diperoleh, data yang menaati semua maksim yaitu maksim kuantitas, kualitas, relasi, dan cara sebesar 371 (74,80%) dan 1 (0,20%) data yang melanggar semua maksim yaitu maksim kuantitas, kualitas, relasi, dan cara.

Nilai-nilai pendidikan berkarakter yang terdapat dalam penelitian ini meliputi percaya diri, cinta ilmu, bertanggung jawab, disiplin, religius, bersikap logis, kritis, kreatif, dan inovatif, sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, menghargai karya dan prestasi orang lain, cinta lingkungan, kebangsaan, nasoinalis, dan menghargai keragaman.

Kajian tentang prinsip kerja sama berimplikasi terhadap pembelajaran bahasa Indonesia serta dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembelajaran dalam keterampilan berbicara.


(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman ABSTRAK

PENGESAHAN RIWAYAT HIDUP MOTTO

PERSEMBAHAN SANWACANA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. LANDASAN TEORI ... 8

2.1Pragmatik ... 8

2.2Aktivitas Bertutur ... 10

2.3Prinsip Kerja Sama ... 11

2.3.1 Maksim Kuantitas ... 12

2.3.2 Maksim Kualitas ... 13

2.3.3 Maksim Relasi ... 14

2.3.4 Maksim Cara ... 16

2.4Novel ... 16

2.5Pembelajaran Bahasa di Sekolah Menengah Atas (SMA) ... 17

III. METODE PENELITIAN ... 21

3.1 Rancangan Penelitian ... 21

3.2 Sumber Data ... 21

3.3 Korpus Data ... 22


(7)

4.2Pembahasan ... 28

4.2.1 Penaatan Maksim Kuantitas, Kualitas, Relasi, dan cara ... 29

4.2.2 Penaatan Maksim Kualitas, Relasi, dan Cara ... 31

4.2.3 Penaatan Maksim Kuantitas, Relasi, dan Cara... 35

4.2.4 Penaatan Maksim Kuantitas, Kualitas, dan Cara ... 38

4.2.5 Penaatan Maksim Kuantitas, Kualitas, dan Relasi ... 41

4.2.6 Penaatan Maksim Relasi Dan Cara ... 44

4.2.7 Penaatan Maksim Kualitas dan Cara... 47

4.2.8 Penaatan Maksim Kualitas dan Relasi ... 49

4.2.9 Penaatan Maksim Kuantitas dan Relasi ... 52

4.2.10 Penaatan Maksim Kualitas ... 54

4.2.11 Penaatan Maksim Relasi ... 58

4.2.12 Penaatan Maksim Cara ... 60

4.2.13 Pelanggaran Maksim Kuantitas, Kualitas, Relasi, dan Cara ... 62

4.3Implikasi Hasil Penelitian Terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA ... 69

V.SIMPULAN DAN SARAN ... 74

5.1Simpulan ... 74

5.2Saran ... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77


(8)

I. PENDAHULUAN

1.1latar Belakang Masalah

Pada dasarnya manusia ialah makhluk sosial. Manusia hidup selalu memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mencapai kebutuhan tersebut manusia memerlukan suatu alat yang dapat digunakan untuk menyampaikan keinginannya agar mudah dipahami oleh orang lain. Alat tersebut berupa bahasa. Bahasa hanya dimiliki manusia yang pada hakikatnya berfungsi sebagai alat komunikasi. Kridaklasana (dalam Chaer 1994: 32) menyatakan bahwa bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang secara konvensional digunakan oleh para anggota kelompok sosial masyarakat untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri.

Di dalam komunikasi yang wajar seorang penutur mengartikulasikan ujaran dengan maksud untuk mengkomunikasikan sesuatu kepada lawan bicara dan berharap lawan bicaranya dapat memahami apa yang hendak dikomunikasikan itu. Untuk itu, penutur selalu berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas, dan mudah dipahami, padat dan ringkas dan selalu pada persoalan sehingga tidak menghabiskan waktu lawan bicaranya. Grice (dalam Rusminto, 2009: 88) berpendapat bahwa dalam berkomunikasi seseorang akan menghadapi kendala-kendala yang mengakibatkan komunikasi tidak berlangsung sesuai dengan yang


(9)

diharapkan. Untuk menghadapi kendala-kendala dalam berkomunikasi antara penutur dan mitra tutur, maka diperlukan kerja sama yang baik antar penutur dan mitra tutur sehingga menghasilkan komunikasi yang baik dan mudah dimengerti. Kerja sama antara penutur dan mitra tutur dapat dilakukan dengan melakukan tiga hal berikut: menyamakan tujuan jangka pendek dalam komunikasi, menyatukan sumbangan percakapan agar saling membantu, dan mengusahakan agar penutur dan mitra tutur dapat memahami bahwa komunikasi dapat berlangsung jika terdapat suatu pola yang cocok dan disepakati bersama.

Dalam berkomunikasi bahasa yang digunakan oleh seseorang dapat berupa bahasa lisan maupun bahasa tulis. Berkaitan dengan hal tersebut wacana merupakan satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan gramatikal tertinggi. Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial (Rani dkk dalam Rusminto, 2009: 3). Wacana dapat berupa rangkaian kalimat atau urutan, bentuk lisan dan tulisan, serta dapat bersifat transaksional ataupun interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antara penyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulisan, wacana merupakan hasil pengungkapan ide atau gagasan penyapa. Untuk menghasilkan komunikasi yang baik, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan dalam sebuah wacana maka diperlukan prinsip-prinsip percakapan yang salah satunya adalah prinsip kerja sama. Wacana direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya). Oleh karena itu, penulis memilih sumber data berupa novel karena novel merupakan salah satu komunikasi yang disampaikan oleh penyapa melalui tulisan.


(10)

3

Novel dapat dikatakan salah satu alat komunikasi dalam bentuk tulisan. Jassin (dalam Suroto, 1989: 19) mengatakan bahwa novel ialah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita), luar biasa karena dari kejadian ini lahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib mereka. Novel hanya menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh yang benar-benar istimewa yang mengakibatkan terjadinya perubahan nasib. Baik dari segi cintanya, ketamakannya, karakusannya, keperkasaannya, dan lain-lain.

Novel yang diciptakan oleh pengarang tidak untuk diri sendiri melainkan untuk pembaca dan novel ini merupakan salah satu dari karya sastra. Untuk memahami sebuah karya sastra, sebelumnya harus memahami unsur pembangun karya sastra. Unsur pembangun karya sastra tersebut terdiri atas dua unsur yaitu struktur dalam dan struktur luar atau lebih dikenal dengan unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Struktur dalam atau intrinsik adalah unsur pembangun karya sastra yang terdapat dalam karya sastra. Struktur luar atau ekstrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra yang berada di luar karya sastra namun juga berpengaruh terhadap kehadiran karya sastra tersebut. Salah satu unsur intrinsik dalam karya sastra adalah tokoh atau penokohan.

Dalam sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi. Istilah-istilah ini sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda. Istilah “tokoh” merujuk pada orangnya, siapa pelakunya, misalnya sebagai jawaban terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”, atau “Ada berapa jumlah pelaku dalam novel


(11)

itu?”. Atau “Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam novel itu?”, dan sebagainya (Nurgiantoro, 2010: 165).

Tokoh adalah para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam fiksi merupakan ciptaan pengarang, meskipun dapat juga merupakan gambaran dari orang-orang yang hidup di dunia nyata. Oleh karena itu, dalam sebuah tokoh fiksi tokoh hendaknya dihadirkan secara alamiah. Dalam arti tokoh-tokoh itu memiliki “kehidupan” atau berciri “hidup”, atau memiliki derajat lifelikeness (kesepertihidupan) (Wiyatmi, 2008: 30).

Banyak karya sastra yang mengangkat masalah remaja sampai dewasa dalam arti tokoh-tokoh dalam karya sastra itu didominasi oleh remaja sampai dewasa, masalah-masalah yang disajikan sekitar konflik yang dialami oleh remaja sampai remaja. Hal ini merupakan salah satu alasan penulis memilih meneliti yang sumber datanya adalah karya sastra.

Remaja adalah masa peralihan manusia dari anak-anak menuju dewasa. Pada masa inilah mereka mulai mencari jati diri dan memiliki kecenderungan meniru atau mencontoh karakter seseorang atau tokoh baik dalam novel maupun kehidupan nyata. Jadi sebagai seorang guru untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan harus memilah-milah bahan ajar (novel) yang akan disampaikan kepada siswanya. Novel yang akan menjadi bahan ajar hendaknya mengandung palajaran-pelajaran yang mendidik sehingga menjadi suri teladan bagi siswa. Kajian yang dilakukan penulis sejalan dengan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMA. Pada silabus KTSP SMA, kelas XI tercantum standar kompetensi Membaca 7.


(12)

5

Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan dengan

kompetensi dasar 7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan.

Tuntutan terhadap pembelajaran bahasa Indonesia pada kurikulum KTSP yaitu mengharapkan siswa cakap dalam berbahasa lisan dan bahasa tulis. Terkadang hal inilah yang luput dari perhatian guru, guru beranggapan apabila anak sudah mampu berbahasa Indonesia berarti sudah cakap dalam bahasa lisan dan tulis. Padahal, guru masih mempunyai kewajiban untuk memperhatikan bagaimana bahasa lisan anak dan bagaimana bahasa tulis anak sehingga dapat dilakukan evaluasi terhadap bentuk-bentuk kesalahan yang dilakukan oleh anak baik dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis. Dengan adanya evaluasi tersebut, guru berharap adanya kesadaran anak-anak dalam berbahasa secara baik dan benar. Proses pembelajaran bahasa yang dilakukan secara kompleks tanpa mengabaikan komponen pembelajaran yang salah satunya adalah tujuan pembelajaran. Tujuan pembelajaran bahasa secara umum adalah agar dapat berkomunikasi dengan lancar sehingga diperlukan adanya prinsip kerja sama agar tujuan dari komunikasi itu sendiri dapat sampai dan diterima dengan baik oleh mitra tuturnya.

Dalam penelitian ini, penulis memusatkan pada tujuan pembelajaran bahasa Indonesia untuk mengetahui prinsip kerja sama antartokoh. Penelitian ini, penulis mengambil novel berjudul Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi sebagai subjek penelitian. Alasan penulis mengambil novel Ranah 3 Warna sebagai subjek penelitian karena novel ini menceritakan tentang mimpi tokoh-tokoh yang harus diperjuangkan impiannya meskipun banyak rintangan yang harus dihadapinya.


(13)

Mimpi-mimpi itu terinspirasi dari sosok Habibie yang mampu membuat pesawat helikopter. Bahasa yang digunakan dalam novel ini mudah dipahami oleh semua golongan masyarakat, kemudian isi informasi yang disampaikan memberikan inspirasi untuk berusaha dan berjuang tanpa putus asa dalam menggapai cita-cita hidup.

Melalui penelitian ini, penulis memiliki tujuan menemukan prinsip kerja sama tuturan antartokoh-tokoh dalam novel Ranah 3 Warna. Dari uraian di atas, penulis bermaksud menganalisis prinsip kerja sama tuturan antartokoh dalam novel Ranah 3 Warna dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa di SMA.

1.2Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. “Bagaimanakah prinsip kerja sama tuturan antartokoh dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa di SMA?”

1.3Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan prinsip kerja sama tuturan antartokoh dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa di SMA.

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk hal-hal berikut.

1) Meningkatkan pemahaman dan apresiasi siswa dalam menganalisis karya sastra terutama novel.


(14)

7

2) Dijadikan bahan informasi bagi pembaca yang ingin mengetahui prinsip kerja sama tuturan antartokoh dalam novel Ranah 3 Warna.

3) Sebagai alternatif bahan ajar bahasa dan sastra Indonesia di Sekolah Menengah atas (SMA).

1.5Ruang lingkup penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Subjek penelitian ini adalah novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.

b. Objek penelitian ini adalah prinsip kerja sama tuturan antartokoh dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.


(15)

II. LANDASAN TEORI

2.1Pragmatik

Linguistik sebagai ilmu kajian bahasa memiliki berbagai cabang. Cabang-cabang itu salah satunya yaitu tentang pragmatik. Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara eksternal, yaitu bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi (Wijana dan Rohmadi, 2010: 3). Secara eksternal bila dilihat dari penggunaannya, kata “bagus” tidak selalu bermakna “baik” atau “tidak buruk”, seperti terlihat pada tuturan berikut.

Ayah : “Bagaimana ujian bahasa Indonesiamu?” Andi : “Wah, hanya dapat 60, Pak.”

Ayah : “Bagus, besok jangan belajar, maen saja terus.”

Kata “bagus” dalam tuturan di atas tidak bermakna “baik” atau “tidak buruk”, tetapi memiliki makna sebaliknya. Sehubungan dengan bermacam-macamnya makna, maka terdapat aspek-aspek yang senatiasa harus dipertimbangkan dalam rangka studi pragmatik. Aspek-aspek itu yaitu sebagai berikut.

a. Penutur dan lawan tutur

Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban.


(16)

9

b. Konteks tuturan

Konteks tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Di dalam pragmatik konteks itu pada hakikatnya adalah semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan lawan tutur.

c. Tujuan tuturan

Bentuk-bentuk tutran yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan. Dalam hubungan itu bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Di dalam pragmatik berbicara merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan. d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas

Bila gramatikal menangani unsur-unsur kebahasaan sebagai entitas (wujud) yang abstrak, seperti kalimat dalam studi sintaksis, proposisi dalam studi semantik, dsb., maka pragmatik berhubungan dengan tindak verbal yang terjadi dalam situasi tertentu. Dalam hubungan pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibandingkan dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya.

e. Tuturan sebagai produk tindak verbal

Tuturan yang digunakan di dalam rangkaian pragmatik, seperti yang dikemukakan dalam keempat kriteria merupakan bentuk dari tindak tutur. Oleh karena itu, tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal. Sebagai contoh kalimat Apakah rambutmu terlalu panjang? dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini dapat ditegaskan ada


(17)

perbedaan menadar antara kalimat dengan tuturan. Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaanya dalam situasi tertentu (Wijawa dan Rohmadi, 2010: 14—16). 2.2Aktivitas Bertutur

Aktivitas bertutur tidak hanya terbatas pada penuturan sesuatu, tetapi juga melakukan sesuatu atas dasar tuturan itu (Austin dalam Rusminto, 2009: 74). Selain itu, Searle dalam Rusminto (2009: 74) juga mengatakan bahwa unit terkecil komunikasi bukanlah kalimat, melainkan tindakan tertentu, seperti membuat pernyataan, pertanyaan, dan permintaan.

Dengan demikian, tindakan merupakan karakteristik dalam komunikasi. Diasumsikan dalam merealisasikan tuturan atau wacana, seseorang berbuat sesuatu, yaitu performansi tindakan, tuturan yang berupa performansi ini disebut dengan tuturan performatif, yakni tuturan yang dimaksudkan untuk melakukan suatu tindakan.

Austin dalam Rusminto (2009: 75) mengklasifikasikan tindak tutur atas tiga klasifikasi, yaitu tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Tindak lokusi adalah tindak proposisi yang berada pada kategori mengatakan sesuatu (an act of saying somethings). Oleh karena itu, yang diutamakan dalam tindak lokusi adalah isi tuturan yang diungkapkan oleh penutur. Wujud tindak lokusi adalah tuturan-tuturan yang berisi pernyataan atau informasi tentang sesuatu. Wijana dan Rohmadi (2010: 20) menyatakan bahwa tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu.


(18)

11

Bila diamati secara saksama konsep lokusi itu adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai suatu satuan yang terdiri dari dua unsur, yakni subjek/topik dan predikat/commen (Nababan dalam Wijana, 2010: 21).

Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang mengandung daya untuk melakukan tindakan tertentu dalam hubungannya dengan mengatakan sesuatu (an act of doing somethings in saying somethings). Tindakan tersebut seperti janji, tawaran, atau pertanyaan yang diungkapkan dalam tuturan. Moore dalam Rusminto (2009: 75) menyatakan bahwa tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang sesungguhnya atau yang nyata yang diperformansikan oleh tuturan, seperti janji, sambutan, dan peringatan. Tindak ilokusi sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu, dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Tindak perlokusi adalah efek atau dampak yang ditimbulkan oleh tuturan terhadap mitra tutur, sehingga mitra tutur melakukan tindakan berdasarkan isi tuturan. Levinson dalam Rusminto (2009: 76) menyatakan bahwa tindak perlokusi lebih mementingkan hasil, sebab tindak ini dikatakan berhasil jika mitra tutur melakukan sesuatu yang berkaitan dengan tuturan penutur.

2.3Prinsip Kerja Sama

Grice dalam Rusminto (2009: 89) berpendapat bahwa dalam berkomunikasi seseorang akan menghadapi kendala-kendala yang mengakibatkan komunikasi tidak berlangsung sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu, perlu dirumuskan pola-pola yang mengatur kegiatan komunikasi. Pola-pola tersebut diharapkan dapat mengatur hak dan kewajiban penutur dan mitra tutur sehingga


(19)

terjadi kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur demi berlangsungnya komunikasi sesuai dengan yang diharapkan. Sehubungan dengan upaya menciptakan kerja sama antara penutur dan mitra tutur tersebut, Grice merumuskan sebuah pola yang dikenal sebagai prinsip kerja sama. Selain itu, Allan dalam Wijana (2010: 41) mengatakan bahwa setiap peserta tindak tutur bertanggung jawab terhadap tindakan dan penyimpangan terhadap kaidah kebahasaan di dalam interaksi lingual itu.

Prinsip kerja sama tersebut berbunyi “Buatlah sumbangan percakapan Anda sedemikian rupa sebagaimana diharapkan; pada tingkatan percakapan yang sesuai dengan tujuan percakapan yang disepakati, atau oleh arah percakapan yang sedang Anda ikuti.” Secara lebih rinci, prinsip kerja sama tersebut dituangkan ke dalam empat maksim, yaitu (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relasi, dan (4) maksim cara.

2.3.1 Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menyatakan “berikan informasi dalam jumlah yang tepat”. Maksim ini terdiri atas dua prinsip khusus. Satu prinsip berbentuk positif dan yang lainnya berupa pernyataan negatif. Kedua prinsip tersebut adalah

1. buatlah sumbangan informasi yang Anda berikan sesuai dengan yang diperlukan;

2. janganlah Anda memberikan sumbangan informasi lebih daripada yang diperlukan.

Maksim kuantitas ini memberikan tekanan pada tidak dianjurkannya pembicara untuk memberikan informasi lebih daripada yang diperlukan. Hal ini didasari


(20)

13

asumsi bahwa informasi lebih tersebut hanya akan membuang-buang waktu dan tenaga, lebih dari itu, kelebihan informasi tersebut dapat saja dianggap sebagai sesuatu yang disengaja untuk memberikan efek tertentu. Dengan demikian, hal tersebut dapat menimbulkan salah pengertian. Sementara itu, penerangan prinsip kuantitas ini oleh Leech dalam Rusminto (2009: 91) diberikan arti lebih luas sehingga tidak hanya mengatur apa yang dituturkan tetapi juga berlaku untuk tidak dituturkan. Dengan kata lain, dalam kondisi tertentu „diam’ dapat menjadi sauatu pilihan. Jadi, maksim kuantitas yang berbunyi “sumbangan informasi Anda jangan melebihi yang dibutuhkan” dalam keadaan ekstrim dapat berarti “jangan berbicara sama sekali kalu tidak terdapat informasi yang perlu Anda sampaikan”. Sejalan dengan pendapat di atas, Grice dalam Wijana (2010: 42) mengungkapkan bahwa maksim kuantitas menghendaki setiap peserta pertuturan memberikan kontribusi yang secukupnya atau sebanyak yang dibutuhkan oleh lawan bicaranya, misalnya berbicara secara wajar tentu akan memilih “Tetangga saya hamil” dibandingkan “Tetangga saya yang perempuan hamil”. Untuk ujaran yang pertama di samping lebih ringkas, juga tidak menyimpang dari nilai kebenarannya. Namun untuk ujaran yang kedua kurang ringkas dan dengan hadirnya kata perempuan justru menerangkan hal-hal yang kurang jelas dan bertentangan dengan maksim kuantitas.

2.3.2 Maksim Kualitas

Maksim kualitas menyatakan “usahakan agar informai Anda benar”. Maksim ini juga terdiri atas dua prinsip sebagai berikut


(21)

2. jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan. Maksim ini mengisyaratkan penyampaian informasi yang mengandung kebenaran. Artinya, agar tercipta kerja sama yang baik dalam sebuah percakapan, seseorang dituntut menyampaikan informasi yang benar, bahkan hanya informasi yang mengandung kebenaran yang meyakinkan.

Grice dalam Wijana (2010: 45) mengatakan maksim kualitas ini mewajibkan setiap peserta percakapan hendaknya didasarkan pada bukti-bukti yang memadai. Misalnya seorang harus mengatakan bahwa ibu kota Indonesia adalah Jakarta, bukan kota-kota yang lain kecuali benar-benar tidak tahu. Namun, apabila terjadi hal yang sebaliknya, tentu ada alasan-alasan mengapa hal demikian bisa terjadi. 2.3.3 Maksim Relasi

Maksim relasi menyatakan “usahakan agar perkataan yang Anda lakukan ada relevansinya”. Maksim ini paling banyak menimbulkan interpretasi. Satu di antaranya seperti yang dikemukakan oleh Leech dalam Rusminto (2009: 91) yang menyatakan bahwa suatu pernytaan P dikatakan relevan dengan pernyataan Q apabila P dan Q berada dalam latar belakang pengetahuan yang sama, menghasilakan informasi baru yang diperoleh bukan hanya dari P ataupun Q, melainkan secara bersama-sama dan dalam latar belakang pengetahuan yang sama pula. Dalam uraian selanjutnya, Leech dalam Rusminto (2009: 92) mengemuka-kan bahwa “sebuat tuturan T relevan dengan sebuah situasi tuturan apabila interpretasi T tersebut dapat memberikan sumbangan kepada tujuan percakapan”. Dalam kaitan dengan hal tersebut, Nababan dalam Rusminto (2009: 92) mengemukakan bahwa maksim relasi mengandung banyak persoalan.


(22)

Persoalan-15

persoalan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut: apa fokus dan macam relevansi tersebut; bagaimana kalau relevansi fakus berubah selama berlangsungnya percakapan; dan sebagainya. Meskipun demikian, Nababan sependapat bahwa maksim relasi ini merupakan maksim yang sangat penting karena ia sangat berpengaruh terhadap makna suatu ungkapan dalam percakapan. Selain itu, Grice dalam Wijana (2010: 36) berpendapat bahwa dalam maksim relevansi mengharuskan setiap peserta percakapan memberikan kontribusi yang relevan dengan memadai pembicaraan. Untuk lebih jelas perhatikan wacana berikut.

(1) + Ida, ada telepon untuk kamu. - Saya lagi di belakang, Bu. (2) + Pukul berapa sekarang, Bu. - Tukang koran baru lewat.

Jawaban (-) pada (1) dialog di atas mengimplikasikan bahwa saat itu ia tidak dapat menerima telepon itu secara langsung. Ia secara tidak langsung menyuruh/ meminta tolong agar ibunya menerima telepon itu. Demikian pula kontribusi (-) pada (2) dialog di atas memang tidak menjawab pertanyaan (+) dalam (2). Akan tetapi dengan memerhatikan kebiasaan tukang koran mengantarkan surat kabar atau majalah kepada mereka. Tokoh (+) dalam (2) di atas dapat membuat referensi pukul berapa ketika itu. Situasi yang dilihat antara penutur dan mitra tutur memiliki asumsi yang sama sehingga hanya dengan mengatakan Tukang koran baru lewat maka tokoh (+) dalam (2) sudah merasa terjawab pertanyaannya. Fenomena (1) dan (2) mengisyaratkan bahwa kontribusi peserta tindak ucap relevansinya tidak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi memungkinkan pula pada apa yang diimplikasikan ujaran itu.


(23)

2.3.4 Maksim Cara

Maksim cara menyatakan “usahakan agar Anda berbicara dengan teratur, ringkas, dan jelas”. Secara lebih rinci maksim ini dapat diuraikan sebagai berikut

1. hindari ketidakjelasan/ kekaburan ungkapan; 2. hindari ambiguitas makna;

3. hindari kata-kata berlebihan yang tidak perlu; 4. Anda harus berbicara dengan teratur.

Dengan demikian, tampak bahwa maksim ini berbeda dengan ketiga maksim sebelumnya. Maksim cara tidak bersangkut paut dengan „apa yang dikatakan’ tetapi dengan „bagaimana hal itu dikatakan’. Oleh karena itu, Leech dalam Rusminto (2009: 93) menyangsikan kelayakan maksim ini sebagai salah satu maksim dalam prinsip kerja sama. Hal ini didasari oleh alasan bahwa maksim ini tidak termasuk retorika interpersonal, tetapi termasuk retotika tekstual. Sebagai gantinya, dalam kerangka terotika tekstual, Leech memperkenalkan prinsip kejelasan yang menyatakan “usahakan agar Anda berbicara dengan jelas”.

Maksim cara atau maksim pelaksanaan mengharuskan setiap peserta percakapan berbicara secara langsung, tidak kabur, tidak taksa, dan tidak berlebih-lebihan, serta runtut (Grice dalam Wijana, 2010: 47).

2.4Novel

Jassin (dalam Suroto, 1989: 19) mengatakan bahwa novel ialah suatu karangan prosa yang bersifat cerita yang menceritakan suatu kejadian yang luar biasa dari kehidupan orang-orang (tokoh cerita), luar biasa karena dari kejadian ini lahir suatu konflik, suatu pertikaian, yang mengalihkan jurusan nasib mereka. Novel


(24)

17

hanya menceritakan salah satu segi kehidupan sang tokoh yang benar-benar istimewa yang mengakibatkan terjadinya perubahan nasib. Baik dari segi cintanya, ketamakannya, karakusannya, keperkasaannya, dan lain-lain.

2.5Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan bagian dari pendidikan. Oleh karena itu, agar suatu proses pembelajaran dapat terlaksana dengan baik, maka diperlukan komponen-komponen pembelajaran yang saling berkaitan. Komponen-komponen pembelajaran itu antara lain tujuan pembelajaran, strategi pembelajaran, materi pembelajaran, media pembelajaran, evaluasi pembelajaran, guru, dan siswa.

Suatu proses pembelajaran, tentunya terdapat rumusan tujuan pembelajaran yang akan dicapai terhadap pembelajaran tersebut. Oleh karena itu, tujuan pembelajaran merupakan salah satu komponen yang penting dalam suatu proses pembelajaran. Tujuan pembelajaran yang ditentukan dapat dicapai melalui penggunaan komponen-komponen pembelajaran yang saling berkaitan. Tujuan pembelajaran bahasa secara umum adalah agar dapat berkomunikasi dengan lancar sehingga di dalam berkomunikasi diperlukan adanya prinsip kerja sama agar tujuan dari komunikasi itu sendiri dapat sampai dan diterima dengan baik oleh mitra tuturnya (siswa).

Di dalam komponen pembelajaran terdapat sumber belajar atau materi. Sebagai seorang guru bahasa dan sastra, maka seorang guru harus dan perlu tahu lebih banyak untuk memanfaatkan sumber belajar yang berapa di lingkungan dan mampu memanfaatkannya. Salah satu sumber belajar yang dapat digunakan dalam


(25)

proses pembelajaran adalah novel. Peneliti memilih novel khususnya novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi sebagai salah satu sumber dan alat pembelajaran karena di dalam novel ini terdapat pesan yang mengandung pelajaran mendidik yang dapat menjadi contoh dalam kehidupan sehari-hari.

Standar kompetensi (SK) mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik menggambarkan penguasaan pengetahuan, keterampilan bahasa, dan bersikap positif terhadap karya sastra. Standar kompetensi pada mata pelajaran bahasa Indonesia memiliki dua aspek, yaitu aspek kemampuan kebahasaan dan kesusastraan yang masing-masing terbagi atas aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Dalam silabus KTSP jenjang SMA kelas X Semester 2 dengan standar kompetensi 9. Mendengarkan memahami informasi melalui tuturan dan kompetensi dasar 9.1 Menyimpulkan isi informasi yang disampaikan melalui tuturan langsung, dan kelas XI tercantum standar kompetensi Membaca 7. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan dengan kompetensi dasar 7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan.

Melalui kegiatan membaca novel Ranah 3 Warna diharapkan siswa dapat menambah pengetahuan dan semangat untuk terus belajar. Selain itu, siswa mampu berkerja sama dengan orang-orang yang ada di sekitar lingkungannya. Persoalan yang sering terjadi dalam dunia pendidikan adalah pengembangan pendidikan karakter. Pendidikan karakter berkaitan dengan pembentukan diri manusia karena pendidikan berkarakter ini memiliki tujuan bagaimana siswa memiliki akhlak mulia, bermoral, berkepribadian, cinta tanah air, agama, bangsa dan negara. Semua nilai tersebut dalam pengajarannya tidak perlu diuji, karena itu


(26)

19

tumbuh dan lahir dari perilaku anak didik itu sendiri melalui pembinaan mental dan rohani.

Kementrian Pendidikan Nasional memberikan prioritas pada 20 nilai-nilai yang ingin diterapkan dalam lembaga pendidikan. Berikut nilai dan deskripsi nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa.

Tabel 2.1

Nilai-nilai Pembentuk Karakter Siswa

NO NILAI DESKRIPSI

1. Religius Pikiran, perkataan dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan dan/ ajaran agama sesuai yang dianutnya.

2. Jujur

Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapar dipercayai dalam

perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri maupun pihak lain.

3. Bertanggung jawab

Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, budaya, negara dan Tuhan Yang Maha Esa).

4. Bergaya hidup sehat

Segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindari kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan. 5. Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh

pada berbagai ketentuan dan peraturan.

6. Kerja keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hubungan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.

7. Percaya diri Sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya. 8. Berjiwa

wirausaha

Sikap dan perilaku yang mandiri dan pandai atau berbakat mengenali produk baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan barang baru,

memasarkannya, serta mengatur pemodalan operasinya. 9. Bersikap logis, kritis, kreatif,

dan inovatif

Berpikir dan melakukan sesuatu secara nyata atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.

10. Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah bergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.


(27)

NO NILAI DESKRIPSI

mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.

12. Cinta ilmu Cara berpikir, sikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepeduliaan, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.

13.

Sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain

Tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan rang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.

14. Patuh pada aturan-aturan sosial

Sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.

15.

Menghargai karya dan prestasi orang lain

Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk

menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui serta menghormati keberhasilan orang lain. 16. Santun Sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa

ataupun tata perilaku ke semua orang.

17. Demokrasi Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban darinya dan orang lain.

18. Cinta lingkungan

Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam dan sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alan yang sudah terjadi, serta selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

19. Nasionalis

Cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik Bangsanya.

20. Menghargai keragaman

Sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal, baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku dan agama.


(28)

III. METODE PENELITIAN

3.1Rancangan Penelitian

Dalam penelitian ini, rancangan yang akan digunakan adalah deskriptif kualitatif. Penelitian kualitaitif dapat diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur statistik atau cara kuantitatif lainnya (Moleong, 2010: 6). Penelitian kualitatif didasarkan pada upaya pembangunan pandangan yang diteliti secara rinci, dibentuk dengan kata-kata, gambaran holistik dan rumit.

Jadi, alasan memilih metode deskripsi kualitatif dalam menganalisis novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi bertujuan memberikan gambaran secara objektif tentang prinsip kerja sama melalui tuturan antartokoh dalam novel tersebut.

3.2Sumber Data

Sumber data penelitian ini adalah novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi, tebal novel 473 halaman, cetakan ketiga Januari 2011, cetakan pertama Januari 2001, dan cetakan kedua Januari 2011, diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.


(29)

3.3 Korpus Data

Tabel 3.1

Contoh Penerapan Prinsip Kerja Sama Tuturan Dalam Novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi

Keterangan:

Satu (1) = Maksim Kuantitas Dua (2) = Maksim Kualitas Tiga (3) = Maksim Relasi

Empat (4) = Maksim Cara Ceklis (√) = Penaatan maksim Silang (X) = Pelanggaran maksim Tujuan dari adanya korpus data ini yaitu untuk mengetahui cara yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan dan menganalisis data dari novel yang diteliti.

No Data Maksim (M) Deskriptor

1 2 3 4

1. -“Aden duduk di sebelah atas

ya. Dan seperti biasa, aden pasti menang” (teriak Randai pongah, sambil memanjat ke puncak batu hitam yang kami duduki) (1)

-“Jan gadang ota. Jangan bicara

besar dulu. Ayo buktikan siapa yang paling banyak dapat ikan” (sahutku sengit) (2)

-“Dapat lagi... dapat lagi!”(3)

(R3W: 1)    X        

Data [1] terdapat tuturan yang menaati maksim seperti maksim

kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Namun, ada juga data yang

melanggar maksim yaitu maksim kualitas. Jadi data [1] terdapat penaatan dan pelanggran terdahap maksim prinsip kerja sama

2. -“Eh, Alif, jadi setelah tamat

pesantren ini, Wa’ang masih tertarik jadi seperti Habibie?” (tanya Randai sambil

menepuk-nepuk batisnya yang dirubung agas) (4)

-“Tentulah. Aden akan segera

kuliah. Kalau aden berusaha, ya bisa.” (5) (R2W: 2—3)

 X  X    X

Data [2] terdapat tuturan yang menaati maksim. Maksim-maksim itu yaitu maksim kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Data ini juga terdapat pelanggaran terhadap maksim, seperti maksim kuantitas, kualitas dan cara.

Jadi data [2] terdapat penaatan dan pelanggran terdahap maksim prinsip kerja sama


(30)

23

3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data adalah teknik dokumentasi. Sumber data yang digunakan penulis berupa dokumen tertulis, yaitu buku fiksi tentang novel.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data sebagai berikut.

a. Membaca dengan cermat dan teliti novel Ranah 3 warna karya Ahmad Fuadi.

b. Mencari dan menandai kutipan-kutipan penting yang berkaitan dengan prinsip kerja sama antartokoh di dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.

c. Menyajikan hasil analisis berupa prinsip kerja sama tuturan antartokoh yang telah ditemukan dengan mengaitkan pendidikan berkarakter.

d. Mengambil simpulan tentang prinsip kerja sama antartokoh novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi dan pendidikan berkarakter.


(31)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan penerapan prinsip kerja sama yang terdiri atas maksim kuantitas, kualitas, relasi dan cara dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi terdapat penaatan dan pelanggaran maksim-maksim itu dan memiliki keterkaitkan dengan nilai-nilai pendidikan berkarakter.

Secara keseluruhan dari data 496 (100%) terdapat 371 (74,80%) data yang menaati maksim kuantitas, kualitas, relasi, dan cara; terdapat data yang menaati tiga maksim yaitu, 26 (5,24%) data yang menaati maksim kualitas, relasi, dan cara tetapi melanggar kuantitas; 22 (4,44%) data yang menaati maksim kuantitas, relasi, dan cara tetapi melanggar kualitas; 7 (1,41%) data yang menaati maksim kuantitas, kualitas, dan cara tetapi melanggar relasi; 4 (0,81%) data yang menaati maksim kuantitas, kualitas, dan relasi tetapi melanggar cara; terdapat data yang menaati dua maksim yaitu, 5 (1,01%) data yang menaati maksim relasi dan cara tetapi melanggar kuantitas dan kualitas; 8 (1,61%) data yang menaati maksim kualitas dan cara tetapi melanggar kuantitas dan relasi; 1 (0,20%) data yang menaati maksim kuantitas dan relasi tetapi melanggar kualitas dan cara; terdapat data yang menaati satu maksim yaitu, 4 (0,81%) data yang menaati maksim kualitas tetapi melanggar kuantitas, relasi, dan cara; 9 (1,82%) data yang menaati


(32)

75

maksim relasi tetapi melanggar kuantitas, kualitas, dan cara; 1 (0,20%) data yang menaati maksim cara tetapi melanggar kuantitas, kualitas, dan relasi; terdapat 1 (0,20%) data yang melanggar maksim kuantitas, kualitas, relasi, dan cara.

Nilai-nilai pendidikan berkarakter yang terdapat dalam penelitian ini meliputi percaya diri, cinta ilmu, bertanggung jawab, disiplin, religius, bersikap logis, kritis, keratif, dan inovatif, sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, menghargai karya dan prestasi orang lain, cinta lingkungan, kebangsaan, nasoinalis, dan menghargai keragaman.

Hasil penelitian ini berimplikasi pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia terutama dalam komponen tujuan pembelajaran bahasa secara umum yakni agar tujuan dari komunikasi itu sendiri dapat sampai dan diterima dengan baik oleh mitra tuturnya (siswa). Oleh karena itu, dalam komunikasi hendaknya menaati prinsip-prinsip kerja sama. Selain itu, novel Ranah 3 Warna juga dapat dijadikan sebagai bahan ajar untuk pencapaian standar kompetensi Membaca 7. Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/novel terjemahan dengan kompetensi dasar 7.2 Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. 5.2Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penulis memberikan saran, antara lain:

a. Guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dapat memanfaatkan novel sebagai bahan alternatif media pembelajaran sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan berbicara siswa.


(33)

b. Bagi penulis selanjutnya yang berminat di bidang kajian yang sama


(34)

DAFTAR PUSTAKA

Albertus, Doni Koesoema. 2012. Pendidikan Karakter: Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Renika Cipta. Fuadi, Ahmad. 2011. Ranah 3 Warna. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Moleong, Lexy J.. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Rusminto, Nurlaksana Eko. 2009. Analisis Wacana Bahasa Indonesia: Buku Ajar. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Suroto. 1989. Teori dan Bimbingan: Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2010. Analisis Wacana

Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.


(1)

3.3 Korpus Data

Tabel 3.1

Contoh Penerapan Prinsip Kerja Sama Tuturan Dalam Novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi

Keterangan:

Satu (1) = Maksim Kuantitas Dua (2) = Maksim Kualitas Tiga (3) = Maksim Relasi

Empat (4) = Maksim Cara Ceklis (√) = Penaatan maksim Silang (X) = Pelanggaran maksim Tujuan dari adanya korpus data ini yaitu untuk mengetahui cara yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan dan menganalisis data dari novel yang diteliti.

No Data Maksim (M) Deskriptor

1 2 3 4

1. -“Aden duduk di sebelah atas ya. Dan seperti biasa, aden pasti menang” (teriak Randai pongah, sambil memanjat ke puncak batu hitam yang kami duduki) (1)

-“Jan gadang ota. Jangan bicara besar dulu. Ayo buktikan siapa yang paling banyak dapat ikan” (sahutku sengit) (2) - “Dapat lagi... dapat lagi!”(3)

(R3W: 1)    X        

Data [1] terdapat tuturan yang menaati maksim seperti maksim

kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Namun, ada juga data yang

melanggar maksim yaitu maksim kualitas. Jadi data [1] terdapat penaatan dan pelanggran terdahap maksim prinsip kerja sama

2. - “Eh, Alif, jadi setelah tamat pesantren ini, Wa’ang masih tertarik jadi seperti Habibie?” (tanya Randai sambil

menepuk-nepuk batisnya yang dirubung agas) (4)

- “Tentulah. Aden akan segera kuliah. Kalau aden berusaha, ya bisa.” (5) (R2W: 2—3)

 X  X    X

Data [2] terdapat tuturan yang menaati maksim. Maksim-maksim itu yaitu maksim kuantitas, kualitas, relasi, dan cara. Data ini juga terdapat pelanggaran terhadap maksim, seperti maksim kuantitas, kualitas dan cara.

Jadi data [2] terdapat penaatan dan pelanggran terdahap maksim prinsip kerja sama


(2)

23

3.4 Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Teknik pengumpulan data adalah teknik dokumentasi. Sumber data yang digunakan penulis berupa dokumen tertulis, yaitu buku fiksi tentang novel.

Langkah-langkah yang ditempuh dalam menganalisis data sebagai berikut.

a. Membaca dengan cermat dan teliti novel Ranah 3 warna karya Ahmad Fuadi.

b. Mencari dan menandai kutipan-kutipan penting yang berkaitan dengan prinsip kerja sama antartokoh di dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi.

c. Menyajikan hasil analisis berupa prinsip kerja sama tuturan antartokoh yang telah ditemukan dengan mengaitkan pendidikan berkarakter.

d. Mengambil simpulan tentang prinsip kerja sama antartokoh novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi dan pendidikan berkarakter.


(3)

V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan penerapan prinsip kerja sama yang terdiri atas maksim kuantitas, kualitas, relasi dan cara dalam novel Ranah 3 Warna karya Ahmad Fuadi terdapat penaatan dan pelanggaran maksim-maksim itu dan memiliki keterkaitkan dengan nilai-nilai pendidikan berkarakter.

Secara keseluruhan dari data 496 (100%) terdapat 371 (74,80%) data yang menaati maksim kuantitas, kualitas, relasi, dan cara; terdapat data yang menaati tiga maksim yaitu, 26 (5,24%) data yang menaati maksim kualitas, relasi, dan cara tetapi melanggar kuantitas; 22 (4,44%) data yang menaati maksim kuantitas, relasi, dan cara tetapi melanggar kualitas; 7 (1,41%) data yang menaati maksim kuantitas, kualitas, dan cara tetapi melanggar relasi; 4 (0,81%) data yang menaati maksim kuantitas, kualitas, dan relasi tetapi melanggar cara; terdapat data yang menaati dua maksim yaitu, 5 (1,01%) data yang menaati maksim relasi dan cara tetapi melanggar kuantitas dan kualitas; 8 (1,61%) data yang menaati maksim kualitas dan cara tetapi melanggar kuantitas dan relasi; 1 (0,20%) data yang menaati maksim kuantitas dan relasi tetapi melanggar kualitas dan cara; terdapat data yang menaati satu maksim yaitu, 4 (0,81%) data yang menaati maksim kualitas tetapi melanggar kuantitas, relasi, dan cara; 9 (1,82%) data yang menaati


(4)

75

maksim relasi tetapi melanggar kuantitas, kualitas, dan cara; 1 (0,20%) data yang menaati maksim cara tetapi melanggar kuantitas, kualitas, dan relasi; terdapat 1 (0,20%) data yang melanggar maksim kuantitas, kualitas, relasi, dan cara.

Nilai-nilai pendidikan berkarakter yang terdapat dalam penelitian ini meliputi percaya diri, cinta ilmu, bertanggung jawab, disiplin, religius, bersikap logis, kritis, keratif, dan inovatif, sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, menghargai karya dan prestasi orang lain, cinta lingkungan, kebangsaan, nasoinalis, dan menghargai keragaman.

Hasil penelitian ini berimplikasi pada pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia terutama dalam komponen tujuan pembelajaran bahasa secara umum yakni agar tujuan dari komunikasi itu sendiri dapat sampai dan diterima dengan baik oleh mitra tuturnya (siswa). Oleh karena itu, dalam komunikasi hendaknya menaati prinsip-prinsip kerja sama. Selain itu, novel Ranah 3 Warna juga dapat dijadikan sebagai bahan ajar untuk pencapaian standar kompetensi Membaca7.Memahami

berbagai hikayat, novel Indonesia/novelterjemahan dengan kompetensi dasar 7.2

Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. 5.2Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, penulis memberikan saran, antara lain:

a. Guru mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dapat memanfaatkan novel sebagai bahan alternatif media pembelajaran sehingga dapat meningkatkan pemahaman dan berbicara siswa.


(5)

b. Bagi penulis selanjutnya yang berminat di bidang kajian yang sama


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Albertus, Doni Koesoema. 2012. Pendidikan Karakter: Utuh dan Menyeluruh. Yogyakarta: Kanisius

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Renika Cipta. Fuadi, Ahmad. 2011. Ranah 3 Warna. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Moleong, Lexy J.. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Rusminto, Nurlaksana Eko. 2009. Analisis Wacana Bahasa Indonesia: Buku Ajar. Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Suroto. 1989. Teori dan Bimbingan: Apresiasi Sastra Indonesia. Jakarta: Erlangga.

Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa. Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi. 2010. Analisis Wacana

Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. Wiyatmi. 2008. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.