BAB III METODE PENCIPTAAN
Penciptaan karya seni sepatu batik ini menggunakan metode penciptaan seni kriya. Proses penciptaan karya seni kriya dapat dilakukan secara intuitif,
tetapi dapat pula ditempuh melalui metode ilmiah yang direncanakan secara seksama, analitis, dan sistematis. Dalam konteks metodologis, terdapat tiga tahap
penciptaan seni kriya, yaitu eksplorasi, perancangan, dan perwujudan Gustami, SP, 2007: 329.
A. Tahap Eksplorasi
Aktivitas penjelajahan menggali sumber ide dengan langkah identifikasi dan perumusan masalah: penelusuran, penggalian, pengumpulan data dan
referensi, disamping itu dilanjutkan dengan pengolahan dan analisis data untuk mendapatkan pemecahan masalah secara teoritis yang hasilnya digunakan sebagai
dasar perancangan. Pengolahan dan analisis data tersebut dilakukan untuk memperoleh pengetahuan dan informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan
sumber inspirasi penciptaan karya seni kriya dan proses penciptaan yang akan dijalani. Kegiatan ini meliputi:
1. Pengumpulan informasi melalui studi pustaka dan studi lapangan untuk
mendapatkan pemahaman guna menguatkan gagasan penciptaan dan menguatkan keputusan-keputusan dalam menyusun konsep penciptaan karya.
2. Melakukan analisis terhadap bentuk, bahan dan teknik yang digunakan dalam
pembuatan karya seni sepatu batik.
3. Mengembangkan imajinasi untuk mendapatkan bentuk-bentuk sepatu yang
kreatif. Dalam tahapan ini merupakan tahapan awal dalam menciptakan suatu seni
kriya, tahapan awal membahas tentang motif batik yang digunakan untuk membuat seni kriya sepatu batik ini. Sebagai studi pustaka tentang motif yang
gunakan dalam menciptakan karya seni sepatu batik ini. Dimana motif yang digunakan dalam mengeksplorasi bentuk sepatu batik ini menggunakan motif
batik yang sudah ada sebelumnya, yang menjadi ciri khas dari batik di Yogyakarta sendiri.
a Motif Parang Kusumo
Susanto, Mikke 2011: 291 Parang Jawa . berarti “senjatapisau
tajam”atau permukaan bumi yang berbatu”, merupakan corak dalam ornament atau biasa dipakai dalam motif batik. Motif parang atau liris juga merupakan motif
yang tersusun menurut garis miring atau garis diagonal. Dan Hamzuri 1981: 39 berpendapat bahwa Kata “Kusuma = Bunga”.
Ditambah dengan penjelasan dari Prasetyo, Anindito 2012: 51 untuk filosofi batik parang kusuma adalah dari kata kusuma yang memiliki arti bunga
yang mekar, diharapkan pemakainya terlihat indah. Motif ini sering dipakai sebagai kain saat tukar cincin.
Selain memiliki makna bunga yang mekar motif ini bermakna hidup harus dilandasi dengan perjuangan untuk mencari kebahagiaan lahir batin. Di
masyarakat jawa, kebaikan pribadinya tanpa meninggalkan norma-norma yang berlaku dan sopan santun agar dapat terhindar dari bencana lahir batin. Yang
artinya mereka harus mematuhi aturan bermasyarakat dan taat kepada perintah Tuhan.Jadi diharapkan dalam menggunakan motif ini si pengguna tidak lupa
dengan Tuhan-Nya dan norma-norma yang sudah ada walaupun zaman semakin terbuka lebar.
b Motif Parang klitik
Telah dijelaskan diatas tentang pengertian parang, yang merupakan senjata tajam. Namun selain sebagai senjata tajam menurut Wulandari, Ari 2011: 136 :
Batik parang atau lereng berasal dari kata mereng lereng bukit. Sejarah Motif ini diawali dari pelarian keluarga kerajaan dari Keraton Kartasura.
Para keluarga raja terpaksa bersembunyi di daerah pegunungan agar terhindar
dari bahaya………………………………………………………………..Motif
ini berarti juga tapa brata para raja yang dilakukan di lereng-lereng pegunungan untuk mendapatkan wahyu atau wangsit. Dalam tapa brata
itulah mereka dapat melihat pemandangan gunung dan pegunungan yang berderet-deret sehingga menyerupai pereng atau lereng.
Ditambah dengan pengertian dari kata klitik sendiri dalam Hamzuri 1981: 38 “Klitik = Small”. Kemudian dalam Lisbijanto, Herry 2013: 67 berpendapat,
parang klitik merupakan motif yang menggambarkan perilaku manusia yang halus budi pekertinya dan bijaksana. Makna dalam menggunakan motif ini adalah agar
putri raja dapat mempunyai budi pekerti yang halus dan bijaksana. Jadi dengan menggunakan motif batik ini diharapkan si pengguna memiliki budi pekerti yang
halus dan bijaksana sesuai dengan fungsi motif sebelumnya.. c
Motif Gurdo. Pengertian “Gurdo = garuda” Hamzuri 1981: 59. Susanto, 1973: 265
Garuda merupakan gambaran makhluk khayalan yang perkasa dan sakti dan juga sebagai kendaraan Dewa Wisnu. Di dalam morif batik Garuda digambarkan
sebagai stilir dari burung garuda yang perkasa seperti Rajawali. Bentuk gambar stilir dari burung garuda ini seolah-olah menggambar makhluk bersayap. Dari
bentuk stilirnya pangkal sayap digambarkan kepala burung atau kepala burung raksasa atau yang lainnya, kemudian untuk bentuk sayapnya dapat dibedakan atas
dua macam, yaitu sayap terbuka dan tertutup. Motif Garuda ini dalam motif batik sangat terkenal dan hampir menjadi ciri umum yang artinya motif garuda ini
adalah ciri khas batik Indonesia. Ada juga yang berpendapat, seperti diketahui garuda merupakan burung
besar. Dalam pandangan jawa burung garuda sangat penting kedudukannya, Motif gurda ini memiliki dua buah sayap lar dan ditengah terdapat badan dan ekor.
Selain sebagai tunggangan Dewa Wisnu juga sebagai lambang matahari. Dalam masyarkat jawa garuda selain sebagai simbol kehidupan juga sebagai simbol
kejantanan. Jadi dengan menggunakan motif gurdo ini diharapkan selalu dalam kecukupan dan kebahagiaan serta tabah dan kokoh. Serta akan terlihat kuat dan
berwibawa. Langkah selanjutnya adalah pembuatan sket-sket gambar alternatif yang
telah dieksplorasi sebanyak 40 sket alternatif, yang kemudian dari sket-sket alternatif tersebut di tentukan sket terpilih sebanyak 10 sket alternatif terbaik yang
diwujudkan. Kertas yang digunakan untuk membuat sket tersebut menggunakan kertas A4, secara manual menggunakan pensil. Sket-sket motif batik, Sket
alternatif, dan sket terpilih berikut adalah sket-sket :
1 Sket Motif Batik
Gambar IV: Sket Motif Batik Parang Klitik
Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015
Gambar V: Sket Motif Batik Parang Kusumo
Sumber: Dokumentasi Dwi Astuti, Agustus 2015