BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk, yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan sub-sub suku bangsa yang hidup dan tinggal di
daerah-daerah tertentu di Indonesia. Masing-masing suku bangsa memiliki adat istiadat, bahasa, agama dan sebagainya yang berbeda satu sama lain. Masing-
masing suku bangsa dan sub-subsuku bangsa ini memiliki kekhasan yang merupakan kenyataan yang unik, yang menggambarkan kekayaan budaya yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia. Kalimantan Tengah merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang dihuni
oleh suku Dayak. Secara geografis dan domisili penduduk suku Dayak umumnya tinggal di sepanjang sungai Kahayan dan sungai Kapuas. Keberadaan suku bangsa
Dayak terbagi dalam 405 subsuku, yang masing-masing subsuku bangsa ini mempunyai bahasa dan adat-istiadat sendiri-sendiri. Dari 405 subsuku tersebut, ada
yang membagi nya ke dalam “tujuh kelompok suku Dayak yakni, Dayak Ngaju,
Dayak Apu Kayan, Dayak Iban atau Dayak Laut, Dayak Kalimantan atau Dayak Darat, Dayak Murut, Dayak Punan dan Dayak Ot Danum.
”
1
Masing-masing suku Dayak tersebut memiliki pula kekhasan adat istiadat dan bahasa yang berbeda.
Sebelum datangnya agama-agama besar dan resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia, masyarakat Dayak telah memiliki kepercayaan sendiri, yang
disebut Kaharingan atau disebut juga Agama Helo Agama dulu.
2
Syarif Ibrahim Alqadrie mengungkapkan: “ada semacam persepsi umum berkaitan dengan
1
Tjilik Riwut, Kalimantan Membangun; Alam dan Kebudayaan, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,1993, 234-235.
2
ibid., 317.
sistem kepercayaan nenek moyang masyarakat Dayak bahwa, ada unsur hubungan timbal balik antara kepercayaan dengan nilai budaya yang dianut oleh masyarakat
setempat, yang mempengaruhi dan mewarnai sistem kehidupan mereka .”
3
Secara implisit bahwa, kepercayaan Kaharingan memuat aturan-aturan kehidupan yang
nilai-nilai dan isinya bukan hanya sekedar adat-istiadat, tetapi juga ajaran untuk berperilaku. Ajaran-ajaran ini diajarkan secara lisan oleh orang tua kepada anak-
anaknya secara turun-temurun. Ajaran dan kebiasaan yang dilakukan secara turun- temurun ini dikenal dengan istilah hadat adat.
Pengertian hadat adat dalam masyarakat Dayak Ngaju adalah: “bentuk-
bentuk keluhuran yang bersumber pada kekuatan Raying Hatalla Langit Sang Pencipta.
”
4
Hadat ini mencakup tentang tata cara kehidupan dan kerja sehari-hari, etika pergaulan sosial, aspek perkawinan, aspek hukum, aspek ritual keagamaan,
serta hal-hal yang menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan keyakinan dan kepercayaan, atau agama suku tersebut. Karena itu, hadat yang telah dilakukan
secara turun temurun ini merupakan ukuran dan penilaian atas suatu perbuatan dalam kehidupan suku Dayak Ngaju. Bagi masyarakat Dayak, pelanggaran
terhadap hadat dapat mengakibatkan ketidakseimbangan alam yang dapat merugikan kehidupan manusia. Sebab itu, bila ada pelanggaran terhadap adat
biasanya keadaan
itu dipulihkan
melalui upacara-upacara
keagamaan. Implementasi dari hadat ini masih dilakukan sampai sekarang dalam kehidupan
sosial budaya suku Dayak.
3
Syarif Ibrahim Alqadrie, Kebudayaan Dayak; Aktualisasi dan Transformasi, “Mesianisme dalam
Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat Keterkaitan antara Unsur Budaya Khususnya Kepercayaan Nenek Moyang dan Realitas Kehidupan Sosial Ekonomi.
” Jakarta: LP3S-Insitute of Dayakology Research and Development dan PT Grasindo, 1994, 19-20.
4
Hermogenes Ugang, Menelusuri Jalur-jalur Keluhuran. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1983, 48-
49.
Suku Dayak Ngaju memiliki filosofi hidup “Belom Bahadat” artinya
“hidup beradat.” Filosofi ini melandasi seluruh aspek kehidupan orang Dayak Ngaju. Pengaruh dan peranan adat dalam masyarakat Dayak Ngaju sangat kuat.
Salah satu tatanan kehidupan yang masih dipertahankan dan tetap dilestarikan adalah penyelenggaraan perkawinan.
Dalam masyarakat Dayak Ngaju, perkawinan merupakan sesuatu yang luhur dan suci. Menurut kepercayaan Kaharingan, Asal mula adat kawin dalam
masyarakat Dayak Ngaju sebagai berikut:
Sejak nenek moyang yang pertama, bernama Manyimei Tunggul Garing Janjahunan Laut lelaki dan Putir Putak Bulau Janjulen Karangan perempuan. Mereka melangsungkan
perkawinan secara tidak resmi, tanpa “ditahbiskan” oleh Raying Hatalla. Akibatnya, kehamilan Putir berkali-kali mengalami keguguran mangelus. Kehamilan pertama,
terjadi kegururan darah yang dibuang ke laut menjelma menjadi moyang roh gaib hantu laut, moyang sakit penyakit peres-sampar dan moyang roh-roh gaib pengganggu di
kawasan laut. Kehamilan kedua, darahnya terbuang ke sungai menjelma menjadi roh gaib unsur pengganggu di air, moyang ikan tabu tertentu, moyang lintah-jelau. Kehamilan
ketiga, darahnya terbuang ke laut, disambar petir dan kilat, menjelma menjadi moyang banteng, kerbau dan sapi. Kehamilan keempat, darahnya terbuang ke hutan, menjelma
menjadi moyang tandang haramaung harimau, moyang bahutai bungai, moyang roh-roh jahat di hutan. Kehamilan kelima, darahnya ditutup dengan perisai dan tombak disambar
petir dan kilat halilintar, menjelma menjadi oknum penjaga bulan yang disebut Talawang Batulang Bunu. Kehamian keenam, darahnya terbuang ke hutan rimba, menjelma menjadi
berbagai jenis akar, kayu dan moyang dari berbagai jenis ular. Kehamilan ketujuh, darahnya terbuang ke bawah rumah, menjelma menjadi Raja Tingkaung Langit moyang
segala jenis anjing. Kehamilan kedelapan, darahnya terbuang ke dapur, disambar petir, menjelma menjadi Putir Balambang Kawu moyang jenis kucing. Kehamilan kesembilan,
darahnya terbuang ke halaman rumah, disambar petir dan kilat menjelma menjadi moyang segala jenis ayam kampung. Kehamilan kesepuluh, darahnya terbuang ke belakang rumah,
menjelma menjadi moyang berbagai jenis babi hutan dan babi kampung. Kehamilan kesebelas, darahnya terbuang ke belakang kampung menjelma menjadi berbagai jenis
kayu, rumput tertentu sebagai bahan obat yang berguna bagi manusia. Dan kehamilan kedua belas, ke rumpun sawang menjelma menjadi moyang 14 macam unsur patahu, roh
gaib penjaga pemukiman manusia. Melihat hal itu, Raying Hatalla Langit kemudian mengirim Raja Uju Hakanduang untuk meresmikan perkawinan mereka serta
menyampaikan pesan, nasehat dan petunjuk yang disebut kawin suntu. Setelah perkawinan itu mendapat restu dari Raying Hatalla langit dan diresmikan menurut adat, barulah
mereka mendapatkan anak yang sempurna seperti: Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen dan Maharaja Bunu. Sejak itu, cara-cara atau adat suatu perkawinan diatur. Hal ini pulalah
yang menjadi dasar pokok serta acuan perkawinan orang Dayak.
5
5
Y. Nathan Ilon, Ilustrasi dan Perwujudan Lambang Batang Garing dan Dandang Tingang: Sebuah Konsepsi Memanusiakan Mnausia dalam Filsafat Suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah,
Palangka Raya: PBP DATI I Kalimantan Tengah, 1991, 17-19; Hermogenes Ugang, Menelusuri... 71-72; Majelis Besar Alim Ulama Kaharingan Indonesia MBAUKI, Panaturan Tamparan Taluh
Handiai-Awal Segala Kejadian, Palangka Raya: CV. Litho Multi Warna, 1996.
Perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan adat yang berlaku, bertujuan untuk mengatur hubungan antara pria dan wanita agar memiliki perilaku yang baik
dan tidak tercela belom bahadat; menata kehidupan rumah tangga yang baik sejak dini, santun, beradab dan bermartabat; menetapkan status sosial dalam masyarakat,
sehingga ketertiban masyarakat tetap terpelihara.
6
Masyarakat Dayak Ngaju sangat menghindari bentuk perkawinan yang tidak lazim karena hal itu akan sangat
memalukan, tidak hanya bagi calon kedua mempelai tetapi juga bagi seluruh keluarga dan juga keturunan mereka kelak.
Orang Dayak yang telah menyatu dengan tatanan hidup yang telah diwariskan oleh nenek moyang di masa lalu, sangat menjunjung tinggi nilai luhur
budaya itu. Sebab itu, sebelum acara pelaksanaan perkawinan dan resepsi pesta kawin dilaksanakan, biasanya terlebih dahulu dilaksanakan acara adat, yaitu
penyerahanpemenuhan hukum adat, yang disebut manyarah jalan hadat penyerahan barang-barang adat perkawinan. Di kalangan suku Dayak Maanyan,
Kalimantan Tengah, upac ara perkawinan disertai dengan “pembayaran harga
pengantin, yang terdiri dari uang, beberapa buah gong, dan barang-barang pusaka lainnya
.”
7
Tetapi dalam masyarakat Dayak Ngaju, pemberian barang-barang hadat bukanlah untuk membayar harga pengantin, tetapi merupakan penghargaan yang
diberikan oleh pihak pengantin laki-laki terhadap pengantin perempuan. Pada mulanya, persyaratan barang-barang adat perkawinan yang harus dipenuhi oleh
pihak laki-laki tidaklah mudah. Sebagai contoh perkawinan dalam mitologi suku Dayak Ngaju, Perkawinan Raja Garing Hatungku ketika mengambil Nyai Endas
6
Tim Khusus Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah, “Perkawinan Menurut Adat Dayak
Kalimantan Tengah” dalam rapat Penyusunan Draft Kawin Adat tanggal 27 Mei 2009 Pukul 16.00 Wib. Dokumen Pribadi tidak diterbitkan, 1.
7
Lihat Lebar, 1972:189, sebagaimana ditulis oleh Yekti Maunati dalam Identitas Dayak; Komodifikasi dan Politik Kebudayaan, 78-79.
Lisan Tingang turunan Raja Bunu sebagai istrinya. Calon istrinya mengajukan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi, ia mengalami pergumulan batin yang
cukup berat karena persyaratan yang diajukan sangat sulit dipenuhi. Tetapi Ranying Hatalla tidak membiarkan Garing Hatungku menderita terlalu lama, sehingga ia
menganugerahkan segala sesuatu yang diminta oleh Nyai Endas.
8
Perjanjian perkawinan menurut adat Dayak Ngaju adalah sebuah perjanjian tertulis yang isinya telah disepakati bersama dan ditandatangani oleh kedua
mempelai, orang tua atau wali kedua mempelai, saksi-saksi dari kedua belah pihak, Damang atau mantir adat. Secara garis besar, Surat perjanjian perkawinan tersebut
terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1.
pernyataan dari kedua calon mempelai; 2.
pemenuhan ketentuan hukum adat Dayak Ngaju mengenai jalan hadat yang harus dipenuhi oleh pihak mempelai laki-laki dan diberikan kepada
pihak mempelai perempuan; 3.
Perjanjian kawin antara kedua belah pihak, mengenai hak dan kewajiban masing-masing, sanksi hukum bagi yang yang melakukan kesalahan,
pengaturan pembagian harta rupa tangan, termasuk pembagian hak anak dan hak ahli waris jika perkawinan itu tidak mendapat anak.
Sebagian besar suku Dayak Ngaju sekarang masih melaksanakan ketentuan- ketentuan adat seperti yang berlaku dalam surat perjanjian perkawinan tersebut,
baik yang beragama Kaharingan, Kristen, Katolik maupun Islam, sekalipun masing- masing agama itu juga telah memiliki perjanjian kawin secara agamawi. Ada juga
8
Wawancara dengan Bajik R. Simpei, Basir dan Tokoh Masyarakat Adat Dayak di Kota Palangka Raya, 21 Mei 2011
masyarakat Dayak Ngaju yang beragama Muslim, yang tidak melaksanakan jalan hadat kawin ini karena pengaruh budaya Banjar, biasanya hanya membayar
sejumlah uang yang telah disepakati kedua belah pihak, yang disebut Jujuran.
9
Perlu diakui bahwa tidak semua masyarakat Dayak Ngaju di Palangka Raya memahami sepenuhnya mengenai makna perjanjian perkawinan itu. Terkadang
hanya tua-tua adat dan para orang tua yang telah berpengalaman saja yang memahami makna Perjanjian Perkawinan, sedangkan pasangan muda umumnya
kurang mengetahui akan hal itu. Dan, berdasarkan pengakuan dari beberapa orang yang peneliti temui, kebanyakan dari mereka bukan hanya tidak memahami makna
perjanjian kawin saja, tetapi mereka juga tidak memahami makna yang tersirat pada barang-barang hadat dalam perkawinan. Hal ini dapat dimengerti karena
bahasaistilah barang-barang hadat yang digunakan dalam Surat Perjanjian Kawin tersebut menggunakan bahasa Dayak asli, yang sudah jarang digunakan sehari-hari.
Lagipula, arti maupun makna dari barang-barang adat tersebut tidak dicantumkan secara tertulis dalam surat perjanjian kawin. Sehingga pemahaman mengenai jalan
hadat hanya sebatas upacara saja. Selain itu, para orang tua pada masa sekarang kurang memberikan
pemahaman tentang hal itu kepada generasi muda. Mungkin karena tidak punya waktu atau terlalu sibuk, atau mungkin juga menganggap bahwa hal itu tidak
terlalu penting, sehingga ajaran tradisional yang diajarkan dari mulut ke mulut oral tradisional sebagaimana yang telah diajarkan oleh nenek moyang mulai berkurang.
Namun, tidak dipungkiri bahwa ada juga pasangan yang memahami tentang arti dan makna dari perjanjian kawin yang mereka laksanakan. Hal itu mungkin terjadi
9
Ada juga masyarakat Dayak Ngaju yang beragama Muslim, yang tidak melaksanakan jalan hadat kawin ini karena pengaruh budaya Banjar, biasanya hanya membayar sejumlah uang yang telah
disepakati kedua belah pihak, yang disebut Jujuran.
karena orang tua mereka telah mewariskan pengetahuan itu sebelum mereka melangsungkan perkawinan.
Pengetahuan tentang Perjanjian perkawinan akan dipaparkan dalam pandangan suku Dayak Ngaju di Palangka Raya. Untuk mengetahui tentang
perjanjian, dibutuhkan kerangka konseptual mengenai perjanjian maupun perkawinan, hukum adat dan hal-hal yang berkaitan dengan hal tersebut. Konsep
perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 digunakan sebagai perbandingan untuk tujuan analisa dalam keberadaannya
yang berdampingan dengan adat perkawinan suku Dayak Ngaju Kalimantan Tengah.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah digambarkan di atas, maka peneliti akan memfokuskan penelitian pada perjanjian perkawinan
masyarakat Dayak Ngaju. Tesis ini berjudul: MAKNA PERJANJIAN PERKAWINAN MENURUT ADAT DAYAK NGAJU, KALIMANTAN
TENGAH. 2.
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan paparan di atas, maka rumusan masalah dalam tesis ini adalah: “Bagaimana makna Perjanjian Perkawinan menurut Adat Dayak Ngaju?”
3. Tujuan