PENERAPAN REHABILITASI SOSIAL TERHADAP KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014)
ABSTRAK
PENERAPAN REHABILITASI SOSIAL TERHADAP KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Studi Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014)
Oleh :
ERZA CECHELYA
Korban penyalahgunaan narkotika adalah seorang yang sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, ditipu, diperdaya, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. kebijakan hukum pidana dalam formulasi ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai sanksi yang diberikan kepada pelaku penyalahgunaan narkotika , yaitu berupa sanksi pidana dan sanksi tindakan, hal ini diatur dalam (Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014) tentang penanganan pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi. permasalahan pada penelitian berikut adalah bagaimanakah penerapan rehabilitasi sosial terhadap korban penyalahgunaan narkotika (studi Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014)? faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat dalam penerapan rehabilitasi sosial terhadap korban penyalahgunaan narkotika(studi Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014)?
Penelitian ini menggunakan pendekatan secara yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Adapun sumber dan jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh dari studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Bandar lampung , kepala seksi pasca rehabilitasi, lembaga rehabilitasi Yayasan Sisnar Jati, dan kalangan akademisi jurusan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitaas Lampung. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan .
Berdasarkan dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa Penerapan rehabiliatsi sosial korban penyalahgunaan narkotika berdasarkan Peraturan Bersama Mahkaamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014 yaitu terlaksananya proses rehabilitasi sosial di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemidanaan secara sinergis dan terpadu.sehingga pelaksaan rehabilitasi sosial sendiri berdasarkan Pasal 3 dilengkapi dengan surat keterangan dari Tim Asesmen Terpadu, untuk dapat ditempatkan kepada masing-masing instansi rehabilitasi sosial.Ketika pecandu telah melewati masa rehabilitasi medis, maka pecandu tersebut berhak untuk menjalani rehabilitasi sosial dan program pengembalian ke masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sarana rehabilitasi sosial terpidana narkotika diharapkan menjalin kerjasama dengan panti rehabilitasi sosial milik pemerintah atau
(2)
masyarakat, atau dengan lembaga swadaya masyarakat yang memberikan layanan pasca rawat. faktor yang menjadi penghambat dalam penerapan rehabilitasi sosial terhadap korban penyalahgunaan narkotika yaitu faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, faktor budaya, dan faktor masyarakat.
Saran penulis dari hasil penelian dan pembahasan yaitu agar pemerintah dapat membuatkan adanya rumah dampingan baik di dalam atau diluar lembaga , hal ini sangat membantu bagi korban penyalahguna narkotika yang sangat membutuhkan rehabilitasi sosial namun terbentur masalah ekonomi yang minim . Fungsi dari Rumah Dampingan itu sendiri sebagai, menampung, memelihara , dan menerima baik menerima layanan dan konsultasi bagi orang tua penyalahguna narkotika / keluarga , penyalahguna narkotika yang ingin direhabilitasi sosial , mantan penyalahguna narkotika / pasca rehabilitasi . Agar aparat penegak hukum dapat lebih memhami dan menjalankan peraturan-peraturan dalam menjalnkan rehabilitasi soisal kepada korban penyalahgunaan narkotika .Perlunya penambahan anggota-anggota untuk turut serta membantu proses rehabilitasi sosial agara selanjutnya dapat berjalan dengan baik.
Kata Kunci : Penerapan, Rehabilitasi Sosial, Narkotika
(3)
PENERAPAN P (Studi Peraturan B
Sebagai
F
N REHABILITASI SOSIAL TERHADAP K PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA Bersama Mahkamah Agung nomor : 01/PB
Oleh
ERZA CECHELYA
Skripsi
agai salah satu syarat untuk mencapai gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2015
KORBAN B/MA/III/2014)
(4)
PENERAPAN REHABILITASI SOSIAL TERHADAP KORBAN PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA
(Studi Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014)
(Skripsi)
Oleh:
ERZA CECHELYA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2015
(5)
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian...8
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ...8
D. Kerangka Teori dan Konseptual ...9
E. Sistematika Penulisan ...13
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Narkotika ...15
B. Pengertian Rehabilitasi...18
C. Korban Penyalahgunaan Narkotika...20
D. Perlindungan Korban Penyalahgunaan Narkotika ...24
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ...28
B. Sumber dan Jenis Data ...29
C. Penentuan Narasumber ...31
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ...31
(6)
IV.HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Narasumber……….34
B. Penerapan Rehabilitasi Sosial Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor :
01/PB/MA/III/2014) ………35
C. Faktor yang menjadi penghambat Penerapan Rehabilitasi Sosial Terhadap Korban Penyalahgunaan NarkotikaPeraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014………….………51
V. PENUTUP
A. Simpulan……….60
B. Saran………...61
(7)
(8)
(9)
MOTO
jika kamu berbuat baik maka (beraarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatatan itu bagi dirimu sendiri
(QS.S. Al israa ayat 7 )
Tantangan memang penghalang namun jadikan itu sebagai pembelajaran
(10)
PERSEMBAHAN Bismillahirrohmanirrohim
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan yang telah memberikan kesempatan sehingga dapat ku selesaikan sebuah karya ilmiah ini dan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang selalu kita harapkan Syafaatnya di hari akhir kelak. Aku
persembahkan karya ini kepada: Kedua orang tuaku:
Ayahanda Hi. Zainal Husin,S.H,M.H. dan Ibunda Hj. Dra.Erlina
yang selalu mencintai, menyayangi mengasihi serta mendoakanku dengan tulus sebagai penyemangat dalam hidupku
Serta untuk kakakku dan adikku Liza Maulidya Sari dan Zelda Triyani yang senantiasa memberikan dukungan kepada ku sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan
Untuk sahabat dan teman-teman seperjuangan yang selalu memberikan dukungan dan motivasi serta menemaniku dalam suka maupun duka dalam
mencapai keberhasilanku. Almamaterku tercinta
(11)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Bandar lampung pada tanggal 26 april 1993. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara buah hati dari pasangan Ibu Dra. Erlina dan Bapak Zainal Husin.S,H.M,H.
Penulis menempuh jenjang pendidikan pertama kali pada taman kanak-kanak (TK) Beringin Raya pada tahun 1998 Sekolah Dasar (SD) Yayasan Kartika Jaya SD Kartika II-6 pada Tahun 2005. Sekolah menengah pertama (SMP) Negeri 14 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2008 dan sekolah menengan atas (SMA) Negeri 7 Bandar Lampung diselesaikan pada Tahun 2011.
Pada Tahun 2011 penulis terdaftar sebagai Mahasiswi Fakultas HukumUniversitas Lampung melalui jalur Ujian Mandiri. Pada Tahun 2014 penulis melaksanakan mata Kuliah Kerja Mata (KKN) periode II di Desa Negeri Agung, Kecamatan Marga Tiga, Kabupaten Lampung Timur. Kemudian pada Tahun 2015 penulis menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung .
(12)
SANWACANA
Puji syukur ku persembahkan atas kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yeng telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul: “Penerapan Rehabilitasi Sosia Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika (Studi Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014)”. Skripsi ini sebagai syarat
untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan berbagai pihak, dan segala sesuatu dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kata sempurna mengingat keterbatasan penulis. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Sugeng P. Harianto Selaku Rektor Universitas Lampung; 2. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Lampung;
3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung selaku Pembimbing I yang senantiasa meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis serta memberikan saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini;
(13)
4. Ibu Firganevi, S.H., M.H. Selaku Sekertaris Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung
5. Bapak A. Irzal Fardiansyah, S.H., M.H. selaku Pembimbing II yang telah memberikan saran, arahan, dan bimbingan serta nasehat kepada penulis dengan penuh kesabaran dalam menyelesaikan skripsi ini;
6. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku Pembahas I yang telah banyak memberikan saran dan masukan yang sangat berharga kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
7. Bapak Muhammad Farid, S.H., M.H. selaku Pembahas II yang telah memberikan saran, kritik dan arahan kepada penulis dalam perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini;
8. Bapak Syamsir Syamsyu, S.H., M.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberi bimbingan akademik, bantuan dan saran kepada penulis selama ini;
9. Seluruh Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya di Bagian Hukum Pidana yang telah banyak memberikan bekal ilmu pengetahuan (hukum pidana) kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Lampung;
10. Seluruh Bapak/Ibu Karyawan di Fakultas Hukum Universitas Lampung; 11. Seluruh narasumber Bapak Dr. Maroni , S.H., M.H. Selaku Dosen
Fakultas Hukum Universitas Lampung Bagian Hukum Pidana , Bapak Drs. Zulkifli, M.H selaku Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi Lampung , Bapak Tarkat Sunarwan, S.T selaku Kepala Seksi Pasca Rehabilitasi Badan Narkotika Provinsi Lampung , Bapak Hi. Adi Wibowo , Bapak A.
(14)
Faizuddin.Z .S,pd , dan Ibu Rostina dan segenap Pengurus Lembaga Rehabilitasi Sosial Sinaar Jati yang telah meluangkan waktu untuk memberikan informasi berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
12. Ayahanda Hi. Zainal Husin,S.H,M.H.dan Ibunda Hj. Dra.Erlina Terima
kasih banyak atas do’a dan kasih sayang ayah dan ibu dalam mendidik dan
membesarkanku dengan tulus. Semoga Allah SWT membalas segala yang telah ayah dan ibu korbankan untuk kehidupanku dengan kebahagiaan di dunia dan akhirat Amiin.
13. Kakakku Liza Maulidiya Sari dan Adikku Zelda Triyani yang telah
memberikan semangat serta do’a untuk kelancaran dalam penulisan skripsi
ini dan seluruh keluarga besarku yang telah menantikan kelulusanku. 14. Nenekku Hj. Rasyidah Dan Hj. Nuraini yang selalu mendoakanku .
15. Sepupuku yang baik hati akbar, reza, bibi, al, aris, agus, dan ses jihan yang selalu menemaniku dan memberikan semangat untuk skripsi.
16. Paman dan Bibiku abati, minak, ami, paksu , wak ibu, bunda dewi, mami, mother, dan muda yang selalu memberikan dukungan dan semangat dalam menyelesaikaan skripsi .
17. Kekasihku Qadhi Muttaqien Sengaji, S.H. yang selalu memberikan semangat dan motivasi selama ini penulis ucapkan terima kasih.
18. Sahabat-sahabatku tercinta: Destry fianica, Farah Zatalini, Yulia Dwiyanti, Rika Lusiana, Amelia Balqis, Friska Annisa, Mia Respani, Indri Eka Septiani, Septriyanti dan Des Wellman Kurniasyah. Serta seluruh teman-teman FH Unila 2011 yang lainnya terima kasih banyak atas kebersamaan kita selama ini dan terima kasih atas semangat, motivasi kalian, tanpa
(15)
kalian semua tidak akan berkesan. Semoga kita semua dapat menggapai kesuksesan di Dunia dan Akhirat Amin Ya Rabbal Alamin.
19. Keluarga dan teman-teman baruku semasa KKN: Desa negeri agung fajri (korcam) ana, aini, febry, petrus, lady, yulia, agam, puji, popy, laras, reza, dewi, bella, terima kasih telah memberikan pengalaman yang baru, kebersamaan dan kenangan yang amat berarti bersama kalian.
20. Semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini, teman-teman di Bagian Hukum Pidana dan seluruh teman-teman Angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Lampung yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas perhatian dan bantuan yang telah diberikan selama masa pendidikan.
Semoga skripsi ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua dan pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis. Saran dan kritik yang bersifat membangun akan selalu diharapkan. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua serta semoga tali silaurahmi diantara kita tetap erat dan kita dipertemukan kembali dalam keridhoan-Nya. Aamiin Allahumma Ya
Rabbal’alamin.
Bandar Lampung, Juli 2015 Penulis,
(16)
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin komplek seiring dengan perkembangan zaman yang begitu pesat membuat manusia melakukan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhannya. Tentu tidak semua cara untuk memenuhi kebutuhan tersebut dapat dibenarkan, salah satunya adalah dengan melakukan kejahatan yang bertentangan dengan norma masyarakat. Berbagai bentuk kejahatan semakin berkembang. Salah satunya yakni kejahatan narkoba, yang saat ini menjaditrenddi seluruh lapisan dunia tidak terkecuali di Indonesia.1
Meskipun narkoba sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalahgunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa.
Penyalahgunaan Narkotika sebagai suatu tindak pidana telah memunculkan korban-korban penyalahgunaan narkotika dalam masyarakat. Korban
1
M. Dody Sutrisna Dkk,Pertanggungjawaban Pidana Penyalahgunaan Narkoba yang dilakukan Oleh Warga Negara Asing, Program Kekhususan Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana, Diakses dari www.ojs.unud.ac.id/index.php/kerthasemaya/article Pada tanggal 27 Oktober 2014 Pukul 19.03 WIB.
(17)
2
penyalahgunaan narkotika dalam masyarakat sendiri tidak mengenal usia, jenis kelamin, suku, agama dan penggolongan-penggolongan lainnya. Korban penyalahgunaan narkotika sendiri berdasarkan Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dibagi menjadi dua, yaitu pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis2, sedangkan Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak atau melawan hukum3.
Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan bahwa Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis. sehingga dari pengertian tersebut, maka dapat diklasifikasikan 2 (dua) tipe Pecandu Narkotika yaitu :
1. Orang yang menggunakan narkotika dalam keadaaan ketergantungan secara fisik maupun psikis; dan
2. Orang yang menyalahgunakan narkotika dalam keadaan ketergantungan secara fisik maupun psikis.
Untuk tipe yang pertama, maka dapatlah dikategorikan sebagai pecandu yang mempunyai legitimasi untuk mempergunakan narkotika demi kepentingan pelayanan kesehatan dirinya sendiri. Selanjutnya untuk Pecandu Narkotika tipe kedua, maka dapatlah dikategorikan sebagai pecandu yang tidak mempunyai
2
Pasal 1 butir 13 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika
3
(18)
3
legitimasi untuk mempergunakan narkotika demi kepentingan pelayanan kesehatannya.4
Tingginya penyalahgunaan narkotika di Bandar Lampung dapat dilihat dari jumlah kasus narkotika yang ditangani oleh Ditreserse Narkotika Polda Lampung 3 (tiga) tahun terakhir dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 adalah sebanyak 1218 kasus atau rata-rata adalah 828 kasus setiap tahunnya. Sementara itu jumlah perkara yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Tanjung Karang selama tiga tahun terakhir dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2014 adalah sebanyak 1218 kasus atau rata-rata adalah 828 kasus setiap tahunnya dimana dari 1218 kasus tersebut hanya 125 (Satu Dua Lima) kasus yang dinyatakan bebas di tahun 2014 dan sisanya dijatuhi hukuman pidana penjara dan denda, hanya beberapa yang divonis dengan rehabilitasi sosial.5
Upaya penanggulangan narkotika yang dilakukan untuk mengurangi jumlah penyalahguna narkotika tersebut tidaklah cukup dengan satu cara, melainkan harus dilaksanakan dengan rangkaian tindakan yang berkesinambungan dari berbagai macam unsur,baik dari lembaga pemerintah maupun non pemerintah. Rangkaian tindakan tersebut mencakup usaha-usaha yang bersifat preventif, represifdanrehabilitative .6
Penetapan rehabilitasi bagi pecandu narkotika merupakan pidana alternative yang dijatuhkan oleh hakim dan diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman dan
4
http://hukum.kompasiana.com/2014/06/18/kualifikasi-penyalahguna-pecandu-dan-korban- penyalahgunaan-narkotika-dalam-implementasi-uu-no-35-tahun-2009-tentang-narkotika-659279.html Diakses pada tanggal 21 November 2014 Pukul 17.00 WIB.
5
Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Lampung Derektorat Reserse Narkoba.Tahun 2014
6
http://hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2014/01/JURNAL-FEBY.pdf Diakses pada tanggal 21 November 2014 Pukul 17.10 WIB.
(19)
4
juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.Ketentuan hokum yang mengatur mengenai rehabilitasi terhadap pecandu narkotika diatur dalam Pasal 54, Pasal 56, Pasal 103 dan dikaitkan dengan Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.Hal yang menarik dalam Undang-Undang 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat dalam Pasal 103 yaitu di dalam pasal tersebut memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan vonis/ sanksi bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika untuk menjalani rehabilitasi.
Berdasarkan Pasal 103 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Narkotika menyebutkan hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat melakukan dua hal. Pertama, hakim dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Kedua, hakim dapat menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatandan/atau perawatan,apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika. Secara tersirat kewenangan ini, mengakui bahwa korban peyalagunaan narkotika,selain sebagai pelaku tindak pidana juga sekaligus korban dari kejahatan itu sendiri yang dalam sudut viktimologi kerap disebut denganself victimizationatauvictimless crime.7
Sebagaian besar narapida atau tahanan kasus narkotika adalah pemakai sekaligus sebagai korban jika dilihat dari aspek kesehatan yang sesungguhnya orang-orang tersebut menderita sakit akibat pemakaian narkotika tersebut.Sehingga dengan
7
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom,Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta-PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm.100
(20)
5
memberikan sanksi pidana penjara bukanlah langkah yang tepat untuk dilakukan.Berkenaan dengan hal tersebut maka Mahkamah Agung dengan tolakukur ketentuan Pasal103 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penetapan Penyalahgunadan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Dimana SEMA Nomor 4 Tahun 2010 ini dapat dipergunakan sebagai dasar pertimbangan atau acuan hakim dalam menjatuhkan sanksi rehabilitasi.
Selain itu berdasarkan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, mengatur bahwa Pecandu Narkotika dan korban Penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi sosial. Sehingga berdasarkan Pasal tersebut dikeluarkanlah Peraturan Bersama tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.yang dikeluarkan oleh Pemahaman dan kesepakatan dari pemerintah dan aparat penegak hukum ini kemudian diwujudkan melalui Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. Nomor : 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor 11/Tahun 2014, Nomor : PER-005/A/JA/03/2014, Nomor : 1 Tahun 2014, Nomor : PERBER/01/III/2014/BNN Tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi, yang untuk penyebutan selanjutnya disingkat Peraturan Bersama.
(21)
6
Peraturan Bersama tersebut merupakan peraturan yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 2014 sehingga merupakan peraturan bersama yang masih baru dikeluarkan yang isinya mengatur bahwa penyalahguna narkotika wajib menjalankan rehabilitasi sosial dengan tujuan yang diatur di dalam Pasal 2 huruf (a) yaitu mewujudkan koordinasi dan kerjasama secara optimal penyelesaian permasalahan narkotika dalam rangka menurunkan jumlah Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika melalui program pengobatan, perawatan, dan pemulihan dalam penanganan Pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa atau Narapidana, dengan tetap melaksanakan peredaran gelap narkotika.
Dilakukannya kewajiban rehabilitasi medis ini juga berdasarkan pada Pasal 2 Huruf (b) bertujuan untuk menjadi pedoman teknis dalam penanganan Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai tersangka, terdakwa, atau narapidana untuk menjalani Rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial. Selain itu tujuannya diatur dalam Pasal 2 huruf (c) yaitu terlaksananya proses rehabilitasi sosial di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemidanaan secara sinergis dan terpadu.sehingga pelaksaan rehabilitasi sosial sendiri berdasarkan Pasal 3 dilengkapi dengan surat keterangan dari tim Asesmen terpadu, untuk dapat ditempatkan kepada masing-masing instansi rehabilitasi sosial.Ketika pecandu telah melewati masa rehabilitasi medis, maka pecandu tersebut berhak untuk menjalani rehabilitasi sosial dan program pengembalian ke masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sarana rehabilitasi sosial terpidana narkotika diharapkan menjalin kerjasama
(22)
7
dengan panti rehabilitasi sosial milik pemerintah atau masyarakat, atau dengan lembaga swadaya masyarakat yang memberikan layanan pasca rawat.
Tahap Rehabilitasi sosial dalam proses pemulihan meliputi kegiatan fisik, psikososial dan spritual layanan lanjutan dari proses terapi gangguan penggunaan narkotika, bentuk Rehabilitasi sosial yang diberikan kepada pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika biasa disebut terapi vokasional dengan memberikan pelatihan kepada korban penyalahgunaan narkotika antara lain : otomotif, service alat-alat elektronik, kerajinan tangan, multimedia, fotografi, pertanian dan peternakan, dan lain-lain sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-masing klien.
pecandu narkoba tidak lagi bermuara pada sanksi pidana penjara melainkan bermuara di tempat rehabilitasi , karena sanksi bagi pecandu disepakati berupa rehabilitasi8. Berdasarkan hal tersebut diatas, penulis tertarik untuk membuat
karya ilmiah dalam bentuk skripsi dengan judul“Penerapan Rehabilitasi Sosial Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika (Studi Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014)
8
(23)
8
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian dan latar belakang di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Bagaimanakah Penerapan Rehabilitasi Sosial Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika (Studi Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014) ?
2. Faktor-faktor apakah yang menjadi penghambat dalam Penerapan Rehabilitasi Sosial Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika(Studi Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014) ?
2. Ruang Lingkup
Ruang lingkup didalam penelitian ini yaitu hukum pidana dengan kekhususan bidang ilmu viktimologi dengan pokok pembahasan perlindungan korban penyalahgunaan narkotika yakni dengan melakukan kewajiban rehabilitasi terhadap korban penyalahgunaan narkotika yang dilakukan di Bandar Lampung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk:
a. Mengetahui Penerapan Rehabilitasi Sosial Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika (Studi Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014)
(24)
9
b. Mengetahui dan memahami faktor-faktor penghambat dalam Penerapan Rehabilitasi Sosial Terhadap Korban Penyalahgunaan Narkotika (Studi Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014).
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan kegunaan praktis, yaitu:
a. Kegunaan Teoritis
Hasil skripsi ini diharapkan memberikan tambahan pemikiran terhadap ilmu terhadap korban (viktimologi) bagi kalangan mahasiswa, masyarakat dan para penegak hukum.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan pemahaman serta upaya pencegahan bagi pengguna narkotika serta bagi semua pihak yang terkait di dalam pelaksanaan kewajiban rehabilitasi sosial. Khususnya bagi korban penyalahgunaan narkotika.
D. Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya berguna untukmengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.9
9
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum, Jakarta, Bumi Aksara: 1983, hlm. 25.
(25)
10
Hak- hak para korban menurut menurut Van Boven adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan, dan hak atas reparasi ( pemulihan ), hak reparasi yaitu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak –hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang berlaku dan juga dengan diberikan rehabilitasi medis.10
Seorang yang telah menderita kerugian sebagai suatu akibat suatu kejahatan dan/atau yang rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan. Dalam rangka memberikan perlindungan pada korban kejahatan, terdapat dua model pengaturan ialah (1) model hak-hak prosedural dan (2) model pelayanan11;
1. Model hak-hak prosedural, disini korban diberi hak untuk memainkan peran aktif dalam proses penyelesaian perkara pidana,seperti hak untuk mengadakan tuntutan pidana, membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan didengar pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara dimana kepentingannya terkait di dalamnya termasuk hak untuk diminta konsultasi sebelum diperiksa lepas bersyarat, juga hak untuk mengadakan perdamaain. Di Prancis model ini disebut Partie Civile Model atau Civil Action Model.Disni korban diberi hak juridis yang luas untuk menentukan dan mengejar kepentingan-kepentingannya
2. Model pelayanan, disini tekanan ditunjukan pada perlunya diciptakan standar-standar baku bagi pemidanaan korban kejahatan, yang dapat digunakan oleh
10
Rena Yulia, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Bandung :Graha Ilmu. 2010. Hlm 55
11
(26)
11
polisi misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka modifikasi kepada korban dan atau jaksa dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak peryataan-peryataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Disni korban kejahatan dipandang sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum lainnya.
Korban penyalahgunaan narkotika memiliki hak untuk memulihkan keadaan mereka kondisi yang semula dengan melakukan rehabilitasi. Setiap warga negera mempunyai hak-hak dan kewajiban yang tertuang dalam konstitusi maupun perundang-undangan lainya.
Hukum acara pidana mengatur berbagai hak dari tersangka atau terdakwa, sudah seharusnya pihak korban mendapatkan perlindungan, diantaranya dipenuhinya hak-hak korban mendapat perlindungan , diantaranya dipenuhi hak-hak korban meskipun diimbangi melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada.Untuk itu mengetahui hak korban secara yuridis dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Hak Para Korban, Korban berhak mendapatkan pembinaan dan rehabilitasi.12 Selanjutnya mengenai Rehabilitasi dapat diberikan pengertian sebagai berikut :
Rehabilitasi sosial adalah suatu Proses kegiatan pemulihan Secara terpadu, baik fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.13
12
Arief Gosita,Masalah KorbanKejahatan KumpulanKarangan.Jakarta:Akademika Pressindo.1993 hlm 89
13
(27)
12
Perlindungan hukum bagi korban penyalahgunaan narkotika dari segala bentuk kejahatan yang terjadi merupakan salah satu tujuan yang diharapkan tercapainya penegakan hukum dilaksanakan dengan baik, namun adakalanya penegakan hukum dalam rehabilitasi sosial tidak dapat terlaksana dengan baik karena ada beberapa faktor yang menjadi penghambat penegak hukum tersebut faktor – faktor penghambat upaya penanggulangan kejahatan .menurut soerjono soekanto14 adalah :
1. Faktor hukumnya sendiri, Undang-Undang.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentu maupun menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hokum
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup.
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau akan diteliti.15
Definisi yang berkaitan dengan judul penulisan ini dapat diartikan sebagai berikut, diantara nya adalah:
14
Soerjono Soekanto,Factor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum,Jakarta;Raja Grafindo.1983,Hlm 8
15
(28)
13
a. Penerapan adalah suatu proses, cara, perbuatan mempraktekkan atau menerapkan suatu teori, metode, dan hal lain untuk mencapai tujuan tertentu dan untuk suatu kepentingan yang diinginkan oleh suatu kelompok atau golongan yang telah terencana dan tersusun sebelumnya.16
b. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika17
c. Korban penyalahgunaan Narkotika adalah adalah Seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk,diperdaya,ditipu,dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.18
d. Narkotika zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis yang dapat menyebabkan penurunan dan perubahankesadraan hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri , dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagai terlampir dalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.19
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika ini memuat uraian keseluruhan yang akan disajikan dengan tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika penulisan.
I. PENDAHULUAN
Merupakan bab yang menguraikan latar belakang masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual, serta sistematika Penulisan.
16
David BeryPokok-Pokok Pikiran Dalam Sosiologi 1995, Hlm 100
17
Pasal1 Butir 16 Undang-UndangNo. 35 Tahun 2009TentangNarkotika
18
Pasal 1 Butir 3 Perber No 005/Ja/03/2014 Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Ke Lembaga Rehabilitasi
19
(29)
14
II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab pengantar yang menguraikan tentang pengertian-pengertian umum dari pokok bahasa yang memuat tinjauan umum mengenai pengertian narkotika tentang sumber-sumber hukum narkotika.
III. METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang membahas suatu masalah yang menggunakan metode ilmiah secara sistematis, yang meliputi pendekatan masalah, sumber, jenis data, prosedur pengumpulan dan pengelolaan. Sehingga dengan demikian memerlukan suatu motode yang jelas dan efektif agar hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat di pertanggungjawabkan.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Merupakan penjelasan dan pembahasaan yang mengemukakan hasil penelitian mengenai Penegakan Hakim terhadap Tindak pidana narkotika dan faktor apa saja yang mempengaruhi penegak hukum dalam menjatuhkan putusan dan rehabilitasi.
V. PENUTUP
Dalam bab ini dibahas mengenai kesimpulan terhadap jawaban permasalahan dari hasil penelitian dan saran-saran dari penulis yang merupakan terobosan penyelesaiaan yang berguna dan dapat menambah wawasan hukum khususnya hukum pidana.
(30)
15
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Narkotika
1. Pengertian Narkotika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintesis yang dapat menyebabkan penurunan dan perubahan kesadraan, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangnya rasa nyeri , dan dapat menimbulkan ketergantungan. Oleh sebab itu jika kelompok zat ini dikonsumsi oleh manusia baik dengan cara dihirup, dihisap, ditelan, atau disuntikkan maka ia akan mempengaruhi susunan saraf pusat (otak) dan akan menyebabkan ketergantungan. Akibatnya, system kerja otak dan fungsi vital organ tubuh lain seperti jantung, pernafasan, peredaran darah dan lain-lain akan berubah meningkat pada saat mengkonsumsi dan akan menurun pada saat tidak dikonsumsi (menjadi tidak teratur).1
Perkataan Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu “narke” yang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa. Sebagian orang berpendapat bahwa narkotika berasal dari kata “narcissus” yang berarti sejenis tumbuha-tumbuhan yang mempunyai bungan yang dapat menyebabkan orang menjadi tidak sadarkan diri.2
1
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana bagian I, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 71
2
Hari Sasangka, Narkotika dan Psikotropika Dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2003. hlm. 35
(31)
16 16
M. Ridha Ma’roef menyebutkan bahwa narkotika ada dua macam yaitu narkotika alam dan narkotika sintetis. Yang termasuk dalam kategori narkotika alam adalah berbagai jenis candu, morphine, heroin, ganja, hashish, codein dan cocaine. Narkotika ala mini termasuk dalam pengertian narkotika secara sempit sedangkan narkotika sitetis adalah pengertian narkotika secara luas dan termasuk didalamnya adalah Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.3
2. Penggolongan Narkotika
Dalam Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang narkotika dalam pasal 6 ayat (1) disebutkan, bahwa narkotika digolongkan menjadi 3 golongan, antara lain : 1). Narkotika Golongan I
Adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Yang termasuk narkotika golongan I ada 26 macam. Yang popular disalahgunakan adalah tanaman Genus Cannabis dan kokaina. Cannabisdi Indonesia dikenal dengan namaganja atau biasa disebut anak muda jaman sekarang cimeng, Sedangkan untuk Kokainaadalah bubuk putih yang diambil dari daun pohon koka dan menjadi perangsang yang hebat.
Jenis-jenis narkotika golongan I seperti tersebut diatas dilarang untuk diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi kecuali dalam jumlah terbatas untuk kepentingan tertentu. Hal ini diatur pada pasal 8 ayat 1 Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika :
Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan
3 Ibid,
(32)
17 17
pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan pengawasan yang ketat dari Menteri Kesehatan.” Dalam hal penyaluran narkotika golongan I ini hanya dapat dilakukan oleh pabrik obat-obatan tertentu dan/atau pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan untuk kepntingan pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 12 Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika.
2). Narkotika golongan II
Menurut pasal 6 ayat (1) huruf c, narkotika golongan ini adalah narkotika yang berkhsasiat dalam pengobatan dan digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Jenis narkotika golongan II yang paling populer digunakan adalah jenis heroinyang merupakan keturunan dari morfin. Heroin dibuat dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai kandungan morfindan banyak digunakan dalam pengobatan batuk dan diare. Ada juga heroin jenis sintetis yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit disebut pelhipidinedan methafone. Heroin dengan kadar lebih rendah dikenal dengan sebutan putauw.
Putauw merupakan jenis narkotika yang paling sering disalahgunakan. Sifat putauw ini adalah paling berat dan paling berbahaya. Putauw menggunakan bahan dasar heroindengan kelas rendah dengan kualitas buruk dan sangat cepat menyebabkan terjadinya kecanduan. Jenis heroin yang juga sering disalahgunakan adalah jenis dynamite yang berkualitas tinggi sedangkan brown atau Mexican adalah jenis heroinyang kualitasnya lebih rendah dari heroin putih atau putauw.
(33)
18 18
3). Narkotika golongan III
Narkotika golongan III sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 6 ayat (1) huruf c Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan dalam ketergantungan. Kegunaan narkotika ini adalah sama dengan narkotika golongan II yaitu untuk pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan tentang bagaimana cara memproduksi dan menyalurkannya yang diatur dalam satu ketentuan yang sama dengan narkotika golongan II. Salah satu narkotika golongan II yang sangat populer adalah kodein. Kodein ini ditemukan pada opium mentah sebagai kotoran dari sejumlah morfin.
B. Pengertian Rehabilitasi
Pengertian rehabilitasi narkoba adalah sebuah tindakan represif yang dilakukan bagi pencandu narkoba. Tindakan rehabilitasi ditujukan kepada korban dari penyalahgunaan narkoba untuk memulihkan atau mengembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosial penderita yang bersangkutan. Selain untuk memulihkan, rehabilitasi juga sebagai pengobatan atau perawatan bagi para pecandu narkotika, agar para pecandu dapat sembuh dari kecanduannya terhadap narkotika.
Menurut Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 mengenai penerapan tindakan rehabilitasi, yaitu:4
1. Rehabilitasi Medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
4
(34)
19 19
Rehabilitasi Medis pecandu narkotika dapat dilakukan di Rumah Sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan. Yaitu rumah sakit yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat. Selain pengobatan atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
Pasal 56
(1) Rehabilitasi medis Pacandu Narkotika dilakukan di rumah sakit oleh Menteri
(2) Lembaga rehabilitasi tertentu diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.
2. Rehabitasi Sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik secara fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud dengan bekas pecandu narkotika disini adalah orang yang telah sembuh dari ketergantungan terhadap narkotika secara fisik dan psikis.
Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dapat dilakukan di lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Menteri Sosial, Yaitu lembaga rehabilitasi sosial yang diselenggarakan baik oleh pemerintah, maupun oleh masyarakat .
(35)
20 20
Selain melalui pengobatan dan /atau rehabilitasi medis,penyembuhan Pecandu Narkotika dapat diselanggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagaman dan tradisional.
Pasal 58
Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselanggarakan baik oleh instansi pemerintah maupun oleh masyarakat.
C. Korban Penyalahgunaan Narkotika
Korban tidak saja dipahami sebagai obyek dari suatu kejahatan tetapi juga harus dipahami sebagai subyek yang perlu mendapat perlindungan secara social dan hukum . Pada dasarnya korban adalah orang baik, individu, kelompok ataupun masyarakat yang telah menderita kerugian yang secara langsung telah terganggu akibat pengalamannya sebagai target dari kejahatan subyek lain yang dapat menderita kerugian akibat kejahatan adalah badan hukum.
Bila hendak membicarakan mengenai korban, sebaiknya dilihat kembali pada budaya dan peradaban Ibrani kuno. Dalam peradaban tersebut, asal mula pengertian korban merujuk pada pengertian pengorbanan atau yang dikorbankan, yaitu” mengorbankan seseorang atau binatang untuk pemujaan atau hirarki kekuasaan.5
Istilah korban pada saat itu merujuk pada pengertian “setiap orang, kelompok, atau apapun yang mengalami luka-luka, kerugian, atau penderitaan akibat tindakan yang bertentangan dengan hukum. Penderitaan tersebut bisa berbentuk fisik, psikologi maupun ekonomi”menyebutkan kata korban mempunyai
5
(36)
21 21
pengertian:”korban adalah orang yang menderita kecelakaan karena perbuatan (hawa nafsu dan sebagainya) sendiri atau orang lain.6
Ditinjau dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban, yaitu: 7
A. Nonparticipating victims adalah mereka yang menyangkal/menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan; B. Latent or predisposed victims adalah mereka yang mempunyai karakter
tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu;
C. Propocative victims adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan;
D. Participating victims adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban;
E. False victims adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.
Apabila dilihat dari presfektif tanggung jawab Menurut Stephen Schafer8 korban itu sendiri mengenal 7 (tujuh) bentuk, yakni sebagai berikut:
1. Unrelated victims adalah mereka yang tidak ada hubungan dengan si pelaku dan menjadi korban karena memang potensial. Untuk itu, dari aspek tanggung jawab sepenuhnya berada dipihak korban;
2. Provocative victims merupakan korban yang disebabkan peranan korban untuk memicu terjadinya kejahatan. Karena itu, dari aspek tanggung jawab terletak pada diri korban dan pelaku secara bersama-sama;
6
Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, P.N. Balai Pustaka, Jakarta, 1976, Hlm.33
7
Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika . Ghalia Indonesia . Jakarta: 2005, hlm 17
8
(37)
22 22
3. Participating victims hakikatnya perbuatan korban tidak disadari dapat mendorong pelaku melakukan kejahatan. Misalnya, mengambil uang di Bank dalam jumlah besar yang tanpa pengawalan, kemudian di bungkus dengan tas plastik sehingga mendorong orang untuk merampasnya. Aspek ini pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada pelaku;
4. Biologically weak victim adalah kejahatan disebabkan adanya keadaan fisik korban seperti wanita, anak-anak, dan manusia lanjut usia (manula) merupakan potensial korban kejahatan. Ditinjau dari aspek pertanggungjawabannya terletak pada masyarakat atau pemerintah setempat karena tidak dapat memberi perlindungan kepada korban yang tidak berdaya;
5. Social weak victims adalah korban yang tidak diperhatikan oleh masyarakat bersangkutan seperti para gelandangan dengan kedudukan sosial yang lemah. Untuk itu, pertanggungjawabannya secara penuh terletak pada penjahat atau masyarakat;
6. Selfvictimizing victims adalah korban kejahatan yang dilakukan sendiri (korban semu) atau kejahatan tanpa korban. Pertanggung jawabannya sepenuhnya terletak pada korban karena sekaligus sebagai pelaku kejahatan;
7. Political victims adalah korban karena lawan politiknya. Secara sosiologis, korban ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kecuali adanya perubahan konstelasi politik.
Namun demikian korban penyalahgunaan narkotika itu sepatutnya mendapatkan perlindungan agar korban tersebut dapat menjadi baik.Double track system
(38)
23 23
sanksi pidana dan sanksi tindakan.Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah yang telah dilakukan seorang melalui pengenaan penderitaan agar yang bersangkutan menjadi jera. Fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya pemberian pertolongan pada pelaku agar ia berubah Jelaslah bahwa sanksi pidana lebih menekankan pada pembalasan sedangkan sanksi tindakan bersumber dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelaku.9
Berdasarkan hal tersebut double track system dalam perumusan sanksi terhadap tindak pidana korban penyalahgunaan narkotika adalah paling tepat,karena berdasarkan victimologi bahwa pecandu narkotika adalah sebagai self victimizingvictims yaitu korban sebagai pelaku, victimologi tetap menempatkan penyalahguna narkotika sebagai korban, meskipun dari tindakan pidana/ kejahatan yang dilakukannya sendiri.
Korban penyalagunana narkotika yang di atur dalam korban penyalahgunaan narkotika dimana terdapat 2 korban penyalahgunaan narkotika yaitu :
1. Pecandu Narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
2. Korban Penyalahgunaan Narkotika adalah Seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya,ditipu,dipaksa dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.
Melihat dari beberapa korban penyalahgunaan narkotika,setiap korban maupun pecandu narkotika juga memiliki sanksi atau tindakan yang harus di pertanggung
9
Sujono, A.R. dan Bony Daniel.. Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35Tahun 2009 tentang Narkotika. Sinar Grafika ,Jakarta:. 2011, hlm 23
(39)
24 24
jawabkan terhadap korban, Ketentuan mengenai sanksi dalam Undang - Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tenang Narkotika sangat besar. Sanksi pidana paling sedikit 4 (empat) tahun penjara sampai 20 (dua puluh) tahun penjara bahkan pidana mati jika memproduksi Narkotika golongan I lebih dari 1 (satu) atau 5 (lima) kilogram. Denda yang dicantumkan dalam Undang–Undang Narkotika tersebut berkisar antara Rp.1.000.000,00 (satu juta rupiah) sampai dengan Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
Sanksi pidana maupun denda terhadap bagi siapa saja yang menyalahgunakan narkotika atau psikotropika terdapat dalam ketentuan pidana pada Bab XV mulai dari Pasal 111 sampai dengan Pasal 148.
D. Perlindungan Korban Penyalahgunaan Narkotika
Masalah perlindungan korban menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat pada umumnya dan pada korban/pihak khususnya. Belum adanya perhatian dan pelayanan terhadap perlindungan korban penyalahgunaan narkotika merupakan tanda belum atau kurang adanya keadilan dan pengembangan kesejahteraan dalam masyarakat.
Hak- hak para korban menurut menurut Van Boven adalah:10 Hak untuk tahu, hak atas keadilan, dan hak atas reparasi ( pemulihan ), hak reparasi yaitu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun non material bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak –hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrumen-instrumen hak asasi manusia yang berlaku dan juga dengan diberikan rehabilitasi medis.
10
(40)
25 25
Dalam rangka memberikan perlindungan pada korban kejahatan, terdapat dua model pengaturan ialah (1) model hak-hak prosedural (the prosedural ringhts model) dan (2) model pelayanan (the services model):11
1. Model hak-hak prosedural, disini korban diberi hak untuk memainkan peran aktif dalam proses penyelesaian perkara pidana,seperti hak untuk mengadakan tuntutan pidana, membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan didengar pada setiap tingkatan pemeriksaan perkara dimana kepentingannya terkait di dalamnya termasuk hak untuk diminta konsultasi sebelum diperiksa lepas bersyarat, juga hak untuk mengadakan perdamaain. Di Prancis model ini disebut Partie Civile Model atau Civil Action Model. Disni korban diberi hak juridis yang luas untuk menentukan dan mengejar kepentingan-kepentingannya
2. Model pelayanan, disini tekanan ditunjukan pada perlunya diciptakan standar- standar baku bagi pemidanaan korban kejahatan, yang dapat digunakan oleh polisi misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka modifikasi kepada korban dan atau jaksa dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak peryataan-peryataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Disni korban kejahatan dipandang sebagai sasaran khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum lainnya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang memakan waktu cukup panjang ini ditujukan untuk memperjuangkan diakomodasinya hak-hak saksi dan korban dalam proses peradilan pidana.
11
(41)
26 26
Berbeda dengan beberapa negara lain, inisiatif untuk membentuk Undang-Undang perlindungan bagi saksi dan korban bukan datang dari aparat hukum, polisi, jaksa, atau pun pengadilan yang selalu berinteraksi dengan saksi dan korban tindak pidana, melainkan justru datang dari kelompok masyarakat yang memiliki pandangan bahwa saksi dan korban sudah saatnya diberikan perlindungan dalam sistem peradilan pidana.12
Adapun beberapa persyaratan yang telah di tentukan oleh LPSK untuk pemberian perlindungan dan bantuan terhadap saksi dan korban tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menyatakan :
Perjanjian perlindungan LPSK terhadap Saksi dan/atau Korban tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 Ayat (2) diberikan dengan mempertimbangkan syarat sebagai berikut:
a. Sifat pentingnya keterangan Saksi dan/atau Korban;
b. Tingkat ancaman yang membahayakan Saksi dan/atau Korban;
c. Basil analisis tim medis atau psikolog terhadap Saksi dan/atau Korban; d. Rekam jejak kejahatan yang pernah dilakukan oleh Saksi dan/atau Korban.
Korban juga dapat merupakan pihak yang sifatnya secara kolektif dan hanya bersifat perseorangan . sebab akibatnya terjadi untuk suatu tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa mengakibatkan terjadinya korban penyalahgunaan narkotika, yang mungkin saja tidak hanya satu orang namun bisa asaja korban tersebut lebih dari satu orang.
12
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, jakarta-PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 100
(42)
27 27
Mardjono Reksodipuro mengemukakan beberapa alasan mengapa korban memerlukan hak untuk mendapatkan perlindungan diantaranya adalah.13 :
a. Sistem peradilan pidana dianggap terlalu memberikan perhatian pada permasalahn dan pelaku kejahatan.
b. Terhadap potensi informasi dari korban untuk memperjelaskan dan melengkapi penafsiran tentang statistik kriminal melalui riset tentang korban dan harus dipahami bahwa korbanlah yang menggerakan mekanisme sistem peradilan pidana
c. Semakin disadari bahwa selain korban kejahatan konvensional, tidak kurang pentingnya memberikan perhatian kepada korban kejahatan non konvensional maupun korban penyalahgunaan kekuasaan.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut sebaiknya korban mendapatkan haknya untuk di berikan perlindungan, berdasarkan hal ini seorang korban penyalahgunaan berdasrakan pasal 2 butir (b) PERBER/01/III/2014/BNN Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, Menjadi pedoman teknis dalam penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika sebagai tersangka,terdakwa,atau Narapidana untuk menjalani Rehabilitasi medis dan/atau rehabilitasi sosial.” Merupakan tujuan utama terhadap perlindungan korban penyalahgunaan narkotika.
13
Mardjono Reksodiputra, Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanan danPengendalian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) UI, Jakarta, 1995, hlm 23-24
(43)
28
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris :
1. Pendekatan Yuridis Normatif
Pendekatan Yuridis Normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara menelaah kaidah-kaidah atau norma-norma, aturan-aturan yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas.1Pendekatan tersebut dimaksudkan untuk mengumpulkan berbagai macam peraturan perundang-undangan, teori-teori dan literatur-literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang akan dibahas.
2. Pendekatan Yuridis Empiris
Pendekatan Empiris adalah Pendekatan dengan meneliti dan mengumpulkan data primer yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian melalui wawancara dengan responden dan narasumber yang berhubungan dengan penelitian.2
1
Soerjono Soekanto,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, 1986, hlm. 56
2
(44)
2
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dilihat dari sudut sumbernya dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka.3Adapun didalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat didalam membahas skripsi ini, serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan didalam penelitian ini maka jenis data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari Narasumber. Data primer ini merupakan data yang diperoleh dari studi lapangan yaitu tentunya berkaitan dengan pokok penelitian. Data primer dalam penelitian ini didapatkan dengan mengadakan wawancara.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (Library Research). Data ini diperoleh dengan cara mempelari, membaca, mengutif, literatur, atau peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok permasalahan penelitian ini. Data sekunder terdiri dari 3 (tiga) Bahan Hukum, yaitu :
A. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer ini terdiri dari :
1. Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-UndangHukum Pidana (KUHP) Jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 Tentang pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1
3
(45)
30
Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
2. undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
3. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
4. Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor
:01/PB/MA/III/2014) Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.
B. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku literatur dan karya ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.
C. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti Kamus Bahasa Inggris, Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Majalah, media cetak, dan media elektronik.
(46)
31
C. Penentuan Narasumber
Narasumber adalah pihak-pihak yang dijadikan sumber informasi didalam suatu penelitian dan memiliki pengetahuan serta informasi yang dibutuhkan sesuai dengan permasalahan yang dibahas. Narasumber dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kepala Badan Narkotika Nasional Provinsi : 2 orang 2. Kepala lembaga rehabilitasi yayasan sinar jati
kemiling : 3 orang
3. Dosen Bagian hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung : 1 orang +
Jumlah : 6 orang
D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data.
1. Metode pengumpulan Data.
Metode pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan cara yaitu:
a. Studi Kepustakaan(library research)
Studi kepustakaan merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan penulis dengan maksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca, mencatat, mengutip dari berbagai literatur, peraturan perundang-undangan, buku-buku, media masa dan bahan hukum tertulis lainnya yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan.
(47)
32
b. Studi lapangan ( field research)
Studi lapangan merupakan pengumpulan data yang dilakukan untuk memperoleh data primer dengan menggunakan teknik wawancara terbuka kepada responden, materi-materi yang akan dipertanyakan telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh penulis sebagai pedoman , metode ini digunakan agar responden bebas memberi jawaban–jawaban dalam bentuk uraian-uraian.
2. Pengolahan Data
Data yang diperoleh baik dari hasil studi kepustakaan dan wawancara selanjutnya diolah dengan menggunakan metode:
a. Seleksi Data atauEditing
Editing yaitu memeriksa data yang diperoleh untuk segera mengetahui apakah data yang diperoleh itu relevan dan sesuai dengan masalah. Selanjutnya apabila ada data yang salah akan dilakukan perbaikan dan terhadap data yang kurang lengkap akan diadakan penambahan.
b. Klasifikasi Data
Klasifikasi data, yaitu yang telah selesai seleksi, selanjutnya dikelompokkan menurut pokok bahasan sehingga sesuai dengan jenis dan hubungannya dengan pokok bahasan.
c. Sistematisasi Data
Sistematisasi data yaitu, data yang telah diklasifikasikan kemudian ditempatkan sesuai dengan posisi pokok permasalahan secara sistematis. Tahap-tahap pengolahan data tersebut bertujuan untuk mempermudah dalam menganalisis serta mempermudah menarik kesimpulan.
(48)
33
E. Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kualitatif, komprehensif, dan lengkap. Analisis kualitatif artinya menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih dan efektif sehingga memudahkan interpretasi data dan pemahaman secara induktif4 Sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenaipenerapan rehabilitasi sosial, sehinga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang akan diteliti. Dari hasil penerapan tersebut dapat dilanjutkan dengan metode penarikan kesimpulan secara induktif, yaitu cara berpikir dalam menarik kesimpulan yang didasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus, kemudian dilanjutkan dalam pengambilan kesimpulan yang bersifat umum, serta dapat diajukan saran-saran.
4Ibid,
(49)
60
V. PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada hasil dan penelitian dan pembahasan maka bagian dari penutup ini dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai hasil dari pembahsan tentang kewajiban rehabilitasi sosial dan hambatan yang dialami dalam penanggulanagn korban penyalahgunaan narkotika. Selain itu, dikemukakan saran guna meningkatkan penegak hukum dalam melakukan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika .
A. Simpulan
1. Penerapan rehabiliatsi sosial korban penyalahunaan narkotika berdasarkan Peraturan Bersama Mahkaamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014 yaitu terlaksananya proses rehabilitasi sosial di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemidanaan secara sinergis dan terpadu.sehingga pelaksaan rehabilitasi sosial sendiri berdasarkan Pasal 3 dilengkapi dengan surat keterangan dari Tim Asesmen Terpadu, untuk dapat ditempatkan kepada masing-masing instansi rehabilitasi sosial.Ketika pecandu telah melewati masa rehabilitasi medis, maka pecandu tersebut berhak untuk menjalani rehabilitasi sosial dan program pengembalian ke masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sarana rehabilitasi sosial terpidana narkotika diharapkan menjalin kerjasama dengan panti rehabilitasi sosial milik pemerintah atau masyarakat, atau
(50)
61
dengan lembaga swadaya masyarakat yang memberikan layanan pasca rawat .
2. Faktor-faktor penghambat rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika berdasarkan Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor ; 01/PB/MA/III/2014, yaitu: faktor penegak hukum yaitu kuranggnya kualitas dan kuantitas aparat hukum dalam Peraturan Bersma Mahkamah Agung nomor : 01/PB/MA/III/2014, faktor sarana dan fasilitas yang dimiliki masih kurang memadai seperti tidak adanya tempat rehabilitasi yang dikelola oleh pemerintah dan tanpa dipungut biaya bagi pasien yang ingin menjalani rehabilitasi sosial , faktor masyarakat yaitu kurangnya perhatian masyarakat terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungan sosial.
B. Saran
1. Agar pemerintah dapat membuatkan adanya rumah dampingan baik di dalam atau diluar lembaga , hal ini sangat membantu bagi korban penyalahguna narkotika yang sangat membutuhkan rehabilitasi sosial namun terbentur masalah ekonomi yang minim . Fungsi dari Rumah Dampingan itu sendiri sebagai, menampung, memelihara , dan menerima baik menerima layanan dan konsultasi bagi orang tua penyalahguna narkotika / keluarga , penyalahguna narkotika yang ingin direhabilitasi sosial , mantan penyalahguna narkotika / pasca rehabilitasi .
2. Agar aparat penegak hukum dapat lebih memhami dan menjalankan peraturan-peraturan dalam menjalnkan rehabilitasi soisal kepada korban penyalahgunaan narkotika .
(51)
62
3. Perlunya penambahan anggota-anggota untuk turut serta membantu proses rehabilitasi sosial agara selanjutnya dapat berjalan dengan baik.
4. Agar pemerintah dapat menambah tempat rehabilitasi sosial yang memiliki sarana dan fasilitas yang lengkap .
(52)
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Arifin, Zainal. 2011. Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Asya, F. 2009.Narkotika dan Psikotropika.Jakarta: Asa Mandiri.
Atmasasmitha, Romli. 1997. Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2004, Komunikasi Penyuluhan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba.Jakarta: BNN.
.
Dorland, W.A.N. 2002.Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Alih Bahasa.
Gosita, Arief. 1993. Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan. Jakarta: Akademika Pressindo.
Hamzah, Andi. 1993. Studi Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Makarao, Taufik M. et.al. 2003 . Tindak Pidana Narkotika, Jakarta : Ghalia Indonesia. Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Pidana Nasional, Jakarta,Rajagrafindo Pustaka.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Cita Aditya Bakti.
Mulyadi, Lilik. 2007.Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi. Denpasar: Djambatan.
(53)
Reksodiputra, Mardjono, 1995. Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanananan Pengendalian Hukum, Jakarta : UI-pres
Sasangka, Hari. 2003. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana. Bandung : Mandar Maju.
Purwadarminta, 1976 .Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : P.N. Balai Pustaka
Setiady, Tolib. 2009, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Soekanto, Soerjono. 2007.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Pres.
---. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum. Jakarta: Bumi Aksara.
Sujono, A.R. dan Bony Daniel. 2011.Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.Jakarta: Sinar Grafika.
Suparni,Niniek. 1996. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.
Waluyo, Bambang. 2011, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Jakarta: Sinar Grafika.
--- 2009.Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta: Sinar Grafika Widagdo, Setiawan. 2012.Kamus Hukum.Jakarta: Prestasi Pustaka.
Yulia, Rena. 2010.Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Bandung : Graha ilmu.
---, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,Graha Ilmu, Yogyakarta.
B. Perundang-undangan
Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(54)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sema No 4 Tahun 2010 Tentang Narkotika
Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Rehabilitasi sosial bagi Pecandu, Penyalahguna , dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang dalam Proses atau yang Telah Diputus oleh Pengadilan
Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014) Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.
C. Website
http://skripsitesishukumsospol.blogspot.com, http://www.bimbingan.org/fisik-dan-psikis.htm http://www.edukasi.kompasiana.com
http://www.kompas.com,
http://www.faculty.ncwc.edu/toconnor/300/300lect01.htm
(1)
60
V. PENUTUP
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada hasil dan penelitian dan pembahasan maka bagian dari penutup ini dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai hasil dari pembahsan tentang kewajiban rehabilitasi sosial dan hambatan yang dialami dalam penanggulanagn korban penyalahgunaan narkotika. Selain itu, dikemukakan saran guna meningkatkan penegak hukum dalam melakukan rehabilitasi sosial bagi korban penyalahgunaan narkotika .
A. Simpulan
1. Penerapan rehabiliatsi sosial korban penyalahunaan narkotika berdasarkan Peraturan Bersama Mahkaamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014 yaitu terlaksananya proses rehabilitasi sosial di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan dan pemidanaan secara sinergis dan terpadu.sehingga pelaksaan rehabilitasi sosial sendiri berdasarkan Pasal 3 dilengkapi dengan surat keterangan dari Tim Asesmen Terpadu, untuk dapat ditempatkan kepada masing-masing instansi rehabilitasi sosial.Ketika pecandu telah melewati masa rehabilitasi medis, maka pecandu tersebut berhak untuk menjalani rehabilitasi sosial dan program pengembalian ke masyarakat yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sarana rehabilitasi sosial terpidana narkotika diharapkan menjalin kerjasama dengan panti rehabilitasi sosial milik pemerintah atau masyarakat, atau
(2)
61
dengan lembaga swadaya masyarakat yang memberikan layanan pasca rawat .
2. Faktor-faktor penghambat rehabilitasi sosial korban penyalahgunaan narkotika berdasarkan Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor ; 01/PB/MA/III/2014, yaitu: faktor penegak hukum yaitu kuranggnya kualitas dan kuantitas aparat hukum dalam Peraturan Bersma Mahkamah Agung nomor : 01/PB/MA/III/2014, faktor sarana dan fasilitas yang dimiliki masih kurang memadai seperti tidak adanya tempat rehabilitasi yang dikelola oleh pemerintah dan tanpa dipungut biaya bagi pasien yang ingin menjalani rehabilitasi sosial , faktor masyarakat yaitu kurangnya perhatian masyarakat terhadap hal-hal yang terjadi di lingkungan sosial.
B. Saran
1. Agar pemerintah dapat membuatkan adanya rumah dampingan baik di dalam atau diluar lembaga , hal ini sangat membantu bagi korban penyalahguna narkotika yang sangat membutuhkan rehabilitasi sosial namun terbentur masalah ekonomi yang minim . Fungsi dari Rumah Dampingan itu sendiri sebagai, menampung, memelihara , dan menerima baik menerima layanan dan konsultasi bagi orang tua penyalahguna narkotika / keluarga , penyalahguna narkotika yang ingin direhabilitasi sosial , mantan penyalahguna narkotika / pasca rehabilitasi .
2. Agar aparat penegak hukum dapat lebih memhami dan menjalankan peraturan-peraturan dalam menjalnkan rehabilitasi soisal kepada korban penyalahgunaan narkotika .
(3)
62
3. Perlunya penambahan anggota-anggota untuk turut serta membantu proses rehabilitasi sosial agara selanjutnya dapat berjalan dengan baik.
4. Agar pemerintah dapat menambah tempat rehabilitasi sosial yang memiliki sarana dan fasilitas yang lengkap .
(4)
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur
Arifin, Zainal. 2011. Penelitian Pendidikan Metode dan Paradigma Baru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Asya, F. 2009.Narkotika dan Psikotropika.Jakarta: Asa Mandiri.
Atmasasmitha, Romli. 1997. Tindak Pidana Narkotika Transnasional Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. 2004, Komunikasi Penyuluhan Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba.Jakarta: BNN.
.
Dorland, W.A.N. 2002.Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Alih Bahasa.
Gosita, Arief. 1993. Masalah Korban Kejahatan Kumpulan Karangan. Jakarta: Akademika Pressindo.
Hamzah, Andi. 1993. Studi Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Mansur, Dikdik M. Arief dan Elisatris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Makarao, Taufik M. et.al. 2003 . Tindak Pidana Narkotika, Jakarta : Ghalia Indonesia. Mardani, 2008, Penyalahgunaan Narkoba Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Pidana Nasional, Jakarta,Rajagrafindo Pustaka.
Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: Cita Aditya Bakti.
Mulyadi, Lilik. 2007.Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi. Denpasar: Djambatan.
(5)
Reksodiputra, Mardjono, 1995. Pembaharuan Hukum Pidana, Pusat Pelayanananan Pengendalian Hukum, Jakarta : UI-pres
Sasangka, Hari. 2003. Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana. Bandung : Mandar Maju.
Purwadarminta, 1976 .Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta : P.N. Balai Pustaka
Setiady, Tolib. 2009, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Alfabeta.
Soekanto, Soerjono. 2007.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-Pres.
---. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegak Hukum. Jakarta: Bumi Aksara.
Sujono, A.R. dan Bony Daniel. 2011.Komentar & Pembahasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.Jakarta: Sinar Grafika.
Suparni,Niniek. 1996. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.
Waluyo, Bambang. 2011, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Jakarta: Sinar Grafika.
--- 2009.Perlindungan Korban dan Saksi. Jakarta: Sinar Grafika Widagdo, Setiawan. 2012.Kamus Hukum.Jakarta: Prestasi Pustaka.
Yulia, Rena. 2010.Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Bandung : Graha ilmu.
---, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,Graha Ilmu, Yogyakarta.
B. Perundang-undangan
Undang-undang No. 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(6)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Sema No 4 Tahun 2010 Tentang Narkotika
Peraturan Menteri Kesehatan No. 46 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan Rehabilitasi sosial bagi Pecandu, Penyalahguna , dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang dalam Proses atau yang Telah Diputus oleh Pengadilan
Peraturan Bersama Mahkamah Agung Nomor : 01/PB/MA/III/2014) Tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi.
C. Website
http://skripsitesishukumsospol.blogspot.com, http://www.bimbingan.org/fisik-dan-psikis.htm http://www.edukasi.kompasiana.com
http://www.kompas.com,
http://www.faculty.ncwc.edu/toconnor/300/300lect01.htm